• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kondisi Peternakan Ayam Broiler di Indonesia. satu sistem agribisnis yang mengalami pertumbuhan sangat cepat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kondisi Peternakan Ayam Broiler di Indonesia. satu sistem agribisnis yang mengalami pertumbuhan sangat cepat"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

Sistem agribisnis ayam ras dalam perkembangannya merupakan salah satu sistem agribisnis yang mengalami pertumbuhan sangat cepat dibandingkan sistem agribisnis lainnya. Agribisnis ayam ras memiliki struktur agribisnis yang relatif lengkap dan modern, baik dalam subsistem agribisnis hulu maupun hilirnya. Pada subsistem budidaya (on farm) juga berkembang pesat, mulai dari pengusahaan skala keluarga (backyard farming) pada tahun 1950-an menjadi suatu pengelolaan peternakan yang modern pada tahun 1990-an (Saragih, 2001).

Agribisnis diartikan sebagai usaha dibidang pertanian yang mengarah pada bisnis atau tingkah laku bisnis dalam sektor pertanian. Secara prinsip, agribisnis mencakup usaha-usaha pada pengelolaan sarana produksi, pengelolaan budidaya, prosesing, dan pemasaran. Dalam usaha peternakan, agribisnis peternakan diartikan sebagai tingkah laku bisnis dalam subsektor peternakan yang mencakup penyediaan sarana produksi peternakan, budidaya peternakan, penanganan pascapanen, dan pemasaran. Agribisnis mengedepankan suatu budaya, organisasi, dan manajemen yang amat rasional. Dirancang untuk memperoleh nilai tambah (komersial) dapat disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara adil, dari produsen, pedagang, konsumen bahkan sampai segenap lapisan masyarakat (Suharno, 2001).

(2)

Perkembangan ayam broiler di Indonesia dimulai pada pertengahan dasawarsa 1970-an dan terkenal pada awal 1980-an. Laju perkembangan usaha ayam broiler sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi dan politik, serta kondisi keamanan (Fadilah, 2006).

Daerah penyebaran ayam broiler komersial di Indonesia bagian barat adalah Pulau Jawa dan sebagian Sumatera. Indonesia bagian tengah adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, serta Indonesia bagian timur adalah Pulau Sulawesi. Dari ketiga bagian daerah tersebut, Indonesia bagian barat merupakan penyebaran ayam broiler komersial. Hal ini disebabkan hampir semua perusahaan pembibitan ayam broiler komersial serta pangsa pasar terbesar masih didominasi oleh Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa (Fadilah, 2006).

Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan (2005), komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang baik karena didukung oleh karakteristik unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik. Peternakan broiler merupakan salah satu agroindustri yang berkembang pesat di Indonesia. Agroindustri umumnya mempunyai kontribusi yang signifikan bagi negara berkembang karena tiga alasan, yaitu sebagai sarana transformasi produksi pertanian menjadi produk siap konsumsi, sebagai faktor manufaktur andalan komoditi ekspor dan sebagai penyedia bahan makanan sumber nutrisi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

(3)

Periode 1970-1980 merupakan awal kebangkitan peternakan-peternakan ayam ras, dimulai tahun 1972-1975 dengan berdirinya pabrik makanan unggas dan pembibitan ayam ras. Bibit ayam ras kemudian mulai menyebar di pelosok Pulau Jawa, terutama di kota besar. Tahun 1978 mulai digalakkan ayam broiler sebagai substitusi daging sapi dan kerbau yang pada waktu itu tidak dapat memenuhi permintaan konsumen.

Peternakan ayam broiler mulai marak pada tahun 1980, bersamaan dengan semakin diterimanya daging ayam oleh konsumen. Pada tahun 1981 usaha peternakan ayam broiler banyak dikuasai oleh pengusaha besar, keadaan ini membuat peternak kecil semakin sulit dalam melakukan usaha ternak ayam. Untuk melindungi peternak kecil, pada tahun 1981 dikeluarkan Kepres No 51 yang intinya membatasi jumlah ayam petelur konsumsi hanya 5.000 ekor dan ayam broiler sebanyak 750 ekor per minggu. Dengan adanya Kepres tersebut peternakan-peternakan ayam komersial banyak mengalami penurunan. Setelah sembilan tahun berjalan, kebijakan tersebut telah membuat sektor peternakan tidak berkembang, sampai akhirnya Kepres No 51 tersebut dicabut dan diganti dengan kebijakan 28 Mei 1990. Kebijakan tersebut merangsang berdirinya peternakan-peternakan besar untuk tujuan ekspor dan menjadi industri peternakan yang handal dan menjadi penggerak perekonomian (Suharno, 2001).

Periode sebelum krisis berdasarkan data statistik dinyatakan bahwa produksi daging ayam broiler pada tahun 1993-1997 mengalami peningkatan sebesar 5,86 persen per tahun (Ditjen Peternakan 2005). Disini pertumbuhan sektor peternakan mengalami pertumbuhan yang tinggi karena peningkatan efisiensi dalam keseluruhan sistem agribisnis berbasis peternakan. Pada

(4)

waktu ini, subsistem makanan ternak dan pemasaran produksi hasil peternakan juga tumbuh pesat karena perekonomian Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang tinggi.

Krisis moneter pada tahun 1997 telah menyebabkan seluruh industri perunggasan mengalami perubahan yang drastis. Harga bahan baku dari impor mengalami kenaikan yang tinggi, sementara itu harga telur dan harga ayam di pasaran terus menurun akibat menurunnya daya beli masyarakat. Akibatnya permintaan pakan dan DOC juga menurun dan berdampak pada penurunan populasi ternak. Pada tahun 1998 populasi ayam broiler berkurang hingga 80 persen dari tahun sebelumnya. Saragih (2001) mengungkapkan bahwa penyusutan yang sangat besar ini mengindikasikan bahwa agribisnis ayam ras belum memiliki ketangguhan (endurance) dan kemampuan penyesuaian diri (adaptability) menghadapi perubahan besar lingkungan ekonomi eksternal. Penyusutan ini disebabkan oleh faktor ketergantungan pada impor bahan baku pakan utama dan bibit.

Walaupun agribisnis ayam ras mengalami penyusutan selama masa krisis ekonomi, agribisnis ayam ras menghadapi prospek yang cerah di masa yang akan datang. Hal ini didorong oleh faktor jumlah penduduk yang besar, konsumsi daging broiler yang masih rendah, dan dugaan pertumbuhan ekonomi nasional yang positif. Belajar dari pengalaman selama krisis ekonomi, yaitu bagaimana membangun daya saing sistem agribisnis ayam ras nasional yang berbasis domestik (Saragih, 2001).

Akhir tahun 1998 usaha peternakan unggas mulai berkembang, harga daging ayam dan telur mulai dapat dikendalikan dan menguntungkan bagi para peternak, walaupun pada saat ini mayoritas peternak sudah tidak

(5)

berusaha secara mandiri lagi melainkan bergabung menjadi mitra perusahaan terpadu (Suharno, 2001).

Setelah krisis moneter sejak 2001 sampai dengan sekarang berdasarkan data statistik, produksi daging ayam broiler mengambil 41,80 persen dari total produksi daging (Ditjen Peternakan, 2005). Dari data tersebut diketahui bahwa usaha ayam broiler mampu memberikan peluang pasar dan menimbulkan persaingan yang semakin kompetitif.

Sementara di Provinsi Bali peternakan ayam broiler berkembang pesat diawal tahun 1990 dan menjadi salah satu komoditas unggulan. Berdasarkan catatan dari BPS Provinsi Bali (2014), produksi daging ayam pedaging dari tahun 2007–2012 terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini terdapat beberapa perusahaan yang melakukan hubungan pola kemitraan dengan peternak dalam pemeliharaan ayam ras pedaging di Provinsi Bali diantaranya PT. Mitra Sinar Jaya (MSJ), PT. Ciomas Adisatwa, PT Ciomas Adisatwa.ex PKP, Janu Putra Bali (JPB), Surya Inti Pratama (SIP), Sentra Unggas Bali (SUB), Patriot, Malindo, Chandra Farm, Jaya Raya, dan lain-lain. Masing –masing perusahaan memproduksi ayam pedaging dengan jumlah yang berbeda sesuai dengan kemampuan dan skala usaha perusahaan, mulai 375.000 hingga 24.658.779 ekor/tahun dan jumlah ini terus berkembang setiap tahunnya. Pada tahun 2013 total produksi ayam pedaging di Provinsi Bali yang berasal dari perusahaan kemitraan mencapai 54.562.500 ekor/tahun sementara yang berasal dari perusahaan mandiri hanya 2.935.000 ekor/tahun. Pada tahun 2014 produksi ayam pedaging (broiler) dari peusahaan kemitraan di Bali meningkat drastis hingga menyentuh angka 80.045.645 ekor/tahun dan yang berasal dari usaha

(6)

peternakan mandiri sebesar 6.159.590 ekor/tahun. Data tersebut menggambarkan bahwa usaha kemitraan ayam broiler di Provinsi Bali mengalami perkembangan yang sangat

Tabel 2.1. Populasi Ayam Beberapa Perusahaan Kemitraan di Provinsi Bali No Perusahaan Inti 2013 2014 Produksi (Ekor/Tahun) % Produksi (Ekor/tahun) % 1 PT. X1 15.215.000 26,46 24.658.779 28,8 2 PT. X2 14.498.500 25,22 19.066.272 22 3 PT. X3 12.684.000 22,06 18.632.788 21,7 4 PT. X4 1.420.000 2,47 2.202.919 2,6 5 PT. X5 1.480.000 2,57 2.320.503 2,8 6 PT. X6 1.305.000 2,27 1.836.419 2,1 7 PT. X7 1.200.000 2,09 2.344.086 2,8 8 PT. X8 1.335.000 2,32 3.180.420 3,7 9 PT. X9 145.000 0,25 - - 10 PT. X10 1.080.000 1,88 995.418 1,2 11 PT. X11 375.000 0,65 354.286 0,4 12 PT. X12 425.000 0,74 1.743.752 2 13 PT. X13 1.200.000 2,09 460.000 0,5 14 PT. X14 525.000 0,91 1.140.835 1,3 15 PT. X15 715.000 1,24 213.334 0,2 16 PT. X16 280.000 0,49 - - 17 PT. X17 680.000 1,18 735.834 0,8 18 PT. X18 - - 160.000 0,2 19 MANDIRI 2.935.000 5,1 6.159.590 6,9 Total 57.497.500 86.205.235 Sumber : PT. X, 2014

pesat dan hampir menguasai 95% pangsa pasar ayam broiler. Sementara di Kabupaten Tabanan, produksi ayam broiler yang berasal dari perusahaan kemitraan mencapai lebih dari 25% dari total produksi ayam broiler di Provinsi Bali pada tahun 2013-2014. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tabanan memiliki potensi besar dalam usaha kemitraan ayam broiler (PT. X, 2014).

(7)

2.2 Konsep Kemitraan Usaha

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman, kawan, pasangan kerja, dan rekan. Kemitraan merupakan perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Definisi lain diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.

Definisi kemitraan menurut undang-undang dicantumkan dalam Undang Undang No 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dijelaskan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Jika digabungkan maka didapatkan definisi kemitraan adalah jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga akan saling melengkapi antara kedua belah pihak yang bekerjasama. Bobo (2003) menyatakan bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan dengan landasan ekonomi dan struktur perekonomian yang

(8)

kokoh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.

2.3 Dasar Teori Kerjasama Kemitraan

Kerjasama kemitraan dapat dilihat sebagai integrasi vertikal atau koordinasi vertikal antara dua atau lebih perusahaan. Integrasi vertikal dapat terjadi apabila dua atau lebih perusahaan berjalan pada tingkatan yang berbeda pada proses produksi, pengolahan, dan pemasaran yang masih bersatu di bawah satu manajemen atau kepemilikan, dan dikatakan koordinasi vertikal ketika ada kontrak produksi atau kontrak pemasaran (Seitz et al. diacu dalam Puspitawati, 2004).

Pada kontrak produksi, bagian prosesing membuat produk-produk yang spesifik, yang disuplai oleh bagian produksi. Bagian pengolah biasanya menyediakan jasa finansial dan manajemen. Pada kontrak pemasaran, perusahaan produsen yang dikontrak menyediakan atau mensuplai produk pada jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang ditetapkan oleh agen pengolah atau marketing. Kontrak-kontrak demikian biasanya terjadi pada perusahaan-perusahaan pertanian.

Melalui integrasi vertikal dapat dicapai skala ekonomis (economics of large scale), pengurangan biaya-biaya transaksi dan biaya yang tidak jelas lainnya, terjaminnya produk-produk tertentu yang diinginkan, dan diversifikasi atau pengurangan resiko. Terdapat dua faktor utama yang menentukan keoptimuman ukuran perusahaan, yaitu faktor teknis dan keuangan. Hubungan teknis dengan input dan output menentukan bentuk dari fungsi produksi perusahaan. Hubungan tersebut mengakibatkan kurva biaya

(9)

rata-rata jangka panjang menurun dan kemudian meningkat sejalan dengan meningkatnya luas lahan yang ditanami.

Faktor keuangan lebih ditunjukkan pada harga yang harus dibayar dan diterima oleh perusahaan. Banyak perusahaan membeli input dengan harga yang didiskon karena membeli dalam jumlah besar. Perusahaan akan melakukan negosiasi kontrak atau membuat kesepakatan dengan pemasok untuk mendapatkan diskon tersebut, menekan biaya pengiriman, atau penghematan lainnya. Oleh karena itu, perusahaan besar dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam penjualan dengan mencapai efisiensi pada kontrak pemasaran, muatan, dan penjualan. Biaya produksi minimum terjadi ketika manajer mengkombinasikan antara faktor teknis dan keuangan, sehingga ukuran optimal industri akan berbeda-beda (Seitz et al. diacu dalam Puspitawati, 2004).

2.4 Pola Kemitraan

Direktorat Pengembangan Usaha, Departemen Pertanian (2002) memberikan panduan mengenai beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan di Indonesia, yaitu:

1) Inti Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Pola kemitraan ini dapat dilihat dalam Gambar 2.1.

(10)

Perusahaan Mitra

Plasma Plasma

Gambar 2.1. Skema Pola Kemitraan Inti Plasma Sumber : Direktorat Pengembangan Usaha (2002)

Dalam pola kemitraan inti plasma, kewajiban bagi kelompok mitra adalah: 1) berperan sebagi plasma, 2) pengelola seluruh usaha bisnisnya sampai dengan panen, 3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, 4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Sedangkan perusahaan mitra wajib: 1) berperan sebagai perusahaan inti, 2) menampung hasil produksi, 3) membeli hasil produksi, 4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, 5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi dan teknologi, 6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan 7) menyediakan lahan.

2). Subkontrak

Pola kemitraan subkontrak merupakan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pada Gambar 2.2 dapat dilihat pola kemitraan subkontrak. Kelompok Kelompok Mitra Mitra Memproduksi Memproduksi Komponen Komponen Produksi Produksi

(11)

Perusahaan Mitra Memproduksi Memproduksi Komponen Komponen Produksi Produksi Kelompok Kelompok Mitra Mitra

Gambar 2.2. Skema Pola Kemitraan Subkontrak Sumber : Direktorat Pengembangan Usaha (2002)

Pola kemitraan subkontrak mensyaratkan bahwa kelompok mitra harus: 1) memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, 2) menyediakan tenaga kerja, dan 3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu. Sedangkan tugas perusahaan mitra adalah: 1) menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, 2) menyediakan bahan baku/modal kerja, dan 3) melakukan kontrol kualitas produksi.

3). Dagang Umum

Di dalam pola kemitraan ini perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Pola kemitraan dagang umum dapat dilihat pada Gambar 2.3

Kelompok Memasok Perusahaan

Mitra Mitra

Memasarkan Produksi Kelompok Mitra Konsumen /

Industri

(12)

Sumber : Direktorat Pengembangan Usaha (2002) 4). Keagenan

Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra seperti diilustrasikan pada Gambar 2.4.

Kelompok Pemberian Hak Khusus Perusahaan

Mitra Mitra

Memasarkan

Konsumen/ Industri

Gambar 2.4. Skema Pola Kemitraan Keagenan Sumber : Direktorat Pengembangan Usaha (2002) 5). Kerjasama Operasional Khusus (KOA)

Dalam kerjasama kemitraan ini kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga. Perusahaan mitra harus menyediakan biaya atau modal dan atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Pola kemitraan KOA dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Kelompok Perusahaan

Mitra Mitra

ƒ Lahan ƒ Biaya

ƒ Sarana ƒ Modal

ƒ Tenaga ƒ Teknologi

Pembagian hasil sesuai kesepakatan

Gambar 2.5. Skema Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Khusus Sumber : Direktorat Pengembangan Usaha (2002)

(13)

Dalam pola kemitraan ini, penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar, penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20 persen dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

2.5 Manfaat dan Kelemahan Pola Kemitraan

Pelaksanaan pola kemitraan merupakan suatu bentuk usaha yang dilaksanakan oleh pengusaha dan peternak, dan merupakan salah satu strategi pengembangan usaha peternakan ayam ras pedaging. Menurut Mulyantono (2003), manfaat dan kelemahan dari pelaksanaan kemitraan, manfaat bagi inti antara lain meningkatnya keuntungan dari penjualan ayam dan keuntungan dari pembelian sarana produksi peternakan serta omset penjualan dan permintaan pasar tetap dan dapat dipenuhi. Dari kerjasama kemitraan yang terjadi banyak manfaat yang dirasakan oleh peternak seperti pada Table 2.2.

Tabel 2.2. Manfaat Kemitraan Menurut Peternak

No Manfaat Jumlah

(orang) %

1 Terciptanya lapangan Kerja Baru 2 8

2 Harga penjualan ayam stabil karena dijamin

perusahaan 2 8

3 Tidak diperlukan modal sendiri 9 36

4 Ada jaminan pemasaran dari perusahaan 13 52

5 Resiko kerugian kecil 10 40

6 Tambahan pengetahuan teknologi budidaya

ayam ras 11 44

(14)

Dari Tabel 2.2. terlihat beberapa manfaat dari pola kemitraan yang perlu dikembangkan, pertama terciptanya lapangan kerja baru, adanya pola kemitraan pihak perusahaan atau pengusaha yang berniat untuk bermitra akan menyediakan modal atau bermitra dengan beberapa orang sebagai peternak, secara langsung ini dapat memperluas skala usahanya dan membuka lapangan kerja baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Hapsah, (1999) yang menyatakan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap pengusaha kecil memberikan bantuan atau kemudahan memperoleh permodalan, penyediaan sarana produksi yang dibutuhkan, bantuan teknologi dan pembinaan berupa pembinaan mutu produksi dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta pembinaan manajemen.

Manfaat kedua adalah harga penjualan ayam stabil karena dijamin perusahaan, manfaat ini tergantung dari kondisi harga jual ayam, jika harga jual ayam cenderung tetap maka peternak dapat merasakan manfaatnya namun jika harga jual mengalami perubahan maka peternak tidak bisa komplain karena sudah terikat kontrak. Hal ini didukung oleh pendapat Sirajuddin (2005) yang mengatakan bahwa diperlukan hubungan kemitraan sebagai antisipasi terhadap fluktuasi harga pakan dan bibit yang tidak dapat dikendalikan oleh peternak. Akan tetapi masalah yang sering dihadapi dengan system kemitraan ini adalah keterikatan peternak untuk menjual produk yang dihasilkan dengan harga yang telah disepakati di dalam kontrak yang kadang-kadang lebih rendah dari harga pasar.

Dalam memulai usaha peternakan ayam ras pedaging perlu mengetahui sumber daya yang akan digunakan, namun dalam usaha ini

(15)

fasilitas dan sumber daya cukup memerlukan modal besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Yunus (2009) yang menyatakan bahwa peternak mandiri prinsipnya menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas memasarkan produknya. Pengambilan keputusan mencakup kapan memulai beternak dan memanen ternaknya, serta seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak. Maka dari itu untuk mempermudah peternak melaksanakan budidaya ayam ras pedging maka salah satu jalan yaitu melakukan kemitraan dengan pengusaha atau bermitra dengan pengusaha besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sirajuddin (2007) yang mengatakan bahwa dalam membuka usaha peternakan ayam ras pedaging membutuhkan modal yang besar sedangkan modal peternak masih lemah, maka untuk mendapatkan modal tersebut, peternak melakukan kemitraan atau kerja sama dengan perusahaan mitra yang bergerak di bidang budi daya dan penyediaan sapronak. Dengan daya bantuan tersebut maka peternak tidak khawatir lagi akan pemenuhan sapronak yang sudah dijamin kualitasnya oleh perusahaan mitra.

Untuk mengatasi masalah kekurangan modal bagi calon peternak untuk memulai usaha peternakan maka dapat dilakukan pengajuan kepada pihak pengusaha mitra untuk bermitra, sebab dalam usaha kemitraan peternak akan dibantu dalam hal pengadaan sapronak, atau modal sebagian ditanggung oleh pengusaha mitra. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharno (2005) yang menyatakan bahwa Dalam SK Mentan No. 472/1996 disebutkan bahwa perusahaan inti adalah perusahaan peternakan yang berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah, memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam

(16)

ras, mengusahakan permodalan, dan melaksanakan budi daya sebagaimana dilakukan oleh peternak. Dengan aturan ini maka peternak yang bertindak sebagai plasma hanya berkewajiban melakukan budi daya ternak sebaik-baiknya sehinggah hasil produksinya mencapai target. Jadi apabila pengusaha mitra menyediakan beberapa kebutuhan yang disebutkan diatas maka peternak tidak merasa berat untuk melaksanakan usaha peternakan tersebut atau peternak tidak memerlukan modal sendiri.

Persentase terbesar dari manfaat kemitraan adalah jaminan pemasarannya, dimana dalam pelaksanaan kemitraan usaha peternakan ayam ras pedaging mempunyai hasil akhir yang merupakan tanggung jawab pengusaha yang bermitra untuk memasarkan hasil tersebut, maka dari itu peternak tidak khawatir dengan tidak lakunya hasil panen, menurut Siregar (1981) bahwa usaha ayam ras mempunyai hambatan yang merupakan factor penghambat usaha peternakan tersebut, seperti harga jual ayam yang fluktuatif, karena adanya factor penghambat tersebut akan membuat peternak mengalami kerugian jika dalam keadaan harga jual ayam rendah, berbeda halnya dengan pola kemitraan, diterapkan suatu kontrak awal sehingga jika harga jual turun maka peternak tidak merasa rugi. Hal ini sesuai dengan pendapat Amin (2005) menyatakan bahwa ada aturan (norma-norma) yang harus dilaksanakan oleh inti-plasma adalah sebagai kewajiban inti, menyediakan sarana produksi berupa pakan, bibit (DOC), obat, vaksin dan peralatan lainnya, mengambil dan memasarkan ayam pedaging hasil budidaya peternak, membantu peternak dalam proses budidaya. Ditambahkan oleh Priyono (2004) bahwa ada jaminan pemasaran dari perusahaan inti.

(17)

Disini terhindar dari resiko tidak lakunya hasil panen dan sekaligus mendapatkan harga produk yang wajar.

Pelaksanaan kemitraan memperkecil resiko karena kedua belah pihak masing-masing menanggung resiko yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Sirajuddin (2007) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan resiko yang timbul dalam usaha peternakan ditanggung bersama oleh pihak perusahaan mitra yang apabila resiko yang diakibatkan oleh tingkat mortalitas yang tinggi maka ditanggung oleh peternak dan apabila resiko akibat harga ayam di pasar lebih rendah dari harga kontrak, harga bibit dan pakan lebih tinggi dari harga kontrak maka ditanggung oleh perusahaan. Ditambahkan pula oleh Seragih (2000) bahwa sistem kemitraan usaha adalah kerja sama saling menguntungkan antara pengusaha dengan pengusaha kecil. Kemitraan antara kedua belah pihak bukan hanya untuk menikmati keuntungan bersama akan tetapi juga memikul resiko secara bersama secara profesional kemitraan usaha dalam bidang peternakan bukan lagi sebagai suatu keharusan akan tetapi menjadi sebuah kebutuhan antara industri atau pemasok sapronak sebagai inti dan juga peternak sebagai plasma dengan prinsip kerja sama yang saling menguntungkan.

Pola kemitraan dapat menambah pengetahuan teknologi budidaya ayam ras bagi peternak, dimana pihak inti melakukan suatu bimbingan khusus kepada peternak mitranya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyantono (2003) menyatakan manfaat bagi inti antara lain meningkatnya keuntungan dari penjualan ayam dan keuntungan dari pembelian sarana produksi petertnak, serta omset penjualan dan permintaan pasar tetap dapat dipenuhi. Pola kemitraan mempunyai manfaat yang dirasakan langsung oleh

(18)

peternak seperti terciptanya lapangan pekerjaan baru, harga penjualan ayam stabil karena dijamin perusahaan, tidak diperlukan modal sendiri, ada jaminan pemasaran dari perusahaan, resiko kerugian kecil serta tambahan pengetahuan teknologi budidaya, karena pihak pengusaha mengusahakan pelatihan dan pembinaan teknis pada peternak.

Pola kemitraan mendatangkan manfaat bagi peternak, seperti meningkatkan pendapatan peternak, selain itu pengusaha juga mendapat manfaat seperti penyediaan ayam siap potong terpenuhi. Hal ini didukung oleh pendapat Mulyantono (2003) yang menyatakan bahwa dalam pola kemitraan manfaat bagi inti antara lain meningkatnya keuntungan dari penjualan ayam dan keuntungan dari pembelian sarana produksi petertnak, serta omset penjualan dan permintaan pasar tetap dapat dipenuhi. Pola kemitraan mempunyai manfaat yang dirasakan langsung oleh peternak seperti terciptanya lapangan pekerjaan baru, harga penjualan ayam stabil karena dijamin perusahaan, tidak diperlukan modal sendiri, ada jaminan pemasaran dari perusahaan, resiko kerugian kecil serta tambahan pengetahuan teknologi budidaya, karena pihak pengusaha mengusahakan pelatihan dan pembinaan teknis pada peternak.

Ditambahkan pula oleh Yunus (2009) yang menyatakan bahwa pendapatan peternak ayam ras pedaging baik yang mandiri maupun pola kemitraan sangat dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi yaitu bibit ayam (DOC); pakan; obat-obatan, vitamin dan vaksin; tenaga kerja; biaya listrik, bahan bakar; serta investasi kandang dan peralatan

Dalam pelaksanaan kemitraan perlu adanya hal-hal yang menjadi daya tarik antara kedua pihak yang bermitra, agar peternak maupun

(19)

pengusaha tertarik untuk melaksanakannya. Ada beberapa faktor pendukung keberhasilan kemitraan yang dapat menjadi dasar daya tarik peternak dan pengusaha untuk melakukan kemitraan diantaranya yaitu terlihat dalam Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3. Pernyataan Responden Tentang Faktor Pendukug Keberhasilan Kemitraan

No Faktor Pendukung Jumlah

(Orang) % 1 Adanya perjanjian tertulis yang mengikat kedua belah

pihak 8 32

2 Kredit diberikan dalam bentuk sapronak bukan uang

tunai 5 20

3 Sapronak diantar langsung ke lokasi kandang 11 44 4 Pembimbingan oleh tenaga ahli dari perusahaan inti 8 32 Sumber : Hasil penelitian Priyono, Bengkulu, 2004.

Dari tabel di atas terlihat beberapa faktor pendukung keberhasilan kemitraan yang merupakan kriteria bagi pengusaha dan peternak untuk melakukan kemitraan. Menurut Priyono (2004) menyatakan bahwa peternak telah menjalankan kemitraannya dengan baik, ini artinya apa yang disuluhkan oleh pihak inti tentang teknologi usaha peternakan telah dijalankan dengan baik serta keberhasila tersebut di dasarkan oleh faktor-faktor pendukung usaha kemitraan.

Pola kemitraan usaha peternakan dapat mengefisienkan penggunaan waktu pelaksanaan usaha peternakan, dimana inti dan plasma yang bermitra melakukan perjanjian sebelum ada pelaksanaan usaha. Dimana dalam perjanjian tersebut memuat beberapa prosedur kerja. Biasanya dalam perjanjian tersebut berisi untuk inti berkewajiban menyediakan sarana produksi berupa: pakan, bibit (DOC), obat, vaksin dan peralatan lainnya. Pihak inti wajib mengambil dan memasarkan ayam hasil budidaya peternak serta membantu dalam proses budidaya. Sedangkan kewajiban plasma yaitu

(20)

menyediakan kandang, melaksanakan kegiatan budidaya dengan sebaik-baiknya, dan menyerahkan hasil budidaya. Dengan adanya perjanjian tersebut akan memperlancar seluruh kegiatan dengan penggunaan waktu yang lebih efisien. Hal ini sesuai dengan pendapat Firdauas (2004) yang menyatakan bahwa pola kemitraan hanya dapat berjalan dengan baik jika ada koordinasi antar inti dan plasma dengan dasar saling menguntungkan dan membutuhkan antara dua pihak dan berdasar pada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Pelaksanaan kemitraan akan meningkatkan pendapat atau keuntungan peternak, karena dalam usaha ini peternak tidak banyak mengeluarkan biaya, sebab adanya bantuan sarana produksi dari pengusaha sebagai inti. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyantono (2003) yang menyatakan bahwa dalam pola kemitraan manfaat bagi inti antara lain meningkatnya keuntungan dari penjualan ayam dan keuntungan dari pembelian sarana produksi peternak, serta omset penjualan dan permintaan pasar tetap dapat dipenuhi.

Pendapatan peternak juga bisa diperoleh dari hasil penjualan limbah peternakan, sebab limbah bagi peternak yang mengadakan mitra usaha tidak termasuk kontrak, jadi peternak bisa mengolah dan mejualnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995) menyatakan bahwa penerimaan dalam suatu peternakan terdiri dari hasil produksi utama berupa penjualan ayam pedaging, baik itu hidup atau dalam bentuk karkas dan hasil menjual feses atau alas “litter” yang laku dijual kepada petani sayur-mayur.

Pendapatan peternak ayam ras pedaging baik yang mandiri maupun pola kemitraan sangat dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi yaitu bibit ayam (DOC); pakan; obat-obatan, vitamin dan vaksin;

(21)

tenaga kerja; biaya listrik, bahan bakar; serta investasi kandang dan peralatan (Yunus, 2009).

Berdasarkan Tabel 2.3 ada beberapa faktor pendukung keberhasilan kemitraan, yang merupakan kriteria pengusaha dan peternak melakukan usaha peternakan dengan pola kemitraan, namun masih ada beberapa faktor penghambat keberhasilan pola kemitraan.

Tabel 2.4. Pernyataan Responden Tentang Faktor Penghambat Keberhasilan Kemitraan.

No Manfaat Jumlah

(orang) %

1 Terciptanya lapangan Kerja Baru 2 8

2 Harga penjualan ayam stabil karena dijamin

perusahaan 2 8

3 Tidak diperlukan modal sendiri 9 36

4 Ada jaminan pemasaran dari perusahaan 13 52

5 Resiko kerugian kecil 10 40

6 Tambahan pengetahuan teknologi budidaya

ayam ras 11 44

Sumber : Hasil penelitian Priyono, Bengkulu, 2004.

Berdasarkan Tabel 2.4. dilihat bahwa selain ada faktor pendukung usaha kemitraan ada pula faktor penghambat. Menurut Priyono (2004) kelemahan-kelemahan itu meliputi misal perusahaan inti bisa terjadi over supply apabila panen ayam terjadi bersamaan. Sementara bagi plasma antara lain penetapan harga jual ayam oleh perusahaan menyebabkan peternak tidak mendapatkan keuntungan maksimal, peternak tidak bisa memasarkan ayamnya kepihak lain, karena terikat perjanjian dengan pihak inti, harga input (DOC, pakan, vitamin, obat) dirasa terlalu tinggi, dan sampai saat ini peternak belum pernah mendapatkan kredit lunak dari inti untuk pembuatan kandang dan peralatannya.

(22)

Faktor-faktor penghambat dalam pola pelaksanaan kemitraan dapat diatasi guna menciptakan iklim usaha yang kondusif. Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif perlu peranan dari KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), dimana peranan KPPU disini yaitu melakukan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan KPPU dimaksudkan untuk mewujudkan perekonomian Indonesia yang efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kodusif, yang menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha. Dengan tujuan yang sama, KPPU juga berupaya mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Anonim, 2010).

Undang-undang No 5 Tahun 1999 bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:

Tugas:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;

2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

(23)

Wewenang:

1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2.6 Modal Usaha Ternak Ayam Broiler

Dalam suatu unit usaha, faktor penting yang perlu diperhatikan adalah modal. Besar kecilnya modal yang dimiliki bisa menunjukkan secara langsung kemampuan skala usaha yang akan dirintis. Berdasarkan kegunaannya, modal dalam usaha peternakan ayam broiler komersial dibagi menjadi dua bagian yaitu modal investasi dan modal kerja. Modal usaha berdasarkan sumbernya dibagi menjadi modal sendiri, modal pinjaman, dan modal campuran (Fadilah 2006).

Modal investasi adalah modal yang akan digunakan untuk membiayai pengadaan semua keperluan prasarana dan sarana usaha yang bersifat tetap. Biaya ini disebut dengan biaya tetap (fixed cost). Prasarana dan sarana tersebut dipakai selama tenggang waktu cukup lama, bisa dua tahun, lima tahun, atau sampai 15 tahun. Nilai akhir (residue value) sarana yang dipakai akan terus berkurang sesuai dengan umur pemakaian, bahkan sarana yang dipakai tersebut bisa tidak memiliki nilai sama sekali atau nihil (Fadilah, 2006).

(24)

Biaya tetap meliputi biaya yang digunakan untuk pembuatan kandang beserta ongkos kerjanya, instalasi air (tangki air beserta instalasinya), pemanas, tempat minum, tempat pakan, gudang pakan dan peralatannya, serta sarana lain sesuai dengan kebutuhan. Skala usaha beternak ayam broiler akan berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya atau modal yang diperlukan untuk membangun kandang.

Perhitungan kebutuhan air dalam satu unit usaha ayam broiler menjadi dasar perhitungan biaya yang akan dikeluarkan untuk membangun instalasi air. Awalnya, perlu dilakukan penghitungan jumlah ayam yang akan dipelihara, umur ayam panen, dan jumlah karyawan yang tinggal di kandang (farm).

Alat pemanas diperlukan pada tiga minggu pertama masa pemeliharaan atau masa pengeraman (brooding period). Jenis alat pemanas berdasarkan sumber energi yang dipakai cukup beragam. Hal terpenting adalah kemampuan pemanas memberikan kehangatan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan anak ayam. Tempat minum yang sering dipakai dalam usaha peternakan ayam broiler komersial adalah galon manual, tempat minum otomatis (automatic drinker), dan nipel. Penggunaan jenis tempat minum tersebut disesuaikan dengan tipe kandang. Sedangkan untuk tempat makan bisa berupa tabung (hanging feeder), tempat makan otomatis berupa rantai (chain feeder), atau pipa auger. Tempat makan yang sering digunakan oleh peternak ayam broiler adalah jenis tabung berkapasitas 5 kg untuk 20-25 ekor ayam. Pembuatan gudang pakan sangat penting dalam usaha ternak ayam broiler, karena dengan adanya tempat penyimpanan yang baik, kualitas pakan bisa terjaga dan memudahkan pengontrolan (Fadilah, 2006).

(25)

Modal kerja dalam usaha ayam broiler adalah modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan usaha ternak. Modal kerja berupa biaya operasional atau biaya untuk membeli sarana porduksi peternakan seperti DOC, pakan, serta obat-obatan dan vaksin (OVK). Modal kerja disebut juga biaya tidak tetap (variable cost).

Jumlah biaya yang digunakan untuk pengadaan DOC begantung pada harga DOC dan jumlah ayam broiler yang akan dipelihara. Harga DOC selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Namun harga DOC dari para produsen sangat relatif. Harga tertinggi dicapai menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti Hari Raya Idul fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru (Fadilah, 2006). Biaya untuk pembelian pakan ayam merupakan proporsi terbesar dalam usaha peternakan ayam broiler, yaitu 60–70 persen dari modal kerja yang tersedia. Ada dua jenis pakan, yaitu starter dan finisher. Pakan starter digunakan hingga ayam berumur 28 hari. Peternak harus pandai memilih pakan yang akan digunakan, sebaiknya pakan yang digunakan telah teruji dan terbukti kualitasnya di lapangan.

Biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat-obatan (termasuk desinfektan, vitamin, dan antibiotik) serta vaksin bergantung pada program yang diterapkan dalam usaha peternakan ayam broiler tersebut. Biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor ayam yaitu Rp 250–500, bahkan lebih besar tergantung pada kesehatan ayam, program khusus, atau program pemeliharaan. Modal kerja lainnya adalah modal untuk biaya operasional (factory over head) termasuk di dalamnya biaya listrik, bahan bakar (minyak atau gas), kapur, sekam, gaji karyawan, dan sewa kandang jika menyewa. Kemudian modal lain yang harus dipersiapkan adalah untuk biaya

(26)

penyusutan kandang atau bangunan (building depreciation), penyusutan peralatan, bunga pinjaman bank apabila peternak mendapat modal dari bank.

2.7 Pendapatan Peternak

Pendapatan peternak sangat berpengaruh bagi keberlangsungan sebuah usaha peternakan, semakin besar pendapatan yang diperoleh maka semakin besar kemampuan peternak untuk membiayai segala pengeluaran dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh peternak tersebut. Selain itu pula pendapatan juga berpengaruh terhadap laba rugi usaha peternakan.

Menurut Zaki Baridwan (1997) dalam Buku Intermediate Accounting merumuskan pengertian pendapatan adalah aliran masuk atau kenaikan lain aktiva suatu badan usaha atau pelunasan utang (atau kombinasi dari keduanya) selama suatu periode yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang, penyerahan jasa, atau dari kegiatan lain yang merupakan kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama dan usaha. Sementara menurut Munandar ( 1981 : 16 ) pendapatan adalah sutau pertambahan assets yang mengakibatkan bertambahnya Owner’s Equity, tetapi bukan karena panambahan modal dari pemiliknya, dan bukan pula merupakan pertambahan assets yang disebabkan karena betambahnya liabilities. Selain itu C. Rollin Niswonger, Carl S. Warren dan Philip E. Fess ( 1992:56-57) menyatakan pendapatan sebagai kenaikan kotor atau garis dalam modal pemilik yang dihasilkan dari penjualan barang dagangan, pelayanan jasa kepada klien, penyewaan harta, peminjaman uang dan semua kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Sofyan Syafri Harahap (2001:236) mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil penjualan barang dan jasa

(27)

yang dibebankan kepada langganan/mereka yang menerima. Dalam hal ini, pendapatan peternak dapat dilihat dalam analisa usaha ternak.

Analisis usaha ternak sangat tergantung pada perhitungan biaya produksi, harga pasar dan pendapatan penjualan, serta perhitungan bonus usaha. Berikut ini dijelaskan mengenai analisis usaha ternak broiler:

1). Perhitungan Biaya Produksi

Besarnya biaya produksi ayam broiler komersial hidup di suatu farm, di suatu negara, atau pada suatu musim sangat bervariasi. Banyak faktor yang mempengaruhi biaya produksi. Namun faktor terbesar yang berpengaruh terhadap biaya produksi adalah pakan, sehingga besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan, bergantung pada biaya pakan yang dikeluarkan. Biaya per ekor atau per kilogram berat hidup ayam akan semakin tinggi jika performa pemeliharaan tidak baik. Performa dapat diukur dari tingkat mortalitas dan penggunaan pakan (Fadilah, 2006).

Dalam usaha kemitraan ayam broiler, biaya produksi yang dikeluarkan oleh peternak plasma setiap periode pemeliharaan adalah biaya pembelian sekam, gas LPG, listrik, air dan tenaga kerja. Sementara biaya pakan, DOC, dan obat-obatan ditanggung oleh perusahaan inti. 2). Harga Pasar dan Pendapatan Penjualan Ayam

Harga ayam ketika dijual ditentukan oleh harga pasar yang berlaku pada saat itu. Informasi harga yang berlaku biasanya diperoleh dari Pusat Informasi Pasar Broiler (PINSAR) atau dari harga posko yang dibentuk oleh para broker ayam. Harga ayam broiler bervariasi dari waktu ke waktu tergantung pada pasokan produksi, daya beli masyarakat, variasi berat

(28)

ayam, dan kondisi kesehatan ayam. Harga ayam juga sangat dipengaruhi oleh peringatan hari-hari raya (Fadilah, 2006).

Pendapatan penjualan ayam adalah total pendapatan kotor suatu usaha ayam broiler komersial selama satu periode dari hasil penjualan ayam yang dipelihara, sedangkan hasil penjualan sampingan (by product) seperti karung dan kotoran ayam disebut dengan pendapatan lain-lain.

Beberapa perusahaan kemitraan ayam broiler biasanya memberikan insentif kepada peternak plasmanya ketika harga jual ayam hidup di pasaran lebih tinggi dari nilai kontrak yang telah disepakati, yang lebih dikenal dengan Bonus pasar. Masing –masing perusahaan memiliki mekanisme pengaturan dalam pemberian bonus pasar kepada peternaknya sesuai prestasi pemeliharaan.

3). Perhitungan Laba Rugi

Beberapa faktor yang mempengaruhi laba rugi suatu usaha ayam broiler komersial adalah sebagai berikut:

a. Prestasi produksi

Semakin tinggi nilai performa, maka biaya produksi makin rendah. Tinggi rendahnya prestasi akan berpengaruh terhadap besar kecilnya laba rugi yang akan diperoleh. Prestasi yang buruk, erat kaitannya dengan adanya masalah di farm yang bersangkutan, misalnya ayam terkena sakit, kualitas DOC rendah, pakan jelek, atau terjadi kesalahan manajemen. Dalam usaha kemitraan, prestasi produksi setiap pemeliharaan ayam broiler dinyatakan dengan IP (Indeks Prestasi). Metode perhitungannya adalah sebagai berikut:

(29)

Panen x Umur FCR BW x Hidup Daya  IP Keterangan :

Daya Hidup = Persentase ayam hidup yang terpanen (%) BW = Berat ayam saat panen (Kg)

FCR = Jumlah pakan yang dihabiskan untuk menghasilkan satu kilogram bobot ayam hidup

Umur Panen = Rata –rata umur panen ( hari ) Sumber : PT. X, 2014

b. Harga jual ketika panen

Harga jual di atas biaya produksi menandakan usaha yam broiler komersial menguntungkan. Semakin tinggi selisih jual dan biaya produksi, semakin besar keuntungan yang akan diperoleh. Namun jika harga jual di bawah biaya produksi, maka usaha ayam broiler komersial akan rugi. Sementara itu, saat ini perusahaan inti yang membeli ayam dari peternak plasma lebih banyak menggunakan harga kesepakatan ( sistem kontrak) sehingga pendapatan peternak plasma relatif stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh harga jual dipasaran. c. Harga beli sarana peternakan (Sapronak)

Tinggi rendahnya harga beli secara langsung berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya produksi, terutama harga beli pakan. Alasannya, pakan merupakan komponen paling besar dalam usaha ayam. Meskipun faktor penentu laba rugi lainnya stabil, seperti performa pemeliharaan tetap baik, atau harga jual stabil, belum tentu usaha beternak ayam memperoleh untung besar, jika harga sapronak tinggi. Tinggi rendahnya harga sapronak secara langsung sangat mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi dan secara otomatis akan mempengaruhi laba rugi yang akan diperoleh.

(30)

d. Faktor lain

Faktor lain yang berpengaruh pada besarnya laba rugi adalah perbedaan kebijakan perhitungan biaya produksi, yang secara otomatis akan mempengaruhi perhitungan besar kecilnya laba rugi yang akan diperoleh. Kebijakan tersebut meliputi perhitungan sewa kandang, management fee, dan bonus atau insentif karyawan yang dimasukkan dalam perhitungan biaya produksi.

4). Perhitungan Bonus Usaha

Untuk memberikan motivasi kepada karyawan, setiap akhir periode pemeliharaan ayam broiler komersial selalu diadakan pemberian bonus. Bonus ini diberikan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh manajemen atau pengusaha. Indikator atau acuan yang dipakai adalah hasil perhitungan performa pemeliharaan (Fadilah, 2006). Demikian pula pada usaha kemitraan, biasanya perusahaan inti memberikan bonus kepada peternak plasma ketika performen pemeliharaan baik, yang bisa dilihat dari nilai FCR, kemudian disebut bonus FCR dan dihitung sesuai mekanisme perusahaan.

Menurut Suratiyah (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor internal-eksternal dan faktor manajemen. Faktor internal-eksternal akan bersama-sama mempengaruhi biaya dan pendapatan usahatani.

Ditinjau dari segi umur, semakin tua akan semakin berpengalaman sehingga semakin baik dalam mengelola usahataninya, akan tetapi semakin tua akan semakin menurun kemampuan fisiknya sehingga memerlukan

(31)

bantuan tenaga kerja tambahan. Pendidikan terutama pendidikan non-formal misalnya kursus kelompok tani, penyuluhan, atau studi banding akan membuka pemikiran peternak, menambah keterampilan dan pangalaman peternak dalam mengelola usahataninya.

Jumlah tenaga kerja dalam keluarga akan berpengaruh pada biaya, semakin banyak menggunakan tenaga kerja keluarga maka semakin sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengupah tenaga kerja luar keluarga. Petani dengan lahan sempit dengan tenaga kerja keluarga yang tersedia, dapat menyelesaikan pekerjaan usahataninya tanpa menggunakan tenaga kerja luar yang diupah sehingga biaya per usahatani menjadi rendah.

Modal yang tersedia berhubungan langsung dengan peran petani sebagai manajer dan juru tani dalam mengelola usahataninya. Jenis komoditas yang akan diusahakan tergantung modal karena ada komoditas yang padat modal sehingga memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk mengusahakannya (Suratiyah, 2006).

2.8 Kepuasan Peternak

Tingkat kepuasan petenak terhadap pelaksanaan usaha kemitraan merupakan salah satu faktor yang secara tidak lansung berkontribusi terhadap keberlanjutan usaha kemitraan. Kepuasan peternak tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal, yang nantinya bisa menjadi indikator keberhasilan suatu usaha kemitraan.

Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi

(32)

dari kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan berarti seseorang tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan berarti seseorang amat puas atau senang (Kotler, 2000). Dalam usaha kemitraan, peternak plasma juga akan menunjukkan tingkat kepuasaannya sesuai dengan kondisi/kinerja perusahaan inti.

Rangkuti (2003) mengartikan kepuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja yang dirasakan setelah pemakaian. Sedangkan Sumarwan (2004), menyatakan bahwa kepuasan pelangan merupakan suatu the expectacy disconfirmation model. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari produk atau jasa yang dibeli tersebut. Demikian pula pada usaha kemitraan, dimana peternak plasma yang bertindak sebagai konsumen dari perusahaan inti juga akan selalu membandingkan antara harapan peternak sebelum bergabung dengan yang sesungguhnya diperoleh peternak setelah bergabung, seperti pelayanan maupun pendapatan yang diperoleh.

Terdapat delapan faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, yaitu: nilai, harapan, daya saing, persepsi pelanggan, harga, citra, pelayanan dan situasi pelayanan (Rangkuti, 2003).

1) Nilai

Sumarwan (2004) mendefinisikan nilai sebagai kepercayaan atau segala sesuatu yang dianggap penting oleh seseorang atau masyarakat. Nilai bisa berarti sebuah kepercayaan tentang sesuatu hal, namun nilai bukan hanya kepercayaan. Nilai mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang

(33)

sesuai dengan budayanya. Nilai berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai tidak terkait dengan suatu objek atau situasi.

Nilai didefinisikan sebagai pengkaji secara menyeluruh manfaat nilai dari suatu produk. Nilai didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterima oeh pelanggan dan yang telah diberikan oleh produk tersebut. Pelanggan membutuhkan pelayanan serta manfaat dari produk yang dikonsumsinya (Rangkuti, 2003).

2) Harapan

Harapan pelanggan diyakini memiliki peranan yang besar dalam menetukan mutu produk (barang atau jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya terdapat hubungan yang erat antara penentuan mutu dan kepuasan pelanggan. Dalam mengevaluasi, pelanggan akan menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Dengan demikian harapan pelanggan yang melatar belakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya (Tjiptono, 2002).

Rangkuti (2003) menambahkan tentang tingkat kepentingan atau harapan pelanggan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk atau jasa. Hal ini yang akan dijadikan standar dalam menilai kinerja produk jasa tersebut.

3) Daya saing

Suatu produk jasa atau barang harus memiliki daya saing yang tinggi agar dapat menarik pelanggan. Produk memiliki daya saing bila keunggulan produk tersebut dibutuhkan pelanggan. Keunggulan suatu produk jasa terletak pada keunikan atau mutu pelayanan produk jasa tersebut pada

(34)

pelanggan, maka supaya dapat bersaing harus mempunyai keunikan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis (Rangkuti, 2003).

4) Persepsi Pelanggan

Rangkuti (2003) mendefinisikan persepsi pelanggan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses suatu persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan. Proses persepsi terhadap suatu jasa tidak mengharuskan pelangan tersebut mengunakan jasa tersebut terlebih dahulu. Persepsi merupakan cara seseorang melihat realitas di luar dirinya atau di dunia sekelilingnya. Dalam hal ini, konsumen sering kali memutuskan pembelian suatu produk berdasarkan persepsinya terhadap produk atau jasa tersebut (Sumarwan, 2004).

5) Harga

Harga rendah menimbulkan persepsi produk atau jasa tersebut mutunya rendah. Harga yang terlalu rendah mengakibatkan persepsi pelanggan kurang percaya terhadap produsen. Sebaliknya, harga tinggi menimbulkan persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa tersebut bermutu tinggi. Namun harga yang terlalu tinggi berakibat pada hilangnya pelanggan (Rangkuti, 2003).

6) Citra

Rangkuti (2003) menyatakan bahwa citra buruk menimbulkan persepsi produk tidak bermutu, sehingga pelanggan mudah marah apabila terjadi kesalahan sedikitpun. Sebaiknya, citra yang bagus terhadap suatu produk menimbulkan anggapan bahwa produk tersebut bermutu baik.

(35)

7) Tahap Pelayanan

Kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan pelanggan selama pelanggan menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut (Rangkuti, 2003).

8) Situasi Pelayanan

Situasi pelayanan dikaitkan dengan kondisi internal pelanggan, sehingga mempengaruhi kinerja pelayanan. Sedangkan kinerja pelayanan ditentukan oleh pelanggan, proses pelayanan dan lingkungan fisik dimana pelayanan diberikan (Rangkuti, 2003).

Menurut Rangkuti (2003) salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah mutu pelayanan yang terdiri dari lima dimensi pelayanan, yaitu:

1) Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan terpercaya dan akurat.

2) Ketanggapan (responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat.

3) Jaminan (assurance), yaitu pengetahuan, kesopanan karyawan dan kemampuannya untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.

4) Empati (emphaty), yaitu kesediaan untuk peduli, memberikan perhatian pribadi bagi pelanggan.

5) Berwujud (tangibles), yaitu penampilan fisik, peralatan dan personil, serta materi komunikasi.

(36)

Loyalitas peternak plasma terhadap perusahaan inti menjadi salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan, karena akan berdampak pada keberlangsungan usaha kemitraan yang dijalankan. Kesetiaan, kepatuhan, ketaatan, dan komitmen peternak terhadap perusahaan inti menjadi tolak ukur tingkat loyalitas peternak plasma yang mampu menunjang keberhasilan usaha.

Menurut Mabruroh (2003), loyalitas adalah sikap tidak ingin berpindah pada produk lain karena suatu penilaian tertentu, dan Assael (1992) mendefinisikan loyalitas sebagai sikap favourable seseoang sebagai hasil kepuasan yang dirasakan yang ditujukan dengan perilaku membeli atau menggunakan jasa secara konsisten. Engel, dkk (1995) mengartikan loyalitas sebagai kebiasaan yang termotivasi karena telah disertai keterlibatan yang tinggi.

Loyalitas juga didefinisikan sebagai komitmen mendalam untuk membeli ulang atau mengulang pola preferensi produk atau layanan di masa yang akan datang, yang menyebabkan pembelian berulang merek yang sama atau suatu set merek yang sama, walaupun ada keterlibatan faktor situasional dan upaya-upaya pemasaran yang berpotensi menyebabkan perilaku berpindah merek (oliver, dalam Fatmawati, 2004). Sementara Gramer dan Brown (dalam Utomo 2006:27) memberikan definisi mengenai loyalitas (loyalitas jasa), yaitu derajat sejauh mana seorang konsumen menunjukkan perilaku pembelian berulang dari suatu penyedia jasa, memiliki suatu desposisi atau kecenderungan sikap positif terhadap penyedia jasa, dan hanya mempertimbangkan untuk menggunakan penyedia jasa ini pada saat muncul kebutuhan untuk memakai jasa ini. Dari definisi yang disampaikan Gramer

(37)

dan Brown, konsumen yang loyal tidak hanya seorang pembeli yang melakukan pembelian berulang, tetapi juga mempertahankan sikap positif terhadap penyedia jasa.

Dalam usaha kemitraan ayam broiler, loyalitas plasma muncul tentunya dipengauhi oleh berbagai aspek dan melalui beberapa tahapan. Adapun proses pembentukan loyalitas menurut Oliver (1997:392) melalui empat tahapan yaitu :

1. Cognitive Loyalty ( Kesediaan berdasarkan kesadaran ). Pada tahapan pertama loyalitas ini, informasi yang tersedia mengenai suatu yang diinginkan menjadi faktor utama. Tahapan ini didasarkan pada kesadaran dan harapan seseorang.

2. Affective Loyalty ( Kesetiaan berdasarkan pengaruh )

Tahapan loyalitas selanjutnya didasarkan pada pengaruh. Pada tahap ini dapat dilihat bahwa pengaruh memiliki kedudukan yang kuat, baik dalam perilaku maupun sebagai komponen yang mempengaruhi kepuasan. Kondisi ini sangat sulit dihilangkan karena loyalitas sudah tertanam dalam pikiran seseorang bukan hanya kesadaran maupun harapan.

3. Conative Loyalty ( Kesetiaan berdasarkan komitmen )

Tahapan loyalitas ini mengandung komitmen perilaku yang tinggi untuk melakukan seluruh permintaan yang ada. Perbedaan dengan tahapan sebelumnya adalah Affective Loyalty hanya terbatas pada motivasi, sedangkan Behavioral Commitment memberikan hasrat untuk melakukan suatu tindakan, hasrat untuk melakukan tindakan

(38)

berulang atau bersikap loyal merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak dapat disadari.

4. Action Loyalty ( Kesetiaan dalam bentuk tindakan )

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam loyalitas. Tahap ini diawali dengan suatu keinginan yang disertai motivasi, selanjutnya diikuti oleh kesiapan untuk bertindak dan berkeinginan untuk mengatasi seluruh hambatan untuk melakukan tindakan

Pendapat Mowen (1995) tentang aspek-aspek loyalitas sebagai berikut:

a. Sikap, merupakan sesuatu yang kompleks, yang didefinisikan sebagai pernyataan- pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan atau tidak, atau penilaian-penilaian mengenai objek, manusia atau peistiwa-peristiwa.

b. Norma subjektif, merupakan hasil dari keyakinan seseorang yang dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang perlu tidaknya seseoang melaksanakan perilakunya dengan motivasi pengunjung untuk menuruti pengharapan sosial tersebut.

c. Perilaku lampau, adalah pengalaman yang didapatkan pengunjung dalam mendapatkan produk (barang atau jasa). Pengalaman lampau ini berisi tentang hasil yang didapati pegunjung dalam mendapatkan produk sebelumnya dan memiliki pengaruh langsung terhadap minat dan prilaku mendatang.

(39)

2.10 Tinjauan Studi Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu telah banyak membahas mengenai kemitraan. Akan tetapi kajian mengenai pola kemitraan masih menarik untuk dibahas, karena saat ini dengan kondisi ekonomi yang berfluktuatif menyebabkan keadaan yang diduga berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (2005) berjudul analisis pendapatan peternak ayam ras pedaging pada kemitraan inti plasma. Siahaan mengamati satu kelompok usaha yaitu kelompok usaha Bintang Resmi yang menjadi mitra dengan PT Sierad Produce, sebanyak 27 anggota peternak Bintang Resmi mendapatkan keuntungan dari usaha yang dijalankan. Peternak tersebut dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan skala usahanya. Skala usaha < 5.000 ekor memperoleh nilai rasio R/C sebesar 1,05. Skala usaha 5.000-7.000 ekor memperoleh nilai rasio R/C sebesar 1,082 dan skala usaha > 7.500 ekor memperoleh nilai rasio R/C sebesar 1,072. Peternak dengan skala usaha 5.000– 7.000 lebih menguntungkan karena memiliki nilai rasio R/C yang lebih tinggi.

Sarwanto (2004) menganalisis mengenai kemitraan, produksi dan pendapatan peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pola kemitraan yang dijalankan telah sesuai dengan kesepakatan. Perusahaan inti telah menjalankan kewajibannya dalam menyalurkan sarana produksi serta melakukan pembinaan dan pengawasan kepada peternak plasma. Berdasarkan hasil analisis Cobb Douglas, kemitraan dan peningkatan jumlah pakan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi.

(40)

Sedangkan DOC, tenaga kerja, obat-obatan dan vaksin, penambahan peralatan dan perluasan kandang tidak memberikan pengaruh terhadap produksi ayam. Berdasarkan analisis rasio B/C (benefit/cost) terbuki bahwa kemitraan tidak mampu meningkatkan pendapatan peternak plasma, karena tidak terdapat perbedaan pendapatan yang diperoleh antara peternak mitra dan non mitra.

Deshinta (2006) juga melakukan penelitian mengenai analisis pendapatan usaha ayam ras pedaging. Deshinta membandingkan usaha peternakan yang dilakukan oleh peternak mandiri di Sukabumi (peternak yang tidak bekerjasama dengan perusahaan kemitraan) dengan peternak yang melakukan kemitraan dengan PT Sierad Produce di Bogor. Dalam usaha ternak ini bagi peternak mandiri maupun peternak plasma pengeluaran terbesar adalah untuk pembelian pakan. Berdasarkan perhitungan rasio R/C didapatkan hasil bahwa peternak mandiri memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada peternak yang bermitra. Hal ini disebabkan karena peternak mandiri mengeluarkan biaya yang lebih murah yaitu Rp 66.508.656 untuk sarana produksi peternakannya, sedangkan peternak plasma mengeluarkan biaya produksi yang lebih tinggi yaitu Rp 68.106.588 untuk skala usaha yang sama. Hal ini dapat terjadi karena peternak plasma dikenakan harga DOC dan harga pakan yang lebih mahal oleh perusahaan kemitraan PT. Sierad Produce. Biaya yang besar akan mempengaruhi pada tingkat pendapatan yang diterima, sehingga rasio R/C peternak plasma pun lebih kecil daripada peternak mandiri.

Penelitian yang dilakukan Romdhoni (2003) mengenai perbandingan pendapatan yang diperoleh antara peternak mitra perusahaan, peternak yang

(41)

pernah bermitra dan peternak mandiri. Dari ketiga jenis peternak tersebut, diperoleh hasil bahwa peternak yang mendapatkan pendapatan paling tinggi adalah peternak yang pernah bermitra. Nilai rasio R/C yang didapatkan oleh peternak yang pernah bermitra, peternak mandiri, dan peternak plasma berturutturut 1,34; 1,27 dan 1,13. Peternak yang pernah bermitra memiliki pengalaman yang cukup lama dan memiliki pangsa pasar yang cukup luas serta posisi tawar yang kuat. Hal ini dikarenakan sewaktu bermitra dengan perusahaan kemitraan, para peternak memperoleh pengalaman yang cukup baik dalam budidaya ternak, manajemen, maupun kondisi pemasaran unggas. Setelah lepas dari perusahaan kemitraan, keuntungan usaha dinikmati penuh oleh peternak.

Romdhoni juga melakukan analisis mengenai kepuasan peternak plasma terhadap PT. XYZ yang menjadi mitra usahanya. Penilaian yang dilakukan adalah terhadap pelayanan sarana produksi, pelayanan teknis budaya, dan pelayanan pasca panen. Dari ketiga hal tersebut pelayanan yang dinilai kurang puas sebanyak 60,75 persen oleh responden adalah pelayanan sarana produksi. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak ada bantuan realisasi biaya operasioanl kandang yang secara eksplisit tercantum pada kontrak. Kemudian peternak juga merasa tidak puas dengan kualitas pakan yang diberikan.

Kusumah (2008) menganalisis mengenai tingkat kepuasan peternak plasma terhadap pola kemitraan Tunas Mekar Farm (TMF). Berdasarkan beberapa atribut yang diduga berpengaruh terhadap kepuasan peternak, diantaranya yang sudah sesuai dengan keinginan peternak adalah penerapan harga kontrak DOC, kualitas pakan, kualitas obat dan vaksin, serta

(42)

bimbingan teknis yang diberikan perusahaan. Sedangkan atribut yang menjadi prioritas utama untuk diperbaiki kinerjanya adalah kualitas DOC. Kualitas DOC yang diharapkan oleh peternak plasma adalah DOC yang memiliki performa yang baik serta lebih tahan terhadap penyakit dan stress. Kemudian keluhan-keluhan dari peternak tidak mendapat tindak lanjut dari pihak perusahaan. Peternak juga mengeluhkan kurangnya kompensasi apabila terjadi kematian ayam dalam jumlah besar. Pihak TMF hanya menilai kerugian sebatas yang tercantum pada kontrak saja.

Penelitian yang dilakukan Priyono et al. (2004) mengenai performan pelaksanaan kemitraan PT. Primatama Karya Persada (PKP) dengan peternak ayam ras pedaging di Kota Bengkulu. Penelitian dilakukan terhadap 25 responden peternak untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemitraan dengan tingkat penerimaan peternak dari usaha ternaknya. Tingkat pelaksanaan kemitraan dilihat dari pelaksanaan hak dan kewajiban dalam menjalankan budidaya pemeliharaan ayam. Berdasarkan hasil penelitian Priyono, para peternak telah menjalankan kemitraannya dengan baik. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat penerimaan dengan pelaksanaan kemitraan diuji dengan korelasi rank spearman.Hasil dari uji korelasi rank spearman menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pelaksanaan kemitraan dengan tingkat penerimaan peternak. Apabila tingkat pelaksanaan kemitraan semakin baik maka semakin tinggi pula penerimaan peternak.

Beberapa hal yang menjadi persamaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah mendeskripsikan pelaksanaan kerjasama yang dilakukan antara pihak peternak dengan perusahan inti, menghitung pendapatan, dan

(43)

menilai tingkat kepuasan peternak terhadap pelaksanan kemitraan. Hal yang membedakan dengan penelitian Romdhoni adalah dalam pengambilan sampel, penelitian ini hanya mengambil sampel pada peternak pasma saja. Penelitian yang dilakukan Deshinta (2006) dan Siahaan (2008) hanya menganalisis pendapatan saja, tidak melihat bagaimana kepuasan peternak terhadap pelaksanaan kemitraan. Perbedaan juga terletak pada atribut kemitraan, beberapa alat analisis, serta lokasi penelitian yang dilakukan. Sebagian besar penelitian terdahulu telah banyak mengkaji di wilayah Bogor, sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tabanan Povinsi Bali. Perbedaan lokasi usaha diduga akan memberikan dampak yang berbeda terhadap pelaksanaan kemitraan karena berbeda topografi wilayah, berbeda sumberdaya,budaya kerja dan berbeda pergerakan harga di pasar.

Beberapa penelitian baik menurut Deshinta (2006), Romdhoni (2003), dan Sarwanto (2004), sama-sama mendapatkan hasil bahwa dengan mengikuti kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Peternak yang berusaha secara mandiri lebih menguntungkan daripada peternak yang bermitra. Akan tetapi hasil penelitian menyatakan terdapat manfaat yang positif dari pelaksanaan kemitraan ini, antara lain peternak yang bermitra mendapatkan pinjaman sapronak, menambah ilmu pengetahuan, resiko usaha lebih rendah, mendapatkan kepastian dalam memasarkan hasil panen, dan mendapatkan bimbingan dari pihak perusahaan.

(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)

Gambar

Gambar 2.1. Skema Pola Kemitraan Inti Plasma
Gambar 2.2. Skema Pola Kemitraan Subkontrak
Gambar 2.4. Skema Pola Kemitraan Keagenan

Referensi

Dokumen terkait

Belajar dari perkembangan penguasaan bahasa nasional dan daerah di Indonesia, penciptaan lingkungan yang kondusif menjadi alternatif dalam pembelajaran bahasa Arab

Padahal seharusnya pada level yang lebih spesifik, pengetahuan dan pemahaman mahasiswa MEPI tersebut diharapkan akan memiliki pengaruh dan kecenderungan yang kuat terhadap

2009:49), artinya saling mendasari satu sama lainnya kompetensi yang satu mendasari kompetensi yang lainnya. Aspek- aspek yang ada menjadi bagian dari keempat

T api saya lebih cenderung melakukan cara dakwahnya nabi Muhammad dengan ceramah yang membangun.. orang-orang sukses, agar siswa terpancing. Manusia kan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Berdasarkan hasil penelitian bahwa : 1) Implementasi Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun

Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman &#34;keladi tikus&#34; (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber)

Berdasarkan Tabel 3 tersebut, penilaian kefektifitasan dari jalur evakuasi tsunami yang terdapat di daerah Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi ditinjau berdasarkan waktu tempuh

Penelitian yang dilakukan peneliti sekarang adalah “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger Berbantuan LKS dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar