• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TAHAP-TAHAP MENJELANG KEMATIAN MENURUT ELISABETH KÜBLER-ROSS SEBAGAI KERANGKA TEORI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TAHAP-TAHAP MENJELANG KEMATIAN MENURUT ELISABETH KÜBLER-ROSS SEBAGAI KERANGKA TEORI PENELITIAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TAHAP-TAHAP MENJELANG KEMATIAN MENURUT ELISABETH KÜBLER-ROSS SEBAGAI KERANGKA TEORI PENELITIAN

Menurut pemahaman penulis pada saat menjelang kematian, seseorang akan memikirkan, menghayati, merasakan banyak hal, dan menunjukkan perilaku tertentu. Totok S.Wiryasaputra menyebut keadaan menjelang kematian ini sebagai

terminal illness.1 Seseorang yang berada dalam keadaan terminal illness ini sedang mengalami proses dying atau sakratul maut yang berarti mendekat kepada kematian.2 Pada bab yang kedua ini, penulis akan memaparkan beberapa pendapat mengenai proses menjelang kematian, dan alasan menggunakan teori menjelang kematian Elisabeth Kübler-Ross sebagai kerangka teori penelitian. A. Proses menjelang kematian menurut budaya Jawa

Menurut pengamatan penulis, setiap kebudayaan memiliki pemahaman sendiri menyangkut kematian dan pengalaman menjelang kematian. Budaya Jawa menyebut kematian sebagai oncating sukma saka raga.3 Hidup dipahami sebagai gadhuhan (pinjaman), maka harus kembali

      

1

Totok S.Wiryasaputra, Pendampingan Menjelang Ajal, Terminal Illness, 23. 2

Ibid, 16. 3

(2)

kepada pemiliknya. Dalam konsep budaya Jawa, ada harapan mengalami kematian penuh kedamaian yang disebut dengan surud ing kasedan jati.4 dan titis ing pati.5 Mati yang titis dipahami sebagai suasana ajal dengan baik dan tepat sehingga dapat mengembalikan gadhuhan (pinjaman) kepada yang memiliki. Keadaan ini disebut mulih mula mulanira yang berarti pulang kembali kepada pemilik kehidupan. Wadhag (raga) kembali ke alam semesta dan suksma atau urip kembali kepada Tuhan yang memberi kehidupan.

Dalam hal kematian, orang Jawa memiliki prinsip utama yang disebut Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan).6 Prinsip ini dipakai untuk menjelaskan persoalan tentang dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini dan ke mana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya. Manusia dipanggil untuk selalu eling sangkane saka ngendi lan eling parane bakal menyang ngendi (ingat asalnya dari mana dan akan kembali kemana).7 Tuhan sebagai suatu realitas tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi. (yang menjadikan,

      

4

Purwadi, Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal ( Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 3. 5

Ki Sondong Mandali, Ngelmu Urip Bawarasa Kawruh Kejawen (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2003), 45.

6

Clifford Geertz, Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1981), xii.

7

Iman Budhi Santosa, Laku Prihatin, Investasi menuju Sukses ala Manusia Jawa (Yogyakarta: publishing memayu, 2011), 25.

(3)

memerintah dan menguasai semua mahluk).8 Sebutan yang paling awal untuk Tuhan adalah Hyang 9 disebut juga sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Tuhan adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran (puncak, asal mula dan tujuan akhir dari segala ciptaan).10 Bagi Orang Jawa, karena wujud Tuhan tidak dapat digambarkan dengan apa pun juga, maka disebut tan kena kinaya ngapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan. Terhadap Tuhan tersebut, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranan dan sifatNYA, misalnya Gusti Kang Karya Jagad Saisine (Sang Pencipta Jagad), Gusti Ingkang Maha Asih (Tuhan yang maha kasih),

Gusti ingkang Maha Agung (Tuhan yang maha besar), atau Kang Murbeng Tuwuh (yang menguasai dan menjadi tempat bergantung seluruh kehidupan). Orang Jawa juga menyebut Tuhan dengan kata Pangeran.

Kata Pangeran berasal dari kata pangengeran, yang artinya tempat bernaung atau berlindung.11 Suwardi Endraswara menjelaskan bahwa orang Jawa menyebut Tuhan dengan kata Kang Sinembah (yang disembah), yang disebut Gusti, sedangkan manusia disebut kang       

8

Ki Sondong Mandali, Ngelmu Urip (Semarang: Sekar Jagat, tanpa tahun), 29. 9

Rachmat Subagyo, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia (Jakarta: Cipta Loka Karya, 1979), 60.

10

JB Banawiratma, Wahyu,Iman dan Kebatinan (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 65. 11

Bendung Layungkuning, Sangkan Paraning Dumadi, Orang Jawa dan Rahasia Kematian (Yogyakarta: Narasi, 2013), 9.

(4)

anyembah atau kawula (yang menyembah).12 Sebutan Gusti ini juga menunjukkan bahwa Tuhan ditempatkan sebagai sesembahan yang paling tinggi bagi manusia.13

Dari sisi penyebabnya, orang Jawa mengenal beberapa jenis kematian, yaitu mati ngurag (mati pada usia tua), mati sabil (mati karena menegakkan hukum Allah di dunia), mati konduran (mati karena memperjuangkan kelahiran anak) dan mati kluron (mati masih bayi).14 Sedangkan dari sisi sifatnya, dikenal mati utama (mati secara terhormat dan dapat diteladani), mati madya (mati secara wajar karena sudah berusia tua dan mati nistha (mati belum saatnya, karena bunuh diri atau kelalaian).15

Proses menjelang kematian dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah lelaku. Menurut pemahaman penulis lelaku lansia Jawa sudah dimulai ketika secara medis lansia tersebut sudah tidak bisa disembuhkan lagi meskipun sudah berulang kali berobat ke dokter. Bahkan seringkali dokter memberikan saran kepada keluarga untuk dirawat di rumah.

      

12

Suwardi Endraswara, Agama Jawa-Langkah Batin Menuju Sangkan Paran

(Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012), 87. 13

Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa (Semarang: Dahara Prize, 2000), 49.

14

A. Sudiarja,SJ, Matinya Kematian, 11. 15

Darmaningtyas, Pulung Gantung, Menyingkap tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul, 55-56.

(5)

Berkaitan dengan proses lelaku ini, Orang Jawa memiliki kebiasaan untuk menandai peristiwa demi peristiwa yang sudah terjadi dan menyebutnya dengan ngelmu titen. Kebiasaan niteni yang berarti memperhatikan sesuatu dan mengingatnya ini tidak hanya sekedar menangkap kejadian-kejadian di lingkungan sekitar melalui panca indera sebagai suatu pengalaman tapi juga kadang melibatkan laku kebatinan yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Jawa. Hasil tindakan

niteni ini selanjutnya dipelajari sehinga didapatkan suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pedoman atau ajaran bagi masyarakat yang disebut dengan buku primbon. 16

Setelah mempelajari kitab Primbon Betaljemur Adammakna yang berisi tentang pengalaman menjelang kematian, penulis menemukan tanda-tanda yang menyertai kematian lansia Jawa adalah sebagai berikut: (1) Pergelangan tangan sudah lemas, tidak mau melakukan tindakan apa-apa, termasuk tidak mau makan dan sulit tidur, (2) Sudah mengeluarkan air besar yang biasa disebut tinja kalong dan ke Sembilan lubang tubuh 

mengeluarkan  angin, (3)  Otot-otot pergelangan kaki sudah melemas, keringat keluar dari sekujur tubuh, (4) Kulit tidak berbunyi ketika diraba, denyut nadi semakin melemah dan dari telinga sudah tidak terdengar suara

      

16

(6)

apapun, (4)  Ada perubahan besar pada perilaku yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari, misalnya bergurau secara berlebihan, (5)Muncul juga keinginan untuk dipenuhi segala keinginan tetapi setelah dikabulkan tidak perhatikan, (6) Sering merasa kecewa dalam kehidupan keseharian, baik dalam hal makan atau pekerjaan-pekerjaan yang lain, (7) Bermimpi membuat rumah dan mendiaminya. Kualitas rumah tersebut tergantung kualitas hidup pemimpinya. Kalau kualitas hidupnya baik, maka rumah yang dibangun juga indah, demikian juga sebaliknya, (8) Merasakan jenuh melihat situasi kehidupan, sering bermimpi berjalan ke arah utara dan bertingkah laku seperti anak-anak, dan (9) Dalam berelasi dengan orang lain mengalami perubahan yang mencolok, misalnya yang semula menyukai keramaian berubah menjadi lebih senang menyendiri, yang semula sering marah-marah menjadi lebih sabar.17

Kitab Primbon Sangkan Paraning Manungsa, juga menyebutkan tanda-tanda yang terjadi sebelum meninggal tersebut adalah: (1) Wajah pucat, (2) telinga mengerut, (3) Pembicaraan sudah tidak runtut atau

clemang-clemong, ora sabahene (seperti bukan kehendaknya sendiri), (4) Membuang kotoran tanpa terkendali, baik kencing atau membuang air besar, (5) Kaki linu, inginnya hanya tidur dan bermalas-malasan seperti       

17

Kangjeng Pangeran Harya Tjakaraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna ( Yogyakarta: Soemodidjoyo Mahadewa, 1978 ), 229-230.

(7)

wanita hamil, (6) Menginginkan makanan yang pedas-pedas dan setelah makan merasa mengantuk sehingga cenderung malas bekerja dan sering sakit-sakitan, dan (7) Ada perasaan rindu pada saudara-saudara yang sudah meninggal, sehingga menyebabkan rasa sedih karena mengingat yang sudah meninggal tersebut.18

Menurut pengamatan penulis, primbon tidak dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah, mengingat pencarian datanya hanya sebatas pengamatan tanpa ada prosedur penelitian yang sistematis. Demikian juga tidak ada penjelasan tentang berapa jumlah subyek penelitian yang digunakan sebagai sumber informasi, sehingga hasilnya pun tidak dapat dijadikan sebagai landasan penelitian berikutnya. Oleh karena itu perlu dicari teori tentang pengalaman menjelang kematian yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang sistematis. Dalam hal ini, penulis memilih tahap-tahap menjelang kematian menurut Elisabeth Kübler-Ross sebagai kerangka teori penelitian.

B. Tahap-Tahap menjelang kematian menurut Elisabeth Kübler-Ross.

Elisabeth Kübler-Ross seorang dokter dan ahli tentang kematian yang lahir di Swis pada tahun 1926 telah melakukan penelitian luas

      

18

Rd Mugihardjo, Primbon Sangkan Paraning Manungsa (Surabaya: Tanpa Penerbit, 1959) , 40-43.

(8)

menyangkut latar belakang usia, agama, asal-usul, warna kulit dan mendalam tentang proses menjelang kematian. Ia melakukan wawancara dengan lebih dari dua ratus orang yang mengalami terminal illness untuk mengetahui pengalaman menjelang kematian. Dalam buku On Death and Dying Elisabeth Kübler-Ross menyebutkan ada lima tahap tanggapan manusia pada saat menjelang kematian, dan terjadi berurutan dari tahap satu ke tahap berikutnya secara mulai dari sikap penyangkalan, isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi hingga penerimaan.19

1. Tahap Penyangkalan dan Isolasi.

Tanggapan yang pertama ketika ada informasi bahwa penyakitnya tidak tersembuhkan adalah penyangkalan diri. Pasien menolak berita buruk mengenai kesehatannya,meragukan keakuratan hasil laboratorium, pemeriksaan dokter dan pemahaman atas data-data tentang dirinya. Penyangkalan ini mendorong untuk mencari ahli lain yang dipandang lebih mampu dengan harapan ada kesimpulan berbeda. Penyangkalan disertai kecemasan yang tinggi juga dapat terjadi jika penyampaian informasi tidak memperhitungkan kesiapan pasien. Menurut Elisabeth Kübler-Ross tahap penyangkalan juga menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri yang sifatnya sementara, karena sesungguhnya pasien       

19

Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying (New York: Macmillan Publishing Company, 1970 ), 35-112.

(9)

belum sepenuhnya mampu menerima kematiannya. Sikap untuk berdiam atau menutup diri juga mungkin muncul karena pasien kehilangan kepercayaan kepada pihak-pihak yang telah merawatnya. 2. Tahap Kemarahan. .

Bila tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat mengubah apa-apa lagi, maka munculah perasaan marah. Pada tahap kemarahan ini, pasien berubah menjadi tidak bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk kepada dokter, perawat, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Menurut Elisabeth Kübler-Ross pasien mudah curiga dan tersinggung ketika ada yang berkunjung untuk menjenguknya. Apa pun yang dikerjakan bagi dirinya dianggap salah dan negatif.

3. Tahap Tawar Menawar.

Menurut Elisabeth Kbüler-Ross, tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian. Bila pasien sudah menyadari tidak mampu lagi menghindari kenyataan yang sangat menyedihkan dan sikap marah tidak bisa mengubah keadaan, ia akan mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu perjanjian yang dapat menunda kematiannya dan upaya untuk memperpanjang hidup. Keinginan-keinginan yang berbentuk perjanjian ini dilakukan karena memiliki rasa bersalah karena memiliki konflik relasi dengan orang lain atau tidak melakukan hal-hal

(10)

baik dalam hidup sebelumnya. Perasaan bersalah ini perlu diatasi sehingga proses tawar-menawar tidak berkepanjangan. Pasien seperti layaknya seorang anak kecil yang memiliki pandangan kalau ia berbuat baik akan mendapat imbalan. Dalam hal ini imbalan yang diharapkan adalah penundaan kematian yang akan didapatkan kalau melakukan kebaikan-kebaikan, misalnya ikut kegiatan sosial, menyumbangkan organ tubuh, dan aktif dalam kegiatan rohani. Menurut Elisabeth Kübler-Ross proses tawar-menawar ini berlangsung hanya singkat, dan hampir semua pasien melakukannya secara pribadi kepada Tuhan.

4. Tahap Depresi.

Elisabeth Kübler-Ross menyebutkan setelah tahap kemarahan akan akan muncul dua jenis depresi yaitu depresi reaktif dan depresi preparatory

(persiapan).

Pada jenis depresi reaktif, pasien sudah mengalami peristiwa kehilangan,

misalnya pekerjaan, penghasilan, dan harta benda yang harus digunakan untuk biaya perawatan, demikian juga organ tubuh yang diangkat, sehingga merasa menjadi manusia yang tidak sempurna. Pada tahap ini pasien banyak mengungkapkan beban-bebannya dan memerlukan interaksi secara verbal. Dalam kondisi depresi persiapan, pasien sedang

(11)

dalam proses kehilangan yang tidak dapat dielakkan, misalnya kehilangan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Pada tahap ini, pasien membatasi minatnya pada orang lain dengan segala masalahnya, berharap bertemu dengan sesedikit mungkin orang dan melewati masa dukacitanya dengan diam-diam. Komunikasi yang terjadi lebih banyak secara nonverbal. Pasien membutuhkan sentuhan tangan, usapan rambut atau sekedar duduk bersama walau dalam situasi diam. Depresi akan berlangsung seiring dengan melemahnya fisik.

5. Tahap Penerimaan.

Hasil penelitian Elisabeth Kübler-Ross menunjukkan bahwa pada tahap penerimaan terjadi kelelahan sehingga membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak. Seseorang yang berada pada tahap ini akan merenungkan akhir hidupnya dengan pengharapan tertentu, ia enggan diajak berbicara, dan tidak ingin memikirkan berita-berita dari luar. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, tahap penerimaan perlu dibedakan dengan kebahagiaan. Pada saat itu terjadi kehampaan perasaan dan rasa sakit sudah mulai mereda. Pergumulan melawan rasa sakit tersebut juga sudah berhenti, dan pasien memasuki istirahat terakhir sebelum melakukan perjalanan panjang berikutnya. Pasien sudah menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal. Seperti pada tahap depresi, komunikasi lebih banyak

(12)

dilakukan secara non verbal dengan genggaman tangan dan duduk mendampingi sebagai suatu pesan bahwa ia merasa ada teman sampai akhir hidupnya.

C. Tanggapan-Tanggapan Terhadap Teori Elisabeth Kübler-Ross

Publikasi tentang pengalaman menjelang kematian yang dipaparkan oleh Elisabeth Kübler-Ross mendapatkan tanggapan yang beragam. Ada ahli yang menerima sepenuhnya, ada yang memberikan kritikan-kritikan, dan ada pula yang mengembangkannya. Beberapa ahli yang mengembangkan antara lain:20

1. Kathleen Dowling Singh.

Kathleen Dowling Sing, seorang pemikir tentang spiritualitas pada akhir kehidupan memasukkan seluruh tahap menjelang kematian Elisabeth Kübler-Ross dalam suatu tahap yang disebut chaos. Pada tahap chaos,

muncul perasaan terasing, cemas, putus asa, terancam dan takut menghadapi kematian. Terjadi pula perubahan pola hidup karena penurunan fisik. Pada tahap ini juga muncul kebingungan di dalam berpikir serta kesedihan yang tak dapat diungkapkan. Pikiran berputar

      

20

Deboradewi Sutantyo, Pendampingan Menjelang Kematian, Tesis(Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana, 2005), 23.

(13)

seperti putaran turbulensi, dan terjadi penderiaan batin yang sangat berat.21

Tahap selanjutnya menurut Kathleen Dowling Singh adalah surrender . Tahap ini berisi pengalaman mendalam tentang penyerahan diri. Individu memasuki tahap akhir dari pergumulannya dan memiliki pengalaman yang sifatnya menuju pada relaksasi, dan proses pengosongan diri menuju pemahaman hidup yang sebenarnya.

Tahap yang terakhir disebut Kathleen Dowling Singh sebagai transenden.

Yaitu munculnya kesadaran bersinggungan dengan Kuasa lain yang sangat besar. Rasa takut dan ngeri hilang karena dikalahkan oleh rasa kagum kepada Tuhan.22

2. Gregg R. Albers.

Gregg R. Albers memasukkan empat tahap dari teori Elisabeth Kubler-Ross, yaitu penolakan, kemarahan, tawar menawar dan depresi.dalam tahap yang disebut reaksi.23 Pada tahap reaksi terjadi proses mekanisme pertahanan diri sebagai tanggapan awal menghadapi kematian. dan tahapan dimana individu berusaha mencari jawaban dari kebingungan yang sedang dihadapi pada saat menjelang kematiannya. Proses

       21 Ibid.,26. 22 Ibid.,27. 23 Ibid.,30.

(14)

mekanisme pertahanan diri dilakukan dengan berusaha menolak kenyataan bahwa dirinya sakit, merasa diri sehat dan pasti akan sembuh. Kecuali itui, individu juga cenderung melupakan, menyembunyikan rasa sakit, dan menolak kenyataan yang sedang dihadapi serta tidak mau berobat ke dokter atau periksa ke laboratorium karena takut hasil diagnosanya buruk. Pada tahap ini, pasien juga berpikir dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya, antara lain dengan tidak mau minum obat dan makan segala sesuatu yang seharusnya menjadi pantangan. Menurut Deboradewi Sutantyo, Pada tahap reaksi ini, pasien akan mengalami proses kehilangan, baik kekuasaan, waktu, fungsi dan bagian tubuh, harga diri dan pendapatan, sehingga ia harus belajar menyesuaikan diri.

Tahap yang kedua adala tahap penerimaan. Pada tahap ini pasien mengalami kemunduran fisik sehingga mendorongnya untuk dapat memahami dan menerima penyakit yang sedang dirasakan. Sikap penerimaan dapat berhasil jika pasien secara kognitif mengerti dan memahami bahwa sedang menderita penyakit tertentu dan sadar bahwa ia tidak dapat disembuhkan lagi karena sudah tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Kecuali itu secara emosional harus dapat menerima kenyataan dan rela menerima peristiwa yang harus dialaminya.

(15)

Tahap pertumbuhan dan kematangan, sebagai tahap yang ketiga ditandai dengan adanya kesadaran pasien untuk membutuhkan informasi tentang makna spiritual dibalik penderitaan yang sedang dialaminya. Setelah pasien menemukan pemahaman yang benar tentang kenyataan hidupnya, ia akan mengalami perubahan sikap atas kehidupannya. Penyakit yang dialami menjelang kematiannya menjadi sarana kedewasaan emosional dan pertumbuhan spiritualitasnya. Pertumbuhan dan kematangan pasien akan tampak ketika ia mulai mawas diri apakah hidupnya sudah berkenan kepada Tuhan, ia juga berusaha .memperbaiki hubungan dengan keluarga, mendekat kepada Tuhan sehingga semakin mampu menguasai diri dan beradaptasi dengan keadaan yang sedang dihadapi.24

Totok S.Wiryasaputra yang menyebut tahapan pengalaman menjelang kematian sebagai gejala-gejala psikologis orang menjelang ajal, mengembangkan teori Elisabeth Kübler-Ross dengan pendapat sebagai berikut:

Menurut pengalaman saya, memang ada orang yang mengalami tahap-tahap menjelang ajal itu persis sama dengan uraian Elisabeth Kubler-Ross secara lengkap dan berurutan. Ada juga sebagian orang tidak mengalami semua tahap-tahap itu. Mereka mengalami tahap-tahap itu secara acak, dan tidak berurutan. Sebagai contoh mungkin orang langsung mengalami tahap penerimaan, tawar-menawar, marah, dan kemudian diakhiri dengan penerimaan kembali. Adakah orang yang mengalami semua tahap, tetapi tidak berurutan secara mekanis? Seperti assembling line?mata rantai perakitan sebuah produk? Menurut       

24

(16)

pengalaman, memang ada orang yang mengalami seluruh tahap, akan tetapi tidak berurutan.Mondar-mandir.Maju-mundur.Bolak-balik. Memang setiap orang menjelang ajal itu unik, seperti telah didiskusikan sebelumnya. Tidak ada dua proses yang persis sama.25

Pada sisi yang lain, ada juga yang memberikan kritikan terhadap teori Elisabet Kübler-Ross, antara lain Marshall serta Antonof dan Spika. Marshall mempertanyakan kemungkinan penerapan teori ini secara umum. Menurut Marshall, pasien-pasien yang menjadi responden Elisabet Kübler-Ross masih relatif muda sehingga ekspresi penyangkalan, kemarahan, dan tawar-menawar merupakan reaksi orang-orang muda pada umumnya berkaitan dengan kematiannya.26 Antonoff dan Spika mengemukakan pendapat dari hasil penelitiannya bahwa ekspresi yang terlihat pada pasien penyakit terminal adalah kesedihan yang semakin terlihat. Mereka tidak menemukan ekspresi bahagia atau kemarahan pada pasien-pasiennya.27

Meskipun muncul tanggapan yang beragam terhadap teori pengalaman menjelang kematian Elisabet Kübler-Ross, peneliti tetap akan menggunakannya sebagai kerangka teori dalam penelitian ini. Pilihan ini disebabkan oleh beberapa hal:

      

25

Totok S,Wiryasaputra, Pendampingan Menjelang Ajal., 72-72. 26

Singgih D.Gunarsa, Dari Anak sampai usia Lanjut,Bunga Rampai Psikologi Perkembangan (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2004), 452.

27 Ibid.

(17)

1. Sejauh pemahaman penulis, Elisabet Kübler-Ross merupakan perintis tentang pengalaman menjelang kematian. Ia melakukan publikasi tentang pengalaman menjelang kematian yang dihasilkan dari penelitian mendalam dari lebih dari dua ratus pasien penyakit terminal dari berbagai latar belakang usia, asal-usul, dan agama. Meskipun teori ini mengalami perkembangan, tetapi menurut peneliti, publikasi yang paling awal ini, yang menyebutkan adanya lima tahapan dan terjadi secara berurutan layak untuk dijadikan sebagai kerangka teori dalam penelitian-penelitian berikutnya tentang pengalaman menjelang kematian lansia Jawa.

2. Teori pengalaman menjelang kematian Elisabet Kübler-Ross sudah mendapatkan pengakuan dari ahli-ahli lain, terbukti banyak ahli yang menggunakannya secara utuh, dan ada juga yang mengembangkannya.

3. Secara sekilas, teori kematian menurut budaya Jawa yang dihimpun di buku-buku primbon mungkin lebih tepat. Tetapi sejauh pengamatan peneliti buku-buku primbon bukanlah hasil penelitian ilmiah yang dikerjakan secara sistematis sehingga

(18)

hasilnya belum dapat dipakai sebagai landasan penelitian berikutnya.

Sesuai pendapat Ramlan A. Surbakti yang menyebutkan bahwa suatu teori berguna untuk memperkirakan gejala yang akan terjadi dan memberikan pola bagi interpretasi data,28 dalam penelitian ini penulis akan menggunakan kerangka teori Elisabeth Kübler-Ross untuk memperkirakan pengalaman menjelang kematian lansia Jawa. Penulis juga menggunakan teori ini untuk menjadi pola dalam proses interpretasi data. Penulis mengharapkan setelah melakukan interpretasi data, akan mengetahui perbedaan atau persamaan antara tahap-tahap menjelang kematian menurut Elisabeth Kübler-Ross dengan pengalaman menjelang kematian lansia Jawa.

      

28

Bagong Suyanto-Sutinah-Ed, Metode Penelitian Sosial-Berbagai Alternatif Pendekatan., 34-37.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian ada parameter mutu yang tidak dapat dirubah, antara lain jenis tembakau, daerah penanaman, pembagian berdasarkan posisi daun pada batang, teknik budidaya yang

245 TK MARDIRINI 1 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 246 TK MARDIRINI 2 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 247 TK MARDISIWI MRANGGEN KECAMATAN MRANGGEN 248 TK MARGO UTOMO

KERJASAMA KABAG KERJASAMA KASUBBAG DALAM NEGERI STAF PELAKSANA ARSIPARIS Fakultas/ unit kerja Surat permohonan dan berkas kelengkapan Mendata surat masuk disposisi

Modul IV ini adalah modul yang akan memberikan gambaran umum tentang kristalografi, pengetahuan tentang kristalografi sangat penting utnuk membantu mahasiswa dalam memahami dan

Tanda Laseque kontralateral (contralateral Laseque sign) dilakukan dengan cara yang sama, namun bila tungkai yang tidak nyeri diangkat akan menimbulkan suatu respons yang positif

Untuk produk ini, penilaian keselamatan kimia sesuai dengan peraturan EU REACH No 1907/2006 tidak dilakukan. Informasi lain

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan serologi sifilis dan HIV pada ABK dan TKBM Kantor

Maksud Paulus bukanlah bahwa pekerjaan sampingan harus dilakukan untuk mendatangkan uang supaya bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dengan mengerjakan