• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR JAMALUDDIN AL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR JAMALUDDIN AL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR : JAMALUDDIN AL

AFGHANI, MUHAMMAD ABDUH

A. Pendahuluan

Momentum perkembangan modern Islam terjadi pada abad ke sembilan belas, meskipun disadari bahwa dasar-dasar perkembangan modern tersebut sudah muncul sejak beberapa abad sebelumnya. Momentum yang dimaksud ialah adanya gerakan politik dan intelektual yang mulai bergerak ke berbagai kawasan negeri-negeri Islam. Tema sentral gerakan itu umumnya berkisar pada dua hal, protes melawan kemerosotan internal dan serangan eksternal. Kebangkitan itu tidak berarti bahwa sebelumnya Islam dalam kondisi sedemikian pasif untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi. Pada kenyataannya suatu peradaban merupakan hasil akumulasi perjalanan pergumulan pemeluk agama yang berdimensi historis dengan ajaran wahyu yang bernilai normatif. Proses dialektis antara keduanya berjalan dari waktu ke waktu dengan diwarnai oleh tingkat dinamika yang bervariasi, adakalanya berjalan cepat dan menghasilkan perubahan besar tetapi terkadang juga berjalan lambat dan membawa perubahan tidak berarti. Diantara faktor terpenting yang menentukan arus perubahan itu adalah sejauh mana gerakan pembaharuan dapat terimplementasi secara riil dalam kehidupan sehingga mampu membentuk sebuah peradaban baru.

(2)

Dalam makalah ini penulis menitikberatkan pembaharuan di Mesir pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang berusaha membangkitkan kesadaran muslim terhadap ancaman dominasi bangsa Eropa dan untuk menentang penguasa-penguasa Muslim yang bersekongkol dengan intervensi pihak Kristen.

B. Pengertian Pembaharuan Dalam Islam

Kata pembaharuan dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdid,

memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membaharui.

Secara sederhana gerakan pembaharuan dalam Islam atau sering diistilahkan dengan tajdid dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun kelompok pada kurun waktu tertentu untuk mengadakan perubahan dari persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan kepada bentuk pemahaman dan pengamalan baru. Gerakan pembaharuan ini umumnya berpangkal pada asumsi bahwa Islam sebagai realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut sudah tidak lagi relevan atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang sesungguhnya. Tentu saja bagaimana tafsiran Islam ideal tersebut sangat dipengaruhi oleh cara pandang, pendekatan, latar belakang sosiokultural dan keagamaan masing-masing pembaharu. Karena corak epistimologi gerakan yang beragam inilah maka melahirkan model pembaharuan yang bermacam-macam yang sering ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme,

fundamentalisme, sekulerisme dan neo-modernisme. Pergeseran pergumulan

gerakan tersebut kemudian memberikan warna baru dalam proses kehidupan yang lebih modern.

Menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari at-Tajdid

(3)

adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Pembaharuan dalam bentuk modernisme dilakukan dengan mengadopsi peradaban Barat karena modernitasnya menjadi pola ukuran kemajuan pada saat itu. Dalam aplikasi pembaharuannya dilakukan dengan membangun interpretasi baru terhadap sumber nilai fundamen utama yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah harus dikembalikan lagi menjadi sumber utama sebagai tolok ukur pembenar bagi ide Barat karena kemajuan yang dipakai Barat saat ini disebabkan karena mereka mengambil kekayaan intelektual dan historisitas dari pancaran al-Qur’an. Sebaliknya dalam masyarakat Islam mengalami kemunduran karena meninggalkan ajaran al-Qur’an yang seharusnya menjadi pembimbing dan penunjuk jalan keberhasilan umat Islam sepanjang zaman.

(4)

C. Latar Belakang Pembaharuan Islam di Mesir

Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah (sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan Perang Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.

Pada 2 Juni 1798 Napoleon Bonaparte melakukan pendaratan di Alexandria sebagai tanda di mulainya ekspedisi Perancis di Mesir. Ekspedisi yang merupakan rencana lama pemerintahan Louis XIV tentang penyerbuan ke Mesir untuk menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah sehingga bisa memperluas kemenangan mereka ke arah Barat. Ekspedisi Perancis tersebut berlangsung selama tiga tahun dan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1801.

Ekspedisi Napoleon di Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu : 1. Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk

waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen. Pada awal abad ke-20 istilah republik muncul terjemahannya yaitu

jumhuriyyah yang artinya orang banyak.

(5)

3. Ide kebangsaan. Dalam maklumat Napoleon dinyatakan bahwa orang Perancis merupakan satu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Caucacus sehingga sekalipun mereka itu orang Islam tetapi berlainan dengan orang Mesir.

Ide-ide yang dibawa oleh Napoleon ke Mesir pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam Mesir. Walaupun demikian ternyata ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka.

Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembangkan balance of power yang telah pincang dan membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat saat itu berlainan dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada periode klasik, Islam berada pada masa kejayaannya dan Barat sedang dalam kegelapan. Namun keadaan itu menjadi terbalik, Islam sedang dalam kegelapan dan Barat semakin maju dan Islam yang ingin belajar dari Barat. Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikirannya bagaimanakah cara membuat umat Islam maju kembali seperti pada masa periode klasik. Usaha ke arah itu pun mulai dijalankan di kalangan umat Islam.

Pemikiran pembaharuan di Mesir muncul dari tokoh-tokoh pembaharu muslim di antaranya yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905).

D. Biografi Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh

1. Jamaluddin al-Afghani

Menurut Taufiqurrahman dalam bukunya Pemikiran Dan Gerakan

Pembaharuan Islam: Abad Modern dan Kontemporer, Sayyid Jamaluddin

(6)

tasawuf yang biasa diajarkan bangsa Persia hingga dewasa ini. Ia mempelajari ilmu pasti dengan cara modern di India dan mengadakan perjalanan keliling dunia Islam. Al-Afghani menekuni ilmu mantiq, etika, politik dan teologi. Tetapi dalam biografi yang lain Jamaluddin al-Afghani dikenal lahir di Iran dan berpendidikan Syi’ah, bukannya seorang Sunni Afghan seperti yang diakuinya. Klaim sebagai warga Iran ini dalam rangka meyakinkan kesesuaiannya dengan kalangan Muslim Sunni. Sebagai orang yang terdidik dalam ajaran Syi’ah ia sangat dikenal sebagai filosof Muslim.

Pada usia dua puluh tahun, al-Afghani menjadi pembantu pangeran Dust Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1864 ia menjadi penasehat Sharm Ali Khan dan beberapa tahun kemudian menjadi Perdana Menteri. Ketika terdesak oleh Inggris karena mencampuri urusan politik Afghanistan, ia pergi ke India dan mengenal pendidikan modern. Ketika India jatuh ke tangan Inggris ia pergi ke Mesir (1871). Di Mesir (1879) ia mempunyai murid seperti Muhammad Abduh dan Saad Zaghlul. Tahun 1883 al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan Jamiyat al-Wustqa, beranggotakan orang India, Mesir, Suriah dan Afrika Utara dengan tujuan memperkuat persaudaraan muslim. Tahun 1889 al-Afghani diundang ke Rusia untuk menyelesaikan persengketaan antara Rusia dan Persia. Namun karena ada perselisihan antaranya dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani dipaksa keluar dari Persia. Kemudian diundang Sultan Abdul Hamid II (1892) dan menetap di Istambul. Tetapi karena al-Afghani melontarkan ide demokrasi yang bertentangan dengan kekuasaan Sultan, maka ia di penjara sebagai tahanan politik dan tidak bisa mengembangkan ide-ide politik dan agama sampai wafatnya tahun 1897.

2. Muhammad Abduh

(7)

Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Ketika berada di Al-Azhar ia bertemu Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir dan kemudian Abduh bergabung bersama al-Afghani untuk memperluas studinya. Di bawah bimbingan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh belajar filsafat dan ilmu sosial serta politik. Termasuk didalamnya terdapat Sa’d Zaghlul. Al-Afghani aktif memberikan dorongan kepada siswa-siswanya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. Tahun 1878 Muhammad Abduh mendapat tugas mengajar di perguruan tinggi Dar al-‘Ulm yang baru saja didirikan. Dia memanfaatkan ini sebagai peluang untuk berbicara dan menulis soal politik dan social, dan khususnya soal pendidikan nasional, selama periode kesadaran nasional kian tinggi di Mesir. Setahun kemudian Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar al-‘Ulm karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras. Tetapi kemudian Abduh diangkat oleh perdana menteri menjadi editor sebuah koran resmi di Mesir yakni Al-Waqa’i’ Al

Mishriyah. Dalam posisi itu Muhammad Abduh menjadi sangat berpengaruh

dalam membentuk pendapat umum. Dengan semakin kritis, posisi Abduh semakin terancam dan kemudian diasingkan dari Mesir selama tiga tahun. Pada 1888 ia diizinkan kembali ke Kairo, diangkat menjadi hakim, dan menjadi anggota dewan administratif Al-Azhar pada 1895. Selain itu ia juga diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Muhammad Abduh meninggal pada 11 Juli 1905.

E. Pemikiran Pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani

Pemikiran pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani berdasarkan keyakinan bahwa reformasi Islam adalah penting lantaran ia merupakan basis bagi pencapaian teknik dan ilmiah, solidaritas politik dan kekuasaan.

Dalam pandangan tentang kemunduran umat Islam yang berakibat pada penguasaan ekonomi dan politik oleh orang Barat, al-Afghani mengatakan bahwa hal ini disebabkan :

(8)

dan menjadi fatalis dan statis karena salah interpretasi tentang arti qadha dan qadar.

2. Ukhuwah Islamiyah melemah dikalangan umat Islam ditingkat lokal atau internasional, baik disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan Sunni dan Syiah maupun perpecahan antara alim ulama dan raja-raja Islam.

3. Kemalasan untuk melakukan ijtihad, karena mereka sudah merasa puas dengan apa yang dihasilkan ulama masa klasik.

4. Mereka menganggap segala yang berasal dari Barat dianggap haram dan

bid’ah atau subhat yang harus diperangi.

Untuk mengobati penyakit umat Islam semacam itu maka al-Afghani memberikan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :

1. Kejayaan kembali umat Islam terwujud kalau kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan meneladani pola hidup sahabat khususnya Khulafa’ al Rasyidun.

2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat secara politik, ekonomi dan kebudayaan.

3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam ilmu dan teknologi, dimana umat Islam harus belajar tentangnya, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dulu disumbangkan Islam kepada Barat dan kemudian secara selektif di kritisi menggunakannya untuk kejayaan Islam.

(9)

Terkait dengan penjajahan Barat yang menguasai wilayah Islam termasuk Mesir, al-Afghani melihat bahwa Barat telah banyak melakukan pengrusakan terhadap akidah Islam melalui paham Barat seperti evolusialisme dan

materialism. Sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai tokoh ia melakukan dua

sikap: Pertama, menulis buku al-Radd ‘ala al-Dahriyyin, suatu risalah yang menerangkan suatu kerusakan yang ditimbulkan oleh paham materialisme dan menetapkan bahwa agama adalah dasar kebudayaan dan kekufuran adalah perusak kemajuan. Kedua, melakukan upaya menghimpun masyarakat Islam dalam satu payung pemerintahan. Karena hal ini dirasakan tidak memungkinkan maka al-Afghani menggagas untuk menghimpun Negara-negara Islam dalam satu ikatan yang kokoh. Ide ukhuwawah Islamiyah atau Pan-Islamisme merupakan ide menyatukan Negara-negara Islam yang otonom, berkeadilan, atas dasar musyawarah dan diikat oleh perjanjian persahabatan serta dipimpin oleh pemerintahan yang paling besar dan kuat.

F. Pemikiran Pembaharuan Islam Muhammad Abduh

Muhammad Abduh memandang bahwa salah satu tugas utamanya sebagai intelektual muslim adalah memberikan tanggapan kepada orang-orang Mesir yang –karena terpengaruh oleh keberhasilan Eropa sekuler dan serangannya terhadap Islam- berpendapat bahwa agama merupakan unsur pokok yang menghambat masyarakat Muslim. Perhatian utama Abduh adalah problem kemunduran umat Islam, dan banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran ini dengan berupaya meniru Barat. Menurut pendapatnya hal ini disebabkan oleh : 1. Umat Islam sendiri yang tidak melaksanakan ajaran Islam dengan benar. Mereka lebih cenderung pada ajaran tarekat yang ekstrim dan menimbulkan pengkultusan syeikh tarekat serta dijadikannya perantara dengan Tuhan. 2. Paham fatalisme, menerima qadha dan qadar yang salah-hanya menerima nasib

(10)

3. Taqlid buta, hal ini akan menjadikan kebekuan akal, padahal akal dapat digunakan untuk memahami kandungan yang bernilai strategis bagi kemaslahatan umat.

4. Fanatisme madzab yang menyebabkan perpecahan umat. 5. Bid’ah yang menyimpang dari akidah murni.

Untuk memajukan masyarakat, maka perlu dilakukan pembaharuan agama melalui perbaikan al-Azhar, sebagai pusat ilmu dan dakwah islamiyah. Dengan perbaikan al-Azhar akan menghasilkan orang yang bergairah terhadap agama dan bisa menyiarkan agama keseluruh dunia. Pandangan keagamaan Abduh untuk memperbaiki umat ialah meluruskan akidah dan menghilangkan kesalahan melalui cara menafsirkan al-Qur’an.

Oleh karena itu, Abduh mengarah pada upaya reformulasi Islam, memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah Islam. Ia membenarkan al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk Tuhan, tetapi ia menyatakan bahwasanya pemikiran adalah unsur utama dalam hal-hal yang tidak tercantum di dalam al-Qur’an dan Hadis. Sementara al-Qur’an dan Hadis harus selalu diterapkan dalam urusan peribadatan, keputusan individu, atau ijtihad adalah sangat penting untuk menata hubungan-hubungan sosial yang hanya dicapai dengan ide-ide rasional yang bersifat umum dan dengan pertimbangan rasional. Dibalik konsep-konsep Muhammad Abduh tersebut bersandar gerakan internasional reformasi Islam, dan ide membangkitkan semangat masyarakat Mesir abad delapan belas-sembilan belas terhadap al-Qur’an dan Hadis.

(11)

dalam kumpulan ide-ide Islam tradisional namun kedudukannya memberikan kemajuan kepada pembaharu-pembaharu pra-modern pada dua hal yang penting, yaitu :

1. Penekanan umum atas peranan akal dalam Islam, yakni ide bahwa walaupun agama dan akal bekerja pada lapangan yang berbeda, namun keduanya bukan saja tidak mungkin bertentangan, tapi harus bekerjasama secara positif dalam memajukan dan menggerakkan manusia.

2. Menyatakan kembali ide-ide dasar Islam dengan cara sedemikian rupa hingga bisa membuka pintu bagi pengaruh ide-ide baru dan usaha pencarian ilmu pengetahuan modern pada umumnya.

Sekalipun demikian konsep ide modernisme dan reformasi Islam di Mesir yang digelorakan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh memberikan semangat paradigma intelektual dan membuka jalan bagi konsep nasionalis mengenai identitas dan politik pembaharuan Mesir yang lebih sekuler.

G. Analisis: Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Pembaharuan 1 Kerangka teori Islam sesuai untuk semua

bangsa, zaman, dan keadaan

(12)

Islam akibat kolonialisme

Menggagas Pan-Islamisme, yakni persatuan seluruh kepentingan yang sama untuk membawa umat Islam dari jurang keterpurukan kepada kemajuan serta melepaskan umat Islam dari belenggu kolonialisme. Ide awal ini kemudian direalisasikan dengan cara melakukan reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada ide-ide dasar ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

(13)

ini mampu memberikan pengaruh yang besar bagi upaya pembaharuan Islam selanjutnya.

Langkah ini berbeda dengan strategi yang ditempuh oleh muridnya, yakni Muhammad Abduh. Hal ini bisa dilihat dari gagasan pembaharuan atau reformasi Islam yang dicanangkan Abduh, yakni pembaharuan teologi Islam, membebaskan umat Islam dari taklid, restrukturisasi dan pembaharuan pendidikan Islam, serta melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.

H. Penutup

Pemikiran-pemikiran pembaharu yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada awalnya berangkat dari kondisi masyarakat Islam di Mesir yang mengalami kemunduran karena adanya imperialisme Barat. Namun demikian, ide-ide cerdas dari kedua tokoh tersebut merupakan representasi adanya kondisi umat Islam secara makro, sehingga gagasan pemikiran-pemikiran pembaharu tersebut tidak hanya dapat memberikan gambaran kondisi umat Islam di Mesir tetapi menjadi kepentingan umat Islam secara menyeluruh. Hal ini dapat dipahami karena memang kehidupan al-Afghani dan Abduh secara geografis berada di Mesir dan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah, meskipun kadang dilakukan dengan adanya tekanan penguasa pada saat itu. Menurut penulis, dengan adanya peristiwa pengembaraan itulah justru memberikan keleluasaan, kematangan dan kejernihan berfikir bagi al-Afghani dan Abduh sendiri.

(14)

Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang sudah digagas oleh al-Afghani dan Abduh ini. Melanjutkan tidak berarti mengambilnya secara persis karena zaman sudah berubah, situasi dan kondisi yang dihadapi pun berbeda. Langkah yang bijak ialah ide-ide cemerlang, cerdas dan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan konteks kekinian. Hal ini dikarenakan pada sisi manusia sebagai jiwa ia memiliki rasa kesadaran untuk menjalankan kehidupan ini dengan membedakan mana yang baik dan buruk untuk dipilihnya, sehingga pilihannya tersebut akan menghasilkan suatu karya moral yang tiada hentinya sampai akhir kehidupannya. Pilihan tersebut tentunya dengan tetap mengacu pada tujuan awal dalam rangka reformulasi Islam, yakni mengangkat derajat umat Islam menuju kehidupan masyarakat muslim yang berkemajuan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Ahmad Amir, Pembaruan Teologi: Perspektif Modernisme Muhammad

Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman, Yogyakarta: Teras, 2009

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga terj. Ghufron A. Mas’adi Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999

Maryam, Siti dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern,

Yogyakarta: LESFI, 2009

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000

Rahnema, Ali, Para Perintis Zaman Baru Islam terjemahan dari Pioneers of

Islamic Revival Penerjemah Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1996

Sihbudi, M. Riza dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung: PT. Eresco, 1993

Taufiqurrahman, Pemikiran Dan Gerakan Pembaruan Islam: Abad Modern dan

Kontemporer, Surabaya: Afkar, tt

Toynbee, Arnorld, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif,

dan Komparatif, terj. Agung Prihantoro, dkk. (Yogyakarta: Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Dari rangkaian ayat 238-242 surat al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pemahaman, manusia harus melalui proses, dengan mendayagunakan akalnya,

Fahrul Islam : Analisis Tentang Tugas Dan Fungsi Bappeda Dan Statistik Kabupaten Bone (Studi Tentang Pelaksanaan Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah), 2012 Prog. Kerjasama

Adopsi varietas unggul jagung putih oleh petani responden diduga dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan yang dimiliki,

Pertambahan berat badan harian (PBBH) yang didapatkan pada perlakuan T1 dalam kajian ini hampir sama dengan hasil yang didapatkan oleh Ella dkk (2004), yaitu didapatkan PBBH sapi

bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris dari ibu dan bapaknya serta kerabatnya, mereka berhak mendapatkan bagian harta warisan sesuai

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian empiris adalah metode kualitatif, yaitu hal yang dinyatakan responden atau narasumber baik secara tertulis maupun

penghambat pertumbuhan populasi gulma eceng gondok, maka penelitian untuk mengetahui biologi kumbang tersebut setelah pelepasan di lapangan perlu dilakukan. Berdasarkan

Dengan demikian, jelaslah ruang lingkup dari kegiatan yang diatur dan diawasi oleh Otorita yang dimaksud di Bab XI  LOS Convention 1982 ini adalah kegiatan yang