• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRES DAN KOPING ORANGTUA DENGAN ANAK RETARDASI MENTAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRES DAN KOPING ORANGTUA DENGAN ANAK RETARDASI MENTAL"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

STRES DAN KOPING ORANGTUA DENGAN ANAK RETARDASI MENTAL

Bima Adi Prasa

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Jalan Kapas no 9 Semaki, Yogyakarta.

bimaadi@yahoo.com

ABSTRACT

Parents who have children with mental retardation will definitely experience a variety of different challenges compared with parents who have normal children. Various sources of their stress is different with parents in general. This study aims is to find out what the source of stress and coping resources of parents. How can parents deal with coping existing sources of stress. The research method that was used is a qualitative research approach case study. Subjects were two parents of different character and backgrounds, but both have a mentally retarded child. The first subject is A who have several children. The second subject is B a single parent mother who lives alone with the only her child mental retardation. Data was collected by semi-structured interviews and nonparticipant observation. Results showed that the sources of stress of parent comes from the internal factors and external factors. The sources of coping that was used by parent can be broken down into five aspects such as social support, values and beliefs, control self-confidence, and self esteem. Effort coping strategies used include planning problem solving, positive assessment, distancing, self-control, seeking social support, and accept responsibility.

Keywords: Stress, coping, parents with mentally retarded children.

ABSTRAK

Orang tua yang memiliki anak retardasi mental pasti akan mengalami berbagai tantangan yang berbeda dibandingkan dengan yang memiliki anak normal. Berbagai sumber stres yang mereka alami tentu berbeda dengan orang tua pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja sumber stres dan sumber koping orang tua. Bagaimana koping orang tua menghadapi sumber stres yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah dua orang tua yang berbeda karakter dan latar belakang, namun sama-sama memiliki anak retardasi mental. Subjek pertama adalah orang tua muslim yang memiliki

(2)

2

beberapa anak. Subjek kedua adalah seorang ibu single parent yang hanya hidup berdua dengan anaknya yang retardasi mental. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur dan observasi nonpartisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres orang tua adalah yang bersumber dari diri individu, dan sumber dari luar individu. Kedua subjek memiliki dua sumber koping yaitu dari dalam individu dan dari luar individu. Kedua sumber koping tersebut dapat diuraikan menjadi lima aspek yaitu dukungan sosial, nilai dan keyakinan, kontrol kepercayaan diri, dan penghargaan diri. Strategi upaya koping yang digunakan meliputi perencanaan pemecahan masalah, penilaian positif, distancing, pengendalian diri, mencari dukungan sosial, dan menerima tanggung jawab.

Kata kunci: stres, koping, orang tua dengan anak retardasi mental.

PENDAHULUAN

Setiap orang tua mempunyai harapan untuk memiliki buah hati yang terlahir sempurna terlepas apapun jenis kelaminnya. Orang tua mendambakan mempunyai anak yang sehat jasmani maupun rohani. Namun pada kenyataannya anak yang dilahirkan tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Bukan hanya nutrisi ibu yang perlu diperhatikan, kesehatan mental dan kesehatan lingkungan juga mempengaruhi ibu hamil. Kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan “berbeda” dari bayi sehat pada umumnya, memunculkan berbagai macam reaksi dari orang tua. Kenyataan ini tidak dapat dihindari dan diubah orang tua.

Menurut Bank Dunia dan badan kesehatan dunia (WHO), Tercatat sebanyak 15 persen dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami gangguan mental dan fisik (9 April 2012, www.psikologizone.com). Dan dari berbagai macam keterbatasan fisik dan mental yang ada, retardasi mental adalah salah satunya. Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama pada negara-negara berkembang. Menurut PBB, hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia mengalami kecacatan dan 80 persen dijumpai di negara-negara berkembang. Di Amerika serikat , setiap tahun sekitar 3000-5000 anak penyandang retardasi mental dilahirkan.

Hapsara (2006) mengemukakan bahwa jumlah tunagrahita atau cacat mental di Indonesia mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa. Ini belum termasuk jumlah yang tidak tercatat, karena pencatatan hanya kepada mereka yang datang berobat, memeriksakan diri, dan yang terdaftar pada sekolah luar biasa. Rasio penyandang retardasi mental pada laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 3:2. Hal ini berarti kemungkinan laki-laki menderita retardasi mental lebih besar daripada kemungkinan perempuan menderita retardasi mental (Kompas, 2004). Jumlah sebesar itu, tentu menjadi masalah karena tidak mampu mandiri dan menjadi “beban” bagi keluarga dan orang-orang sekitar.

(3)

3

Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban akibat retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Selain saudara-saudara anak tersebut yang mengalami hal emosional, retardasi mental berdampak bagi orang tua seperti perasaan bersalah, berdosa, kurang percaya diri, terkejut/ tidak percaya, malu, dan over protective. Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa orang tua yang memiliki anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu, marah dan menerima keadaan anaknya. Seperti pengakuan seorang ibu kepada Safaria (2005) yang merasa tidak berharga karena tidak mampu melahirkan anak normal selain perasaan malu yang dominan.

Retardasi mental menuntut perhatian dan kebutuhan yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Ini disebabkan karena capabilities anak yaitu fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan fungsi adaptasinya. Anak tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas sehari-hari sendiri (motoriknya), keterbatasan dalam memahami perilaku sosial dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi anak yang retardasi mental akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak untuk berfungsi dalam setting lingkungan seperti di kehidupan belajar, bermain, bekerja, sosialisasi dan interaksinya (Wenar & Kerig, 2006).

Cherry (Bauman,2004) berpendapat bahwa keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental menghadapi multitude of challanges. Mulai dari isolasi sosial, stigma masyarakat, kecemburuan anggota keluarga (saudara), disorientasi ekspektasi, hingga harapan yang pupus.

Sedangkan, retardasi mental membutuhkan penanganan khusus serta dukungan penuh dari orang tua dan keluarga. Efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari orang tua dan keluarga (Hendriani, Handariyati, Sakti, 2006). Oleh sebab itu, dibutuhkan cara untuk mengelola stres dan mengoptimalkan peran serta orang tua dalam pengasuhan dan mengoptimalkan kemampuan hidup individu retardasi mental.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, orang tua yang memiliki anak dengan gangguan retardasi mental menghadapai berbagai tantangan berat dalam kehidupan. Hal inilah yang membuat penyusun tergerak untuk meneliti apa saja sumber stres orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Bagaimana orang tua mengelola sumber stres dan menghasilkan koping yang positif.

Stres menurut Gibson (2009) adalah suatu tanggapan penyesuaian, diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan proses psikologi, yang merupakan konsekuensi setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis atau fisik berlebihan kepada individu.

Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres adalah keadaan dimana transaksi individu dengan lingkungan menyebabkan seseorang untuk melihat ketidak sesuaian antara tuntutan situasi fisik atau psikologis dan sumberdaya

(4)

4

dari orang tersebut, baik biologis, psikologis maupun sistem sosial (Sarafino & Smith, 2011).

Banyak orang menggunakan stres dan distress adalah pengertian yang dapat dipertukarkan. Mungkin karena akal sehat menunjukkan bahwa stres adalah sesuatu yang buruk. Untuk menghindari dilema ini, Selye memperkenalkan istilah distress dan Eustress. Menurut Selye (Rice,1999)

distress adalah sesuatu yang merugikan atau stres yang tidak menyenangkan.

Dalam istilah ini, stres hampir sama dengan keadaan cemas, takut, khawatir, atau agitasi. Inti dari konsep distress ini adalah reaksi negatif, menyakitkan, dan sesuatu yang dihindari.

Selye (Rice,1999) menyebut Eustress sebagai suatu pengalaman memuaskan dan menyenangkan yang datang. Bersebrangan dengan distress,

eustress biasa disebut sebagai positif stres. Contoh sederhana dari eustress

seperti, berpartisipasi dalam even olahraga nasional, tampil dalam drama teaterikal, atau bahkan melangsungkan upacara pernikahan. Eustress mempertinggi level kesadaran, meningkatkan kewaspadaan mental, dan membimbing pada kinerja kognitif dan perilaku yang superior.

Orang dapat melakukan yang terbaik apabila berada dalam tekanan. Terlalu sedikit stres sama buruknya dengan terlalu banyak stres. Selye (Rice, 1999) menyebutkan, tujuan manajemen stres bukan untuk menghilangkan stres seluruhnya tetapi untuk mengendalikannya sehingga gairah secara optimal akan hadir.

Berbagai uraian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi yang dipersepsi oleh individu sebagai keadaan yang memiliki potensi mengancam dan memunculkan ketidaksesuaian antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu. Adanya kemampuan dan konsep diri mempengaruhi penilaian individu terhadap sebuah peristiwa yang akan memungkinkan individu untuk dapat mengendalikan dan mengelola sumbber stres.

Sumber stres mungkin akan berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat sepanjang hidup. Menurut Sarafino dan Smith (2011), sumber-sumber stres dibagi menjadi 3 macam yaitu stres bersumber dari diri individu, stres bersumber dalam keluarga, dan stres yang bersumber dari komunitas dan masyarakat.

Pengertian coping menurut Sarafino dan Smith (2011) adalah proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat bahwa

coping adalah upaya untuk merubah kognitif dan perilaku yang terus menerus

untuk mengelola tekanan internal atau eksternal yang melebihi sumber daya. Matheny dkk. (Rice, 1999) menulis lima sumber coping dalam review literatur mereka, yaitu social support, nilai dan keyakinan, self-esteem, kontrol kepercayaan diri, dan wellness. Perilaku koping (coping behavior), bisa bernilai positif atau negatif, aktif atau justru menghindar, secara langsung atau tidak langsung (Suls & Fletcher, dalam Rice 1999).

Berbagai teori yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa sumber koping ada dua yaitu sumber yang berasal dari diri individu, dan sumber koping

(5)

5

yang berasal dari luar individu. Sumber koping yang berasal dari diri individu adalah kebugaran, penghargaan diri, kepercayaan diri, keyakinan dan nilai. Sedangkan sumber koping dari luar individu adalah dukungan sosial.

Suatu studi yang dilakukan oleh Folkman dkk (Taylor, 2006) menunjukkan beberapa variasi usaha dari kedua strategi terdahulu, yaitu

problem focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut

menunjukkan beberapa usaha koping yang muncul adalah: a. Problem Focused Coping

1) Confrontative coping: yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang

dianggap sumber tekanan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang tinggi, dan pengambilan resiko.

2) Seeking Social Support: atau mencari dukungan sosial yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

3) Planful Problem Solving: yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

b. Emotion Focused Coping

1) Escape: yaitu usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah

dengan berkhayal atau membayangkan hasil yang terjadi dan ia berada pada situasi yang lebih baik dari yang dialami sekarang. Atau dapat pula dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan.

2) Seeking social emotional support: adalah upaya untuk mencoba

memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.

3) Self Control: adalah usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi

situasi yang menekan.

4) Distancing: usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi

yang menekan.

5) Positive reapraisal : adalah usaha mencari makna positif dari

permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

6) Accepting responsibilty: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila maswalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.

Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan sejak lahir atau sejak masa anak. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2005).

Retardasi mental merupakan kelemahan yang terjadi pada fungsi intelektual. Kemampuan jiwa retardasi mental gagal berkembang secara wajar. Mental, intelegensi, perasaan, dan kemauannya berada pada tingkat rendah, sehingga yang bersangkutan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri. Hal

(6)

6

ini diperkuat oleh pendapat Voughn, dkk (Ishartiwi,2010) yang menyatakan ada ciri utama untuk mengkatagorikan retardasi mental. Ciri tersebut adalah keterbatasan perkembangan mental, ada hambatan dalam beberapa ketrampilan perilaku adaptif seperti komunikasi, mengurus diri sendiri, dan ketrampilan sosial (Ishartiwi, 2010).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja sumber stres dan sumber koping orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana orang tua menghadapi sumber stres serta upaya koping apa yang dilakukan orang tua terhadap sumber stresnya tersebut.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Creswell (2007) penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan untuk mendapatkan pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penyelidikan yang berbeda untuk mengeksplorasi permasalahan sosial ataupun permasalahan manusia. Lebih lanjut Creswell menjelaskan peneliti membangun gambaran yang komplek dan menyeluruh, menganalisis kata-kata, melaporkan secara detail mengenai pandangan informan, dan melakukan penelitian dalam seting yang natural.

Poerwandari (2009) mengatakan bahwa penelitian kualitatif sengaja dilakukan dengan tujuan eksplorasi dan deskripsi, namun menurut Glesser dan Strauss, mengatakan bahwa pengembangan teori dari dasar, pendekatan kualitatif tidak berhenti pada tahap eksplorasi dan deskripsi saja namun sangat mungkin menemukan dan membangun suatu teori baru (Poerwandari, 2009). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2011) mengemukakan bahwa, penelitian kualitatif sangat penting dalam menemukan dan membangun teori. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau orang tua ke dalam variabel atau hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keseluruhan.

Metode penelitian dan cara yang akan digunakan dalam memperoleh data yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus adalah eksplorasi dari “bounded

system” atau kasus (beberapa kasus) dari waktu ke waktu secara terperinci,

pengumpulan data yang mendalam dan melibatkan berbagai sumber yang kaya dalam konteks (Creswell, 2007). Menurut Creswell (2007) yang dimaksud

bounded system disini adalah dibatasi oleh waktu dan tempat, dan itu adalah

(7)

7

Thematic analysis (analisis tema) merupakan metode analisis data yang

dipilih untuk penelitian ini. Pemilihan analisis tema diharapkan mampu menggambarkan secara utuh dan terintegrasi bagaimana proses coping orang tua terhadap anak mereka yang memiliki retardasi mental kategori sangat berat.

Penelitian ini mengambil sample dua keluarga muslim yang memiliki anggota keluarga dengan retardasi mental. Satu keluarga dengan anggota keluarga yang “lengkap” (terdapat bapak, ibu, dan beberapa anak) termasuk salah satu diantara anak mereka yang mengalami retardasi mental. Sedangkan satu keluarga lagi yang hanya terdiri dari satu orang tua (single parent) dan seorang anak dengan retardasi mental.

Peneliti menetapkan kriteria dalam penelitian ini adalah keluarga muslim dengan individu retardasi mental. Sebelum menemukan sample, peneliti telah menetapkan sebuah keluarga muslim yang memiliki anak retardasi mental untuk dijadikan subjek penelitian. Ketika preliminarry research berjalan, responden meminta untuk penelitian dihentikan dengan alasan kesehatan dan ketidaktersedian waktu. Sebagai pengganti, responden memberi informasi kepada peneliti mengenai keluarga lain yang memiliki anak retardasi mental. Pengambilan sampel yang dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya disebut

snowball sampling (Poerwandari, 2009).

Penelitian ini mengambil data dengan metode wawancara, dan observasi, namun lebih menekankan metode wawancara dalam menggali informasi. Selain untuk mendapatkan informasi yang baik, juga agar dapat mengungkap dimensi emosi orang tua yang memiliki anak retardasi mental.

Lofland dan Lofland (Basrowi, 2008) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.

Wawancara adalah percakapan yang memiliki struktur dan tujuan. Wawancara penelitian sebagai sebuah wawancara yang tujuannya untuk mendapatkan deskripsi dunia dari kehidupan responden yang berkaitan dengan penafsiran makna dari penggambaran fenomena (Kvale, 2007).

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dkk., 1994, dalam Poerwandari 2009). Menurut Kvale (2007), tujuan dari wawancara penelitian kualitatif adalah untuk mendapatkan deskripsi dunia dari kehidupan responden mengenai interpretasi makna dari penggambaran fenomena.

Observasi merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Burns berpendapat, dengan observasi peneliti dapat mendokumentasikan dan merefleksi secara sistematis terhadap kegiatan dan interaksi subjek penelitian (Basrowi & Suwandi, 2008). Metode ini digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan yang diteliti.

(8)

8

Poerwandari (2009), menyatakan observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut, dengan tujuan mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

Menurut Creswell (2007), mengamati dalam suatu setting merupakan ketrampilan khusus yang memerlukan penguasaan terhadap isu-isu seperti potensi kecurangan responden, manajemen kesan, dan potensi marjinalitas dari peneliti dalam lingkungan asing. Sutrisno Hadi (Basrowi & Suwandi, 2008) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala alam, dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Stres Orangtua

Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres adalah keadaan dimana transaksi individu dengan lingkungan menyebabkan seseorang untuk melihat ketidak sesuaian antara tuntutan situasi fisik atau psikologis dengan sumber daya dari orang tersebut, baik biologis, psikologis maupun sistem sosial (Sarafino & Smith, 2011).

Sumber stres menurut Sarafino dan Smith(2011), dibagi menjadi 3 macam yaitu stres bersumber dari individu, stres bersumber dalam keluarga, dan stres yang bersumber dari komunitas dan masyarakat. Dua keluarga subjek penelitian, memiliki sumber stres yang berbeda. Sumber-sumber stres pada orang tua yang memiliki retardasi mental sebagai berikut:

1. Sumber Stres Yang Berasal Dari Diri Individu

Penyakit adalah salah satu cara stres muncul dari dalam individu. Menurut Sarafino dan Smith (2011), tubuh yang dalam keadaan sakit menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada individu. Tingkat tuntutan stres tersebut, tergantung pada seberapa parah penyakit dan usia individu (Sarafino & Smith, 2011). Cara lain stres muncul dalam diri seseorang adalah melalui penilaian terhadap keadaan konflik yang ada.

Pada subjek pertama sumber stres yang berasal dari diri sendiri adalah kesehatan bapak sholeh yang memiliki riwayat sakit liver. Sakit kuning tersebut membuat bapak Sholeh inadequat dalam upaya mencari nafkah. Sakit inilah yang menjadi sumber stres, karena subjek merasa kurang maksimal dalam memanfaatkan waktu.

(9)

9

Pada subjek kedua sumber penghasilan yang tidak menentu menjadi sumber stres keluarga Laras. Sebelum mengidap sakit vertigo, subjek adalah seorang penjual sayur dipasar. Namun setelah itu berhenti untuk lebih fokus dalam merawat Midi. Hal ini membuat penghasilan dari keluarga Laras hanya bertumpu pada uang pembayaran kontrak rumah.

2. Sumber Stres Yang Berasal Luar Individu

Sumber stres yang berasal dari luar individu adalah dari keluarga dan lingkungan. Perilaku, kebutuhan, dan kepribadian masing-masing anggota keluarga sangat berbeda. Dalam proses Interaksi antara anggota satu dengan yang lain mampu memicu timbulnya stres akibat ketidak saman hal tersebut. Perselisihan antar pribadi dapat timbul dari keuangan, perilaku tidak pengertian, atau tujuan dan keinginan yang berlawanan. Sarafino dan Smith (2011) menyatakan, dari berbagai sumber stres dalam keluarga, ada tiga hal utama yaitu bertambahnya anggota baru, perceraian, penyakit, kecatatan, dan kematian dalam keluarga.

Menurut Johnson (Sarafino & Smith, 2011), keluarga harus melakukan adaptasi unik dalam waktu yang panjang ketika anak mengalami sakit yang serius. Lebih lanjut, stres muncul dari jumlah waktu yang diperlukan untuk merawat anak dan dari anggota keluarga yang kehilangan kebebasan dalam jadwal mereka. Orang tua merasa kehilangan waktu mereka untuk mencurahkan kasih sayang terhadap anggotanya yang lain. Sedangkan anak merasa terisolasi dan kehilangan perhatian orang tua (Sarifino & Smith, 2011).

Pada responden pertama salah satu sumber stres dari keluarga adalah perbedaan antara harapan dengan kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa Aan mengalami retardasi mental berat memupuskan harapan-harapan apabila anak mereka terlahir normal.

Retardasi mental yang membuat individu tergantung pada orang disekitar, membuat anak bungsu mereka cemburu. Kecemburuan karena perhatian yang lebih terhadap anggota lain yang mengalami retardasi mental. Hal ini membuat anak bungsu mereka merasa tidak diperhatikan.

Pada responden kedua sumber stres yang berasal dari keluarga adalah dari suami dan merawat anak satu-satunya seorang diri. Suami subjek yang setelah kelahiran anak mereka tidak tinggal bersama, akhirnya tidak pernah mengunjungi subjek dan anak mereka sejak 2007 hingga sekarang. Suami yang sejak menikah hingga memiliki anak tidak pernah menafkahi istri dan anaknya, marah karena tidak diberi pinjaman oleh subjek.

Subjek kedua merawat dan mengasuh anaknya yang memiliki retardasi mental seorang diri. Membesarkan anak dengan retardasi mental membutuhkan ketrampilan dan keahlian berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Sedangkan subjek harus merawat seorang diri tanpa didampingi oleh suami atau anak yang lain yang membantu.

Kedua responden memiliki sumber stres dari keluarga. Terutama dari anak mereka yang memiliki retardasi mental. Merawat dan mengasuh anak retardasi mental bukan menjadi sumber utama. Melainkan harapan-harapan mereka yang pupus ketika sebelumnya mereka memiliki harapan tertentu apabila anak mereka terlahir normal.

(10)

10

Semua hasil penelitian yang mengungkap sumber stres orang tua diringkas pada tabel dibawah ini:

Tabel 1.

Temuan sumber stres orang tua (berbasis individu)

Sumber stres Subjek I

(Bapak Sholeh)

Subjek II (Ibu Laras) Dari dalam individu - Subjek merasa tidak

optimal dalam mencari nafkah karena pernah mempunyai sakit liver.

- Perbedaan harapan dan kenyataan bahwa subjek berharap memiliki anak normal.

- Subjek memiliki sakit vertigo yang membuat subjek berhenti berjualan.

Luar individu Adanya kecemburuan anak bungsu karena merasa orang tua lebih memperhatikan kakaknya yang retardasi mental.

- Suami subjek yang menggantung hubungan dengan tidak pernah menjenguk, menafkahi, atau menghubungi beliau selama lebih dari 4 tahun terakhir.

- Ketidak mampuan orang lain untuk membantu mengurus anak, membuat anak beliau sangat bergantung pada beliau.

Sumber Koping Orangtua

Sumber koping pada individu bisa berasal dari pribadi, sosial, atau fisik. Matheny dkk (Rice, 1999) menulis lima sumber koping dalam review literatur mereka, yaitu dukungan sosial, Nilai dan Keyakinan, Self-esteem, kontrol kepercayaan diri, dan kebugaran. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sumber koping bagi orang tua yang memiliki anak retardasi mental adalah dari dalam individu dan luar individu. Dari kedua sumber tersebut, terdapat lima aspek utama yaitu:

1. Dukungan Sosial (luar individu)

Dukungan sosial dapat memberikan efek penghalang/penyangga, yang melindungi seseorang dari dampak stres yang merugikan atau dapat berfungsi melalui sebuah dampak langsung yaitu dukungan sosial yang bermanfaat dan membantu. Menurut Leavy (Rice, 1999), hubungan dan dukungan antar individu adalah transaksi tiada henti yang melibatkan imbal balik pada kedua belah pihak

(11)

11

dimana keduanya memiliki informasi positif dan negatif. Tiap-tiap bagiannya dapat melatih penerimaan dampak keteraturan dan ketidak aturan pada tiap proses interaksi (Leavy, dalam Rice 1999).

Responden pertama mencari penguat pada teman-teman pengelola sekolah. Meski tidak mencari solusi secara langsung, subjek merasa mendapat dukungan sosial dengan berkumpul bersama teman pengelola sekolah.

Pada responden kedua dukungan sosial didapat dari tetangga, orang sekitar, dan keluarga yang mengontrak dan tinggal bersama beliau. Kesedian keluarga tersebut untuk tinggal bersama subek adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Keputusan untuk berhenti berjualan sayur pun atas saran dan rekomendasi dari keluarga tersebut yang bersedia membantu dalam konsumsi subjek sehari-hari. Dukungan sosial berupa materi pun didapat subjek dari tetangga sekitar dan keluarga subjek yang tinggal beberapa rumah dari kediamaan subjek.

Tidak hanya dari tetangga atau keluarga dekat, subjek kedua juga mendapat dukungan dari orang-orang yang membantu kesembuhan anak subjek. Mulai dari didahulukan ketika berobat, hingga tidak mau menerima imbalan sebelum anak subjek sembuh, merupakan bentuk dukungan sosial yang subjek terima.

2. Keyakinan dan Nilai (dalam individu)

Keyakinan dan nilai tertentu yang dianut akan menjadi sangat penting karena akan menuntun individu menilai sebuah peristiwa sehingga dapat dinilai secara positif. Witmer (Rice,1999) mencatat, penggunaan ajaran agama dan kepercayaaan spiritual adalah bangunan yang sering dilupakan dalam strategi koping.

Hal lain yang perlu dimiliki adalah optimisme yang merupakan sebuah harapan bahwa sesuatu yang baik akan terjadi. Scheier dan Carver (Rice, 1999) percaya bahwa optimisme adalah sifat kepribadian (Personality traits) yang dapat menumbuhkan minat dengan membawa implikasi penting untuk koping dan kesehataan. Optimisme merupakan jenis filter perseptual yang memaknai situasi dalam lingkup luas.

Salah satu sumber utama dalam menguatkan diri pada responden pertama adalah nilai dan keyakinan yang mereka anut selama ini. Subjek memiliki keyakinan akan saling tolong menolong untuk amar mak’ruf nahi mungkar. Tidak hanya pada kehidupan dunia melainkan juga untuk kehidupan akhirat.

Selain itu, responden pertama juga memandang segala peristiwa adalah ujian dari Tuhan. Ujian bukan hanya dalam bentuk musibah, tapi juga dalam bentuk kenikmatan. Sehingga subjek berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk melewati ujian dari Allah.

Untuk mencari penguat dalam menghadapi setiap ujian, subjek rutin untuk berdoa setelah mengerjakan Sholat. Dengan rutin berdoa subjek merasa lebih tenang dan tidak kemrungsung. Matheny dkk (Rice, 1999), menemukan bahwa teknik relaksasi adalah metode yang paling banyak digunakan dalam prosedur perlakuan dan memberikan dampak positif yang paling besar pada hasil koping.

(12)

12

Pada responden kedua memandang hidup itu harus tolong menolong, sehingga Allah akan memberikan pertolongan kepadanya. Selain itu, subjek juga berpikir positif terhadap setiap ketentuan yang telah Allah takdirkan. Responden tidak menyalahkan Allah karena memberikannya anak yang mengalami retardasi mental. Subjek bahkan menerima keadaan anak dan berdoa agar diberi umur dan kekuatan untuk mengurusnya. Keyakinan positif ini yang menjadi salah satu sumber koping subjek.

3. Kontrol kepercayaan diri (dalam individu)

Rasa percaya diri yang ada pada seseorang akan menentukan dalam melakukan pengambilan keputusan dalam situasi yang penuh tekanan. Hal ini berkaitan erat dengan kontrol dan efikasi koping sebagai pedoman kepercayaan terhadap diri. Ini adalah tingkat kepercayaan (confidance) yang dimiliki seseorang sehingga bisa mengontrol kejadian atau mengatasi tekanan kondisi stres.

Bandura menyebutnya efikasi diri (Self efficacy) yang merupakan bagian dari penilaian sekunder, yaitu penyesuaian pemikiran yang kita lakukan antara tekanan dan kemampuan untuk mengatasinya. Itulah mengapa seseorang dengan derajat kepercayaan yang tinggi pada kemampuan pengalamannya akan memiliki tingkat stres yang rendah.

Pada subjek pertama merasa mampu untuk merawat anak-anak mereka termasuk Aan yang mengalami retardasi mental. Subjek mengungkapkan bahwa dengan pengalaman yang sudah pernah mereka lalui, mereka percaya mampu untuk membesarkan dan merawat semua anaknya.

Begitu pula pada subjek kedua merasa yakin dan mampu untuk merawat anaknya. Dalam penelitian terungkap bahwa subjek telah melakukan berbagai upaya untuk kesembuhan anaknya, meskipun tidak memberikan hasil. Hal ini lebih kepada iktiar subjek untuk kesembuhan anaknya. Namun semua subjek serahkan kepada Allah yang memberi kehidupan.

4. Penghargaan diri (dalam individu)

Penghargaan diri atau self esteem berarti penerimaan dan penghargaan yang ada pada diri seseorang. Hal ini bukan berarti memiliki makna yang sama dengan self efficacy. Namun secara teoritis self esteem akan meningkat seiring dengan meningkatnya self efficacy. Penghargaan terhadap diri ini adalah sumber personal yang paling penting (Rice, 1999).

Subjek pertama menilai dirinya belum optimal dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan waktu luang. Meski subjek memiliki riwayat sakit kuning, beliau tidak menggunakan hal tersebut untuk membuat pembenaran.

Selain itu, subjek juga merasa bahwa dirinya adalah sosok yang bersyukur. Bersyukur karena telah diberi kenikmatan berupa kedekatan dengan anak-anak dan mengambil sisi positif dari keadaan yang dialami oleh Aan.

Agak berbeda dengan subjek pertama, subjek kedua lebih santai dalam menilai dirinya. Dari temuan penelitian terungkap bahwa subjek kedua menilai dirinya adalah orang yang suka menolong, ikhlas, santai dan kebal terhadap kemiskinan karena sudah terbiasa. Dan subjek percaya akan ada pertolongan dari Allah terhadap hambanya yang suka menolong tanpa pamrih.

(13)

13 5. Kebugaran (dalam individu)

Kebugaran atau wellness dapat diartikan sebagai kualitas kesehatan yang seseorang bisa nikmati, termasuk kesehatan fisik, tingkat energi, kontrol berat badan, dan menghindari perilaku yang berisiko tinggi mengancam kesehatan. Dalam hal kajian tentang wellness sebagai sebuah tekhnik koping meta analisis Matheny (Rice, 1999) menemukan kebugaran adalaah jalan efektif terakhir dalam mengubah koping menuju sisi yang positif.

Dalam penelitian terungkap bahwa subjek pertama berusaha untuk menjaga kesehatannya dengan menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi. Subjek lebih memilih untuk melakukan kegiatan yang ada arah dan tujuan dibandingkan dengan kegiataan olahraga permainan seperti bulu tangkis atau sejenisnya. Subjek juga menyadari bahwa menjaga kesehatan tidak harus berolahraga berat, namun cukup ada gerakan. Subjek percaya bahwa gerakan dalam sholat membawa dampak positif terhadap kesehatan.

Berbeda dengan subjek pertama, subjek kedua tidak pernah menjaga

kesehatannya. Beliau sering menyepelekan kesehatan dengan sering terlambat makan, bahkan menunda makan hingga keesokan harinya. Beliau tidak pernah melakukan olahraga untuk menjaga kesehataan.

Berikut adalah ringkasan hasil penelitian yang mengungkap sumber koping orang tua:

(14)

14 Tabel 2.

Temuan penelitian sumber koping orang tua

Sumber koping Subjek I

(Bapak Sholeh)

Subjek II (Ibu Laras)

Dari luar individu - 1) Dukungan sosial:

mendapat dukungan dari saudara, tetangga dan orang-orang yang peduli terhadap anak Retardasi mental.

Dalam diri sendiri 1) Nilai dan Keyakinan: tolong menolong untuk

amar makruf nahi

mungkar. Hidup adalah

ujian dari Allah. Berdoa. 2) Penghargaan diri: merasa tidak optimal meski memiliki sakit liver.

3) Kontrol Kepercayaan diri: merasa mampu mengurus semua anak-anaknya.

4) Kebugaran: bersepeda, dan mengerjakan sholat.

2) Nilai dan keyakinan: berpikir positif mengenai segala ketentuan Allah. Menolong orang lain, maka nanti Allah akan menolong.

3) Penghargaan diri: subjek menghargai dirinya sebagai orang yang santai dan suka menolong.

4) Kontrol kepercayaan diri: subjek percaya mampu mengurus anaknya dengan bantuan Allah.

Usaha Koping Orangtua

Lazarus dan Folkman (Davison, Neale & Kring, 2006) menggolongkan dua strategi koping yang biasa digunakan adalah Problem focused coping, dan

Emotional focussed coping. Suatu studi yang dilakukan Folkman dkk(Taylor,

2006) menunjukkan beberapa variasi usaha dari kedua strategi koping terdahulu.

Problem focused coping memiliki 3 variasi yaitu confrontative coping, seeking social support, dan planful problem solving. Emotional focused coping memiliki

(15)

15

6 variasi yaitu escape, seeking social emotional support, self control, distancing,

positive reappraisal, dan accepting responsibility. Hasil penelitian ini

mengungkapkan beberapa variasi upaya yang dilakukan oleh orang tua terhadap sumber stres:

1. Mencari dukungan sosial

Mencari dukungan sosial atau seeking social support adalah usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap sumber tekanan dengan mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

Dalam penelitian terungkap bahwa subjek pertama berharap anak-anaknya mau merawat Aan yang mengalami retardasi mental. Hal ini adalah upaya subjek untuk mendapatkan kenyamanan emosional dari orang lain dengan mendapat kepastian akan masa depan anaknya ketika subjek sudah tidak ada. Koping sering berupa proses antisipasi yang mendahului sebelum munculnya ancaman atau stres (Rice, 1999).

Berbeda dengan subjek pertama yang mencari kenyamanan emosional dari orang lain, subjek kedua tidak melakukan hal tersebut.

2. Perencanaan pemecahan masalah

Perencanaan pemecahan masalah atau Planfull problem solving adalah usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara hati-hati, bertahap, dan analitis. Dalam penelitian terungkap bahwa subjek pertama tidak menggunakan upaya ini, namun sebaliknya subjek kedua memakai upaya ini. Subjek kedua menggunakan planfull problem solving dalam mengubah perilaku suami yang suka main judi. Semula subjek hanya membiarkan suami melakukan sekehandak sendiri apa yang ia inginkan. Hingga subjek memutuskan untuk merubah perencanaan pemecahan masalah dengan menegur suami. Teguran subjek sempat membuat suami berubah menjadi lebih tanggung jawab, meski hanya sementara.

3. Kontrol diri

Self control atau kontrol diri adalah upaya untuk mengatur perasaan

ketika menghadapi situasi yang menekan. Pada penelitian terungkap bahwa subjek pertama sangat mengendalikan emosinya agar tetap tabah dan sabar dalam menghadapi setiap permasalahan. Berbeda dengan subjek pertama, subjek kedua tidak menggunakan upaya untuk mengatur perasaannya ketika menghadapi situasi menekan.

4. Menjauhkan

Menjauhkan atau distancing adalah usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan yang positif seperti menganggap masalah tidak ada tekanan dan masalah tersebut ringan. Ketegangan dapat merangsang stres meski stresssor telah dihilangkan, jadi mengurangi tegangan bisa memberi hasil positif (Rice, 1999). Hal ini terungkap pada kedua subjek penelitian.

Subjek pertama berusaha untuk tidak menganggap memiliki anak retardasi mental bukan sebuah masalah. Subjek beranggapan bahwa ini bukan ujian karena tidak merasa berat menjalaninya.

(16)

16

Pada penelitian terungkap bahwa subjek subjek kedua melakukan

distancing untuk menghindari masalahnya. Subjek menghindari menyelesaikan

masalah yang sedang dialami dengan suami. Mulai dari sifat buruk suami yang suka main judi, hingga ketika suami lari dari tanggung jawab. Subjek tidak berusaha untuk mencari suami meski jarak rumah mereka hanya beda kelurahan. Meski sering melihat suami, namun subjek memilih untuk membiarkannya saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Subjek kedua juga tidak merasa memiliki beban dalam mengasuh anaknya. Meski dalam kenyataannya beliau kesulitan dalam hal memenuhi kebutuhan Midi sehari-hari. Subjek menghindar seakan-akan tidak ada tekanan dan masalah tersebut ringan.

5. Positive reappraisal

Positive reappraisal adalah usaha mencari makna positif dari

permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius. Senada dengan hal ini, Rice(1999) mengatakan mengubah makna sebuah peristiwa atau mengubah persepsi kedewasaan seseorang dalam menghadapi situasi menekan disebut restrukturisasi kognitif.

Pada subjek pertama ditemukan bahwa subjek menggunakan positive

reappraisal dengan memandang semua yang terjadi adalah bentuk ujian dari

Allah. Selain itu, subjek juga melihat sisi positif dari musibah yang diterima. Subjek merasa diberi waktu lebih lama untuk berdekatan dan memberi kasih sayang dengan anaknya yang retardasi mental.

Selain penilaian ulang yang positif, subjek juga melakukan upaya untuk pengembangan diri yang bersifat religius. Dari penelitian ini ditemukan bahwa subjek pertama mengembangkan diri dengan mengikuti pengajian untuk menguatkan diri. Dengan mengikuti pengaajian rutin yang dilakukan setiap pekannya, subjek merasa lebih tenang, “kuat”, dan bahagia.

Pada penelitian terungkap bahwa subjek kedua telah berusaha dengan berbagai upaya untuk mencari kesembuhan anaknya. Subjek kehilangan banyak harta termasuk menjual tanah milik keluarga. Namun kesembuhan yang diharap tak kunjung tiba. Hingga teman subjek sesama orang tua retardasi mental, memberi masukan kepada subjek untuk bisa menerima keadaan anaknya tersebut. Subjek akhirnya mau mengambil makna positif dari takdir yang sudah digariskan olah Allah dan menerima keadaan anaknya.

Subjek percaya dengan selalu berdoa dan beristigfar seusai sholat memberi dampak positif terhadap dirinya. Dengan usia yang menginjak 53 tahun, subjek merasa diberi kekuatan untuk terus merawat anaknya. Subjek percaya dan yakin karena berdoa kepada Allah, Tuhan yang menciptakan kehidupan.

6. Menerima tanggungjawab

Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya jadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strateegi ini menjadi tidak baik apabila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.

(17)

17

Pada sesi wawancara dan observasi terungkap bahwa subjek pertama berusaha untuk menerima tanggung jawab. Tanggung jawab yang sebenarnya bukan dari pikiran dan tindakannya sendiri, melainkan dari penyakit yang subjek derita. Karena seperti yang telah dibahas sebelumnya, bapak soleh memiliki riwayat penyakit liver. Penyakit liver ini membuat bapak soleh dalam berkerja menjadi cepat letih. Namun subjek merasa ini sebagai waktu luang yang harusnya lebih dioptimalkan subjek.

Pada subjek kedua terungkap bahwa subjek menanggung sendiri seluruh biaya merawat dan membesarkan anak. Setiap membeli susu, pamppers, hingga biaya berobat dan terapi subjek tanggung sendiri. Subjek menerima tanggung jawab ini meski secara hukum suami belum menceraikannya.

Ketika mengandung subjek sangat berharap memiliki anak normal. Setiap subjek memeriksa kandungan, bidan yang memeriksa selalu mengatakan kondisinya bagus. Namun kenyataaannya anaknya mengalami retardasi mental berat. Subjek menerima keadaan anaknya dengan memaknai hal tersebut sebagai takdir dari Allah.

Keadaan penuh kesulitan yang subjek kedua alami, ditanggapi dengan santai. Subjek menghadapi dengan santai karena menerima keadaan keluarganya tersebut. Subjek menyadari bahwa dengan terlalu memikirkan masalahnya akan mempengaruhi kesehatannya, sedangkan tanggungan merawat anak ada padanya, sehingga subjek memilih untuk menerima keadaannya dengan santai.

Berikut adalah ringkasan mengenai upaya koping yang dilakukan oleh kedua subjek terhadap sumber stres:

(18)

18 Tabel 3.

Temuan usaha koping orang tua

Usaha Koping Subjek I

(Bapak Sholeh)

Subjek II (Ibu Laras)  Penilaian ulang

yang positif.

Subjek memandang semua yang terjadi adalah bentuk ujian. Subjek menerima musibah dan melihat sisi positif dan hikmah dari kejadian tersebut.

Berdoa dan berdzikir setelah mengerjakan sholat memberi dampak positif bagi subjek.

 Menjauh Subjek berusaha untuk tidak menganggap ini adalah sebuah masalah

Subjek tidak berusaha menyelesaikan masalah dengan suami meski kerap kali melihat suami.

 Kontrol diri Subjek memiliki harapan kedepan untuk tetap tabah dan sabar dalam menghadapi setiap permasalahan

Subjek mengalihkan kesedihannya dengan memfokuskan diri dalam merawat anaknya.

 Mencari

dukungan sosial

Subjek berharap anaknya yang normal kelak membantu merawat anaknya yang memiliki retardasi mental.

-

 Menerima tanggung jawab

Subjek merasa tidak maksimal dalam memanfaatkan waktu meski memiliki riwayat sakit liver.

Subjek menanggung semua biaya hidup dan kebutuhan anak retardasi mental sendiri tanpa bantuan suami.

 Perencanaan pemecahan masalah

- Subjek mengubah strategi untuk menyadarkan suami dengan menegurnya, setelah sebelumnya membiarkan suami melakukan sesuatu sekehendak hatinya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan sebelumny, dapat disimpulkan bahwa sumber stres orang tua dengan anak retardasi mental adalah berasal dari diri individu dan luar individu. Sedangkan sumber koping orang tua adalah dari dalam individu yaitu nilai dan keyakinan,

(19)

19

self esteem, kepercayaan diri, dan kebugaran. Sedangkan dari luar individu

adalah dukungan sosial.

Upaya koping yang muncul dalam penelitiaan ini antara lain adalah mencari dukungan sosial, pemecahan masalah yang terencana, kontrol diri, menjauh, penilaian positif, dan menerima tanggungjawab. Dari enam upaya yang dilakukan oleh orang tua tersebut, dua yang terakhir menjadi upaya koping utama subjek penelitian.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kekurangan disamping kelebihan yang ada. Kelebihan penelitian ini adalah dua keluarga memiliki masalah sama tetapi karakter keluarga yang berbeda. Sehingga penelitian ini memiliki keragaman informasi dan pemilihan bentuk koping yang variatif. Kekurangan penelitian ini adalah karena metode pengambilan data yang menggunakan teknik snowball sampling, sehingga variasi responden tidak dapat dibatasi agar memiliki kesamaan kriteria.

Peneliti yang hendak mengkaji mengenai koping dan stres, diharapkan bisa meneliti mengenai stres dan koping muslim yang lebih khas dan bermanfaat bagi orang – orang “timur”. Dengan memperhatikan sumber-sumber koping yang ada, diharapkan orang tua dapat memilih bentuk koping yang sesuai dan menghasilkan output yang positif.

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi, S., & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta

Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing

among five traditions. California: Sage Publications

Davison, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. (2006). Abnormal Psychology –

Ninth Edition. Noermalasari Fajar (editor). Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada

Hadi, S. (2002). Metodologi Research: Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset

Hamid, A.Y. (2004). Pengalaman keluarga dan nilai anak tunagrahita. http://pusdiknakes.or.id/fikui /?show=detailnew&kode=25&tbl=pustaka. 20 November 2010

Hapsara, S. (2006). Tunagrahita di Indonesia mencapai 6,6 juta orang. http://www.antaranews.com/view/?i=1195207146&c=NAS&s. 21 Januari 2012

(20)

20

Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti, T,M. (2006). Penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Insan.2: 100-111

Ishartiwi. (2010). Identifikasi bentuk intervensi pembelajaran dan perilaku belajar anak retardasi mental. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan. 3: 1-15 Kompas. (2004). Pahami Anak “Down Syndrome”. Kompas 18 Juni 2004 .

jakarta : PT Kompas Gramedia

Kvale, S. (2007). InterViews:An introduction to qualitative research

interviewing. California: Sage Publications Inc

Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Appraisal, Stress, and Coping. New York : Springer Publisihing Company.

Maramis, W. F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press

Moleong, L. J. (2011). Metodologi Penelitian kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Poerwandari, E. K. (2009). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku

manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan

Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rice, P.L. (1999). Stress & Health. Third edition. California : Brooks Cole Publishing Company

Safaria, T. (2005). Autisme:Pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orang

tua. Yogyakarta ; Graha Ilmu

Sarafino,E.P. & Smith, T.W. (2011). Health Psychology, Biopsychosocial

Interactions. Seventh edition. New York : John Wiley & Sons Inc.

Somantri, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.

Taylor, S.E. (2006). Health Psychology. 6th edition. Amerika Serikat: McGraw Hill

Wenar, C & Kerig P. (2006). Developmental psychopathology: from infancy

Referensi

Dokumen terkait

Agar siswa mempunyai kompetensi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, maka prinsip yang harus dimiliki dalam proses pembelajaran diantaranya.. mengembangkan

Hasil uji Mann Whiney U Test pada perkembangan bahasa dengan nilai signifikan 0,01 (P<0,05), dan perkembangan motorik halus dengan nilai 0,061 (p>0,05) dapat

Proposal Pengembangan Usaha Agribisnis Peternakan dengan memilih 1 (satu) atau 2 (dua) dari 5 (lima) komoditi yang akan dikembangkan (Ternak sapi potong, Sapi perah,

Artinya bahwa apabila terjadi perubahan (naik atau turunnya) modal usaha yang dimiliki para ibu ruma tangga nelayn sebesar 1 satun/skala per unit, maka akan

This thesis is aimed at describing the translation method and meaning equivalence used by the translator to translated the selected data in the song lyric “Let It Go” to

Tuntutan ini ditujukan kepada sekelompok mukallaf (orang dewasa yang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum). Dengan redaksi lain dapat dikemukakan bahwa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laba dan arus kas memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi keuangan yang terjadi pada seluruh

Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen Tahun 2009 memuat berbagai data tentang kesehatan, yang meliputi derajat kesehatan, upaya kesehatan, dan sumber daya