• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil pertumbuhan dan kandungan glikosida jantung kalus daun Kamboja Jepang [Adenium obesum [Forssk.] Roem. & Schult.] dalam woody plant medium dengan variasi konsentrasi asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan 6-furfurylaminopurine - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Profil pertumbuhan dan kandungan glikosida jantung kalus daun Kamboja Jepang [Adenium obesum [Forssk.] Roem. & Schult.] dalam woody plant medium dengan variasi konsentrasi asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan 6-furfurylaminopurine - USD Repository"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN GLIKOSIDA JANTUNG KALUS DAUN KAMBOJA JEPANG (Adenium obesum (Forssk.) Roem. &

Schult.) DALAM WOODY PLANT MEDIUM DENGAN VARIASI KONSENTRASI ASAM 2,4-DIKLOROFENOKSIASETAT DAN

6-FURFURYLAMINOPURINE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Lukas Eko Widyasmoro NIM : 028114024

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

PROFIL PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN GLIKOSIDA JANTUNG KALUS DAUN KAMBOJA JEPANG (Adenium obesum (Forssk.) Roem. &

Schult.) DALAM WOODY PLANT MEDIUM DENGAN VARIASI KONSENTRASI ASAM 2,4-DIKLOROFENOKSIASETAT DAN

6-FURFURYLAMINOPURINE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Lukas Eko Widyasmoro NIM : 028114024

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“O Marie, conçue sans pêche priez pour nous qui avons

recours avous”

(“O Mary, conceived without sin, pray for us who have recourse to thee”)

Karyaku ini kupersembahkan ‘tuk:

My Shepherd Jesus & My Mother Mary;

Keluargaku;

My folks;

dan Almamaterku.

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Profil Pertumbuhan dan Kandungan Glikosida Jantung Kalus Daun Kamboja Jepang (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) dalam Woody Plant Medium dengan Variasi Konsentrasi Asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan 6-furfurylaminopurine” dengan baik. Deo Gracias.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah hal yang

mudah. Penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku, atas pengorbanan, doa, kesabaran, dan dukungan yang

telah diberikan.

2. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., selaku dosen pembimbing utama

yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi

serta memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

(7)

4. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Romo Drs. P. Sunu Hardiyanta, S.Si., S.J., yang telah memberikan doa dan

dukungan kepada penulis selama penyusunan skripsi.

7. Seluruh dosen Fakultas Farmasi yang telah memberikan dukungan kepada

penulis baik selama kuliah maupun selama penyusunan skripsi ini.

8. Laboran Fakultas Farmasi, khususnya laboran Laboratorium Biologi di lantai

3: Mas Sigit, Mas Wagiran, Mas Andri, dan Mas Sarwanto yang telah

membantu penulis selama mengerjakan skripsi di laboratorium.

9. Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2002 terutama kelas A, terima kasih

atas semua persahabatan dan kenangannya....

10.Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2002 kelompok praktikum A, terima

kasih atas semua kerjasama dan kekompakannya.

11.Para pendahulu di Laboratorium Kultur Jaringan: Ratna, Mina, Christin, dan

Vero, terima kasih atas semua bantuan dan wejangannya ya.... Untuk Ratna,

terima kasih atas pinjaman skripsi dan bukunya ya.

12.Kompatriotku di Laboratorium Kultur Jaringan: Melissa, Donny, dan Vicky,

terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama nge-lab. Thank U very

much, folks!

(8)

13.Teman-teman 2003: Ratih, Vian, Rosa, Vera, Irwan. Terima kasih atas

perhatian, dukungan, dan semangatnya! Untuk Ratih, terima kasih sudah jadi

sie konsumsiku saat ujian.

14.Sisa-sisa 2002: Theodorus ‘Gopa’, ‘MasDanu’ Kusuma, Benediktus ‘Suprex’,

‘Kobo’ Hendra, ‘Ancol’. Mari kita susul yang lain!

15.Eks-de Britto 2002: Yusuf ‘Kirmanta’, Yuda ‘TG’, ‘Adhit’ Nugraha Arisadha,

‘BenBen’ Sugientoro, ‘Koh Pingping’ Mahardika, Adhistyawan ‘Kobo’. Viva

‘Man for others’!

16.Teman-teman di kos ‘exGriffindor’: Adrianus ‘Nawamiri’, Vincencius

‘Anno’, Heribertus ‘Kumal’, Adhistyawan ‘Kobo’, Theodorus ‘Gopa’. Terima

kasih atas semua kebersamaan, bantuan (tempat, komputer, printer, dan

tenaga), dan dorongan semangatnya. Thanks bro!!

17.Keluarga besar Squadra Viola, terima kasih atas perhatian dan semangatnya.

18.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia

ini. Skripsi ini pun masih belum sempurna karena adanya keterbatasan waktu,

tenaga, dan pikiran. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan

kritik agar skripsi ini makin sempurna dan berguna bagi ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 22 Desember 2007

Penulis

(9)
(10)

INTISARI

Tanaman kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) selama ini hanya dikenal sebagai tanaman hias, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanaman ini mengandung glikosida jantung. Di berbagai negara, kamboja jepang sudah digunakan dalam pengobatan tradisional. Teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk mendapatkan glikosida yang optimum dari tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pola pertumbuhan kalus daun kamboja jepang serta membandingkan profil kromatografi lapis tipis (KLT) ekstrak kalus daun kamboja jepang dengan ekstrak daun kamboja jepang dan standar digitoksin.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Daun tanaman kamboja jepang ditanam pada Woody Plant Medium (WPM) dengan variasi konsentrasi zat pengatur tumbuh asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan

6-furfurylaminopurine (FAP). Penelitian dilakukan dengan mengamati waktu

inisiasi kalus, pertambahan bobot kalus basah, susut pengeringan, dan membandingkan profil KLT kalus daun kamboja jepang dengan ekstrak daun kamboja jepang dan standar digitoksin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inisiasi kalus tercepat adalah pada medium WPM 3, yaitu medium WPM dengan konsentrasi 2,4-D sebesar 2 ppm dan FAP sebesar 1 ppm. Pertumbuhan kalus yang optimum juga terjadi pada medium WPM 3. Fase lag terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-20, fase eksponensial terjadi pada hari ke-20 sampai hari ke-28, dan fase stasioner terjadi setelah hari ke-28. Kalus daun kamboja jepang menunjukkan profil KLT yang mirip dengan ekstrak daun kamboja jepang dan standar digitoksin.

Kata kunci: daun kamboja jepang, glikosida jantung, 2,4-D, FAP, WPM

(11)

ABSTRACT

So far desert rose (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) is known as an ornamental plant, but many research shows that this plant contains cardiac glycoside. In many countries, desert rose has been used in traditional medications. Tissue culture technique can be used to obtain optimum glycoside from the plant. This research is intended to find out the information about the growth profile of the callus of desert rose’s leaf and to compare the thin layer chromatography (TLC) profile of the extract of callus of desert rose’s leaf with the extract of desert rose’s leaf and digitoxin standard.

This research is a pure experimental research which uses a complete device of one-way pattern. Desert rose’s leaf was planted in a Woody Plant Medium (WPM) with the variations of plant growth substance 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) and 6-furfurylaminopurine (FAP). This research was carried out by observing the callus initiation time, the callus’ wet weight increase, the callus’ dry weight decrease, and comparing the TLC profile of extract of callus of desert rose’s leaf with the extract of desert rose’s leaf and digitoxin standard.

The results of this research show that the fastest callus initiation time was in WPM 3 medium, which contain 2 ppm 2,4-D and 1 ppm FAP. The optimum callus growth also occurs in WPM 3 medium. Lag phase occurs from day 4 until day 20, exponential phase occurs from day 20 until day 28, and stationary phase occurs after day 28. The callus of kamboja jepang’s leaf has the similar TLC profile as the extract of desert rose’s leaf and digitoxin standard.

Key words: desert rose’s leaf, cardiac glycoside, 2,4-D, FAP, WPM

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

HALAMAN PENGESAHAN ...

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

KATA PENGANTAR ...

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

INTISARI ...

1. Rumusan permasalahan ...

2. Keaslian penelitian ...

3. Manfaat penelitian ...

B. Tujuan Penelitian ...

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... A. Uraian Tanaman Kamboja Jepang ...

(13)

2. Nama ilmiah ...

3. Morfologi ...

4. Khasiat ...

5. Kandungan Kimia ...

B. Kultur Jaringan Tanaman ...

1. Pengertian ...

2. Media kultur ...

3. Eksplan ...

4. Kalus ...

5. Sterilisasi ...

6. Penanaman eksplan ...

7. Subkultur ...

8. Pertumbuhan kalus ...

C. Glikosida Jantung ...

D. Kromatografi Lapis Tipis ...

E. Landasan Teori ...

F. Hipotesis ...

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...

1. Variabel utama ...

2. Variabel pengacau terkendali ...

3. Variabel pengacau tidak terkendali ...

(14)

4. Definisi operasional ...

C. Alat dan Bahan Penelitian ...

1. Alat penelitian ...

2. Bahan penelitian ...

D. Tata Cara Penelitian ...

1. Determinasi tanaman ...

2. Pembuatan stok ...

3. Pembuatan media ...

4. Sterilisasi alat dan ruangan ...

5. Sterilisasi dan penanaman eksplan ...

6. Pengamatan waktu inisiasi kalus ...

7. Subkultur ...

8. Pemanenan ...

9. Analisis pertumbuhan kalus ...

10.Pengeringan dan pembuatan serbuk daun kamboja jepang ...

11.Uji tabung ...

12.Pembuatan ekstrak kalus daun kamboja jepang ...

13.Pembuatan ekstrak kalus daun kamboja jepang yang dihidrolisis

14.Pembuatan ekstrak daun kamboja jepang ...

15.Pembuatan standar digitoksin ...

16.Uji KLT ekstrak kalus, ekstrak daun kamboja jepang dan

larutan standar digitoksin ...

(15)

1. Analisis menggunakan grafik pertumbuhan kalus berdasarkan

data penimbangan bobot kalus basah dengan umur kalus ...

2. Analisis menggunakan grafik pertumbuhan kalus berdasarkan

data biomassanya ...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... A. Determinasi Tanaman Kamboja Jepang ...

B. Pemilihan dan Penanaman Eksplan ...

C. Waktu Inisiasi Kalus ...

D. Subkultur dan Panen ...

E. Profil Pertumbuhan Kalus ...

F. Susut Pengeringan Kalus ...

G. Analisis Kandungan Kimia Kalus ...

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ...

B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

BIOGRAFI PENULIS ...

(16)

DAFTAR TABEL

Waktu inisiasi kalus pada WPM 2 ...

Waktu inisiasi kalus pada WPM 3 ...

Hasil pengamatan KLT dengan fase diam silika gel GF254

dan fase gerak etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v ) ...

Hasil pengamatan KLT ekstrak kalus WPM 2 dan WPM 3

Hasil penimbangan bobot kalus dengan pemanenan pada

WPM 2 ...

Penentuan susut pengeringan pada WPM 2 ...

Hasil penimbangan bobot kalus dengan pemanenan pada

WPM 3 ...

(17)

DAFTAR GAMBAR

Struktur dasar bufadienolida dan kardenolida ...

Eksplan dalam bentuk irisan melintang daun ...

Inisiasi kalus ...

Kalus daun kamboja jepang hasil subkultur ...

Pola Pertumbuhan Kalus pada WPM 2 ...

Pola Pertumbuhan Kalus pada WPM 3 ...

Perbandingan Pola Pertumbuhan Kalus Kedua Media ...

Perbandingan susut pengeringan kalus pada kedua media .

Kromatogram glikosida jantung kalus daun kamboja

jepang, ekstrak daun kamboja jepang tanaman asal dan

standar digitoksin setelah disemprot dengan pereaksi

Kedde ...

Kromatogram glikosida jantung kalus daun kamboja

jepang, ekstrak daun kamboja jepang tanaman asal dan

standar digitoksin setelah disemprot dengan pereaksi

SbCl3 ...

Kromatogram ekstrak kalus daun kamboja jepang WPM 2

Kromatogram ekstrak kalus daun kamboja jepang WPM 3

Foto tanaman kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.)

Roem. & Schult.) ...

(18)

Gambar 15

Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak

etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), pada pengamatan

dengan sinar tampak ...

Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak

etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), pada pengamatan

dengan sinar UV 254 nm ...

Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak

etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), pada pengamatan

dengan sinar UV 365 nm ...

Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak

etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), deteksi penampak

bercak penyemprot pereaksi Kedde ...

Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak

etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v); deteksi penampak

bercak penyemprot antimon-triklorida (SbCl3), 100˚C

selama 6 menit ...

Foto KLT WPM 2 dengan fase diam silika gel GF254,

fase gerak etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), pada

pengamatan dengan sinar UV 254 nm ...

Foto KLT WPM 3 dengan fase diam silika gel GF254, fase

gerak etil asetat-metanol-air (81 : 11 : 8 v/v), pada

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Surat Keterangan Determinasi ...

Foto-foto Hasil Penelitian ...

Data-data Penelitian ...

Komposisi Woody Plant Medium ... 78

79

87

91

(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.)

merupakan jenis tanaman sukulen atau tanaman yang mengandung banyak air

dengan ciri utama adalah batang tanaman digunakan untuk menyimpan air.

Adenium obesum, termasuk suku Apocynaceae, juga dikenal sebagai mawar gurun

(desert rose) (Beikram dan Andoko, 2003; Ranger, 1996). Selama ini kamboja

jepang digunakan sebagai tanaman hias dan secara tradisional digunakan untuk

membantu proses kelahiran. Penduduk asli Afrika bagian timur menggunakan

tanaman ini sebagai racun ikan dan anak panah (Ranger, 1996) serta digunakan

untuk pengobatan gonorrhoea (Nakamura et al, 2000).

Dalam penelitiannya, Nakamura et al (2000) telah berhasil mengisolasi

dan mengidentifikasi 4 senyawa dari daun Adenium yang diduga berperan dalam

aktivitas sitotoksisnya. Atawodi (2005) dan Freiburghaus et al (1996) telah

meneliti ekstrak akar dan kulit batang kamboja jepang yang ternyata berpotensi

sebagai agen terapeutik untuk pengobatan trypanosomiasis. Penelitian yang

dilakukan oleh Yamauchi dan Abe (1990) menunjukkan bahwa Adenium obesum

mengandung oleandrigenin beta-gentiobiosyl-beta-D-thevetoside sebagai

glikosida yang utama. Selain itu, kamboja jepang juga memiliki kandungan

senyawa glikosida yang mirip digitalis/digitoksin (Melero et al, 2000). Di Afrika

dan Asia banyak ditemukan terjadinya kasus cardiac toxicity yang disebabkan

(21)

oleh kandungan racun panah yang mengandung latex dari tumbuhan

Apocynaceae, yang dikombinasikan dengan iritator untuk memfasilitasi difusi

racun ke dalam jaringan (Brunetton, 1999).

Produk-produk metabolit sekunder kebanyakan diperoleh secara

komersial dengan cara diisolasi dari tanaman, dan ini menimbulkan permasalahan

dengan terbatasnya sumber-sumber bahan baku untuk diisolasi. Oleh karena itu

diperlukan alternatif dalam usaha penyediaan metabolit sekunder tanaman. Salah

satu alternatif tersebut adalah melalui teknik kultur jaringan tanaman. Metode

kultur jaringan dapat dipakai untuk produksi metabolit sekunder yang selanjutnya

dapat disintesis menjadi senyawa murni dalam bidang industri obat (Suryowinoto,

1992).

Penelitian ini merupakan rangkaian dari penelitian yang dilakukan oleh

Wijaya (2007) dan Chandra (2007). Wijaya (2007) telah berhasil menumbuhkan

kalus yang berasal dari daun kamboja jepang dalam medium tumbuh

Murashige-Skoog (MS) dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) 2,4-D sebanyak 4

ppm. Pada penelitian tersebut diperoleh 2 senyawa pada ekstrak kalus daun

kamboja jepang yang mirip dengan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak

daun kamboja jepang dan ekstrak daun Nerium olender L. yang diduga sebagai

glikosida jantung. Chandra (2007) juga berhasil menumbuhkan kalus yang berasal

dari daun kamboja jepang meskipun dengan medium tumbuh yang berbeda, yaitu

medium Gamborg, dan dengan penambahan 2 variasi konsentrasi 2,4-D dan FAP.

Pada penelitian tersebut diperoleh 1 senyawa pada ekstrak kalus daun kamboja

(22)

kamboja jepang dan standar digitoksin yang diduga sebagai glikosida jantung.

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kalus yang berasal

dari daun kamboja jepang dan dari kalus yang dihasilkan diperoleh senyawa

glikosida jantung seperti pada tanaman asalnya. Media tumbuh yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Woody Plant Medium (WPM) karena menurut

Hendaryono dan Wijayani (1994) media WPM cocok sebagai media kultur untuk

membudidayakan tanaman berkayu. Penelitian ini menggunakan 2 variasi

konsentrasi 2,4-D dan FAP untuk membandingkan pertumbuhan kultur kalus dan

susut pengeringan kalus yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkulturkan tanaman kamboja jepang

dari bagian daun serta mengidentifikasi metabolit sekunder glikosida jantung yang

dihasilkan oleh kalus yang dibentuk dari hasil budidaya in vitro.

1. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah eksplan yang berasal dari daun kamboja jepang dapat

menghasilkan kalus jika dikembangkan secara in vitro dalam media

tumbuh Woody Plant Medium (WPM)?

b. Bagaimana profil pertumbuhan kalus daun kamboja jepang yang

dikulturkan?

c. Apakah kalus daun kamboja jepang hasil budidaya in vitro dapat

(23)

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang

profil pertumbuhan dan kandungan glikosida jantung kalus daun kamboja jepang

(Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) dalam Woody Plant Medium

dengan variasi konsentrasi asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan

6-furfurylaminopurine belum pernah diteliti.

Penelitian ilmiah menggunakan tanaman kamboja jepang yang pernah

dilakukan antara lain :

a. Wijaya (2007) telah melakukan penelitian tentang profil pertumbuhan dan

kandungan glikosida jantung dari kalus daun kamboja jepang (Adenium

obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) dalam media tumbuh Murashige-Skoog.

b. Chandra (2007) telah melakukan penelitian tentang profil pertumbuhan dan

analisis kualitatif glikosida jantung kalus daun kamboja jepang (Adenium

obesum (Forssk.) Roem. & Schult.) dalam media tumbuh Gamborg dengan

variasi konsentrasi asam 2,4-diklorofenoksiasetat dan 6-furfurylaminopurine.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan ilmu

kefarmasian terutama dalam hal teknik penghasilan glikosida jantung dari

tanaman, khususnya tanaman kamboja jepang, secara in vitro menggunakan

(24)

b. Manfaat praktis

Penelitian ini sebagai penelitian awal tentang produksi glikosida jantung

dari tanaman dengan teknik kultur jaringan sehingga mempunyai kemungkinan

untuk digunakan sebagai alternatif penyediaan obat jantung.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Menumbuhkan kalus dari eksplan daun kamboja jepang.

b. Mengetahui profil pertumbuhan kalus daun kamboja jepang.

c. Membuktikan bahwa ekstrak kalus daun kamboja jepang hasil budidaya in

(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman Kamboja Jepang 1. Nama Daerah/Nama Lain

Kamboja jepang, semboja jepang, desert rose, Mock azalea, Pink

Begonia, Sabi Star, Kudu (Anonim, 2006a).

2. Nama Ilmiah

Tanaman kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.) Roem. &

Schult.) termasuk famili Apocynaceae. Sinonim tanaman kamboja jepang ini

adalah Plumeria rubra L.cv. acutifolia (Anonim, 2006b).

3. Morfologi

Kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult.)

merupakan jenis tanaman sukulen atau tanaman yang mengandung banyak air

dengan ciri utama adalah batang tanaman digunakan untuk menyimpan air.

Adenium merupakan tumbuhan asli Afrika dan biasanya ditemukan di gurun

pasir Afrika dan Jazirah Arab, namun juga ditemukan di kawasan Asia

(Ranger, 1996).

Secara morfologis tanaman kamboja jepang (Adenium obesum (Forssk.)

Roem. & Schult. ) memiliki akar yang mampu membesar seperti umbi dan

diselimuti oleh rambut-rambut akar yang sangat banyak; daunnya berbentuk

lanset dengan ujung membulat, tebal dan berserat, berwarna hijau, tampak

mengkilap dan licin; bunganya berwarna merah muda sampai merah tua,

memiliki 5 helai mahkota bunga yang bagian tengahnya berwarna putih;

(26)

buahnya tumbuh secara berpasangan, terletak di ujung tunas, berbentuk pipih

panjang, berwarna hijau waktu masih muda dan kemudian berangsur-angsur

berubah menjadi cokelat; bijinya berada dalam buah, berwarna cokelat.

Tanaman ini dapat tumbuh hingga dua meter(Soenanto, 2005).

4. Khasiat

Selama ini kamboja jepang digunakan sebagai tanaman hias dan secara

tradisional digunakan untuk membantu proses kelahiran. Penduduk asli Afrika

bagian timur menggunakan tanaman ini sebagai racun ikan dan anak panah

(Ranger, 1996) serta digunakan untuk pengobatan gonorrhoea (Nakamura et

al, 2000). Ekstrak kulit batang Adenium obesum berpotensi sebagai acaricidal

(Mgbojikwe dan Okoye, 2001). Ekstrak dari tanaman ini juga menunjukkan

sifat sitotoksis (Nakamura et al, 2000). Atawodi (2005) dan Freiburghaus et al

(1996) telah meneliti ekstrak akar dan kulit batang kamboja jepang yang

ternyata berpotensi sebagai agen terapeutik untuk pengobatan

trypanosomiasis.

5. Kandungan Kimia

Tanaman kamboja jepang mengandung glikosida jantung dengan

kandungan utama berupa oleandrigenin, beta-gentiobiosyl-beta-D-thevetoside,

neridienone A dan 16,17-dihydroneridienone A (Yamauchi dan Abe, 1990).

Kamboja jepang juga memiliki kandungan senyawa glikosida yang mirip

digitalis (Melero et al, 2000), ekugin, kardenolida, honghelosida A,

16-asetilstrospesida, asam dihidroifflaionik, flavonol, 3-O-metil kaemferol,

(27)

B. Kultur Jaringan Tanaman 1. Pengertian

Kultur jaringan adalah teknik budidaya tanaman dengan menggunakan

potongan kecil sel, jaringan atau organ yang dipelihara dalam satu medium

dan dalam kondisi aseptik atau bebas mikroorganisme (Katuuk, 1989; Santoso

dan Nursandi, 2002). Usaha pengembangan tanaman dengan teknik kultur

jaringan merupakan usaha perbanyakan tanaman secara vegetatif. Di bidang

farmasi, teknik kultur jaringan sangat menguntungkan karena dapat

menghasilkan metabolit sekunder untuk keperluan obat-obatan dalam jumlah

yang besar dan dalam waktu yang singkat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Ide memperbanyak tanaman dengan cara mengulturkan bagian kecil

jaringan atau organ ini berdasarkan teori sel yang dikemukakan oleh Schleiden

dan Schwann, yaitu bahwa sel merupakan satuan struktur, fungsional, dan

hereditas terkecil dari makhluk hidup sehingga dapat tumbuh dan berkembang

menjadi suatu individu yang normal. Sel juga mempunyai kemampuan

totipotensi, yaitu kemampuan setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil,

yang apabila ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai akan tumbuh dan

berkembang menjadi tanaman lengkap yang baru (Hendaryono dan Wijayani,

1994; Santoso dan Nursandi, 2002).

Ada beberapa keuntungan dari teknik kultur jaringan, antara lain:

a. Kandungan–kandungan zat yang berguna dapat diproduksi di bawah kondisi

yang terkontrol, terbebas dari perubahan iklim dan keadaan tanah.

(28)

c. Sel-sel kebanyakan tumbuhan mudah untuk berkembangbiak dalam

menghasilkan metabolit-metabolit yang spesifik.

d. Kontrol automatis dari pertumbuhan sel dan proses pengaturan metabolit yang

rasional dalam bioreaktor akan mengurangi biaya tenaga kerja dan

meningkatkan produktivitas.

e. Substansi organik dapat diekstrak dari kultur kalus. (Dicosmo dan Misawa,

1995)

Teknik kultur jaringan dapat berhasil dengan baik apabila syarat-syarat

yang diperlukan terpenuhi, yaitu meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan

dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan

yang aseptik, dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair.

Kultur kalus adalah teknik budidaya kalus tanaman dalam suatu

lingkungan terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme.

Kultur kalus ini bertujuan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi

dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali (Santoso dan Nursandi, 2002).

2. Media kultur

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur

telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan

tanaman yang dikulturkan. Murashige dan Skoog memublikasikan formulasi

media MS (singkatan dari Murashige dan Skoog) yang sampai sekarang

terbukti cocok untuk kultur jaringan banyak tanaman dan banyak digunakan di

(29)

Media kultur dapat berbentuk cair atau padat. Media cair merupakan

campuran komponen-komponen zat kimia dengan air suling (Hendaryono dan

Wijayani, 1994), sedangkan media berbentuk padat merupakan media cair

dengan penambahan pemadat media seperti agar-agar (Yusnita, 2003).

Jaringan yang dikulturkan memerlukan unsur hara makro dan unsur

hara mikro dari dalam media tumbuh. Media kultur juga harus mengandung

bahan-bahan lain yang berguna untuk merangsang pertumbuhan serta

perkembangan sel jaringan yang dikulturkan. Pemisahan eksplan dari tanaman

induk menyebabkan perubahan biosintesis di dalam eksplan tersebut, sehingga

perlu diberikan unsur hara ke dalam media kultur untuk membantu eksplan

supaya dapat tumbuh dan berkembang. Bahan-bahan itu adalah bahan-bahan

organik yang meliputi karbohidrat, vitamin, asam amino, serta zat pengatur

pertumbuhan (Katuuk, 1989).

a. Air

Air memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengulturan

karena 95% dari media kultur terdiri dari air. Air yang digunakan adalah air

distilata (akuades) atau air distilata ganda (akuabides). Air ledeng atau air

sumur sebaiknya tidak digunakan karena mengandung sejumlah kontaminan

(substansi atau mikroorganisme) yang dapat merusak proses perkembangan

kultur eksplan. Air suling disimpan dalam kondisi steril dengan tidak memberi

peluang pada bakteri untuk hidup dan berkembang (Katuuk, 1989; Yusnita,

(30)

b. Garam-garam anorganik

Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in

vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan nutrisi tanaman yang

ditumbuhkan di tanah. Kebutuhan nutrisi yang berupa unsur makro dan mikro

diberikan melalui akar, yaitu dengan menambahkan unsur-unsur tersebut pada

medium agar. Unsur makro adalah unsur yang dibutuhkan tanaman dalam

jumlah banyak, sedangkan unsur mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah

sedikit. Fungsi dari unsur-unsur mikro belum diketahui secara pasti, namun

ketidakhadiran unsur mikro dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan

(Katuuk, 1989).

Unsur-unsur yang termasuk unsur makro antara lain:

1) Nitrogen (N)

Kegunaan nitrogen pada tanaman adalah untuk meningkatkan daya

tumbuh tanaman karena unsur N dapat membentuk protein, lemak,

klorofil, alkaloid, hormon tanaman, dan asam amino. Kekurangan N akan

menyebabkan daun berwarna kuning dan pertumbuhan terganggu.

Sebaliknya, terlalu banyak N akan mengakibatkan perkembangan vegetatif

lebih besar daripada perkembangan buah (Katuuk, 1989; Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

2) Fosfor (P)

Fosfor dibutuhkan tanaman untuk pembentukan karbohidrat dengan

cara mengikat fosfat. Terlalu banyak fosfor dalam media akan

(31)

unsur lainnya seperti seng, besi, dan tembaga (Katuuk, 1989; Hendaryono

dan Wijayani, 1994; Santoso dan Nursandi, 2002).

3) Kalium (K)

Kalium berfungsi memperkuat tubuh tanaman karena kalium dapat

menguatkan serabut-serabut akar sehingga daun, bunga, dan buah tidak

mudah gugur. Di samping itu, kalium juga berfungsi dalam pembelahan

sel, memperlancar metabolisme, dan mempengaruhi penyerapan makanan

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

4) Kalsium (Ca)

Kalsium terdapat dalam batang dan daun tanaman. Kalsium bertugas

dalam merangsang pembentukan bulu-bulu akar, mengeraskan batang, dan

merangsang pembentukan biji karena kalsium bersama-sama dengan

magnesium akan memproduksi cadangan makanan (Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

5) Magnesium (Mg)

Magnesium merupakan elemen utama dalam molekul klorofil.

Penambahan magnesium dalam tanaman akan meningkatkan kandungan

fosfat dalam tanaman. Fosfat digunakan sebagai bahan mentah dalam

pembentukan sejumlah protein yang akan menyempurnakan pertumbuhan

daun dan membentuk karbohidrat, lemak, serta minyak-minyak

(32)

6) Sulfur (S)

Sulfur merupakan unsur yang penting untuk pembentukan beberapa

jenis protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Sulfur juga berperan

dalam pembentukan bintil-bintil akar dan membantu pembentukan anakan

sehingga pertumbuhan dan ketahanan tanaman terjamin (Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

Unsur-unsur yang termasuk unsur mikro antara lain:

1) Besi (Fe)

Besi dibutuhkan lebih banyak daripada unsur mikro lainnya. Dalam

media kultur, besi diberikan dalam bentuk FeSO4 dan dicampurkan

terlebih dahulu dengan garam ethylene diamine tetraasetic acid (EDTA).

Besi tidak boleh dicampurkan langsung ke dalam media karena besi

bersifat tidak larut dalam air sehingga dapat menimbulkan endapan yang

menyebabkan besi tidak dapat digunakan oleh jaringan atau kultur. Cara

untuk mengatasi hal ini adalah dengan menambahkan chelating agent yang

akan membungkus ion Fe sehingga dapat bercampur rata dengan larutan

(Katuuk, 1989; Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Pemberian besi dalam media kultur jaringan adalah sebagai

penyangga kestabilan pH media selama digunakan untuk menumbuhkan

jaringan tanaman. Pada tanaman, besi berfungsi dalam pernafasan dan

(33)

2) Tembaga (Cu)

Tembaga berperan sebagai bagian dari enzim, ikut ambil bagian

dalam proses fotosintesis dan pembentukan klorofil, ikut pula dalam

aktivitas reduksi nitrit (Santoso dan Nursandi, 2002).

3) Mangan (Mn)

Mangan berperan sebagai aktivator enzim dengan bertindak sebagai

perantara, pembentuk klorofil, dan aktif dalam fotosintesis, metabolisme

protein serta pembentukan vitamin C (Santoso dan Nursandi, 2002).

4) Seng (Zn)

Seng adalah unsur yang berperan penting dalam pembentukan

protoplas. Tanaman yang cukup seng mampu memproduksi auksin IAA

(indole asetic acid) endogenus, sehingga tidak memerlukan penambahan

auksin sintetik dalam media (Katuuk, 1989).

5) Boron (B)

Boron berperan dalam metabolisme karbohidrat. Kekurangan boron

pada tanaman tertentu akan mengakibatkan kerusakan jaringan, sebaliknya

terlalu banyak boron akan mengakibatkan tanaman mati. Media kultur

yang kekurangan boron akan menyebabkan sintesis sitokinin dalam media

terganggu (Katuuk, 1989; Santoso dan Nursandi, 2002).

6) Molibdenum (Mo)

Molibdenum berguna dalam proses pengikatan nitrogen dari

atmosfer menjadi nitrat dengan bantuan bakteri pengikat nitrogen. Selain

(34)

diberikan berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan tanaman

(Katuuk, 1989).

7) Kobalt (Co)

Kobalt berguna untuk mengikat nitrogen. Dalam kultur jaringan,

kobalt digunakan untuk pembentukan asam inti (Katuuk, 1989).

8) Iodium (I)

Iodium ditambahkan dalam media sebagai KI. Unsur iodium tidak

terlalu diperlukan dalam media namun sering juga digunakan. Beberapa

asam amino juga mengandung iodium (Katuuk, 1989).

Unsur-unsur makro dan mikro diberikan dalam bentuk garamnya

supaya lebih mudah larut dalam air (Yusnita, 2003). Unsur-unsur makro

biasanya diberikan dalam bentuk NH4NO3, KNO3, CaCl2.2H20, MgSO4.7H2O

dan KH2PO4. Sedangkan unsur-unsur mikro biasa diberikan dalam bentuk

MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KI, NaMo4.2H2O, CuSO4.5H2O dan

CoCl2.6H2O (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap

pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya.

Macam-macam media kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya

cukup banyak. Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan

media yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk

tiap-tiap senyawa. Medium yang biasa digunakan untuk budidaya tanaman

berkayu adalah medium standar WPM (Woody Plant Medium). Kesulitan yang

(35)

phenolic compound’ sehingga kalus atau eksplan menjadi berwarna coklat

yang akhirnya tidak tumbuh. Hal ini disebut ‘browning’ (Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

c. Vitamin dan Myo-inositol

Vitamin merupakan komponen media yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan kalus. Vitamin yang sering digunakan dari kelompok vitamin B,

yaitu tiamin-HCl (vitamin B1), piridoksin-HCl (vitamin B6), asam nikotinat,

dan riboflavin (vitamin B2). Tiamin adalah vitamin yang terpenting untuk

hampir semua kultur jaringan tanaman. Tiamin berfungsi untuk mempercepat

pembelahan sel pada meristem akar, juga berperan sebagai koenzim dalam

reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat dan memindahkan energi.

Fungsi dari vitamin B6 adalah sebagai ko-enzim yang membantu reaksi kimia

dalam proses metabolisme (Katuuk, 1989). Asam nikotinat juga penting dalam

reaksi-reaksi enzimatik, di samping berperan sebagai prekursor dari beberapa

alkaloid. Vitamin C, seperti asam sitrat dan asam askorbat, kadang-kadang

digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah atau mengurangi pencoklatan

atau penghitaman pada permukaan irisan jaringan eksplan (Hendaryono dan

Wijayani, 1994; Yusnita, 2003). Vitamin E berperan untuk memperkuat

pembentukan sel-sel kalus pada tanaman tertentu (Katuuk, 1989).

Myo-inositol merupakan heksitol dan sering digunakan sebagai salah

satu komponen media yang penting karena terbukti merangsang pertumbuhan

jaringan yang dikulturkan dan membantu proses diferensiasi. Bila

(36)

mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994;

Yusnita, 2003).

d. Asam amino

Asam-asam amino berperanan penting untuk pertumbuhan dan

diferensiasi kalus. Kebutuhan asam amino untuk setiap tanaman berbeda-beda.

Asparagin dan Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino, karena

dapat menjadi pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam-asam amino

baru dalam jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

e. Sumber energi

Pada umumnya, tidak semua sel tanaman yang terisolasi dalam kultur

in vitro bersifat autotrof sehingga tidak dapat menyediakan energi untuk

proses fotosintesis. Kebutuhan akan energi menyebabkan perlunya

penambahan karbohidrat sebagai sumber energi dalam media kultur (Yusnita,

2003). Karbohidrat adalah kimia karbon yang meliputi gula, pati, dan selulosa.

Ada banyak jenis karbohidrat yang dipakai dalam kultur jaringan, namun yang

paling banyak digunakan adalah sukrosa atau D-glukosa (Katuuk, 1989).

f. Zat pengatur tumbuh

Keberadaan hormon dan zat pengatur tumbuh dalam kegiatan kultur

jaringan adalah mutlak karena kegiatan kultur jaringan umumnya

menggunakan bahan tanam yang tidak lazim (sel, jaringan, atau organ) dan

budidayanya adalah budidaya terkendali (Santoso dan Nursandi, 2002).

Hormon adalah zat yang diproduksi dalam tumbuhan itu sendiri dan aktif

(37)

kultur jaringan, telah dibuat hormon tumbuhan buatan secara sintetik maupun

melalui fermentasi. Hormon atau zat tersebut dinamakan zat pengatur tumbuh

(Katuuk, 1989). Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa

organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung,

menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. ZPT diperlukan

sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa

penambahan ZPT dalam medium, pertumbuhan akan terhambat atau mungkin

tidak tumbuh sama sekali (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Penentuan macam dan konsentrasi hormon dan zat pengatur tumbuh

untuk tujuan kultur tertentu tidak mudah. Diperlukan pengetahuan yang lebih

luas tentang kedua zat tersebut, dan melihat serta mempelajari contoh-contoh

penggunaannya (Santoso dan Nursandi, 2002). Zat pengatur tumbuh yang

sudah dikenal antara lain auksin, sitokinin, adenin, giberelin, etilen, dan

abscicin. Dari semua jenis ZPT tersebut, auksin dan sitokinin adalah yang

paling banyak digunakan (Katuuk, 1989).

1) Auksin

Auksin adalah hormon tanaman yang diproduksi secara alamiah

dalam tubuh tanaman dan juga dapat secara sintesis. Dalam media, auksin

berfungsi untuk merangsang pertumbuhan kalus, perbesaran sel,

pertumbuhan akar, dan mengatur morfogenesis (Katuuk, 1989).

Auksin alamiah yang paling banyak dikenal adalah IAA

(3-indoleasetic acid). Selain IAA dikenal juga auksin sintetik, yaitu NAA (a

(38)

(3-indole butyric acid), dan PCPA (P-chlorophenoxy asetic acid) (Katuuk,

1989).

Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan berbeda-beda. Pada

kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang

pertumbuhan dan menyebabkan diferensiasi kalus cenderung ke arah

pembentukan primordia akar. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel

menunjukan adanya indikasi bahwa auksin dapat menaikkan tekanan

osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan permeabilitas sel

terhadap air, dan melunakkan dinding sel yang diikuti menurunnya

tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai

dengan kenaikan volume sel (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

2) Sitokinin

Dalam kultur jaringan, sitokinin berfungsi untuk mengatur

pertumbuhan serta morfogenesis. Sitokinin juga merupakan hormon yang

diproduksi secara alamiah (endogenus), dan juga dapat dibuat secara

sintesis (Katuuk, 1989).

Sitokinin alami ditemukan lebih dari 30 jenis dan terdapat dalam

bentuk sitokinin bebas, maupun sebagai glukosa atau ribosa. Dua sitokinin

alami yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin

(4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP

(N6-(2-ispentyl)adenin). Sitokinin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan

antara lain kinetin atau FAP (6-furfurylaminopurine), BAP atau BA

(39)

)-N’-phenylurea), PBA (SD 8339) ((6-benzylamino

)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-purine), thidiazuron (N-phenyl

-N’-1,2,3-thiadiazol-5-phenylurea), dan 2,6Cl-4PU (N-(2,6-dichloro-4-pyridyl

)-N’-phenylurea) (Santoso dan Nursandi, 2002).

Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin berpengaruh pada

pembelahan sel. Sitokinin bersama-sama dengan auksin mempengaruhi

diferensiasi jaringan. Pemberian sitokinin yang relatif tinggi akan

menyebabkan kalus ke arah pembentukan primordia batang atau tunas

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

3. Eksplan

Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dikeluarkan atau

dipisahkan dari tanaman induk kemudian dikulturkan (Katuuk, 1989). Pada

pemilihan eksplan, sebaiknya dipilih bagian atau jaringan tanaman yang masih

muda dan mudah tumbuh, yaitu jaringan meristem. Jaringan meristem terdiri

dari sel-sel yang selalu membelah, berdinding tipis, belum mempunyai

penebelan zat pektin, plasmanya penuh, dan vakuolanya kecil-kecil.

Penggunaan jaringan meristem dalam kultur jaringan dikarenakan jaringan

meristem selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai hormon yang

mengatur pertumbuhan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Berhasil tidaknya pengulturan eksplan tergantung pada faktor yang

dimiliki oleh eksplan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut meliputi ukuran, umur

fisiologi, sumber, serta genotip eksplan (Katuuk, 1989).

(40)

Ukuran eksplan sangat menentukan proses pengkulturan. Bagian

tanaman yang dipotong masih mengandung suplai makanan serta hormon

untuk potongan itu sendiri, sehingga makin besar potongan, makin besar

kemampuan potongan ini untuk dirangsang tumbuh dan beregenerasi.

Namun, semakin besar eksplan maka semakin besar kemungkinan

mendapatkan jaringan yang terkontaminasi. Eksplan yang kecil mempunyai

daya tahan yang kurang. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5 sampai

1,0 cm, namun ukuran ini dapat bervariasi, tergantung pada material

tanaman yang dipakai serta jenis tanaman (Katuuk, 1989).

b.Umur eksplan.

Umur eksplan sangat mempengaruhi tipe serta daya morfogenesis.

Jaringan yang masih muda serta belum banyak berdiferensiasi terdapat pada

bagian meristematik. Bagian inilah yang paling banyak berhasil dari semua

jenis tanaman. Sel atau jaringan yang masih muda (juvenile) akan tetap

muda dalam pengkulturan sehingga daya untuk beregenerasi tetap ada,

sedangkan sel-sel tua (mature), kesanggupan untuk beregenarasi sudah

berkurang. Selain dari kandungan jaringan meristematik yang berkurang,

jaringan yang sudah tua kemungkinan sudah mengandung patogen (Katuuk,

1989).

c.Sumber eksplan.

Sumber eksplan adalah tanaman induk tempat eksplan diambil.

Tanaman yang dijadikan sumber eksplan hendaknya dari tanaman yang

(41)

musim, serta kelembaban terhadap tanaman induk sangat mempengaruhi

perkembangan eksplan. Tanaman induk dituntut untuk berkecukupan zat

hara, lama penyinaran, intensitas cahaya serta hormon tumbuh. Dengan kata

lain, pertumbuhannya harus optimum (Katuuk, 1989).

Kemampuan bagian tanaman dalam pengulturan juga dipengaruhi oleh

jenis tanaman. Secara umum tanaman berkayu lebih sulit untuk

ditumbuhkankan dibanding herbaseus, monokotil lebih mudah dari dikotil.

Kesulitan membentuk kalus tidak hanya berdasarkan hal-hal tersebut, tetapi

lebih berdasar pada aspek fisiologi dan biokimia bahan tanam (Santoso dan

Nursandi, 2002).

d.Genotip eksplan.

Genotip adalah faktor endogen yang paling utama mempengaruhi

perkembangan jaringan eksplan, dibandingkan faktor-faktor lain. Perbedaan

kemampuan untuk beregenerasi disebabkan oleh genotip jelas dapat dilihat

pada tanaman monokotil, dikotil dan gymnospermae. Dari ketiga kelompok

ini, kemampuan untuk beregenerasi yang paling rendah adalah tanaman

gymnospermae, kemudian diikuti oleh tanaman monokotil, dan terakhir oleh

tanaman dikotil. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila satu jenis tanaman

dengan mudah beregenerasi in vivo maka sifat ini berlaku juga pada in vitro

(Katuuk, 1989).

4. Kalus

Jika suatu eksplan ditanam pada medium padat atau dalam medium

(42)

terbentuk massa kalus (Yuwono, 2006). Kalus adalah jaringan yang tak

berbentuk dan tak terorganisasi. Jaringan ini merupakan hasil pembelahan sel

yang berpotensi tinggi untuk terus-menerus membelah diri. Kalus adalah satu

fase yang harus dilalui selama pengulturan organ, jaringan, maupun

pengulturan sel-sel yang mendahului (Katuuk, 1989). Wetherell (1982)

mendefinisikan kalus sebagai pertumbuhan sel yang belum berdiferensiasi,

membentuk tumor sebagai akibat dari pengaruh auksin dan sitokinin yang

tinggi.

Secara alami, tanaman juga dapat membentuk kalus sebagai upaya

perlindungan tanaman karena tanaman mengalami perlukaan (infeksi bakteri,

gigitan serangga atau nematoda) dan juga karena tanaman mengalami stress

(Santoso dan Nursandi, 2002). Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk karena

luka/irisan pada eksplan sebagai respon terhadap hormon baik eksogenus

maupun endogenus. Adanya rangsangan ini menyebabkan sel berubah dari

bentuk inaktif menjadi aktif (Katuuk, 1989).

Sel-sel penyusun kalus adalah sel-sel parenkim yang mempunyai

ikatan yang renggang dengan sel-sel lainnya (Santoso dan Nursandi, 2002).

Pembelahan sel tidak terjadi pada seluruh permukaan eksplan, tetapi hanya

pada bagian meristematik, yaitu lapisan yang terletak pada bagian luar sel

perifer. Lapisan bagian dalam merupakan jaringan yang sudah tua dan tidak

membelah lagi. Setelah pembelahan sel bagian luar berkurang, kalus akan

terlihat membulat atau kompak, dan selanjutnya akan berlangsung proses

(43)

5. Sterilisasi

Menciptakan dan memelihara kondisi aseptik merupakan pekerjaan

yang paling berat dalam kultur jaringan. Spora dari bakteri dan jamur yang ada

di sekitar kita dapat jatuh atau terbawa sampai pada eksplan karena adanya

pergerakan udara. Akhirnya spora dan jamur akan tumbuh dan berkembang,

dan dalam beberapa hari akan tumbuh menjadi koloni mikrobial sehingga

objek kultur dikatakan terkontaminasi (Katuuk, 1989).

Media kultur jaringan merupakan sumber makanan yang baik untuk

bakteri dan fungi, dan semua prosedur in vitro harus memuat pencegahan

terhadap kontaminasi mikroba (Wetherell, 1982). Ada beberapa teknik

sterilisasi yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman, yaitu:

a. Sterilisasi panas basah

Cara sterilisasi panas basah adalah dengan menggunakan uap air. Alat

yang digunakan untuk sterilisasi ini adalah autoklaf. Hampir semua

mikroba akan mati setelah diberi uap air dengan suhu 121˚C selama 10-15

menit. Cara sterilisasi ini dapat digunakan untuk mensterilkan media

kultur, air, alat/instrumen, peralatan gelas serta peralatan plastik yang

tahan akan suhu panas. Lama sterilisasi ada aturannya, untuk mensterilkan

media 20-75 ml dibutuhkan waktu 15-20 menit, media 75-500 ml

dibutuhkan waktu 20-25 menit, media 500-5000 ml dibutuhkan waktu

25-35 menit, yang semuanya dilakukan pada suhu 121˚C; sedangkan untuk

mensterilkan peralatan gelas dibutuhkan waktu 30 menit dengan suhu

(44)

b. Sterilisasi panas kering

Cara sterilisasi panas kering adalah dengan menggunakan suhu tinggi

dan dalam kondisi kering. Alat yang digunakan untuk sterilisasi ini adalah

oven. Oven digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang tidak mudah

terbakar, antara lain: alat-alat gelas dan alat-alat dari logam. Namun dalam

keadaan tertentu dimana suhu tidak terlalu panas, alat dapat dibungkus

dengan kertas kemudian disterilkan. Namun bukan berarti semua alat dari

bahan logam harus disterilkan dengan cara ini. Alat-alat seperti pisau serta

scalpel tidak dapat disterilkan dengan cara ini sebab dapat merusak

ketajaman pisau /alat (Katuuk, 1989).

Lama pemanasan tergantung pada suhu. Biasanya sterilisasi untuk

suhu 160˚C, memerlukan waktu 45 menit; 170˚C selama 18 menit; 180˚C

selama 7,5 menit, dan 190˚C selama 1,5 menit. Suhu harus terus dikontrol,

sebab pada suhu 170˚C, kertas mulai hancur. Setelah selesai proses

sterilisasi, alat/instrumen dikeluarkan dan dibawa ke ruang transfer, dan

dapat disterilkan lagi dengan menggunakan sinar ultraviolet (Katuuk,

1989).

c. Sterilisasi dengan memakai nyala

Alat/instrumen yang sudah disterilkan dengan oven, dikeluarkan dari

bungkusnya, dicelupkan dalam etanol 70% dan dilewatkan pada nyala

lampu spiritus. Setiap beberapa saat instrument harus dicelupkan ke dalam

etanol kemudian dibakar. Perlakuan ini berjalan terus selama kegiatan

(45)

d. Sterilisasi dengan bahan kimia

Sterilisasi dengan bahan kimia merupakan pembasmian mikroba

dengan memakai bahan kimia. Biasanya bahan kimia dipakai untuk

mensterilkan permukaan saja, yang meliputi material tanaman dapat

disterilkan dengan menggunakan natrium hipoklorit, perak nitrat atau air

brom; sedangkan instrumen, tangan pekerja, serta ruang atau kotak transfer

dapat disterilkan dengan menggunakan alkohol 70% (Katuuk, 1989).

Banyak jenis bahan pencuci yang bisa digunakan untuk sterilisasi

material tanaman. Jenis dan lama sterilisasi tergantung pada kepekaan

material tanaman. Terlalu lamanya proses sterilisasi dengan konsentrasi

bahan pencuci yang tinggi, akan mematikan mikroba sekaligus merusak

jaringan tanaman yang disterilkan. Di samping itu, bahan pencuci

hendaknya bersifat lebih mudah larut. Bila tidak demikian, sisa zat pencuci

ini akan tetap pada material tanaman, yang dapat mengganggu

pertumbuhan eksplan (Katuuk, 1989).

e. Sterilisasi dengan cahaya

Ruang dan kotak transfer sulit disterilkan hanya dengan menggosok

dengan alkohol atau bahan kimia pada permukaan. Untuk itu digunakan

lampu germisidal dengan sinar ultraviolet. Ada laboratorium yang sudah

memasangnya di langit-langit atau pada tempat lain dengan tujuan semua

bagian terkena cahaya. Kelemahan menggunakan sinar ultraviolet adalah

(46)

terjadi. Selain itu, sinar ultraviolet hanya mampu mematikan bentuk

fertilisasi bakteri dan jamur, bukan bentuk spora (Katuuk, 1989).

6. Penanaman eksplan

Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow (LAF)

dengan kondisi aseptis. Sebelum bekerja di dalam LAF, semua perhiasan

tangan harus dilepas dan tangan dibasuh dengan alkohol 70%. Saat menanam

eksplan, pekerja harus menggunakan masker penutup mulut dan hidung

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Eksplan ditanam ke dalam media dengan sedikit ditekan agar eksplan

bersinggungan dengan media. Selanjutnya wadah ditutup dengan alumunium

foil atau parafin untuk mencegah penguapan. Media yang berisi eksplan

diinkubasikan dalam ruangan dengan suhu 25˚C (Dixon, 1985).

7. Subkultur

Subkultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan

dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus

dapat terpenuhi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Subkultur pada media padat dilakukan dengan meletakkan kalus yang

sudah terbentuk di atas cawan petri dan membelah-belahnya lagi menjadi

bagian-bagian kecil dengan menggunakan skalpel dan pinset.

Potongan-potongan kalus tersebut segera dimasukkan kembali ke dalam wadah yang

berisi media baru dengan komposisi media yang sama dengan media lama dan

diinkubasikan kembali. Seluruh proses ini dilakukan dalam kondisi aseptis

(47)

8. Pertumbuhan kalus

Ada 3 tahapan perkembangan dan pertumbuhan kalus, mulai dari

waktu subkultur atau penaburan inokulum, yaitu induksi pembelahan sel,

pembelahan sel aktif dan tahap pembelahan sel lambat atau sel berhenti

membelah. Laju pertumbuhan kalus umumnya ditetapkan secara kuantitatif

dengan parameter indeks pertumbuhan bobot kalus basah. Pertambahan bobot

kalus basah merupakan selisih antara bobot kalus basah pada periode tertentu

dikurangi bobot kalus mula-mula atau bobot inokulum. Selanjutnya dari kurva

pertumbuhan kalus yang menyatakan hubungan antara pertumbuhan bobot

kalus basah dengan umur dapat diketahui fase-fase pertumbuhan kalus antara

lain:

a. Fase lag, yaitu fase belum terjadinya pertumbuhan secara nyata, keadaan

ini terjadi selama beberapa waktu setelah kalus disubkultur, serta

merupakan waktu adaptasi kalus dengan media yang baru. Pada fase ini

pertambahan bobot kalus hanya sedikit dan terlihat hampir mendatar pada

kurva.

b. Fase eksponensial, yaitu fase mulai terjadinya pertumbuhan kalus.

Pertambahan bobot kalus mulai terlihat nyata dan diikuti fase linier

dimana pertumbuhan kalus terus menaik secara eksponensial seperti garis

lurus ke atas dan berhenti.

c. Fase stasioner, yaitu fase saat pertumbuhan kalus sama dengan kematian

sel-sel kalus. Pada fase ini, kalus tidak dapat bertahan hidup dalam waktu

(48)

nutrien telah habis digunakan, sehingga kematian sel menjadi lebih cepat

(George dan Sherrington, 1984).

C. Glikosida Jantung

Glikosida jantung banyak ditemukan dalam keluarga tumbuhan yang

tidak berkaitan satu sama lain seperti Apocynaceae, Liliaceae, Moraceae, dan

Ranunculaceae (Robinson, 1995); juga banyak ditemukan pada anggota suku

Scrophulariaceae, Digitalis, Nerium, Asclepiadaceae, dan Asclepis (Harborne,

1987). Tumbuhan yang mengandung senyawa ini biasanya digunakan sebagai

racun panah dan siksaan pada zaman prasejarah. Contoh glikosida yang

bermanfaat dalam pengobatan misalnya glisirizin, glikosida asam gliserisat,

yang terkandung dalam akar Glycyrrhiza glabra sebagai komponen aktif

utama (Robinson, 1995).

Sumber utama kardenolida ialah genus Digitalis dan Strophantus.

Digitalis mempunyai efek langsung pada jantung yaitu memberi kekuatan bila

jantung melemah. Glikosida jantung biasanya mempunyai sifat peluruh air

seni (diuretik) yang berakibat menurunkan tekanan darah dan mengobati

bengkak. Keberadaan senyawa ini dalam tumbuhan mungkin memberi

perlindungan kepada tumbuhan tersebut dari gangguan beberapa serangga

(Robinson, 1995).

Isolasi glikosida jantung murni dalam tanaman sulit dilakukan karena

glikosida jantung merupakan suatu glikosida yang memiliki kepolaran yang

(49)

menggunakan pelarut yang polar antara lain: etanol, etil asetat, campuran

etanol dan air serta campuran etanol dan kloroform (Samuelsson, 1999).

Glikosida jantung diklasifikasikan sebagai steroid (sterol), karena

memiliki inti cyclopentanoperhydrophenanthrene, sebuah cincin lakton α-β

yang tidak jenuh (dengan sisi 5 atau 6) pada C17, sebuah β-oriented hydroxyl

pada C14, sebuah penggabungan cis dari cincin C dan D pada C13-C14 dan

tambahan satu atau lebih gula pada C3, biasanya deoksiheksometilosa. Cincin

lakton tidak jenuh bersisi 5 (pentagonal) pada C17 menggolongkan glikosida

tersebut sebagai kardenolida, sedangkan cincin lakton tidak jenuh bersisi 6

(heksagonal) pada posisi yang sama menggolongkan glikosida tersebut

sebagai bufadienolida (Farnsworth, 1966).

H

Gambar 1. Struktur dasar bufadienolida dan kardenolida

Identifikasi glikosida jantung dapat dilakukan dengan menggunakan

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) secara kualitatif. Reaksi identifikasi terhadap

glikosida jantung dapat dilakukan menggunakan uji dengan pereaksi Baljet

(2,4,6-trinitrophenol), uji dengan pereaksi Kedde (3,5-dinitrobenzoic acid), uji

(50)

(sodium nitroprusside) dimana pereaksi tersebut akan bereaksi dengan grup

metilen aktif yang ditemukan dalam cincin lakton tidak jenuh. Pereaksi ini

akan memberikan warna oranye, ungu, biru, dan violet, yang menunjukkan

adanya glikosida jantung (Farnsworth, 1966).

D. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan

fisikokimia (Stahl, 1969). Pada dasarnya semua kromatografi menggunakan

dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan-pemisahan tergantung

pada gerakan relatif dari dua fase ini. Kromatografi dapat digolongkan

berdasarkan sifat-sifat fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair.

Apabila fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai

kromatografi serapan, sedangkan untuk fase diam yang berupa cairan dikenal

sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 2001).

Kromatografi lapis tipis termasuk ke dalam kromatografi serapan.

Prinsip dari kromatografi serapan adalah kecepatan bergerak dari suatu

komponen tergantung pada berapa besarnya komponen tersebut tertahan oleh

fase diam (Sastrohamidjojo, 2001).

Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah bahan

penyerap atau adsorben (Stahl, 1969). Fase diam dapat berupa serbuk halus

yang berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau

berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair)

(51)

pemilihan bahan penyerap adalah ukuran partikel dan homogenitas partikel

penyerap. Kedua sifat ini sangat berpengaruh pada gaya adhesi. Besar partikel

yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Fase diam yang umum dan paling

banyak digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan CaSO4 untuk

menambah daya lengket partikel silika gel pada pendukung (pelat). Adsorben

lain yang juga biasa digunakan adalah alumina, kieselguhr, celite, serbuk

selulosa, serbuk poliamida, kanji dan sephadex (Mulja dan Suharman, 1995).

Fase diam yang digunakan untuk analisis secara kromatografi lapis tipis untuk

glikosida jantung adalah silika gel GF 254 (Wagner, 1984).

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa

pelarut. Fase ini bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Fase

gerak yang digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila

diperlukan sistem pelarut multi-komponen harus berupa campuran

sesederhana mungkin terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1969).

Ada beberapa macam pilihan fase gerak untuk glikosida jantung, yaitu etil

asetat-metanol-air (100:13,5:10 v/v); etil asetat-metanol-etanol-air (81:11:4:8

v

/v); metiletil keton-toluena-air-asam asetat glasial (40:5:3:2,5:1 v/v); dan

kloroform-metanol-air (65:35:10 v/v) (Wagner, 1984).

Campuran yang dipisahkan berupa larutan yang ditotolkan berupa

bercak. Setelah itu pelat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup

rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan

terjadi selama pengembangan. Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna

(52)

Identifikasi dari senyawa yang terpisah (bercak/noda) pada lapisan

tipis dapat dilakukan dengan tanpa pereaksi kimia dan disemprot dengan

reagen. Identifikasi senyawa glikosida jantung dapat dilakukan dengan tanpa

pereaksi kimia yaitu dengan menggunakan sinar ultraviolet 254 dan 365 nm,

sedangkan reagen penyemprot yang digunakan untuk identifikasi senyawa

glikosida jantung adalah reagen Kedde, Legal, Baljet, Raymond, antimony

(III) chloride, chloramine-trichloroacetic acid/CTA, sulphuric acid (Wagner,

1984) dan vanillin-phosporic acid (Jork et al., 1990).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan

dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan jarak

antara senyawa dari titik awal dengan jarak tepi muka pelarut dari awal.

Rf =

Harga Rf yang diperoleh pada KLT tidak tetap jika dibandingkan dengan

kromatografi kertas sehingga perlu dibuat kromatogram zat pembanding

kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan identifikasi

diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf dan ukuran yang

hampir sama. Angka Rf berkisar antara 0,01 – 1,00 dan hanya dapat

ditentukan dengan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h),

menghasilkan nilai berkisar antara 0 – 100 (Harborne, 1984; Stahl, 1969).

E. Landasan Teori

Selama ini kamboja jepang digunakan sebagai tanaman hias dan secara

(53)

penelitian yang dilakukan Melero et al (2000), kamboja jepang mempunyai

kandungan senyawa glikosida yang mirip digitalis sehingga mempunyai

kemungkinan dapat digunakan sebagai obat jantung.

Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti

yang dikemukaan oleh Schleiden dan Schwann, yaitu bahwa sel merupakan

satuan struktural, fungsional, dan hereditas terkecil dari makhluk hidup

sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi suatu individu yang normal.

Sel juga mempunyai kemampuan totipotensi, yaitu kemampuan setiap sel, dari

mana saja sel tersebut diambil, yang apabila ditumbuhkan pada lingkungan

yang sesuai akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman lengkap yang

baru yang mempunyai kandungan kimia yang sama dengan tanaman asalnya.

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Apabila eksplan ditanam dalam

media cocok, pertumbuhannya pun akan optimum. Media tumbuh yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Woody Plant Medium (WPM) karena

menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) media WPM cocok sebagai media

kultur untuk membudidayakan tanaman berkayu.

Laju pertumbuhan kalus umumnya ditetapkan secara kuantitatif

dengan parameter indeks pertumbuhan bobot kalus basah. Kurva pertumbuhan

kalus dapat menunjukkan fase-fase pertumbuhan kalus, yaitu fase lag (fase

penyesuaian), fase eksponensial (fase pertumbuhan optimum), dan fase

(54)

Teknik kultur jaringan ini diharapkan dapat menghasilkan metabolit

sekunder, yaitu glikosida jantung, dari tanaman kamboja jepang yang

mempunyai profil KLT yang mirip dengan profil KLT pada tanaman induknya

dan kultur kalusnya memiliki profil pertumbuhan sigmoidal yang fase

stasionernya menghasilkan kandungan glikosida jantung yang optimum.

F. Hipotesis

1. Daun tanaman kamboja jepang dapat membentuk kalus dengan variasi

penambahan zat pengatur tumbuh asam 2,4-Diklorofenoksiasetat dan

6-furfurylaminopurine pada media WPM.

2. Kultur kalus yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan ini memiliki

pertumbuhan sigmoidal yang fase stasionernya menghasilkan kandungan

glikosida jantung yang optimum.

3. Ekstrak kalus daun tanaman kamboja jepang memiliki profil KLT yang

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan

rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas : waktu pemanenan (hari ke-) dan variasi konsentrasi 2,4-D

dan FAP.

b. Variabel tergantung: profil pertumbuhan kultur kalus dan susut

pengeringan kalus (%).

2. Variabel pengacau terkendali

a. Subyek uji : daun yang digunakan sebagai eksplan adalah daun segar dan

sehat yang terletak pada nomor 3-5 dari ujung batang atau cabang dengan

ukuran eksplan 0,5 - 1,0 cm.

b. Bahan uji dan cara kerja penanaman berupa:

i. Media agar jenis WPM dengan sterilisasi tetap terjaga.

ii. Sterilitas, suhu, kelembaban dan intesitas cahaya dalam ruang

inkubator.

3. Variabel pengacau tidak terkendali

a. Keadaan patologis pada daun tanaman yang tidak tampak.

(56)

b. Kandungan senyawa kimia lain yang terkandung dalam kamboja jepang

yang dapat mempengaruhi hasil kromatogram.

4. Definisi Operasional

a. Daun yang digunakan sebagai eksplan dalam penelitian ini adalah daun

yang segar dan sehat, terletak pada nomor 3-5 dari ujung batang atau

cabang.

b. Waktu inisiasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh eksplan untuk

membentuk kalus dihitung mulai dari saat penanaman eksplan sampai hari

pertama kalus mulai terbentuk berupa bintik putih dari tepi irisan daun

eksplan.

c. Subkultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan kalus dengan memindahkan

kalus ke dalam media baru sehingga kalus tidak kekurangan nutrisi.

d. Bobot kalus basah awal adalah hasil pengurangan antara bobot botol +

media + kalus dengan bobot botol + media pada saat subkultur.

e. Bobot kalus basah akhir adalah bobot kalus yang ditimbang pada saat

pemanenan.

f. Bobot kalus kering adalah bobot kalus pada saat pemanenan dan sesudah

mengalami proses pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu

40-500C, sampai diperoleh kalus dengan bobot konstan yaitu antara

penimbangan yang pertama dan berikutnya selama 1 jam tidak berbeda 0,5

(57)

g. Laju pertumbuhan kalus adalah laju pertumbuhan kalus yang ditandai

adanya pertambahan berat kalus dari waktu ke waktu dengan memanen

setiap 4 hari sekali sebanyak 3 botol selama 36 hari.

h. Profil pertumbuhan kalus adalah rasio antara pertumbuhan kalus (bobot

kalus basah akhir- bobot kalus basah awal) dengan waktu pemanenan serta

rasio antara bobot kalus kering dengan waktu pemanenan.

i. Persen susut pengeringan adalah rerata bobot kalus basah dikurangi

dengan rerata bobot kalus kering lalu dibagi dengan rerata bobot kalus

basah dikali dengan 100%.

j. Konsentrasi zat pengatur tumbuh, yaitu asam 2,4-Diklorofenoksiasetat

yang digunakan adalah 4 ppm dan 2 ppm yang terkandung dalam satu liter

media. Sedangkan konsentrasi 6-furfurylaminopurine yang digunakan

adalah 1 ppm.

C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian

a. Alat yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman:

1) Alat-alat gelas, Pyrex

2) Autoklaf, YX 400Z Shanghai Sanshen, Medical Inst, Co, LTD.

3) Oven, Marius Instrument, German.

4) Pemanas listrik, Ika Combimag, RCT, German.

5) Timbangan analitik, Scaltec.

(58)

7) Magnetic stirrer.

8) Pinset.

9) Skapel.

10)Kertas indikator pH.

11)Kertas saring.

12)Laminar air flow.

13)Lampu UV.

14)Inkubator, Heraeus Tamson, Holland.

15)Botol kultur.

16)Aluminium foil, Heavy-Duty, Diamond-Wrap.

17)Refrigerator, Sharp.

18)Sprayer.

19)Mortir & stamper.

b. Alat untuk penyarian : alat gelas (pyrex), kertas saring, dan waterbath

c. Alat untuk Kromatografi Lapis Tipis:

1) Bejana gelas.

2) Lempeng kaca.

3) Lemari asam.

4) Pipa kapiler.

5) Penyemprot bercak.

6) Lampu TL Day Light” 20 watt.

Gambar

Tabel I Waktu inisiasi kalus pada WPM 2 .......................................
Gambar 15 Foto KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak
Gambar 1. Struktur dasar bufadienolida dan kardenolida
Gambar 2. Eksplan dalam bentuk irisan melintang daun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian pustakawan yang bertugas pada pelayanan referensi (reference service) harus menyusun strategi dalam berkomunikasi dengan penggunanya agar pengguna

Distribusi hasil RT-PCR DEN-2 dan DEN-1 positif pada 76 serum penderita akut DD/DBD berdasarkan karakteristik umur. Distribusi hasil RT-PCR DEN-2 dan DEN-1 positif pada 76

(1) Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Tim Kelompok Kerja Tertib Administrasi Kependudukan Nasional, Tim Kelompok Kerja Tertib

Kriteria yang serupa pada bangunan kolonial yang ada di koridor Jalan Pahlawan berupa unsur hirarki pada menara, memiliki keseimbangan yang simetris, terbentuk dari geometri persegi

That is, without political mobilization, the policies and social programmes designed for communities that have experienced durable inequality (dalits in this case) would

penurunan dan sulit untuk pulih kembali. b) Kehilangan pasar sejalan dengan kondisi perekonomian yang menurun. d) Perusahaan afiliasi sangat merugikan debitur. e)

f) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Adapun tugas pokok, fungsi rincian tugas pejabat struktural secara rinci dapat di lihat

Sehabis pulang dari konperensi Islam di Kolombo, Kang Jalal semakin rajin memperkenalkan para pemikir Syiah yang, dari sudut politik para pemikir Iran itu, mampu mengembalikan