• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK AKAD MUKHABARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK : KAJIAN TENTANG REALITAS HUKUM ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRAKTIK AKAD MUKHABARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK : KAJIAN TENTANG REALITAS HUKUM ISLAM."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK AKAD

MUKHA>BARAH

DI DESA BOLO

KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK

(Kajian Tentang Realitas Hukum Islam)

Skripsi

Oleh:

Ainun Ro’fatul Irohah C02211011

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan untuk menjawab bagaimana realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku akad mukha>barah dan komitmen pelaku akad dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

Data penelitian dihimpun melalui wawancara dengan para pihak yang berakad, yaitu para pemilik lahan dan para petani penggarap serta studi pustaka

dengan menelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode Analisis Kualitatif, yaitu dengan menganalisis data berdasarkan kualitas data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam penelitian ini yang kemudian dituangkan kedalam bentuk deskriptif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persepsi pelaku akad mukha>barah

di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yaitu para petani penggarap tidak konsisten dengan apa yang sudah disepakati diawal akad, hal tersebut bisa merusak akad yang telah disepakati, sehingga dapat merusak hukum Islam. Para petani penggarap telah mengemukakan bahwa ia tidak mau rugi dan tidak mau memberikan hasil panen tersebut kepada pemilik lahan maka hal ini tidak sah, karena salah satu pihak yang berakad akan merasa terhianati dan hal

itu termasuk curang. Akad kerjasama seperti itu melanggar akad mukha>barah,

dan jelas dilarang dalam hukum Islam. dan akad ini menjadi sah apabila apa yang sudah disepakati diawal akad itu bisa terealisasai dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh kedua pelaku akad, bahwa hasil adalah apa yang keluar dari bumi atau lahan tersebut, kemudian dibagi diantara keduanya yaitu antara petani penggarap dengan pemilik lahan dengan dikurangi biaya-biaya operasional selama masa pengolahan lahan.

(6)

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 10

H. Metode Penelitian ... 11

I. Sistematika Penelitian ... 19

BAB II : NORMA MUKHA>BARAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 21

A. Tinjauan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam... 21

1. Pengertian Bagi hasil ... 21

2. Prinsip Bagi Hasil ... 25

B. Macam-macam Bagi Hasil Pertanian ... 25

(7)

a. Pengerrtian Mukha>barah ... 25

b. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukha>barah dan Musa>qah ... 27

c. Hukum Mukha>barah ... 28

d. Rukun-rukun Mukha>barah ... 34

e. Syarat-syarat Mukha>barah ... 35

f. Hukum Mukha>barah yang Tidak Sah ... 42

g. Berakhirnya Akad Mukha>barah ... 43

h. Hikmah Mukha>barah ... 45

BAB III : PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK ... 46

A. Gambaran Umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik 1. Demografi ... 46

a. Pendidikan ... 48

b. Keadaan Ekonomi ... 49

c. Kondisi Sosial Keagamaan... 50

B. Pelaksanaan Mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik ... 50

1. Kasus Ibu Siti Mualifah Sebagai Pemilik Lahan dengan Ibu Bukha Sebagai Petani Penggarap ... 51

2. Kasus Ibu Mufa’ah Sebagai Pemilik Lahan dengan Ibu Kholifah Sebagai Petani Penggarap ... 56

3. Kasus Ibu Mualifah Sebagai Pemilik Lahan dengan Bapak Pulan Sebagai Petani Penggarap ... 60

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK ... 65

A. Analisis Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Mukha>barah

(8)

Kabupaten Gresik ... 65

1. Analisis kasus antara Ibu Siti Mualifah sebagai pemilik lahan dengan Ibu Bukha sebagai petani penggarap ... 65

2. Analisis kasus antara Ibu Mufa’ah sebagai pemilik lahan dengan Ibu Kholifah sebagai petani penggarap ... 70

3. Analisis kasus antara Ibu Mualifah sebagai pemilik lahan dengan Bapak Pulan sebagai petani penggarap ... 74

BAB V : PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

(9)

BAB I

PRAKTIK AKAD MUKHABA>RAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK

(Kajian Tentang Realitas Hukum Islam)

A. Latar Belakang Masalah

Aktifitas berusaha dan bekerja sangat dipengaruhi oleh kondisi suatu

daerah dimana masyarakat hidup, kenyataan bahwa mayoritas masyarakat

Indonesia hidup dan bermukim di daerah pedesaan dan menggantungkan

hidup mereka disektor pertanian dan perkebunan. Tak terkecuali di Desa

Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yang wilayahnya

terletak antara lautan dan persawahan, akan tetapi di Desa ini bercocok

tanam adalah sebagai mata pencaharian penduduk baik sebagai petani di

lahan sendiri maupun sebagai petani penggarap di lahan milik orang lain.

Praktik Muamalah pada pengolahan tanah pada umumnya dilakukan

dengan akad mukha>barah, disini muza>ra’ah disebut juga dengan

mukha>barah (dari asal kata, :al-kha>bar,” yang artinya adalah, tanah yang

gembur) dan al-muhaqqalah. Sedangkan orang irak menyebutnya al-Qa>rah.

Sementara itu, ulama’ Shafi’iyyah menjelaskan pengertian mukha>barah

seperti berikut, mengerjakan suatu lahan dengan upah sebagian dari

hasilnya, sementara benihnya dari pihak pekerja. Sedangkan muza>ra’ah

sama dengan mukh>abarah, hanya saja benihnya dari pemilik lahan.

(10)

2

penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang

menggarap, sedangkan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan

prosentase bagian sesuai yang mereka berdua sepakati. 1

Para ulama’ berbeda pendapat antara lain:2

1. Ulama Malikiyah:

Artinya: “Perkongsian adalah bercocok tanam”

2. Ulama Hanabilah:

د

ا

Artinya: “menyerahkan tanah kepada orang yang akan berocok tanam

atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya”.

3. Ulama Syafi’iyah mem

b

edakan antara muza>ra’ah dan mukha>barah

Artinya: Mukha>barah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang

dihasilkannya dan benihmya berasal dari pengelola. Adapun

muza>ra’ah, sama seperti mukha>barah, hanya saja benihnya

berasal dari pemilik tanah.”

Hal ini ada beberapa fenomena atau kasus-kasus yang terjadi di Desa

tersebut yaitu pada kasus yang dialami oleh Ibu mufa’ah sebagai pemilik

lahan dan Ibu Kholifah sebagai pengelola. Yaitu pada masa panen padi si

1Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid III,(Bandung: Al-Ma’arif, 1988), 29.

2

(11)

3

pengelola tidak mau memberi sedikitpun hasil panen tersebut dikarenakan

terjadi gagal panen atau rugi, artinya biaya yang dikeluarkan dari benih,

penyiraman, alat yang digunakan untuk menggarap sawah tersebut tidak

balik modal. Hal yang semacam ini pemilik lahan masih bisa memaklumi,

hanya saja jika terjadi hasil panen tersebut sedikit akan tetapi tidak sampai

merugi si pengelolah tetap bersih kukuh untuk tidak memberi sedikitpun

hasil panen tersebut, dan menimbulkan percekcokan antara keduanya.

Karena disini pemilik lahan merasa di hianati, sebab pada awal akad

sepakat bahwa jika untung dan rugi akan ditanggung bersama, akan tetapi

pada kenyataannya tidak sama dan tidak sesuai dengan yang di harapkan.3

Dan kasus lain yang dialami oleh Ibu Mualifah dengan Bapak Pulan,

ini terjadi karena si pengelola atau Bapak Pulan selalu menyimpulkan dan

beranggapan bahwa pemilik lahan atau Ibu Mualifah sudah tidak

membutuhkan hasil panen tersebut, dikarenakan kebutuhannya sudah

tercukupi meskipun tidak mendapatkan dari hasil panen atau padi tersebut

meskipun hasilnya sangat memuaskan atau merugi. Dan apabila jika merugi

maka si pengelola minta ganti rugi kepada pemilik lahan dengan meminta

uang atau meminta untuk dibelikan pupuk. Hal ini yang membuat

percekcokan lagi antara pengelola dengan pemilik lahan, karena pengelola

juga memaksa akan hal yang terjadi diatas. Dan kasus ini juga sama dengan

3Mufa’ah, Wawancara, Gresik, 20

(12)

4

kasus yang diatas, yakni pemilik lahan merasa dihianati dengan

kesepakatan yang telah dibuat awal perjanjian atau akad tersebut.4

Perjanjian yang dilakukan diatas adalah perjanjian setiap kali panen,

dan itu terjadi setahun sekali. Terjadinya akad tersebut kebanyakan

pengelola yang meminta secara langsung kepada pemilik tanah dikarenakan

sulitnya pekerjaan bagi pengelola dan banyaknya lahan bagi pemilik lahan,

karena disini pengelola merasa lebih mampu untuk mengerjakannya dan

mempunyai keahlian lebih dalam bidang pertanian tersebut. Akan tetapi

ada juga yang pemilik lahan yang meminta kepada petani penggarap untuk

mengerjakannya dikarenakan banyaknya lahan yang menganggur dan

pemilik lahan tidak mempunyai keahlian dalam menggarap lahan tersebut.

Pembagian pertanian disepakati paron atau setengah hasil dari lahan

tersebut yang menggarap dan setengah dari lahan tersebut pemilik lahan,

artinya disini apabila rugi akan ditanggung bersama. Semua itu dilakukan

pada awal terjadinya akad. Akan tetapi banyak kasus yang terjadi

penggarap lalai dalam pembagian tersebut dikarenakan sulitnya

perekonomian dan lupa bahwa lahan tersebut milik orang yang mempunyai

lahan tersebut, dikarenakan jangka penggarapan yang terlalu lama. Awal

panen atau awal dikerjakan pembagian panen tersebut masih dalam keadaan

seperti yang disepakati diawal, akan tetapi lama-lama lupa dengan semua

akad yang disepakti tersebut. 5

4

Mualifah, Wawancara, Gresik, 21 November 2014 5

(13)

5

Dari macam-macam variasi mukha>barah di atas maka penelitian ini

penting dilakukan sehingga penulis perlu mengangkat permasalahan yang

timbul tersebut sebagai subyek peneletian karena dari awal penulisan sudah

timbul masalah. Sehingga daripada itu, maka penulis tertarik dan mencoba

untuk menganalisis praktik akad mukha>barah melalui suatu penelitian

dengan judul: “ Praktik Akad Mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik (Kajian Realitas Tentang Hukum Islam)”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan diatas dapat di

identifikasi sebagai berikut:

a. Persepsi masing-masing pelaku akad tentang mukha>barah di Desa

Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik

b. Persepsi masing-masing pelaku akad tentang hasil mukha>barah di

Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik

c. Saksi-saksi di dalam akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik

d. Waktu perjanjian dalam akad mukha>barah di Desa Bolo

Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik

e. Komitmen pelaku dalam pembagian hasil akad mukha>barah di

(14)

6

2. Batasan Masalah

Dari beberapa masalah tercantum diatas masih bersifat umum,

sehinggah diperlukan batasan-batasan masalah dalam pembahasannya

supaya lebih terarah pada ruang lingkup dan permasalahannya yakni

sebagai berikut:

a. Realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku

akad mukha>barah dan komitmen pelaku akad dalam pembagian

hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

b. Analisis hukum Islam tentang realitas sosial tentang persepsi hasil

dari masing-masing pelaku akad mukha>barah dan komitmen

pelaku akad dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik

C. Rumusan Masalah

Dari identifikasi dan batasan masalah di atas, di dapatkan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana realitas sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing

pelaku akad mukha>barah dan komitmen pelaku dalam pembagian hasil

(15)

7

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap realitas sosial tentang

persepsi para pelaku akad mukha>barah dan komitmen bagi hasil di

Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan

atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.6 Pada penelitian

ini pada dasarnya hanya untuk mendapatkan gambaran hubungan topik

yang diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi atau

duplikasi secara mutlak.Setelah ditelusuri kajian pustaka penulis pernah

menentukan dan membaca beberapa skripsi antara lain:

1. Pada tahun 2004 Muh. Sunoto menulis skripsi tentang “Aplikasi

muza>ra’ah di Desa Drajat Baureno Bojonegoro (Analisis Hukum

Islam).

Dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan praktik muza>ra’ah

yang ada di Desa Drajat Baureno Bojonegoro dengan menggunakan

metode komparasi antara madzhab Hanabilah dan madzhab

Shafi’iyah. Yaitu dalam madzhab hanabilah praktek yang dilakukan di

6Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel, Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas Syariah,

(16)

8

Desa Drajat Baureno Bojonegoro tersebut boleh dilakukan, akan

tetapi menurut madzhab Syafi’iyah tidak diperbolehkan. Jadi apa

yang di praktekkan Desa Drajat tersebut tidak menyalahi aturan

karena berpegang pada satu madzhab yaitu madzhab Hanabilah.7

2. Pada tahun 2006 Uut Nur laili menulis skripsi tentang “Tinjauan

hukum Islam terhadap praktik pertanian (muza>ra’ah) di Desa

Sumberejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang.

Dari skripsi tersebut membicarakan tentang tinjauan hukum secara

global (keseluruhan) bukan hanya dari pendapat satu atau dua tokoh

saja akan tetapi secara keseluruhan.Yaitu dalam pandangan hukum

Islam praktik muza>ra’ah yang terjadi di Desa Sumberejo Kecamatan

Jombang Kabupaten Jombang tidak sepenuhnya akad muza>ra’ah yang

berlaku akan tetapi lebih mengacu pada akad ijarah, hanya saja

pembayaranya dilakukan setelah panen sesuai dengan perjanjian yang

telah disepakati bersama.8

3. Pada tahun 2014 Indana Ubailush Shobiyahmenulis skripsi tentang

“Tinjauan hukum Islam terhadap praktik muza>ra’ah jagung di Desa

Banjar Poh Sumobito Jombang”.

Dari skripsi tersebut membicarakan proses dan mekanisme praktik

kerjasama pertanian jagung di Desa Banjar Poh dengan hasil banyak

7Muh Sunoto, “Aplikasi Muzara’ah di Desa Drajat Baureno Bojonegoro Analisis Hukum Islam”

(Skripsi__ IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004), IV.

8Uut Nur Laili, “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pertanian (muzara’ah) di Desa

Sumberejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang” (Skripsi__ IAIN Sunan Ampel Surabaya,

(17)

9

dirugikan adalah pengelola dan dianalisa menurut tinjauan hukum

Islam. Kesimupulan dalam skripsi diatas yaitu hendaknya si pemilik

lahan dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan rukun dan

syarat muza>ra’ah.9

Adapun penelitian yang penulis tulis adalah lebih menekankan

tentang “Praktik mukha>barah di Desa Bolo Ujungpangkah Gresik (kajian

tentang realitas hukum Islam). Maka setidaknya dapat diketahui bahwa

judul skripsi yang dikaji penulis memiliki pokok permasalahan yang

berbeda dari segi obyek, masalah dan tempat penelitianpun juga berbeda.

E. Tujuan Penelitian

Penulis meneliti dan membahas permasalahan ini dengan tujuan

antara lain:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan realitas sosial tentang

persepsi hasil dari masing-masing pelaku mukha>barah dan komitmen

pelaku dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah

Kabupaten Gresik

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kajian hukum Islam realitas

sosial tentang persepsi hasil dari masing-masing pelaku mukha>barah

(18)

10

dan komitmen pelaku dalam pembagian hasil di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Kegunaan Teoritis:

a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam

khususnya dibidang fiqih mumalah dan dapat digunakan sebagai

acuan pihak-pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya.

b. Teori-teori yang ditemukan bisa digunakan untuk penelitian

berikutnya.

2. Kegunaan Praktis:

Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk kegiatan

bermuamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam bagi subyek

penelitian.

G. Definisi Oprasional

Untuk mengetahui fenomena yang ada di masyarakat bahwa praktik

mukha>barah itu pengelola dan pemilik lahan sering tidak mengikuti sesuai

dengan hukum Islam, maka hal yang demikianlah yang akan saya teliti dan

untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang pengertian dalam

judul skripsi ini, maka penulis tegaskan beberapa istilah-istilah sebagai

(19)

11

Hukum Islam : Adalah peraturan-peraturan dan ketentuan yang

berkenaan dengan masalah-masalah muamalah,

berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, al-hadits dan hukum

syara’ yang meliputi ijtiha>d para mujtahi>d dan pendapat

ulama’,10 dalam hal ini ketentuan hukum Islam yang

berkenaan dengan akad mukha>barah.

Mukha>barah : Akad kerjasama dalam bidang pertanian antara Ibu Siti

Mualifah, Ibu Mufa’ah, dan Ibu Mualifah sebagai

pemilik lahan pertanian dan Ibu bukha, Ibu Kholifah dan

Bapak Pulan sebagai petani penggarap yang mana biaya

pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang

mengerjakan (petani penggarap).

Bagi Hasil Padi : Bagian yang dilakukan oleh si pengelola dan pemilik

lahan ketika sudah terjadi masa panen, yang mana

pembagian tersebut dibagi sesuai kesepakatan awal,

yaitu menggunakan sepertiga, setengah, dan seperempat.

Akan tetapi semua terjadi jika panen mencapai

maksimal. Jadi, jika panen mengalami kerugian maka si

pemilik lahan tidak akan mendapatkan hasil panen

tersebut.

10

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SA

(20)

12

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah metode untuk memperoleh data yang

dibutuhkan secara terarah dan sistematika, penyusun menggunakan metode

penelitian sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

Metode penelitian kualitatif didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang

dapat diamatai. Sedangkan menurut Kirk dan Miller merumuskan

penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu-ilmu sosial yang

mendasar atau fundamental bergantung pada pengamatan langsung

atas manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata.11

Dari definisi diatas, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai

penelitian yang bertujuan untuk memahami kejadian atau fenomena

yang dialami oleh subjek penelitian secara utuh dengan cara deskripsi

dengan memanfaatkan metode ilmiah.

2. Pendekatan penelitian dengan induktif

Pola berfikir induktif ini adalah cara berfikir dalam rangka

menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang

sifatnya umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian

dan evaluasi atas fenomena yang ada, yaitu untuk menggambarkan

(21)

13

persoalan-persoalan tentang pelaksanaan akad mukha>barah di Desa

Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik yang dikaji dengan

realitas hukum Islam, kemudian dianalisis dan dicocokkan dengan

teori hukum Islam yang ada untuk menjawab permasalahan yang

terjadi.

3. Lokasi dan obyek pengelolaan tanah

Lokasi yang dipakai adalah di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

4. Data yang dikumpulkan

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)12

yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat tentang

mukha>barah yang dilaksanakan di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Adapun data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini adalah:

Realitas sosial tentang akad mukha>barah yang selama ini telah

dilakukan di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

Diantaranya yaitu:

1) Data tentang persepsi masing-masing kedua belah pihak tentang

mukha>barah.

2) Data tentang persepsi masing-masing kedua belah pihak tentang

hasil.

3) Data tentang komitmen pelaku dalam bembagian hasil.

(22)

14

4) Data lain tentang berbagai ketentuan yang terkait dalam

al-Qur’an, hadist, para Ulama’ empat madzhab dan buku-buku fiqih

yang terkait dalam pembahasan ini.

5. Sumber Data

a. Sumber primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung dilapangan termasuk laboratorium.13

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh bersumber dari:

1) Pihak pengelola lahan (orang-orang yang menggarap lahan) di

Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

2) Pihak yang mempunyai lahan di Desa Bolo Kecamatan Ujung

Pangkah Kabupaten Gresik.

b. Sumber sekunderadalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari

sumber-sumber dari bahan bacaan. 14 Sumber sekunder merupakan

bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis yang terdiri dari

buku, majalah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi, 15

diantaranya yaitu:

1) Abdullah, Ruf’ah dan Sahrani Sohari. Fikih Muamalah. Bogor :

Ghalia Indonesia 2011.

2) Antonio, Muhammad Syafi’. Bank Syari’ah dari Teori ke

Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.

13 S. Nasution, Metode Research; Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 143. 14

Ibid,. 143

(23)

15

3) Anwar, Moh. Fiqih Islam : Mua>’malah, Muna>kah}at, Fara>id dan

Jina>yah, (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta

Kaidah-Kaidah Hukumnya. Bandung: al-Ma’arif. 1988.

4) Az-Zuhail,Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. jilid 6. Cet I,

terjemahan Abdul Hayyie al- Kattani, et al. Jakarta: Gema

Insani. 2011.

5) Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta:

Bumi Aksara, 2009

6) Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2009.

7) Fadal, Kurdi. Kaidah-kaidah fikih. Jakarta: CV. Artha Rivera.

2008.

8) Ghazaly, Abdul Rahman dkk. FiqihMuamalat. Jakarta: kencana

Prenada Media Group. 2010.

9) Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam: Fiqh

Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 2. 2004.

10)Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi

Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

11)Khallaf, Abdul wahaf, Ilmu Ushul Fiqh. Karbain: darul Qolam.

1978.

12)Lubis K, Suhrawardi dan Pasaribu Chairuman. Hukum

Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1994.

13)Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum.Surabaya: Hilal

(24)

16

14)Mas’ud, Ibnu. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2:

Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung: Pustaka Setia. 2007.

15)Moleong. Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya. 2009.

16)Nasution, S. Metode Research; Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2009), 143.

17)Qaradlawi,Yusuf. al-H}alal wa al-H}aram fi al-Isla>m, cet ke-13.

Beirut : al-Maktab al-Isla>m: 1980. 270.

18)Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid III. Bandung: Al-Ma’arif.

1988.

19)Saifudin, Azwar. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. 2010.

20)Seratno. Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis.

Yogyakarta: UUP AMP YKPM. 1995.

21)Syafei, Rahmat.Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.

2001.

22)Syariffudin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana.

2003.

23)Dan lain-lain.

6. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data yang dibutuhkan oleh penulis

secara komprehensif, dalam pengumpulan data penulis menggunakan

(25)

17

a. Observasi atau Pengamatan

Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang

diselidiki. 16 Dengan observasi ini, peneliti ingin melihat,

mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian atau

fenomena dan budaya yang terjadi sebagaimana sebenarnya yang

terjadi di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

b. Interview (wawancara)

Yaitu suatu metode yang dipergunakan untuk mendapatkan

keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden,

dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut.

17 Dalam melaksanakannya, penulis mengadakan interview

berencana dan interview tak berencana (wawancara tak

berstruktur) kepada pihak yang dipandang berkompeten untuk

diwawancarai adalah masyarakat setempat, pihak penggarap

maupun pihak yang mempunyai lahan di Desa Bolo Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Orang yang diwawancarai baik

penggarap maupun yang mempunyai lahan tersebut

masing-masing 5 orang.

c. Dokumen

16

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 70. 17

(26)

18

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah

pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. 18

Pada penelitian ini dokumen yang ingin dikumpulkan oleh peneliti

adalah dokumen yang berbentuk gambar yaitu foto dari aktifitas

pelaku akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah

Kabupaten Gresik.

7. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul akan dilkukan analisa dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing yaitu pengecekan atau pengoreksian data yang telah

dikumpulkan. Dengan kata lain pemeriksaan kembali data-data

yang diperoleh terutama dari segi kesempurnaannya, kelengkapan,

kejelasan makna, keserasian dan keselarasan setara satu dengan

yang lain. 19

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa

sehingga menghasilkan bahan untuk menyusun skripsi ini dengan

baik.

c. Analizing yaitu tahapan terakhir dengan menganalisis lebih lanjut

untuk memperoleh kesimpulan atas rumusan masalah yang ada. 20

8. Teknik Analisis Data

18

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1995), 73.

19Masruhan, Metodologi Penelitian…, 253.

20

(27)

19

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian

yang menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.21 Dan yang akan

dianalisis dengan cara berfikir induktif. Pola berfikir induktif ini

adalah cara berfikir dalam rangka menarik kesimpulan dari sesuatu

yang bersifat khusus kepada yang sifatnya umum. Proses penalaran ini

mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada,

yaitu untuk menggambarkan persoalan-persoalan tentang pelaksanaan

akad mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten

Gresik yang dikaji dengan realitas hukum Islam, kemudian dianalisis

dan dicocokkan dengan teori hukum Islam yang ada untuk menjawab

permasalahan yang terjadi.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi kedalam lima

bab, tiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang saling berhubungan

satu dengan yang lain. Adapun sistematika penyusunannya yaitu pada bab

pertama adalah pendahuluan. Bab pendahuluan ini berisi latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

21

(28)

20

Bab kedua adalah norma mukha>barah menurut hukum Islam. Pada bab

landasan teori ini yaitu akan dibahas tentang mukha>barah yang akan dibagi

menjadi beberapa sub bab. Sub bab yang pertama yaitu pengertian

mukha>barah, perbedaan muza>ra’ah, mukha>barah dan musa>qah, hukum

mukha>barah, rukun-rukun mukha>barah, syarat-syarat mukha>barah,

bentuk-bentuk muka>barah, akibat akad mukha>barah, hukum mukha>barah yang

tidak sah, berakhirnya akad mukha>barah, dan hikmah mukha>barah.

Bab ketiga adalah praktik mukha>barah di desa Bolo Kec.

Ujungpangkah Kab.Gresik. Bab ini memuat dua sub bab. Pada sub bab

pertama tentang gambaran umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah

Kabupaten Gresik. Kemudian sub bab kedua yaitu pelaksanaan

mukha>barah di Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik.

Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan

mukha>barah di desa Bolo Kec. Ujungpangkah Kab. Gresik. Bab ini memuat

data-data yang diperoleh dalam penelitian sehingga didapat hasilnya, yang

kemudian dilakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat guna

mendapatkan kesimpulan.

Bab kelima adalah penutup. Bab terakhir ini merupakan penutup yang

memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari pembahasan skripsi atau

penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. Saran

diperuntukkan pihak yang terkait dan yang tidak atau belum terlibat dalam

(29)

BAB II

NORMA MUKHA>BARAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Bagi Hasil dalam Hukum Islam

1. Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil sebagaimana telah disebutkan adalah suatu istilah

yang sering digunakan oleh orang-orang dalam melakukan usaha

bersama untuk mencari keuntungan yang akan diperoleh berdasarkan

kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam

suatu perjanjian.

Menurut istilah bagi hasil adalah transaksi pengelolaan hasil

bumi dengan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah (bumi)

tersebut. Yang dimaksudkan disini adalah pemberian hasil untuk orang

yang mengelola atau menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti

setengah, sepertiga atau lebih dari itu atau lebih rendah sesuai dengan

kesepakatan kedua belah pihak (petani penggarap dan pemilik tanah). 1

Jadi bagi hasil tanah pertanian adalah kerjasama antara pemilik tanah

dan petani penggarap dalam mengelola tanah pertanian dan hanya

dibagi antara keduanya.

Sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Umar ra :

1

(30)

22

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a berkata : sesungguhnya

Rasulullah SAW pernah memberi pekerjaan kepada penduduk Khaibar dengan upah separuh daripada hasil yang dikerjakan

seperti buah-buahan atau tanaman”.

Dalam fiqh Islam juga membahas secara khusus tentang cara

kerjasama dalam mengelola lahan dan perdagangan yang berkaitan

dengan modal dan tenaga antara pemilik tanah dengan pengelola atau

antara pemilik modal (harta) dengan pihak yang mempunyai keahlian

mengembangkan atau memperdagangkannya.

Sedangkan Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 tentang

perjanjian bagi hasil (tanah pertanian) disebutkan dalam pasal 1 poin c

bahwa:

“perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau

badan hukum pada pihak lain – yang dalam undang-undang ini

disebut “penggarap” – berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, denagn pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.

Sedangkan yang dimaksud dengan hasil sesuai dengan ketentuan

pasal 1 Undang-undang tersebut adalah: “hasil usaha pertanian yang

diselenggarakan oleh penggarap dalam perjanjian bagi hasil, setelah

dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam

dan panen”.

Pembagian hasil ini kepada pihak penggarap menurut kebiasaan

(31)

23

setengah, sepertiga atau lebih rendah dari itu, bahkan terkadang

cenderung sangat merugikan kepada pihak penggarap, sehingga terkadang

pihak penggarap selalu mempunyai ketergantungan kepada pemilik

tanah.2

Antonio juga menjelaskan tentang bagi hasil, bahwa:

Bagi hasil adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan

resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.3

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa yang di maksud

dengan sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya

perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di

dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas

keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih.

Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan

sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan

(Ab-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

Dalam hal bermu’amalah. Islam juga mengenal adat istiadat (‘Urf)

dapat juga dijadikan sumber hukum Islam,4 bila memenuhi syarat sebagai

berikut:

1. ‘Urf tidak berlawanan dengan nas yang ditegaskan

2Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1994), 61.

3Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 90.

4

(32)

24

2. ‘Urf telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan berkembang

dalam masyarakat

3. ‘Urf telah menjadi ‘Urf yang umum karena hukum yang umum tidak

dapat ditetapkan dengan ‘Urf yang khusus.

Menggunakan ‘Urf masyarakat sebagai dasar hukum dalam bidang

mu’amalah dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat

dan menghindari mereka dari kesempitan. Hal ini sesuai dengan kaidah

fiqhiyah:

Artinya: “adat/ tradisi (masyarakat) dapat dijadikan alasan untuk

menetapkan hukum”5

Sesuatu perbuatan atau perkataan yang menjadi adat kebiasaan

disuatu tempat yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang

lama dan tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat ditetapkan

sebagai hukum.

Dalam kaidah fiqh dikemukakan yakni:

Hukum asal dalam transaksi adalah keridhoan kedua belah pihak

yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. Maksud

keridhoan tersebut yakni keridhoan dalam transaksi adalah merupakan

prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada

keridhoan kedua belah pihak.

5

(33)

25

2. Prinsip Bagi Hasil

Prinsip bagi hasil secara murni ada empat macam yaitu:

al-musyarakah, al-mudharabah, al-muza>ra’ah atau al-mukha>barah dan

al-musa>qah.6

Prinsip al-musya>rakah dan al-mud>rabah sering dipakai atau

digunakan dalam bentuk akad bagi hasil yang ada kaitannya dengan

masalah perbankan bebas bunga. Sedangkan mukha>barah dan

al-musa>qah sering digunakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pertanian.

B. Macam-macam Bagi Hasil Tanah Pertanian

Dalam fiqh Islam kerjasama bagi hasil terbagi menjadi beberapa

macam, diantaranya terjadi pada bagi hasil dibidang pengolahan lahan

pertanian. Bagi hasil dibidang pengolahan lahan pertanian dalam Islam

dikenal dengan istilah “Muza>ra’ah atau Mukha>barah dan Musa>qah”.

Istilah-istilah bagi hasil dalam pengelolaan lahan petani tersebut diatas

diantaranya adalah:

1. Mukha>barah

a. Pengertian Mukha>barah

Mukha>barah ialah menyuruh orang lain untuk

mengusahakan tanah, ladang atau sawahnya untuk ditanami,

6

(34)

26

sedangkan benihnya berasal dari petani penggarap, dengan

perjanjian bahwa seperdua atau sepertiga dan hasilnya akan dibagi

antara pemilik lahan dan petani penggarap.

Hal semacam ini diperbolehkan oleh agama dan

dinamakan juga menyewakan tanah. Hak mukha>barah ini dapat

pula dipergunakan untuk membuka tanah kosong atau hutan

belukar yang menjadi milik seseorang. Banyaknya tanah yang

dipakai bergantung pada perjanjian kedua belah pihak.

Dalam hadist Rasulullah SAW dinyatakan:

Artinya: “Dari Thaus bahwa ia suka bermukha>barah. Berkata

Umar kepadanya: ya Abdurrahman, kalau engkau

tinggalkan mukha>barah ini, mereka akan mengatakan

bahwa Nabi SAW telah melarang mukha>barah, Thaus

berkata: telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu

Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang mukha>barah,

hanya saja beliau berkata: bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan upah tertentu” (H.R. Muslim)7

Jadi dapat disimpulkan mukha>barah ialah mengerjakan

tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan

(35)

27

sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).

Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang

mengerjakan.

b. PerbedaanMuza>ra’ah, Mukha>barah,dan Musa>qah

a. Muza>ra’ah

Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan petani

penggarap dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya

menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman

berasal dari pemilik tanah.

b. Mukha>barah

Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan petani

penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara

keduanya menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan

benihnya dari penggarap tanah.8

c. Musa>qah

Bentukkerja sama antara pemilik kebun dan petani

penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat

sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian hasil

tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan

kesepakatan sebelumnya. Kerja sama dalam bentuk musa>qat ini

berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat

8Abdul Rahman Ghazali dkk, FiqihMuamalat, (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010),

(36)

28

tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah

pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.9

Perbedaan tersebut dapat disimpulkan yaitu:

a. Muza>ra’ah : benih dari pemilik lahan

b. Mukha>barah : benih dari penggarap

c. Musa>qat : perawatan tanaman atau pepohonan

Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak

perbedaan antara muza>ra’ah dan mukha>barah adalah dari asal

benih, sedangkan musa>qah adalah kerja sama dalam pemeliharaan

dan perawatan pepohonan dalam sebidang kebun.

c. Hukum Mukha>barah

Dalam membahas hukum mukha>barah terjadi perbedaan

pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)

dan Zufar ibn Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi berpendapat

bahwa akad mukha>barah tidak boleh. Menurut mereka, akad

mukha>barah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua,

hukumnya batal.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah

sebuah hadist berikut:

Artinya: “Rasulullah SAW: yang melarang melakukan

al-mukha>barah”. (HR. Muslim dari Jabir ibn Abdillah)10

9

(37)

29

Menurut mereka, obyek akad dalamal- mukha>barah belum

ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk

petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan

tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan

dibagi, sejak semula tidak jelas.11 Boleh saja pertanian itu tidak

menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari

hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’du>m dan al-jaha>lah

inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan

Rasulullah SAW dengan penduduk Khaibar dalam hadist yang

diriwiyatkan al-Jama>’ah (mayoritas pakar hadist), menurut

mereka, bukan merupakan akad al-mukha>barah, adalah berbentuk

al-kha>raj al-muqa>samah, yaitu ketentuan pajak yang harus

dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam

prosentase tertentu. Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa

akad al-mukha>barah tidak sah, kecuali apabila al-mukha>barah

mengikut pada akad al-musa>qah (kerjasama pemilik kebun dengan

petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang

hasilnya nanti dibagi menurut kesepakatan bersama).

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H/

731-798 M), Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (748-804 M),

keduanya sahabat Abu Hanifah, dan Ulama azh-Zhahiriyah

10

M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam: Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet 2, 272.

11

(38)

30

berpendapat bahwa akadal-mukha>barah hukumnya boleh, karena

akadnya cukup jelas, yaitu menjelaskan petani sebagai serikat

dalam penggarapan sawah.

Menurut mereka, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa:

Artinya: “Rasulullah SAW. Melakukan akad muza>ra’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya dibagi antara Rasul dengan para pekerja”. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu

Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam

Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar)12

Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling

membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal ini

bertujuan untuk saling tolong menolong sesama manusia dan

sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:

Artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...(QS.

al-Maidah:2)13

Mereka yang memperbolehkan akad mukha>barah

berdasarkan pendapat bahwa mukha>barah merupakan akad syirkah

12Ibid., 277.

13Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Lentera

(39)

31

antara modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad mud}arabah

yang hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang

mendesak (dibutuhkan). Akad mukha>barah tersebut diperbolehkan

sebagaimana akad ija>rah dari segi kerja sama dalam hal

penggarapan tanah. Adapun upah dari muza>ra’ah adalah

ditentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.14

Dasar hukum mukha>barah yang digunakan para ulama

dalam menetapkan hukumnya adalah sebuah hadist yang

diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Ia berkata, sesungguhnya Nabi SAW.

Tidaklah mengharamkan bermuza>ra’ah, bahkan beliau

menyuruh supaya yang sebagian menyayangi sebagian lainnya, seraya beliau bersabda,“barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, dan jika ia tidak mau, bolehlah ditahannya saja tanah itu”. (H.R Bukhari

dan Muslim)15

Selain itu dalam kitab Subul as-Sala>m dijelaskan bahwa

larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi

dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, merekapun sangat

membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk

keberlangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadist

14Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu Jilid 4,Terj. Abdul Hayyie al-Kattani et.al.,

(Jakarta: Gema Insani, 2011), 565.

15Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah,

(40)

32

tentang larangan mukha>barah tersebut memiliki batasan, yakni

jika dalam perjanjiannya terdapat peraturan yang menekan salah

satu pihak, sehingga memberatkannya.16

Akad mukha>barah ini dalam operasionalnya menyerupai

akad syirkah dan ija>rah. Mukha>barah menyerupai akad syirkah

dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan

penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk

membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Mukha>barah

juga menyerupai akad ija>rah dan upahnya adalah bagian yang telah

ditentukan dari yang dihasilkan.17

Adapun bentuk mukha>barah yang diharamkan oleh Islam

menurut al-Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam

al-Hala>l wa a;-Hara>m adalah mukha>barah yang didalamnya terdapat

unsur penipuan dan ketidak jelasan yang membawa kepada

perselisihan. Para pemilik lahan mensyaratkan agar ia mendapat

hasil bagian pada lahan tertentu dan hasil pada bagain lahan yang

lainnya untuk petani penggarap.

Pada praktik tersebut terdapat unsur penipuan dan

ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan

untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada

yang dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa

16Moh. Anwar, Fiqih Islam : Mua>’malah, Muna>kah}at, Fara>id dan Jina>yah, (Hukum Perdata dan

Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, (Bandung: al-Ma’arif, 1988), 78-79. 17

(41)

33

kepada perselisihan antara keduanya. 18 Misalnya, dari luas 1.000

m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia

berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m tertentu.

Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat

pada 700 m tertentu.

Cara seperti ini adalah cara mukha>barah yang diharamkan.

Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah

satu pihak akan dirugikan, misalnya bila panen dari lahan yang

300 m itu gagal, maka pemilik lahan yang akan dirugikan.

Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka buruh

tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen

keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi

sesuai dengan perjanjian prosentase.

Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak

mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu

perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak,

maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya

sedikit kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara tersebut

merupakan pembagian yang lebih adil untuk kedua belah pihak.

Dengan demikian kita dapati bahwa pendapat jumhur

ulama (Malikiyah, Hanabilah dan Zhahiriyah) adalah pendapat

yang lebih kuat, yaitu hukum bolehnya akad mukha>barah ini. Hal

18Yusuf Qaradlawi, al-H}alal wa al-H}aram fi al-Isla>m, cet ke-13, (Beirut : al-Maktab al-Isla>m:

(42)

34

itu dikarenakan akad mukha>barah ini sejalan dengan

prinsip-prinsip syari’ah maqa>s}idnya. Akad ini bertujuan untuk saling

membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan

para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan

ketentuan hasilnya mereka bagi dengan sesuai dengan kesepakatan

bersama.

d. Rukun-rukunMukha>barah

Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya

rukun maka mukha>barahtidak akan dibilang sah, hal tersebut

merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi dalam

mukha>barahseperti ijab dan qabul dalam masalah jual beli, tanpa

adanya ijab qabul jual beli itu tidaklah sah, karena ijab qabul

merupakan rukun jual beli.

Demikian juga dalam masalah mukha>barah tentulah ada

unsur-unsur (rukun) yang dapat menyebabkan sahnya suatu

perjanjian mukha>barah, dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat

dalam menetapkan rukun-rukun tersebut pendapat itu antara lain:

1) Menurut Ulama Hanafiyyah

Menurut ulama Hanafiyyah adalah ija>b dan qabu>l.

Yaitu pemilik lahan berkata kepada pihak penggarap, “Aku

serahkan lahan ini kepadamu sebagai al-mukha>barah dengan

upah sekian.” Lalu pihak penggarap berkata, “Aku terima,”

(43)

35

menunjukkan bahwa ia menerima dan menyetujuinya bahwa ia

menerima dan menyetujuinya. Apabila ija>b dan qabu>l ini sudah

terjadi, maka berlakulah akad al-mukha>barah diantara

keduanya. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafi menyatakan

bahwa sahnya rukun mukha>barah ada 4 macam:

a) Ada tanah yang dikelola

b) Pekerjaan yang dilakukan pengelola

c) Benih

d) Alat pertanian

2) Menurut Ulama Malikiyah

Adapun pendapat ulama Malikiyah harus menabur

benih diatas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan

menanam tumbuhan diatas tanah yang tidak ada bijinya.

Menurut pendapat yang paling kuat, perkongsian harta

termasuk mukha>barah dan harus menggunakan sighat.19

3) Menurut Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa mukha>barah

tidak memerlukan qabul secara lafadz, tetapi cukup dengan

mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qabul.20

e. Syarat-syarat Mukha>barah

Adapun syarat-syarat mukha>barah menurut jumhur

ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan

19

Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid 4…, 565.

20

(44)

36

ditanam, tanah yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan

yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.21

1) Syarat orang yang berakad harus baligh dan berakal. Imam Abu

Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama

Hanafiyah tidak mensyaratkannya. (Abu Yusuf dan Muhammad

Hasan asy-Syaibani)22

2) Syarat penanaman yaitu harus diketahui secara pasti, dalam

artian harus dijelaskan apa (benih) yang akan ditanam. Karena

kondisi sesuatu yang ditanam berbeda-beda sesuai dengan

penanaman yang dilakukan. Karena ada jenis tanaman yang

bertambah ketika ditanam dan ada pula yang berkurang. Namun

hal yang sesuai dengan prinsip al-istihsa>n adalah, bahwa

menjelaskan apa yang ditanam tidak menjadi syarat di sini. Jika

yang disebutkan adalah al-mukha>barah, maka masalah apa yang

ditanam dipasrahkan kepada pihak penggarap.23

3) Syarat sesuatu yang ditanam yaitu haruslah berupa tanaman

yang aktivitas pengolahan dan penggarapan bisa berdampak

tanaman tersebut mengalami pertambahan dan pertumbuhan.

4) Syarat yang bekaitan dengan lahan pertanian

a) Tanah tersebut bisa digarap dan dapat menghasilkan

b) Batas-batas lahan tersebut harus jelas

21Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 278.

22

Rahmat Syafei, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2, 208.

23

(45)

37

c) Ada penyerahan tanah

d) Tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani

penggarap untuk diolah

5) Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen

a) Jelas ketika akad, Penggarap wajib menjelaskan perkiraan

hasilpanenkepadapemiliklahandalamakadmukha>barah

b) Pembagian hasil panen harus jelas

c) Hasil panen tersebut harus jelas benar-benar milik bersama

orang yang berakad

d) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang

ma’lum24

e) Hasil pendapatan juga harusdiketahui nilainya dalamakad,

seperti ½ atau 1/3 darihasil. Karenaiatermasukdalamakad

ija>rah dimana apabila upah dalam ija>rah tidak diketahui

makaakadakanrusak.

f) Dalam pembagian hasil yang dibagi adalah hasil bersama

tanpa adanya pensyaratan dari sipemilik lahan atas hasil dari

bagaian labah tertentu, atau dari benih tertentu.

g) Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan

mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh

masing-masing pihak.

24

(46)

38

h) Tiap pihak harus mendapat prosentase dari hasil pertanian,

apabila hasil pertanian hanya untuk satu pihak tanpa pihak

lain maka akad mukha>barah akan rusak.

i) Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad

mukha>barah dapat mengakibatkan batalnya akad.

j) Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang

melakukan pelanggaran (penyimpangan), menjadi milik

pemiliklahan.

k) Dalam hal penggarap melakukan pelanggaran, pemilik lahan

dianjurkan untuk memberikan imbalan atas kerja yang telah

dilakukan penggarap.

6) Syarat yang berkaitan dengan waktu harus jelas

Disyaratkan agar masa berlangsungnya akad diketahui. Akad

mukha>barah tidak diperbolehkan hanya apabila masa

berlangsungnya diketahui. Ini dikarenakan apabila ia termasuk

dalam akad ija>rah atau sewa-menyewa dengan pembagian hasil

dari lahan. Maka, jika ija>rah tidak diperbolehkan dengan masa

yang tidak diketahui sama halnya dengan mukha>barah.

Kemudian apabila masa akad adalah hal yang terlalu lama,

sehingga si penggarap tidak dapat bekerja lagi, atau apabila

(47)

39

7) Syarat yang berkaitan dengan obyek akad juga harus jelas

pemanfaatan benihnya, pupuknya, dan obatnya. Seperti yang

berlaku dengan adat dan kebiasaan daerah setempat.

Imam Hanafi membagi ma’qud alaih atau objek yang dijadikan

akad menjadi dua bagian yaitu:

a. Manfaat dari pekerjaan si penggarap, atau yang dijadikan

akad disini adalah manfaat dari si penggarap dalam

pengelolaan lahan. Hal ini apabila benih berasal dari si

pemilik lahan, karena si pemilik lahan menjadi pihak yang

menyewa si penggarap untuk mengelola lahannya dengan

adanya pembagian nisbah dari hasil pertanian.

b. Manfaat dari lahan, hal ini apabila benih berasal dari di

penggarap, maka ia seolah menjadi penyewa atas lahan dari

si pemilik dengan pembayaran lahan yang berasal dari

penambahan modal dari (benih) yang ditanam.

8) Syarat-syarat yang dapat merusak akad

a. Apabila hasil dari pertanian hanya diperuntukan kepada

salah satu pihak saja tanpa pihak lain.

b. Syarat yang menjadikan ketidakpastian dalam perolehan

hasil pertanian antara kedua belah pihak. Atau apabila salah

satu mensyaratkan prosentase khusus bagi dirinya atas hasil

pertanian atau tanaman pada bagian tertentu, tanpa bagian

(48)

40

c. Apabila si pemilik lahan disyaratkan untuk mengelola

sendiri lahannya atau ikut serta dalam mengelola

lahan.Alasan dilarangnya syarat ini karena ia menghalangi

adanya pembebasan antara lahan dan penggarapan, dan

segala syarat yang menghalanginya akan merusak akad.

d. Syarat untuk menjaga lahan kepada sipemilik lahan sebelum

tiba waktu panen.

e. Apabila akad mukha>barah disyaratkan agar berakhir pada

waktu yang tidak diketahui (majhu>l), misalnya: akad

mukha>barah akan berakhir dengan habisnya masa hidupnya

suatu tanaman. Dalam arti lain, bahwa akad ini akan

berakhir dengan berakhirnya masa hidup suatu tanaman

secara alami.

Apabila semua syarat (sahih) dalam akad mukha>barah

telah terpenuhi, maka terbentuklah akad mukha>barah yang benar.

Kemudian akan timbul akibat dari terpenuhi syarat-syarat tersebut

sebagai berikut:

1) Bagi sipenggarap untuk bertanggungjawab atas pengelolaan

lahan dan segala yang dibutuhkan oleh tanaman. Dari segi

penumbuhan, penyiraman dan penjagaan tanaman.

2) Bagi sipengelola lahan untuk menggarap lahan pertanian

apabila disyaratkan dalam akad. Karena ia termasuk dalam

(49)

41

disyaratkan oleh kedua belah pihak (akad mutlak),

penggarapan lahan harus tetap dilaksanakan. Dikarenakan,

tanaman tidak akan tumbuh dengan baik hanya apabila lahan

pertanian digarap oleh penggarap.

3) Pajak bumi ditanggung oleh sipemilik lahan, bukan kepada si

penggarap. Ia juga tidak boleh disyaratkan kepada sipenggarap

lahan, atau diambil dari hasil pertanian kemudian sisa dari

potongan tersebut dibagi untuk kedua belah pihak. Karena,

apabila pajak tersebut diambil dari hasil panen, hal ini sama

artinya apabila sipemilik lahan mensyaratkan bahwa hasil

pertanian adalah miliknya sendiri. Karena ia berdampak pada

pengurangan prosentase bagian pada akad mukha>barah yang

berdasarkan kerjasama antara dua pihak dan merugikan pihak

penggarap. Maka, syarat ini dapat merusak akad mukha>barah

tersebut.

4) Segala pembiayaan dalam pertanian menjadi tanggungan

kedua belah pihak (sipemilik lahan dan penggarap).

Sebagaimana, bagian dari hak mereka, misalnya: pembelian

pupuk, membersihkan rumput yang mengganggu. Keduanya

juga bertanggungjawab atas upah panen, dan upah membawa

hasil panen ke gudang. Karena, semua hal ini bukan termasuk

dari pekerjaan sipenggarap semata. Kecuali bila sipenggarap

(50)

42

5) Karena kedua belah pihak berhak atas pembagian hasil

pertanian sesuai dengan perjanjian keduanya. Maka, bagi

kedua pihak untuk membawa dan menjaga hasil panen

masing-masing setelah pembagian prosentase. Karena dengan

selesainya pembagian hasil panen, maka selesai pula akad

mukha>barah.

6) Apabila penggarapan ini gagal, atau lahan tidak dapat

menghasilkan tanaman, maka kedua belah pihak tidak

mendapat apapun dari mukha>barah tersebut. Dimana

sipenggarap tidak mendapat upah dari pekerjaannya, begitu

pula sipemilik lahan tidak mendapat bagian dari pemakaian

lahan tersebut.

f. Hukum Mukha>barah yang Tidak Sah25

1) Jika pihak penggarap tidak berkewajiban melakukan apa pun

dari pekerjaan pengolahan dan penggarapan lahan. Maka hal

tersebut tidak sah.

2) Hasil tanaman lahan semuanya adalah untuk pihak yang

mengeluarkan modal benih, baik apakah ia adalah pemilik

lahan maupun pihak penggarap. Maka hal semacam itu tidak

sah.

3) Jika pemilik lahan yang mengeluarkan benih, maka pihak

penggarap berhak mendapatkan upah ajru>l mitsl atas

25

(51)

43

pekerjaan yang telah dilakukannya, dan apabila petani

penggarap yang mengeluarkan benih, maka ia berkewajiban

membayar biaya sewa ajru>l mitsl kepada pemilik lahan, maka

hal ini tidak sah. Dikarenakan dalam dua kasus ini adalah akad

al-isti’ja>r, yaitu untuk kasus yang pertama, pihak pemilik

lahan berarti memperkerjakan petani penggarap, sedangkan

untuk kasus yang kedua, pihak pemilik lahan menyewakan

lahannya kepada pihak penggarap.

4) Petani penggarap menggarap atau menggunakan lahan pemilik

lahan, dan lahan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, akan

tetapi masih berlaku ajru>l mitsl (upah standar atau biaya sewa

lahan standar) bagi petani penggarap, maka hal ini tidak sah.

5) Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ajru>l mitsl (upah

standar atau biaya sewa lahan standar) ditetapkan sesuai kadar

atau bagian yang sudah ditetapkan diawal akad. Maka hal ini

tidak sah.

g. BerakhirnyaAkad Mukha>barah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad muzara’ah

mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila:26

1) Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila

jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu

belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai

26

(52)

44

panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama

di waktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu,

menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah

sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petani

setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya

tanaman, seperti: pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan

merupakan tanggungjawab bersama pemilik tanah dan petani,

sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.

2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah

seorang yang berakad wafat, maka akad mukha>barah berakhir,

karena mereka berpendapat bahwa akad ijarah tidak boleh

diwariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama

Syafi’iyah berpendapat bahwa akad mukha>barah itu dapat

diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berakhir dengan

wafatnya salah satu pihak yang berakad.

3) Adanya udzur salah satu pihak, baik dari pemilik tanah

maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak

boleh melanjutkan akad mukha>barah itu. Uzur dimaksud

antara lain adalah:

a) Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu

harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat

melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan

(53)

45

tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak

panen, maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.

b) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan

suatu perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu

melaksanakan pekerjaannya.

h. Hikmah Mukha>barah

Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak

seperti: kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk

berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi

tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia

mempunyai sawah, tanah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk

ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk

mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak

sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang

dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.27

27

(54)

BAB III

PRAKTIK AKAD MUKHA>BARAH DI DESA BOLO KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK

A. Gambaran Umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten

Gresik

1. Demografi

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015,

jumlah penduduk Desa Bolo adalah terdiri dari 713 KK, dengan jumlah

total 2.791 jiwa, dengan rincian 1342 laki-laki dan 1449 perempuan

sebagaimana tertera dalam Tabel Desa Bolo.

(55)

47

Sumber: Dokumentasi Desa Bolo

Secara geografis Desa Bolo terletak pada posisi 7°21'-7°31'

Lintang Selatan dan 110°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi

ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m

di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten Gresik

tahun 2004, selama tahun 2004 curah hujan di Desa Bolo rata-rata

mencapai 2.400 mm. Curah hujan terbanyak terjadi pada bulan

Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan curah hujan

tertinggi selama kurun waktu 2008-2012.

Secara administratif, Desa Bolo terletak di wilayah Kecamatan

Ujungpangkah Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah

desa-desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kebon agung ,

Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sekapuk Kecamatan

Ujungpangkah Di Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sambi

pondok. Kecamatan Sidayu., sedangkan di Sebelah timur berbatasan

dengan Desa Glatik Kecamatan Ujungpangkah.

Jarak tempuh Desa Bolo ke ibu kota kecamatan adalah 7 km,

yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 0.25 Jam Sedangkan jarak

tempuh ke ibu kota kabupaten adalah 29 km, yang dapat ditempuh

dengan waktu sekitar 1.25 jam.

Desa Bolo memiliki wilayah dengan luas 323. 174 Ha, yang

Gambar

Gambaran Umum Desa Bolo Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten
 Tabel 3.2
  Tabel 3.3
  Gambar 3.1 Wawancara dengan Ibu Siti Mualifah
+6

Referensi

Dokumen terkait

Selain bentuk fisik, maka sebagai media pendukung untuk menjangkau target audience generasi millennials dengan lebih luas, perancangan dihadirkan pula dalam bentuk digital

Pada kegiatan inti pelajaran, guru memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran Fisika dengan Kompetensi Dasar Menerapkan gerak parabola dengan menggunakan

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa media packet tracer ini layak untuk dikembangkan oleh guru sebagai pedoman dalam meningkatkan kreativitas belajar

Pada saat ini, aplikasi pesan telah digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan kepada penerimanya, masyarakat menggunakan aplikasi pesan menjadi alat

kehamilan (NKB-SMK). b) Dismaturitas : bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat. badan seharusnya untuk masa

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dibuktikan secara empiris mengenai persepsi konsumen atas kualitas pelayanan yang selama ini telah diberikan oleh industri

Bogdan & Taylor ( Moleong, 2004 ) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang