• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1.2. Pengertian Hasil belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Model Problem Based Learning Berbantuan Peta Harta Karun untuk Meningkatkan Daya Kreativitas dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV SD R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1.1.2. Pengertian Hasil belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Model Problem Based Learning Berbantuan Peta Harta Karun untuk Meningkatkan Daya Kreativitas dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV SD R"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Belajar dan Hasil Belajar

2.1.1.1. Pengertian Belajar

R. Gagne dalam Ahmad Susanto (2013: 1) mengatakan bahwa belajar

dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah

perilakunya sebagai akibat pengalaman.

W.S. Winkel dalam Ahmand Susanto (2013: 4) belajar adalah suatu

aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan

pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan-perubahan itu bersifat

secara relative konstan dan berbekas.

Burton dalam Ahmad Susanto (2013: 3) belajar dapat diartikan sebagai

perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara

individu dengan individu lain dan individu dengan lingkungannya sehingga

mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkain kegiatan

jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari

pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang

menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.

2.1.1.2. Pengertian Hasil belajar

Secara sederhana hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh

siswa setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan

suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk

(2)

Menurut Ahmad Susanto (2013: 5) hasil belajar, yaitu perubahan-perubahan

yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif

dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.

Nawawi dalam Ahmad Susanto (2013: 5) menyatakan bahwa hasil

belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari

materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan melalui kegiatan belajar.

Jadi hasil belajar adalah perubahan-perubahan, keberhasilan, kemampuan

yang diperoleh melalui kegiatan belajar dalam aspek kognitif, afektif dan

psikomotor.

2.1.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Belajar adalah serangkain kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam

interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan

psikomotor. Menurut Djamarah (2011: 175-190) di dalam proses belajar

mengajar berpengaruh sejumlah faktor, yaitu:

1. Faktor lingkungan

a) Lingkungan alami

Lingkungan hidup adalah lingkungan tempat tinggal anak didik, hidup dan

berusaha didalamnya. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik

hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap.

Kesejukan udara dan ketenangan suasana kelas diakui sebagai kondisi

lingkungan kelas yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar

mengajar yang menyenangkan.

b) Sosial budaya

Pembangunan gedung sekolah di tempat yang jauh dari lingkungan pabrik,

(3)

2. Faktor instrumental

a) Kurikulum

Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke

dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat

diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar

yang telah dilaksanakan.

b) Program

Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana

proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak didik digiring ke suatu

aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang

dibuat oleh guru.

c) Sarana dan fasilitas

Siswa tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu

sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik.

d) Guru

Seorang guru harus terus meningkatkan empat kompetensi yaitu

kompetensi personal, professional, sosial dan pedagogik. Keempatnya

mempunyai peranan masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi

guru.

3. Faktor fisiologis

a) Kondisi fisiologis

Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap

kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar

jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan

kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan

belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi; mereka leks

lelah, mudah ngantuk, dan sukar menerima pelajaran (Noehi

Nasution,1993: 6).

b) Kondisi pancaindra

Bila salah satu pancaindra pada manusia mengalami masalah.

(4)

4. Faktor psikologis

a) Minat

Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling

efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah

dengan menggunakan minat-minat siswa yang telah ada.

b) Kecerdasan

Penelitian Lete S. Hollingworth menyatakan bahwa anak-anak

gifted yang taraf intelegensinya lebih dari 180 mempunyai kesulitan

dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Jadi kecerdasan

adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar.

c) Bakat

Belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar

kemungkinan berhasilnya usaha itu.

d) Motivasi

Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar

pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Hal ini

dipadang masuk akal, karena seperti dikemukakan oleh Ngalim Purwanto

(1995:61) bahwa banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak

diperolehnya motivasi yang tepat.

e) Kemampuan kognitif

Karena kemampuan kognitif, orang dapat menghadirkan realitas

dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan

berperaga. Kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar.

2.1.2 Hakikat Daya Kreativitas

2.1.2.1. Pengertian Kreativitas

Kreativitas dapat dipandang sebagai sebuah bentuk intelejensi. Gardner memandang kreativitas sebagai salah satu dari “multiple intelejensi” yang meliputi berbagai macam fungsi otak. Kreativitas merupakan sebuah

komponen penting dan memang perlu. Tanpa kreativitas pelajar hanya akan

(5)

membantu menjelaskan dan menginterpretasikan konsep-konsep yang

abstrak, sehingga memungkinkan anak untuk mencapai penguasaan yang

lebih besar, khususnya dalam mata pelajaran seperti matematika dan sains

yang seringkali sulit dipahami.

Utami Munandar dalam Asrori (2009: 62) mendifinisikan: “kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan

orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan.” Lebih lanjut Utami Munandar menekankan bahwa kreativitas sebagai keseluruhan kepribadian merupakan hasil interaksi dengan

lingkungannya. Kreativitas yang ada pada individu itu digunakan untuk

menghadapi berbagai permasalahan yang ada ketika berinteraksi dengan

lingkungannya dan mencari berbagai alternative pemecahannya sehingga

dapat tercapai penyesuaian diri secara adekuat.

Drevdahl dalam Asrori (2009: 62) mendifinisikan kreativitas sebagai

kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru yang

dapat berwujud aktivitas imajinatif atau sintesis yang mungkin melibatkan

pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang

dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang (Hurlock, 1978).

Menurut Torrance dalam Asrori (2009: 64) kreativitas adalah proses

kemampuan individu untuk memahami kesenjangan-kesenjangan atau

hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru

dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya, serta sedapat mungkin memodifikasi

dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan. Jadi kreativitas

adalah ciri khas yang dimiliki oleh individu yang menandai adanya

kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru atau

kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya

baru yang dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya untuk

menghadapi permasalahan dan mencari alternative pemecahannya melalui

(6)

Untuk dapat melakukan semua itu memerlukan adanya dorongan-dorongan

dari lingkungan yang didasari oleh potensi-potensi kreatif yang telah ada

dalam dirinya. Dengan demikian terjadi saling menunjang antara faktor

lingkungan dengan potensi kreatif yang telah dimiliki sehingga dapat

mempercepat berkembang kreativitas pada individu yang bersangkutan.

Berdasarkan berbagai definisi kreativitas di atas, maka definisi-definisi

kreativitas menurut Asrori (2009: 62-63) dapat dikelompokkan ke dalam

empat kategori, yaitu:

1. Product

Product menekankan kreativitas dari hasil karya-karya kreatif, baik yang

sama sekali baru maupun kombinasi karya-karya lama yang menghasilkan

sesuatu yang baru.

2. Person

Person memandang kreativitas dari segi ciri-ciri individu yang

menandai kepribadian orang kreatif atau yang berhubungan dengan

kreativitas. Ini dapat diketahu melalui perilaku kreatif yang tampak.

3. Process

Process menekankan bagaimana proses kreatif itu berlangsung

sejak dari mulai tumbuh sampai dengan berwujud perilaku kreatif.

4. Press

Press menekankan pada pentingnya faktor-faktor yang mendukung

timbulnya kreativitas pada individu.

Keterkaitan antara empat sudut pandang product, person, process

dan press itu oleh Utami Munandar dalam Asrori (2009: 63) dijelaskan

sebagai berikut: apabila kita dapat menerima bahwa setiap pribadi

memiliki potensi kreatif yang unik dan dapat mengenal potensi tersebut

kemudian memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk

(7)

keahlian dan minatnya, maka produk kreativitas yang bermakna dapat

muncul.

Jadi kreativitas adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh individu

yang menandai adanya kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang

sama sekali baru atau kombinasi dari karya-karya yang telah ada

sebelumnya menjadi suatu karya baru yang dilakukan melalui interaksi

dengan lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dan mencari

alternative pemecahannya melalui cara-cara berfikir divergen.

2.1.2.2. Aspek-Aspek Kreativitas

Menurut Utami Munandar (1995: 45) sehubungan dengan pengembangan

kreativitas siswa, guru perlu meninjau empat aspek dari kreativitas, yaitu:

pribadi, pendorong (press), proses dan produk.

1. Pribadi

Kreativitas adalah ungkapan (ekspresi) dari keunikan individu dalam

interaksi dengan lingkungannya. Ungkapan kreatif ialah yang

mencerminkan orisinilitas dari individu tersebut. Dari ungkapan pribadi

yang unik inilah dapt diharapkan timbulnya ide-ide baru dan

produk-produk yang inovatif. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat

menghargai keunikan pribadi dan bakat-bakat siswanya (jangan

mengharapkan semua melakukan atau menghasilkan hal-hal yang sama,

atau mempunyai minat yang sama). Guru hendaknya membantu siswanya

menemukan bakat-bakatnya dan menghargainya.

2. Pendorong (press)

Bakat kreatif siswa akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan dari

lingkungannya, ataupun jika ada dorongan kuat dalam dirinya sendiri

(motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. Bakat kreatif dapat

berkembang dalam lingkungan yang mendukung tetapi dapat pula

terhambat dalam lingkungan yang tidak menunjang. Di dalam keluarga, di

(8)

harus ada penghargaan dan dukungan terhadap sikap dan perilaku kreatif

individu atau kelompok individu.

3. Proses

Untuk mengembangkan kreatif, siswa perlu diberi kesempatan untuk

bersibuk diri secara aktif. Pendidik hendaknya dapat merangsang untuk

melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu

mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang

penting ialah memberi kebebasan kepada siswa untuk mengesprsikan

dirinya secara aktif, tentu saja dengan persyaratan tidak merugikan orang

lain atau lingkungan. Pertama-tama yang perlu ialah proses bersibuk diri

secara kreatif tanpa perlu selalu atau terlalu cepat menuntut dihasilkannya

produk-produk kreatif yang bermakna. Hal itu akan datang dengan

sendirinya dalam iklim yang menunjang, menerima, dan menghargai.

Perlu pula diingat bahwa kurikulum sekolah yang terlalu padat sehingga

tidak ada peluang untuk kegiatan kreatif, dan jenis pekerjaan yang

monoton, tidak menunjang siswa untuk mengungkapkan dirinya secara

kreatif.

4. Produk

Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif

yang bermakna ialah kondisi pribadi dan kondisi lingkungan, yaitu sejauh

mana keduanya mendorong (press) seseorang untuk melibatkan dirinya

dalam proses (kesibukan, kegiatan) kreatif. Dengan dimilikinya bakat dan

ciri-ciri pribadi kreatif, dan dengan dorongan (internal maupun eksternal)

untuk bersibuk diri secara kreatif, maka produk-produk kreatif yang

bermakna dengan sendirinya akan timbul. Hendaknya pendidik

menghargai produk kreativitas siswa dan mengkomunikasikannya kepada

yang lain. Misalnya dengan mempertunjukkan atau memamerkan hasil

(9)

2.1.2.3. Karakteristik Kreativitas

Piers dalam Asrori (2009: 72) mengemukakan bahwa karakteristik

kreativitas adalah: memiliki dorongan (drive) yang tinggi, memiliki

keterlibatan tinggi, memiliki rasa ingin tahu yang besar, memiliki ketekunan

yang tinggi, cenderung tidak puas terhadap kemapanan, penuh percaya diri,

memiliki kemandirian yang tinggi, bebas dalam mengambil keputusan,

menerima diri sendiri, senang humor, memiliki intuisi yang tinggi, cenderung

tertarik kepada hal-hal yang kompleks, toleran terhadap ambiguitas, bersifat

sensitive.

Adapun Clark dalam Asrori (2009: 73) mengemukakan karakteristik

adalah sebagai berikut: memiliki disiplin diri yang tinggi, memiliki

kemandirian yang tinggi, cenderung sering menentang otoritas, memiliki rasa

humor, mampu menantang tekanan kelompok, lebih mampu menyesuaikan

diri, senang berpetualang, toleran terhadap ambiguitas, kurang toleran

terhadap hal-hal yang membosankan, menyukai hal-hal kompleks, memiliki

kemampuan berpikir divergen yang tinggi, memiliki memori dan atensi yang

baik, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir periodic, memerlukan

situasi yang mendukung, sensitive terhadap lingkungan, memiliki rasa ingin

tahu yang tinggi, memiliki nilai estetik yang tinggi.

Sedangkan Torrance dalam Asrori (2009: 73) mengemukakan

karakteristik kreativitas adalah: memiliki rasa ingin tahu yang besar, tekun

dan tidak mudah bosan, percaya diri dan mandiri, merasa tertantang oleh

kemajukan/kompleksitas, berani mengambil resiko, berpikir divergen.

Karakteristik dari beberapa pendapat intinya sama, dalam penelitian ini

menggunakan pendapat Torance dalam membuat rambu-rambu lembar

observasi.

(10)

Pada mulanya, kreativitas dipandang sebagai faktor bawaan yang hanya

dimiliki oleh individu tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, ditemukan

bahwa kreativitas tidak dapat berkembang secara otomatis tetapi

membutuhkan rangsangan dari lingkungan.

Carlk dalam Asrori (2009: 74-75) mengategorikan faktor-faktor yang

mempengaruhi kreativitas ke dalam dua kelompok, yakni faktor yang

mendukung dan yang menghambat. Faktor-faktor yag dapat mendukung

perkembangan kreativitas adalah:

1. Situasi yang menghadirkan ketidak lengkapan serta keterbukaan.

2. Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya banyak

pertanyaan.

3. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu.

4. Situasi yang mendorong tanggungjawab dan kemandirian.

5. Situasi yang menekankan inisiatif diri untuk menggali, mengamati,

bertanya,merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menerjemahkan,

memprakirakan, menguji hasil prakiraan dan mengkomunikasikan.

6. Kedwibahasaan yang memungkinkan untuk mengembangkan potensi

kreativitas secara lebih luas karena akan memberikan pandangan dunia

secara lebih bervariasi, lebih fleksibel dalam menghadapi masalah, dan

mampu mengekspresikan dirinya dalam cara yang berbeda dari

umumnya orang lain yang dapat muncul dari pengalaman yang

dimilikinya.

7. Posisi kelahiran (berdasarkan tes kreativitas, anak sulung laki-laki lebih

kreatif daripada anak laki-laki yang lahir kemudian).

8. Perhatian dari orang tua terhadap minat anaknya, stimulasi dari

lingkungan sekolah dan motivasi diri.

Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreativitas

(11)

1. Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidakberanian dalam

menanggung risiko atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui.

2. Konformitas terhadap teman-teman sekelompoknya dan tekanan sosial.

3. Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan

penyelidikan.

4. Stereotip peran seks/jenis kelamin.

5. Diferensiasi anatara bekerja dan bermain.

6. Otoritariarisme.

7. Tidak menghargai terhadap fantasi dan hayalan.

2.1.2.5. Kreativitas dalam Proses Pembelajaran

Anak-anak kreatif sesungguhnya sama saja kedudukannya dengan

anak-anak biasa lainnya di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Namun karena

potensi kreatifnya sangat memerlukan perhatian khusus dari pendidik untuk

mengembangkan dirinya. Perhatian khusus di sini bukan berarti mereka harus

mendapatkan perlakuan istimewa, melaikan harus mendapatkan bimbingan

sesuai dengan potensi kreatifnya itu agar tidak sia-sia.

Agar proses pendidikan dapat memberikan bantuan kepada anak-anak

kreatif, para guru dan pembimbing di sekolah sudah seharusnya mengenali

anak-anak kreatif yang menjadi siswa. Idealnya sekolah memiliki perangkat

dan prosedur identifikasi anak-anak kreatif, baik berupa tes maupun non tes.

Namun, demikian seandainya perangkat itu belum dimiliki dan pada

umumnya sekolah-sekolah memang belum banyak yang memiliki, maka

prosedur observasi partisipan yang dilakukan secara serius, sistematis dan

cermat juga tidak kalah ampuhnya dengan penggunaan perangkat baku

tersebut. Tinggal bagaimana kecermatan guru dan pebimbing dalam

mengenali berbagai karakteristik anak kreatif yang muncul pada siswa dalam

kehidupan di sekolah sehari-hari.

Sifat relasi bantuan untuk membimbing anak-anak kraetif sebenarnya

(12)

idealnya para guru dan pembimbing mengetahui mekanisme proses kreatif

dan manifestasi perilaku kreatif. Pemahaman ini memberikan peluang yang

besar kepada para guru dan pebimbing untuk berhasil dalam membantu

perkembangan anak-anak kraetif. Dalam konteks relasi dengan anak-anak

kraetif ini Torrance dalam Asrori (2009: 78-79) menamakan relasi bantuan itu dengan istilah “creative relantionship” yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Pembimbing berusaha memahami pikiran dan perasaan anak.

2. Pembimbing mendorong anak untuk mengungkapkan

gagasan-gagasannya tanpa mengalami hambatan.

3. Pembimbing lebih menekankan pada proses daripada hasil sehingga

pembimbing dituntut mampu memandang permasalahan anak sebagai

bagian dari keseluruhan dinamika perkembangan dirinya.

4. Pembimbing berusaha menciptakan lingkungan yang bersahabat, bebas

dari ancaman dan suasana penuh saling menghargai.

5. Pembimbing tidak memaksakan pendapat, pandangan atau nilai-nilai

tertentu kepada siswa.

6. Pembimbing berusaha mengeksplorasi segi-segi positif yang dimiliki

anak dan bukan sebaliknya mencari-cari kelemahan siswa.

7. Pembimbing berusaha menempatkan aspek berpikir dan perasaan secara

seimbang dalam proses bimbingan.

Masih dalam konteks proses pendidikan atau pembimbingan untuk

membantu perkembangan anak-anak kreatif, berdasarkan penelitiaannya

yang mendalam, Dedi Supriadi (1994) mengemukakan sejumlah bantuan

yand dapat digunakan untuk membimbing perkembangan anak-anak kreatif,

yaitu sebagai berikut:

1. Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan

kreativitasnya.

(13)

3. Menjadi pendorong bagi anak untuk mengkomunikasikan dan

mewujudkan gagasan-gagasannya.

4. Membantu anak memahami divergensinya dalam berpikir dan bersikap

dan bukan malah menghukumnya.

5. Memberikan peluang untuk mengkomunnikasikan gagasan-gagasannya.

6. Memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia.

2.1.3 Pembelajaran Matematika SD

2.1.3.1. Pengertian Matematika

Permendiknas nomor 22 tahun 2006 mengemukakan:

Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi

modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi

informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan

matematika di bidang teori bilangan aljabar, analisis, teori peluang, dan

matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa

depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Matematika, menurut Ruseffendi dalam Heruman (2007: 1) adalah “bahasa symbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan dan struktur yang terorganisasi, mulai

dari unsure yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil”.

Sedangkan menurut Soedjadi dalam Heruman (2007: 1), “hakikat

matematika yaitu memiliki tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif”.

Dari beberapa teori di atas disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu

yang bersifat abstrak mendasari perkembangan teknologi modern untuk

(14)

2.1.3.2. Karakteristik Matematika

Secara umum matematika memiliki ciri-ciri sebagaimana telah disepakati

bersama oleh para ahli yaitu : (Abdul Halim Fathani , 2009: 58)

1. Memiliki Objek Kajian yang Nyata

Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun

tidak setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pemikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih tepat

sebagai objek mental atau pikiran. Ada empat objek kajian matematika, yaitu

fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.

2. Bertumpu pada kesepakatan

Simbol-simboldan istilah-istilah dalam matematika merupakan

kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang

disepakati dalam matematika, maka pembahasan selanjutnya aka menjadi

mudah dilakukan dan dikomunikasikan.

3. Berpola Pikir Deduktif

Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola

pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal

dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang

bersifat khusus.

4. Konsisten dalam sistemnya

Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari

beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang

berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan

yang lainnya. Sistem –sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri dapat

(15)

5. Memiliki simbol yang kosong arti

Secara umum, model atau simbol matematika sesungguhnya kosong dari

arti. Ia akan bermakna sesuatu bila kita mangaitkannya dengan konteks

tertentu. Secara umum, hal ini pula yang membedakan simbol matematika

dengan simbol bukan matematika. Kosong arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan, dari masalah teknis, ekonomi,

hingga kebidang psikologi.

6. Memerhatikan semesta pembicaraan

Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika, bila

kita menggunakannya kita seharusnya memmerhatikan pula lingkup

pembicaraannya. Lingkup atau sering disebut semesta pembicaraan bisa

sembit bisa pula luas. Bila kita bebicara tentang bilangan-bilangan, maka

simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula.

7. Karakteristik Matematika Sekolah.

Sehubungan dengan karakteristik umum matematika diatas, dalam

pelaksanaan pembelajaran matematika disekolah harus memerhatikan ruang

lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) penyajian, 2) pola pikir, 3) keterbatasan semesta, dan 4) tingkat keabstrakan.

2.1.3.3. Ruang Lingkup Matematika

Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, Mata pelajaran

matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai

berikut:

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran

(16)

2.1.3.4. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar (SD)

Menurut Djamarah (2011: 125) sifat khas anak pada masa kelas-kelas

tinggi sekolah dasar adalah sebagai berikut: (a) Adanya minat terhadap

kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya

kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis. (b)

Amat realistic, ingin tahu, dan ingin belajar. (c) Menjelang akhir masa ini

telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para

ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor. (d) Sampai kira-kira

umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya. (e)

Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya

untuk dapat bermain bersama-sama. Di dalam permainan ini biasanya anak

tidak lagi terikat pada aturan permainan yang tradisional, mereka membuat

peraturan sendiri.

2.1.3.5. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Belajar Matematika tidak dapat di lakukan secara parsial tetapi

memerlukan pemikiran yang holistic dari berbagai unit yang ada dalam

matematika. Maka yang penting dalam belajar matematika adalah bagaimana

kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah matematika. Dengan

demikian dapat disimpulkan selama matematika diajarkan dengan

menekankan yang sifatnya hafalan secara parsial maka kemungkinan siswa

memiliki kemampuan matematis tingkat tinggi peluangnya kecil. Untuk itu

usaha menemukan cara yang dianggap terbaik untuk menyampaikan berbagai

konsep yang diajarkan di sekolah perlu segera dilakukan yaitu guru

diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang lebih baik lagi.

Tujuan akhir pembelajaran matematika di SD adalah agar siswa terampil

dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan

sehari-hari. Akan tetapi, untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus melalui

(17)

Menurut Heruman (2013: 2)Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran yang

ditekankan pada konsep-konsep matematika:

1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu

konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep

tersebut. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan

yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang

konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.

2. Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep,

yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.

3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman

konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan

bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep

matematika.

2.1.4 Model Problem Based Learning

2.1.4.1. Pengertian Model Problem Based Learning

Duch (1995) menyatakan bahwa Problem Based Learning adalah suatu

model pembelajaran yang menghadapkan peserta didik pada tantangan “belajar untuk belajar”. Lebih lanjut Duch menyatakan bahwa model ini dimaksudkan untuk mengembangkan siswa berpikir kritis, analitis, dan untuk

menemukan serta menggunakan sumber daya yang sesuai untuk belajar.

Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon,

merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan (Dewey dalam

Trianto, 2011:67). Lingkungan memberi masukan pada siswa berupa bantuan

dan masalah. Semakin dekat dengan lingkungan siswa, akan semakin baik

pengaruhnya pada peningkatan kecakapan belajar.

Arends dalam Trianto (2011: 68) mengatakan bahwa Problem Based

Learning merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dihadapkan

pada masalah autentik (nyata) sehingga dengan adanya inovasi Problem

(18)

serta menumbuhkembangkan keterampilan tingkat tinggi, memandirikan

siswa dan meningkatkan kepercayaan diri.

Mengacu pada berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Problem

Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang dirancang dan

dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan siswa memecahkan

masalah. Pemecahan masalah dilakukan dengan pola kolaborasi dan

menggunakan kemampuan berpikir tingkat yakni kemampuan analisis-sintesii

dan evaluasi atau menggunakan menemukan dalam rangka memecahkan

suatu masalah.

Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki kelebihan,

diantaranya: (1) siswa dapat belajar, mengingat, menerapkan, dan

melanjutkan proses belajar secara mandiri. Prinsip-prinsip “membelajarkan”

seperti ini tidak bisa dilayani melalui pembelajaran nasional yang banyak

menekankan pada kemampuan menghafal. (2) siswa diperlakukan sebagai

pribadi yang dewasa. Perlakuan ini memberikan kebebasan kepada peserta

didik untuk mengimplementasikan pengetahuan atau pengalaman yang

dimiliki untuk memecahkan masalah.

Arends (2008: 97) mengidentifikasi 6 keunggulan Problem Based

Learning, yakni: (1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab

mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut, (2) menuntut keterampilan

berpikir tingkat tinggi untuk memecahkan masalah, (3) pengetahuan tertanam

berdasarkan schemata yang dimiliki siswa, sehingga pembelajaran lebih

bermakna, (4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah

yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, (5)

menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, termotivasi, mampu

memberikan aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap

sosial yang positif di antara siswa, dan (6) pengkodisian siswa dalam belajar

kelompok yang saling berinterasksi, baik dengan guru maupun teman akan

(19)

2.1.4.2. Karakteristik Model Problem Based Learning

Menurut Arends dalam Trianto (2011: 93) mengidentifikasi 4 karakteristik

Problem Based Learning, yaitu:

1. Pengajuan masalah

Langkah awal dari pembelajaran Problem Based Learning adalah

mengajukan masalah selanjutnya berdasarkan masalah ditemukan konsep,

prinsip serta aturan-aturan. Masalah yang diajukan secara autentik ditujukan

dengan mengacu pada kehidupan nyata.

2. Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdiciplinnary focus)

Walaupun pembelajaran Problem Based Learning ditujukan pada suatu

bidang ilmu tertentu, tetapi dalam pemecahan masalah-masalah aktual, siswa

dapat menyelidiki dari berbagai ilmu.

3. Menyelidiki masalah autentik

Dalam pembelajaran Problem Based Learning, amat diperlukan untuk

menyelidiki masalah autentik dan mencari solusi nyata atas masalah tersebut.

4. Memamerkan hasil kerja

Setelah siswa selesai mengerjakan lembar kerja, salah satu tim menyajikan

kerjanya di depan kelas dan siswa dari tim lain memberikan tanggapan, kritik

terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh temannya. Dalam hal ini,

guru mengarahkan, membimbing, memberi petunjuk kepada siswa agar

aktivitas siswa searah.

5. Kolaborasi

Model Problem Based Learning dicirikan dengan kerjasama antar siswa

dalam satu tim,. Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan

meningkatkan temuan dan dialog pengembangan keterampilan berpikir dan

keterampilan sosial.

Berdasarkan uraian tentang pengertian Problem Based Learning, dapat

diidentifikasi karakteristik pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Pertama, ide pokok di balik pembelajaran Problem Based Learning adalah

(20)

suatu masalah adalah ssuatu pertanyaan atau sebuah teka-teki yang

diselesaikan (Boud, 1985).pada pembelajaran biasa, diasumsikan bahwa

siswa harus memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk mengenal suatu

masalah sebelum siswa dapat memulai penyelesaian masalah, dalam problem

based learning pengetahuan didapat dari kegiatan penyelesaian masalah.

Kedua, adalah sifat model Problem Based Learning berpusat pada siswa

dan menekankan pembelajaran mandiri (self directed learning, SDL). Indikasi

kemandirian dalam Problem Based Learning dapat dilihat dari hal-hal

berikut: (1) siswa dihadapkan pada masalah yang memuat sejumlah konsep

dan isu. (2) siswa diberi kewenangan dan tanggung jawab yang cukup untuk

menentukan pilihan tentang topic atau isu yang akan dipelajari. (3) analisi

kebutuhan (need assesment) dilakukan secara individual. (4) dilakukan

seleksi terhadap sumber belajar yang akan digunakan. (5) hasil sintesis atau

investigasi yang dilakukan siswa disajikan kepada pihak lain. (6) partisipasi

di dalam evaluasi diri merupakan perilaku SDL lain yang diharapkan dari

siswa.

Ketiga, walaupun pembelajaran Problem Based Learning telah

disesuaikan untuk penggunaan dalam kelompok besar (Allen et al., 1996),

pada awalnya pembelajaran tersebut ditujukan untuk kelompok kecil dan

tetap menjadi model pilihan dalam kebanyakan program yang ada. Siswa

biasanya berkumpul dalam kelompok yang terdiri dari 5-10 orang.

2.1.4.3. Implementasi Model Problem Based Learning

Pembelajaran Problem Based Learning didasarkan atas teori psikologi

kognitif, terutama belandaskan teori Piaget dan Vigotsky (kontruktivisme).

Tahap pertama yang perlu dilakukan dalam pembelajaran adalah memotivasi

siswa untuk terlibat dalam kegaiatan penyelesaian masalah sehingga mereka

akan bertindak aktif membangun pengetahuannya. Sintak model problem

(21)

1. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana

atau alat pendukung yang dibutuhkan. Memotifasi siswa untuk terlibat

dalam aktivitas pemecahan masalah yang terpilih.

2. Guru menjelaskan logistic yang dibutuhkan, prosedur yang harus

dilakukan, dan memotifasi peserta didik supaya terlibat dalam aktivitas

pemecahan masalah yang terpilih.

3. Guru membantu siswa untuk mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas

belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topic,

tugas, jadwal dan lain-lain).

4. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah,

pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.

5. Guru membantu siswa dalam merencanakan karya yang sesuai seperti

laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

6. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

eksperimen dan proses-proses yang dilakukan.

Prosedur model pembelajaran problem based learning (Yatim Riyanto,

2010: 292-293) yaitu:

Pertama tahap definisi. Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan tahap

ini adalah kegiatan: (1) menugasi siswa untuk mendiskusikan atau

mencetuskan ide-ide berdasarkan pertanyaan dan pernyataan yang disajikan

oleh guru, (2) mendiskripsikan apa yang menjadi pemicu untuk mengerjakan

atau melakukan tindak belajar secara kolaborasi dan kompetisi, (3)

mengidentifikasi masalah apa yang dapat memicu sebagai bahan investigasi.

Kedua, tahap analisi. Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan tahap

ini adalah: (1) mengadakan brainstorming permasalahan yang akan diteliti, (2)

mengidentifikasi apa saja yang dapat dijelaskan atau ditafsirkan di dalam kerja

tim atau individual tentang permasalahan, (3) mengidentifikasi yang mana

(22)

Ketiga, tahap arahan penelitian. Kegiatan pembelajaran yang perlu

dilakukan tahap ini adalah: (1) perumusan masalah riset atau hipotesis untuk

penyelidikan, (2) mengidentifikasi pengetahuan apa yang perlu penyelidikan

lebih lanjut dikerjakan kelompok dalam rangka untuk memecahkan masalah,

(3) menggambarkan tugas riset spesifik untuk diselesaikan (bagi-bagi tugas di

antar anggota tim dalam kolaborasi atau bagaimana secara individual tugas itu

dapat diselesaikan dalam kurun waktu tertentu), (4) melakukan pemufakatan

bagaiman kelompok atau individu-individu akan bekerja sama.

Keempat, tahap penelitian (yang diprogramkan untuk pekerjaan mandiri

dan tim kolaborasi). Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai

berikut: (1) mengidentifikasi pengetahuan apa yang diperoleh dalam hubungan

dengan pertanyaan penyelidikan investigasi, (2) mengidentifikasi bagaimana

kelompok atau penelitian individual, misalnya membatasi waktu (3)

melengkapi tugas, misalnya dengan daftar pustaka, ditambah bahan bacaan

yang berhungan dengan masalah.

Kelima, tahap sintesis dengan tiga kegiatan utama, yaitu: (1) meninjau

ulang pengetahuan baru yang diperoleh di dalam tim belajar atau belajar

secara individual, (2) menyatukan temuan-lakukan sesuatu untuk membantu

memahami masalah penyelidikan, (3) dilakukan refleksi proses belajar.

Tabel 2.1

Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,

menjelaskan logistic yang dibutuhkan, mengajukan fenomena, demonstrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Tahap 2

Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Guru membantu siswa untuk mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3

Membimbing penyelidikan

individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

(23)

Mengembangkan dan menyajikan hasil

menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dalam proses-proses yang mereka gunakan.

(Sumber: Ibrahim, 2003:13)

2.2Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dilaksanakan oleh Eni Wulandari, yang berjudul

Penerapan Model PBL (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran IPA

Siswa Kelas V SD. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan proses

dan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa kelas V SD Negeri Mudal dengan

menerapkan model PBL. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas

(PTK). Setelah penelitian di laksanakan, keterampilan peneliti dalam setiap

pembelajaran semakin baik. Hal ini dapat dilihat dari skor yang diperoleh

yaitu dari 18 pada siklus I, 22 pada siklus II dan 27 pada siklus III. Selain itu

prosentase penggunaan keterampilan proses IPA oleh siswa juga meningkat

setiap siklusnya, siswaa yang sudah menguasi keterampilan prosesnya 46,71%

pada siklus I, 76,19% pada siklus II dan 92,06% pada siklus III. Hasil belajar

siswa juga mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Pada siklus I

38,09%, siklus II 47,62% dan siklus III 73,02. Berdasarkan penilitian yang

sudah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model PBL

dapat meningkatkan proses dan hasil belajar IPA kelas V semester II SD

Negeri Mudal, Purworejo tahun ajaran 2011/2012. Hal ini dapat terlihat pada

perolehan skor pada penggunaan langkah PBL oleh peneliti, prosentase

keterampilan proses IPA yang telah dikuasai oleh siswa, serta prosentase

siswa yang telah mencapai ketuntasan. Skor perolehan dari hasil penggunaan

langkah PBL oleh peneliti mengalami peningkatan.

Penelitian lain dilakukan oleh Rizka Vitasari. Penelitian yang

dilaksanakan berjudul Peningkatan Keaktifan Dan Hasil Belajar Matematika

Melalui Model Problem Based Learning Siswa Kelas V SD Negeri 5

Kutosari. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan langkah-langkap

(24)

meningkatkan hasil belajar matematika. Hasil dari penelitian, rata-rata hasil

observasi langkah-langkah model Problem Based Learning setiap siklus

mengalami peningkatan. Kemampuan guru dalam menerapkan model Problem

Based Learning rata-rata siklus I sebesar 71,8% dan siklus II sebesar 94,3%.

Jadi dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 22,5%.

Sedangkan kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menerapkan

model Problem Based Learning rata-rata pada siklus I sebesar 62,5% dan

siklus II sebesar 88,5%. Jadi dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan

sebesar 26,0%. Keaktifan setiap siklus mengalami peningkatan. Rata-rata

siklus I sebesar 61,2% dan siklus II sebesar 90,5%. Jadi dari siklus I ke siklus

II mengalami peningkatan sebesar 29,3%. Hasil belajar matematika siswa

setiap siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 62,8 atau 54,2% dan siklus II

dengan nilai rata-rata sebesar 88,1 atau 85,4%. Jadi dari siklus I ke siklus II

mengalami peningkatan sebesar 25,3 atau 31,2%. Berdasarkan hasil penelitian

dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah penerapan model Problem Based

Learning terdiri dari tujuh langkah yaitu orientasi masalah, menjelaskan

tujuan pembelajaran, klarifikasi istilah, pengorganisasian belajar siswa,

penyeledikan dan diskusi, melaporkan hasil diskusi dan analisis proses

pemecahan masalah. Kesimpulan kedua pembelajaran matematika dengan

menerapkan model Problem Based Learning dapat meningkatkan keaktifan

matematika siswa kelas V SD Negeri 5 Kutosari, Kebumen. Kesimpulan

ketiga pembelajaran matematika dengan menerapkan model Problem Based

Learning dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V Sd

Negeri 5 Kutosari Kebumen.

2.3Kerangka Pikir

Sebagaimana telah dikemukakan Drs. Slameto belajar adalah suatu proses

usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu

sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan suatu

proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. perubahan tingkah

(25)

atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa

perubahan-perubahan dalam kebiasaan, kecakapan-kecakapan atau dalam

ketiga aspek yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Kegiatan belajar

merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan.

Hal ini mengandung arti, bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan

pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami

oleh peserta didik atau siswa.

Salah satu faktor dalam proses belajar mengajar adalah faktor psikologis

yang di dalamnya terdapat kecerdasan dan kemampuan kognitif. Kemampuan

kognitif dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari

hal-hal yang bersifat material dan berperaga. Kemampuan kognitif ini harus

dikembangkan melalui belajar.

Agar siswa mampu mencapai hasil belajar yang maksimal diperlukan

model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan

kemampuan kognitif. Salah satu model pembelajaran yang dapat dipilih untuk

mengembangkan kemampuan kognitif adalah model pembelajaran problem

based learning.

Problem Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang

penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,

mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan, dan

membuka dialog. Permasalahan yang dikaji hendaknya merupakan

permasalahan kontekstual yang ditemukan peserta didik dalam kehidupan

sehari-hari. Model ini sangat berpotensi untuk mengembangkan kemandirian

peserta didik melalui pemecahan masalah yang bermakna bagi kehidupan

siswa. Pembelajaran berbasis masalah (PBL) akan dapat membantu peserta

didik untuk mengembangkan ketrampilan berfikir dan mengatasi masalah,

mempelajari peran-peran orang dewasa, dan menjadi pembelajar mandiri

(Arends, 2007).

Model ini menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk

menemukan pengetahuan baru bagi siswa. Membantu siswa dalam mentranfer

(26)

untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam

pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, Problem Based Learning

dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil

maupun proses belajarnya. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir

kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan

pengetahuan baru. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk

mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun

belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Memudahkan siswa dalam

menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna memecahkan masalah dunia

nyata. Model pembelajaran Problem Based Learning juga memiliki

kelemahan, salah satunya adalah untuk sebagian siswa beranggapan bahwa

tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan

masalah mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang

sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

Oleh karena itu penerapan model Problem Based Learning akan

membantu meningkatkan daya kreativitas siswa, terutama kreativitas dalam

memecahkan masalah. Slameto (2003: 145) menjelaskan bahwa pengertian

kreativitas berhubungan dengan penemuan sesuatu, mengenai hal yang

menghasilkan sesuatu yang baru dengan menggunakan sesuatu yang telah ada.

Sesuatu yang baru itu mungkin berupa perbuatan atau tingkah laku, bangunan,

dan lain-lain. Jika siswa mempunyai kreativitas dalam belajar, maka akan

berpengaruh pada hasil belajar.

Dari uraian diatas maka secara hipotesis dapat dinyatakan bahwa model

pembelajaran Problem Based Learning memiliki hubungan dengan daya

kreativitas, dan daya kreativitas memiliki hubungan yang positif dengan hasil

(27)

Gambar 2.1

Kerangka Pikir

2.4Hipotesis Penelitian

Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning berbantuan

peta harta karun dalam pembelajaran matematika diduga dapat meningkatkan:

1. Daya kreativitas siswa kelas IV SD Rajawali Juwana

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Untuk soal nomor 7–11, pilihlah kata-kata atau frasa yang yang merupakan padanan kata atau padanan pengertian yang paling dekat dengan kata yang dicetak dengan huruf kapital

Berdasarkan analisa data dari hasil in-depth interview, didapatkan petugas memahami tentang pengertian, manfaat, dan jenis alat pelindung diri yang harus digunakan selama

Jika sebelumnya bagian pendaf t aran mencat at keluhan pasien yang akan diberikan kepada dokt er di dalam kart u pasien yang diarsipkan oleh puskesmas, set elah

The purpose of this study was to determine the effect of rice straw and compost application on the community structure of bacteria associated with five kinds of

Sesuai dengan menuju kepermasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetaui apakah metode team quiz meningkatkan hasil belajar akidah akhlak materi adab

and mungbean respectively, and for alang- alang grass ( imperata cylindrica ) which rela- tively has the same growth performance, the C-factor ranged from *. Although the

(1994) dinamika Cladocera dan Diptera pada sawah di Filipina dipengaruhi oleh pemberian pupuk nitrogen dan pestisida Selain itu indeks keanekaragaman (Tabel 2) juga tergolong

Gambaran anak Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan anak adalah setiap anak Indonesia hidup dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan yang sehat