PRAKTIK AKAD
MUKHA>BARAH
DI DESA BOLO
KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK
(Kajian Tentang Realitas Hukum Islam)
Skripsi
Oleh:
Ainun Ro’fatul Irohah C02211011
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan untuk menjawab bagaimana realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku akad mukha>barah dan komitmen pelaku akad dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara dengan para pihak yang berakad, yaitu para pemilik lahan dan para petani penggarap serta studi pustaka
dengan menelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode Analisis Kualitatif, yaitu dengan menganalisis data berdasarkan kualitas data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam penelitian ini yang kemudian dituangkan kedalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persepsi pelaku akad mukha>barah
di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yaitu para petani penggarap tidak konsisten dengan apa yang sudah disepakati diawal akad, hal tersebut bisa merusak akad yang telah disepakati, sehingga dapat merusak hukum Islam. Para petani penggarap telah mengemukakan bahwa ia tidak mau rugi dan tidak mau memberikan hasil panen tersebut kepada pemilik lahan maka hal ini tidak sah, karena salah satu pihak yang berakad akan merasa terhianati dan hal
itu termasuk curang. Akad kerjasama seperti itu melanggar akad mukha>barah,
dan jelas dilarang dalam hukum Islam. dan akad ini menjadi sah apabila apa yang sudah disepakati diawal akad itu bisa terealisasai dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh kedua pelaku akad, bahwa hasil adalah apa yang keluar dari bumi atau lahan tersebut, kemudian dibagi diantara keduanya yaitu antara petani penggarap dengan pemilik lahan dengan dikurangi biaya-biaya operasional selama masa pengolahan lahan.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 10
H. Metode Penelitian ... 11
I. Sistematika Penelitian ... 19
BAB II : NORMA MUKHA>BARAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 21
A. Tinjauan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam... 21
1. Pengertian Bagi hasil ... 21
2. Prinsip Bagi Hasil ... 25
B. Macam-macam Bagi Hasil Pertanian ... 25
a. Pengerrtian Mukha>barah ... 25
b. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukha>barah dan Musa>qah ... 27
c. Hukum Mukha>barah ... 28
d. Rukun-rukun Mukha>barah ... 34
e. Syarat-syarat Mukha>barah ... 35
f. Hukum Mukha>barah yang Tidak Sah ... 42
g. Berakhirnya Akad Mukha>barah ... 43
h. Hikmah Mukha>barah ... 45
BAB III : PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK ... 46
A. Gambaran Umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik 1. Demografi ... 46
a. Pendidikan ... 48
b. Keadaan Ekonomi ... 49
c. Kondisi Sosial Keagamaan... 50
B. Pelaksanaan Mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik ... 50
1. Kasus Ibu Siti Mualifah Sebagai Pemilik Lahan dengan Ibu Bukha Sebagai Petani Penggarap ... 51
2. Kasus Ibu Mufa’ah Sebagai Pemilik Lahan dengan Ibu Kholifah Sebagai Petani Penggarap ... 56
3. Kasus Ibu Mualifah Sebagai Pemilik Lahan dengan Bapak Pulan Sebagai Petani Penggarap ... 60
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK ... 65
A. Analisis Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Mukha>barah
Kabupaten Gresik ... 65
1. Analisis kasus antara Ibu Siti Mualifah sebagai pemilik lahan dengan Ibu Bukha sebagai petani penggarap ... 65
2. Analisis kasus antara Ibu Mufa’ah sebagai pemilik lahan dengan Ibu Kholifah sebagai petani penggarap ... 70
3. Analisis kasus antara Ibu Mualifah sebagai pemilik lahan dengan Bapak Pulan sebagai petani penggarap ... 74
BAB V : PENUTUP ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 78
BAB I
PRAKTIK AKAD MUKHABA>RAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK
(Kajian Tentang Realitas Hukum Islam)
A. Latar Belakang Masalah
Aktifitas berusaha dan bekerja sangat dipengaruhi oleh kondisi suatu
daerah dimana masyarakat hidup, kenyataan bahwa mayoritas masyarakat
Indonesia hidup dan bermukim di daerah pedesaan dan menggantungkan
hidup mereka disektor pertanian dan perkebunan. Tak terkecuali di Desa
Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yang wilayahnya
terletak antara lautan dan persawahan, akan tetapi di Desa ini bercocok
tanam adalah sebagai mata pencaharian penduduk baik sebagai petani di
lahan sendiri maupun sebagai petani penggarap di lahan milik orang lain.
Praktik Muamalah pada pengolahan tanah pada umumnya dilakukan
dengan akad mukha>barah, disini muza>ra’ah disebut juga dengan
mukha>barah (dari asal kata, :al-kha>bar,” yang artinya adalah, tanah yang
gembur) dan al-muhaqqalah. Sedangkan orang irak menyebutnya al-Qa>rah.
Sementara itu, ulama’ Shafi’iyyah menjelaskan pengertian mukha>barah
seperti berikut, mengerjakan suatu lahan dengan upah sebagian dari
hasilnya, sementara benihnya dari pihak pekerja. Sedangkan muza>ra’ah
sama dengan mukh>abarah, hanya saja benihnya dari pemilik lahan.
2
penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang
menggarap, sedangkan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan
prosentase bagian sesuai yang mereka berdua sepakati. 1
Para ulama’ berbeda pendapat antara lain:2
1. Ulama Malikiyah:
Artinya: “Perkongsian adalah bercocok tanam”
2. Ulama Hanabilah:
د
ا
Artinya: “menyerahkan tanah kepada orang yang akan berocok tanam
atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya”.
3. Ulama Syafi’iyah mem
b
edakan antara muza>ra’ah dan mukha>barahArtinya: “Mukha>barah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkannya dan benihmya berasal dari pengelola. Adapun
muza>ra’ah, sama seperti mukha>barah, hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah.”
Hal ini ada beberapa fenomena atau kasus-kasus yang terjadi di Desa
tersebut yaitu pada kasus yang dialami oleh Ibu mufa’ah sebagai pemilik
lahan dan Ibu Kholifah sebagai pengelola. Yaitu pada masa panen padi si
1Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid III,(Bandung: Al-Ma’arif, 1988), 29.
2
3
pengelola tidak mau memberi sedikitpun hasil panen tersebut dikarenakan
terjadi gagal panen atau rugi, artinya biaya yang dikeluarkan dari benih,
penyiraman, alat yang digunakan untuk menggarap sawah tersebut tidak
balik modal. Hal yang semacam ini pemilik lahan masih bisa memaklumi,
hanya saja jika terjadi hasil panen tersebut sedikit akan tetapi tidak sampai
merugi si pengelolah tetap bersih kukuh untuk tidak memberi sedikitpun
hasil panen tersebut, dan menimbulkan percekcokan antara keduanya.
Karena disini pemilik lahan merasa di hianati, sebab pada awal akad
sepakat bahwa jika untung dan rugi akan ditanggung bersama, akan tetapi
pada kenyataannya tidak sama dan tidak sesuai dengan yang di harapkan.3
Dan kasus lain yang dialami oleh Ibu Mualifah dengan Bapak Pulan,
ini terjadi karena si pengelola atau Bapak Pulan selalu menyimpulkan dan
beranggapan bahwa pemilik lahan atau Ibu Mualifah sudah tidak
membutuhkan hasil panen tersebut, dikarenakan kebutuhannya sudah
tercukupi meskipun tidak mendapatkan dari hasil panen atau padi tersebut
meskipun hasilnya sangat memuaskan atau merugi. Dan apabila jika merugi
maka si pengelola minta ganti rugi kepada pemilik lahan dengan meminta
uang atau meminta untuk dibelikan pupuk. Hal ini yang membuat
percekcokan lagi antara pengelola dengan pemilik lahan, karena pengelola
juga memaksa akan hal yang terjadi diatas. Dan kasus ini juga sama dengan
3Mufa’ah, Wawancara, Gresik, 20
4
kasus yang diatas, yakni pemilik lahan merasa dihianati dengan
kesepakatan yang telah dibuat awal perjanjian atau akad tersebut.4
Perjanjian yang dilakukan diatas adalah perjanjian setiap kali panen,
dan itu terjadi setahun sekali. Terjadinya akad tersebut kebanyakan
pengelola yang meminta secara langsung kepada pemilik tanah dikarenakan
sulitnya pekerjaan bagi pengelola dan banyaknya lahan bagi pemilik lahan,
karena disini pengelola merasa lebih mampu untuk mengerjakannya dan
mempunyai keahlian lebih dalam bidang pertanian tersebut. Akan tetapi
ada juga yang pemilik lahan yang meminta kepada petani penggarap untuk
mengerjakannya dikarenakan banyaknya lahan yang menganggur dan
pemilik lahan tidak mempunyai keahlian dalam menggarap lahan tersebut.
Pembagian pertanian disepakati paron atau setengah hasil dari lahan
tersebut yang menggarap dan setengah dari lahan tersebut pemilik lahan,
artinya disini apabila rugi akan ditanggung bersama. Semua itu dilakukan
pada awal terjadinya akad. Akan tetapi banyak kasus yang terjadi
penggarap lalai dalam pembagian tersebut dikarenakan sulitnya
perekonomian dan lupa bahwa lahan tersebut milik orang yang mempunyai
lahan tersebut, dikarenakan jangka penggarapan yang terlalu lama. Awal
panen atau awal dikerjakan pembagian panen tersebut masih dalam keadaan
seperti yang disepakati diawal, akan tetapi lama-lama lupa dengan semua
akad yang disepakti tersebut. 5
4
Mualifah, Wawancara, Gresik, 21 November 2014 5
5
Dari macam-macam variasi mukha>barah di atas maka penelitian ini
penting dilakukan sehingga penulis perlu mengangkat permasalahan yang
timbul tersebut sebagai subyek peneletian karena dari awal penulisan sudah
timbul masalah. Sehingga daripada itu, maka penulis tertarik dan mencoba
untuk menganalisis praktik akad mukha>barah melalui suatu penelitian
dengan judul: “ Praktik Akad Mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik (Kajian Realitas Tentang Hukum Islam)”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan diatas dapat di
identifikasi sebagai berikut:
a. Persepsi masing-masing pelaku akad tentang mukha>barah di Desa
Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik
b. Persepsi masing-masing pelaku akad tentang hasil mukha>barah di
Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik
c. Saksi-saksi di dalam akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik
d. Waktu perjanjian dalam akad mukha>barah di Desa Bolo
Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik
e. Komitmen pelaku dalam pembagian hasil akad mukha>barah di
6
2. Batasan Masalah
Dari beberapa masalah tercantum diatas masih bersifat umum,
sehinggah diperlukan batasan-batasan masalah dalam pembahasannya
supaya lebih terarah pada ruang lingkup dan permasalahannya yakni
sebagai berikut:
a. Realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku
akad mukha>barah dan komitmen pelaku akad dalam pembagian
hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
b. Analisis hukum Islam tentang realitas sosial tentang persepsi hasil
dari masing-masing pelaku akad mukha>barah dan komitmen
pelaku akad dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah di atas, di dapatkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing
pelaku akad mukha>barah dan komitmen pelaku dalam pembagian hasil
7
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap realitas sosial tentang
persepsi para pelaku akad mukha>barah dan komitmen bagi hasil di
Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan
atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.6 Pada penelitian
ini pada dasarnya hanya untuk mendapatkan gambaran hubungan topik
yang diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi atau
duplikasi secara mutlak.Setelah ditelusuri kajian pustaka penulis pernah
menentukan dan membaca beberapa skripsi antara lain:
1. Pada tahun 2004 Muh. Sunoto menulis skripsi tentang “Aplikasi
muza>ra’ah di Desa Drajat Baureno Bojonegoro (Analisis Hukum
Islam).
Dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan praktik muza>ra’ah
yang ada di Desa Drajat Baureno Bojonegoro dengan menggunakan
metode komparasi antara madzhab Hanabilah dan madzhab
Shafi’iyah. Yaitu dalam madzhab hanabilah praktek yang dilakukan di
6Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel, Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah,
8
Desa Drajat Baureno Bojonegoro tersebut boleh dilakukan, akan
tetapi menurut madzhab Syafi’iyah tidak diperbolehkan. Jadi apa
yang di praktekkan Desa Drajat tersebut tidak menyalahi aturan
karena berpegang pada satu madzhab yaitu madzhab Hanabilah.7
2. Pada tahun 2006 Uut Nur laili menulis skripsi tentang “Tinjauan
hukum Islam terhadap praktik pertanian (muza>ra’ah) di Desa
Sumberejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang.
Dari skripsi tersebut membicarakan tentang tinjauan hukum secara
global (keseluruhan) bukan hanya dari pendapat satu atau dua tokoh
saja akan tetapi secara keseluruhan.Yaitu dalam pandangan hukum
Islam praktik muza>ra’ah yang terjadi di Desa Sumberejo Kecamatan
Jombang Kabupaten Jombang tidak sepenuhnya akad muza>ra’ah yang
berlaku akan tetapi lebih mengacu pada akad ijarah, hanya saja
pembayaranya dilakukan setelah panen sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati bersama.8
3. Pada tahun 2014 Indana Ubailush Shobiyahmenulis skripsi tentang
“Tinjauan hukum Islam terhadap praktik muza>ra’ah jagung di Desa
Banjar Poh Sumobito Jombang”.
Dari skripsi tersebut membicarakan proses dan mekanisme praktik
kerjasama pertanian jagung di Desa Banjar Poh dengan hasil banyak
7Muh Sunoto, “Aplikasi Muzara’ah di Desa Drajat Baureno Bojonegoro Analisis Hukum Islam”
(Skripsi__ IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004), IV.
8Uut Nur Laili, “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pertanian (muzara’ah) di Desa
Sumberejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang” (Skripsi__ IAIN Sunan Ampel Surabaya,
9
dirugikan adalah pengelola dan dianalisa menurut tinjauan hukum
Islam. Kesimupulan dalam skripsi diatas yaitu hendaknya si pemilik
lahan dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan rukun dan
syarat muza>ra’ah.9
Adapun penelitian yang penulis tulis adalah lebih menekankan
tentang “Praktik mukha>barah di Desa Bolo Ujungpangkah Gresik (kajian
tentang realitas hukum Islam). Maka setidaknya dapat diketahui bahwa
judul skripsi yang dikaji penulis memiliki pokok permasalahan yang
berbeda dari segi obyek, masalah dan tempat penelitianpun juga berbeda.
E. Tujuan Penelitian
Penulis meneliti dan membahas permasalahan ini dengan tujuan
antara lain:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan realitas sosial tentang
persepsi hasil dari masing-masing pelaku mukha>barah dan komitmen
pelaku dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah
Kabupaten Gresik
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kajian hukum Islam realitas
sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku mukha>barah
10
dan komitmen pelaku dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Kegunaan Teoritis:
a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam
khususnya dibidang fiqih mumalah dan dapat digunakan sebagai
acuan pihak-pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
b. Teori-teori yang ditemukan bisa digunakan untuk penelitian
berikutnya.
2. Kegunaan Praktis:
Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk kegiatan
bermuamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam bagi subyek
penelitian.
G. Definisi Oprasional
Untuk mengetahui fenomena yang ada di masyarakat bahwa praktik
mukha>barah itu pengelola dan pemilik lahan sering tidak mengikuti sesuai
dengan hukum Islam, maka hal yang demikianlah yang akan saya teliti dan
untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang pengertian dalam
judul skripsi ini, maka penulis tegaskan beberapa istilah-istilah sebagai
11
Hukum Islam : Adalah peraturan-peraturan dan ketentuan yang
berkenaan dengan masalah-masalah muamalah,
berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, al-hadits dan hukum
syara’ yang meliputi ijtiha>d para mujtahi>d dan pendapat
ulama’,10 dalam hal ini ketentuan hukum Islam yang
berkenaan dengan akad mukha>barah.
Mukha>barah : Akad kerjasama dalam bidang pertanian antara Ibu Siti
Mualifah, Ibu Mufa’ah, dan Ibu Mualifah sebagai
pemilik lahan pertanian dan Ibu bukha, Ibu Kholifah dan
Bapak Pulan sebagai petani penggarap yang mana biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan (petani penggarap).
Bagi Hasil Padi : Bagian yang dilakukan oleh si pengelola dan pemilik
lahan ketika sudah terjadi masa panen, yang mana
pembagian tersebut dibagi sesuai kesepakatan awal,
yaitu menggunakan sepertiga, setengah, dan seperempat.
Akan tetapi semua terjadi jika panen mencapai
maksimal. Jadi, jika panen mengalami kerugian maka si
pemilik lahan tidak akan mendapatkan hasil panen
tersebut.
10
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SA
12
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah metode untuk memperoleh data yang
dibutuhkan secara terarah dan sistematika, penyusun menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang
dapat diamatai. Sedangkan menurut Kirk dan Miller merumuskan
penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu-ilmu sosial yang
mendasar atau fundamental bergantung pada pengamatan langsung
atas manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata.11
Dari definisi diatas, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang bertujuan untuk memahami kejadian atau fenomena
yang dialami oleh subjek penelitian secara utuh dengan cara deskripsi
dengan memanfaatkan metode ilmiah.
2. Pendekatan penelitian dengan induktif
Pola berfikir induktif ini adalah cara berfikir dalam rangka
menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang
sifatnya umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian
dan evaluasi atas fenomena yang ada, yaitu untuk menggambarkan
13
persoalan-persoalan tentang pelaksanaan akad mukha>barah di Desa
Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yang dikaji dengan
realitas hukum Islam, kemudian dianalisis dan dicocokkan dengan
teori hukum Islam yang ada untuk menjawab permasalahan yang
terjadi.
3. Lokasi dan obyek pengelolaan tanah
Lokasi yang dipakai adalah di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
4. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)12
yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat tentang
mukha>barah yang dilaksanakan di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Adapun data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah:
Realitas sosial tentang akad mukha>barah yang selama ini telah
dilakukan di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
Diantaranya yaitu:
1) Data tentang persepsi masing-masing kedua belah pihak tentang
mukha>barah.
2) Data tentang persepsi masing-masing kedua belah pihak tentang
hasil.
3) Data tentang komitmen pelaku dalam bembagian hasil.
14
4) Data lain tentang berbagai ketentuan yang terkait dalam
al-Qur’an, hadist, para Ulama’ empat madzhab dan buku-buku fiqih
yang terkait dalam pembahasan ini.
5. Sumber Data
a. Sumber primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dilapangan termasuk laboratorium.13
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh bersumber dari:
1) Pihak pengelola lahan (orang-orang yang menggarap lahan) di
Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
2) Pihak yang mempunyai lahan di Desa Bolo Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik.
b. Sumber sekunderadalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari
sumber-sumber dari bahan bacaan. 14 Sumber sekunder merupakan
bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis yang terdiri dari
buku, majalah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi, 15
diantaranya yaitu:
1) Abdullah, Ruf’ah dan Sahrani Sohari. Fikih Muamalah. Bogor :
Ghalia Indonesia 2011.
2) Antonio, Muhammad Syafi’. Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.
13 S. Nasution, Metode Research; Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 143. 14
Ibid,. 143
15
3) Anwar, Moh. Fiqih Islam : Mua>’malah, Muna>kah}at, Fara>id dan
Jina>yah, (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta
Kaidah-Kaidah Hukumnya. Bandung: al-Ma’arif. 1988.
4) Az-Zuhail,Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. jilid 6. Cet I,
terjemahan Abdul Hayyie al- Kattani, et al. Jakarta: Gema
Insani. 2011.
5) Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta:
Bumi Aksara, 2009
6) Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2009.
7) Fadal, Kurdi. Kaidah-kaidah fikih. Jakarta: CV. Artha Rivera.
2008.
8) Ghazaly, Abdul Rahman dkk. FiqihMuamalat. Jakarta: kencana
Prenada Media Group. 2010.
9) Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam: Fiqh
Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 2. 2004.
10)Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi
Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
11)Khallaf, Abdul wahaf, Ilmu Ushul Fiqh. Karbain: darul Qolam.
1978.
12)Lubis K, Suhrawardi dan Pasaribu Chairuman. Hukum
Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1994.
13)Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum.Surabaya: Hilal
16
14)Mas’ud, Ibnu. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
15)Moleong. Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2009.
16)Nasution, S. Metode Research; Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), 143.
17)Qaradlawi,Yusuf. al-H}alal wa al-H}aram fi al-Isla>m, cet ke-13.
Beirut : al-Maktab al-Isla>m: 1980. 270.
18)Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid III. Bandung: Al-Ma’arif.
1988.
19)Saifudin, Azwar. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2010.
20)Seratno. Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis.
Yogyakarta: UUP AMP YKPM. 1995.
21)Syafei, Rahmat.Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
2001.
22)Syariffudin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana.
2003.
23)Dan lain-lain.
6. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang dibutuhkan oleh penulis
secara komprehensif, dalam pengumpulan data penulis menggunakan
17
a. Observasi atau Pengamatan
Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang
diselidiki. 16 Dengan observasi ini, peneliti ingin melihat,
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian atau
fenomena dan budaya yang terjadi sebagaimana sebenarnya yang
terjadi di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
b. Interview (wawancara)
Yaitu suatu metode yang dipergunakan untuk mendapatkan
keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden,
dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut.
17 Dalam melaksanakannya, penulis mengadakan interview
berencana dan interview tak berencana (wawancara tak
berstruktur) kepada pihak yang dipandang berkompeten untuk
diwawancarai adalah masyarakat setempat, pihak penggarap
maupun pihak yang mempunyai lahan di Desa Bolo Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Orang yang diwawancarai baik
penggarap maupun yang mempunyai lahan tersebut
masing-masing 5 orang.
c. Dokumen
16
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 70. 17
18
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. 18
Pada penelitian ini dokumen yang ingin dikumpulkan oleh peneliti
adalah dokumen yang berbentuk gambar yaitu foto dari aktifitas
pelaku akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah
Kabupaten Gresik.
7. Teknik Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul akan dilkukan analisa dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing yaitu pengecekan atau pengoreksian data yang telah
dikumpulkan. Dengan kata lain pemeriksaan kembali data-data
yang diperoleh terutama dari segi kesempurnaannya, kelengkapan,
kejelasan makna, keserasian dan keselarasan setara satu dengan
yang lain. 19
b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa
sehingga menghasilkan bahan untuk menyusun skripsi ini dengan
baik.
c. Analizing yaitu tahapan terakhir dengan menganalisis lebih lanjut
untuk memperoleh kesimpulan atas rumusan masalah yang ada. 20
8. Teknik Analisis Data
18
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), 73.
19Masruhan, Metodologi Penelitian…, 253.
20
19
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian
yang menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.21 Dan yang akan
dianalisis dengan cara berfikir induktif. Pola berfikir induktif ini
adalah cara berfikir dalam rangka menarik kesimpulan dari sesuatu
yang bersifat khusus kepada yang sifatnya umum. Proses penalaran ini
mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada,
yaitu untuk menggambarkan persoalan-persoalan tentang pelaksanaan
akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten
Gresik yang dikaji dengan realitas hukum Islam, kemudian dianalisis
dan dicocokkan dengan teori hukum Islam yang ada untuk menjawab
permasalahan yang terjadi.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi kedalam lima
bab, tiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang saling berhubungan
satu dengan yang lain. Adapun sistematika penyusunannya yaitu pada bab
pertama adalah pendahuluan. Bab pendahuluan ini berisi latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
21
20
Bab kedua adalah norma mukha>barah menurut hukum Islam. Pada bab
landasan teori ini yaitu akan dibahas tentang mukha>barah yang akan dibagi
menjadi beberapa sub bab. Sub bab yang pertama yaitu pengertian
mukha>barah, perbedaan muza>ra’ah, mukha>barah dan musa>qah, hukum
mukha>barah, rukun-rukun mukha>barah, syarat-syarat mukha>barah,
bentuk-bentuk muka>barah, akibat akad mukha>barah, hukum mukha>barah yang
tidak sah, berakhirnya akad mukha>barah, dan hikmah mukha>barah.
Bab ketiga adalah praktik mukha>barah di desa Bolo Kec.
Ujungpangkah Kab.Gresik. Bab ini memuat dua sub bab. Pada sub bab
pertama tentang gambaran umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah
Kabupaten Gresik. Kemudian sub bab kedua yaitu pelaksanaan
mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.
Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan
mukha>barah di desa Bolo Kec. Ujungpangkah Kab. Gresik. Bab ini memuat
data-data yang diperoleh dalam penelitian sehingga didapat hasilnya, yang
kemudian dilakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat guna
mendapatkan kesimpulan.
Bab kelima adalah penutup. Bab terakhir ini merupakan penutup yang
memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari pembahasan skripsi atau
penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. Saran
diperuntukkan pihak yang terkait dan yang tidak atau belum terlibat dalam
BAB II
NORMA MUKHA>BARAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Bagi Hasil dalam Hukum Islam
1. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil sebagaimana telah disebutkan adalah suatu istilah
yang sering digunakan oleh orang-orang dalam melakukan usaha
bersama untuk mencari keuntungan yang akan diperoleh berdasarkan
kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam
suatu perjanjian.
Menurut istilah bagi hasil adalah transaksi pengelolaan hasil
bumi dengan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah (bumi)
tersebut. Yang dimaksudkan disini adalah pemberian hasil untuk orang
yang mengelola atau menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti
setengah, sepertiga atau lebih dari itu atau lebih rendah sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak (petani penggarap dan pemilik tanah). 1
Jadi bagi hasil tanah pertanian adalah kerjasama antara pemilik tanah
dan petani penggarap dalam mengelola tanah pertanian dan hanya
dibagi antara keduanya.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Umar ra :
1
22
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a berkata : sesungguhnya
Rasulullah SAW pernah memberi pekerjaan kepada penduduk Khaibar dengan upah separuh daripada hasil yang dikerjakan
seperti buah-buahan atau tanaman”.
Dalam fiqh Islam juga membahas secara khusus tentang cara
kerjasama dalam mengelola lahan dan perdagangan yang berkaitan
dengan modal dan tenaga antara pemilik tanah dengan pengelola atau
antara pemilik modal (harta) dengan pihak yang mempunyai keahlian
mengembangkan atau memperdagangkannya.
Sedangkan Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil (tanah pertanian) disebutkan dalam pasal 1 poin c
bahwa:
“perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau
badan hukum pada pihak lain – yang dalam undang-undang ini
disebut “penggarap” – berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, denagn pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.
Sedangkan yang dimaksud dengan hasil sesuai dengan ketentuan
pasal 1 Undang-undang tersebut adalah: “hasil usaha pertanian yang
diselenggarakan oleh penggarap dalam perjanjian bagi hasil, setelah
dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam
dan panen”.
Pembagian hasil ini kepada pihak penggarap menurut kebiasaan
23
setengah, sepertiga atau lebih rendah dari itu, bahkan terkadang
cenderung sangat merugikan kepada pihak penggarap, sehingga terkadang
pihak penggarap selalu mempunyai ketergantungan kepada pemilik
tanah.2
Antonio juga menjelaskan tentang bagi hasil, bahwa:
Bagi hasil adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.3
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa yang di maksud
dengan sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya
perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di
dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas
keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih.
Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan
sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan
(Ab-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Dalam hal bermu’amalah. Islam juga mengenal adat istiadat (‘Urf)
dapat juga dijadikan sumber hukum Islam,4 bila memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. ‘Urf tidak berlawanan dengan nas yang ditegaskan
2Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994), 61.
3Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 90.
4
24
2. ‘Urf telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan berkembang
dalam masyarakat
3. ‘Urf telah menjadi ‘Urf yang umum karena hukum yang umum tidak
dapat ditetapkan dengan ‘Urf yang khusus.
Menggunakan ‘Urf masyarakat sebagai dasar hukum dalam bidang
mu’amalah dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat
dan menghindari mereka dari kesempitan. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqhiyah:
Artinya: “adat/ tradisi (masyarakat) dapat dijadikan alasan untuk
menetapkan hukum”5
Sesuatu perbuatan atau perkataan yang menjadi adat kebiasaan
disuatu tempat yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang
lama dan tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat ditetapkan
sebagai hukum.
Dalam kaidah fiqh dikemukakan yakni:
Hukum asal dalam transaksi adalah keridhoan kedua belah pihak
yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. Maksud
keridhoan tersebut yakni keridhoan dalam transaksi adalah merupakan
prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada
keridhoan kedua belah pihak.
5
25
2. Prinsip Bagi Hasil
Prinsip bagi hasil secara murni ada empat macam yaitu:
al-musyarakah, al-mudharabah, al-muza>ra’ah atau al-mukha>barah dan
al-musa>qah.6
Prinsip al-musya>rakah dan al-mud>rabah sering dipakai atau
digunakan dalam bentuk akad bagi hasil yang ada kaitannya dengan
masalah perbankan bebas bunga. Sedangkan mukha>barah dan
al-musa>qah sering digunakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pertanian.
B. Macam-macam Bagi Hasil Tanah Pertanian
Dalam fiqh Islam kerjasama bagi hasil terbagi menjadi beberapa
macam, diantaranya terjadi pada bagi hasil dibidang pengolahan lahan
pertanian. Bagi hasil dibidang pengolahan lahan pertanian dalam Islam
dikenal dengan istilah “Muza>ra’ah atau Mukha>barah dan Musa>qah”.
Istilah-istilah bagi hasil dalam pengelolaan lahan petani tersebut diatas
diantaranya adalah:
1. Mukha>barah
a. Pengertian Mukha>barah
Mukha>barah ialah menyuruh orang lain untuk
mengusahakan tanah, ladang atau sawahnya untuk ditanami,
6
26
sedangkan benihnya berasal dari petani penggarap, dengan
perjanjian bahwa seperdua atau sepertiga dan hasilnya akan dibagi
antara pemilik lahan dan petani penggarap.
Hal semacam ini diperbolehkan oleh agama dan
dinamakan juga menyewakan tanah. Hak mukha>barah ini dapat
pula dipergunakan untuk membuka tanah kosong atau hutan
belukar yang menjadi milik seseorang. Banyaknya tanah yang
dipakai bergantung pada perjanjian kedua belah pihak.
Dalam hadist Rasulullah SAW dinyatakan:
Artinya: “Dari Thaus bahwa ia suka bermukha>barah. Berkata
Umar kepadanya: ya Abdurrahman, kalau engkau
tinggalkan mukha>barah ini, mereka akan mengatakan
bahwa Nabi SAW telah melarang mukha>barah, Thaus
berkata: telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu
Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang mukha>barah,
hanya saja beliau berkata: bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan upah tertentu” (H.R. Muslim)7
Jadi dapat disimpulkan mukha>barah ialah mengerjakan
tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
27
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan.
b. PerbedaanMuza>ra’ah, Mukha>barah,dan Musa>qah
a. Muza>ra’ah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan petani
penggarap dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman
berasal dari pemilik tanah.
b. Mukha>barah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan petani
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara
keduanya menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan
benihnya dari penggarap tanah.8
c. Musa>qah
Bentukkerja sama antara pemilik kebun dan petani
penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat
sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian hasil
tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya. Kerja sama dalam bentuk musa>qat ini
berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat
8Abdul Rahman Ghazali dkk, FiqihMuamalat, (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010),
28
tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah
pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.9
Perbedaan tersebut dapat disimpulkan yaitu:
a. Muza>ra’ah : benih dari pemilik lahan
b. Mukha>barah : benih dari penggarap
c. Musa>qat : perawatan tanaman atau pepohonan
Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak
perbedaan antara muza>ra’ah dan mukha>barah adalah dari asal
benih, sedangkan musa>qah adalah kerja sama dalam pemeliharaan
dan perawatan pepohonan dalam sebidang kebun.
c. Hukum Mukha>barah
Dalam membahas hukum mukha>barah terjadi perbedaan
pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
dan Zufar ibn Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi berpendapat
bahwa akad mukha>barah tidak boleh. Menurut mereka, akad
mukha>barah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua,
hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah
sebuah hadist berikut:
Artinya: “Rasulullah SAW: yang melarang melakukan
al-mukha>barah”. (HR. Muslim dari Jabir ibn Abdillah)10
9
29
Menurut mereka, obyek akad dalamal- mukha>barah belum
ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk
petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan
tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan
dibagi, sejak semula tidak jelas.11 Boleh saja pertanian itu tidak
menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari
hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’du>m dan al-jaha>lah
inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan
Rasulullah SAW dengan penduduk Khaibar dalam hadist yang
diriwiyatkan al-Jama>’ah (mayoritas pakar hadist), menurut
mereka, bukan merupakan akad al-mukha>barah, adalah berbentuk
al-kha>raj al-muqa>samah, yaitu ketentuan pajak yang harus
dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam
prosentase tertentu. Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa
akad al-mukha>barah tidak sah, kecuali apabila al-mukha>barah
mengikut pada akad al-musa>qah (kerjasama pemilik kebun dengan
petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang
hasilnya nanti dibagi menurut kesepakatan bersama).
Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H/
731-798 M), Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (748-804 M),
keduanya sahabat Abu Hanifah, dan Ulama azh-Zhahiriyah
10
M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam: Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet 2, 272.
11
30
berpendapat bahwa akadal-mukha>barah hukumnya boleh, karena
akadnya cukup jelas, yaitu menjelaskan petani sebagai serikat
dalam penggarapan sawah.
Menurut mereka, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa:
Artinya: “Rasulullah SAW. Melakukan akad muza>ra’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya dibagi antara Rasul dengan para pekerja”. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu
Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam
Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar)12
Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling
membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal ini
bertujuan untuk saling tolong menolong sesama manusia dan
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
Artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...(QS.
al-Maidah:2)13
Mereka yang memperbolehkan akad mukha>barah
berdasarkan pendapat bahwa mukha>barah merupakan akad syirkah
12Ibid., 277.
13Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Lentera
31
antara modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad mud}arabah
yang hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang
mendesak (dibutuhkan). Akad mukha>barah tersebut diperbolehkan
sebagaimana akad ija>rah dari segi kerja sama dalam hal
penggarapan tanah. Adapun upah dari muza>ra’ah adalah
ditentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.14
Dasar hukum mukha>barah yang digunakan para ulama
dalam menetapkan hukumnya adalah sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Ia berkata, sesungguhnya Nabi SAW.
Tidaklah mengharamkan bermuza>ra’ah, bahkan beliau
menyuruh supaya yang sebagian menyayangi sebagian lainnya, seraya beliau bersabda,“barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, dan jika ia tidak mau, bolehlah ditahannya saja tanah itu”. (H.R Bukhari
dan Muslim)15
Selain itu dalam kitab Subul as-Sala>m dijelaskan bahwa
larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi
dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, merekapun sangat
membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk
keberlangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadist
14Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu Jilid 4,Terj. Abdul Hayyie al-Kattani et.al.,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), 565.
15Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah,
32
tentang larangan mukha>barah tersebut memiliki batasan, yakni
jika dalam perjanjiannya terdapat peraturan yang menekan salah
satu pihak, sehingga memberatkannya.16
Akad mukha>barah ini dalam operasionalnya menyerupai
akad syirkah dan ija>rah. Mukha>barah menyerupai akad syirkah
dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan
penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk
membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Mukha>barah
juga menyerupai akad ija>rah dan upahnya adalah bagian yang telah
ditentukan dari yang dihasilkan.17
Adapun bentuk mukha>barah yang diharamkan oleh Islam
menurut al-Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam
al-Hala>l wa a;-Hara>m adalah mukha>barah yang didalamnya terdapat
unsur penipuan dan ketidak jelasan yang membawa kepada
perselisihan. Para pemilik lahan mensyaratkan agar ia mendapat
hasil bagian pada lahan tertentu dan hasil pada bagain lahan yang
lainnya untuk petani penggarap.
Pada praktik tersebut terdapat unsur penipuan dan
ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan
untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada
yang dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa
16Moh. Anwar, Fiqih Islam : Mua>’malah, Muna>kah}at, Fara>id dan Jina>yah, (Hukum Perdata dan
Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, (Bandung: al-Ma’arif, 1988), 78-79. 17
33
kepada perselisihan antara keduanya. 18 Misalnya, dari luas 1.000
m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia
berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m tertentu.
Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat
pada 700 m tertentu.
Cara seperti ini adalah cara mukha>barah yang diharamkan.
Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah
satu pihak akan dirugikan, misalnya bila panen dari lahan yang
300 m itu gagal, maka pemilik lahan yang akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka buruh
tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen
keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi
sesuai dengan perjanjian prosentase.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak
mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu
perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak,
maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya
sedikit kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara tersebut
merupakan pembagian yang lebih adil untuk kedua belah pihak.
Dengan demikian kita dapati bahwa pendapat jumhur
ulama (Malikiyah, Hanabilah dan Zhahiriyah) adalah pendapat
yang lebih kuat, yaitu hukum bolehnya akad mukha>barah ini. Hal
18Yusuf Qaradlawi, al-H}alal wa al-H}aram fi al-Isla>m, cet ke-13, (Beirut : al-Maktab al-Isla>m:
34
itu dikarenakan akad mukha>barah ini sejalan dengan
prinsip-prinsip syari’ah maqa>s}idnya. Akad ini bertujuan untuk saling
membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan
para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan
ketentuan hasilnya mereka bagi dengan sesuai dengan kesepakatan
bersama.
d. Rukun-rukunMukha>barah
Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya
rukun maka mukha>barahtidak akan dibilang sah, hal tersebut
merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi dalam
mukha>barahseperti ijab dan qabul dalam masalah jual beli, tanpa
adanya ijab qabul jual beli itu tidaklah sah, karena ijab qabul
merupakan rukun jual beli.
Demikian juga dalam masalah mukha>barah tentulah ada
unsur-unsur (rukun) yang dapat menyebabkan sahnya suatu
perjanjian mukha>barah, dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat
dalam menetapkan rukun-rukun tersebut pendapat itu antara lain:
1) Menurut Ulama Hanafiyyah
Menurut ulama Hanafiyyah adalah ija>b dan qabu>l.
Yaitu pemilik lahan berkata kepada pihak penggarap, “Aku
serahkan lahan ini kepadamu sebagai al-mukha>barah dengan
upah sekian.” Lalu pihak penggarap berkata, “Aku terima,”
35
menunjukkan bahwa ia menerima dan menyetujuinya bahwa ia
menerima dan menyetujuinya. Apabila ija>b dan qabu>l ini sudah
terjadi, maka berlakulah akad al-mukha>barah diantara
keduanya. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafi menyatakan
bahwa sahnya rukun mukha>barah ada 4 macam:
a) Ada tanah yang dikelola
b) Pekerjaan yang dilakukan pengelola
c) Benih
d) Alat pertanian
2) Menurut Ulama Malikiyah
Adapun pendapat ulama Malikiyah harus menabur
benih diatas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan
menanam tumbuhan diatas tanah yang tidak ada bijinya.
Menurut pendapat yang paling kuat, perkongsian harta
termasuk mukha>barah dan harus menggunakan sighat.19
3) Menurut Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa mukha>barah
tidak memerlukan qabul secara lafadz, tetapi cukup dengan
mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qabul.20
e. Syarat-syarat Mukha>barah
Adapun syarat-syarat mukha>barah menurut jumhur
ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan
19
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid 4…, 565.
20
36
ditanam, tanah yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan
yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.21
1) Syarat orang yang berakad harus baligh dan berakal. Imam Abu
Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkannya. (Abu Yusuf dan Muhammad
Hasan asy-Syaibani)22
2) Syarat penanaman yaitu harus diketahui secara pasti, dalam
artian harus dijelaskan apa (benih) yang akan ditanam. Karena
kondisi sesuatu yang ditanam berbeda-beda sesuai dengan
penanaman yang dilakukan. Karena ada jenis tanaman yang
bertambah ketika ditanam dan ada pula yang berkurang. Namun
hal yang sesuai dengan prinsip al-istihsa>n adalah, bahwa
menjelaskan apa yang ditanam tidak menjadi syarat di sini. Jika
yang disebutkan adalah al-mukha>barah, maka masalah apa yang
ditanam dipasrahkan kepada pihak penggarap.23
3) Syarat sesuatu yang ditanam yaitu haruslah berupa tanaman
yang aktivitas pengolahan dan penggarapan bisa berdampak
tanaman tersebut mengalami pertambahan dan pertumbuhan.
4) Syarat yang bekaitan dengan lahan pertanian
a) Tanah tersebut bisa digarap dan dapat menghasilkan
b) Batas-batas lahan tersebut harus jelas
21Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 278.
22
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2, 208.
23
37
c) Ada penyerahan tanah
d) Tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani
penggarap untuk diolah
5) Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen
a) Jelas ketika akad, Penggarap wajib menjelaskan perkiraan
hasilpanenkepadapemiliklahandalamakadmukha>barah
b) Pembagian hasil panen harus jelas
c) Hasil panen tersebut harus jelas benar-benar milik bersama
orang yang berakad
d) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang
ma’lum24
e) Hasil pendapatan juga harusdiketahui nilainya dalamakad,
seperti ½ atau 1/3 darihasil. Karenaiatermasukdalamakad
ija>rah dimana apabila upah dalam ija>rah tidak diketahui
makaakadakanrusak.
f) Dalam pembagian hasil yang dibagi adalah hasil bersama
tanpa adanya pensyaratan dari sipemilik lahan atas hasil dari
bagaian labah tertentu, atau dari benih tertentu.
g) Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan
mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh
masing-masing pihak.
24
38
h) Tiap pihak harus mendapat prosentase dari hasil pertanian,
apabila hasil pertanian hanya untuk satu pihak tanpa pihak
lain maka akad mukha>barah akan rusak.
i) Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad
mukha>barah dapat mengakibatkan batalnya akad.
j) Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang
melakukan pelanggaran (penyimpangan), menjadi milik
pemiliklahan.
k) Dalam hal penggarap melakukan pelanggaran, pemilik lahan
dianjurkan untuk memberikan imbalan atas kerja yang telah
dilakukan penggarap.
6) Syarat yang berkaitan dengan waktu harus jelas
Disyaratkan agar masa berlangsungnya akad diketahui. Akad
mukha>barah tidak diperbolehkan hanya apabila masa
berlangsungnya diketahui. Ini dikarenakan apabila ia termasuk
dalam akad ija>rah atau sewa-menyewa dengan pembagian hasil
dari lahan. Maka, jika ija>rah tidak diperbolehkan dengan masa
yang tidak diketahui sama halnya dengan mukha>barah.
Kemudian apabila masa akad adalah hal yang terlalu lama,
sehingga si penggarap tidak dapat bekerja lagi, atau apabila
39
7) Syarat yang berkaitan dengan obyek akad juga harus jelas
pemanfaatan benihnya, pupuknya, dan obatnya. Seperti yang
berlaku dengan adat dan kebiasaan daerah setempat.
Imam Hanafi membagi ma’qud alaih atau objek yang dijadikan
akad menjadi dua bagian yaitu:
a. Manfaat dari pekerjaan si penggarap, atau yang dijadikan
akad disini adalah manfaat dari si penggarap dalam
pengelolaan lahan. Hal ini apabila benih berasal dari si
pemilik lahan, karena si pemilik lahan menjadi pihak yang
menyewa si penggarap untuk mengelola lahannya dengan
adanya pembagian nisbah dari hasil pertanian.
b. Manfaat dari lahan, hal ini apabila benih berasal dari di
penggarap, maka ia seolah menjadi penyewa atas lahan dari
si pemilik dengan pembayaran lahan yang berasal dari
penambahan modal dari (benih) yang ditanam.
8) Syarat-syarat yang dapat merusak akad
a. Apabila hasil dari pertanian hanya diperuntukan kepada
salah satu pihak saja tanpa pihak lain.
b. Syarat yang menjadikan ketidakpastian dalam perolehan
hasil pertanian antara kedua belah pihak. Atau apabila salah
satu mensyaratkan prosentase khusus bagi dirinya atas hasil
pertanian atau tanaman pada bagian tertentu, tanpa bagian
40
c. Apabila si pemilik lahan disyaratkan untuk mengelola
sendiri lahannya atau ikut serta dalam mengelola
lahan.Alasan dilarangnya syarat ini karena ia menghalangi
adanya pembebasan antara lahan dan penggarapan, dan
segala syarat yang menghalanginya akan merusak akad.
d. Syarat untuk menjaga lahan kepada sipemilik lahan sebelum
tiba waktu panen.
e. Apabila akad mukha>barah disyaratkan agar berakhir pada
waktu yang tidak diketahui (majhu>l), misalnya: akad
mukha>barah akan berakhir dengan habisnya masa hidupnya
suatu tanaman. Dalam arti lain, bahwa akad ini akan
berakhir dengan berakhirnya masa hidup suatu tanaman
secara alami.
Apabila semua syarat (sahih) dalam akad mukha>barah
telah terpenuhi, maka terbentuklah akad mukha>barah yang benar.
Kemudian akan timbul akibat dari terpenuhi syarat-syarat tersebut
sebagai berikut:
1) Bagi sipenggarap untuk bertanggungjawab atas pengelolaan
lahan dan segala yang dibutuhkan oleh tanaman. Dari segi
penumbuhan, penyiraman dan penjagaan tanaman.
2) Bagi sipengelola lahan untuk menggarap lahan pertanian
apabila disyaratkan dalam akad. Karena ia termasuk dalam
41
disyaratkan oleh kedua belah pihak (akad mutlak),
penggarapan lahan harus tetap dilaksanakan. Dikarenakan,
tanaman tidak akan tumbuh dengan baik hanya apabila lahan
pertanian digarap oleh penggarap.
3) Pajak bumi ditanggung oleh sipemilik lahan, bukan kepada si
penggarap. Ia juga tidak boleh disyaratkan kepada sipenggarap
lahan, atau diambil dari hasil pertanian kemudian sisa dari
potongan tersebut dibagi untuk kedua belah pihak. Karena,
apabila pajak tersebut diambil dari hasil panen, hal ini sama
artinya apabila sipemilik lahan mensyaratkan bahwa hasil
pertanian adalah miliknya sendiri. Karena ia berdampak pada
pengurangan prosentase bagian pada akad mukha>barah yang
berdasarkan kerjasama antara dua pihak dan merugikan pihak
penggarap. Maka, syarat ini dapat merusak akad mukha>barah
tersebut.
4) Segala pembiayaan dalam pertanian menjadi tanggungan
kedua belah pihak (sipemilik lahan dan penggarap).
Sebagaimana, bagian dari hak mereka, misalnya: pembelian
pupuk, membersihkan rumput yang mengganggu. Keduanya
juga bertanggungjawab atas upah panen, dan upah membawa
hasil panen ke gudang. Karena, semua hal ini bukan termasuk
dari pekerjaan sipenggarap semata. Kecuali bila sipenggarap
42
5) Karena kedua belah pihak berhak atas pembagian hasil
pertanian sesuai dengan perjanjian keduanya. Maka, bagi
kedua pihak untuk membawa dan menjaga hasil panen
masing-masing setelah pembagian prosentase. Karena dengan
selesainya pembagian hasil panen, maka selesai pula akad
mukha>barah.
6) Apabila penggarapan ini gagal, atau lahan tidak dapat
menghasilkan tanaman, maka kedua belah pihak tidak
mendapat apapun dari mukha>barah tersebut. Dimana
sipenggarap tidak mendapat upah dari pekerjaannya, begitu
pula sipemilik lahan tidak mendapat bagian dari pemakaian
lahan tersebut.
f. Hukum Mukha>barah yang Tidak Sah25
1) Jika pihak penggarap tidak berkewajiban melakukan apa pun
dari pekerjaan pengolahan dan penggarapan lahan. Maka hal
tersebut tidak sah.
2) Hasil tanaman lahan semuanya adalah untuk pihak yang
mengeluarkan modal benih, baik apakah ia adalah pemilik
lahan maupun pihak penggarap. Maka hal semacam itu tidak
sah.
3) Jika pemilik lahan yang mengeluarkan benih, maka pihak
penggarap berhak mendapatkan upah ajru>l mitsl atas
25
43
pekerjaan yang telah dilakukannya, dan apabila petani
penggarap yang mengeluarkan benih, maka ia berkewajiban
membayar biaya sewa ajru>l mitsl kepada pemilik lahan, maka
hal ini tidak sah. Dikarenakan dalam dua kasus ini adalah akad
al-isti’ja>r, yaitu untuk kasus yang pertama, pihak pemilik
lahan berarti memperkerjakan petani penggarap, sedangkan
untuk kasus yang kedua, pihak pemilik lahan menyewakan
lahannya kepada pihak penggarap.
4) Petani penggarap menggarap atau menggunakan lahan pemilik
lahan, dan lahan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, akan
tetapi masih berlaku ajru>l mitsl (upah standar atau biaya sewa
lahan standar) bagi petani penggarap, maka hal ini tidak sah.
5) Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ajru>l mitsl (upah
standar atau biaya sewa lahan standar) ditetapkan sesuai kadar
atau bagian yang sudah ditetapkan diawal akad. Maka hal ini
tidak sah.
g. BerakhirnyaAkad Mukha>barah
Para ulama fiqh yang membolehkan akad muzara’ah
mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila:26
1) Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila
jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu
belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai
26
44
panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
di waktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu,
menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah
sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petani
setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya
tanaman, seperti: pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan
merupakan tanggungjawab bersama pemilik tanah dan petani,
sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.
2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah
seorang yang berakad wafat, maka akad mukha>barah berakhir,
karena mereka berpendapat bahwa akad ijarah tidak boleh
diwariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa akad mukha>barah itu dapat
diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berakhir dengan
wafatnya salah satu pihak yang berakad.
3) Adanya udzur salah satu pihak, baik dari pemilik tanah
maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak
boleh melanjutkan akad mukha>barah itu. Uzur dimaksud
antara lain adalah:
a) Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu
harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat
melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan
45
tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak
panen, maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.
b) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan
suatu perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu
melaksanakan pekerjaannya.
h. Hikmah Mukha>barah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak
seperti: kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk
berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi
tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia
mempunyai sawah, tanah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk
ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk
mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak
sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang
dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.27
27
BAB III
PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK
A. Gambaran Umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten
Gresik
1. Demografi
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015,
jumlah penduduk Desa Bolo adalah terdiri dari 713 KK, dengan jumlah
total 2.791 jiwa, dengan rincian 1342 laki-laki dan 1449 perempuan
sebagaimana tertera dalam Tabel Desa Bolo.
47
Sumber: Dokumentasi Desa Bolo
Secara geografis Desa Bolo terletak pada posisi 7°21'-7°31'
Lintang Selatan dan 110°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi
ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m
di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten Gresik
tahun 2004, selama tahun 2004 curah hujan di Desa Bolo rata-rata
mencapai 2.400 mm. Curah hujan terbanyak terjadi pada bulan
Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan curah hujan
tertinggi selama kurun waktu 2008-2012.
Secara administratif, Desa Bolo terletak di wilayah Kecamatan
Ujungpangkah Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah
desa-desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kebon agung ,
Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sekapuk Kecamatan
Ujungpangkah Di Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sambi
pondok. Kecamatan Sidayu., sedangkan di Sebelah timur berbatasan
dengan Desa Glatik Kecamatan Ujungpangkah.
Jarak tempuh Desa Bolo ke ibu kota kecamatan adalah 7 km,
yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 0.25 Jam Sedangkan jarak
tempuh ke ibu kota kabupaten adalah 29 km, yang dapat ditempuh
dengan waktu sekitar 1.25 jam.
Desa Bolo memiliki wilayah dengan luas 323. 174 Ha, yang