• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LANDASAN TEORI

2.1 Green Management Versus Business Performance

Isu mengenai lingkungan bermula dari sejak dahulu kala dimana manusia mulai menyadari lingkungan yang semakin terancam akibat kesalahan manusia. Menurut para ahli, kesalahan ini sudah dilakukan oleh setiap generasi manusia, namun baru benar-benar menyeruak dengan adanya revolusi industri di Inggris pada akhir 1700, dimana saat itu tujuan dari industri hanyalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Adanya revolusi industri yang banyak membuang sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, meningkatkan limbah dan polusi menyadarkan bahwa pengambilan langkah dalam menghentikan perusakan lingkungan harus segera dilakukan. Bermula dari hal itu, dengan ditumpahkannya seluruh kesalahan pada industri dan adanya tanggung jawab untuk memberikan solusi pemulihan lingkungan, terutama saat perubahan iklim yang diakibatkan polusi industri dibenarkan, green management mulai muncul dan menjadi tren. Pane Haden, S. S., Oyler, J. D., & Humphreys, J. H. (2009:13) mendefinisikan green management sebagai berikut:

Green management is the organization-wide process of applying innovation to achieve sustainability, waste reduction, social responsibility, and a competitive advantage via continuous learning and development and by embracing environmental goals and strategies that are fully integrated with the goals and strategies of the organization.

Namun, sebelum green management menjadi tren, telah diperdebatkan mengenai adanya konflik intrinsik antara performa bisnis dengan perlindungan lingkungan. Banyak anggapan bahwa jika perusahaan dibebani dengan kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan, maka biaya dan perhatian untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dari produk mereka akan tersita. Menurut Palmer, Oates, dan Portney (seperti dikutip

(2)

dalam Ki-hoon, 2009), hal ini dikhawatirkan akan menurunkan performa bisnis mereka dan membuat mereka ketinggalan dalam persaingan pasar yang ada.

Namun, seiring berjalannya waktu, ditemui bahwa kesuksesan dalam finansial harus diikuti dengan minimnya jejak ekologi peningkatan perhatian kepada aspek sosial. Hal inilah yang menyebabkan green management menjadi sangat popular di tahun 2000an. Perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan mutinasional berlomba-lomba melakukan kegiatan yang tidak membahayakan lingkungan.

Pada tahun 2008, McKinsey Quarterly (seperti dikutip dalam Ki-hoon, 2009) mencatat bahwa lebih dari 80% dari total 2192 eksekutif mengantisipasi adanya peringatan mengenai isu-isu lingkungan khususnya perubahan iklim yang akan terjadi dalam lima tahun kedepan di negara dimana perusahaan mereka berdiri. Bahkan, beberapa perusahaan yang sangat aktif berusaha untuk mendirikan atau bahkan mendorong peraturan mengenai lingkungan ini yang akan merugikan pesaing mereka yang tidak mempedulikan isu lingkungan ini. Sebanyak 81% dari total 2192 eksekutif mengatakan bahwa negara bagian dan para pengusaha harus memiliki peran dalam mengatasi perubahan iklim yang terjadi.

Namun tetap saja, pertanyaan kunci mengenai green management ini adalah, “Bagaimana mengintegrasikan keputusan mengenai lingkungan ke dalam bisnis dengan hasil yang menguntungkan?” Beberapa ahli menurut jurnal berjudul Green Management and Financial Performance: a Literature Review mengatakan bahwa green management memiliki dampak positif pada performa finansial. Dengan menggunakan strategi proaktif, maka perusahaan dapat mengurangi proses produksi yang beracun, dapat menuntun perusahaan untuk mencapai efisiensi organisasi, dan pada kenyataannya dapat mengurangi banyak biaya dengan mengurangi limbah, energi, dan material yang berlebihan. Hal lain, menurut Elkington (seperti dikutip dalam Azorín, Cortés, Gamero, & Tarí, 2009), yang tidak kalah bermanfaatnya adalah perusahaan dapat memiliki nilai lebih dimata pelanggannya yang sensitif terhadap isu lingkungan ini.

(3)

2.2 Green Management pada Industri Kecil dan Menengah

Semaraknya program green management seringkali hanya terlihat pada usaha besar, terutama perusahaan multi-nasional. Hal ini, seperti disebutkan Hitchens, Clausen, Trainor, Keil, dan Thankappan (seperti dikutip dalam Ki-hoon, 2009), disebabkan oleh kurangnya informasi dan sumber daya bagi mereka untuk dapat berinvestasi dan ambil bagian dalam program green sustainability.

Beberapa cendekiawan menurut Noci dan Verganti; Alberti, Caini, Calabrese, dan Rossi (seperti dikutip dalam Ki-hoo, 2009) mengatakan bahwa keuntungan yang didapatkan pada green sustainability hanya relevan untuk perusahaan besar. Adapun menurut Shrivastava (seperti dikutip dalam Ki-hoon, 2009), keuntungan yang dimaksud diantaranya adalah penghematan biaya akibat eco-efficiency, meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan hubungan dengan komunitas lokal, akses kepada green-market yang baru, dan juga memiliki keuntungan diantara kompetitor lain.

Dengan hambatan yang ada, maka perusahaan kecil dan menengah mulai mengadaptasi program ini, menjadi bisnis organisasi. Hal ini ditempuh dengan memasukkan program-program green management ke dalam kegiatan bisnis mereka. Contohnya adalah dengan meminimalisasi jalur distribusi mereka, sehingga limbah, materi dan energi yang berlebih dapat dikurangi. Hal lainnya adalah dengan mengurangi penggunaan energi untuk data center dan POS software, yang telah memacu Counter Point untuk menciptakan Green Industry Post Software. Program berikutnya adalah program atau tindakan pengurangan sumber daya dan pengurangan limbah yang dihasilkan retailer, yang dapat dilakukan dengan penggunaan green bag.

2.3 Green Bag oleh Retailer

Dalam melakukan program green management, salah satu hal yang dilakukan oleh banyak retailer saat ini adalah dengan menggunakan green bag. Hal ini penting dilakukan dimana seperti dikutip dalam jurnal oleh Torres (2007), US Environmental Protection Agency mengatakan bahwa di Amerika, orang-orang membuang sekitar 100 milyar kantung plastik dalam setahun, dan hanya kurang dari satu persen yang didaur ulang. Di Jakarta sendiri,

(4)

diperkirakan 6000 ton sampah dibuang setiap harinya yang 13.25% dari antaranya adalah sampah plastik. Hal ini berarti setiap harinya terdapat 795 ton sampah plastik di Jakarta. Beberapa negara seperti Bangladesh, Cina, India, Australia, Yunani, Irlandia, Italia, Israel, Afrika Selatan, Taiwan, dan Mumbai sudah mengambil tindakan melawan penggunaan plastik, baik dengan melarang penggunaannya atau mengenakan pajak penggunaan plastik (Earth Talk, 2010). Hal ini juga mengundang banyaknya program yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan plastik oleh retailer. Beberapa cara telah dilakukan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Natural Grocers. Retailer ini memulai tindakannya pada Earth Day 2008 dengan tidak menyediakan tas belanja plastik pada semua tokonya, dan sama sekali tidak menyediakan tas belanja kertas atau plastik di tokonya yang baru. Baru pada Earth Day 2009, seluruh tokonya sama sekali tidak menyediakan tas. Hal ini tidak mengurangi jumlah pelanggan dan berdampak sangat besar. Diperkirakan satu tahun setelah itu, Natural Grocers telah dapat menghemat 13 juta tas belanja plastik dan kertas serta 1.3 juta pon kertas yang memenuhi TPA dan jalan air (PR Newswire, 2010). Beberapa tindakan lainnya dilakukan juga melalui kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah pembuangan plastik di San Fransisco atau mengenakan biaya kepada pelanggan untuk setiap plastik yang digunakan. Menurut Robert Batement, presiden dari Roplast Industries, dengan membayar untuk setiap plastik yang mereka pakai, maka pelanggan juga akan merasa bahwa plastik tersebut sayang untuk disia-siakan. Hal ini juga dilakukan di Irlandia, dimana pelanggan retail dikenakan pajak penggunaan plastik (PlasTax), yang berdampak sangat positif dan mengurangi permintaan plastik hingga 90%, yang juga mendorong meningkatnya pembelian reusable bag (Department of the Environment and Heritage, 2002). Penggunaan paper bag juga merupakan salah satu jenis green bag yang dilakukan untuk mengurangi polusi plastik. Karena walau paper bag lebih memenuhi tempat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), paper bag merupakan bahan yang biodegradable.

Solusi lain adalah dengan menggunakan plastik dengan bahan biodegradable atau dapat juga menggunakan cloth bag yang umumnya ditawarkan untuk dibeli dan dibawa kembali oleh pelanggan ketika mereka datang kembali ke retailer tersebut. Untuk menarik minat pelanggan dalam

(5)

membeli cloth bag ini, beberapa retailer berusaha untuk membuat cloth bag tersebut memiliki desain yang menarik. Hal ini salah satunya dilakukan oleh Supermarket Superquinn yang mengeluarkan desain cloth bag baru mereka. Dikatakan bahwa menurut mereka, orang-orang membawa tas mereka di tangan mereka saat berjalan dan keluar dari mobil sehingga tentu saja mereka peduli dengan bentuk tas yang mereka pakai. Oleh karena itu mereka mendesain tas shopping yang ringan, kuat, branding yang minimalis, mudah saat dibongkar, dan juga memiliki desain yang indah. Tas ini memang cukup mahal, namun tahan lama dan juga telah berhasil menghemat 4 juta kantung plastik yang harus dikeluarkan.

Ada juga supermarket yang bekerja sama dengan pembuat reusable bag, diantaranya adalah Earthwise dan ReusableBags.Com. Kedua perusahaan ini menjual reusable bag yang lebih kuat dan lebih murah, ringan, dan tahan lama. Metode inovatif lainnya dilakukan oleh Whole Foods Market Grocery, dimana mereka memberikan cloth bag gratis salah satunya dengan bantuan sponsor. Setiap sponsor yang bersedia membayar $10 untuk sebuah cloth bag dapat mencetak logo produk mereka pada cloth bag tersebut (Fossi, 2007).

2.4 Antropometri

2.4.1 Pengertian Antropometri

Menurut Wignjosoebroto (2003) antropometri merupakan studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Istilah antropometri berasal dari bahasa Yunani “anthropos” yang berarti manusia dan “metrein” yang berarti ukuran. Antropometri diperlukan karena manusia pada dasarnya memiliki bentuk, ukuran, berat, dan dimensi lainnya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jika hanya menggunakan data statistik rata-rata untuk menetapkan suatu ukuran, maka desain yang ada tidak akan cocok untuk populasi. Oleh karena itu, pemilihan ukuran minimal atau maksimal atau suatu rentang bagi setiap dimensi tubuh untuk rancangan desain, sangat perlu untuk dilakukan (Karwowski & Marras, 2003).

Persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Contohnya: 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah

(6)

dari P-95; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari P-5 (Wignjosoebroto, 2003). Kebanyakan data dimensi tubuh yang ada berdistribusi normal. Nilai persentil dapat diambil dengan dua cara, yaitu dengan cara menentukan dari grafik distribusi data nilai kritis persentil. Cara kedua merupakan cara yang lebih mudah dan biasanya lebih tepat adalah dengan menggunakan rumus persentil (Karwowski & Marras, 2003), yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.

Sumber: Nurmianto, E. (2004) p.55

Gambar 2.1 Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil

Untuk penggunaan ukuran dengan mengkombinasikan dua dimensi tubuh, kovarians dari dua ukuran harus diperhatikan. Oleh karena itu, untuk menentukannya dapat menggunakan rumus dibawah ini (Karwowski & Marras, 2003):

Dengan ini, maka rumus berikut dapat digunakan untuk mendapatkan ukuran dengan mengurangkan kedua dimensi tubuh:

Dimana:

rx,y = Korelasi dimensi x dan dimensi y Sx = Standar deviasi dimensi x

Sy = Standar deviasi dimensi y mx = Rata-rata dimensi x my = Rata-rata dimensi y

mz = Rata-rata kombinasi dimensi Sz = Standar deviasi kombinasi dimensi

(7)

2.4.2 Langkah-langkah Perancangan Produk dengan Menggunakan Dimensi Tubuh

Berikut adalah langkah-langkah perancangan produk menurut Kroemer & Elbert (seperti dikutip dalam Karwowski & Marras, 2003):

1. Memilih ukuran antropometri yang secara langsung berhubungan terhadap rancangan (lihat lampiran 16-17 halaman L182-L186).

2. Menentukan apakah setiap ukuran atau dimensi yang dibutuhkan pada perancangan tersebut hanya dirancang untuk memenuhi suatu persentil ataupun dalam suatu rentang. Berikut adalah prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menentukan persentil yang digunakan (Wignjosoebroto, 2003):

a. Prinsip Perancangan Produk bagi Individu dengan Ukuran yang Ekstrim Perancangan produk ini dibuat agar dapat memenuhi 2 syarat sasaran produk, yaitu dapat sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim (terlalu besar atau kecil bila dibandingkan rata-ratanya) dan memenuhi ukuran tubuh yang lain. Untuk rancangan produk dengan tujuan dimensi minimum umumnya didasarkan pada nilai persentil yang terbesar seperti persentil 90 atau persentil 99. Sementara untuk dimensi maksimum diambil berdasarkan nilai persentil yang paling rendah (ke-1,ke-5, atau ke-10) dari distribusi data antropometri yang ada. b. Prinsip Perancangan Produk yang Bisa Dioperasikan di Antara Rentang

Ukuran Tertentu

Pada prinsip perancangan ini rancangan bisa diubah atau disesuaikan ukurannya sehingga cukup fleksibel dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.

c. Prinsip Perancangan Produk dengan Ukuran Rata-rata

Rancangan produk didasarkan terhadap rata-rata ukuran manusia. Masalah pokok yang dihadapi dalam hal ini justru sedikit sekali mereka yang berbeda dalam ukuran rata-rata. Sehingga, untuk mereka yang memiliki ukuran ekstrim akan dibuatkan rancangan tersendiri.

3. Mengkombinasikan semua nilai rancangan yang terpilih pada suatu sketsa atau gambaran kasar untuk memastikan kecocokannya.

(8)

4. Menentukan apakah rancangan tersebut dapat digunakan untuk semua pengguna.

2.5 Jenis Green Bag 2.5.1 Degradable Plastic Bag

Tas plastik degradable merupakan tas plastik yang dapat hancur karena proses kimiawi ataupun biologis (Dilli, 2007). Tas belanja plastik merupakan tas belanja yang terbuat dari polymer. Tas belanja plastik banyak dipilih terutama karena murah dan selain itu, ringan, tahan air, dan fungsional. Dikatakan fungsional karena menurut survei yang diadakan oleh Quantum for the CEPA Trust pada tahun 2002, 60% masyarakat menggunakan kembali tas plastiknya untuk tempat sampah, membawa bekal, dan peralatan lainnya. Tas plastik degradable dibuat dari bahan polyethylene yang dicampur dengan bahan additive yang mempercepat proses penguraian. Keuntungannya adalah karena mudah terurai akan mengurangi sampah, namun ketika mengurai dengan cepat akan berdampak pula kepada efek rumah kaca. Selain itu kerugian dari plastik degradable ini adalah tidak ditujukan untuk digunakan kembali sehingga tidak tahan lama (Department of the Environment and Heritage, 2002).

2.5.2 Paper Bag

Tas kertas pertama kali muncul sekitar tahun 1800 (Pulp & Paper Canada, 2004). Tas kertas merupakan green bag dikarenakan mudah didaur ulang dan terurai sehingga dapat mengurangi jumlah sampah (Department of the Environment and Heritage, 2002). Masalah banyaknya penebangan kayu untuk produksi kertas juga dapat ditangani dengan penggunaan tas dari kertas daur ulang (Earth Talk, 2010). Yang menjadi masalah adalah tas kertas dalam pembuatannya menggunakan tekanan udara yang lebih tinggi dan menghasilkan limbah yang lebih banyak dibandingkan plastik (Department of the Environment and Heritage, 2002). Tas kertas diperkirakan kurang lebih 4-5 kali lebih mahal dibandingkan plastik, namun tas kertas lebih berkelas dan diharapkan ada di toko kelas atas (Kaplan, 2007).

(9)

2.5.3 Cloth Bag

Tas belanja kain merupakan tas belanja dengan tujuan untuk penggunaan ulang, sehingga ramah lingkungan. Namun penggunaan reusable bag pada supermarket menurut sektor retail akan menambahkan waktu 5 detik tiap transaksinya (Department of the Environment and Heritage, 2002). Berikut adalah beberapa jenis kain yang dapat digunakan sebagai bahan tas:

1. Belacu

Belacu merupakan bahan yang terbuat dari 100% kapas yang tidak diberi pemutih, sehingga ramah lingkungan. Tas dari belacu memiliki masa hidup kurang lebih 1 tahun dan dapat menampung lebih kuat dibandingkan tas belanja plastik (McClatchy, 2005). Masalahnya adalah tanaman kapas yang merupakan bahan baku belacu menggunakan 10% pestisida dan 25% insektisida dunia untuk menumbuhkannya. Masalah lainnya didapati karena tas ini mudah kotor dan dalam pencuciannya menggunakan air dan deterjen (Department of the Environment and Heritage, 2002). Beberapa pengusaha berkomitmen untuk menghasilkan kapas yang 100% bebas bahan kimia, namun hal ini akan berdampak pada kenaikan biaya sebesar 30% (Frings, 2008).

2. Kanvas

Kanvas merupakan kain berbahan dasar kapas yang berat dan tertenun ketat (Udale, 2008). Kanvas juga dapat terbuat dari akrilik, polyester, dan nilon (Clemans, 2005). Kanvas merupakan bahan kain yang kaku dan tahan air (Caswell, 2000). Akrilik sering digunakan untuk menggantikan wol, sedangkan nilon untuk menggantikan sutra (Surhone, Timpledon,& Marseken, 2010).

3. Goni

Warga Bangladesh sebagai negara berkembang penghasil goni kedua terbesar setelah India menyebutnya ‘serat emas’ (Matsutani dan McClatchy, 2009). Goni sudah menjadi serat natural yang paling penting setelah kapas. Goni merupakan bahan yang 100% biodegradable sehingga permintaan akan bahan ini meningkat setelah sebelumnya jatuh. Tas kemasan dari goni ditemukan oleh Walter H. Deubner pada tahun 1915 dan sangat sukses. Kemudian, keberadaanya mulai digantikan dengan plastik pada pertengahan

(10)

1980an. Kejatuhan ini dikarenakan harga goni yang lebih mahal dibandingkan polythene. Namun, dengan maraknya gerakan ramah lingkungan, masyarakat dan industri di beberapa daerah, memilih menggunakan goni walau harus mengeluarkan biaya lebih. IGD meramalkan pada tahun 2014, tas dari bahan ramah lingkungan dan biodegradable seperti goni akan mengungguli penggunaan tas polythene (Hossain, 2011). Hanya saja, sampai saat ini goni masih lebih mahal dibandingkan kapas, tidak tahan air, juga memiliki permukaan yang kasar dan berat yang membuat pengguna masih kurang nyaman menggunakannya sebagai tas (Munna, 2011).

4. Spunbond Nonwoven

Bahan nonwoven merupakan bahan murah pengganti kain tenun atau rajut (Case, 2004). Spunbond nonwoven merupakan kain yang dibuat dengan mengikat serat horisontal zigzag dengan cara mekanis. Pengikatan ini bisa melalui proses termal atau menggunakan bahan adesif (Limem & Warner, 2005). Bahan dasar spunbond nonwoven dapat terdiri dari polypropylene (PP) atau polyester (PE). PP merupakan serat yang tahan uji dan sangat kuat yang terbuat dari polymer. PP juga memiliki massa yang ringan. PE merupakan serat sintetik yang terbuat dari microfiber dan paling banyak digunakan di dunia PE tahan kerut dan mudah dirawat (Frings, 2008). Bahan ini sangat potensial untuk didaur ulang, namun masalahnya adalah dalam sistem pengembalian dari pelanggan untuk didaur ulang (Department of the Environment and Heritage, 2002). Dilli (2007) mengatakan bahwa tas belanja berbahan spunbond nonwoven merupakan tas belanja paling eco-friendly dibandingkan degradable plastic bag, paper bag, ataupun tas belacu .

2.6 House of Quality

Industri automobile Jepang menciptakan Quality Function Deployment (QFD) sebagai alat kontrol proyek di tengah industri dengan banyak proyek yang sangat rumit. QFD didesain untuk memastikan bahwa kebutuhan pelanggan menjadi fokus dalam keseluruhan perancangan produk. House of Quality (HOQ) merupakan langkah pertama QFD yang menerima paling

(11)

banyak perhatian dan berguna bagi banyak perusahaan besar. HOQ berguna untuk merangkum semua aspek produk secara berkelanjutan dan mengetahui relasi antar aspek (Crawford & Benedetto, 2006).

2.7 Metode Pengumpulan Data 2.7.1 Kuesioner

Kuesioner merupakan alat pengumpulan data yang sangat fleksibel, terstruktur, mudah dan nyaman bagi responden, dan dapat diedarkan dengan murah dan cepat. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif namun juga dapat digunakan untuk data kualitatif (Walliman, 2011). Kuesioner menurut Sekaran (2003) merupakan teknik pengumpulan data dimana responden menyimpan jawabannya melalui serangkaian pertanyaan. Kuesioner adalah teknik yang tepat, jika peneliti tersebut tahu dengan tepat apa yang dibutuhkan dan bagaimana mengukur data tersebut. Kuesioner dalam metode pengambilan datanya dibagi menjadi tiga, yaitu kuesioner yang diadministrasikan secara personal, lewat surat, dan media cetak.. Kuesioner yang diadministrasikan secara personal memiliki banyak kelebihan. Melalui cara ini, peneliti dapat memberikan penjelasan singkat mengenai tujuan dan topik kuesioner. Keraguan dan pertanyaan yang ada juga dapat langsung diselesaikan secara langsung. Tingkat pengembalian kuesioner pun sangat tinggi jika menggunakan cara ini. Namun kelemahannya adalah jika target responden berada di area yang luas atau jauh, maka untuk membagikan kuesioner dan mendapatkan hasilnya akan membutuhkan waktu yang cukup lama (Sekaran, 2003).

Dalam membuat kuesioner, pertanyaan yang ada dapat bersifat tertutup dimana kemungkinan jawaban sudah ditentukan terlebih dahulu, atau terbuka dimana jawaban tidak ditentukan terlebih dahulu dan responden bebas memberikan jawaban, kombinasi tertutup dan terbuka, serta semi terbuka (Singarimbum & Effendi, 2006). Sarwono (2006) menjelaskan lebih detail mengenai beberapa model jawaban:

1. Tidak Berstruktur

Model ini memberikan kesempatan bagi responden untuk menjawab dengan bebas dan terbuka terhadap pertanyaan yang diberikan.

(12)

2. Isian

Model jawaban ini merupakan transisi dari jawaban tidak berstruktur ke jawaban berstruktur. Disini responden dengan bebas dapat menjawab pertanyaan, namun ruang lingkup jawaban dibatasi karena model pertanyaan. 3. Model Tabulasi

Model ini mirip dengan model isian, namun pertanyaan dan ruang isian disediakan dalam bentuk tabel. Hal ini memudahkan dalam mengorganisasikan jawaban yang kompleks.

4. Bentuk Skala

Pada model ini, responden diminta untuk mengekspresikan jawabannya dalam bentuk skala. Model ini merupakan model jawaban berstruktur.

5. Membuat Peringkat

Model jawaban berstruktur ini meminta responden untuk mengisi jawaban dalam bentuk urutan yang didasarkan pada prioritas.

6. Bentuk Checklist

Bentuk jawaban berstruktur ini meminta responden untuk memilih jawaban dari pilihan jawaban yang sudah disediakan. Bentuk ini akan menghemat waktu responden dan peneliti.

7. Kategorikal

Model ini mirip dengan bentuk checklist, namun lebih sederhana karena pilihan jawaban yang diberikan hanya dua.

Berikut adalah beberapa skala yang digunakan dalam kuesioner (Sarwono, 2006):

1. Skala Nominal

Skala nominal digunakan untuk mengklasifikasikan data dalam bentuk angka sebagai simbol. Angka yang menjadi simbol ini tidak dapat diolah dengan operasi aritmatika, karena angka ini hanya menunjukkan keberadaan. Walliman (2011) mengatakan, data dengan skala nominal dapat dianalisis hanya dengan menggunakan grafik sederhana, misalnya diagram batang.

(13)

2. Skala Ordinal

Tingkat pengukuran ini mempunyai informasi skala nominal ditambah dengan sarana peringkat relatif apakah suatu obyek memiliki nilai karakteristik lebih, namun tidak menunjukkan kekurangan atau kelebihannya.

3. Skala Likert

Skala Likert termasuk skala pengukuran sikap. Skala ini biasanya diekspresikan dari yang paling negatif, netral, sampai paling positif. Angka yang ada hanya menunjukkan simbol bukan arti angka yang sebenarnya.

2.7.2 Wawancara

Wawancara face-to-face merupakan metode pengambilan data yang menyediakan interaksi dan komunikasi dengan derajat paling tinggi (Biemer & Lieberg, 2003). Hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: pewawancara, responden, topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaan, dan situasi wawancara (Singarimbum & Effendi, 2006). Keuntungannya adalah metode ini adalah metode paling fleksibel dimana si pewawancara dapat memberikan pertanyaan yang lebih panjang dan rumit. Pewawancara juga dapat menggunakan taktik agar koresponden mau bekerja sama. Namun, kelemahan dari metode ini adalah biaya yang cukup besar karena pewawancara harus mendatangi lokasi koresponden. Kelemahan lainnya adalah bias yang disebabkan rasa enggan terhadap pertanyaan-pertanyaan sensitif. Bias ini juga seringkali disebabkan oleh pewawancara sendiri, karena gaya bicara, tindakan, perkataan dalam bertanya, seringkali mempengaruhi jawaban pembaca. Kendala bias dari pewawancara dapat diatasi dengan memberikan prosedur tertata dalam melakukan wawancara (Biemer & Lieberg, 2003).

Yang diperlukan untuk keberhasilan proses wawancara adalah kemauan mendengar dengan sabar, interaksi yang baik dengan orang lain, mengemas pertanyaan dengan baik, dan mampu mengkolaborasi pertanyaan dengan halus jika jawaban yang didapat dirasa belum cukup menjawab pertanyaan (Sarwono, 2006).

(14)

2.8 Analisis Data Penelitian Deskriptif

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif tidak bertujuan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan hanya menggambarkan apa adanya. Salah satu jenis penelitian deskriptif adalah penelitian survei. Penelitian survei dapat dilakukan untuk sesuatu yang bersifat tangible yang dapat diamati secara langsung. Jika pengumpulan data dilakukan hanya pada sebagian populasi, maka penelitian disebut sebagai survei sampel (Arikunto, 2003).

Dalam menganalisis penelitian deskriptif, salah satu alatnya adalah penyajian dalam bentuk persentase. Dengan memberikan hasil dalam bentuk persentase, pembaca laporan akan lebih mudah mengetahui seberapa jauh sumbangan tiap aspek terhadap permasalahan yang sedang dibicarakan (Arikunto, 2003).

2.9 Design Stress

Tekanan akan dialami oleh material ketika terdapat muatan yang seketika membebani permukaan material tersebut. Adapun rumus tekanan yang dialami oleh material adalah (Callister & Rethwisch, 2011):

Dimana:

σ = Tekanan F = Gaya

A = Luas permukaan

Kekuatan material merupakan faktor yang penting. Batas maksimum tekanan yang dapat ditahan benda atau yang dapat membuat material tersebut mengalami deformasi plastik yang cukup besar. Kekuatan ini disebut tensile strength (Davis, 2004). Tekanan kerja harus benar-benar kurang dari tensile strength dari material tersebut, bahkan kurang dari batas elastisitasnya (Higgins, 2010). Hal ini dikarenakan selalu adanya ketidakpastian besarnya beban saat merancang sesuatu. Bahkan biasanya beban ini hanya diperkirakan saja. Selain itu, setiap material teknik menujukkan adanya variabilitas terhadap pengukuran

(15)

mechanical properties, kecacatan saat proses produksi, yang dapat berpengaruh ketika material tersebut digunakan. Oleh karena itu, pada abad ke-20 didapati protokol untuk mengurangi tekanan yang ada dengan design safety factor. Untuk itu, design stress produk didapat dengan cara mengalikan safety factor dengan stress level berdasarkan beban maksimal (Callister & Rethwisch, 2011):

Dimana:

σd = design stress N’= safety factor σc = stress level

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dalam setiap kemasan produk hasil produksi Auditee yang akan dipasarkan untuk ekspor telah dibubuhi Tand V Legal dengan

menghasilkan geopolymer mortar dengan mutu tinggi untuk digunakan sebagai repair material. Adapun penelitian yang dilakukan adalah menyelidiki seberapa besar

Dari gambar arsitektur diatas menunjukkan bahwa sumber data utama adalah citra garis telapak tangan kiri, selanjutnya citra tersebut akan dilakukukan pre-processing

Semakin menipisnya sumberdaya hutan mangrove akibat pengaruh faktor alam dan faktor buatan manusia, seperti dieksploitasi untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan,

Berdasarkan pemeriksaan dengan uji netralisasi serum, dari 45 sampel serum sapi tersebut, terdapat 12 sampel (26,6 %) yang positif mengDANung antibodi terhadap virus BVD, dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dan persepsi dukungan organisasi dengan komitmen organisasi, hubungan antara kepuasan kerja

Selanjutnya dalam pasal 7.6 di sebutkan tentang langkah-langkah pengelolaan yang memastikan dan mengharuskan/mewajibkan setiap negara untuk tingkat penangkapan