• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHU LUAN ASFIKSIA PRIMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PENDAHU LUAN ASFIKSIA PRIMA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA

DI RUANG MELATI RSUD TEMANGGUNG

STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun Oleh : PRIMA ASTUTI

20100320139 2014-403-1-116

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN ASFIKSIA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi Asfiksia

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Sarwono, 2007).

Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2008).

Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Mochtar, 2008).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya (Saiffudin, 2009).

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa asfiksia neonates adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat segera bernafas spontan/ kegagalan nafas secara spontan sehingga dapat menurunkan O2, meningkatkan CO2 dan asidosis.

2. Klasifikasi Asfiksia

Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur

Denyut jantung Tidak ada <100 >100

Warna kulit Biru atau pucat Tubuhmerah jambu&kaki, tangan biru.

Merah jambu

Gerakan / tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi Refleks(menangis) Tidak ada Lemah /

lambat

Kuat

Tabel 1. Nilai APGAR (Ghai, 2010)

(3)

P : ”Pulse”(denyut) Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau palpasi denyut jantung dengan jari.

G : ”Grimace”(seringai) gosok berulang-ulang dasar tumit kedua tumit kaki bayi dengan jari.perhatikan reaksi pada mukanya.Atau perhatikan reaksi ketika lender pada mukanya.Atau perhatikan reaksi ketika lender dari mulut dan tenggorokan di hisap.

A : ”Activity”. Perhatikan cara bayi baru lahir menggerakan kaki dan tanganya atau tarik salah satu tangan/kakinya.Perhatikan bagaimana kedua tangan dan kakinya bergerak sebagai reaksi terhadap rangsangan tersebut.

R : ”Respiratori”.(Pernapasan). Perhatikan dada dan abdomen bayi.Perhatikan pernapasannya.

Dilakukan pemantauan pada nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7.Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis,bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasinya di mulai 30 detiksetelah lahir bila bayi tidak menangis.( bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar)

Atas dasar pengalaman klinis, Asfikia Neonaiorum dapat dibagi dalam :

a. Asfiksia Ringan (Vigorous baby') skor apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerkikan istimewa.

b. Asfiksia Sedang (Mild-moderate asphyxia) skor apgar 4-6 pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari lOOx/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada

c. Asfiksia berat: skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak adaAsfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan :

1. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap. 2. Bunyi jantung bayi menghilang post partum.

(FKUI, 2007).

(4)

a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.

b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.

c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9. d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

3. Etiologi dan Faktor Resiko Asfiksia

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia(Parer, 2008).

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

1) Lilitan tali pusat

2) Tali pusat pendek

3) Simpul tali pusat

4) Prolapsus tali pusat.

(5)

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

3) Kelainan bawaan (kongenital)

4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) (DepKes RI, 2009).

Menurut Betz et al. (2001), asfiksia dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu : a. Faktor ibu

 Hipoksia ibu

 Keracunan CO

 Hipotensi akibat perdarahan

 Gangguan kontraksi uterus

 Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

 Hipertensi pada penyakit eklampsia b. Faktor plasenta

 Plasenta tipis/ kecil

 Plasenta tidak menempel

 Solusio plasenta

 Perdarahan plasenta c. Faktor fetus

 Kompresi umbilikus

 Tali pusat menumbung

 Tali pusat melilit leher

 Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir d. Faktor neonatus

 Prematur

 Kelainan kongential

 Pemakaian obat anestesi

 Trauma yang terjadi akibat persalinan

Faktor predisposisi

(6)

 Gangguan his, misalnya: hipertoni dan tetani

 Hipotensi mandadak pada ibu karena perdarahan, misalnya: plasenta previa

 Hipertensi pada eklampsia

 Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasentae b. Faktor dari janin

 Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat

 Depresi pernafasan karena obat – obatan yang diberikan kepada ibu

 Keruban keruh

4. Manifestasi Klinis

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain

d. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen

e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan

g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas tidak teratur/megap-megap

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah

i. Penurunan terhadap spinkters

j. Pucat (Depkes RI, 2007)

5. Patofisiologi

(7)

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta(Perinasia, 2006).

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli(Perinasia, 2006).

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang(Perinasia, 2006).

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh(Perinasia, 2006).

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan(Perinasia; 2006)

(8)

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen(Perinasia, 2006).

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah(Perinasia, 2006).

Patofisiologi Asfiksia menurut FKUI 2007:

Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbullah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga denyut jantung janin (DJJ) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi, timbullah kini rangsangan dari nervus simpatikus, sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan intra uterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru. Bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang (FKUI.2007)

(9)

menurun. Tekanan darah bayi juga menurun dan bayi akan terlihat lemas. Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea skunder. (Towwel.2006)

6. Komplikasi

Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain:

a. Edema otak dan perdarahan otak

Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan pendarahan otak.

b. Anuria dan Oliguria

Disfungsi jaringan jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal dengan istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir keorgan seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.

c. Kejang

Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

d. Koma

Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak. (Hidayat, Aziz Alimul. (2005).

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Analisa gas darah (PH kurang dari 7.20)

b. Penilaian APGAR score meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek

c. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah tumbuh komplikasi d. Pengkajian spesifik

e. Elektrolit garam f. USG

(10)

h. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.

i. Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.

j. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah (Septia Sari, 2010)

8. Penegakan Diagnosis

Anamnesis ;

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia neonatorum. Pemeriksaan fisik ;

Memerhatikan sama ada kelihatan terdapat tanda- tanda berikut atau tidak: a. Bayi tidak bernafas atau menangis.

b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit. c. Tonus otot menurun.

d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi.

e. BBLR (berat badan lahir rendah) (Ghai, 2010).

9. Penatalaksanaan

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut dengan Resusitasi Bayi Baru Lahir. Tindakan Resusitasi mengikuti tahapan yang dikenal dengan ABC-resusitasi :

a. Memastikan saluran napas terbuka :

1. Meletakan bayi dalam posisi yang benar 2. Menghisap mulut, hidung, kalu perlu trakea

3. Bila perlu masukan Et untuk memastikan napas terbuka b. Memulai pernapasan :

1. Lakukan rangsangan taktil

2. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif 3. Mempertahankann sirkulasi darah

4. Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan.

(11)
(12)

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:

1. Apakah bayi cukup bulan?

2. Apakah bayi bernapas atau menangis?

3. Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi (a) Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.

(b) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.

(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

(13)

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.

(d) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkanpada posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.

(14)

2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

a. Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.

b. Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.

c. Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.

d. Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumothoraks.

e. Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.

f. Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.

(15)

3. Kompresi dada

Teknik kompresi dada ada 2 cara:

1) Teknik ibu jari (lebih dipilih)

 Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan menopang punggung

 Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten

 Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner

2) Teknik dua jari

 Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung

 Tidak tergantung

 Lebih mudah untuk pemberian obat

 Kedalaman dan tekanan

 Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada

 Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung maksimum

4. Koordinasi VTP dan kompresi dada

1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik

Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per menit)

(16)

5. Tindakan khusus a. Asphyksia berat

Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonat natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.

Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi.

b. Asphyksia ringan dan sedang

(17)

secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker.

Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonat natrium dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat (Saifuddin, 2009).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian

a. Sirkulasi

 Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).

 Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.

 Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.

 Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.

b. Eliminasi

Dapat berkemih saat lahir.

c. Makanan/ cairan

 Berat badan : 2500-4000 gram

 Panjang badan : 44-45 cm

 Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)

d. Neurosensori

(18)

 Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).

 Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)

e. Pernafasan

 Skor APGAR : 1 menit...5 menit... skor optimal harus antara 7-10.

 Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.

 Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.

f. Keamanan

 Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi).

 Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal)

2. Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.

b. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi

c. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.

d. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.

e. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.

f. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.

(19)

3. Rencana Tindakan dan Rasionalisasi

Diagnosa Keperawatan

NOC/ Tujuan NIC/ Intervensi Rasional

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d

produksi mukus

banyak.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam, diharapkan

diharapkan jalan nafas lancar, dengan kriteria hasil :

1. Tidak menunjukkan

demam.

2. Tidak menunjukkan

cemas.

3. Rata-rata repirasi

dalam batas normal.

4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.

5. Tidak ada suara nafas tambahan.

1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.

2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction

3. Bersihkan daerah

bagian tracheal setelah

suction selesai

1. pengumpulan data untuk perawatan

4. untuk mengetahui efektifitas dari

1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.

2. Ekspansi dada

simetris.

1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan

(20)

3. Tidak ada bunyi nafas

4. Kolaborasi dengan

dokter untuk

pemeriksaan AGD dan pemakaian alat bantu nafas

5. Berikan oksigenasi

sesuai kebutuhan. 2. Fungsi paru dalam batas normal

1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum.

(21)

tidak terdeteksi atau

tidak teratasi

pemajanan pada

agen-agen infeksius.

selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.

3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin

4. Ajarkan keluarga

tentang tanda dan

1. Temperatur badan

dalam batas normal.

2. untuk mendeteksi

lebih awal

perubahan yang

terjadi guna

(22)

pernafasan.

3. Tidak gelisah.

4. Perubahan warna

kulit.

3. peningkatan suhu dapat perfusi jaringan efektif, dengan kriteria hasil :

1. Untuk memonitor tingkat kerusakan

4. Untuk mengurangi nyeri

DAFTAR PUSTAKA

(23)

Anik Maryunani, Asuhan Bayi Baru Lahir Normal, Jakarta, 2008, Trans Info Media, Jakarta

Ai Yeyeh Rukiah dan Lia Yulianti, Am. Keb,MKM, Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita, Jakarta, 2007, Trans Info Media Jakarta

Doenges E Marilynn. Rencana Asuhan Keperawatan; Jakarta, 1993. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Wong Donna L, dkk. Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Edisi 6 vol 2; Jakarta, 2009. Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Criteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC

http://bluesteam47.blogspot.com/2010/05/asuhan-keperawatan-asfiksia-neonatorum.html http://www.scribd.com/doc/31144164/ASKEP-ASFIKSIA-NEONATORUM

Gambar

Tabel 1. Nilai APGAR (Ghai, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Karena mereka berpendapat bahwa fenomena konvensional tidak ada, shunya dari sisinya sendiri, mereka berpendapat bahwa sifat keberadaan yang paling mendalam ( ultimate nature

(1) Ketentuan mengenai perizinan dan nonperizinan, tata ruang, penyediaan tanah, komponen dalam negeri, jaminan Pemerintah, pengadaan barang dan jasa, serta

Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikologi Indonesia , (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.. بيرع سوماق - يسينكدناك يسينكدنا – سوماقب ؿكؤم بيرع بيرع – .ويلام

Ikal, Arai dan Jimbron memang terlahir dari keluarga yang sederhana, sekolah di SMA Negeri Manggar merupakan tempat mengenyam pendidikan yang pas dengan keuangan orangtua

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan terhadap lama latihan aerobik menggunakan permainan dance dance revolution (DDR) terhadap nilai VO 2 maks

Penelitian yang dilakukan pada ibu muda di USA, untuk menjarangkan kehamilan mereka mengatakan diperlukan suatu metode kontrasepsi yang efektif untuk jangka

Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi

Pengaruh beban pendingin terhadap kinerja mesin pendingin menggunakan refrigeran R12 dan LPG ditunjukkan pada Gambar 9 dengan hasil penelitian menggunakan R12