1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2
Bagian Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran
3
KATA PENGANTARAssalammu‟alaikum wr.wb
Puji syukur yang dalam kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan
Penyayang atas segala anugerah dan berkah Nya, karena telah selesainya penyusunan buku
Panduan Umum CFHC-IPE bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran. Sebuah tim inter-disipliner
terdiri atas praktisi-praktisi yang berasal dari berbagai macam profesi yang berbeda, yang
berbagi populasi pasien yang sama dan tujuan pelayanan pasien yang sama, memiliki tugas dan
kewajiban yang saling mendukung dan bergantung antar profesi. Tim ini saling bergantung
secara aktif, dengan sarana komunikasi yang memadai diantara anggotanya dan dengan pasien
beserta keluarganya untuk memastikan bahwa semua aspek kebutuhan kesehatan pasien
tertangani secara komprehensif.
Pendidikan profesi kesehatan seringkali bersifat eksklusif sesuai dengan profesinya
masing-masing. Mahasiswa tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimba ilmu mengenai
atau bersama-sama dengan mahasiswa dari profesi lain. Untuk dapat berfungsi secara efektif
sebagai sebuah tim, para anggota harus terlebih dahulu memahami peran serta tugas dan
kewajiban profesi lain.
Hubungan kelompok yang sudah terbangun dengan baik menjadi dasar dalam kegiatan di
kurikulum CFHC yang berbasiskan masyarakat dalam bentuk Family Attachment. Kegiatan CFHC yang merupakan kegiatan longitudinal selama masa pembelajaran di S1 yang akan
menerapkan pembelajaran Patient Safety, Evidence Based Practice, Public Health, Ethic and
Professionalism, Family Medicine, Learning Skills, Clinical Skills Lab, Inter-professional
Education (IPE), Pengembangan Kepribadian, baik dari Pendidikan Dokter maupun Ilmu
Keperawatan dan Gizi Kesehatan.
4
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ... 1
KONTRIBUTOR ... 2
KATA PENGANTAR ... 3
DAFTAR ISI ... 4
PENDAHULUAN ... 5
BAB I Family Attachment-Biospychosocia ... 7
BAB II Interprofesssional Education (IPE), Communication, and Interprofesional Teamwork ... 17
BAB III Need-Want-Demand ... 36
BAB IV Perjalanan Alamiah Penyakit ... 39
BAB V Upaya Promosi dan Prevensi Kesehatan ... 46
BAB VI Keseimbangan Ekologis ... 57
BAB VII Epidemiology (Surveillance And Data Analysis) ... 60
BAB VIII Occupational Health ... 65
BAB IX Menyadari Keterbatasan ... 76
BAB X Penyuluhan Pada Masyarakat, Intervensi Motivasional Sederhana ... 79
BAB XI Communication Action and Communication Empowerment, Pendekatan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Kesehatan ... 98
5
PENDAHULUANBuku acuan umum CFHC-IPE merupakan rujukan keilmuan yang bersifat praktis. Buku
ini digunakan untuk menambah kejelasan tentang dasar-dasar keilmuan CFHC-IPE secara
sederhana. Untuk pendalaman diperlukan melihat rujukan-rujukan yang ditulis pada
masing-masing bab.
Isi buku ini menyangkut masalah dasar-dasar kerja profesional tenaga kesehatan di
tingkat pelayanan primer dengan pendekatan personal atau biopsiososial-kultur-spiritual; Inter professional education, communication, and teamwork; need, want, dan demand; Upaya penanggulangan penyakit; perjalanan alamiah penyakit; keseimbangan ekologis; epidemiologi;
occupational health; self awareness; penyuluhan masyarakat; communication action and communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan; dan
sistem rujukan.
Pada prinsipnya pelayanan primer akan berhasil bila melibatkan pasien sebagai personal
yang memiliki latar belakang biopsiososial-kultur-spiritual. Upaya personal dapat
dikelompokkan di dalam keinginan individu, kebutuhan, serta suatu upaya yang harus dipenuhi
(need, want, demand), maka hasil yang diharapkan dari upaya tersebut adalah tercapainya status kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang optimal yaitu semua upaya sudah
dilaksanakan termasuk self awareness, penyuluhan masyarakat, communication action and communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan, serta sistem rujukan.
Bagi mahasiswa yang sedang menjalankan pendidikan CFHC-IPE, acuan tersebut diatas
dapat digunakan untuk melaksanakan tugas lapangan baik secara individu maupun kelompok.
Kegiatan CFHC-IPE dilaksanakan secara kelompok karena realitas kegiatan di pelayanan primer
dilakukan oleh tim kesehatan baik dari profesi dokter, perawat, dietisen, dan lain-lain maka
6
Tujuan pembelajaran CFHC-IPE adalah pendekatan personal di dalam keluarga
dilanjutkan dengan pelayanan komunitas berbasis pada kerjasama tim, maka diperlukan
pengetahuan tentang upaya penanggulangan penyakit di tingkat primer yang meliputi berbagai
komponen antara lain pemahaman perjalanan alamiah penyakit, keseimbangan ekologis, dan
epidemiologi.
7
BAB IFAMILY ATTACHMENT-BIOPSYCHOSOCIAL dr.Wahyudi Istiono, M.Kes
dr.Fransisca Kurnia Chandra Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes
dr.Emy Huriyati, M.Kes
Editor:
dr.Fatwasari Tetradewi, MPH, PhD dan dr.Fitriana
Biospikososial-kultur-spiritual merupakan suatu konteks dinamika kehidupan individu
terutama di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja. Prinsip pengelolaan kesehatan yang
berbasis pada individual atau personal menggunakan konteks tersebut di atas sebagai prosedur
spesifik keilmuan di bidang pelayanan primer (family medicine). Biopsikososial memberikan
dasar pemahaman menentukan penyakit, mengarahkan pada terapi yang tepat, dan pola
pelayanan kesehatan .
Pendekatan biopsikososial secara sistematis mempertimbangkan faktor biologi, psikologi,
dan sosial dan interaksi kompleks dalam memahami sehat, sakit (illness), dan penyampaian pelayanan kesehatan. Pendekatan ini menggambarkan karakteristik personal yang lebih lengkap
dan lebih realistis sebagaimana kehidupan sehari-hari klien beserta keluarganya.
Dahulu, terminologi yang dipakai adalah biomedical, di mana kata tersebut hanya menjelaskan tentang pikiran dan tubuh. Mengingat penyakit primer merupakan kegagalan tubuh
yang dihasilkan dari infeksi, keturunan atau semacamnya, konsekuensi dari pemakaian
terminologi biomedical hanya menjelaskan sebagian dari konsep sehat. Hal tersebut menjadikan definisi sehat dari WHO menjadi sederhana, yaitu tidak adanya penyakit. Pada sebuah tulisan
yang dibuat oleh Engel, dikatakan paradigma biomedical dan konsep sosial dan psikologi memberikan pemahaman proses sakit lebih baik. Beberapa tahun ini, model biopsikososial lebih
dipakai dan diterima. Secara umum sekarang sakit dan sehat merupakan hasil dari interaksi
antara faktor biologi, psikologi, dan sosial (Yolanda, 2004).
Tenaga kesehatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan
menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Pelayanan tenaga kesehatan sebagai pelayanan
8
kiat yang berorientasi pada kebutuhan objektif klien baik secara individu, keluarga, kelompok,
komunitas dan masyarakat yang dilandasi etika profesi.
Pengelolaan kesehatan personal juga mempertimbangkan konsep disease/sickness (yang merujuk pada kesehatan biologis) dan illness (yang merujuk pada fungsi dan makna biologis dalam kehidupan sehari-hari/psikososial, kultur dan spiritual) yang dirasakan individu dengan
pengertian subjektif. Identifikasi pengelolaan illness dan disease/sickness dapat dilihat dari dokumen medical record yang informasinya dikelompokkan ke dalam identitas sosial demografi dan identitas klinik (subjektif, objektif, assessment, dan plan).
Pendekatan pelayanan primer harus mempertimbangkan semua aspek di atas dengan
rincian sebagai berikut:
1. Untuk memahami masalah pada perseorangan atau individu perlu diketahui terlebih dahulu
masalah sosial demografi secara rinci. Output ini digunakan untuk mempertimbangkan faktor
risiko, pencegahan, pendampingan, dan pemberdayaan individu tatkala sakit.
2. Informasi subjektif sebagai hasil anamnesis mempertimbangkan respon pasien terhadap sakit
atau keluhan yang sedang diderita (illness). Respon tersebut digali dengan pendekatan aktivitas psikologi individu, status sosial dan kegiatan sosial, kultur di lingkungan keluarga
maupun sosial sekitarnya, serta aktivitas spiritual. Indikator kejelasan informasi sakit atau
keluhan yang sedang diderita (illness) dapat berwujud semacam ide, harapan, perasaan, afek dan fungsi.
3. Informasi objektif adalah upaya aktif pengelolaan pelayanan kesehatan yang berbasis pada
riwayat penyakit, pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium selama kontak
dengan pasien.
4. Assessment dilakukan untuk menganalisis hasil informasi subjektif maupun objektif berupa diagnosis banding dan diagnosis utama yang bersifat holistik.
9
Pelayanan primer yang berbasis pada personal (patient center care) pada prinsipnya mengelola problem individu, tujuan yang diharapkan dan aturan atau prosedur yang akan
diterapkan. Posisi pelayanan primer merupakan upaya pelayanan di tingkat kontak pertama.
Indikator pengelolaan diagnosis holistik dan penanganan yang komprehensif dapat
mengacu pada:
1. Anamnesis holistik :
a. Personal social history
b. Family assessment tool: genogram, family map, family life cycle, family lifeline, family APGAR (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, and Resolve), dan family SCREEM (Social, Cultural, Religion, Economic, Education, and Medical).
c. Risk Factor
d. Disease and illness
2. Diagnosis holistik meliputi diagnosis psikososial, kultur, dan spiritual serta diagnosis medik.
3. Plan atau manajemen holistik meliputi: a. intervensi psikososial
b. intervensi medik (diagnosa, treatment dan followup) c. intervensi berbasis EBM
d. Upaya pencegahan diberbagai level perjalanan alamiah penyakit.
Kesadaran tenaga kesehatan akan dampak dari stres yang dirasakan pasien sangat
membantu dalam proses promosi kesehatan dan pengobatan yang tepat untuk pasien. Setiap
individu merupakan pribadi yang unik yang memiliki pengalaman pribadi, tingkat pendidikan,
perilaku, kultur, kepercayaan akan kesehatan, kelemahan pribadi. Hal unik tersebut yang
membuat pasien mendapatkan penanganan yang berbeda-beda.
Dokter memiliki kemampuan untuk menjadikan pasiennya memiliki kesehatan yang lebih
baik. Beberapa kemampuan yang dimiliki dokter:
a. Reward power
Dokter memiliki kemampuan memberi kepuasan kepada pasien melalui suatu hal yang riil.
Hal tersebut seperti obat untuk meringankan nyeri, mengobati penyakit, memberikan
10
b. Coercive power
Dokter memiliki hak memberikan masukkan untuk kebaikan pasien, seperti memberikan obat
kepada pasien, memondokkan pasien dan menolak permintaan pasien.
c. Expert power
Walaupun informasi tentang penyakit dapat diperoleh dari banyak sumber, tetapi pasien tetap
menganggap bahwa dokter adalah orang yang paling mengetahui sakitnya.
d. Referent power
Pasien akan menjaga hubungan dengan dokter untuk memperkuat dan mendukung diri
sendiri.
e. Legitimate power
Seorang dokter diberi kuasa untuk memutuskan seseorang boleh atau tidak boleh melakukan
suatu tindakan karena pasien datang dan meminta saran dari dokter dan hal tersebut dilindungi
oleh pemerintah. Beberapa contohnya adalah seorang dokter dapat memberikan ijin pasien
tidak masuk kerja, memondokkan pasien ke rumah sakit jiwa.
Tindakan kolaborasi keperwatan dilakukan dengan tim kesehatan dalam pemberian
asuhan keperawatan, perencanaan terhadap upaya penyembuhan serta pemulihan kesehatan
klien. Kolaborasi keperawatan dapat juga dilakukan secara lintas sektoral untuk pengembangan
dan pelaksanaan program kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat. Peran perawat secara umum adalah sebagai berikut:
1. Care provider, menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks pemberian
askep yang komprehensif dan holistik berlandaskan aspek etik dan legal.
2. Community leader, menjalankan kepemimpinan di berbagai komunitas, baik komunitas profesi maupun komunitas sosial
3. Educator, mendidik klien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya
4. Manager, mengaplikasikan kepemimpinan dan manajemen keperawatan dalam asuhan klien
5. Researcher, melakukan penelitian keperawatan dengan cara menumbuhkan kuriositas, mencari jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka
11
Mendengarkan secara aktif merupakan salah satu kelebihan tenaga kesehatan dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi pasien baik biologi, psikologi, dan sosial. Hal
tersebut dapat terjadi karena beberapa hal:
1. Pasien mengharapkan bantuan
Seorang pasien yang datang untuk konsultasi dengan tenaga kesehatan selalu yakin
bahwa akan mendapat pertolongan dari mereka.
2. Hubungan terapetik
Walaupun seorang pasien meyakini bahwa seorang tenaga kesehatan dapat
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, tetapi seorang pasien tetap dapat
mengggunakan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku sehari-harinya untuk menentukan
cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Ikatan ini menciptakan hubungan
yang didasari oleh saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain.
3. Obtaining an external perspective
Pasien selalu mengharapkan seorang tenaga kesehatan yang bijak dan berpengetahuan
luas agar dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
4. Encourage a corrective experience
Psikoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan pasien yang efektif. Psikoterapi
dapat mengubah fungsi, reaksi dan respon pasien terhadap suatu masalah.
5. Opportunity to test reality repeatedly
Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bisa selalu menjadi tempat pasien berkeluh
kesah. Dokter bertanggungjawab untuk mendampingi pasien menghadapi masalah.
Permasalah klien juga mendapat perhatian dari perawat terhadap penyimpanan dan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosial dan spiritual) menjadi bidang garapan
dan fenomena yang menjadi objek kelimuan keperawatan yang mencakup seluruh siklus
kehidupan.
Kemampuan tenaga kesehatan dalam menggali masalah psikososial yang sedang dihadapi
pasien sangat penting. Pertanyaan yang diajukan harus sistematis mengingat waktu yang dimiliki
seorang tenaga kesehatan saat praktek sangat terbatas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam
waktu yang tidak banyak, dapat digunakan akronim BATHE untuk melengkapi SOAP (subjektif,
12
terapetik yang kuat, sehingga bisa saja pasien tidak membutuhkan obat tetapi hanya edukasi.
Komponen BATHE meliputi:
i. Background, pertanyaan tentang tujuan pasien datang. ii. Affect, pertanyaan tentang perasaan pasien saat ini.
iii. Trouble, pertanyaan yang berfokus pada masalah utama yang sedang dihadapi oleh pasien. iv. Handling, pertanyaan tentang tindakan yang sudah dilakukan pasien dalam menghadapi
masalah.
v. Empathy, membuat pernyataan yang masuk akal bagi pasien
Penggalian masalah psikososial pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak
menjadikan tenaga kesehatan tersebut ikut bertanggungjawab dalam masalah pasien, tetapi hal
ini bertujuan untuk membantu dokter menentukan terapi yang paling tepat untuk pasien. Dalam
hal ini tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien menyelesaikan masalah dan memastikan
bahwa pasien mengetahui bahwa tenaga kesehatan akan membantu. Penting bagi tenaga
kesehatan untuk menentukan masalah yang sedang dihadapi oleh pasien lebih dominan biomedik
atau psikososial.
Seorang tenaga kesehatan tidak boleh mendikte pasien dalam memilih cara yang akan
dipakai untuk menyelesaikan masalah. Tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien
menentukan masalah utama yang dihadapi dan memberikan beberapa macam alternatif
penyelesaian, pada akhirnya pasien yang akan menentukan pilihan. Hal ini lebih baik karena
dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan pasien dalam menganalisa alternatif mana yang
paling baik untuk dirinya.
Ketika seorang pasien sudah putus asa, tenaga kesehatan harus meyakinkan pasien bahwa
selalu ada penyelesaian untuk tiap masalah. Intervensi terapetik ini akan membantu pasien lebih
terbuka terhadap kemungkinan yang ada.
Terdapat beberapa cara dalam menghadapi masalah, seperti (Rakel, 2007):
1. Leaving, menyelidiki kemungkinan hasil terbaik dan terburuk dan merencanakan waktu yang tepat untuk menentukan sikap.
2. Changing, hal ini membutuhkan investigasi terhadap masalah yang dapat dihadapi dan solusi yang dimiliki.
3. Accepting, menjelaskan bahwa bila masalah yang dihadapi berubah, mereka harus bisa juga
13
4. Reframing, menemukan cara menginterpretasikan bahwa suatu masalah merupakan pengalaman positif dan dapat dipakai sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.
Bekerja sama dengan keluarga merupakan dasar dari kedokteran keluarga. Keluarga yang
hidup dalam harmoni dapat menciptakan kesehatan mental yang baik untuk setiap anggota
keluarganya dan juga stabilitas sosialnya. Hampir semua keluarga memiliki masalah psikososial
salah satu contohnya seperti perceraian oleh karena itu dokter perlu mengetahui masalah
psikososial yang dialami oleh keluarga tersebut.
Family therapy paling baik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena tenaga kesehatan memiliki posisi untuk dapat melakukan perawatan keluarga dan
berkelanjutan. Dari sudut pandang family therapi, bekerjasama dengan keluarga bukan berarti tenaga kesehatan dapat mendikte yang harus dilakukan oleh keluarga, bertanggungjawab dengan
apa yang keluarga butuhkan, dan menyebabkan keluarga menjadi bergantung pada tenaga
kesehatan. Dari sudut pandang family education, bekerjasama dengan tenaga kesehatan berarti membantu keluarga mampu menerima perubahan yang baik maupun perubahan yang buruk.
Tenaga kesehatan perlu mengetahui karakteristik keluarga yang dibinanya agar dapat
menilai dan membantu melakukan dari prevensi, promosi, kurasi, dan rehabilitasi. Beberapa
karakteristik yang dimiliki keluarga adalah:
1. Komunikasi yang sehat, anggota keluarga bebas mengekspresikan perasaan dan emosi.
2. Otonomi, yang menunjukkan bahwa setiap anggota keluarga memiliki kesempatan
menentukan keputusan ataupun lainnya secara mandiri serta toleran terhadap kehidupan
anggota keluarga lainnya
3. Fleksibel, anggota keluarga dapat saling menerima perubahan yang terjadi satu sama lain.
4. Apresiasi, anggota keluarga saling mendukung dan memuji untuk membangun kepercayaan
diri.
5. Saling mendukung, tingkat stres seseorang dapat berkurang dengan adanya dukungan dari
keluarga.
6. Waktu keluarga, meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan kebahagiaan
seseorang.
7. Ikatan keluarga, yang dicirikan dengan pola hubungan yang bervariasi misalnya genetic.
14
8. Tumbuh, individu sebagai bagian dari keluarga maupun keluarga tersebut dapat dikatakan
berkembang dan menjalani pertumbuhan phisik maupun biopsiko social spiritualnya samapai
dengan fase tertentu akan mengalami kemunduran.
9. Nilai spiritual dan religius, keluarga yang memupuk nilai spiritual dan religius memiliki
tingkat kesehatan keluarga yang lebih baik.
Sebuah keluarga terkadang ditimpa oleh masalah seperti sakit, perceraian, dipecat, dan
lain-lain. Kondisi sakit yang terjadi pada salah satu anggota keluarga atau beberapa tidak hanya
mempengaruhi kehidupan yang mengalaminya, tetapi dapat juga mengganggu keseimbangan
sistem dalam keluarga. Tenaga kesehatan perlu meminta peran serta keluarga untuk membantu
pasien dalam menghadapi masalah sakitnya. menghadapi sakit pasien.
Untuk mengetahui manifestasi sakit pasien, tenaga kesehatan harus mengetahui respon
pasien terhadap stimulus stres baik yang berasal dari dalam (keluarga dan pekerjaan) maupun
dari luar (karakter personal).
Untuk memahami masalah yang sedang dialami oleh pasien, seharusnya seorang tenaga
kesehatan juga melihat latar belakang keluarganya sehingga diharapkan dapat memahami pasien
secara holistik. Untuk memahami permasalahan pasien, tenaga kesehatan seharusnya
mengevaluasi dinamika keluarga. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasinya, seperti:
a. Mengobservasi interaksi antara anggota keluarga.
b. Lakukan konseling dengan seluruh anggota keluarga.
c. Lakukan kunjungan rumah.
d. Buatlah genogram untuk mengetahui struktur dan hubungan keluarga.
Konsep family life cycle dapat dipahami bila kita mengatahui dinamika dalam keluarga. Beberapa tahapan family life cycle (John, 2011):
1. Meninggalkan rumah, menjadi pribadi yang mandiri dan mulai terpisah secara emosi
dengan orang tua.
2. Menikah, menjalin hubungan dengan suami atau istri, tahap ini membuat hubungan
emosi dengan orangtua menjadi lebih terpisah.
3. Belajar hidup bersama, memulai hidup baru dengan keluarga.
4. Mengasuh anak pertama, memiliki anggota keluarga baru dan menambah peran sebagai
15
5. Hidup dengan remaja, meingkatkan fleksibiltas batasan-batasan dalam keluarga
6. Melepas anak yang telah dewasa, penyesuaian telah berakhirnya peran sebagai orang tua.
7. Pensiun, masa di mana sudah tidak memiliki penghasilan dan membangun hubungan baru
dengan anak, cucu, atau anggota keluarga lainnya.
8. Usia tua, belajar menerima bahwa semakin lemah dan bergantung pada orang lain, belajar
menerima kehilangan pasangan hidup, keluarga, atau teman.
Perawatan kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan pada keluarga
sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan keluarga yang sehat. Fungsi perawat membantu
keluarga untuk menyelesaikan masalah kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan
keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga.
Peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:
1. Pendidik
Perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar keluarga dapat
melakukan program asuhan kesehatan secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap
masalah kesehatan keluarga.
2. Koordinator
Koordinasi diperlaukan pada perawatan agar pelayanan komprehensive dapat dicapai.
Koordinasi juga diperlukan untuk mengatur program kegiatan atau terapi dari berbagai
disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan.
3. Pelaksana
Perawat dapat memberikan perawatan langsung kepada klien dan keluarga dengan
menggunakan metode keperawatan.
4. Pengawas kesehatan
Sebagai pengawas kesehatan harus melaksanakan home visite yang teratur untuk
mengidentifikasi dan melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.
5. Konsultan
Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Agar
keluarga mau meminta nasehat kepada perawat, hubungan perawat dan klien harus terbina
dengan baik, kemampuan perawat dalam menyampaikan informasi dan kialitas dari
16
6. Kolaborasi
Bekerja sama dengan pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan anggota tim kesehatan
lain untuk mencapai kesehatan keluarga yang optimal.
7. Fasilitator
Membantu keluarga dalam menghadapi kendala seperti masalah sosial ekonomi, sehingga
perawat harus mengetahui sistem pelayanan kesehatan seperti rujukan dan penggunaan
dana sehat.
8. Penemu kasus
Menemukan dan mengidentifikasi masalah secara dini di masyarakat sehingga
menghindarkan dari ledakan kasus atau wabah.
9. Modifikasi lingkungan
Mampu memodifikasi lingkungan baik lingkungan rumah maupun masyarakat agar tercipta
lingkungan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso, Y., 2004. The biopsychosocial model in medical research: the evolution of the health
concept over the last two decades. PubMed: 53(2): 239-44.
John, M., 2011. General practice/John Murtagh 5th ed. McGraw-Hill Australia Pty Ltd.
Kaakinen, Joanna Rowe., 2010. Family Health Care Nursing: theory, practice, and research, 4th
edition
Konsil Kedokteran Indonesia., 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran
Indonesia, Jakarta
PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Standar Kompetensi Perawat Indonesia, Jakarta. (diunduh dari
www.hpeq.dikti.go.id)
PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Naskah akademik sistem pendidikan keperawatan, Jakarta.
(diunduh dari www.hpeq.dikti.go.id)
Rakel, E.R., 1990. Textbook of Family Practice 4th. McGraw-Hill, Mexico.
Rakel, R.E., 2007. Textbook of Family Medicine 7th ed. Saunder Elsevier: Philadelphia
17
BAB IIINTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE),
COMMUNICATION AND INTERPROFESSIONAL TEAMWORK Alm. Mariyono Sedyowinarso,S.Kp., M.Si dan dr.Mora Claramita, MHPE., PhD
1. Interprofessional Education (IPE)
a. Definisi IPE
Menurut the Center for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE, 1997), IPE adalah dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain
untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan. IPEmerupakan pendekatan
proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses
belajar-mengajar dengan tujuan untuk membina interdisipliner/interaksi
interprofessional yang meningkatkan praktek disiplin masing-masing (ACCP, 2009). Menurut Cochrane Collaboration, IPE terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa profesi
kesehatan yang berbeda melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan tujuan
untuk meningkatkan kolaborasi interprofessional dan meningkatkan kesehatan atau
kesejahteraan pasien.
b. Tujuan IPE
Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih mengenal peran
profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu untuk
berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien. Proses perawatan pasien secara
interprofessional akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Menurut Cooper (2001) tujuan pelaksanaan IPE antara lain: 1)
meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama; 2) membina
kerjasama yang kompeten; 3) membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan
efisien; 4) meningkatkan kualitas perawatan pasien yang komprehensif.
WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam
meningkatkan hasil perawatan pasien. Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE
18
efektif antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan hasil perawatan
pasien.
Sumber: Framework for action on interprofessional education & collaboration practice (WHO, 2010)
c. Aplikasi Konsep Kurikulum IPE.
Kurikulum IPE tidak dapat dipisahkan dari bagian kolaborasi interprofesional.
Interprofessional education dapat meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terhadap
praktik kolaborasi. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan perilaku terhadap kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan
lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien ditunjukkan
19
d. Metode Pembelajaran IPE
1) Kuliah klasikal
IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode pembelajaran berupa
kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan beberapa pengajar dari berbagai
disiplin ilmu (team teaching) dan melibatkan mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terintegrasi dari berbagai
profesi kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing keilmuan terhadap suatu masalah atau materi yang sedang dibahas.
2) Kuliah Tutorial (PBL)
Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi kelompok kecil yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan. Mereka
membahas suatu masalah suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi dan
mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah
20
3) Kuliah Laboratorium
Kuliah laboratorium dilaksanakan pada tatanan laboratorium. Modul yang
digunakan adalah modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari
berbagai profesi kesehatan.
4) Kuliah Skills Laboratorium
Skills Laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE karena dapat mensimulasikan bagaimana penerapan IPE secara lebih nyata. Dalam pembelajaran
skills laboratorium, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi dengan mahasiswa dari berbagai profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
pasien.
5) Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan
Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di rumah sakit dan di
komunitas. Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata di
lapangan untuk memberikan pelayanan kepada pasien nyata. Melalui pendidikan
profesi, mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan mahasiswa profesi lain
dalam kurikulum IPE.
2. Interprofessional Communication a. Definisi komunikasi interprofesi
Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah bertukar pikiran, opini, informasi melalui perkataan, tulisan ataupun tanda-tanda (Hornby et al, 2007). Komunikasi interprofesi adalah bentuk interaksi untuk bertukar pikiran, opini dan
informasi yang melibatkan dua profesi atau lebih dalam upaya untuk menjalin
kolaborasi interprofesi.
b. Manfaat komunikasi interprofesi
Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah,
berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama (Potter & Perry, 2005). Bila
komunikasi tidak efektif terjadi di antara profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi
taruhannya. Beberapa alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis,
21
c. Faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesi
Menurut Potter dan Perry (2005) keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :
a) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah terjadi. Persepsi
terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi yang
berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi; b) Lingkungan yang
nyaman membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi dengan baik. Kebisingan
dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat kebingunan, ketegangan atau
ketidaknyamanan; c) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi
interprofesi dapat menjadi sulit ketika lawan bicara kita memiliki tingkat pengetahuan
yang berbeda. Keadaan seperti ini akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan menjadi akan tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh pendengar.
d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi
Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena
melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi
yang tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati
situasi nyata. Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi
interprofesi berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan
metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan
budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah
satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE
tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam
berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri
untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang
lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011)
menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Developing Interprofessional Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi tersebutmerupakan
langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja sama tim
22
interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok untuk belajar berinteraksi
dengan profesi yang lain.
Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan metode
tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi
tutorial tersebut berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi
antara dokter, tenaga keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell (2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In Learning – An Interprofessional Approach To Improving Communication”bahwa tutorial sangat efektif untuk memberikan kesadaran akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam
perawatan pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang
lain dapat melatih mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
interprofesi.
Menurut Berridge (2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi
interprofesi yang berjalan efektif, akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari
kesalahpahaman yang dapat menyebabkan medical error, sehingga perlu adanya kurikulum pembelajaran IPE yang mampu melatih kemampuan mahasiswa dalam
sebuah kolaborasi interprofesi.
Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi interprofesi kesehatan yang kami
temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan profesi dokter, perawat,
apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan validasi oleh pakar komunikasi dari
Indonesia maupun Eropa (Claramita, et.al, 2012):
1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi kesehatan lain, yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak bahwa setiap profesi
kesehatan dibutuhkan untuk saling bekerjasama demi keselamatan pasien
(Patient-safety) dan keselamatan petugas kesehatan (Provider-(Patient-safety).
2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi kesehatan.
3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas kesehatan
yang berbeda profesi dalam
4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan lain.
23
dilakukan antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan yang berbeda.
6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi kesehatan yang
lain.
7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai proses pengobatan (termasuk alternatif/ tradisional)
8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan untuk
berbagi informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari profesi yang berbeda (baik tertulis di medical record, verbal maupun non-verbal).
9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi kesehatan sesuai
dengan tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.
10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar profesi
kesehatan mengenai masalah kesehatan pasien.
11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari profesi yang
lain dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
3. Interprofessional Teamwork a. Definisi kerjasama interprofesi
Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk
mencapai suatu tujuan. Kerjasama interprofesi dapat diartikan sebagai suatu kolaborasi
yang terkoordinasi di antara berbagai profesi tenaga kesehatan dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan kepada pasien untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja, efisiensi
biaya dan meningkatkan kepuasan pasien. Praktik kerjasama interprofesi menekankan
tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan, dengan proses pembuatan
keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan
praktisi.
Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari
hasil hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua
profesi yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan
menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing,
menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat
24
pengalaman, adanya keinginan dan kesadaran untuk berkomunikasi dan negosisasi
dalam menjalankan tugas yang interdependen dalam pencapaian tujuan bersama. Kedua profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan interpersonal, menilai dan
menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling melengkapi.
b. Kerjasama tim dalam proses kolaborasi
Proses kolaborasi memiliki ciri-ciri khas, di antaranya adalah kerjasama,
koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling ketergantungan dan
kebersamaan. Menurut Kozier (1997) hal-hal yang dapat dilakukan dalam penerapan
kolaborasi adalah: a) Kebersamaan dalam perencanaan, pengambilan keputusan,
pemecahan masalah, tujuan dan pertanggungjawaban, b) Bekerjasama dalam
memberikan pelayanan, c) Melakukan koordinasi dalam pelayanan, d) Keterbukaan
dalam komunikasi. Menurut Siegler & Whitney (2000) proses kolaborasi harus
memenuhi 3 kriteria berikut ini: a) harus melibatkan tenaga ahli dengan bidang keahlian
yang berbeda, yang dapat bekerjasama timbal balik secara mulus, b) anggota kelompok
harus bersikap tegas dan mau bekerjasama, c) kelompok harus memberikan pelayanan
yang keunikannya dihasilkan dari kombinasi pandangan dan keahlian yang diberikan
oleh setiap anggota tim tersebut.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama tim interprofesi
Menurut Weaver (2008), fungsi kerjasama tim yang efektif dipengaruhi oleh
faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat
meningkatkan maupun menghambat proses kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan
oleh kerangka berikut.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerjasama Interprofesi
25
1) Anteseden (Antecedents)
a) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(socialand intrapersonal consideration).
Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa seseorang harus
membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sifat
manusia sebagai makhluk sosial yang saling memerlukan dapat menjadi dasar
terbentuknya sebuah tim. Pertimbangan intrapersonal juga merupakan
komponen penting dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim
harus memiliki tipe kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama yang
baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila masing-masing
anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam profesinya masing-masing,
artinya anggota tim dari profesi yang satu harus seimbang dengan profesi yang
lain baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun pengalaman yang
dimiliki agar dapat saling berdiskusi secara efektif.
b) Lingkungan fisik (physical environment)
Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat
memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang baik harus
dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk mendiskusikan beberapa ide
maupun menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi, sehingga dapat
meningkatkan ikatan dan diskusi penting yang mengarah pada pemahaman dari
perspektif yang berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.
c) Faktor organisasional dan institusional (organizational and institutional factor)
Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan
untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi
ataupun kelembagaan kesehatan harus dapat mendorong terciptanya kerjasama
antar profesi kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum
interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan kesehatan
melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan pelayanan kesehatan di
26
2) Proses
a) Faktor perilaku
Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan kunci untuk
mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi. Kesadaran untuk bekerjasama
dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak
ada arogansi maupun egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan
untuk meredakan ketegangan di antara profesi yang berbeda, selain itu juga
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien.
b) Faktor interpersonal
Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain,
dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam hubungan
interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap profesi harus mengetahui
peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi peran sesuai dengan
kompetensi masing-masing profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi
yang baik sangat diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif.
Melalui komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide,
perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi dapat berjalan
dengan baik.
c) Faktor intelektual
Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang peranan yang
sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kolaborasi
interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan berjalan dengan baik apabila setiap
anggota tim mempunyai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang setara.
3) Outcome and opportunity
Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan sangat
membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan dengan inovasi
pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan terbentuknya kerjasama yang
efektif harus ditekankan pada setiap anggota tim sehingga dapat tercipta model
integratis dalam sistem pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk
27
c. Upaya meningkatkan kerjasama interprofesi
Kerjasama yang efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi merupakan
kunci penting dalam meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan dan keselamatan
pasien (Burtscher, 2012). Fakta yang terjadi saat ini, bahwa sulit sekali untuk
menyatukan berbagai profesi kesehatan tersebut kedalam sebuah tim interprofesi. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama
yang efektif seperti kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum
tumbuhnya budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan klinis
pasien. Untuk itulah diperlukan adanya kurikulum yang dapat melatih mahasiswa tenaga
kesehatan untuk berkolaborasi sejak masa akademik agar mereka terbiasa berkolaborasi
dengan profesi lain bahkan sampai ketika mereka berada didunia kerja (Reeves, 2011).
Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema “Framework For Action On Interprofessional Education & Collaborative Practice” menjelaskan bahwa
interprofessional education (IPE) merupakan strategi pembelajaran inovatif yang menekankan pada kerjasama dan kolaborasi interprofesi dalam melakukan proses
perawatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Lebih jauh WHO
(2010) menjelaskan bahwa kerjasama interprofesi merupakan kemampuan yang harus
selalu dipelajari dan dilatih melalui IPE. Kemampuan kerjasama interprofesi yang baik
dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa untuk menjadi team leader dan mampu mengatasi hambatan dalam kerjasama interprofesi.
d. Penerapan kerjasama interprofesi
Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan seperti konsultan,
dokter, perawat, dokter spesialis, dan fisioterapis dan tim ini dapat diterapkan pada
berbagai macam tatanan perawatan misalnya pada ruang operasi maupun pada perawatan
geriatri. Dalam penerapan kerjasama interprofesi, anggota tim interprofesi mungkin saja
mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman tentang perawatan yang berfokus pada komunikasi dan sikap
yang mengacu pada keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama. Selain itu
dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi dalam menciptakan perawatan yang
28
keseluruhan. Penerapan kerjasama tin interprofesi pada beberapa tatanan perawatan
pasien dijelaskan sebagai berikut:
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan efektifitas
kerjasama tim adalah Team Mental Models (TMM). TMM didefinisikan sebagai metode anggota timnya yang dapat saling berbagi pengetahuan maupun pemahaman terkait
kompetensi kinerja klinis tenaga kesehatan. Menurut DeChurch dan Mesmer-Magnus
(2010), TMM telah terbukti memberikan efek yang signifikan terhadap proses kinerja
tim. Berdasarkan kompleksitas kasus pasien, Ruang Operasi (OK) menjadi salah satu
setting yang paling cocok untuk penerapan TMM.
Secara umum, konsep TMM mengacu pada pembagian pemahaman maupun
pengetahuan yang relevan antar anggota dalam mewujudkan kerjasama tim yang efektif.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burtscher (2012) menyatakan bahwa melalui
TMM, tenaga kesehatan dapat berbagi pengetahuan, sikap, dan pemahaman terkait
peningkatan keselamatan pasien (patient safety). Anggota tim interdisiplin dapat saling mengidentifikasi peran dan tanggungjawab masing-masing profesi serta dapat
menentukan solusi masalah kerjasama yang mungkin terjadi berdasarkan diskusi tim.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak ditemukan potensi masalah di klinis
maupun di masyarakat mengenai perawatan kesehatan pasien, khususnya pada lansia.
Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama tim interdisiplin tenaga kesehatan dalam
mewujudkan perawatan geriatri yang optimal (Kagan, 2010). Sebuah tim interdisiplin
perlu meningkatkan dan mengimplementasikan pengetahuan maupun kompetensi asuhan
perawatan akut pada geriatri. Tidak seperti perawatan geriatri jangka panjang, perawatan
akut lebih menitikberatkan pada pemberian perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Tenaga kesehatan akan membentuk suatu tim kesehatan yang terdiri atas dokter,
psikiatri, maupun perawat klinis. Kerjasama tim interprofesi pada perawatan geriatri akut
dapat dilakukan misalnya dengan cara perawat dapat memberikan asuhan keperawatan
langsung kepada pasien, dokter berperan dalam perawatan medis, dokter bedah dapat
merencanakan medikasi dan tindakan operatif sesuai indikasi, sedangkan pekerja sosial
dapat mengkoordinasikan discharge planning pasien pada saat akan dipulangkan ke rumah. Di sisi lain, fisioterapis dapat memberikan intervensi kritis kepada pasien untuk
29
Tantangan Hirarki Ilmu-Ilmu Kedokteran dan KesehatanBerikut ini adalah ilustrasi adanya hirarki dalam proses kerjasama antar profesi kesehatan. Kedua
ilustrasi ini merefleksikan kenyataan minimnya komunikasi antar profesi kesehatan
dalam upaya kerjasama interprofesi kesehatan (Claramita, et al. 2012). Harapan
kami, mahasiswa kedokteran dan tenaga kesehatan mampu belajar dari kedua
ilustrasi ini, sehingga ke depan akan melalukan kerjasama antar profesi yang jauh
lebih baik dari yang sudah diilustrasikan di dalam tulisan ini, demi upaya
menjunjung tinggi keselamatan pasien.
Ilustrasi 1: Kerjasama dan Komunikasi antar profesi kesehatan di tahun awal pendidikan Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Pada sebuah pelatihan Komunikasi Antar Profesi Kesehatan yang diberikan oleh kedua penulis,
bagi mahasiswa tahun pertama, sesaat ketika selesai Pekan Orientasi Fakultas dan Universitas di
tahun 2011 di UGM, sebanyak total 60 mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan berpartisipasi.
Sepuluh orang diminta maju ke depan dan memainkan peran sesuai masing-masing profesi
kesehatan yang akan dipelajarinya. Skenarionya adalah bahwa mereka dalam pekan orientasi
yang lalu, ada salah satu dari rekan mahasiswa tiba-tiba pingsan – kemudian mereka dipersilakan
merespon sesuai persepsi mereka tentang profesi kesehatan yang akan mereka pelajari.
Respon dari mahasiswa Keperawatan:
Secara otomatis, mengangkat mahasiswa yang pingsan, kemudian membawanya ke tempat yang „teduh‟, melonggarkan pakaiannya, berusaha mengajak bicara, dan mendampingi mahasiswa tersebut sampai ia siuman dan mampu kembali lagi ke kelompoknya.
Jangan lupa bahwa Tenaga Kesehatan adalah juga seorang individu
yang unik yang mempunyai berbagai macam
30
Respon dari mahasiswa Gizi Kesehatan:
Berusaha memberikan support kepada mahasiswa yang pingsan melalui usaha mengambilkan air minum, menanyakan apakah sudah sarapan, berusaha memberikan semangkuk „soto‟ dan menanyakan kebiasaan makan sehari-hari
Respon dari mahasiswa Kedokteran:
Berdiri dari tempatnya, memberikan instruksi bagi mahasiswa yang lain untuk mengambil ini
dan mengambil itu, dalam upayanya menolong mahasiswa yang pingsan. Berusaha menanyakan
ada masalah apa dan ketika mengetahui bahwa mahasiswa tersebut belum sarapan, segera
memberikan nasehat bahwa sarapan pagi itu sangat penting.
Catatan penulis;
Selama proses menolong mahasiswa yang pingsan tersebut terjadi, komunikasi yang terjalin antar profesi kesehatan amat minimal, dan sebatas „instruksi‟ dari „dokter‟, dan tidak sampai kepada diskusi bersama.
Ilustrasi 2: Kerjasama antar profesi kesehatan di tahun akhir pendidikan kedokteran dan
ilmu-ilmu kesehatan
Sejumlah 90 mahasiswa tingkat sarjana di tahun terakhir, baik dari Kedokteran maupun
Keperawatan dan Gizi Kesehatan, mengikuti pelatihan Komunikasi Antar Profesi Kesehatan
yang diadakan oleh penulis kedua, di FK UGM tahun 2011. Permainan peran diikuti oleh
masing-masing profesi. Skenario yang dibawakan oleh pasien simulasi adalah: Kasus Diabetes
Melitus Tipe II datang dengan luka di kaki yang tidak sembuh. Kasus kedua adalah Diare Akut
Cair. Pasien simulasi adalah seorang pria dewasa.
Respon dari mahasiswa Keperawatan:
31
Keperawatan selalu memperhatikan mimik muka pasien, dan berusaha merespon permintaan dari
pasien. Namun, meskipun mahasiswa Keperawatan mampu berkomunikasi dengan baik dengan
pasien simulasi, selama proses konsultasi ini, mahasiswa Keperawatan tidak pernah berbicara dengan “Dokter‟.
Respon dari Mahasiswa Gizi Kesehatan:
Mahasiswa Gizi Kesehatan terlihat menunggu giliran untuk mengekplorasi riwayat gizi penderita
dan memberikan penjelasan mengenai asupan gizi yang sesuai. Mahasiswa Gizi Kesehatan
terlihat ingin berkontribusi pada proses konsultasi, akan tetapi selalu tidak sempat dilakukan
karena baik eksplorasi riwayat gizi maupun edukasi gizi terlihat telah dilakukan mahasiswa
Kedokteran. Selama proses konsultasi ini, meskipun mahasiswa Gizi Kesehatan terlihat ingin berpartisipasi dalam berkomunikasi dengan pasien, ia tidak mengutarakannya pada „Dokter‟.
Respon dari Mahasiswa Kedokteran:
Sebagai calon Dokter, mahasiswa Kedokteran terlihat melakukan profesinya dengan amat detil,
menanyakan seluruh riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan yang dipdandang perlu, dan
memberikan edukasi selengkap mungkin. Selama proses konsultasi ini, mahasiswa Kedokteran
hampir tidak pernah meminta pendapat mahasiswa Keperawatan maupun mahasiswa Gizi
Kesehatan. Fokus perhatiannya adalah berkomunikasi dengan pasien.
Pedoman untuk refleksi dan didiskusikan bersama Dosen Pembimbing Lapangan/ Dosen
Pembimbing Kelompok Community and Family Attachment – Interprofessional Education:
1. Apakah yang sudah baik dilakukan oleh para mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan di
atas? Tulis minimal 2 jawaban untuk masing-masing profesi
2. Apakah yang masih harus diperbaiki, dipelajari, dalam berkomunikasi antar profesi
kesehatan, dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi individu,
keluarga dan masyarakat? Tulis minimal 10 jawaban
3. Kapankah seharusnya berbagai profesi kesehatan tersebut saling berinisiatif
mengkomunikasikan kepentingan pasien, satu sama lain, demi keselamatan pasien? Jawab
32
4. Bagaimana kira-kira ilustrasi kerjasama dan komunikasi antar profesi kesehatan (yang kita
harapkan) setelah masing-masing profesi melakukan praktek professional selama lebih dari
5 tahun, di seting Layanan Primer maupun di Rumah Sakit? Jawab dalam 2 kalmiat pendek.
33
DAFTAR PUSTAKA
Barnsteiner, J.H., Disch, J.M., 2007. Promoting interprofessional education. Nursing outlook, 55 (3), pp.144-50. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17524802 [Accessed
September 5, 2011].
Benedict, L., Robinson, K., Holder, C., 2006. Clinical Nurse Specialist Practice Within The
Acute Care For Elders: Interdisciplinary Team Model. Clin Nurse Specialist.
Berridge, E.-J., Mackintosh, N.J. & Freeth, D.S., 2010. Supporting patient safety: examining
communication within delivery suite teams through contrasting approaches to research
observation. Midwifery, 26(5), pp.512-9. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20696506 [Accessed March 8, 2012].
Burtscher, M.J. & Manser, T., 2012. Team mental models and their potential to improve
teamwork and safety: A review and implications for future research in healthcare. Safety Science, 50(5), pp.1344-1354. Available at:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0925753511003523 [Accessed April 6, 2012].
Claramita M, Sedyowinarso M, Huriyati E, Wahyuningsih MS. 2012. Interprofessional Communication Guideline using principle of “Greet-Invite-Discuss”
CIHC. 2007. Interprofessional Education and Core Competencies, Literature Review. Canada.
DeChurch, L.A., Mesmer-Magnus, J.R., 2010. The cognitive underpinnings of effectiveteamwork: a
meta-analysis. Journal of Applied Psychology 95 (1), 32–53.
Fox, E., 2000. An audit of inter-professional communication within a trauma and orthopaedic
directorate. Journal of Advanced Nursing, pp.160-169.
Hall, P., Weaver, L., 2001. Interdisiplinary Education and Teamwork: a Long and Winding Road.
Medical Eduction, 35 : 867-875, Blackwell Science Ltd.
Kagan, S.H., 2010. Revisiting interdisciplinary teamwork in geriatric acute care. Geriatric nursing (New York, N.Y.), 31(2), pp.133-6. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20381716 [Accessed April 6, 2012].
Lauder, W., Roxburgh, M., Atkinson, J., Banks, P., & Kane, H., 2011. The quality of on-line
communication in a national learning programme for newly qualified nurses, midwives
and allied health professionals. Nurse education in practice, 11(3), pp.206-10. Available
34
Mitchell, A. M., Fioravanti, M., Founds, S., Hoffmann, R. L., & Libman, R., 2010. Using
Simulation to Bridge Communication and Cultural Barriers in Health Care Encounters:
Report of an International Workshop. Clinical Simulation in Nursing, 6(5), p.e193-e198. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1876139909005477 [Accessed
March 25, 2012].
Mitchell, M., Groves, M., Mitchell, C., & Batkin, J., 2010. Innovation in learning – An
inter-professional approach to improving communication. Nurse education in practice, 10(6), pp.379-84. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20561823 [Accessed
March 25, 2012].
Reeves, S., Lewin, S., Espin, S., Zwarenstein, M., & Ed, H. B., 2011. Interprofessional
Teamwork for Health and Social Care. , pp.32-33.
Remington, T.L., Foulk, M. A & Williams, B.C., 2006. Evaluation of evidence for
interprofessional education. American journal of pharmaceutical education, 70(3), p.66. Available at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1636959&tool=pmcentrez&renderty
pe=abstract.
Smith, a R. & Christie, C., 2004. Facilitating transdisciplinary teamwork in dietetics education: a
case study approach. Journal of the American Dietetic Association, 104(6), pp.959-62. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15175595 [Accessed April 6, 2012].
Wagner, J., Liston, B. & Miller, J., 2011. Developing interprofessional communication skills.
Teaching and Learning in Nursing, 6(3), pp.97-101. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1557308710001149 [Accessed March 25,
2012].
Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork. Nursing outlook, 56(3), pp.108-114.e2. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18501748 [Accessed April 6,
2012].
World Health Organisation., 2010. Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative Practice.
Zwarenstein, M., Reeves, S., Russell, A., Kenaszchuk, C., Conn, L.G., Miller, K.L., Lingard, L.,
35
Teamwork (SCRIPT): a cluster randomized controlled trial. Journal of Nursing
Education, 8, p.23. Available at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2045094&tool=pmcentrez&renderty
36
BAB IIINEED-WANT-DEMAND dr.Wahyudi Istiono, M.Kes
Kontributor: dr.Fransisca Kurnia Chandra dan dr.Fitriana
Wants
Wants adalah keinginan seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih sehat dalam hidupnya. Keinginanan tersebut berdasarkan evaluasi diri terhadap status kesehatannya. Dapat dimaklumi
bahwa sehat adalah modal pokok perseorangan maupun keluarga dalam aktivitas sehari –hari.
Keputusan mengenai keinginan ini umumnya lebih pada subjektif individu bersangkutan. Posisi
individu lebih bebas atau tidak terpaksa. Dimungkinkan bahwa hal-hal yang diinginkan belum
tentu dilaksanakan.
Demands
Demands yang dimaksud adalah permintaaan untuk lebih sehat yang diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran ( demand for health). Biasanya permintaan ini sudah merupakan keputusan untuk bertindak lebih jauh yang diwujudkan dengan perilaku upaya
mencari pertolongan pihak lain. Sebagai konsekuensi logis bagi yang dimintai penyelenggaraan
pertolongan tenaga kedokteran, diperlukan persiapan kebutuhan pelayanan kedokteran (demands for health care). Pada tahap ini upaya pelayanan kesehatan dapat direncanakan berdasarkan jenis jenis permintaan tersebut.
Needs
Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dalam populasi yang tersebar dan karekteristik
gografis berbeda-beda, maka untuk menjawab kebutuhan pelayanan kedokteran diperlukan
sistem pelayanan kesehatan yang terjangkau, bermutu (kendali mutu) dan efisien (kendali
biaya). Sistem pelayanan yang dipilih adalah sistim pelayanan berjenjang mulai dari fasilitas
37
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan pelayanan kesehatan
Banyak faktor berpengaruh secara kompleks dalam perencanaan penyedianan kebutuhan
pelayanan kedokteran, antara lain, evaluasi diri pasien, kebutuhan fisiologis, demografis,
epidemiologi, jumlah tenaga kedokteran, pembiayaan dan tingkat ekonomi, inflasi, kebijakan dan
teknologi kesehatan. Dua hal penting yang mendasari perecanaan kebutuhan kesehatan adalah
konsep prevensi dalam perjalanan alamiah penyakit dan rasio kebutuhan pasien terhadap jenjang
pelayanan pada populasi terpapar.
Determinan ketersediaan layanan kesehatan ditentukan oleh man, money, material, method, machine, market, time dan teknologi informasi yang tersedia. Banyak variasi penggunaan maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan namun determinan tersebut di atas banyak
dipakai dalam analisis kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan.
39
BAB IVPERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT
dr.Ova Emilia,M.Med.Ed.,PhD,SpOG(K) dan dr.Rossi Sanusi, PhD
Peran profesi kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit memerlukan pemahaman konsep
perjalanan alamiah penyakit, distribusi populasi dan cara mendeteksi kasus secara awal. Metafora “iceberg of disease” mungkin merupakan perumpamaan yang tepat untuk
menggambarkan kasus yang datang ke klinisi. Di lapangan, sesungguhnya lebih banyak lagi
orang yang masih dalam fase preklinik. Juga perlu disadari bahwa pasien yang dijumpai di
rumahsakit oleh petugas kesehatan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada. Sehingga secara
tidak langsung menunjukkan bahwa profesi kesehatan terutama yang nantinya bekerja di tingkat
layanan primer akan kurang mendapatkan gambaran kasus yang riil di masyarakat.
Kasus yang dijumpai oleh klinisi hanya sebagian
kecil saja.
Keluhan minor, atau kesakitan yang ringan mungkin
saja akan menimbulkan penyakit yang lebih serius.
Gambar 1.
40
Gambar 2.41
Pemahaman tentang perjalanan alamiah penyakit akan membuat petugas kesehatan
mengantisipasi prognosis serta mengidentifikasi kegiatan pencegahan dan pengendalian.
Idealnya pencegahan dilakukan sebelum orang terkena suatu penyakit, sehingga program
pencegahan diberikan pada orang sehat di dalam suatu populasi. Untuk merancang program
demikian maka perlu pemahaman distribusi kondisi di populasi dan cara mengantisipasi kasus
selanjutnya.
Tahap-tahap Pencegahan
Pencegahan penyakit dapat diaplikasikan pada tahap sepanjang perjalanan alamiah penyakit
dengan tujuan mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih berat. Pada penjelasan ini
kegiatan pencegahan dibagi menjadi 4 tahap walaupun sesungguhnya di lapangan batas ini tidak
terlalu tegas.
Tahap pencegahan primordial mencakup kegiatan untuk mengurangi risiko kesehatan ke depan selain juga mencegah faktor-faktor yang memungkinkan (lingkungan, faktor ekonomi,
faktor sosial, perilaku dan budaya) meningkatnya risiko penyakit. Tahap ini lebih menekankan
pada determinan kesehatan yang lebih luas dari percegahan paparan sisiko personal, misalnya
melarang pemakaian alkohol di beberapa negara merupakan pencegahan primordial, sedangkan
kampanye anti alkohol merupakan contoh pencegahan primer. Contoh lain misalnya
memperbaiki sanitasi (sehingga paparan agen penyebab infeksi tidak akan terjadi), membangun
masyarakat sehat, mempromosikan gaya hidup sehat pada anak (misalnya melalu program nutrisi
pranatal dan program dukungan pada balita) atau mengembangkan ke arah energi hijau.
Tahap pencegahan primer adalah mencegah onset penyakit tertentu melalui penurunan risiko: misalnya dengan mengubah perilaku atau paparan yang dapat mengakibatkan ke suatu penyakit,
atau dengan meningkatkan dayatahan terhadap efek paparan agen penyakit. Contohnya adalah
berhenti merokok dan vaksinasi. Pencegahan primer menurunkan insidensi penyakit dengan
mengendalikan faktor risiko penyakit atau meningkatkan daya tahan. Beberapa program
melibatkan juga partisipasi aktif, seperti gosok gigi teratur untuk mencegah karies gigi. Program
yang lain bisa juga bersifat pasif misalnya menambahkan fluoride pada air minum penduduk untuk mengatkan enamel gigi dan mencegah karies. Pencegahan primer ditujukan pada penyebab
spesifik dan faktor risiko spesifik penyakit, tetapi juga ditujukan untuk mempromosikan perilaku
sehat, memperbaiki daya tahan tubuh dan praktek lingkungan aman sehingga menurunkan risiko
42
Manajemen penyakit akan efektif bila manajemen masalah klinik baik, faktor risiko pasien
diketahui dan juga determinan yang berkaitan dapat diidentifikasi. Misalnya seorang pasien
dengan keluhan nyeri dada memerlukan terapi segera: terhadap nyeri dan risiko komplikasinya,
kemudikan faktor risiko: merokok dan kurang olahraga, dan determinannya: kemiskinan,
lingkungan, norma sosial. (lihat gambar di bawah)
Gambar 4: The Epidemiological Triad of agent, host, and environmental factor
Tahap pencegahan sekunder mencakup prosedur deteksi dan terapi proses patologik praklinik sehingga mengendalikan berkembangnya penyakit. Prosedur skrining seperti mamografi
seringkali merupakan langkah awal untuk intervensi dini yang cost effective dibanding invensi bila gejalanya sudah muncul. Pemeriksaan glukosa darah rutin pada orang usia lebih 40 tahun
merupakan contoh untuk mendeteksi awal diabetes. Skrining bisa dilakukan oleh petugas
kesehatan pada praktek sehari-hari atau melalui suatu program skrining yang dilakukan.
Bila suatu penyakit terlah terjadi dan sudah melalui fase klinik akut, maka dilakukan
pencegahan tersier untuk mengurangi dampak yang disebabkan oleh penyakit terhadap fungsi tubuh pasien, usia dan kualitas hidupnya. Contohnya rehabilitasi kardiak pasca infark myokard,
43
berupa modifikasi faktor risiko seperti mendorong pasien jantung untuk menurunkan berat
badan, atau modifikasi lingkungan untuk menurunkan paparan alergen pasien asma. Bila
penyakit tidak bisa sembuh sempurna maka pencegahan tersier fokus pada rehabilitasi,
membantu pasien mengatasi keterbatasannya/hendayanya.
Contoh pencegahan primer, sekunder dan tersier dengan target pada individu dan populasi
Penyakit Target Primer Sekunder Tersier