PERSETUJUAN ISTERI DALAM RUJUK
STUDI KOMPERATIF ANTARA PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I DAN KHI
SKRIPSI Diajukan Oleh
RAHMAYANI
NIM: 521000251Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa
Program Strata Satu (S-1) Jurusan : Syariah
Prodi : AS
JURUSAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA
Telah Dinilai Oleh Panitia Sidang Munaqasyah Skripsi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa, Dinyatakan Lulus dan Disahkan
Sebagai Tugas Akhir Pentelesaian Progam Sarjana (S-1)
Pada Hari / Tanggal Selasa, 14 April 2015 M
Di Langsa
PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
Ketua, Sekretaris,
Drs. H. ABDULLAH. AR, MA FAKHRURRAZI, Lc, M.HI
Anggota Anggota
ABDUL MANAF, M.AG ADELINA, MA
Mengetahui:
Ketua Institut Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa
DR. ZULKARNAINI, MA NIP. 19670511 199002 1 001
SKRIPSI
Diajukan Kepada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Zawiyah Cot Kala Langsa Sebagai Salah Satu Beban Studi
Program Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Syariah
Diajukan Oleh:
RAHMAYANI
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa
Jurusan : Syari’ah
Progam Studi : Ahwal Asy-Syakhsiyah
Nim : 521000251
Disetujui Oleh:
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu siap membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Agama Islam di muka bumi ini.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk
memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Syari’ah, Program Studi Ahwalul
Syakhsiyyah. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada :
1. Bapak Dr.H.Zulkarnaini Abdullah, MA selaku Ketua IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.
2. Ketua Jurusan Syari’ah yaitu Bapak DR. Zulfikar MA dan Ketua Prodi Ahwalul Syakhsiyyah yaitu Ibu Sitti Suryani Lc, MA.
3. Bapak Drs.H. Abdullah, AR.MA, selaku pembimbing I dan Bapak Fakhrurrazi Lc. MHI selaku pembimbing II yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasehat dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Sitti Suryani Lc. MA, selaku Penasehat Akademik penulis yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi serta nasehat bagi penulis dalam menyelesaikan studi.
5. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih tiada taranya kepada kedua orang tua yakni Ayahanda dan Ibunda yang penulis banggakan dan sangat penulis sayangi dan cintai yang telah mendidik, merawat dan membesarkan penulis, terima kasih teramat dalam atas do’a
ii
dan motivasi yang tiada hentinya mengiringi langkah kaki penulis dimanapun penulis berada.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhai dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.
Wassalam,
iv DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... iv
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan kegunaan Penelitian ... 8
D. Penjelasan Istilah... 9
E. Studi Pustaka ... 10
F. Kerangka Teori ... 13
G. Metodologi Penelitian ... 14
H. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II : LANDASAN TEORI ... 18
A. Pengertian Rujuk... 18
B. Dasar Hukum Rujuk... 27
C. Rukun Dan Syarat Rujuk... 30
D.Tata Cara Rujuk Menurut Mazhab Syafi’i... 37
E. Tata Cara Rujuk Menurut Khi ... 42
F. Hikmah Rujuk... 44
BAB III : HASIL PENELITIAN ... 47
A. Pendapat MazhabSyafi’iTentang Persetujuan Istri Dalam Rujuk 47 B. Pendapat KHI Tentang Persetujuan Istri Dalam Rujuk ... 49
C. Analisisis Pendapat MazhabSyafi’iDan KHI... 54
BAB VI : PENUTUP... 60
A.KESIMPULAN ... 60
B.SARAN-SARAN ... 61
ii
ABSTRAK
N
ama: Rahmayani, Tempat Tanggal Lahir: Julok Rayeuk 03 November 1992,Jurusan/Prodi: Syari’ah/Ahwal Asy-Syakhsiyah, Nim: 521000251, Judul Skripsi: Persetujuan Isteri Dalam Rujuk Studi Komparatif Antara Pendapat Mazhab Syafi’i dan KHI.
Rujuk adalah Mengembalikan isteri yang telah dithalaq pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi thalaq raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan.
Dalam mazhab Syafi’i tidak memerlukan persetujuan isteri, sedangkan menurut KHI memerlukan persetujuan isteri, dikarenakan rujuk tidak sah tanpa persetujuan isteri. Tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan KHI terhadap penolakan istri terhadap rujuk suami.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Menggunakan
pendekatan Kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memaknai fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Sumber data penelitian diperoleh dari data primer dan sekunder, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan mengummpulkan bahan-bahan primer maupun sekunder yang berkaitan dengan kewenangan isteri menolak rujuk suami. Teknik analisa dilakukan dengan cara memilah-milah data kemudian menemukan apa yang penting dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya perbedaan ketetapan Mazhab Syafi’i dan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin istri tidak terlepas dari dalil-dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh peralihan zaman dan keadaan. Beralihnya suatu hukum asal yang disebabkan oleh peralihan waktu atau tempat, bukan berarti hukum tersebut hilang atau tidak benar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk pertimbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan di bidang Munakahat pada khususnya. Memberikan gambaran pada instansi yang bergerak dibidang perkawinan, memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta dapat dipergunakaan sebagai bahan masukan terhadap para pihak yang mengalami dan terlibat langsung dengan pembahasan ini.
Kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah penulis dapat menyimpulkan bahwa ketetapan mazhab Syafi’i dan KHI tentang proses pelaksanaan rujuk perlu atau tidaknya izin isteri tidak terlepas dari dalil dan perkembangan hukum yang ditentukan oleh peralihan zaman dan keadaan.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ideal sebuah perkawinan dijalani tanpa adanya sebuah perceraian. Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh ketika sudah tidak ada lagi harapan perdamaian. Islam pada dasarnya menyadari bahwa menjalani hidup bersama dua manusia atau suami istri memang sulit. Terbukti dengan adanya serangkaian peraturan mengenai aturan pernikahan yang erat
kaitannya dengan eksistensi pernikahan itu sendiri.1
Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia di kejatuhan dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, dan selainnya. Nabi menganjurkan kita untuk menikah dan mencari keturunan, dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Umamah:
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membanggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari kiamat dan janganlah kalian seperti para Pendeta Nasrani”.2
Salah satu upaya mengembalikan keutuhan rumah tangga ketika kata
“thalaq” sudah dilontarkan dari mulut sang suami kepada sang istri yaitu dengan cara rujuk. Rujuk berarti meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang sebelumnya
1
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat(Jakarta: Kencana, 2003), h. 7.
2
dikhawatirkan dapat terputus karena jatuhnya thalaqraj’ioleh suami. Imam
Hanbali menambahkan bahwa rujuknya suami harus disertai dengan hubungan suami istri. Dasar hukum rujuk dapat ditemukan di dalam
Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 228 yang berbunyi:
Artinya : “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam sebuah hadis Rasulullah menceritakan bahwa ia telah menceraikan Hafsah binti Umar Ibn al-Khattab, ketika itu Rasulullah, Jibril
mendatangi saya seraya berkata, kembalilah pada hafsah… karena dia itu
istri engkau di surga. Secara umum rujuk adalah mengembalikan istri yang telah dithalaq pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Adapun yang dimaksud rujuk di sini adalah mengembalikan status hukum perkawinan
secara penuh setelah terjadi thalaq raj’i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap mantan istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Secara etimologi kata rujuk itu masdar katanya ra-ja-‘a, yang berarti:
3
sebagai penamaan untuk orang yang baru satu kali melakukan rujuk kepada
istrinya.3
Adapun pengertian rujuk secara terminologi;
a. Ulama Syafi’iyah, rujuk adalah mengembalikan seorang wanita kepada
pernikahan yang telah di thalaq selain thalaq ba’in dan masih dalam
masa iddah dengan tata cara yang telah ditentukan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tata cara rujuk tidaklah
sesederhana yang digambarkan oleh Mazhab Syafi’i. Seperti terlihat
didalam perundang-undangan yang berlaku, rujuk berikut tata caranya sebagaimana yang terdapat dalam KHI. KHI telah memuat aturan-aturan rujuk yang dapat dikatakan rinci, dalam tingkat tertentu KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun berkenaan dengan proses, KHI melangkah lebih maju dari fiqih sendiri. Proses pelaksanaan rujuk yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai dengan pasal 169.
Berkenaan dengan tata cara pelaksanaan rujuk dijelaskan pada pasal 167 yaitu:
(1) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama ke pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah yang
3
Tihami Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 15
4
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya thalaq dan surat keterangan lain yang diperlukan. (2) Rujuk yang dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan pegawai
pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah.
(3) Pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah thalaq
raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan pegawai pencatatan nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan
rujuk.4
Dari rincian pasal di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan proses rujuk harus melalui tahapan-tahapan dan ketentuan-ketentuan yang baru serta harus ditaati oleh kedua belah pihak. Proses ini merupakan hasil ijtihad para ulama yang menginginkan pembaharuan dan perbaikan serta kemaslahatan umat Islam di Indonesia.
4
5
Dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan adanya persetujuan istri dalam proses rujuk yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istri yang telah dithalaqnya. Disebutkan secara tegas bahwa seorang wanita dalam iddah
thalaq raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan PPN (pegawai pencatat nikah) disaksikan dua orang saksi, kemudian pada pasal berikutnya (165), rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Dengan demikian dalam hal rujuk terjadi perkembangan konseptual
yang signifikan dari Mazhab Syafi’i ke KHI. Yang semula meletakkan
wewenang pada suami sehingga ia bebas menentukan kapan dan dengan cara bagaimana ia rujuk, telah dibatasi dengan ada persyaratan persetujuan istri. Walaupun suaminya meminta rujuk, namun istrinya tidak berkenan,
maka rujuk tidak terjadi.5
Persoalannya adalah mengapa KHI memberikan peluang kepada istri untuk menolak kehendak rujuk suami, agaknya hal ini merupakan satu bentuk perlindungan KHI terhadap perempuan. Agaknya tidak adil hak thalak sepenuhnya diberikan kepada suami sehingga ia bebas menthalaq istrinya kapanpun ia mau selama masa iddah. Sampai di sini, terkesan seolah-olah istri tidak berdaya menghadapi dominasi suami. Istri lebih pada posisi yang ditentukan ketimbang menetukan. Dengan diberikannya hak kepada istri untuk menolak atau menyetujui kehendak rujuk. Sebenarnya
5
Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 267.
6
aturan itu mengingatkan laki-laki agar tidak sembarangan menjatuhkan thalaq kepada istrinya. Dalam konteks ini, semangat KHI yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar juga terlihat pada aturan-aturan rujuk. Paling tidak aturan ini termasuk aturan mengenai thalaq dapat menekan thalaq pada tingkat yang paling minimal.
Yang menarik dalam penelitian ini adalah perbedaan pendapat yang
ada pada Mazhab Syafi’i yaitu tidak mensyaratkan adanya persetujuan istri
dalam rujuk, namun KHI berkata lain yaitu mensyaratkan adanya persetujuan istri dalam rujuk, jika istri tidak setuju untuk dirujuk, maka rujuk itu tidak sah.
Perkembangan pemikiran fiqih juga dapat dilihat pada aturan-aturan KHI yang berkenaan dengan tata cara aturan rujuk seperti terlihat di dalam pasal-pasal KHI. Dalam tata cara rujuk begitu terang, ternyata cukup banyak aturan administratif yang harus dipenuhi bagi pasangan suami istri yang akan rujuk. Yang menarik KHI mengamanahkan kepada pegawai pencatat nikah untuk menasehati kedua mempelai agar konflik tidak terjadi lagi di dalam rumah tangga.
Dengan aturan tata cara rujuk, tegaslah rujuk yang di dalam kitab-kitab fiqih yang dipandang sebagai peristiwa yang personal yang hanya melibatkan suami dan istri, ternyata telah digeser menjadi wilayah yang sedikit terbuka. Sehingga persyaratan administratif menjadi sangat penting dan di tempatkan sebagai bukti otentik bahwa rujuk telah terjadi. Selanjutnya yang menjadi dasar KHI dalam menetapkan hal ini adalah konsep maslahah, yaitu memelihara keselamatan sang istri, yang
7
dikhawatirkan akan terjadi objek kesewenangan dari suaminya. Dasar konsep maslahah ini adalah kaedah ushul sebagai berikut:
ﺢﻟﺎﺼﻤﻟا ﺐﻠﺟ ﻦﻣ ﻰﻟوأ ﺪﺳﺎﻔﻤﻟا ءرد
“menolak kerusakan lebih utama dari pada mengambil maslahah”.6
Berangkat dari permasalahan inilah, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan membandingkan pendapat MazhabSyafi’idan
KHI. Dengan tujuan untuk menemukan rumusan yang baru mengenai
persetujuan istri dalam rujuk. Yang penulis beri judul “PERSETUJUAN
ISTRI DALAM RUJUK STUDI KOMPERATIF ANTARA PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I DAN KHI”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat Mazhab Syafi’i tentang persetujuanistri dalam
rujuk?
2. Bagaimana KHI menjelaskan pentingnya persetujuan istri dalam rujuk?
C. Tujuan dan Kegunaan
Berangkat dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang kewenangan istri dalam menolak rujuk suami.
6
8
a. Manfaat penelitian
Ini meliputi teoritis dan praktis, secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan referensi dan sumbangsih pemikiran utamanya dalam masalah rujuk. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat, baik kalangan akademis, praktisi maupun masyarakat pada umumnya mengenai tentang kewenangan istri dalam menolak rujuk suami menurut perspektif hukum Islam dan KHI.
b. Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pendapat Mazhab Syafi’i terhadap
persetujuan istri dalam rujuk.
2. Untuk mengetahui bagaimana KHI membahaskan pentingnya persetujuan istri dalam rujuk.
D. Penjelasan Istilah
Menentukan penjelasan istilah dalam sebuah penelitian akan sangat membantu dalam penulisan penelitian ini dalam mencegah pelebaran pembahasan. Dengan menulis batasan istilah pada pemulaan penulisan ini akan membantu penulis untuk tetap fokus dalam pembahasan sebagaimana yang dikehendaki. Oleh karena itu, masalah harus telah dianalisis, dibatasi, dan dirumuskan secara jelas serta sederhana demi terbentuknya tulisan yang baik.
9
1. Persetujuan
Pernyataan setuju atau pernyataan menyetujui pembenaran
pengesahan, perkenan dengan ajakan rujuk yang dari suami.7
2. Istri
Istri adalah pendamping hidup suami, yang mana istri diperoleh dengan cara pernikahan. Seorang wanita yang dinikahi oleh
seorang laki-laki maka disebut istri.8
3. Rujuk
Mengembalikan istri yang telah dithalaq pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi
thalaq raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya
dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.9
4. MazhabSyafi’i
Mazhab Syafi’i adalah salah satu Mazhab yang di anut oleh
umat Islam.10
5. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal,
7Sudarsono, Kamus Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 148.
8Ibid, h. 178.
9
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 203
10
terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.
E. Studi Pustaka
Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini, akan dicantumkan beberapa penelitian yang satu tema terlebih dahulu. Dalam bentuk skripsi, Pada tahun 2011, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Suwandi, M.H.. Dosen UIN Maliki Malang yang berjudul
“Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan
Imam Mazhab”. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa rujuk terjadi
melalui percampuran (Hubungan biologis), ketika hubungan tersebut sudah dilakukan, secara sah istri dirujuk kembali walaupun tanpa niat. Dan menurut penelitian tersebut, konsep rujuk yang paling relevan di Indonesia
adalah konsep mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa rujuk harus dengan
ucapan yang jelas dan tidak sah jika hanya dengan perbuatan. Dan juga
diwajibkan baginya untuk mendatangkan dua saksi.11
11
Muhammad Suwandi, Penelitian tentang Relevansi Konsep Rujuk Antara
11
Dalam buku Buku Aspek-aspek Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan di Indonesia Karya Rachmadi Usman, dalam tulisan ini ia menjelaskan tentang batasan usia perkawinan yaitu dalam persyaratan perkawinan. Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang melekat pada diri
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat-syarat
subjektif”. Persyaratan materil berkenaan dengan calon mempelai yang
hendak menikah, meliputi persyaratan orangnya yang berlaku umum bagi semua perkawinan, yaitu adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita.12
Dalam buku Dalam buku Hukum Perdata Islam di Indonesia, karangan Zainuddin. Di dalam buku ini terdapat kesamaan dalam pembahasan masalah usia perkawinan menurut fikih dan undang-undang perkawinan hanya mengacu pada undang-undang saja yang dipertegas. Namun, dalam tulisan ini tidak ada pemisahan tentang pembahasan
mengenai persetujuan istri dalam rujuk.13
Buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karangan Amir Syarifuddin, beliau menjelaskan pembahasan mengenai rujuk menurut agama Islam, juga menjelaskan tentang persetujuan rujuk menurut Islam,
12
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 273 13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 12
12
begitu juga persetujuan istri dalam rujuk menurut KHI juga dijelaskan di
dalam buku tersebut.14
Dalam penulisan proposal ini, penulis berpedoman kepada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Jurusan Syari’ah.15
Yang membedakan penelitian ini dengan peneitian lainnya adalah dalam penelitian ini membahas tentang dua pendapat hukum yang berbeda
yaitu pendapat hukum Islam dalam mazhab syafi’i dan pendapat undang
-undang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam penelitian lainnya, lebih cenderung membahas pendapat undang-undangnya saja yang dipertegas.
F. Kerangka Teori
Rujuk menurut bahasa artinya kembali. Adapun menurut syariat Islam ialah kembalinya mantan suami kepada mantan isterinya yang telah di
thalaqnya dengan thalaq raj’i untuk kumpul kembali pada masa iddah tanpa
mengadakan akad nikah yang baru. Hukum asal dari pada Rujuk adalah mubah (boleh). Hal ini di dasarkan pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 228:
“Dan suami-suaminya yang berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu mengehendaki Islah. Dan
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…h. 337.
15
13 Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami. Rujuk boleh
diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya: “menyetubuhinya,seperti menciumnya dan sentuhan-sentuhan birahi.
Berbeda dengan fiqih klasik, KHI sepertinya telah memuat aturan-aturan yang dapat dikatakan rinci. Dalam tingkat tertentu, KHI hanya mengulang dari penjelasan fiqih. Namun berkenaan dengan proses, KHI melangkah lebih maju dari fikih sendiri.
Di dalam pasal 163 dijelaskan:
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. 2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena thalaq, kecuali thalaq yang telah jatuh
tiga kali atau thalaq yang dijatuhkan qabla al dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan dengan alasan
atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.16
Yang menjadi pertanyaan peneliti adalah hukum Islam yang mana yang menjadi dasar dalam menyimpulkan hal tersebut. Hal ini menjadi menarik bagi peneliti untuk menjawab pertanyaan di atas. Oleh karena itu,
16
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung:
14
untuk memecahkan permasalahan tersebut, penulis menggunakan teori kemaslahatan. Yaitu konsep maslahah, yaitu memelihara keselamatan sang istri, yang dikhawatirkan akan terjadi objek kesewenangan dari suaminya. Dasar konsep maslahah ini adalah kaidah ushul fiqih sebagai berikut:
ﺢﻟﺎﺼﻤﻟا ﺐﻠﺟ ﻦﻣ ﻰﻟوأ ﺪﺳﺎﻔﻤﻟا ءرد
‘menolak kerusakan lebih utama dari pada mengambil maslahah’17
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk menjawab persoalan seperti yang telah diuraikan pada rumusan masalah, maka dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis bukan berupa angka. Maka dari sini penelitian ini tergolong kepada penelitian kualitatif. Dan dengan menggunakan pola pikir komperatif yang maksudnya adalah analisis yang membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat
lainnya, yaitu pendapat Mazhab syafi’i dan pendapat Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Dengan demikian, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini tergolong pada penelitian perpustakaan (library
research).18
2. Pendekatan Penelitian
Sebagai perangkat Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan komperatif yang datanya berupa teori,
17
Satria Effendi, Ushul Fiqh…h. 149
18
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) h. 95
15
konsep, dan ide. Pendekatan komperatif, bertujuan mengungkapkan
atau mendeskripsikan data atau teori yang telah diperoleh.19
3. Sumber Data
a. Data primer dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku berhubungan dengan permasalahan rujuk seperti buku-buku
Al-Umm, buku terjemahan Kitab Al-Al-Umm, Mughni Muhtaj, Fiqh Islamy Wa Adilatuhu, Bidayatul Mujtahid. Dan juga buku-buku
lain serta atikel dan jurnal yang berkaitan dengan hal tersebut. b. Data sekunder adalah berupa informasi-informasi yang berkaitan
dengan pembahasan di atas baik berupa ensiklopedi dan lain-lain. 4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah secara normatif (studi kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan berbagai bahan hukum primer maupun sekunder yang berkaitan dengan kewenangan penolakan rujuk oleh
istri terhadap suami.20
5. Teknik analisa data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, pengorganisasian data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 36
20
16
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini disusun sebuah sistematika penulisan, agar dengan mudah diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh.
Dalam bab pertama menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, penjelasan istilah, studi pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori. Dalam bab ini peneliti akan mengawali dengan penelitian terdahulu dan juga secara teoritis hal-hal yang menjadi objek penelitian seperti pengertian rujuk dalam pandangan Mazhab
Syafi’i , pengertian rujuk dalam pandangan KHI, tata cara rujuk dan juga hikmah rujuk.
Bab ketiga menjelaskan tentang hasil penelitian, yaitu pendapat
Mazhab Syafi’i tentang persetujuan istri dalam rujuk dan pendapat KHI
tentang persetujuan istri dalam rujukserta analisis Mazhab Syafi’i dan KHI.
Bab keempat merupakan penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran.