• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT. Key words: scabies, environment, behavior ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRACT. Key words: scabies, environment, behavior ABSTRAK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP

KEJADIAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN AL-FURQON

KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

TAHUN 2013

Rochis Julia* Sri Tjahyani Budi Utami**

* Mahasiswi Kebidanan Komunitas Fakultas Kesehatan Masyarakat **Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Mayarakat

ABSTRACT

Scabies is an endemic and transmitted skin disease which can be found in almost entire countries with different prevalence. In District of Gresik, Sub district of Sidayu this disease escalates from 527 cases (2010) to 644 cases (2011) and rises to 833 cases in 2012. The biggest Muslim Boarding School in Sidayu is Al Furqon. This research is conducted to know the relationship between environment and behavior to the event of scabies at Al Furqon Muslim Boarding School. Design used is cross sectional. Sampling used is total sampling of the woman boarding house occupant that is 170 people. Chi-square is used for data analysis. The research result shows that there is a meaningful relationship among room density (P = 0,006, OR = unlimited), water quantity (P = 0,000, OR = 14, 609) and behavior of personal hygiene in changing clothes (P = 0,000, OR = 7, 389) to the event of scabies at Al Furqon Muslim Boarding School and there is no meaningful relationship among environment sanitary (P = 0,753), taking a bath (P = 0,505), washing hands (P = 0,822), shared clothes (P = 0,874), and shared towel (P = 1).

Key words: scabies, environment, behavior

ABSTRAK

Skabies merupakan penyakit kulit endemik dan menular pada masyarakat yang terdapat di semua negara dengan prevalensi yang berbeda-beda. Di Kabupaten Gresik, Kecamatan Sidayu mengalami peningkatan kasus yaitu dari 527 kasus (2010) menjadi 644 kasus (2011) dan meningkat menjadi 833 kasus di tahun 2012. Pondok pesantren terbesar di Sidayu adalah Al-Furqon.Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian skabies di Pondok pesantren Al-Furqon . Desain yang digunakan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil adalah semua penghuni asrama putri yaitu sebanyak 170 orang. Data dianalisis menggunakan Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan ada

(2)

hubungan bermakna antara kepadatan kamar (P = 0,006, OR = tak terhingga), kuantitas air (P = 0,000, OR = 14,609) dan perilaku Personal Hygiene dalam ganti pakaian (P = 0,000, OR = 7, 389) dengan kejadian skabies di Pondok pesantren Al-Furqon, sedangkan yang tidak ada hubungan bermakna adalah kebersihan lingkungan (P = 0,753), mandi (P = 0,505), cuci tangan (P = 0,822), tukar baju (P = 0,874) dan tukar handuk (P = 1).

Kata kunci: skabies, faktor lingkungan, perilaku

PENDAHULUAN

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang terdapat di semua negara dengan prevalensi yang berbeda-beda. Di negara yang sedang berkembang prevalensi skabies 6 % - 27 % menyerang populasi umum dan cenderung lebih tinggi terkena pada anak-anak dan remaja. Perkembangan penyakit ini juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi yang rendah, tingkat hygiene yang buruk, kurangnya pengetahuan dan kesalahan dalam diagnosis serta penatalaksanaan.10

Skabies menempati urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Menurut Depkes RI prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6 % - 12, 95 %. Sebanyak 704 kasus skabies yang dijumpai di Bagian Kulit Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, merupakan 5,7% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies di Indonesia pada tahun 2009 adalah 2,9 % yaitu dengan jumlah penderita 6.915.135 dari 238.452.952 penduduk di Indonesia.10

Di Indonesia, penyakit ini masih menjadi masalah tidak hanya di daerah terpencil, tetapi juga di kota besar bahkan di Jakarta. Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun 2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah penderita skabies terbanyak di dapatkan di Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit. Prevalensinya di Jawa Timur yaitu 0,2 % dengan jumlah penderita 72.000 orang dari 36.269.500 penduduk di Jawa Timur.7

Di Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, penyakit skabies mengalami peningkatan kasus yaitu dari 527 kasus pada tahun 2010 menjadi 644 kasus pada tahun 2011. Pada tahun 2012 menjadi 833 kasus.11

Wilayah Kecamatan Sidayu berada di Kabupaten Gresik bagian utara, mempunyai wilayah yang berbatasan langsung dengan selat Madura yang merupakan bagian dari laut

(3)

Jawa sehingga termasuk sebagai daerah pantura. Kecamatan Sidayu merupakan dataran rendah dengan wilayah pantai, sungai, sawah, dan tambak, sehingga sebagian besar air tanahnya merupakan air payau. Dari jumlah KK 7602 sebanyak 93,26 % memakai sumber air dari sumur.11

Kecamatan Sidayu juga dikenal dengan banyak pondok pesantren. Salah satu pondok pesantren yang terbesar adalah Al-Furqon. Pesantren ini terdiri dari 24 kelas putra dan putri, yang mempunyai kurikulum tersendiri di setiap jenjang yang dibuat oleh pesantren. Fasilitas yang ada di Pondok Pesantren ini meliputi masjid, ruang belajar dan juga asrama yang menjadi tempat tinggal para santri. Pada umumnya keadaan personal hygiene di pondok-pondok pesantren kurang mendapat perhatian dari para santri.2 Hal tersebut sering menimbulkan penyebaran penyakit menular yang cepat di antara para santri terutama penyakit kulit khususnya skabies. Pesantren yang padat penghuninya dan hygiene yang buruk prevalensi penderita skabies mencapai 78,7%. tetapi pada kelompok dengan hygiene yang baik prevalensinya hanya 3,8%.10

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dibuat yaitu ingin mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik tahun 2013. Sedangkan untuk tujuannya adalah diketahuinya hubungan antara faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon.

TINJAUAN TEORI 1. Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) Sarcopes scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tidak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau

(4)

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap sarcopes scabiei var hominis yang berada di dalam terowongan di stratum korneum pada tempat predileksi. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, misalnya, pada lipatan kulit orang dewasa antara lain pada daerah-daerah inter digital, daerah umbilicus, daerah axilla, scrotum dan daerah areola mammae. Pada bayi, karena kulitnya masih tipis maka seluruh badan dapat terserang.5

Masa inkubasi berlangsung 2 sampai 6 minggu sebelum serangan gatal muncul pada orang yang sebelumnya belum pernah terpajan. Orang yang sebelumnya pernah menderita skabies maka gejala akan muncul 1-4 hari setelah infeksi ulang.3

Gejala utama berupa gatal terutama waktu malam hari. Tempat predileksi ialah kulit yang lunak dan lembab, paling sering adalah pada lipatan kulit orang dewasa antara lain pada daerah-daerah inter digital, daerah umbilicus, daerah axilla, scrotum dan daerah areola mammae. Pada bayi karena kulitnya masih tipis maka seluruh badan dapat terserang termasuk telapak tangan, kaki, muka dan kulit kepala. Efloresensi bersifat polimorfi yaitu berupa papel, erosi, ekskoriasi. Di samping itu terdapat gejala infeksi sekunder berupa pustel, folikulitis dan furunkulosis.5

Cara penularan yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat juga melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk dan pakaian. Perjalanan penyakit ini erat hubungannya dengan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan. Apabila banyak orang yang tinggal bersama-sama di suatu tempat yang sempit, maka risiko penularannya semakin tinggi.14

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan skabies

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian skabies: 1. Bibit Penyakit (Agent)

Bibit penyakit adalah makhluk hidup, zat, bahan, substansi atau kekuatan fisik yang memiliki potensi untuk menimbulkan kelainan fisik dan atau fungsi sebagian tubuh atau seluruhnya serta satu atau lebih organ tubuh manusia.1 Bibit penyakit yang dapat

(5)

2. Lingkungan

2.1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yaitu segala sesuatu di sekitar kita yang berbentuk benda mati seperti rumah, air, udara, sinar matahari maupun senyawa kimia.6

Menurut Keputusan bersama antara Menkes RI dan Menteri Agama RI Nomor: 783/BM/DJ/BPSM/VI/93, tanggal 10 Juni 1993, dijelaskan tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan di Pondok Pesantren8, yaitu:

A. Umum

Lingkungan dan bangunan pondok pesantren selalu dalam keadaan bersih dan tersedia sarana sanitasi yang memadai.

B. Tata Ruang

Tata ruang dan penggunaannya sesuai dengan rencana umum (Master Plan) yang telah ditetapkan.

C. Konstruksi

Pada kontruksi beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain, lantai, dinding, lubang penghawaan, atap, langit-langit, pintu dan jaringan instalasi.

D. Persyaratan Kesehatan Kamar/Ruang

1. Selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai kebutuhan.

2. Perbandingan jumlah tempat tidur dengan luas lantai minimal 3 m2/tempat tidur (1,5 x 2 m).

3. Di dalam lingkungan TPA baik di dalam maupun di luar ruangan harus mendapat pencahayaan yang memadai.

4. Mutu udara harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tidak berbau (terutama H2S dan amoniak).

b. Kadar debu tidak melampaui konsentrasi maksimum. 5. Kebisingan

(6)

6. Pencahayaan

Pada lingkungan pondok pesantren baik di dalam maupun di luar ruangan harus pendapat cahaya dengan intensitas berdasarkan fungsinya.

E. Persyaratan Kesehatan Fasilitas Sanitasi 1. Penyediaan air bersih

2. Toilet dan kamar mandi 3. Pengolahan sampah 4. Pengolahan air limbah 2.2. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berupa organisme hidup, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, kuman dan sebagainya. Dalam kejadian skabies lingkungan biologinya adalah dengan adanya tungau sarcoptes scabei di lingkungan sekitar.6

2.3. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah manusia lain yang ada di sekitar kita seperti tetangga, kawan bahkan orang yang tidak kita kenal. Pada skabies lingkungan sosialnya adalah orang lain yang menderita skabies yang dapat menularkan baik secara langsung maupun tidak langsung.6

3. Penjamu (Host)

Adapun karakteristik penderita skabies antara lain : 3.1. Sosial ekonomi

Skabies umumnya terjadi pada komunitas dengan berpenghasilan rendah (low income) yang kurang memperhatikan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan.14

3.2. Pendidikan dan pengetahuan

Skabies biasanya terjadi pada komunitas yang kurang pengetahuannya tentang kebersihan diri dan lingkungan sehingga kurang memperhatikan kebersihan diri dan lingkungannya sehingga mudah untuk ditempati kutu penyebab skabies. 14

(7)

3.3. Perilaku

1. Pesonal hygiene

Kebersihan seseorang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Seseorang dikatakan personal hygiennya baik bila yang bersangkutan dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi, kebersihan kulit, kuku, rambut, mulut dan gigi, pakaian, mata, hidung dan telinga serta kebersihan alat kelamin.2

Kebersihan perorangan yang berhubungan dengan penyakit kulit skabies mencakup antara lain 13:

• Menjaga kebersihan badan dengan mandi 2 kali sehari. • Kebiasaan mengganti pakaian.

• Mencuci tangan dengan sabun.

2. Kebiasaan bertukar alat pribadi

Kebiasaan pinjam meminjam alat-alat pribadi seperti pakaian, handuk merupakan kebiasaan buruk yang dapat terjadi di asrama, pondok pesantren tempat kerja, atau juga dalam rumah tangga. Mikroorganisme penyebab skabies akan tetap hidup dan berada pada alat-alat yang tersentuh atau melekat pada kulit orang lain. Oleh karena itu diusahakan agar tidak meminjam ataupun meminjamkan pakaian, handuk dan alat-alat yang berpotensi menularkan penyakit skabies.3

METODOLOGI

Penelitian yang akan dilakukan mengunakan studi penelitian kuantitatif dengan desain

cross sectional yaitu suatu penelitian yang mempelajari hubungan faktor lingkungan dan

personal hygiene dengan kejadian skabies di pondok pesantren Al-Furqon di wilayah Puskesmas Sidayu tahun 2013 dengan cara pengumpulan data secara wawancara dan observasi dengan menggunakan kuisioner. Jumlah sampel secara total sampling sebanyak 170 orang yaitu seluruh penghuni asrama putri. Penelitian ini akan dimulai pada bulan Maret Tahun 2013 dan berakhir pada bulan Mei Tahun 2013. Data dianalisis secara univariat dan bivariat (chi square) dengan menggunakan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

(8)

HASIL PENELITIAN

1. ANALISA DATA UNIVARIAT

Uraian Frekuensi Persen

Skabies Ya 96 56,5 Tidak 74 43,5 Total 170 100 Faktor Lingkungan Kepadatan Padat 164 96,5 Tidak padat 6 3,5 Total 170 100 Kebersihan Tidak bersih 67 39,4 Bersih 103 60,6 Total 170 100 Kuantitas air < 60 liter sehari 65 38,2 ≥ 60 liter sehari 105 61,8 Total 170 100 Perilaku Mandi < 2 kali sehari 9 5,3 ≥ 2 kali sehari 161 94,7 Total 170 100 Ganti pakaian < 2 kali sehari 120 70,6 ≥ 2 kali sehari 50 29,4 Total 170 100 Cuci tangan Tidak 147 86,5 Ya 23 13,5 Total 170 100 Tukar baju Tukar baju 66 38,8 Tidak tukar 104 61,2 Total 170 100 Tukar handuk Tukar handuk 14 8,2 Tidak tukar 156 91,8 Total 170 100

(9)

Dari tabel diatas, menunjukkan dari 170 santriwati bahwa sebagian responden menderita skabies dalam 1 bulan terakhir sebanyak 96 orang (56,5%) dan 74 orang tidak menderita skabies dalam waktu 1 bulan terakhir (43,5%). Kepadatan kamar/ruang di Pondok Pesantren Al-Furqon dari 170 responden sebanyak 164 responden (96,5%) berada di ruangan yang tidak sesuai kriteria yaitu dalam 3 m² terdapat lebih dari 1 tempat tidur (1,5x2m) dan 6 orang berada di ruangan yang sesuai kriteria. Kebersihan kamar santriwati Pondok Pesantren Al-Furqon dapat dilihat pada tabel di atas, 39,4% dari 170 responden didapatkan kamar/ruangannya tidak bersih dan sisanya yaitu 60,6% kamar/ruangan keadaannya bersih. Kuantitas air yang digunakan oleh responden baik untuk mandi maupun mencuci sebagian besar sudah sesuai aturan kesehatan dasar yaitu lebih dari 60 liter sehari (61,8%), dan hanya 65 orang responden yang penggunaan airnya kurang dari 60 liter sehari (38,2%). Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian responden mandi 2 kali sehari (94,7%) dan hanya 9 orang yang mandi kurang dari 2 kali sehari (5,3%). Perilaku ganti baju lebih dari 2 kali sehari sebanyak 50 responden (29,4%) dan sebagian lainnya kurang baik sebanyak 120 responden (70,6%). Perilaku mencuci tangan dan kaki setelah beraktifitas dapat dilihat dari tabel di atas yaitu masih banyak yang tidak mencuci tangan setelah berktifitas sebanyak 147 responden (86,5%) dan sebagian kecil yang sudah menyadari pentingnya cuci tangan setelah beraktifitas sebanyak 23 orang (13.5%). Perilaku bertukar baju diantara para santriwati di Pondok Pesantren Al-Furqon dapat dilihat dari tabel di atas yaitu banyak yang tidak saling bertukar baju sebanyak 104 responden (61,2%) dan sebagian lagi sebanyak 66 orang (38,8%) masih saling bertukar baju. Perilaku bertukar handuk diantara para santriwati di Pondok Pesantren Al-Furqon dapat dilihat dari tabel di atas yaitu banyak yang tidak saling bertukar baju sebanyak 156 responden (91,8%) dan sebagian lagi sebanyak 14 orang (8,2%) masih saling bertukar handuk.

(10)

5.2 ANALISA DATA BIVARIAT

Tabel 5.4 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon Tahun 2013

Variabel Status Skabies Total Nilai P OR (95% CI)

Skabies n (%) Tidak Skabies n (%)

n = 170 Lingkungan Kepadatan Padat 96 (58.5%) 68 (41.5%) 164 0,006 Tak hingga Tidak padat 0 (0%) 6 (100%) 6 Kebersihan Tidak bersih 39 (58.2%) 28 (41.8%) 67 0.753 1.124 Bersih 57 (55,3%) 46 (44,7%) 103 Kuantitas air 0.000 14.609 < 60 Liter 58 (89.2%) 7 (10.8%) 65 ≥ 60 Liter 38 (36.2%) 67 (63.8%) 105

Pada variabel kepadatan kamar/ruang didapatkan hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies yaitu nilai p = 0.006 dengan resiko yang tak terhingga pada kamar yang padat daripada kamar yang tidak padat. Pada variabel kebersihan kamar/ruangan didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon. Nilai P yang didapatkan yaitu 0.753. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kuantitas air berhubungan secara signifikan dengan kejadian skabies, dengan P value yaitu 0.000, dengan OR 14.609 yang artinya bahwa responden yang mandi dan mencuci menggunakan air yang kurang dari 60 liter per harinya akan beresiko 14 kali menderita skabies daripada yang menggunakan air lebih dari 60 liter per hari.

(11)

Tabel 5.4 Hubungan Personal Hygiene terhadap Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon Tahun 2013

Variabel Status Skabies Total P

OR (95% CI) Skabies n (%) Tidak Skabies n (%) n = 170 Personal Hygiene Mandi < 2 kali sehari 4 (44.4%) 5 (55.6%) 9 0,505 0.6 ≥ 2 kali sehari 92 (57.1%) 69 (42.9%) 161 Ganti Baju < 2 kali sehari 84 (70.0%) 36 (30.0%) 120 0.000 7.389 ≥ 2 kali sehari 12 (24.0%) 38 (76.0%) 50 Cuci Tangan 0.822 0.811 Tidak 82 (55.8%) 65 (44.2%) 147 Ya 14 (60.9%) 9 (39.1) 23 Tukar Pakaian Tukar 38 (57.6%) 28 (42.4%) 66 0.874 1.076 Tidak Tukar 58 (55.8%) 46 (44.2%) 104 Tukar Handuk Tukar 8 (57.1%) 6 (42.9%) 14 1 1.03 Tidak Tukar 88 (56.4%) 68 (43.6%) 156

Untuk variabel mandi didapatkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan nilai P= 0,505. Dari tabel di atas didapatkan bahwa mandi dengan menggunakan sabun lebih dari atau sama dengan 2 kali sehari menderita skabies sebanyak 57.1% dan mandi dengan menggunakan sabun kurang dari 2 kali sehari yang menderita skabies yakni 44.4%.

(12)

Pada variabel ganti baju didapatkan ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan P = 0.000. Dengan OR 7.389 yang artinya bahwa responden yang ganti baju kurang dari 2 kali sehari mempunyai resiko terkena skabies 7 kali daripada yang ganti baju lebih dari sama dengan 2 kali sehari. Dari data di atas di dapatkan bahwa ganti baju kurang dari 2 kali sehari sebanyak 70% terkena skabies dan dengan ganti baju lebih dari sama dengan 2 kali sehari hanya berkisar 24%.

Variabel cuci tangan didapatkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan P = 0.822. Variabel tukar baju dengan nilai P= 0.874 yang artinya tidak ada hubungan tukar baju dengan kejadian skabies. Pada variabel tukar handuk juga tidak ada hubungan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon dengan nilai P = 1.

PEMBAHASAN 1. Kejadian skabies

Angka kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon didapatkan dari 170 responden yang menderita skabies dalam 1 bulan terakhir adalah 56,5%. Sisanya sebanyak 43,5% tidak mengalami skabies dalam 1 bulan terakhir. Sampel yang diambil adalah santri penghuni asrama putri Pondok Pesantren Al-Furqon.

Penyakit kulit menular skabies dari dulu dikenal sebagai penyakit yang sering diderita oleh para penghuni pondok pesantren. Hal ini dikarenakan perjalanan penyakit skabies yang erat hubungannya dengan banyak orang yang tinggal bersama-sama di satu tempat yang sempit, seperti di asrama ataupun di pondok-pondok pesantren.5 Cara penularan skabies yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat juga melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk dan pakaian.

2. Faktor lingkungan

Keadaan lingkungan Pondok Pesantren Al-Furqon khususnya kepadatan kamar terlihat sangat penuh sesak. Dari data yang didapatkan dapat diketahui kepadatan hunian kamar dari 170 responden sebanyak 164 responden menempati kamar yang padat (96,5%) yang dalam luas lantai 3m2 di tempati oleh 1 orang dengan tempat tidur ukuran 1,2x2m. 6 orang lainnya (3,5%) menempati kamar yang sesuai yaitu terdapat satu tempat tidur (ukuran 1,5x2m) dengan luas lantai lebih dari 3m².

(13)

Skabies dapat terjangkit pada mereka yang tinggal berdesakan seperti pengungsi, anggota tentara, asrama, panti dan sekolah.14 Skabies mudah sekali menular terutama pada pemukiman yang padat penghuninya.7 Dengan lingkungan yang padat frekuensi kontak langsung sangat besar, baik saat istirahat/tidur maupun aktifitas lainnya. Kepadatan hunian merupakan faktor yang berhubungan dengan peningkatan skabies.14

Kebersihan lingkungan dalam hal ini adalah kamar dari para santriwati. Setelah melakukan observasi dan wawancara didapatkan bahwa sebagian besar santriwati sudah memahami pentingnya kebersihan lingkungan bagi kesehatan. Data yang didapatkan yaitu sebanyak 60,6% kamar santriwati dalam keadaan bersih dan 39,4% masih terlihat agak kotor.

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekeliling manusia baik benda hidup maupun mati.6 Lingkungan juga sangat mempengaruhi kesehatan dari seseorang. jika lingkungan di sekitarnya bersih dan sehat. Penyakit skabies erat kaitanya dengan kondisi kebersihan perorangan dan lingkungan. Munculnya skabies dapat dikarenakan lingkungan yang tidak dijaga kebersihannya sehingga tungau sarcoptes dapat hidup. Tungau sarcoptes

akan mati pada suhu 50o C dalam waktu 10 menit. Tungau sarcoptes dapat hidup 30 hari pada suhu 25o C dan bisa bertahan sampai 14 hari pada suhu 21o C di lingkungan yang kotor di luar host.14 Sehingga untuk menghilangkan kutu sarcoptes lingkungan di sekitar harus dibersihkan dengan cara sering menjemur kasur, mengganti alas tidur/seprai dengan yang sudah dicuci setiap 1 minggu sekali, dan menyapu serta mengepel lantai.

Pada penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Furqon didapatkan bahwa sebagian besar responden mandapatkan akses air yang optimal yaitu lebih dari 60 liter per hari per orang (61,8%), dan 65 orang lainnya (38,2%) yang akses terhadap air tidak optimal.

WHO menyebutkan bahwa kebutuhan air untuk setiap orang di Negara maju antara 60-120 liter per hari, sedangkan di Negara berkembang seperti Indonesia kebutuhan air bersihnya antara 30-60 liter per hari. Jadi 61,8% responden mendapat air yang cukup dan diambil dari sumber air yang berasal dari sumur. 38,2% responden menggunakan air yang kurang juga berasal dari sumur yang sama. Penggunaan air yang tidak optimal ini dikarenakan perilaku yang malas untuk mandi maupun mencuci dari para santri sehingga dalm sehari mereka menggunakan air yang kurang dari 60 liter.

(14)

3. Perilaku

Kebersihan perseorangan di Pondok Pesantren kadang kurang mendapat perhatian oleh para santri. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dari santri sebelum dating ke pesantren, seperti sosial budaya, hunian, keyakinan, keadaan lingkungan dan faktor individual seperti kurangnya pengetahuan.2 Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan agar senantiasa bersih dan menjaga kebersihan diri antara lain dengan cara mandi, menghindari penggunaan pakaian, handuk, dan tempat tidur secara bersama-sama dengan penderita skabies, mencuci pakaian, handuk dan sprei secara rutin, menjemur kasur dan bantal di bawah sinar matahari secara berkala.14

Pada perilaku personal hygiene mandi didapatkan bahwa sebagian responden mandi 2 kali sehari (94,7%) dan hanya 9 orang yang mandi kurang dari 2 kali sehari (5,3%). Gambaran perilaku personal hygiene ganti pakaian didapatkan bahwa perilaku ganti baju lebih dari 2 kali sehari sebanyak 50 responden (29,4%) dan sebagian lainnya kurang baik sebanyak 120 responden (70,6%). Gambaran perilaku personal hygiene dalam cuci tangan dapat dilihat bahwa masih banyak santri yang tidak mencuci tangan setelah beraktifitas sebanyak 147 responden (86,5%) dan sebagian kecil yang sudah menyadari pentingnya cuci tangan setelah beraktifitas sebanyak 23 orang (13.5%). Gambaran perilaku bertukar pakaian didapatkan bahwa perilaku bertukar baju diantara para santriwati sebanyak 66 responden (38,8%) sering melakukan bertukar pakaian dengan teman dekatnya dan sebagian lainnya tidak melakukan pertukaran pakaian sebanyak 104 responden (61,2%).Gambaran perilaku bertukar handuk didapatkan bahwa perilaku bertukar handuk sebanyak 14 responden (8,2%) dan sebagian lainnya tidak bertukar handuk sebanyak 156 responden (91,8%).

Parasit akan mudah berkembang biak menimbulkan penyakit bila kebersihan diri dan kebersihan umum tidak terjamin. Tungau penyebab skabies sukar menginfestasi individu dengan kebersihan perorangan yang baik karena tungau skabies dapat dihilangkan dengan mandi secara teratur.14 Jadi untuk mencegah terjangkitnya skabies maka, setidaknya yang

harus dilakukan antara lain mandi minimal 2 kali dalam sehari, mengganti baju dengan yang bersih minimal 1 kali sehari, mengganti alas tidur minimal1 minggu sekali dan tidak saling bertukar baju maupun handuk dengan sesama santri.

(15)

4. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon. Hasil analisa data hubungan kepadatan hunian dengan skabies didapatkan adanya hubungan yang signifikan dengan nilai P < 0,005. Nilai P yang didapatkan 0.006 dengan OR tak hingga, artinya setiap responden yang menempati kamar yang padat akan beresiko tertular skabies.

Skabies ini dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat melalui kontak langsung dengan penderita skabies. secara tidak langsung dapat melalui alas tempat tidur, handuk, pakaian yang telah terkontaminasi dengan kutu sarcoptes. Oleh karena itu skabies sering menyebar dalam satu asrama. Faktor – faktor yang berhubungan dengan penularan skabies diantaranya adalah kepadatan hunian, seperti juga diungkapkan oleh Djuanda (1992), bahwa penyakit skabies banyak terjadi di lingkungan yang padat penghuninya. Dengan lingkungan yang padat frekuensi kontak langsung sangat besar, baik pada saat beristirahat/tidur maupun kegiatan lainnya.

Kebersihan lingkungan sangat penting pada penularan skabies. Skabies umumnya terjadi pada masyarakat dengan penghasilan yang kurang (low income) yang kurang memperhatikan kebersihan baik diri maupun lingkungan.14 Pada penelitian ini didapatkan bahwa kebersihan lingkungan tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan nilai P > 0,005, yaitu didapatkan nilai P = 0.753. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiadi (2007) yaitu, tidak ada hubungan antara kebersihan lingkungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren dengan nilai P = 1.

Penyakit kulit ini (skabies) tergolong water washed disease yang dapat dicegah atau dikurangi dengan tersedianya air yang berfungsi sebagai pembersih dengan kuantitas yang cukup dan kualitas fisik yang tidak berbau, berasa maupun berwarna.6 Pada penelitian yang dilakukan dan setelah dianalisa dengan komputer didapatkan kuantitas air berhubungan secara signifikan dengan kejadian skabies, dengan P value yaitu 0.000, OR 14,609. Artinya bahwa setiap responden yang menggunakan air kurang dari 60 liter sehari akan beresiko terkena skabies 14 kali daripada yang menggunakan air lebih dari 60 liter dalam sehari.

Dalam pemenuhan kuantitas air untuk mandi dan mencuci pada penelitian ini tergantung dari perilaku dan kebiasaan individu dalam menggunakan air dan bukan dari kesulitan dalam mengaksesnya, dalam hal ini antara lain kebiasaan malas untuk mandi dengan air yang cukup (mandi cepat). Malas untuk mencuci baju dengan bersih dan hanya dibilas sekali.

(16)

5. Hubungan Perilaku Dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon.

Untuk variabel mandi didapatkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan nilai P=0,505. Dari tabel di atas didapatkan bahwa mandi dengan menggunakan sabun lebih dari atau sama dengan 2 kali sehari menderita skabies sebanyak 57,1% dan mandi dengan menggunakan sabun kurang dari 2 kali sehari menderita skabies lebih banyak yakni 44,4%. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiadi (2007) bahwa tidak ada hubungan antara mandi dengan kejadian skabies di pondok pesantren dengan nilai P = 0.080.

Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan agar senantiasa bersih dan menjaga kebersihan diri antara lain dengan cara mandi, menghindari penggunaan pakaian, handuk, dan tempat tidur secara bersama-sam dengan penderita skabies, mencuci pakaian, handuk dan sprei secara rutin, menjemur kasur dan bantal di bawah sinar matahari secara berkala. Tungau penyebab skabies sukar menginfestasi individu dengan kebersihan perorangan yang baik karena tungau skabies dapat dihilangkan dengan mandi secara teratur.14

Pada variabel ganti baju didapatkan ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan P = 0.000. Dengan OR 7,389 yang artinya bahwa responden yang ganti baju kurang dari 2 kali sehari mempunyai resiko terkena skabies 7 kali daripada yang ganti baju lebih dari sama dengan 2 kali sehari. dari data di atas di dapatkan bahwa ganti baju kurang dari 2 kali sehari sebanyak 70% terkena skabies dan dengan ganti baju lebih dari sama dengan 2 kali sehari hanya berkisar 24%.

Skabies pada umumnya terdapat pada komunitas yang berpenghasilan rendah (low income communities) yang kurang memperhatikan kebersihan diri (personal hygiene). Sarcopter scabiei betina dapat hidup dan bertahan di luar suhu kamar selama lebih kurang 7-14 hari.14 Sehingga untuk mencegah penularan skabies dsarankan untuk ganti baju sehari minimal 2 kali dengan pakaian yang telah dicuci sebelumnya.

Dan untuk variabel cuci tangan didapatkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian skabies dengan nilai P = 0,882. Data yang didapatkan adalah 55,8 % responden yang tidak mencuci tangan dan terkena skabies dan 60,9 % responden yang melakukan cuci tngan tetapi terkena skabies.

(17)

Tangan merupakan anggota tubuh kita yang sering kali kotor karena digunakan untuk beraktifitas. tangan dapat menyebarkan penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu untuk mencegah penularan penyakit kita harus mencuci tangan setelah melakukan berbagai aktifitas.13

Pada variabel bertukar baju dan bertukar handuk tidak didapatkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon. Nilai P untuk bertukar baju yaitu 0,874 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan bertukar baju dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon. Data yang didapatkan sebanyak 57,6 % santri yang bertukar baju menderita skabies dan 55,8% santri yang tidak bertukar baju menderita skabies. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Setiadi (2007) yaitu, tidak ada hubungan antara tukar baju dengan kejadian skabies di pondok pesantren dengan nilai P = 0,074.

Nilai P untuk bertukar handuk didapatkan P = 1 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan bertukar handuk dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon, dengan data yang didapatkan sebanyak 57,1% santri yang bertukar handuk terkena skabies dan 56,4 % santri yang tidak bertukar handuk terkena skabies.

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau sarcoptes scabiei yang menyerang pada kulit manusia. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kejadian skabies adalah faktor penjamu ( host ) dan faktor lingkungan.

Faktor dari penjamu adalah karakteristik dari penjamu misalnya, sosial ekonomi yang rendah, pendidikan, pengetahuan dan juga perilaku penjamu yang kurang sehat antara lain

personal hygiene yang buruk, memakai handuk, pakaian, sprei yang kotor, memakai alat pribadi bersama-sama ( misal handuk, pakaian dan lainnya).

Faktor lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, biologik dan sosial. Lingkungan fisik disini erat hubungannya dengan kondisi fisik rumah mengenai kepadatan hunian, kebersihan rumah dan juga dengan penyediaan air bersih baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sedangkan untuk lingkungan biologinya terkait dengan adanya tungau sarcoptes yang ada di lingkungan sekitar manusia tersebut yang dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung oleh penderita skabies. Sedangkan lingkungan sosial adalah adanya penderita skabies yang berada bersama-sama di lingkungan rumah yang dapat menularkan skabies kepada orang lainnya yang sehat baik secara kontak langsung maupun tidak langsung.

(18)

Secara umum dapat diketahui dari hasil penelitian ini didapatkan yang berhubungan secara signifikan adalah kepadatan kamar kuantitas air dan perilaku ganti baju para santri. Sehingga perlu untuk diberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan para santri untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan dalam upaya pencegahan skabies.

KESIMPULAN

Gambaran kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon didapatkan dari 170 responden, 56.5% menderita skabies dan sisanya tidak menderita skabies dalam 1 bulan terakhir ini (43.5%). Gambaran kepadatan kamar/ruang di Pondok Pesantren Al-Furqon dari 170 responden sebanyak 164 responden (96,5%) berada di ruangan yang tidak sesuai kriteria yaitu dalam 3 m² terdapat 1 tempat tidur (1,2x2m) dan 6 orang berada di ruangan dengan luas lantai lebih dari 3m2. Gambaran kebersihan kamar santriwati Pondok Pesantren Al-Furqon didapatkan, 39,4% dari 170 responden didapatkan kamar/ruangannya tidak bersih dan sisanya yaitu 60,6% kamar/ruangan keadaannya bersih. Gambaran kuantitas air yang digunakan oleh responden baik untuk mandi maupun mencuci sebagian besar sudah sesuai aturan kesehatan dasar yaitu lebih dari 60 liter sehari (61,8%), dan hanya 65 orang responden yang penggunaan airnya kurang dari 60 liter sehari (38,2%).

Gambaran perilaku personal hygiene mandi didapatkan bahwa sebagian responden mandi 2 kali sehari (94,7%) dan hanya 9 orang yang mandi kurang dari 2 kali sehari (5,3%). Gambaran perilaku personal hygiene ganti pakaian dapat disimpulkan bahwa perilaku ganti baju lebih dari 2 kali sehari sebanyak 50 responden (29,4%) dan sebagian lainnya kurang baik sebanyak 120 responden (70,6%). Gambaran perilaku personal hygiene dalam cuci tangan dapat disimpulkan bahwa masih banyak yang tidak mencuci tangan setelah beraktifitas sebanyak 147 responden (86,5%) dan sebagian kecil yang sudah menyadari pentingnya cuci tangan setelah beraktifitas sebanyak 23 orang (13.5%). Gambaran perilaku bertukar pakaian diantara para santri dapat disimpulkan bahwa perilaku tukar baju sebanyak 66 responden (38,8%) melakukan tukar baju diantara para santri dan sebagian lainnya yaitu sebanyak 104 responden tidak melakukan tukar baju (61,2%). Gambaran perilaku bertukar handuk diantara para santri dapat dilihat bahwa perilaku tukar handuk sebanyak 14 responden (8,2%) melakukan tukar handuk dan yang lainnya tidak melakukan tukar handuk sebanyak 104 responden (91,8)

(19)

Dari hasil uji bivariat secara chi square didapatkan bahwa variabel yang berhubungan adalah kepadatan hunian kamar dengan nilai P = 0.006 dengan resiko yang tak terhingga pada kamar yang padat untuk terkena skabies daripada kamar tidak padat. Kuantitas air yang dipergunakan untuk mandi dan mencuci dengan nilai P = 0,000, OR = 14, 609, yang artinya adalah responden yang menggunakan air kurang dari 60 liter per harinya akan beresiko terkena skabies 14 kali daripada yang menggunakan air lebih dari 60 liter per hari. Perilaku

personal hygiene ganti pakaian juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies dengan resiko yang 7 kali pada responden dengan ganti pakaian yang kurang dari 2 kali sehari.(nilai P = 0.000). Variabel yang tidak ada hubungan antara lain, kebersihan lingkungan dengan nilai P = 0,753 yang artinya, tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon, dan perilaku personal hygiene (mandi, mencuci tangan, tukar baju dan tukar handuk ).

SARAN

1. Untuk Puskesmas Sidayu dan Dinas Kesehatan Gresik:

• Menggalang komitmen dengan berbagai pihak baik dari Dinkes, Pemda maupun lintas

sektor lainnya. Yang paling utama para pemilik pondok pesantren, ulama, petugas dari puskesmas dan juga dari aparat desa untuk mengurangi kepadatan hunian asrama pondok agar dapat mencegah penularan skabies ke orang di sekitarnya.

• Peningkatan penyuluhan ke pondok-pondok pesantren akan menambah pengetahuan

yang utamanya adalah menjaga kebersihan diri dengan meningkatkan kuantitas air yang dipakai untuk kebersihan diri serta ganti baju minimal 1 kali dalam sehari dan dapat melakukan pencegahan dini penyakit skabies.

2. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengambil sampel yang lebih heterogen dan jumlah sampel yang diambil lebih banyak sehingga dapat lebih mewakili dari populasi yang diteliti. Metodologi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan case control sehingga dapat melihat paparan penyebab yang lebih spesifik terhadap kejadian skabies.

3. Untuk masyarakat agar meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif apabila ada keluarga atau tetangga yang terkena penyakit kulit untuk segera memberikan informasi untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat.

(20)

KEPUSTAKAAN

1. Achmadi, F. A. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.

2. Badri, Moch. 2007. Hygiene Perseorangan Santri Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Media Litbangkes volume XVII nomor 2.

3. Chin, James. 2009. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika. 4. Djuanda, Adi. 1992. Skabies. Majalah Kedokteran Indonesia volume 42 nomor 5. 5. Junadi Purnawan, dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

FKUI.

6. Kabulrachman. 1992. Pengaruh Lingkungan dan Pencemarannya terhadap

Kesehatan Kulit. Majalah Kedokteran Indonesia volume 42, nomor 5.

7. Mansyur M, dkk. 2007. Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Penatalaksanaan Skabies Anak Usia Pra Sekolah. Majalah Kedokteran Indonesia volume 57, nomor 2. 8. Setiadi Totih R. S. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan

Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Al Karimiyah Sawangan Depok. Skripsi. Depok: FKM UI.

9. Soedarto. 1990. Entomologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

10.Sungkar , dkk, 1992. Diagnosis Skabies dan Masalahnya. Majalah Kedokteran Indonesia volume 42, nomor 5.

11.Laporan Tahunan Puskesmas Sidayu tahun 2010 sampai dengan 2012. 12.Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010.

13.Utojo, Kamsi, 1989. Personal Hygiene (Hygiene Perseorangan). Buletin Keslingmas VII no.31.

14.Widiasih, D. A. dkk. 2012. Epidemiologi Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Gambar

Tabel 5.4 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon  Tahun  2013
Tabel 5.4 Hubungan Personal Hygiene terhadap Skabies di Pondok Pesantren Al-Furqon  Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

3 Adesty Nivada Mahawan SMP Negeri 2 Wates 55 Perwakilan 2 Usia

I første del af Thulesen Dahls tale, skabes den menneskelige kontakt til tilhørerne. Her skabes en nærværende atmosfære ved hjælp af emotionel gestik, i form af smil og

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN

Akankah esok kembali ,aku masih kau beri kehidupan yang berarti?. Wahai dunia dan

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Listwise deletion based on all variables in

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat

Banyak pemimpin besar meraih keberhasilan dalam pekerjaan dan kehidupannya melalui seperangkat hukum kepemimpinan yang mendetail. Sedangkan manajer &#34;biasa&#34;,