PENGAWASAN DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) SERENTAK PROPINSI BANTEN MELALUI PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF HAM
(Supervision and Monitoring of Simultaneous Regional Head Election in the
Province of Banten through Community Engagement in the Perspective of Human
Rights)
Donny Michael
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 4-5 Kuningan – Jakarta Selatan 12940 Email: dmsitumorang@yahoo.com
Tulisan Diterima: 23-05-2018; Direvisi: 05-07-2018: Disetujui Diterbitkan: 18-07-2018
DOI: http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.69-85
ABSTRACT
One of the most important parts of an election is the public roles and participation. Rational consideration to becoming smart voters must continuously be promoted, hence, it is expected that leaders and representatives of people with high integrity and quality may be elected. The issues of abstainteism and bias of the organizing committee in this democratic big events may be made the grounds to involve the peope in supervising and protecting the rights of the citizens to be voted for and to vote in the Regional Head Election. The purpose of this research is to identify the pattern used by the Elections Supervisory Agency in monitoring and overseeing the Regional Head Election, to identify the pattern of public involvement in the monitoring and supervision of Regional Head Election from the perspective of Human Rights, and to identify the barriers in the monitoring and supervision efforts of the Regional Head Election. This research employs qualitative method with analytical descriptive approach that will reveal the result systematically. By observing the institutional structure of the Elections Supervisory Agency, the pattern of public involvement in the elections supervision and monitoring has been in conformity to the perspective of Human Rights in particular those that relate to the principles of public participation and involvement. With regard to the pattern of public involvement beyond the institutional structure of the Elections Supervisory Agency, the Elections Supervisory Agency relies on the
people’s voluntary participation to act as a supervisor and watcher. This is to maintain independency and
objectivity of the supervision and monitoring by the people.
Keywords: Regional Head Election, Public Involvement, Human Rights
ABSTRAK
melakukan pengawasan dan pemantauan sudah sesuai dengan perspektif HAM terutama menyangkut prinsip partisipasi dan pelibatan masyarakat. Mengenai pola pelibatan masyarakat di luar struktur Bawaslu, pihak Ba- waslu menyerahkan kepada kesukarelaan masyarakat untuk menjadi pengawas dan pemantau partisipatif. Hal ini untuk menjaga independensi dan obyektifitas pengawasan dan pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat
Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, Pelibatan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara demokrasi, yang berarti bahwa kekuasaan atau kedaulatan berada ditangan rakyat sebagaimana yang ter- cantum dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Salah satu wujud nyata dari pelak- sanaan demokrasi di Indonesia adalah Pemilihan Kepala Daerah.Hal ini telah tercantum pada Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerin- tah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau dis- ingkat Pemilukada. Pelaksanaan Pilkada di Indo- nesia menjadi salah satu peristiwa yang ditunggu penduduk Indonesia. Hal ini dikarenakan seluruh penduduk dapat menentukan pilihan akan Kepala Daerah yang sesuai dengan harapan. Oleh karena itu untuk kelancaran pelaksanaan Pilkada, maka diperlukan pengawasan Pilkada.
Pengawasan Pilkada hampir sama seperti pengawasan dalam Pemilu yang perlu dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tahapan Pilkada, menerima pengaduan, serta menangani kasus- kasus pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana Pilkada. Lembaga Pengawas Pemilu baru muncul pada Pemilu tahun 1982, yang dilatarbe- lakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelang- garan dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas Pemilu pada Pilkada tahun 1971.
Kemudian muncul sebuah gagasan mem- perbaiki undang-undang yang bertujuan me- ningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982. Pemerintah
setuju untuk menempatkan wakil Peserta Pemilu kedalam kepanitiaan Pemilu. Selain itu, Pemer- intah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan Pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelak- sanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pilkada. Dalam perkembangannya Panwaslak Pemilu mengalami beberapa kali perubahan sampai akh- irnya menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pe- milihan Umum, akan tetapi pelaksanaan Pemilu tidak hanya membutuhkan pengawasan saja, na- mun juga membutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengikuti jalannya Pemilu.
Diagram 1
Transformasi Pengawas Pemilu di Indonesia
Sumber: Peraturan perundang-undangan
Pilkada serentak gelombang pertama telah dilakukan pada Desember 2015 untuk kepala dae- rah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 serta pada semester pertama tahun 2016. Pilkada serentak ini akan diikuti oleh 269 daerah, terdiri dari 201 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada Juni-Desember 2015 dan 68 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada Januari-Juni 2016. Tahapan pelak- sanaan Pilkada tersebut dimulai pada akhir April 2015. Lalu Pilkada serentak gelombang kedua akan dilaksanakan pada Februari 2017 untuk ke- pala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua tahun 2016 dan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017. Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilak- sanakan pada Juni 2018 untuk kepala daerah yang
1994 BAWASLU
1995 PELIBATAN PEMANTAU 1982
masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan 2019.
Hasil penelitian Pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyara- kat dalam penyelenggaraan Pemilu selalu menu- run, yang dapat diketahui dengan semakin menin- gkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/menjadi golongan putih (golput). Angka golput kembali mengalami kenaikan pada Pemilu tahun 1992 yaitu 9,05 persen dan semakin naik pada Pemilu tahun 1997 dengan angka 12,07 persen. Angka golput terus meningkat pada Pemi- lu tahun 1999 yang mencapai 10,4 persen dan pada Pemilu tahun 2004 sebesar 23,34 persen, serta Pe- milu Anggota Legislatif pada tahun 2009 menca- pai angka 29,01 persen. Tingginya angka golput ini sungguh mengkhawatirkan, karena penurunan tingkat golput telah mencapai hampir 30%. Kede- pan, potensi golput dikhawatirkan semakin tinggi. Hasil survey yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tanggal 1-12 Februari 2012 terhadap 2.050 responden dengan metode acak bertingkat memperkuat dugaan tersebut.1
Berdasarkan hasil quick count (hitung cepat) pada tahun 2015 di sejumlah daerah, ditemukan angka golput yang masih tinggi. Di Malang, Jawa Timur (Provinsi Jawa Timur), hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA men- catat partisipasi pemilih hanya 57,6% atau golput mencapai 42,4%. Angka yang kurang lebih sama juga terjadi di Pilkada Kediri, Provinsi Jawa Timur, dengan partisipasi pemilih hanya 56,3%. Di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Tim Riset LSI bekerja sama dengan Jaringan Info Pub- lik mencatat partisipasi pemilih yang lebih ren- dah, yakni 50,24%. Golput di daerah ini mencapai 49,7% atau hampir setara dengan jumlah pemilih yang menggunakan suaranya. Di Kabupaten In- dramayu, Provinsi Jawa Barat, LSI juga mencatat tingkat partisipasi pemilih yang tergolong rendah, yakni 59,81%. Bahkan, pada beberapa daerah ditemukan partisipasi pemilih yang di bawah 50% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).2
Partispasi masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada juga sangat diperlukan karena adanya
1 Denty Eka Widi Pratiwi, Menengakkan Demokrasi:
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada, Kompasiana.com tanggal 12 Januari 2016 diakses
melalui http://www.kompasiana.com/ senatordenty/
menengakkan-demokrasi-meningkatkan-partisipasi- masyarakat-dalam-Pilkada_ 552e35 bc6ea 8 341b228b456b
2 Tingkat partisipasiwarga dalam menggunakan hakpilihnya
di pilkada serentak 2015 tergolong rendah Lihat http://www. koran-sindo.com/news.php?r=0&n=3&date=2015-12-10
peluang dan kemungkinan ketidaknetralan pe- nyelenggara dan pelaksana Pilkada. Hal tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang kemudian dii- kuti kesadaran politik dari peserta pemilu sehigga menyebabkan kondisi ketertiban dan keamanan menjadi terganggu. Oleh karena itu peran pen- gawasan itu harus dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan atau diawasi telah sesuai aturan yang berlaku. Permasalahan seperti golput dan ketidaknetralan penyelenggara dalam pelaksa- naan dalam acara demokrasi yang melibatkan rakyat dapat dijadikan suatu alasan akan perlunya pelibatan masyarakat dalam melakukan penga- wasan dan perlindungan hak-hak warga negara untuk dipilih dan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 butir b Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menyatakan:
“...Setiap warga negara harus mempun-
yai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk memilih dan dipilih pada pe- milihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemil-
ih....”
Selanjutnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya pada BAB III, dia- tur mengenai hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Bagian Kedelapan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan, yaitu:
Pasal 43 ayat (1)
Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan mimilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang berlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
penga-wasannya dimaksimalkan sampai tingkat kabu- paten/kota.
Secara politis pembentukan Bawaslu pada Tahun 2008 dengan tugas, fungsi dan kewenan- gan pengawasan Pemilu berupa pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu, serta kewenan- gan penyelesaian sengketa, berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, De- wan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertujuan untuk memastikan dua hal pokok: 1) Keberadaan suatu penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri, tetap, dan nasion- al, yaitu penyelenggara pemilu yang profesional, spesialis, dan berintegritas: transparan, akunta- bel, kredibel dan partisipatif dalam melaksanakan pengawasan pemilu; 2) Seluruh proses dan hasil penyelenggaraan pemilu sesuai asas dan prinsip umum pemilu demokratis: langsung, umum, be- bas, dan rahasia, serta jujur, adil, dan kompetitif.3 Pengawasan dan Pemantauan yang dilak- sanakan oleh Bawaslu dapat terlaksana secara maksimal bila melibatkan masyarakat sipil dalam melakukan pengawasannya karena tidak saja akan memperkuat kapasitas pengawasan Pemilu atau- pun Pilkada, namun juga mendorong perluasan wilayah pengawasan. Bahkan akan memperkuat posisi pengawasan Pemilu sebagai lembaga pen- gawasan yang berkembang dengan anchor yang kuat dengan representasi lembaga negara dan ma- syarakat sipil. Hal ini sekaligus akan menjadi me- dia komunikasi pendidikan politik bagi masyara- kat, tentang partisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu. Terutama berkenaan dengan peran strat- egis pengawasan dalam mendorong terwujudnya Pemilu yang langsung, umum bebas, rahasia, ju-jur dan adil.4
Ada sejumlah Badan Pemantau Independen yang berpartisipasi dalam beberapa kali melaku- kan pemantaun pelaksanaan Pemilukada di Indo- nesia, antara lain: Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Perkumpulan Untuk Pe- milu dan Demokrasi (PERLUDEM), Centre for
Electoral Reform (CETRO), Forum Rektor, The
National Democratic Institute (NDI), The Inter-
nationalized Resource Identifier (IRI), Nowman
3 http://www.bawaslu.go.id/id/profil/rencana-strategis-
bawaslu, diakses pada tanggal 15 Januari 2016.
4 Diakses melalui http://www.bawaslu.go.id/id/profil/
rencana-strategis-bawaslu, diakses pada tanggal 15 Januari 2016.
Stiftung, German Technical Cooperation Agency
(GTZ), Partner Ship dan lain-lain.
Kehadiran pemantauan Pemilu diatas mem- bawa pendapat pro dan kontra berbagai pihak. Pandangan yang pro antara lain: mengganggap kehadiran pemantauan independen ini akan me- ningkatkan tingkat kepercayaan terhadap jalan- nya proses pemilu. Salah satu dampaknya adalah tingkat kepercayaan pemilih tinggi dan angka golput rendah. Sementara itu, pihak yang kontra, berpandangan kehadiran pemantauan Pemilukada rawan menimbulkan konflik antara pendukung kandidat peserta pemilu bilamana hasil kecuran- gan di publikasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan Penelitian tentang “Pe-
mantauan dan Pengawasan Pilkada Melalui Peli-
batan Masyarakat dalam Perspektif HAM”.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana pola pelibatan masyarakat dalam melakukan pen- gawasan dan pemantauan Pilkada dalam perspe- ktif hak asasi manusia? serta hambatan-hambatan apa saja yang ditemukan dalam upaya penga- wasan dan pemantauan Pilkada?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui pola pelibatan masyarakatdalam melakukan pemantauan dan penga- wasan Pilkada dalam perspektif hak asasi ma- nusia.
2.
Mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam upaya pemantauan dan pengawasan Pilkada.Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi manfaat akademis dan praktis. Secara akademis,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur dalam memperkaya ilmu pengetahuan di hak asasi manusia di bidang politik. Secara prak- tis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Tersedianya rekomendasi tentang bentuk-bentuk pemantauan dan pengawasan dalam Pilkada yang telah dilakukan Pemerintah dan pelibatan masyarakat.
2.
Tersedianya alternatif solusi atas kendala yang dihadapi dalam upaya pemantauan dan penga- wasan Pilkada melalui pelibatan masyarakat.Peman-tauan Pilkada yang diakui oleh negara dan di- lakukan oleh lembaga yang dibentuk masyarakat merupakan salah satu cara membuktikan bahwa Pilkada yang dilakukan benar-benar demokratis. Adapun lokasi penelitian Provinsi Banten.
METODE PENELITIAN
yang didalamnya terdiri dari 326 desa/kelura- han. Sedangkan Kota Cilegon terbagi dalam 8 kecamatan yang didalamnya terdiri dari 43 desa/kelurahan dan Kabupaten Pendeglang terbagi dalam 35 kecamatan dan 335 desa/ke- lurahan.
Penelitian ini menggunakan metode kuali- tatif dengan pendekatan deskriptif analisis yang akan mengungkapkan secara sistematis berbagai temuan dalam penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam
(indepth interview), sedangkan pengumpulan data
sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber, sep- erti media massa, literatur, dan pemberitaan di in- ternet.5
Narasumber serta informan kunci (key in-
forman) dalam penelitian ini ditetapkan secara
purposive sampling. Informan dalam pedoman wawancara ini adalah kelompok pemantau pe- milu, KPUD, Bawaslu Daerah, Kesbang Litmas, Biro Hukum, Akademisi, Jurnalis lokal/Pers, Par- tai Politik, Bappeda, Masyarakat.
Analisis data dalam penelitian ini dilaku- kan secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif (pemaparan) dan preskriptif (men- cari tipe ideal). Analisis kualitatif deskriptif dan preskriptif digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa penelitian ini tidak hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan atau meng- gambarkan data sebagaimana adanya.
PEMBAHASAN
A.
Pola Bawaslu Dalam MelakukanPengawasan dan Pemantauan Pilkada
Di Provinsi Banten, terdapat empat kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada Serentak tahun 2015, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan. Empat daerah yang menyelenggarakan Pilkada ini memiliki kara- kteristik yang berbeda antara masing-masing daerah, baik dari aspek kesiapan penyeleng- garaan maupun aspek kerawanan pelangga- ran. Wilayah Kota Tangerang Selatan terbagi dalam 7 wilayah kecamatan dan 54 kelurahan, kabupaten Serang terbagi dalam 29 kecamatan
5 Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Tabel 1
Jumlah Pemilih Pilkada Serentak Kab. Serang Tahun 2015
Laki-laki 567.467 Pemilih
Perempuan 548.753 Pemilih
Jumlah Pemilih 1.116.220 Pemilih
Sumber: Data KPU Prov. Banten, 2016
Tabel 2
Tingkat Prosentase Partisipasi Masyarakat Pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun
2015
Jumlah Prosentase
Yang menggunakan Hak Pilih 562.210 50.37%
Yang tidak menggunakan Hak pilih
554.010 49.63%
Sumber: Data KPU Prov. Banten, 2016
Pengawasan penyelenggaraan tahapan pemilihan dilaksanakan sesuai tahapan yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 2 Ta- hun 2015 tentang Pengawasan Pemilu dan Su- rat Edaran Nomor 191 Bawaslu RI tahun 2015 yang meliputi:
1. Pemutakhiran Pengawasan
2. Pengawasan Tahapan Pencalonan
3. Pengawasan Tahapan kampanye
4. Pelaksanaan Pengawasan Non Tahapan Logistik
Dalam konteks pengawasan, tugas Ba- waslu yang mengendors masyarakat untuk ikut berpatisipasi dalam Pilkada, dan hal terse- but pada pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2015 di Provinsi Banten sudah terlihat baik. Hal ini ditandai dengan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak yang dilakukan di empat kabupaten/kota Banten berjalan dengan baik tanpa adanya unsur kampanye hitam ataupun
money politic. Bawaslu dalam melakukan pen-
adanya lembaga pemantau independen, meski- pun pemantau independen hanya melakukan pemantauan pada hari ‘H” atau hari pencob- losannya saja.6
Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya kecil, misalnya kesalahan di DPT, jumlah undangan dan jumlah yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) berbeda, tetapi tidak ditemukan adanya money politic.7
Selain itu juga, kinerja Bawaslu sudah baik, hal ini dikarenakan disetiap tahapan pelaksa- naan Pilkada, Bawaslu selalu melakukan kore- ksi terhadap penyelenggara Pilkada dan mem- berikan membantu penyelenggara agar supaya KPU tidak menyimpang jauh dalam melaku- kan kegiatan tahapan pilkada.
Secara umum, pengawasan Pilkada Serentak yang dilaksanakan di 4 (empat) Ka- bupaten/kota di Porvinsi Banten berjalan den- gan lancar dan kondusif pada setiap tahapan. Kendati demikian terdapat sejumlah masalah dalam persiapan dan pelaksanaan pengawasan. Seperti terlambatnya pembentukan panitia ad hoc di tingkat Kecamatan dan kelurahan/desa yang mengakibatkan terlewatnya pengawasan tahapan awal pilkada, seperti pemutakhiran data pemilih. Selain itu juga, masih kurangnya sosialisasi atas alat kerja pengawasan yang dikirimkan oleh Bawaslu RI membuat kurang efektifnya alat kerja, karena petugas pengawas kurang memahami teknis pengisian alat kerja.8 Menurut Suhaidi, mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak sudah relatif berjalan baik, ada beberapa hambatan terkait pelaksanaan Pilkada Serentak, misalnya ter- kait dengan keterbatasan anggaran yang dipu- nyai oleh penyelenggara, sehingga penyeleng- gara tidak leluasa untuk mempublikasikan para calon. Selain itu juga, lama waktu yang ditetapkan untuk kampanye para calon relatif lebih sedikit dibandingkan dengan rentan wak- tu sebelum adanya Pilkada serentak. Yang juga bisa menjadi hambatan adalah kompetensi ma- syarakat itu sendiri yang kurang memahami
dari peraturan-peraturan pemilu yang ada.9 Ketua KPU Kabupaten Serang juga me-nyatakan hambatan-hambatan dalam pelak- sanaan Pilkada, antara lain: pertama, ketida- ksiapan anggaran pemerintah daerah dalam pelaksanaan Pilkada serentak, kemudian, ked- ua, tahapan kampanye pada saat pemasangan alat peraga kampanye yang semuanya diserah- kan kepada peyelenggara (KPU) kurang ber- jalan efektif, seharusnya diserahkan ke calon sehingga KPU tinggal menyiapkan zona (tem- pat pemasangan alat peraga) saja. Ketiga, Veri- fikasi calon perseorangan atau calon indepen- den itu waktunya sangat sempit yaitu 3 (tiga) hari pelaksanaan verifikasi yang sebelumnya 14 hari.10 Berbeda dengan Bawaslu Provinsi Banten, bahwa hambatan hambatan yang di hadapi Bawaslu adalah seberapa besar kepedu- lian masyarakat untuk melaporkan jika ada pelanggaran dan seberapa banyak masyarakat yang menyampaikan laporan ke Bawaslu dan ternyata ranah ini biasanya masih cukup ren- dah rata-rata hanya 10 % dari seluruh dugaan pelanggaran yang ditangani oleh pengawas pe- milu.11
Pengalaman pada tahapan Pilkada terdahulu, sosialisasi yang mendorong partisipasi masyarakat untuk hadir pada saat pencoblosan lebih banyak dilakukan oleh Bawaslu dibandingkan dengan KPU karena KPU sibuk dengan urusan teknis seperti APK. Kita sering berkomunikasi agar alat peraga dari KPU itu diperbanyak, namun mereka tidak fokus kesitu. Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dengan tokoh masyarakat, tim pemenangan dan PEMDA terdapat permasalahan pada sosialisasi/ publikasi untuk menyampaikan kepada publik. Untuk itu dibutuhkan stakeholder/pihak ketiga dalam melakukan sosialisasi dibandingkan pihak penyelenggara atau pemerintah yang melakukan sosialisasi tersebut.12
6 Wawancara dengan Komisioner KPU Kabupaten Serang,
tanggal 8 Juni 2016
7 Wawancara dengan Sekretaris KPU Kabupaten Serang,
tanggal 9 Juni 2016
8 Bawaslu Provinsi Banten, “Potret Pilkada Serentak Tahun
2015, Catatan Hasil Pengawasan Pilkada di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, dan Kota
Tangerang Selatan”, Banten 2016, hal 91
9 Wawancara dengan Dosen IAIN Serang, tanggal 7 Juni 2016
10 ibid
11 Wawancara dengan Bawaslu Prov.Banten, tanggal 6 Juni
2016
B.
Pola Pelibatan Masyarakat dalam
Pengawasan
dan
Pemantauan
Pilkada
Dari dahulu, Undang-Undang Pilkada memang telah mengatur tentang pemantau independen karena itu merupakan bentuk partisipasi dari masyarakat dalam penyeleng- garaan Pemilu. Tata cara lembaga pemantau ini mendaftarkan ke KPU dan Mendapatkan akreditasi dari KPU, lalu kewajiban pada akhir masa tugas meraka itu mereka melaporkan hasilnya kepada KPU.
Dalam konteks efektivitasnya, keban- yakan dari lembaga pemantau ini hanya beker- ja pada hari ‘H’ atau pada hari Vooting, pada- hal tahapan pelaksanaan pilkada dilaksanakan Sembilan bulan sebelum hari ’H’dan dua (2) bulan setelah semua tahapan selesai. Sedang- kan lembaga pemantau yang ada bekerja pada saat hari ‘H’ saja dan hanya mengawasi apak- ah pemilih mengalami kesulitan dalam pelak- sanaannya di TPS, ketersediaan surat suara, bagaimana kinerja petugas di TPS. Sehingga keberadaan pemantau tidak terlalu signifikan, karena tren pelanggaran pemilu jaman seka- rang ini tidak lagi hanya terjadi pada saat hari
‘H’ saja, namun sebelum dan sesudahnya sejak DPT-nya, penyalahgunaan anggaran pada saat pilkada oleh pemerintah, mobilisasi pegawai negeri sipil (PNS), dan kemudian setelah taha- pan tersebut ada perubahan perolehan suara pada saat proses berjalan, sehingga titik–titik krusialnya pada sekarang ini bukan pada hari H lagi sementara keberadaan lembaga peman- tau itu hanya ada pada saat hari H, sehingga keberadaan lembaga pemantau tidak begitu efektif.
Hal tersebut juga diperjelas oleh Ketua KPU Provinsi Banten, kegiatan pemantauan yang dilakukan di Provinsi Banten berjalan kurang efektif dan pelaporan nya juga kepada penyelenggara Pilkada kurang terasa adanya kegiatan pemantauan. tetapi jika dilihat dari Undang-undang No.15 Tahun 2015 tentang Penyelenggara Pemilu dan kemudian Un- dang-undang No. 10 tahun 2015 tentang Pe- milu yang merupakan pedoman pelaksanaan
memantau proses Pilkada. Sehingga memang tidak semudah dapat dilaksanakan antara teori dan lapangan.13
Dalam konteks pemantauan, Pilkada Serentak yang dilakukan di Kota Cilegon. Ka- bupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang dapat dilihat bahwa tidak adanya pemantau independen dalam pelaksanaan Pilkada terse- but. Hal ini dikarenakan sesuai dengan karak- teristik di ketiga wilayah tersebut yang masih tradisional, selain itu hubungan emosional an- tara masyarakat dengan para calon sangatlah erat, sehingga sangat sulit untuk menemukan kelompok-kelompok masyarakat kritis yang independen yang turut serta dalam pemantau- an Pilkada.14
Hal ini berbeda pada pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Tangerang Selatan, pada pelaksanaan Pilkada terdapat organisasi pemantau di tingkat nasional yang melaku- kan pemantauan Pilkada, misalnya dari Perlu- dem. Tetapi dikarenakan kapasitas Perludem terbatas, maka Perludem hanya melakukan pemantauan di Kabupaten Tangerang Se- latan. Menurut salah satu dosen di Univer- sitas Tirtayasa Serang, Pilkada Tangerang Selatan adalah Pilkada yang dinamis, karena pelaksanaan Pilkada antara para calon sangat kompetitif, sedangkan di tiga lokasi lainnya masyarakat sudah dapat menebak siapa yang akan memenangkan Pilkada di daerahnya. Hal ini juga dikarenakan karakteristik pemilih di Kabupaten Tangerang Selatan lebih rasional, sehingga pragmentasi pemilih di Kabupaten Tangerang Selatan sangat kompleks.
Momentum atau urgensi menggunakan pemantau independen itu sudah lewat, karena sepanjang Indonesia melakukan Pilkada, ha- rus diakui bahwa kita cukup berhasil dalam kelembagaan pemilu, misalnya Indonesia su- dah mempunyai KPU yang mandiri, nasional dan independen. Kelembagaan pengawas yang semula ad hoc sekarang sudah permanen, bersifat nasional meskipun hanya baru selev- el provinsi. Dalam kompleksitas persoalan, meskipun menjadi sangat besar tetapi dengan semakin menguatnya kapasitas kelembagaan penyelenggara Pemilu, mereka jauh lebih pemantau, di dalam undang-undang tersebut
jelas berkeinginan agar masyarakat bisa dili- batkan dalam Pemilu atau Pilkada, bukan han- ya organ Bawaslu, tetapi juga masyarakat bisa
13 Wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Banten, tanggal 7
Juni 2016
14 Wawancara dengan dosen Universitas Tirtayasa Serang,
mampu untuk mengerjakan masalah, dan kon- flik-konflik yang muncul. Dengan demikian, praktis urgensi keberadaan pemantau akan se- makin menghilang.15
Pergeseran ini disebabkan karena ada perubahan di dalam organ pemantau indepen- den sendiri, misalnya JPPR lembaga pemantau yang fokus pada penggunaan dana kampanye, kalau komnas HAM lebih konsen pada akses disabilitas, soal hak pilih lalu ada kelompok mandiri misalnya Lembaga Mata Banten yang fokus pada masa kampanye, alat praga di luar ketentuan atau Lembaga Kawal yang lebih focus kepada saat perolehan suara pasca hari
‘H’.16
Sebuah penyelenggaraan yang relatif besar tidak cukup hanya dilakukan oleh orang- orang yang secara formal terbatas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah SDM Bawaslu yang sangat terbatas, serta daya jangkau wilayah yang sangat luas dan keterbatasan daya jang- kau penyelenggara sehingga sangatlah penting ada pemantau dari pihak diluar penyelenggara. Untuk itu perlu adanya mitra-mitra Bawaslu dalam mengevaluasi kegiatan pemilu.17
Ada 2 (dua) pemantau independen yang mandaftar sebagai pemantau Pilkada serentak tahun 2015 di Provinsi Banten. Setelah KPU verifikasi dan sertifikasi terhadap pemantau independen tersebut, ternyata hasil report pe- mantau tersebut tidak mengambil peranan sebagai pemantauan. Hal ini diakibatkan pe- mantau independen tersebut terkendala den- gan anggaran, karena memang terkait dengan anggaran pemantau independen memang tidak disiapkan oleh KPU.18 Menurut informan19, kondisi pemantau sekarang berbeda dengan kondisi pemantau pada saat pemilu 2004. Pada saat pemilu 2004, di Banten juga ada beberapa selain pemantau nasional, yaitu “Banten En-
powering Center”, yaitu pemantau lokal yang
secara “jor-joran” melakukan pemantauan pada saat pemilu 2004. Mengenai dana angga- ran pemantau, sesuai dengan ketentuan yang ada, bahwa dana untuk pemantau independen
15 Ibid, Dosen Universitas Tirtayasa Serang
16 Op cit, Wawancara dengan Bawaslu Provinsi
17 Wawancara dengan dosen di IAIN Serang, tanggal 7 Juni
2016.
18 Wawancara dengan Komisioner KPU Kab. Serang, tanggal
8 Juni 2016
19 ibid
hanya boleh didapatkan dari dana pribadi pe- mantau bukan dari afiliasi atau simpatisan dari dana calon tertentu.
Yang dimaksud dari partisipasi ma- syarakat dalam Pilkada adalah partisipasi yang betul-betul terdorong dari masyakarat itu sendiri. Penurunan partisipasi masyarakat pada saat Pilkada Serentak merupakan dampak dari peraturan KPU yang menetapkan persoa- lan dengan model kampanye yang tidak lagi diatur oleh calon tetapi KPU yang mengatur, sampai kepada jadwal kampanye dan termasuk publikasi. Menurut saya hal ini menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan masyarakat un- tuk kepentingan para calon, sedangkan pada saat sebelum adanya pilkada serentak, adanya rekayasa mobilisasi dari para calon sehingga masyarakat “dipaksa” untuk datang ke TPS- TPS.20
Menurut Bawaslu, Pilkada di Provinsi Banten sejak jauh-jauh hari sudah bekerjasama komunitas di tingkat bawah (basis kecamatan). Dan pada saat ini Bawaslu kerjasama dengan kelompok-kelompok pemuda, seperti karang taruna. Pada awalnya kelompok tersebut dido- rong untuk melakukan pengawasan partisipa- tif, yang kemudian program pengawasan par- tisipatif tersebut merupakan bentuk kegiatan penggalangan dari masyarakat.21 Pada tahun 2015, Bawaslu kedatangan mahasiswa asal Banten yang kuliah di luar Banten seperti UI, UGM dll, yang kemudian mereka membentuk komunitas dan mengkordinasikan kegiatan- kegiatan untuk mengawal Pilkada di Banten ini dengan cara menghimpun mahasiswa-ma- hasiswa di Banten dan mereka sifatnya tidak masiv.
Selain itu juga, menurut Suhaidi adanya faktor figur para calon yang seakan-akan ti- dak ada pilihan/alternatif lain sebagai calon. Sehingga tidak ada ketertarikan masyarakat terhadap para calon pengusung. Meskipun demikian, pada saat pelaksanaan tahapan- tahapan pelaksanaan Pilkada sudah berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan KPU sebagai penyelenggara Pilkada dengan menggunakan sarana komunikasi radio. Hal ini tergolong relatif efektif dikarenakan daerah-daerah yang sulit terjangkau.
20 Opcit, Dosen IAIN Serang
Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, dapat dilihat bahwa tingkat angka parti- sipasi masyarakat di Kabupaten Serang menu- run, hal ini dikarenakan masyarakat sudah san- gat jenuh dan hilangnya kepercayaan pemilih akan figur para calon. Masyarakat menggan- gap siapapun yang jadi tetapi tidak membawa perubahan yang lebih baik. Selain itu juga, masyarakat sudah sering melaksanakan pesta demokrasi apalagi ada di beberapa kecamatan ada penduduk yang berprofesi di Jakarta, se- hingga lebih mementingkan pekerjaan dari pada melaksanakan pemilihan.22 Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan Ketua KPU Ka- bupaten Serang bahwa menurunnya partisipasi dari masyarakat karena salah satunya masyara- kat sudah jenuh dengan Pilkada dan calon dari para kandidat, khususnya Kabupaten Serang yang calonnya hanya ada dua pasang calon bahkan isu yang berhembus ada calon boneka, namun pada intinya kegiatan yang diusung para calon kurang semarak dan para tim sukses calon terlihat kurang memaksimalkan kegiatan kampanye yang telah disediakan penyelengga- ra.23
Dalam kaitannya partisipasi masyara- kat, KPU berperan penting untuk mensosia- lisasikan kepada masyarakat agar masyara- kat berpartisipasi dalam Pilkada. Sosialisasi dilakukan oleh KPU sesuai dengan program KPU dan infrastruktur yang ada pada KPU, misalnya media center dan rumah pemilu. Hal inilah bentuk partisipasi KPU untuk mening- katkan minat masyarakat dalam pastisipasi di Pilkada. Bentuk yang diharapkan oleh KPU dalam partisipasi masyarakat adalah dalam bentuk pengawasan Pilkada ataupun minimal masyarakat dapat datang ke TPS. Dalam artian, jika masyarakat tahu akan Pilkada dan datang pada saat pemilihan ke TPS, maka menurut be- liau, “sudah gugur kewajiban KPU”.24
Partisipasi Pilkada serentak di Banten dengan rata-rata 55% pemilih, dikarenakan publikasi Pilkada serentak yang kurang massif.
Selain itu, hal ini dikarenakan adanya regulasi bahwa untuk publikasi pelaksanaan pilkada diserahkan sepenuhnya kepada KPU. Untuk itu pelaksanaan kampanye melalui alat peraga
22 Op cit. Wawancara dengan sekretaris KPU Kab. Serang.
23 Wawancara dengan Ketua KPU Prov. Banten, tanggal 7 Juni
2016
24 Op Cit, Komisioner KPU.
yang dilakukan di Banten “nyaris” para calon tidak melakukan penggelaran atribut calon, hal ini yang kemudian menyulitkan KPU dalam pelaksanaan kampanye.
Setelah dilaksanakan Pilkada serentak di empat lokasi Banten, kemudian timbullah revisi regulasi yang menyatakaan bahwa peng- gunaan atribut kampanye diserahkan kembali kepada pihak calon. Menurut beliau, kondisi yang demikian dikarenakan bahwa ketidak- siapan KPU dalam menyikapi regulasi pelak- sanaan Pilkada, sedangkan untuk memban- gun demokrasi dan pembelajaran politik bagi masyarakat seharusnya memang segala yang terkait dengan pelaksanaan pilkada diserahkan kepada KPU, hal ini juga menghindari perbe- daan yang signifikan dalam kekuatan kompo- nen atribut antar calon. Dengan terciptanya hal tersebut maka yang akan menonjol bukanlah material Pilkada tetapi lebih kepada substansi/ ide-ide para calon dalam mempromosikan ide- ide atau gagasan.
Dalam konteks pelaksanaan Pilkada 2015, kondisi partisipasi dengan jumlah rata- rata 55% tersebut merupakan partisipasi yang konkrit dari masyarakat yang tidak termobil- isasi dari adanya praktek money politic. Dan itu merupakan kesuksesan KPU dalam melak- sanakan penyelenggaraan Pilkada.
Dalam konteks partai, PDIP Perjuangan Pada prinsipnya selalu melibatkan masyarakat umum untuk memenangkan baik Pilkada kare- na kalau struktur partai sendiri yang dilibatkan- tidak akan maksimal. Misalnya, struktur partai di provinsi Banten hanya beberapa orang, kab/ kota ranting/anak ranting paling sekitar 20.000 orang (dalam struktur partai), tetapi kalau dalam pelibatan masyarakat katakanlah 1 RT melibatkan 50 orang dikali beberapa RT yang ada di Provinsi Banten kita selalu melibatkan masyarakat akan meringankan pekerjaan par- tai dan lebih efisien lagi sampai tingkat TPS. Sehingga penyelenggaraan pemantauan setiap pilkada dalam pelibatan masyarakat sangat diperlukan didalam penyelenggaraan Pilkada setiap desa.25
Menurut Suhaidi, mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak sudah relatif berjalan baik, ada beberapa hambatan terkait pelaksanaan Pilkada Serentak, misalnya
kait dengan keterbatasan anggaran yang dipu- nyai oleh penyelenggara, sehingga penyeleng- gara tidak leluasa untuk mempublikasikan para calon. Selain itu juga, lama waktu yang ditetapkan untuk kampanye para calon rela- tif lebih sedikit dibandingkan dengan rentan waktu sebelum adanya Pilkada serentak. Yang juga bisa menjadi hambatan adalah kopetensi masyarakat itu sendiri yang kurang memahami dari peraturan-peraturan pemilu yang ada.26
Ketua KPU Kabupaten Serang juga me- nyatakan hambatan-hambatan dalam pelak- sanaan Pilkada, antara lain: pertama, kedida- ksiapan anggaran pemerintah daerah dalam pelaksanaan Pilkada serentak, kemudian, kedua tahapan kampanye pada saat pemasan- gan alat peraga kampanye yang semuanya dis- erahkan kepada peyelenggara (KPU) kurang berjalan efektif, seharusnya diserahkan ke calon sehingga KPU tinggal menyiapkan zona (tempat pemasangan alat peraga) saja. Ketiga, Verifikasi calon perseorangan atau calon in- divenden itu waktu nya sangat sempit yaitu 3 hari pelaksanaan verifikasi yang sebelumnya 14 hari. 27 Berbeda dengan Bawaslu Provinsi Banten, bahwa hambatan hambatan yang di hadapi bawaslu adalah seberapa besar kepedu- lian masyarakat untuk melaporkan jika ada pelanggaran dan seberapa banyak masyarakat yang menyampaikan laporan ke Bawaslu dan ternyata ranah ini biasanya masih cukup ren- dah rata-rata hanya 10 % dari seluruh dugaan pelanggaran yang di tangani oleh pengawas pemilu.28
Pengalaman di Pilkada terdahulu, sos- ialisasi yang mendorong partisipasi masyara- kat untuk hadir pada saat pencoblosan lebih banyak dilakukan oleh Bawaslu dibandingkan dengan KPU karena KPU sibuk dengan urusan teknis seperti APK. Kita sering berkomunikasi agar alat peraga dari KPU itu diperbanyak, namun mereka tidak fokus kesitu. Dalam ke- giatan monitoring dan evaluasi dengan tokoh masyarakat, tim pemenangan dan PEMDA ter- dapat permasalahan pada sosialisasi/publikasi untuk menyampaikan kepada public. Untuk
26
Wawancara dengan Dosen IAIN Serang, tanggal 7 Juni2016
27
Wawancara dengan Ketua KPU Prov. Banten, tanggal 7Juni 2016
28
Wawancara dengan Bawaslu Prov.Banten, tanggal 6 Juni2016
itu dibutuhkan stake holder/pihak ketiga dalam melakukan sosialisasi dibandingkan pihak pe- nyelenggara atau pemerintah yang melakukan sosialisasi tersebut.29
Pilkada adalah sarana pelaksanaan ke- daulatan rakyat yang dilaksanakan secara lang- sung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 22E Ayat (5) mengatur dan menetapkan ”Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemili- han umum yang bersifat nasional, tetap, dan man-
diri”. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi
tuntutan perkembangan kehidupan politik, din- amika masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan ber- bangsa dan bernegara. Melalui Pilkada, pemer- intahan sebelumnya yang tidak memihak rakyat bisa diganti. Demokrasi menghendaki, kekuasaan tidak dipegang oleh segelintir orang, tetapi oleh kita semua dengan melakukan pengecekan ulang dan perbaikan-perbaikan secara bertahap. Salah satu upaya yang dilakukan agar supaya pelak- sanaan Pilkada dapat berjalan dengan jujur dan adil adalah dengan melakukan pengawasan dan pemantauan baik dari proses awal hingga sampai proses akhir pelaksanaan Pilkada. Kedua upaya tersebut mempunyai fungsi yang sama dalam upaya mengawal penyelenggaraan Pilkada.
Dari data lapangan diatas, maka dapat dia- nalisis menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
A. Pola Bawaslu Dalam Melakukan
Pengawasan dan Pemantauan Pilkada
Di dalam Pasal 1 UU RI Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Ta- hun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bu- pati, Dan Walikota menjadi Undang-Undang, jelas dinyatakan bahwa yang mempunyai we- wenang untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu telah diberikan mandat undang-undang untuk men- jalankan fungsi pengawasan. Bawaslu juga telah dibekali struktur kelembagaan yang kuat, bahkan hingga tingkat paling bawah. Begitu juga dengan anggaran pengawasan,
kan negara untuk mengontrol secara berkala sampai proses pelaksanaan pilkada itu selesai. Artinya, beban kontrol terhadap penyelengga- raan pemilu lebih besar diberikan kepada Ba- waslu/Panwas. Dalam menjalankan fungsinya, Bawaslu bukan saja hanya sebatas pengawas pada setiap tahapan-tahapan baik pemilu mau- pun pilkada, namun juga dapat berfungsi seb- agai pencegahan, penindakan dan dapat pula memberikan rekomendasi-rekomendasi terha- dap hasil pengawasan itu sendiri kepada ber- bagai pihak seperti KPU atau Dewan Kehor- matan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dari data lapangan di Provinsi banten
dapat dilihat bahwa ada beberapa kendala ataupun hambatan Bawaslu dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pilkada, antara lain:
1. Bawaslu dalam menjalankan tugasnya
memiliki keterbatasan. Hal ini
dikarenakan jumlah anggota yang masih sedikit, Bawaslu hanya mempunyai lima orang di tingkat pusat dan tiga orang di tingkat provinsi dengan masa tugas selama lima tahun, sedangkan panitia Pengawas Pemilu kabupaten/ kota beranggotakan tiga orang bersifat
ad hoc, serta beberapa orang di
tingkat kecamatan dan lapangan yang
jumlahnya sangat terbatas. Dengan
personil yang terbatas Bawaslu ataupun Panwas memiliki keterbatasan untuk melakukan pengawasan di suatu wilayah yang memiliki penduduk mulai dari ratusan ribu jiwa;
2. Pada saat pelaksanaan Pilkada
Serentak Tahun 2015, masih adanya keterlambatan perekrutan pengawas, terutama di tingkat kabupaten/kota;
3. Masih kurangnya kewenangan Bawaslu
dalam penanganan pelanggaran
pilkada yang masuk dalam ranah pidana. Sehingga dalam penanganan
pelanggaran dalam ranah pidana
seringkali kadaluarsa sehingga tidak dapat ditindaklanjuti;
4. Masih kurangnya pelibatan masyarakat,
khususnya didalam pengawasan dan pemantauan pelaksanaan pilkada. Hal ini juga dikarenakan kurangnya
sarana dan prasarana yang dibuat
penyelenggara dalam kaitannya
pengaduan terhadap pelanggaran Pilkada yang cepat dan sederhana. Hal ini berkaitan dengan suatu mekanisme yang mempermudah pelaporan masyarakat terhadap pelanggaran- pelanggaran yang terjadi..
Dari permasalahan-permasalahan Ba- waslu dalam menjalankan fungsinya, salah satu program yang dilakukan Bawaslu dalam pengawasan adalah melakukan koordinasi dengan simpul-simpul di kabupaten, yang ke- mudian simpul-simpul tersebut berkoordinasi dengan para relawan yang ada di kabupaten. Dengan adanya relawan tersebut, Bawaslu mendapat informasi dan foto-foto terkait den- gan pelanggaran yang terjadi pada saat proses Pilkada. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan sebagaimana tersebut di atas, tentunya perlu pemantapan pengelolaan kegiatan ker- jasama pengawasan dengan organisasi ma- syarakat dan perguruan tinggi serta dengan melakukan sosialisasi terkait pengawasan pe- milu bagi media massa dan ormas di masing- masing provinsi guna untuk meningkatkan Pengawasan Partisipatif. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengawasan parsipasif yang dilakukan Bawaslu dapat menjadi modal sosial yang baik untuk bersama-sama menga- wasi jalannya penyelenggaraan pilkada.
Dalam upaya mendorong partisipasi ma- syarakat agar turut andil didalam pengawasan dan pemantauan pilkada, Bawaslu Provinsi perlu mensosialisasikan dan mengajak keikut- sertaan masyarakat untuk mengetahui proses seleksi, mendaftarkan diri menjadi calon Pan- waslu Kabupaten, dan juga memberikan andil tanggapan tertulis terhadap figur calon ang- gota panwaslu kabupaten. Kewenangan Ba- waslu Provinsi ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (2)Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wa- likota menjadi undang-undang.
pe-nyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemili- han; (d) pembentukan PPK, PPS, dan KPPS; (e) pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; (f) pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; (g) penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan (h) pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih.
Dalam tahap persiapan ini, Bawaslu Provinsi seyogyanya merencanakan program dan anggaran terutama program untuk pen- didikan politik, sosialisasi dan mengajak ma- syarakat agar peduli untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pilkada.
Bawaslu RI (dalam konteks nasional) mempunyai program di bidang pengawasan yaitu Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pe- milu (GSRPP). Perlu diketahui bahwa pro- gram GSRPP ini hanya dibentuk oleh Bawaslu RI pada saat Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi temuan dilapangan, se- bagian daerah seperti Panwas Kabupaten Te- manggung Provinsi Jawa Tengah masih meng- gunakan nama program sejuta relawan. Dalam konteks pengawasan Pilkada, pihak Bawaslu RI (tingkat nasional) menyerahkan sepenuh- nya kepada Panwas di tingkat daerah, untuk membentuk ‘pengawas partisipatif yang lain’. Dengan artian bahwa untuk pemilihan calon gubernur diserahkan kepada Bawaslu Provinsi (tingkat provinsi), sedangkan pemilihan un- tuk calon bupati/walikota diserahkan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota (tingkat kabupaten/ kota).
Adanya pengawas partisipatif ini adalah untuk mengawal agar penyelenggaraan Pilka- da sesuai dengan asas pemilihan umum. Salah satu program Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah mengajak masyarakat menjadi pengawas partisipatif yang disesuai- kan dengan anggaran masing-masing daerah. Namun, baik Bawaslu Provinsi maupun Pan- waslu Kabupaten/Kota sifatnya hanya mem- fasilitasi dan tidak ada anggaran khusus untuk pengawas partisipatif ini. Artinya, masyarakat yang ikut sebagai pengawas partisipatif sifat- nya sukarela dan kinerjanya tidak dibiayai.
Menurut Ferizal30, Kepala Bagian
Analisis Pengawasan dan Potensi Pelang- garan Bawaslu RI bahwa masyarakat sebagai pengawas partisipatif bersifat independen dan obyektif, sehingga tidak ada anggaran khusus untuk mendanai kegiatan pengawasan partisi- patif sesuai dengan prinsip kesukarelaan. Jika kegiatan tersebut didanai oleh negara maka pengawas partisipatif bisa dijadikan alat untuk kepentingan dari ‘oknum’ dalam menyukses- kan pasangan calon yang dipilih. Intinya, prin- sip sukarela ini untuk menjadikan demokrasi berjalan baik, karena di pihak negara sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) penyeleng- garaan dan pengawasan pemilu vis a vis (se- bagai lawan, berhadapan) dengan masyarakat sebagai pemegang hak (rights holder) untuk mengkritisi dan menuntut agar pilkada sesuai dengan asas pemilu yang baik.
B. Pola Pelibatan Masyarakat dalam Pengawasan dan Pemantauan Pilkada
Dalam praktiknya, keterlibatan ma- syarakat dalam mengawasi pemilu seringkali disebut kegiatan pemantauan. Hal ini untuk membedakan dengan fungsi pengawasan resmi yang menjadi dominan lembaga penga- was pemilu bentukan negara, yaitu Bawaslu. Hubungan antara pengawas dengan pemantau pemilu memang selalu terjadi karena aktivita- snya mempunyai semangat yang sama, yaitu untuk mengawasi proses pemilu.31Hal tersebut seiring dengan pendapat Topo Santoso dan Didi Suprianto, yang menjelaskan bahwa pen- gawas dan pemantau sama-sama mengemban misi terselenggaranya pemilu jujur dan adil. Perbedaannya, pengawas pemilu mempunyai tugas dan wewenang yang lebih luas untuk menyelesaikan pelanggaran pemilu dan sen- gketa pemilu, sedangkan pemantau pemilu bekerja sebatas memantau penyelenggaraan- nya saja. Jadi pemantauan merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang harus dilaporkan dan diteruskan kepada pengawas pemilu agat dapat ditindaklanjuti.
Pemantauan pemilu oleh kelompok in- dependen dan diluar Bawaslu juga diatur oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Pasal 233 ayat (1) yaitu: Pelaksanaan Pemilu dapat
di-30 Wawancara dengan Ferizal, Kepala Bagian Analisis
Pengawasan dan Potensi Pelanggaran Bawaslu RI, tanggal 15 Agustus 2016
31 Gunawan suswantoro, “pengawasan Pemilu Partisipatif,
Gerakan Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi Indonesia”,
pantau oleh pemantau Pemilu. Dan juga ayat (2), Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri; b. badan hukum dalam negeri; c. lembaga pe- mantau pemilihan dari luar negeri; d. lembaga pemilihan luar negeri; dan e. perwakilan neg- ara sahabat di Indonesia. Menurut data KPU, terdapat 19 (sembilan belas) lembaga peman- tau tingkat nasional yang telah mendapatkan akreditasi dari KPU sebagai lembaga peman- tau. Namun, jumlah tersebut hanya lembaga yang terdaftar resmi di KPU pusat, masih ada lembaga-lembaga lainnya yang berperan serta sebagai pemantau pemilu yang ada di daerah- daerah berskala provinsi atau Kabupaten/Kota. Dalam prakteknya, masih banyak lembaga pe- mantau lain yang tidak terdaftar atau hanya terdaftar ditingkat provinsi atau Kabupaten/ Kota.
Pemerintah sendiri tidak membatasi ke- pada siapapun atau lembaga manapun yang in- gin berpartisipasi dalam pengawasan pemilu. Penggalangan kerjasama kepada organisasi masyarakat terus diupayakan oleh Bawaslu, khususnya organisasi yang mempunyai basis massa. Lembaga pemantau yang terdaftar be- rasal dari proses seleksi yang dilakukan oleh KPU dengan persyaratan tertentu, yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum no- mor 10 tahun 2012. Oleh karena itu, mereka mempunyai hak, kewajiban serta sanksi yang harus dipenuhi.
Di dalam Pasal 131 ayat (1) Undang- undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pe- rubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bu- pati dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau yang sering disebut UU Pilkada disebut- kan bahwa (1) untuk mendukung penyeleng- garaan pemilihan dapat melibatkan partisipasi masyarakat. Pasal ini merupakan dasar hukum masyarakat untuk turut serta aktif dalam pe- milihan termasuk dalam pengawasan. Hal tersebut dikuatkan didalam ayat (2) dalam pasal ini, yang menyebutkan bahwa: “Partisi- pasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk penga- wasan. Pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jejak pendapat tentang pemilihan, dan
perhitungan cepat hasil pemilihan”. Dari pasal ini jelaslah bahwa pemerintah membuka kes- empatan kepada masyarakat untuk berperan serta aktif didalam pengawasan pilkada.
Melihat lokus pelanggaran baik pemilu maupun pilkada yang massif dan meluas, maka pengawasan yang paling efektif dan massif hanya dapat dilakukan oleh masyarakat. Han- ya masyarakat yang mampu melakukan pen- gawasan secara merata dan menutup semua celah kesempatan terjadinya kecurangan dan manipulasi. Atas dasar itulah, Bawaslu dalam konteks negara melakukan pengawasan, dibu- tuhkan usaha keras bersama untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam pilkada dan bukan menjadi objek pilkada semata. Sebagai subjek atau aktor dalam pilkada, masyarakat dapat berperan dengan cara menggerakkan, mensosialisasikan, dan mendidik masyarakat lainnya yang mempunyai hak pilih.
Menurut Gunawan Suswantoro, dalam bukunya yang berjudul “pengawasan Pemilu Partisipatif, Gerakan Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi Indonesia, tujuan dari partisipasi masyarakat dalam pemilu adalah : pertama,
untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, sehingga hasilnya dapat diterima dengan baik dan dihormati semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, terutama sebagian warga yang mempunyai hak pilih; kedua, untuk men- hindari kecurangan, manipulasi, permainan serta rekayasayang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentudan merugikan kepentin- gan rakyat banyak; ketiga, untuk menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik dari warga negara.32
Kaitannya dengan hak asasi manusia, partisipasi masyarakat sudah diatur didalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM - Uni- versal Declaration of Human Rights), Pasal 21 butir pertama disebutkan “Everyone has
the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen rep-
resentatives”. Pernyataan tersebut memiliki
makna bahwa setiap orang pada prinsipnya memiliki hak untuk mengambil bagian dalam suatu pemerintahan, baik secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Makna frasa “everyone” terikat dengan frasa
“his country”, yang diartikan sebagai nega- ranya. Sehingga butir pertama tersebut tidak dapat dimaknai sebagai hak setiap orang, melainkan harus diartikan sebagai hak setiap orang dalam suatu negara tertentu, dimana ia adalah warganegara negara tersebut. Selan- jutnya, makna “…directly or through freely
chosen representatives”, menunjukkan suatu
cara keikutsertaan warganegara tersebut. Yang dapat dilakukan berupa hak individu atau prib- adinya untuk langsung berada dalam tubuh suatu pemerintahan atau menduduki posisi ter- tentu dalam pemerintahan (dalam arti hak un- tuk duduk dalam suatu jabatan pemerintahan), atau dapat secara bebas memilih orang lain untuk duduk dalam suatu posisi atau jabatan tertentu di pemerintahan.
Sehingga Pasal 21 butir (1) tersebut dapat diterjemahkan secara bebas yang artinya bahwa, setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilihnya den- gan bebas. Butir kedua yaitu “Everyone has
the right of equal access to public service in
his country”, menunjukkan adanya hak yang
sama terhadap akses pelayanan publik di nega- ranya sebagai seorang warga negara. Yang me- narik dari butir ini adalah terminologi “public
service,” yang dapat diartikan baik sebagai hak
terhadap akses yang sama dengan orang lain untuk mendapatkan pelayanan publik, mau- pun hak untuk menjadi salah seorang pelayan publik (apapun jenis jabatan pemerintah dalam rangka melayani masyarakat). Makna dari bu- tir ini menunjukkan penekanan pada tugas dan tanggung jawab pemerintah yaitu melayani se- luruh warga negara maupun masyarakat dalam yurisdiksinya. Butir ketiga yaitu, “The will of
the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in pe- riodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting pro-
cedures”, yang artinya bahwa kehendak dari
rakyat seharusnya menjadi dasar kekuasaan pemerintahan, yang dinyatakan dari suatu pe- milihan yang benar dan berkala, yaitu dengan suatu hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suarasecara ra- hasia atau dengan prosedur pemilihan bebas yang setara. Artinya adalah suatu keberadaan pemerintahan yang terbentuk melalui suatu
pe-milihan dalam periode tertentu secara umum dan rahasia, atau dengan cara lain yang memi- liki sifat-sifat yang sama dengan cara tersebut. Hanya keberadaan pemerintahan yang melalui cara-cara pemilihan di atas tersebutlah, yang baru bisa dianggap memiliki legitimasi dari rakyat.
Selain itu juga, Indonesia memiliki pengaturan mengenai Hak Turut Serta Dalam Pemerintah sebagai bagian dari HAM, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Ten- tang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 dan 44. Dalam Pasal 43 Ayat (1) menyebutkan bahwa, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut memiliki makna bahwa hak setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum. Pe- milihan umum yang dimaksud dalam ayat ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pemili- han umum, sehingga makna hak dalam pe- milihan umum adalah hak yang diatur dalam peraturan pemilihan umum di Indonesia. Pengertian bahwa setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan secara lang- sung atau dengan perantaraan wakil yang dipi- lihnya dengan bebas, menurut cara yang diten- tukan dalam peraturan perundang-undangan, memiliki makna untuk dipilih dan memilih dalam arti untuk melibatkan dirinya dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan, terma- suk juga pemilihan yang bukan merupakan pemilihan umum.
KESIMPULAN
Dalam capaian-capaian Bawaslu mengenai program pengawasan partisipatif ini secara kuali- tatif, antara lain, yaitu sosialisasi penyelengga- raan pilkada kepada pemilih pemula menyangkut tugas dan fungsi bawaslu sebagai badan penga- was pilkada dan mengajak untuk menjadi pen- gawas partisipatif, keberhasilan dalam mempelo- pori sistem pelibatan masyarakat yang terstruktur, memunculkan inisiatif-inisiatif masyarakat un- tuk melahirkan pengawasan secara mandiri, dan membangun kerjasama, baik kerjasama dengan akademisi, media massa, lembaga swadaya ma- syarakat, dan organisasi kemasyarakatan maupun yang sifatnya terstruktur antara lembaga negara dengan tujuan untuk menciptakan pilkada yang berkualitas dan demokratis.
Dalam struktur lembaga Bawaslu, pola pel- ibatan masyarakat untuk melakukan pengawasan dan pemantauan sudah sesuai dengan perspektif HAM terutama menyangkut prinsip partisipasi dan pelibatan masyarakat, yaitu pembentukan, baik mulai Panwas Kabupaten/Kota yang sifat-
nya ad hoc, Panwas Kecamatan, sampai petugas
pemilu pilkada (PPL) adalah semua berasal dari unsur anggota masyarakat. Mengenai pola peli- batan masyarakat di luar struktur Bawaslu, pihak Bawaslu menyerahkan kepada kesukarelaan ma- syarakat untuk menjadi pengawas dan pemantau partisipatif, artinya Bawaslu berpedoman pada prinsip kesukarelaan, yang mana Bawaslu seb- agai struktur pemerintah di bidang pemilu tidak membiayai pengawasan dan pemantauan yang dilakukan masyarakat. Hal ini untuk menjaga in- denpendensi lembaga Bawaslu.
Hambatan pengawasan dan pemantauan pilkada yang dialami Bawaslu, yaitu, pertama,
daya jangkau pengawas pemilu (Bawaslu dan ja- jaran dibawahnya) tidak sebanding (jumlahnya) dengan luas wilayah yang diawasi. Kedua, jum- lah personil pengawas pemilu tidak sebanding dengan jumlah dan modus pelanggaran yang se- makin berkembang. Ketiga, tenggang waktu pe- nyelesaian pelanggaran (terutama pidana) yang sedemikian singkat, sehingga dibutuhkan ban- yak informasi dari masyarakat untuk menunjang penyelesaian pelanggaran tersebut. Keempat,
kurangnya anggaran Bawaslu membuat program dalam rangka untuk menjaring atau meningkatkan jumlah pengawas partisipatif, karena anggaran dibebankan kepada provinsi dan kabupaten/kota tempat pilkada diselenggarakan. Kelima, untuk memastikan hak-hak politik warga negara dapat
terpenuhi.
Dalam hal hambatan yang dialami ma- syarakat adalah, pertama kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjadi pengawas partisipatif;
kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang ren-
dah; ketiga, rata-rata penghasilan masyarakat ter- golong rendah, sehingga untuk menjadi pengawas partisipatif yang tanpa dibiayai oleh pemerintah, maka masyarakat lebih mementingkan bekerja mencari nafkah; keempat, banyak pelanggaran pilkada yang disampaikan masyarakat ke ba- waslu, sifatnya masih laporan belum pada tataran temuan.
Pelibatan masyarakat dalam memantau Pilkada sangat penting. Hal ini terlihat dengan adanya kontrol langsung dari masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada, karena: Pertama, daya jangkau pengawas pemilu (Bawaslu dan jaja- ran dibawahnya) tidak sebanding (jumlahnya) dengan luas wilayah yang diawasi. Kedua, jum- lah personil pengawas pemilu tidak sebanding dengan jumlah dan modus pelanggaran yang se- makin berkembang. Ketiga, tenggang waktu pe- nyelesaian pelanggaran (terutama pidana) yang sedemikian singkat, sehingga dibutuhkan banyak informasi dari masyarakat untuk menunjang pe- nyelesaian pelanggaran tersebut. Keempat, untuk memastikan hak-hak politik warga negara dapat terpenuhi.
SARAN
Bawaslu Provinsi diharapkan membuat program pendidikan politik bagi masyarakat, terutama mendorong masyarakat menjadi pengawas partisipatif agar Pilkada Serentak berjalan obyektif dan meminimalkan terjadinya pelanggaran Pilkada;
Penguatan sistem pelayanan Bawaslu, terutama sistem pelaporan pelanggaran Pilkada yang memudahkan masyarakat untuk melaporkan pelanggaran. Misalnya untuk masyarakat perkotaan bisa mengoptimalkan sarana teknologi informasi berupa aplikasi online berbasis website
dan smartphone (android, iOS, maupun windows)
Perlu diberikan bimbingan teknis dan pelatihan bagi Panwas Kabupten/Kota dan Panwascam mengenai pengawasan Pilkada dalam rangka peningkatan SDM pengawasan Pilkada dari proses Pra-Pilkada, pelaksanaan Pilkada, dan sampai Pasca-Pilkada;
Bawaslu Provinsi perlu melakukan kerjasama (MoU) kepada stakeholder terkait, baik di provinsi maupun kabupaten yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap isu-isu ke-pilkada-an dalam rangka pengawasan partisipatif (mis: Kerjasama dengan lembaga perguruan tinggi, LSM );
Buku:
DAFTAR PUSTAKA
Nomor 101 , Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5246)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Bawaslu Provinsi Banten, “Potret Pilkada Serentak Tahun 2015, Catatan Hasil Pengawasan Pilkada di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan”, Banten : 2016,
Ditjen Perlindungan HAM dan Sentra HAM UI, Modul Instrumen HAM Nasioanl “Hak Turut serta Dalam Pemerintahan”, Jakarta : 2004.
Porbopranoto, Koentjoro, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Jakarta : Eresco, 1978.
Suswantoro, Gunawan, “pengawasan Pemilu Partisipatif, Gerakan Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi Indonesia”.Jakarta:Erlangga, 2015
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-UndangDasarNegara RepublikIndonesia
Tahun 1945 Hasil Amandemen
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik (International Covenan
on Civil and Political Rights) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang- undang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
Sumber Lain
Denty Eka Widi Pratiwi, Menengakkan Demokrasi: Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada, Kompasiana. com tanggal 12 Januari 2016
Tingkat partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya di pilkada serentak 2015 tergolong rendah Lihat http://www.koran- sindo.com/news.php?r=0
http://bawaslu-baliprov.go.id/index.php/profi /8/ Sejarah-Pengawas-Pilkada),
http://www.bawaslu.go.id/id/profil/rencana - strategis-bawaslu
http://www.bawaslu.go.id/id/profil/rencana - strategis-bawaslu
Wawancara dengan Ketua KPU Provinsi Banten,
Wawancara dengan Komisioner KPU Kab.Serang
Wawancara dengan Sekretaris KPU Kab. Serang
Wawancara dengan Bawaslu Prov.Banten,
Wawancara dengan Dosen Univ.Tirtayasa Serang
Wawancara dengan Dosen IAIN Serang,