• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. zaman semakin berkembang pula teknologi. merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. zaman semakin berkembang pula teknologi. merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman yang semakin maju, menunjukkan bahwa masyarakat semakin ’haus’ akan informasi. Informasi tersebut diperoleh melalui proses komunikasi yang sudah tidak sulit untuk dilakukan, karena semakin berkembangnya zaman semakin berkembang pula teknologi.

Film juga merupakan proses komunikasi. Menurut Dunn dan Barban, film merupakan ”bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media layar lebar atau televisi dengan membayar ruang yang akan dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat informatif, edukasi, hiburan dan membujuk kepada khalayak ramai maupun pribadi yang berkepentingan”.(Rendra Widyatama, Yogyakarta, 2007)

Komunikasi film dapat dilakukan lewat berbagai macam media, baik itu media elektronik, media layar lebar seperti bioskop, maupun media cyber seperti www.youtube.com. Film memiliki fungsi utama yaitu menyampaikan hiburan, pendidikan dan informasi tentang pesan film kepada massa (Non-Personal). Film menjadi penyampai informasi yang sangat terstruktur yang menggunakan elemen-elemen verbal dan Non-Verbal.

Film dalam penyajiannya pasti menggunakan figur manusia. Pesan non- verbal manusia dalam film adalah salah satu elemen yang diangkat dalam penyajian film-film yang menggunakan figur manusia tersebut sebagai salah satu aspek kreatif dalam berkarya seni peran. Penggunaan pesan Non-Verbal memberikan gambaran

(2)

tersendiri mengenai karakteristik seseorang dalam film, sebagaimana retorika yang di prakarsai oleh filusuf Aristoteles, dimana dalam retorika didalamnya pasti ada kebutuhan gestur tubuh manusia sebagai penekanan dari pesan retorika yang disampaikan. Misalnya saja Soekarno, retorik dan orator ulung bangsa kita, kemampuan memanfaatkan komunikasi Non-Verbalnya mampu mengoptimalkan pesan komunikasi yang disampaikannnya saat pidato.

Kebutuhan gesture dalam film ini telah menunjukkan pesan tertentu dari figur tersebut dan dapat menggambarkan karakteristik aktor tersebut sesuai dengan harapan sutradara. Ini menentukan seperti apa pesan film tersebut disampaikan oleh sutradara dan penulis naskah.

Film yang baik adalah film yang mudah dicerna oleh khalayak, oleh sebab itu film memang seharusnya mampu melakukan pendekatan yang berhubungan dengan keadaan nyata dalam lingkungan khalayak. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan psikologis, geografis dan budaya lokal yang ada dalam masyarakat.

Secara sadar atau tidak sadar, film melakukan kampanye atas simbol-simbol yang dianggap mewakili pesan yang difilmkan. Simbol-simbol tersebut muncul bersama film lewat media yang dibaliknya terdapat makna yang terkandung di dalamnya.

Banyak dapat kita temukan film yang menggunakan aktor, dimana beberapa peran aktor dalam film hanyalah sebagai ‘penyedap mata’ saja. Penggunaan pesan non-verbal aktor kini tidak saja dapat kita temui dalam film pesan horor, kebutuhan-kebutuhan aktor ataupun film romantik. Bahkan pada film pesan berupa komedi, atau pesan film dewasa pun dapat kita lihat penggunaan pesan Non-Verbal aktor.

(3)

Suatu film yang dirancang harus memperhatikan simbol-simbol dan tanda-tanda yang digunakan untuk mengkomunikasikan pengertian kepada khalayak. Simbol dan tanda yang digunakan harus merupakan simbol atau tanda yang dikenal dalam kehidupan khalayak sehari-hari sesuai dengan kerangka berpikir mereka seperti bahasa, tokoh-tokoh, ritual-ritual dan sebagainya agar pesan yang berupa realitas-realitas dari film dapat disampaikan dan dapat dimengerti oleh khalayak.

Film dapat dikatakan kreatif dan berhasil apabila dapat menarik perhatian, sederhana dan komunikatif. Sebuah film pastinya harus dapat menarik perhatian sehingga khalayak dapat terus mengingatnya. Film dibuat harus sederhana sehingga pesan yang disampaikan menjadi jelas. Selain itu film bisa dikatakan kreatif apabila film tersebut bersifat komunikatif sehingga khalayak tidak perlu berpikir terlalu lama dalam mencerna pesan yang disampaikan.

Dari berbagai macam jenis film yang ada, penulis tertarik pada film ”Lost In Paua” yang notabene adalah film horor pada layar lebar yang Launching pada Maret 2011, yang mana film tersebut menampilkan pesan non-verbal seorang aktor sebagai obyek misterius film tersebut, penulis tergelitik dengan tampilan gestur aktor dalam film ini yang terkesan tambah elegan dengan menggunakan pesan Non-Verbal aktor sebagai daya tarik filmnya.

Menurut Herbert Rittlinger (1972) fisik aktor memiliki daya tarik tersendiri. Tidak heran bila manusia jenis kelamin ini menjadi sasaran favorit berbagai pihak dan profesi. Bahkan menurut Budi Sampurno tidak saja postur tubuh aktor yang mendatangkan daya tarik, daya tarik aktor dapat juga dilihat dari perilakunya. Semuanya sangat menarik perhatian, bahkan tidak saja lawan jenis, tetapi bagi sesama aktor itu sendiri. Banyak bukti yang mendukung hal ini, dapat kita lihat

(4)

banyak cover film layar lebar yang menggunakan aktor sebagai model. ”Bahkan film layar lebar dan tabloid yang mengkhususkan diri sebagai media untuk para aktor, juga seringkali menampilkan aktor sebagai model. Hal ini membuktikan bahwa aktor merupakan manusia yang menarik untuk dilihat”.(Widyatama, Rendra, Yogyakarta, 2006)

Menurut Laura Mulvey, aktor telah menjadi “icon” di media massa. “Tubuh aktor juga dianggap sebagai “barang seni” sehingga ditampilkan dan dieksploitasi secara bebas. Karakter menarik aktor itu juga disadari oleh para pembuat film, termasuk film televisi. Dengan menggunakan aktor, pesan film diyakini menjadi lebih menarik. Penggunaan aktor diyakini mampu meningkatkan pendidikan pesan”. (Widyatama, Rendra, Yogyakarta, 2006)

Kacamata media massa, film dan media massa adalah dua bagian yang sulit dipisahkan. Di satu sisi film membutuhkan media massa sebagai tempat mewujudkan dirinya, dan media massa membutuhkan film demi terisinya.

“Film merupakan salah satu faktor hiburan paling penting yang merefleksikan kehidupan kita saat ini. Film di produksi dimana-mana, sebagai bagian tak terelakan dari kehidupan setiap orang” (Judith williamson,Yogyakarta,2007)

Pelu dijelaskan dalam bab 1 ini, sebagaimana dikatakan oleh Marchand bahwa “film itu berfungsi sebagai arena cermin yang mendistorsi (a hall of distorting mirrors). Orang biasanya tidak ingin film itu merefleksikan mereka diri mereka, mereka tidak menginginkan sebuah cermin yang jujur (truth mirror), tapi sebuah Zerrspiegel, yaitu sebuah cermin yang mendistorsi yang bisa memperbesar citra-citra tersebut.” (Ratna Noviani,Yogyakarta,2002)

(5)

Berdasarkan ketertarikan Penulis pada Pesan Komunikasi Non-Verbal yang jarang digunakan pada suatu Penelitian, khususnya di Kampus ini, ditambah lagi katertarikan Penulis pada Multy Talenta Aktor Didi Petet. Belum lagi banyak Penonton melihat Film hanya pada konteks pesan Verbal. Sementara Komunikasi bukan hanya Komunikasi Verbal, namun ada juga Komunikasi Non-Verbal didalamnya. Ditambah lagi Penulis Melakukan Praktek Kerja Lapangan pada Production House yang memproduksi Film Lost in Papua

Sehingga penulis melalui tekhnik analisa semiotika bermaksud membongkar makna simbolik dibalik terhadap Pesan Komunikasi Non-Verbal Aktor Dalam Film.

Maka melalui penelitian ini penulis ingin menjawab Pesan Komunikasi Non-Verbal Aktor Dalam Film (Studi Analisa Semiotika Terhadap Peran Didi Petet Pada Film “Lost In Papua”)?

1.2 Ruang Lingkup

Judul yang dipilih penulis dalam skripsi ini adalah ” Pesan Komunikasi Non-Verbal Aktor Dalam Film (Studi Analisa Semiotika Terhadap Peran Didi Petet Pada Film “Lost In Paua”)”. Penelitian ini berfokus pada gambar, pesan, karya, gestur aktor atau pesan non-verbals Aktor dalam Film tersebut yang berhubungan dengan Mitos yang terkandung didalamnya menggunakan analisis semiologi Roland Barthes dengan paradigma penelitian konstruktivisme, yakni ingin mengetahui:

(6)

1. Apa makna yang muncul dari simbol-simbol verbal dan non-verbal dalam konsep kreatif Pesan Komunikasi Non-Verbal Aktor Dalam Film (Studi Analisa Semiotika Terhadap Peran Didi Petet Pada Film “Lost In Paua”)?

2. Bagaimana Pesan Komunikasi Non-Verbal disampikan Aktor Dalam Film (Studi Analisa Semiotika Terhadap Peran Didi Petet Pada Film “Lost In Paua”)?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang ada dibalik simbol dan tanda dalam konsep kreatif Pesan non verbals Aktor dalam Film. Adapun makna yang dimaksud adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui makna Denotasi dan Konotasi dari Pesan non verbal Aktor dalam Film tersebut.

2. Mengetahui Mitos dalam Pesan non verbals Aktor dalam Film tersebut.

Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu komunikasi khususnya yang mengkaji masalah pemaknaan tanda-tanda yang terdapat di dalam sebuah film. Dan dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian yang mengunakan metode analisis yang sama, serta hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebuah acuan bagi Production House dalam memecahkan masalah pemakanaan dari simbol-simbol yang terdapat di dalam peran Aktor dalam Film ketika memproduksikan suatu pesan film.

(7)

1.4 Metodologi

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Hal ini disebabkan karena penelitian yang dilakukan penulis sifatnya non-hitung dengan wawasan seluas-luasnya.

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.( Rachmat Kriyantono,Jakarta,2007 )

Jadi di sini yang lebih penting adalah kedalaman kualitas data bukan kuantitas data. Penulis akan meneliti seluas-luasnya agar penelitian ini lebih mendalam. Dan bukan berdasarkan penghitungan angka-angka statistik.

Dengan demikian penilitian ini berusaha mendeskripsikan atau menjelaskan makna-makna yang terdapat di film yang menjadi obyek penelitian.

Jenis penelitian ini dipilih karena penelitian ini berhubungan dengan proses intepretasi tanda-tanda, simbol, dan makna yang terdapat pada tampilan film.

Pada setiap proses penafsiran tanda-tanda yang dilakukan seseorang pasti akan berbeda penafsirannya dengan orang yang lain. Ini dikarenakan sebagai seorang manusia kita memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain. Baik itu dari segi pemikiran maupun pengalaman yang tentunya dapat mempengaruhi cara berpikir kita akan sesuatu. Proses penafsiran menjadi sangat subyektif. Dan bisa ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini pun sifatnya subyektif, sehingga diperlukan suatu paradigma pemikiran untuk mengarahkannnya menjadi obyektif.

(8)

Bermacam-macam definisi yang mengartikan paradigma. Namun secara umum, paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. (Agus Salim,Yogyakarta,2001)

Dalam paradigma, ilmuwan berupaya mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. (Agus Salim,Yogyakarta,2001)

Mereka mencoba mencari sebuah model untuk menjelaskan bagaimana suatu bagian-bagian berhubungan atau bagaimana bagian-bagian itu berfungsi.

Bisa ditarik benang merah bahwa sebuah paradigma bisa diartikan sebagai suatu cara bagaimana kita memandang dunia ini. Dan karena setiap manusia berbeda satu sama lain, maka di dunia ini terdapat berbagai jenis paradigma.

Ada tiga paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan para ilmuwan dalam mengembangkan suatu ilmu. Yaitu Positivisme dan Postpositivisme, Konstruktivisme (Interpretatif), dan Critical Theory atau teori teori kritis.

Tabel 1.1.

Tiga Perspektif/Paradigma Ilmu Sosial(Agus Salim,Yogyakarta,2001) Positivisme dan Postpositivisme Konstruktivisme (Interpretatif) Critical Theory (Teori-teori Kritis)

(9)

Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam dan

fisika, dan sebagai metode yang teroganisir untuk menyatukan deductive logic dengan pengamatan

empiris guna secara probabilistic menemukan

atau mencari konfirmasi hukum kausal yang biasa

digunakan memprediksi pola-pola umum gejala

sosial tertentu.

Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis

terhadap socially meaningful action, melalui

pengamatan langsung terhadap perilaku sosial

dalam setting yang alamiah, agar mampu

memahami dan menafsirkan bagaimana

pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan

dan memelihara dunia sosial mereka.

Mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang

secara kritis berusaha mengungkap “The real structures” di

balik ilusi. False needs, yang dinampakan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial dan

merubah kondisi kehidupan mereka.

Di dalam penelitian ini, peneliti memakai paradigma penelitian konstruktivis. Paradigma konstruktivis adalah sebuah jawaban atau bisa dikatakan sebagai sebuah pertentangan dari paradigma positivisme.

Agus Salim menyatakan bahwa, paham ini berpendapat bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. (Agus Salim,Yogyakarta,2001)

Oleh karena itu, salah satu alasan peneliti memilih untuk memakai paradigma konstruktivis karena peneliti setuju dengan paham ini, bahwa sebuah realitas yang

(10)

ada di masyarakat tidak bisa digeneralisasikan ke setiap orang seperti yang dilakukan oleh penganut paham paradigma positivis.

Paradigma konstruktivis bisa dijelaskan melalui empat dimensi seperti yang diutarakan oleh Deddy N Hidayat sebagai berikut:

1. Ontologis: Relativism, Realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konkarya spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

2. Epistemologis: Subjectivist, Pemahaman tentang suatu realitas atau

temuan suatu penelitian merupakan pesan interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.

3. Axiologis: Nilai etika dan pilihan moral merupakan bagian tak

terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionaate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

4. Metodologis: Menekankan empati, interaksi dialektis antara peneliti

responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif seperti participant observation. (Indiawa,Jakarta,2001)

1.5 Sistematika

BAB 1 PENDAHULUAN

Didalamnya terdapat Latar belakang, ruang lingkup, tujuan dan manfaat, hipotesis, metodelogi dan sisematika penulisan.

(11)

BAB 2 LANDASAN TEORI

Berisikan teori-teori yang menjadi dasar pemikiran yang menyokong pembahasan topik ini. Didalamnya terdapat teori umum dan teori khusus yang berhubungan dengan topik yang dibahas.

BAB 3 PERUMUSAN OBYEK PENELITIAN

Didalamnya terdapat Struktur organisasi perusahaan, prosedur yang berlaku, menguraikan metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian dari penyusunan skripsi ini. Dituliskan pula mengenai permasalahan yang ada dan alternatif pemecahan masalah.

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian yang terdiri dari gambaran obyek yang diteliti dan hasil pengumpulan data yang berhubungan dengan judul penelitian

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

Berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang telah penulis jalankan. Apa hasilnya serta berisi mengenai penjelasan apakah penelitian ini telah sesuai dengan rencana dan hasil yang diharapkan sesuai dengan hasil akhir yang dikerjakan atau kehendaki. Serta, manfaat dan kegunaannya bagi kita.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk data karyawan yang sudah tidak aktif bekerja lagi atau karyawan yang sudah pensiun maka perhitungan pesangon yang diterima oleh karyawan bisa dilakukan otomatis

Pesona keindahan dan keunikan panorama alam seperti wisata pantai serta seni budayanya merupakan potensi wisata yang dapat menjadi tujuan bagi para wisatawan domestik maupun

Sesuai penjelasan tersebut bahwa sebuah tanda-tanda dibuat bertujuan agar manusia bisa berpikir terhadap maksud dan tujuan dari sebuah tanda, baik berhubungan

Dari 363 penderita yang dirawat dengan malaria falciparum terdapat 148 orang dengan malaria berat (75 laki-laki dan 73 perempuan), terdiri dari hiperparasitemia 88 orang, ma-

Hasil penelitian tentang mekanisme koordinasi menunjukkan, komunikasi dalam upaya penemuan suspek TB, 4 Puskesmas (44,4%) cukup baik, 7 Puskesmas (77,7%) supervisinya kurang baik,

Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi untuk mensukseskan program-program yang disusun oleh pemerintah dengan pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kota (LPMK)

angkutan umum terbatas pada daerah yang ramai dengan kegiatan ekonomi seperti Alun-alun, Pasar Kebonpolo, Pasar Tidar, dan Terminal Tidar, sehingga kota Magelang berkembang

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan