• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai dengan lima tahun. Pada anak dalam usia tiga sampai dengan lima tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai dengan lima tahun. Pada anak dalam usia tiga sampai dengan lima tahun"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1 Anak Usia Pra Sekolah

2.1.1 Pengertian Anak Usia Pra Sekolah

Anak usia pra sekolah merupakan usia perkembangan anak dari usia tiga tahun sampai dengan lima tahun. Pada anak dalam usia tiga sampai dengan lima tahun terjadi perubahan yang signifikan terhadap perkembangan biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosialnya (Hockenberry & Wilson, 2009). Penjelasan yang sedikit berbeda diungkapkan oleh Habibi (2015) berdasarkan pertumbuhan dan perkembangannya anak usia dini dibagi menjadi beberaapa kelompok yaitu usia bayi lahir sampai dengan 12 bulan, usia toddler (balita) pada usia satu sampai tiga tahun, usia pra sekola dalam rentang tiga sampai enam tahun , dan masa awal sekolah dalam usia enam sampai delapan tahun. Behrman, Kliegman, & Arvin (1996) menjelaskan hal yang sama yaitu anak usia pra sekolah berada dalam rentang usia tiga sampai dengan enam tahun.

2.1.2 Tahap Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah

Tahapan tumbuh kembang manusia yang paling memerlukan perhatian dan menentukan kualitas seseorang di masa mendatang adalah pada masa anak (Ridha, 2014). Berikut merupakan perkembangan anak pada usia pra sekolah yaitu:

(2)

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik anak usia pra sekolah dimulai dari tiga tahun, empat tahun dan lima tahun. Pertumbuhan tinggi badan dengan rata-rata 6,75 cm sampai 7,5 cm per tahun dan umumnya terjadi pada perpanjangnan tungkai kaki. Pada usia tiga tahun adalah 95 cm, pada usia empat tahun 103 cm, dan pada usia lima tahun adalah 110 cm (Wong, 2008). Pertambahan berat badan rata-rata per tahun adalah 2,225 kg dan pertambahan panjang badan anak rata-rata 5-7,5 cm setiap tahun (James & Ashwill, 2007).

b. Perkembangan Psikologis

Pada masa usia pra sekolah rasa ingin tahu (corious) dan daya imaginasi anak berkembang, sehingga anak banyak bertanya tentang segala hal di sekelilingnya yang tidak diketahuinya. Anak belum mampu membedakan hal yang abstrak dan konkret sehingga orang tua sering menganggap anak berdusta padahal anak tidak bermaksud demikian. Anak juga akan mengidentifikasi figur atau perilaku orang tua sehingga mempunyai kecendrungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa (Ridha, 2014).

c. Perkembangan Kognitif

Anak pada usia pra sekola berada dalam masa peralihan antara fase preconceptual dan fase intuitive thought. Saat anak berada pada fase preconceptual anak akan lebih menggunakan satu istilah untuk beberapa hal yang memiliki kemiripan atau memiliki ciri-ciri yang sama, misalnya menyebut nenek atau kakek kepada orang yang sudah tua, sudah bongkok, keriput, dan memakai tongkat, sedangkan anak yang berada pada fase

(3)

intuitive thought, mereka sudah bisa memberikan alasan terhadap tindakan yang mereka lakukan. Anak usia pra sekolah memiliki asumsi bahwa setiap orang memiliki pemikiran yang sama seperti mereka, sehingga perlu menggali pemikiran mereka dengan pendekatan non verbal. (Supartini, 2002)

d. Perkembangan Spiritual

Pemahaman anak usia pra sekolah mengenai spiritualitas dipengaruhi oleh tingkat kognitif, pengetahuan tentang keyakinan, dan agama yang dipelajari dari keyakinan orang tuanya. Berdasarkan perkembangan rasa bersalah anak sering mempunyai persepsi yang kurang tepat mengenai suatu penyakit dianggap sebagai hukuman. Pengalaman keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan dapat membantu koping anak dalam menghadapi penyakit dan hospitalisasi (Hockenberry & Wilson, 2009).

e. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial anak pada usia pra sekolah yaitu anak akan makin ingin untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang disukainya. Pada masa ini anak akan dihadapkan dengan tuntutan sosial yang baru. (Gunarsa, 2008). Anak usia pra sekolah sudah mampu mengatasi banyak kecemasan yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Anak usia pra sekolah dapat berhubungan dengan orang-orang yang tidak dikenal dengan mudah dan mentoleransi perpisahan singkat dari orang tuanya dengan sedikit atau tanpa protes. Namun anak usia pra sekolah masih membutuhkan

(4)

perlindungan dari orang tua, bimbingan, dan persetujuan ketika memasuki masa pra sekolah. (Wong, 2008).

2.2 Sikap Kooperatif Anak Usia Pra Sekolah 2.2.1 Pengertian Sikap Kooperatif

Sikap kooperatif adalah tingkat individu dalam melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat individu yang bersikap kooperatif ditunjukkan dengan sikap empati, toleransi, penuh kasih sayang, saling mendukung, serta mempunyai prinsip yang kuat (Videbeck, 2008)

2.2.2 Klasifikasi Tingkat Kooperatif Menurut Wright

Menurut Wright (1975) dalam dalam Muthu dan Sivakhumar (2009) tingkat kooperatif anak dibagi menjadi 3 skala yaitu:

a. Kooperatif, meliputi:

1. Anak menunjukkan sedikit takut dan cukup relaks.

2. Mempunyai hubungan yang baik dengan perawat dan tim kesehatan lainnya.

3. Anak tertarik dengan prosedur tindakan dan santai dengan situasi yang ada.

b. Anak Kurang Mampu Bersikap Kooperatif, meliputi:

1. Anak yang masih terlalu muda usianya (kurang dari tiga tahun) dan emosinya belum matang.

(5)

3. Keparahan kondisi anak tidak memungkinkan bersikap kooperatif seperti anak normal dengan usia yang sama.

c. Anak Mempunyai Sikap Potensi kooperatif

Anak ini berbeda dengan anak yang kurang mampu bersikap kooperatif karena mereka mempunyai kemampuan untuk bekerja sama. Hal ini dapat terjadi bila adanya pendekatan serta komuikasi yang baik, sehingga anak yang mula-mula tidak kooperatif dapat berubah tingkah lakunya menjadi kooperatif dan dapat dirawat. Penampilan anak yang mempunyai sikap potensi kooperatif yaitu:

1. Tingkat laku atau sikap yang tidak terkontrol (uncontrolled behaviour), meliputi: tingkah laku pada tipe ini dapat ditemukan pada usia pra sekolah (tiga sampai enam tahun), anak menangis, menendang, dan memukul.

2. Tingkah laku atau sikap melawan (defiant behavior), meliputi: anak tetap menolak perawatan, bersikap protes, anak keras kepala dan manja, gagal berkomunikasi.

3. Tingkah laku atau sikap pemalu (timid behavior). Sikap pemalu merupakan gabungan antara uncontrolled behaviour dan defisiant behavior tetapi ketika menggabungkannya tidak benar maka akan kembali kepada sikap yang tidak benar maka akan kembali kepada sikap yang tidak terkontrol. Sikap timid behavior terdiri dari:

(6)

b) Over protektif terhadap lingkungan.

c) Mengisolasi diri tanpa kontak dengan orang asing. d) Kagum terhadap orang asing terhadap situasi yang aneh.

d. Tingkah laku atau sikap tegang (Tense Cooperative Behavior), meliputi: 1. Anak menerima dan kooperatif terhadap perawatan.

2. Ketegangan biasanya ditunjukkan dengan bahasa tubuh.

3. Mata pasien mengikuti gerakan mata perawat atau tim kesehatan lain. 4. ketika berbicara suaranya bergetar.

5. Telapak tangan dan alis mata berkeringat.

e. Sikap merengek (Whining Behavior), meliputi:

1. Anak merengek tetapi mau melakukan prosedur tindakan dengan bujukan.

2. Anak sering mengeluh sakit.

3. Merengek merupakan mekanisme kompensasi untuk mengontrol rasa sakit.

4. Menangis dapat terkontrol, konstan, tidak keras, biasanya hanya air mata.

2.2.3 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Sikap Kooperatif Anak.

Sikap kooperatif dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam maupun faktor luar yang dapat mempengaruhi sikap kooperatif anak, berikut faktor-faktor yang dapat bepengaruh.

(7)

a. Usia

Anak usia pra sekolah mempersepsikan hospitalisasi sebagai suatu hukuman sehingga anak akan merasa malu, merasa bersalah, dan takut. Tindakan dan prosedur invasif yang diperoleh di rumah sakit dianggap mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif seperti marah, berontak, tidak mau bekerjasama dengan perawat, dan ketergantungan dengan orang tua (Supartini, 2004). Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2009) menunjukkan peningkatan sikap kooperatif yang paling tinggi pada anak usia tiga sampai lima tahun.

b. Jenis Kelamin

Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2009) menunjukkan jenis kelamin anak perempuan usia pra sekolah lebih mengalami peningkatan sikap kooperatif dibandingkan anak laki-laki usia pra sekolah.

c. Pengalaman Dirawat di Rumah Sakit

Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan selama dirawat di rumah sakit sebelumnya, maka akan menyebabkan anak menjadi takut dan trauma sehingga anak tidak kooperatif dengan perawat dan tenaga kesehatan (Supartini, 2004).

2.2.4 Skala Pengukuran Tingkat Kooperatif

Pengkategorian sikap kooperatif diukur dengan menggunakan nilai tengah (median) sebagai nilai cut off point. Median dari sikap kooperatif diperoleh setelah pengambilan data dilakukan. Titik potong (cut off point) adalah nilai batas

(8)

antara nilai normal dan abnormal, atau pada penelitian ini untuk menentukan batasan nilai yang termasuk kooperatif dan tidak kooperatif. ( Ariawan, 2011).

2.3 Hospitalisasi pada Anak Usia Pra Sekolah 2.3.1 Pengertian Hospitalisasi pada Anak

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan seperti ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor utama dalam hospitaliasi adalah pemisahan dan kehilangan kendali dari nyeri (Marylin, 2007).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian, dirawat di rumah sakit merupakan masalah yang besar sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas bagi anak (Supartini, 2004). Reaksi anak terhadap penyakit adalah ketakutan akibat kurangnya pengetahuan dari anak, cemas karena pemisahan, takut akan rasa sakit, kurang kontrol, marah, dan regresi (James & Ashwill, 2007).

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis yang paling utama tampak pada anak. Anak yang dirawat di rumah sakit sering mengalami krisis sebab anak mengalami perubahan baik pada status kesehatan maupun lingkungannya, dari kebiasaan sehari-hari, dan anak juga mempunyai sejumlah kterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah atau kejadian yang bersifat menekan. Peran perawat dalam memahami konsep stres rawat inap (hospitalisasi) dan

(9)

prinsip-prinsip asuhan keperawatan yaitu dengan cara melakukan pendekatan proses keperawatan (Ridha, 2014).

2.3.2 Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

Reaksi anak terhadap hospitalisasi tergantung pada usia, perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap penyakit, sistem pendukung yang tersedia dan mekanisme koping yang dimiliki (Salmela et al., 2010). Adapun beberapa penyebab stresor pada anak yang mengalami hospitalisasi:

a. Cemas yang Disebabkan Perpisahan

Sebagian besar stres yang terjadi pada bayi usia pertengahan sampai anak periode pra sekolah adalah cemas karena perpisahan (Narusalam, Susilaningrum, & Utami, 2005). Hubungan anak dengan ibu sangat dekat sehingga perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan terhadap orang yang terdekat bagi diri anak. Selain itu, lingkungan yang belum dikenal akan mengakibatkan perasaan tidak aman dan rasa cemas.

b. Kehilangan Kontrol

Anak-anak berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya. Hal ini terlihat jelas dalam perilaku mereka dalam hal perilaku motorik, bermain, melakukan hubungan interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari (activity daily living/ADL), dan berkomunikasi. Anak-anak telah mampu menunjukkan kestabilan dalam mengontrol dirinya dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan rutin tersebut.

(10)

c. Luka pada Tubuh dan Rasa Sakit (Rasa Nyeri)

Konsep tentang citra tubuh, khususnya pengertian body boundaries (perlindungan tubuh), pada anak-anak sedikit sekali berkembang. Berdasarkan hasil pengamatan bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut, atau suhu pada rektal akan membuat anak sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama dengan reaksi anak pada tindakan yang menyakitkan. Anak biasanya sudah mampu mengomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri. Namun demikian, kemampuan mereka dalam menggambarkan bentuk dan intensitas nyeri belum berkembang.

2.3.3 Dampak Hospitalisasi pada Anak

Stres akibat hospitalisasi pada anak dapat terjadi pada saat sebelum masuk rumah sakit, selama hospitalisasi, dan setelah pulang dari rumah sakit. Adapun perilaku anak setelah pulang dari rumah sakit yaitun menuntut perhatian orang tua yang lebih, sangat menentang perpisahan, terbangun di malam hari, menarik diri, pemalu, rewel terhadap makanan, dan temper tantrum (Supartini, 2004).

2.3.4 Meminimalkan dampak hospitalisasi

Menurut Supartini (2002) Untuk meminimalkan dampak hospitalisasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Mempersiapkan psikologis anak dan juga orang tua terhadap prosedur atau tindakan yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan cara menjelaskan tujuan dari tindakan dengan cara yang baik

(11)

b. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan, misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton dengan cerita yang berkaitan dengan prosedur yang akan dilakukan pada anak.

c. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.

d. Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang dianggap menyakitkan.

2.4 Atraumatic Care

2.4.1 Pengertian Atraumatic Care

Wong (2009), menyebutkan bahwa atraumatic care berhubungan dengan siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana dari setiap prosedur tindakan yang ditujukan pada anak bertujuan untuk mencegah atau mengurangi stres psikologi dan fisik. Menurut Supartini (2004), atraumatic care merupakan bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak melalui penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami anak maupun orang tua.

Perawatan terapeutik dapat dilakukan melalui tindakan pencegahan, penetapan diagnostik, pengobatan dan perawatan baik pada kasus akut maupun kronis dengan intervensi mencakup pendekatan psikologis (Supartini, 2004). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan atraumatic care adalah suatu tindakan perawatan terapeutik yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan intervensi melalui

(12)

cara mengeliminasi atau meminimalisasi stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan.

2.4.2 Prinsip Atraumatic Care

Asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care menjadi tujuan utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Maka dari itu upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit, fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stresor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Supartini, 2004). Menurut Hidayat (2005), ada beberapa prinsip perawatan Atraumatic care yang harus dimiliki oleh perawat anak, yaitu:

a. Menurunkan atau Mencegah Dampak Perpisahan dari Keluarga.

Dampak perpisahan dari keluarga dapat menyebabkan anak akan mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, ketakutan, dan kurangnya kasih sayang, gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua dapat memberikan asuhan keperawatan yang efektif selama anaknya berada di rumah sakit. Telah terbukti dalam beberapa penelitian bahwa anak akan merasa nyaman apabila berada disamping orang tuanya (Supartini, 2004).

Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan melibatkan orang tua yang berperan aktif dalam perawatan anak

(13)

dengan cara membolehkan meraka untuk tinggal bersama anaknya selama 24 jam (rooming in). Jika tidak memungkinkan untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar orang tua dan anak (Supartini, 2004).

b. Meningkatkan Kemampuan Orang Tua Dalam Mengontrol Perawatan Anak.

Perasaan kehilangan kontrol dapat dicegah dengan menghindari pembatasan fisik jika anak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan beraktifitas lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari. Fokus intervensi keperawatan adalah pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan keperawatan (Supartini, 2004).

Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu dalam menjalani kehidupanya. Anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan selalu bersikap waspada dalam segala hal. Pendidikan terhadap kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak juga perlu diberikan (Hidayat, 2005).

(14)

c. Mencegah atau Mengurangi Cedera (Injury) dan Nyeri (Dampak Psikologis).

Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak dapat dihilangkan namun dapat dikurangi melalui tenik farmakologi (seperti prinsip pengguanaan obat enam benar) dan teknik nonfarmakologi (seperti mempersiapkan psikologi anak dan orang tua) (Wong, 2009). Mempersiapkan psikologi anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua (Supartini, 2004).

Pertimbangan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, apabila meraka tidak dapat menahan diri dan menangis, tawarkan pada orang tua dan anak untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri juga dapat dilakukan dengan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya dengan bercerita, menggambar, menonton video dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak. Perawat diharapkan menunjukan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan (Supartini, 2004).

d. Tidak Melakukan Kekerasan pada Anak

Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila itu terjadi pada saat anak dalam

(15)

proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak (Hidayat, 2005).

e. Modifikasi Lingkungan Fisik.

Stresor fisik dan psikis meliputi prosedur yang menyakitkan seperti suntikan, kegelisahan, ketidakberdayaan, tidur yang tidak nyaman, pengekangan, suara bising, bau tidak sedap dan lingkungan kotor. Stresor ini akan mengakibatkan ketidaknyamanan baik yang dirasakan anak ataupun orang tua (Wong, 2009). Oleh karena itu sangat penting dilakukannya modifikasi lingkungan untuk menjaga kenyamanan pengguna fasilitas di rumah sakit.

Modifikasi lingkungan fisik dilakukan melalui modifikasi ruang perawatan yang bernuansa anak sehingga anak merasa nyaman di lingkunganya (Hidayat, 2005). Modifikasi ruang perawatan anak dapat dilakukan dengan cara membuat situasi ruang anak seperti di rumah, diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan anak yang bernuansa anak, seperti menempelkan gambar tokoh kartun, dinding ruangan berwarna cerah, dan terdapat hiasan mainan anak (Supartini, 2004).

2.5 Bandage

Menuruit joseph A. Grafft & Katherine K. Grafft (2012) Bandages merupakan alat penyangga yang pada umumnya terbuat dari bahan kain yang digunakan untuk menahan posisi otot, memberikan tekanan untuk mengontrol perdarahan,

(16)

dan melindungi luka dari cedera lebih lanjut. Bandages bisa digunakan hampir di seluruh bagian tubuh.

2.5.1 Jenis-jenis Bandages

a. Roller bandage

Terbuat dari kain katun yang digulung seperti tabung untuk memudahkan penggunaannya dan biasanya terbuat dari kain kasa. Roll bandage didesain untuk membalut beberapa kali bagian untuk menahan posisi dan memberikan tekanan pada luka. Roll bandages tersedia dalam beberapa ukuran, memiliki lebar dari 2-6 inci dan memiliki panjang beberapa meter.

b. Elastic Bandage

Elastic bandages penggunaannya aman dan tidak mudah lepas dari balutan. Apabila penggunaan elastic bandage untuk mengamankan perdarahan, penggunaannya tidak dianjurkan untuk meregangkan elastic bandages secara penuh. Meregangkan elastic bandage secara penuh benar-benar dapat menghambat aliran darah yang nantinya akan menyebabkan pembengkakan. Regangkan elastic bandage hanya setengah ketika menggunakannya untuk mengamankan perdarahan. (A. Grafft & Katherine K. Grafft, 2012)

Pada pemasangan infus pada anak, elastic bandage akan digunakan sebagai pembidai sehingga ketika dilakukan mobilisasi baik oleh anak atau orang lain posisi insersi tidak bergeser ataupun tercabut. Selain itu elastic bandage juga dapat menurunkan resiko iritasi kulit yang terpasang infus

(17)

karena elastic bandage difungsikan sebagai bantalan antara kulit dan infus set, sehingga selang infus tidak menekan langsung pada kulit yang pada anak tentunya memiliki kerentanan terhadap benda asing. Dengan alasan tersebut di atas, elastic bandage memiliki kemampuan membantu dalam mempertahankan ketahanan/patensi pemasangan infus pada anak-anak (Widayati et al., 2013).

c. Military compresses

Terbuat dari bahan katun dan tersedia dalam bentuk paket. Millitary compresses ini telah terpasang “tails” untuk mengamankan luka perdarahan, dan dapat membalut sekitar luka perdarahan secara bersamaan.

d. Triangular bandages

Kain berbentuk segitiga ini digunakan untuk membalut bagian tubuh yang memiliki ukuran lebih besar. Triangular bandages bisa dilipat dengan ukuran lebar sekitar dua inci yang disebut cravat dan bisa digunakan untuk mengamankan lengan. Cravat bisa digunakan di beberapa keadaan, seperti mengikat traksi pada fraktur ekstremitas untuk mempertahankan posisi dan imobilisasi.

e. Torniquets

Penggunaan torniquets dilakukan dengan cara melakukan penekanan secara langsung yang bertujuan menghentikan perdarahan yang tidak

(18)

terkontrol, Torniquets sangat efektif untuk menghentikan perdarahan yang tidak terkontrol sampai dengan enam jam lamanya.

f. Improvisation bandage

Improvisation bandage bisa dibuat menggunakan baju yang digunting memanjang. Bandage tidak perlu steril karena bandage tidak menyentuh luka secara langsung, tetapi bandage harus diusahakan dalam keadaan bersih.

2.5.2 Jenis-jenis Pembalutan

Menurut A. Grafft & Katherine K. Grafft (2012) ada beberapa jenis pembalutan yang digunakan pada saat tindakan emergensi yaitu:

a. Recurrent Bandage

Digunakan untuk membalut bagian tubuh yang terlalu besar seperti kepala.

Gambar.2.3 Pembalutan di kepala menggunakan Recurrent Bandage

b. Spiral Bandage

Bandage yang digunakan adalah roll bandage atau elastic bandage dan bisa digunakan untuk membalut seluruh ekstremitas. Pembalutan dimulai dari bagian tersempit ekstremitas.

(19)

Gambar.2.4 Pembalutan di betis menggunakan Spiral Bandage

c. Figure-of-Eight Bandage

Bandage yang digunakan yaitu elastic bandage atau bisa juga dengan menggunakan roll bandage. Biasanya digunakan untuk membalut daerah sendi dan telapak tangan atau untuk mengamankan objek tertusuk di tempat. Jenis pembalutan Figure-of-Eight Bandage yang akan digunakan pada penelitian ini.

Gambar.2.5 Pembalutan di betis menggunakan Spiral Bandage

2.6 Stiker

Stiker adalah bahan yang dapat menempel sendiri atau dengan kata lain dia memiliki bahan perekat sehingga dapat ditempelkan di benda Stiker pada umumnya dibuat dari vinyl atau kertas. Bahan sticker pada umumnya terdiri dari dua lapis yaitu lapisan atas sebagai media untuk gambar dan lapisan bawah

(20)

sebagai pelindung bahan perekatnya. Lapisan bawah ini harus kita kupas ketika kita akan menempelkan sticker ke media yang kita inginkan. Bahan sticker secara visual dibedakan menjadi dua yaitu sticker bening (transparant) dan tidak transparant (Gugun, Ridwan, Enjang, 2012). Pada penelitian ini digunakan stiker yang terbuat dari bahan plastik yang memiliki perekatan kuat sehingga bisa menempel pada elastic bandage yang digunakan untuk penelitian.

2.7 Elastic Bandage Bermotif (Stiker)

Elastic bandage bermotif (stiker) adalah alat pembidai yang dimodifikasi dengan cara menempelkan stiker yang terbuat dari bahan plastik dengan motif-motif binatang kartun dengan warna yang cerah yang disukai oleh anak-anak dengan , stiker yang dipilih adalah stiker yang memiliki perekatan yang kuat sehingga dapat menempel secara kuat pada elastic bandage dan apabila dilakukan mobilisasi oleh anak stiker tidak akan terlepas dari rekatan.

2.8 Pengaruh Penggunaan Elastic Bandage Bermotif (stiker) terhadap Tingkat Kooperatif

Hospitalisasi seringkali menimbulkan kecemasan terhadap semua tingkat usia perkembangan anak. Adapun yang mempengaruhi kecemasan diantaranya adalah faktor tenaga kesehatan seperti perawat dan dokter, lingkungan yang baru, maupun keluarga yang mendampingi anak selama sakit (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2005). Kecemasan merupakan kesadaran kognitif terhadap adanya ancaman, yang dapat memacu respon fisiologis dan psikologis pada anak,

(21)

sehingga anak menjadi sejahtera (Freeman, Gracia & Leonard, 2002). Menurut Collip’s (1969), dalam Stubel (2008) peningkatan denyut nadi merupakan respon fisiologis kecemasan terhadap prosedur yang menggunakan jarum suntik pada anak yang menjalani hospitalisasi yang membuat anak merasa tidak nyaman selama menjalani hospitalisasi.

Perawat merupakan bagian dari pemberi pelayanan kesehatan dan dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang bertujuan untuk meminimalkan dampak hospitalisasi sebagai pemenuhan aspek psikologis anak (Supartini, 2004). Pendekatan psikologis yang dapat dilakukan yaitu dengan prinsip Atraumatic care yang terdiri dari menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga, meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak, mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri, tidak melakukan kekerasan pada anak, dan modifikasi lingkungan fisik. Penerapan atraumatic care dapat memberikan rasa nyaman yang lebih pada pasien yang menjalani hospitalisasi (Hidayat, 2005).

Berdasarkan teori comfort dari Kolcaba (2003), peningkatan kenyamanan dapat memperkuat penerimaan anak dan keluarga untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai kesehatan. Dalam konsep teori Comfort memaparkan bagaimana seorang pasien mendapatkan tingkat kenyamanan dari segi fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial. Terdapat tiga tipe comfort, yaitu relief yaitu kondisi pasien yang membutuhkan penanganan yang spesifik dan segera, ease merupakan kondisi yang tentram atau kepuasan hati dan transcendence merupakan kondisi dimana individu masalahnya sendiri.

(22)

Gambar.2.6 Konsep Kerangka Kerja Teori Comfort

Skema diatas menjelaskan kerangka kerja dari teori Kolcaba yang digunakan dalam penelitian. Dalam kerangka kerjanya tersebut Kolcaba menguraikan tentang teori kenyamanan sebagai berikut:

a. Adanya kebutuhan perawatan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan yang spesifik yang timbul dalam suatu situasi perawatan kesehatan.

b. Kebutuhan kenyamanan tersebut membutuhkan intervensi keperawatan yang membutuhkan komitmen dalam perawatan kenyamanan pasien. c. Dalam pemberian intervensi kenyamanan akan dipengaruhi oleh variabel

intervensi seperti level dari staf keperawatan, insentif yang diterima oleh perawat, dan patient acuity

d. Tujuan dari pemberian intervensi adalah akan didapatkan kenyamanan pasien.

e. Kenyamanan pasien akan menentukan perilaku pasien dalam mencari kesehatan (health seeking behaviors of patient), yang ditunjukkan dengan perilaku internal, eksternal ataupun kematian dengan damai.Health seeking behaviors of patient melibatkan institusi yang

(23)

terintegrasi yang memiliki sistem nilai positif, tujuan yang jelas terkait dengan kenyamanan resipien, perbaikan kesehatan, dan kelangsungan finansial.

f. Hasil akhir yang diharapkan dalam kerangka kerja penelitian ini adalah adanya kepuasan dari resipien yang dilihat dari status fungsional resipien atau Health seeking behaviors of patient (HSBs) yang lain, dan berdasarkan hasil survey dari perawatan kenyamanan.

Intervensi pada penelitian ini berupa penggunaan elastic bandage bermotif (stiker) sebagai alat fiksasi daerah pemasangan infus yang akan mengurangi penampilan menyeramkan akibat fiksasi menggunakan kasa gulung. Elastic bandage bermotif (stiker) dengan perpaduan warna yang disukai oleh anak dapat mengurangi kecemasan dan rasa takut anak saat menjalani hospitalisasi, apabila kecemasan dan rasa takut anak dapat teratasi akan terjadi peningkatan rasa nyaman sehingga anak bisa lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan diberikan di rumah sakit khususnya pada tindakan injeksi IV perset.

Referensi

Dokumen terkait

Anak-anak dengan autisme dan ADHD banyak yang memiliki kesamaan dalam gangguan perencanaan motorik, sehingga banyak yang mengikuti terapi sensori-motorik atau fisiologi..

Kebiasaan bertafakur serta pengalaman-pengalaman yang dilaluinya melalui jalur alamiah; menjadi yatim, mengembala kambing, tinggal dalam lingkungan bani Saad, safar dan berdagang

perkembangan obat tradisional pada saat ini, dengan adanya pemicu persaingan yang semakin ketat pada industri-industri jamu, terdapat industri yang menggunakan cara

Bahwa pada 6 Januari 2010 PARA PENGGUGAT telah memberikan masukan kepada TERGUGAT melalui surat terbuka yang ditujukan langsung kepada TERGUGAT, dengan nomor

Walau bagaimanapun, masih terdapat di kalangan guru-guru yang tidak bersedia terhadap penggunaan BBM dalam P&P mereka di sekolah dari aspek amalan, kemahiran dan sikap

Sore hari sepulangnya menyabit rumput, ia segera menemui penggembala kerbau untuk mengambil alu yang dititipkannya.. Ternyata, alunya patah

Pada saat pengakuan awal, Perusahaan mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam kategori berikut: aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi

Hasil penelitian ini tidak mendukung teori agensi yang menyatakan bahwa perusahaan dengan proporsi hutang yang lebih banyak dalam struktur permodalannya atau tingkat