• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI METODE PSIKODRAMA PADA SISWA KELAS VIII SMP N 1 SLEMAN YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI METODE PSIKODRAMA PADA SISWA KELAS VIII SMP N 1 SLEMAN YOGYAKARTA."

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Novi Okta Alfasnur NIM 08104241016

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

Pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat saja tidaklah

cukup kita harus melakukannya ( Johan Wolfgang von Goethe ).

Jenius adalah 1% inspirasi dan 99 % keringat. (Thomas A. Edison)

Tidak perlu untuk selalu merasa ingin seperti orang lain, saat kita melihat

orang lain bahagia belum tentu mereka bahagia bisa saja saat itulah kita

yang paling merasa bahagia. ( Penulis )

(6)

Karya ini saya persembahkan kepada :

1. Orang tuaku tercinta dan tersayang, Bapak Daniel Hermansyah dan Ibu Sri Ida Karyana yang senantiasa berdoa dan memberikan dukungan.

2. Keluarga besarku yang memberikan nasihat dan semangat-semangatnya. 3. Almamater.

(7)

SLEMAN YOGYAKARTA

Oleh

Novi Okta Alfasnur NIM 08104241016

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatkan kecerdasan emosional siswa kelas VIII D SMP N 1 Sleman melalui metode psikodrama.

Peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas dengan subyek penelitian adalah siswa kelas VIII D SMP N 1 Sleman berjumlah 15 siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Penelitian dilakukan dalam 2 siklus. Pada siklus pertama terdiri atas enam tindakan, sedangkan pada siklus kedua terdiri atas dua tindakan. Alat pengumpul data dengan mengggunakan skala kecerdasan emosional, observasi, dan wawancara. Uji validitas menggunakan Product Moment Pearson dan diperoleh nilai validitas yang bergerak dari 0,474-0,686. Sedangkan uji reliabilitas instrument menggunakan Alpha Cronbach diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,939. Analisis data menggunakanan analisis deskriptif kuantitatif.

Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: siklus pertama dengan tindakan psikodrama tanpa naskah dengan judul 1) Berani tampil didepan publik 2) Penemuan dompet 3) Terry si pembuat onar 4) Hobi dan bakatku 5) Persahabatan bagai kepompong 6) Sari si gadis yang baik. Masing-masing naskah drama memunculkan aspek-aspek kecerdasan emosional. Pada siklus kedua dilakukan 2 tindakan psikodrama tentang Terry si pembuat onar dan persahabatan bagai kepompong. Peningkatan kecerdasan emosional dapat dilihat dari perolehan hasil skor rata-rata pre-test sebesar 69,4, setelah dilakukan tindakan hasil skor rata-rata post test I menjadi 100,9 skor meningkat sebesar 31,5, sedangkan hasil skor rata-rata post test II menjadi 125,2 skor meningkat sebesar 24,3 yang berada pada kategori tinggi. Hasil observasi menunjukkan bahwa ada peningkatan dari pretest, post test I dan post test II dimana siswa sudah memahami dan mampu mengelola emosi dengan baik, adanya peningkatan motivasi pada siswa, dan saling menghargai antar teman. Sedangkan hasil wawancara bahwa siswa dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui metode psikodrama.

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Skripsi yang berjudul Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Metode Psikodrama Pada Siswa Kelas VIII SMP N 1 Sleman ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri

(9)

dan keikhlasan bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Eva Imania Eliasa, M,Pd. dosen pembimbing II yang dengan sabar, teliti memberikan arahan, masukan, saran, dan memotivasi saya yang tiada henti di sela-sela kesibukannya dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan wawasan, ilmu dan pengalamannya kepada penulis selama study penulis.

7. Ibu Dra. Wahyuni Kismardini, Kepala Sekolah SMP N 1 Sleman yang telah memberikan izin penelitian.

8. Ibu Anik guru BK SMP N 1 Sleman yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.

9. Siswa-siswi SMP N 1 Sleman khususnya kelas VIII D atas kesediaannya dalam membantu penelitian.

10. Kedua orang tua tercinta Papa Daniel dan Mama Sri yang telah tulus dan iklas dalam memberikan cinta dan kasih sayang serta dukungan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

(10)

motivasi, membantu saat penelitian, menemani mengerjakan skripsi dan kesetiaannya selama ini, terutama disaat penyusunan skripsi ini.

13. Sahabatku tersayang mbak Denisa, Melsi, Bagus, Kartika, Rudi, Epril, Risma, Hendy, Kadarisman dan teman-teman kost putri wisma bali yang bersedia memberikan motivasi, pengarahan, menemani saat mengerjakan skripsi dan membantu dalam melaksanakan penelitian. Yang belum selesai cepat menyusul.

14. Teman-teman BK semua angkatan, khususnya BK 2008 kelas A yang telah berbagi suka, duka serta pengalaman yang berharga bagiku selama menempuh study. Semoga kita sukses selalu.

15. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikian pengantar dari penulis, semoga tugas akhir skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi pengembangan dunia pendidikan. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan, maka saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.

Yogyakarta, Juli 2013

(11)

HALAMAN JUDUL ... I

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ... 1

B. Identifikasi Masalah ...………... 8

C. Pembahasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Kecerdasan Emosional... 11

1. Pengertian Emosi ... 11

2. Pengertian Kecerdasan Emosional ...…..…... 14

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional ...…………..………... 19

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional ... 28

5. Faktor Kecerdasan Emosional ...……... 32

B. Kajian tentang Psikodrama... 38

(12)

3. Aspek – aspek Psikodrama ...………... 42

4. Langkah-langkah Psikodrama ... 46

C. Kerangka Pikir ...…...…………... 52

D. Hipotesis ...…………...………... 55

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian .………..……… 56

B. Subyek Penelitian ... 57

C. Tempat dan Waktu Penelitian …………...……… 57

D. Model Penelitian ....………...……….... 58

E. Rancangan Tindakan ………...………....……... 59

F. Teknik Pengumpulan Data ………...………... 68

G. Instrumen Penelitian ………..………... 70

H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .…….………... 75

I. Teknik Analisis Data ...…………...…………..………...…... 79

J. Kriteria Keberhasilan ... 81

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Lokasi Penelitian ...……..………….………... 82

B. Data Subyek Penelitian ...………..……... 83

C. Deskripsi Studi Awal dan Pra Tindakan Penelitian ...…...………... 83

D. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Tindakan ...………... 86

E. Pembahasan ...……..………... 115

F. Keterbatasan Penelitian ..……..………..………... 119

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(13)

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Observasi Kecerdasan Emosional …………. 71

Tabel 2. Pedoman Wawancara dengan Guru Bimbingan dan Konseling... 72

Tabel 3. Pedoman Wawancara kepada Pemeran Psikodrama………... 72

Tabel 4. Pedoman Wawancara Kepada Subyek Penelitian ... 73

Tabel 5. Kisi-kisi Skala Kecerdasan Emosional ... 74

Tabel 6. Rangkuman Item Sahih dan Item Gugur ... 77

Tabel 7. Rumus Kategori Skala ... 80

Tabel 8. Kategori Kecerdaan Emosional ... 80

Tabel 9. Subyek Penelitian ... 83

Tabel 10. Kategori Kecerdasan Emosional ... 84

Tabel 11. Hasil Skala Pre-Test ... 85

Tabel 12. Peningkatan Hasil tentang Kecerdasan emosional... 102

Tabel 13. Peningkatan Hasil Skala Kecerdaan Emosional ... 110

(14)

Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan .………... 58

Gambar 2. Hasil Skor Pre-test Kecerdasan Emosional .... ... ... 85

Gambar 3. Hasil Skor Post Test I Kecerdasan Emosional ... 102

Gambar 4. Hasil Skor Post Test II Kecerdasan Emosional ... 111

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji Coba ... 126

Lampiran 2. Rekaptulasi Hasil Coba Instrument ... 131

Lampiran 3. Skala Penelitian ...136

Lampiran 4. Naskah Drama ... 141

Lampiran 5. Hasil Observasi ... 178

Lampiran 6. Hasil Wawancara ... 200

Lampiran 7. Hasil Data Penelitian ... 204

Lampiran 8. Dokumentasi ... 208

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja hadir dengan fenomena yang berbeda. Pada remaja biasanya

terjadi perubahan yang cukup mencolok baik psikis maupun fisik. Perubahan

psikis yang dihadapi remaja adalah mulai berusaha untuk mengembangkan dan

menyempurnakan pribadi serta berusaha menunjukkan identitas remaja.

Disamping itu setiap individu yang memasuki masa remaja akan memiliki

permasalahan yang lebih kompleks dibandingakn dengan masa sebelumnya.

Hal ini disebabkan pada masa remaja sudah memasuki dunia pergaulan yang

lebih luas dengan pengaruh dari teman sebaya dan lingkungan sosial, sehingga

menuntut remaja untuk beradaptasi.

Pada masa remaja yang dikenal sebagai masa stom and stress (masa badai

dan tekanan) terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik

yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Menurut psikolog

Elizabeth B. Hurlock (1997, 207-212) masa remaja memang menunjuk pada

sebuah rentang waktu dalam perjalanan hidup manusia. Pergolakan emosi yang

terjadi pada siswa tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, seperti

lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman-teman sebaya, serta

aktifitas-aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila aktifitas-

(17)

menghabiskan waktu di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan

gejolak energinya ke arah yang tidak positif misalnya tawuran, hal ini

menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri siswa bila

berinteraksi dengan lingkungannya.

Setiap siswa di sekolah dihadapkan dengan berbagai mata pelajaran dari

guru di sekolah. Siswa dituntut untuk bisa mengikuti semua mata pelajaran dan

dapat memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Selain itu terdapat juga

beberapa siswa yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengikuti dan

memahami pelajaran yang diberikan oleh guru serta juga terdapat beberapa

siswa yang tidak mempunyai ketekunan mengerjakan tugas, kurangnya

semangat dan motivasi untuk mengikuti pelajaran yang diberikan.

Dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah, siswa dituntut untuk

melakukan penyesuaian, karena belum tentu perlakuan mereka sesuai dengan

apa yang diharapkan. Dalam lingkungan ini kecerdasan emosional merupakan

salah satu bagian dalam kegiatan belajar. Melalui kecerdasan emosional siswa

dapat mengendalikan dirinya, dapat mengontrol perbuatan dan mengendalikan

emosi, serta mampu menyelesaikan tugas dengan baik didorong dengan

semangat dan ketekunan untuk belajar. Apabila anak atau siswa yang

bersangkutan tidak memiliki kecerdasan emosional maka siswa tersebut tidak

dapat mengontrol perbuatannya, tidak dapat mengendalikan emosi serta tidak

bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain. Secara tidak langsung hal ini

(18)

Kondisi di atas merupakan gejala siswa yang mempunyai kecerdasan

emosional yang kurang. Menurut Goleman (2001: 44) mulai menggunakan

istilah kecerdasan emosional dengan Emotional Intelegence. Istilah Kecerdasan

emosional atau yang biasa dikenal dengan Emotional Intelegence (EI) bukan

Emotional Quotiont (EQ). Dalam hal ini emosi mengacu pada perasaan

terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelegence)

mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu

hubungan.

Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting

dengan kecerdasan intelektual (IQ). hal ini menunjukkan bahwa IQ bukan

merupakan satu-satunya keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang

mempengaruhi. Pernyataan itu didukung juga oleh Agus Nggermanto (2002:

97) menggungkapkan bahwa IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20%

sedangkan 80% ditentukan oleh faktor lain, salah satunya adalah kecerdasan

emosional. Kabar baiknya adalah kecerdasan emosional seseorang dapat

dikembangkan lebih baik, lebih menantang dan lebih prospek dibanding IQ

yang telah di buktikan oleh Erni Setiyani. Sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Erni Setyani (2012: 83) membuktikan bahwa kecerdasan emosional dapat

ditingkatkan melalui metode bermain teamwork. Kecerdasan emosional dua

kali lebih penting dari pada kecerdasan intelektual dalam memberikan

(19)

Kecerdasan emosi yang dinyatakan oleh Salovey (Goleman, 57: 2009)

memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan

sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu.

Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seorang untuk mengenal

diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain

(empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang

lain. Begitu juga pendapat Daniel Goleman (2004: 30-31) menyebutkan

kecerdasan emosi sebagai serangkaian kecakapan yang memungkinkan

seseorang melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek pribadi, sosial, dan

pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan

kepekaan penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari.

Pernyataan di atas terjadi di SMP N 1 Sleman Yogyakarta, hasil

observasi yang dilakukan peneliti pada siswa kelas VIII SMP N 1 Sleman

Yogyakarta, maka dapat diketahui banyak siswa kelas VIII SMP N 1 Sleman

Yogyakarta membuktikan bahwa banyak siswa mengalami masalah kecerdasan

emosional. Begitu juga dengan hasil wawancara pada siswa kelas VIII di SMP

N 1 Sleman Yogyakarta yaitu siswa banyak yang tidak mempunyai kecerdasan

emosional dengan baik, mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian

dengan lingkungan sekolah termasuk dalam penyesuaian pertemanan. Mereka

juga banyak yang tidak dapat mengatur suasana hati yang berlebihan, seperti

(20)

alami, seperti sering berteriak–teriak, melompat, tidak dapat mengontrol emosi

saat marah serta kesal baik pada teman-temannya dan pada guru.

Ditemukan juga siswa yang tidak bisa bekerja sama dengan teman dan

tidak bisa berempati kepada orang lain, saling memojokkan satu sama lainnya.

Selain itu, banyak siswa yang mengatakan tidak bisa menyelesaikan masalah

sendiri dengan baik. Banyak siswa yang lari dari masalahnya di sekolah,

sehingga siswa sering tidak masuk sekolah untuk menghindari masalahnya

tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara kepada Guru bimbingan dan konseling di

SMPN 1 Sleman Yogyakarta menjelaskan bahwa pada umumnya siswa belum

memperoleh bimbingan yang maksimal, karena tidak adanya jam masuk kelas

untuk guru BK. Sehingga guru BK masuk kelas hanya jam pelajaran kosong

saja, untuk masuk kelas guru BK harus meminta waktu jam pelajaran guru lain.

Usaha yang pernah dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling untuk

mengatasi masalah kecerdasan emosional adalah dengan memberikan

bimbingan klasikal, guru BK belum menemukan materi yang tepat untuk

bimbingan klasikal sehingga guru masih menggunakan metode lama,

bimbingan individu, bimbingan kelompok dan pemberian sanksi untuk siswa

yang bermasalah di kelas maupun diluar kelas. Namun jika pelanggarannya

sudah berat, seperti berkelahi, hamil, sering membolos dan membawa senjata

(21)

Penanganan yang dilakukan oleh guru pembimbing, belum berdampak positif

bagi siswa. Seringkali siswa masih melakukan hal yang sama dalam jangka

waktu berdekatan.

Dalam mengantisipasi masalah kecerdasan emosional siswa yang rendah,

maka diperlukan suatu teknik sebagai upaya meningkatkan kecerdasan

emosional sehingga siswa sadar berkeinginan untuk menata dirinya menjadi

lebih baik lagi. Salah satu teknik atau strategi yang berfungsi untuk

meningkatkan kecerdasan emosional adalah dengan menggunakan metode

psikodrama. Berdasarkan hasil Penelitian yang dilakukan oleh Dhika Dwi

Janiati di Panti Asuhan Muhammadyah Malang (2011) menujukkan bahwa

pemberian psikodrama dapat meningkatkan happiness pada remaja yang tinggal

di panti asuhan. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan total skor happiness

yang semakin meningkat.

Psikodrama merupakan suatu strategi dalam bimbingan dan konseling

yang bermanfaat untuk mengubah dan mengekplorasi jiwa manusia melalui

aksi dramatik artinya memainkan sebuah peran tetapi tidak bersungguh-

sungguh. Melalui psikodrama individu dapat mengarahkan dan mengelola

perilakunya. Pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan keterampilan

mengubah perilaku yang dimilikinya. Pengubahan perilaku juga harus

(22)

Psikodrama dapat digunakan oleh konselor sekolah untuk membantu

memcahkan masalah–masalah siswa yang bersifat psikologis. Metode

psikodrama ini memang sangat membantu untuk memecahkan masalah karena

secara spontan siswa dapat menggali sendiri masalahnya (mengeksplorasi

potensi-potensi yang yang ada dalam dirinya), meluapkan emosi yang

terpendam serta mendapatkan pemecahan masalah yang berasal dari konselor

dan anggota kelompok lainnya.

Seperti yang dikembangkan oleh Bennet (Romlah 2001: 99), psikodrama

merupakan bagian dari permainan peran (role playing). Bennet membagi

permainan menjadi dua macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Sosiodrama

adalah permainan peranan yang ditunjukan untuk memecahkan masalah yang

timbul dalam hubungan antar manusia. Psikodrama merupakan dramatisasi dari

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan serius dalam kesehatan

mental para partisipan, sehingga tujuannya ialah perombakan dalam struktur

kepribadian seseorang. Menurut WS Winkel (Titik: 2001) Psikodrama bersifat

terapi dan ditangani oleh seseorang ahli psikoterapi.

Metode psikodrama dapat membantu siswa meningkatkan kecerdasan

emosionalnya, karena dalam metode psikodrama didalamnya bertujuan

membantu siswa mengatasi masalah pribadi dan sosial dengan cara

menggunakan permainan peran, drama atau terapi tindakan. Melalui cara –cara

(23)

agresi, perasaan bersalah dan kesedihan ( Semiun, 2006 : 562 ). Di usia yang

masih aktif, remaja yang seperti ini membutuhkan arahan emosi yang jelas.

Cara yang dilakukan pun harus cara yang kreatif dan tidak membosankan. Dari

pandangan di atas, peneliti ingin meningkatkan kecerdasan Emosional melalui

metode psikodrama yang selama ini tidak pernah dilakukan di SMPN 1 Sleman

Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang di paparkan di atas, maka dapat

ditemukan masalah-masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini. Masalah

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Siswa kelas VIII mempunyai kecerdasan emosi yang rendah.

2. Siswa kelas VIII sebagian besar belum dapat mengelola emosi, sehingga

sering berlebihan ketika marah.

3. Kecerdasan emosional siswa kelas VIII cenderung masih rendah,

sehingga tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan teman-

temannya dan guru.

4. Metode bimbingan yang diberikan kepada siswa kurang efektif.

Diperlukan metode alternatif yang dapat meningkatkan kecerdasan

emosional.

5. Metode psikodrama belum pernah diterapkan pada siswa kelas VIII untuk

(24)

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah, identifikasi masalah dan

dengan memperhatikan keterbatasan peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada

peningkatan kecerdasan emosional melalui metode psikodrama.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana metode

psikodrama dapat meningkatkan kecerdasan emosional pada siswa kelas VIII

SMPN 1 Sleman Yogyakarta”.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk Meningkatkan kecerdasan emosional

siswa kelas VIII SMPN 1 Sleman Yogyakarta melalui metode psikodrama”.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan teknik bimbingan yang bervariasi dalam bimbingan dan

konseling, khususnya di bidang pribadi dan sosial yang berkaitan dengan

kecerdasan emosi dan metode psikodrama.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru Bimbingan dan Konseling hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi referensi bagaimana meningkatkan kecerdasan

emosional siswa dan dapat dijadikan data bagi kegiatan layanan

(25)

b. Bagi siswa memperoleh pengetahuan pentingnya kecerdasan

emosional bagi kehidupan dan meningkatkan kecerdasan emosional

yang siswa miliki.

c. Bagi peneliti memberikan pengalaman serta menambah wawasan

tentang bagaimana menggunakan metode psikodrama sebagai salah

satu metode dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa.

d. Bagi peneliti selanjutnya dapat menjadi bahan informasi serta

(26)

BAB II KAJIAN

PUSTAKA

A. KAJIAN TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL

1. Pengertian Emosi

Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence (2004 : 411)

menyebutkan istilah emosi tepatnya masih membingungkan, baik para

ahli psikologi maupun ahli filsafat selama lebih dari satu abad. Dalam

makna paling Harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi

sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap

keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Sedangkan menurut

Goleman (Siti Sundari,2004: 41) pada prinsipnya emosi dasar meliputi

takut, marah, sedih, dan senang. Perkembangan emosi yang lain

merupakan hasil campuran. Reaksi-reaksi itu diantaranya takut, gelisah,

marah, sedih/susah, senang/gembira, dan iri. Dari pernyataan tersebut

emosi merupakan pergolakan pikiran, perasaan dan nafsu yang muncul

setiap keadaan mental sedang meluap-luap dalam bentuk emosi takut,

marah, sedih, dan senang.

Siti Sundari (2004: 40) menjelaskan bahwa emosi merupakan

bagian dari perasaan dalam arti luas. Emosi nampak karena rasa yang

bergejolak sehingga yang bersangkutan mengalami perubahan dalam

(27)

situasi tersebut. Karena affektifitas melebihi batas yang bersangkutan

tidak dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya, misalnya tertawa

terkekeh-kekeh yang tak terkendali dalam suasana duka.

Sesuai dengan pandangan ini, di dalam buku terbarunya yang

menjadi best-seller, The Heart of the soul: Emotional Awareness, Gary

Zukav dan Linda Francis (2007: 13) menjelaskan bahwa belajar

memahami emosi merupakan salah satu hal yang paling sulit yang dapat

dilakukan. Banyak orang tidak mengenali emosi mereka disaat marah,

dan emosinya tidak dapat terkontrol. Beberapa orang tidak tahu bahwa

mereka sedang bersedih, sehingga kesedihan adalah hal yang terburuk

dalam hidup mereka. Kebanyakan orang berpikir emosi sanggat

menggangu rutinitas atau kegiatan, prestasi dan kelangsungan hidup.

emosi kita memiliki komponen yang bersifat fisik, seperti sakit atau tidak

nyaman pada tubuh kita dalam merespon emosi yang negatif. Emosi yang

positif, di sisi lain, akan menciptakan sensasi perasaan senang. Gery dan

Linda menjelaskan bahawa perasaan-perasaan fisik tersebut diiringi

dengan pikiran-pikiran.

Chaplin (Triantoro Safaria dan Norfans Eka Saputra, 2009: 12)

merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari

organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang

mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi merupakan keadaan

(28)

bahwa emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih

sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan

orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal yaitu nada bicara,

gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Seperti layaknya wahana

pikiran rasional adalah kata-kata, wahana emosi adalah nonverbal. Bila

kata-kata seseorang tidak cocok dengan nada bicara, gerak-gerik, atau

saluran nonverbal lainnya, Kebenaran rasional terletak pada bagaimana ia

mengatakan suatu bukannya pada apa yang dikataknnya.

Goleman (2001: 411-412) juga menyebutkan sejumlah teoritikus

mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, yaitu:

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barang kali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis dan depresi berat.

c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik.

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa puas, rasa terpenuhi, kegiatan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania.

e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

f. Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

(29)

Goleman (2001: 411) menganggap emosi merujuk pada suatu

perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan

psikologis dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Sedangkan

Menurut Kartono (Sugihartono dkk.,2007: 20) mengartikan emosi sebagai

tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam

tubuh, misalnya otot menegang, jantung berdebar.

Dengan demikian emosi adalah ungkapan perasaan yang timbul

dalam diri manusia. Reaksi yang timbul berupa perasaan senang, sedih,

bahagia, marah, dan takut terhadap sesuatu dalam kondisi tertentu.

Pikiran dan perasaan sangat berpengaruh terhadap pergolakan mental

dalam diri seseorang. Jika seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya

maka orang tersebut akan merugikan orang lain dan berimbas kepada

dirinya sendiri, misalnya ketika ia mendapatkan masalah yang rumit maka

ia akan merespon secara berlebihan sehingga dapat menekan mental

orang tersebut.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Daniel Golleman menjelaskan dahulu kecerdasan emosional

banyak disalahartikan sehingga harus berhadapan dengan salah

pengertian dan beberapa konsepsi yang keliru, dalam bukunya Daniel

Golleman (2001: 9) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi tidak hanya

berarti “ bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan

(30)

barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan

kebenaran yang selama ini dihindari. Kecerdasan emosi bukan berarti

memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa “ memanjakan

perasaan “, melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga

terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang

bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.

Istilah kecerdasan emosional dikenal secara luas pada tahun 1990,

dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotional Intelegence.

Stein & book (2004: 30-31) menyebutkan kecerdasan emosi sebagai

serangkaian kecakapan yang memungkinkan seseorang melapangkan

jalan di dunia yang rumit – aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari

seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaam penting

untuk berfungsi secara efektif setiap hari.

Daniel Golleman (2001: 39) menjelaskan bahwa kecerdaan emosi

menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan-keterampilan

praktis yang didasarkan pada lima unsurnya: kesadaran diri, motivasi,

pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan

orang lain. Hanya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tidak menjamin

seseorang akan punya kesempatan untuk mempelajari kecakapan emosi

yang penting untuk bekerja, ini berarti bahwa mereka hanya mempunyai

(31)

Daniel Golleman mengatakan dalam buku Abuddin Nata tentang

manajemen pendidikan (2003: 46-47) bahwa kecerdaan emosional

mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosional tidak

hanya berarti bersikap ramah, melainkan sikap tegas yang barangkali

memang tidak menyenangkan, tetapi menggungkapkan kebenaran yang

salama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan

keberhasilan kepada perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan,

melainkan mengelola perasaan.

Menurut Goleman dalam buku Casmini tentang emotional

parenting (2007: 21) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,

ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan

menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa, dapat menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana

hati. Golleman juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional bukan

merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ,

namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu

diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting

untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam

berkomunikasi dan dalam berkomunikasi di lungkungan masyarakat.

Menurut Patton dalam Casmini (2007: 21) memberi definisi

(32)

emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan

produktif, dan meraih keberhasilan. Kecerdasan emosional merupakan

salah satu kecerdasan multi atau multiple inteligence yang dimiliki oleh

manusia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gardner bahwa multiple

inteligence terdiri antara lain kecerdasan interpersonal dan intrapersonal

yang keduanya digolongkan dalam kecerdasan emosional. Selain itu

multiple intelegence meliputi kecerdasan logis matematis, kecerdasan

kinestetik, kecerdasan naturalis, kecerdasan intuisi, kecerdasan moral,

kecerdasan eksistensial, kecerdasan spiritual, dan lain-lain (Agus

Nggermanto, 2002: 49).

Kecerdasan emosional menurut Mitch Anthony (2004: 29) adalah

masalah mengenali diri anda sendiri, mengenali orang-orang yang ada di

sekeliling anda, dan mengenali penyesuaian yang perlu anda lakukan.

Menurut Mike Brearly tentang Emotional Intellengence in the classroom

dalam buku Paul Ginnis (2008: 36) kecerdasan emosional sebagai

kemampuan untuk mengendalikan dan menggunakan emosi kita untuk

meningkatkan keberhasilan kita dalam seluruh aspek kehidupan kita, dan

menawarkan satu set kegiatan kelas yang terinstruktur untuk

mengembangkan apa yang dia sebut “lima emosi dari keberhasilan”:

kesadaran diri, ambisi, optimisme, empati, integritas.

Kecerdasan emosional menurut Abuddin Nata (2003: 46-47)

(33)

mengelola diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain disekeliling

mereka dengan menggunakan seluruh potensi psikologis yang dimilikinya

seperti inisiatif, empati, adaptasi, komunikasi, kerjasama dan kemampuan

persuasi yang secara keseluruhan telah mempribadikan pada diri

seseorang.

Kecerdasan emosional menurut Peter Salovey dan Jack Mayer (

Stein & Book, 2004: 30) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan,

meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,

memahami perasaan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara

mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Dalam bahasa sehari-hari Stein & Book (2004: 31) menyebut

kecerdasan emosional sebagai “street smart (pintar)”, atau kemampuan

khusus yang kita sebut akal sehat. Sedangkan Reunven Bar-On (Stein &

Book, 2004: 30) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

serangkaian kemampuan, kompetisi, dan kecakapan non-kognitif yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan

dan tekanan lingkungan dan kecerdasan emosional ini selalu berubah

sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya.

Kecerdasan emosional dapat disimpulkan bawah kecerdasan emosi

adalah kecerdasan untuk mengelola emosi dalam diri sendiri dan dalam

hubungan dengan orang lain serta dapat dimanfaatkan untuk

(34)

dalam menjalani kehidupan secara selektif. Kecerdasan emosional

merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi, dan mengendalikan

penyesuaian diri terhadap orang lain. Kecerdasan emosional dapat

membantu mengelola emosi, beradaptasi dan berkomunikasi dalam

berhubungan dengan orang lain, sehingga kecerdasan emosi sangat

berperan dikehidupan sehari-hari.

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2004: 62-63) aspek-aspek kecerdasan emosional

meliputi 5 aspek yaitu :

1) Kesadaran diri

Goleman (2005: 63) mendefinisikan kesadaran diri sebagai

kemampuan mengetahui apa yang dirasakan oleh diri sendiri pada suatu

saat, dan mengggunakan untuk memandu pengambilan keputusan diri

sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis, atas kemampuan diri dan

kepercayaan diri yang kuat kesadaran diri meliputi kesadaran emosi,

penilaian diri, dan percaya diri.

Sementara itu menurut Mayer (Goleman,2004: 46-47) kesadaran

diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi, bereaksi secara

berlebihan dan melebih-lebihkan apa yang diserap. Kesadaran diri lebih

merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan

(35)

berarti “waspada” baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang

suasana hati.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa kesadaran

diri merupakan kesadaran mengenal diri sendiri, mengenal kebebasan dan

kekuatan diri untuk memilih, adalah inti dari kebiasaan untuk menjadi

proaktif. Menjadi proaktif merupakan suatu yang lebih dari sekedar

menggambil inisiatif tetapi, menyadari bahwa manusia dapat

bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan tersebut dan berdasarkan

nilai-nilai prinsip, bukan berdasarkan suasana hati atau kondisi disekitar

saja.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian

kesadaran diri adalah bagaimana kita mengenal bagian diri kita yang

meliputi motivasi, pilihan serta kepribadian. Dan mengerti bagaimana

faktor ini mempengaruhi, penilaian, keputusan dan interasi dengan orang

lain.

2) Pengendalian diri

Pengaturan diri adalah kemampuan emosi sehingga berdampak

positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup

menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih

(36)

3) Motivasi

Motivasi diri adalah antusias, gairah dan daya juang untuk sukses

yang dilandasi dorongan hati yang kuat untuk mencapai cita-cita. Peran

motivasi positif dengan perasaan antusiasme, gairah dan keyakinan diri

dalam mencapai prestasi amat penting untuk tiap individu yang punya

semangat untuk sukses. Keuntungan atas kesuksesan seseorang

dimungkinkan oleh dorongan motivasi disamping kemampuan bawaan

yang dimilikinya.

4) Empati

Empati memberikan seseorang kemampuan memahami emosi dan

kebutuhan orang lain. Individu yang mempunyai kemampuan empati

dapat membaca arus emosi orang lain, menangkap tanda-tanda non-verbal

serta getaran suara orang lain.

5) Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan emosi yang baik ketika

berhubungan dengan orang lain dengan cermat membaca situasi dan

jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-

keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah

dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk berinteraksi dengan

lingkungan.

Semua emosi pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak.

(37)

berangsur-angsur oleh evolusi. Setiap emosi memainkan peran khas,

sebagaimana dengan menggunakan metode-metode baru untuk memahami

tubuh dan otak, Daniel Golleman ( 2001: 8) menemukan lebih banyak

detail-detail fisiologi tentang bagaimana masing-masing emosi

mempersiapkan tubuh untuk jenis reaksi yang sangat berbeda:

a) Amarah : energi yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat

b) Ketakutan : sirkuit-sirkuit di pusat-pusat emosi otak memicu

terproduksinya hormon-hormon yang membuat tubuh waspada,

membuatnya awas dalam bertindak, dan perhatian tertuju pada

ancaman yang dihadapi, agar reaksi yang muncul semakin baik.

c) Kebahagiaan : meningkatkan kegiatan dipusat otak yang

menghambat perasaan negatif dan meningkatkan energi yang

ada, dan menenangkan perasaan yang menimbulkan kerisauan.

Reaksi ini mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh, dan juga

kesiapan dan antusiasme menghadapi tugas-tugas dan berjuang

mencapai sasaran-sasaran yang lebih besar.

d) Terkejut : respon yang diberikan sejumlah saraf karena

menerima rangsangan secara spontan.

Menurut Daniel Golleman (2001: 42-43) aspek kecerdasan

(38)

1. Kecerdasan pribadi

Kecerdasan ini menentukan bagaimana kita mengelola diri

sendiri, yang meliputi:

a. Kesadaran diri

Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumberdaya, dan

instuisi, seperti:

1) Kesadaran emosi: mengenali emosi diri sendiri dan

efeknya.

2) Penilaian diri secara teliti: mengetahui kekuatan dan

batas-batas diri sendiri.

3) Percaya diri: keyakinan tentang harga diri dan

kemampuan diri.

b. Pengaturan diri

Mengelola kondisi, implus, dan sumber daya diri sendiri

1) Kendali diri: mengelola emosi-emosi dan desak-desakan

hati yang merusak.

2) Sifat dapat dipercaya: memelihara norma kejujuran dan

integritas.

3) Kewaspadaan: bertanggung jawab atas kinerja pribadi

4) Adaptibilitas : keluwesan dalam menghadapi perubahan.

5) Inovasi : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan,

(39)

c. Motivasi

Kecendrungan emosi yang mengantar atau memudahkan

peralihan sasaran.

1) Dorongan prestasi : dorongan untuk menjadi lebih baik

atau memenuhi standar keberhasilan.

2) Komitmen : menyesuaikan diri dengan sasaran

kelompok atau perusahaan.

3) Inisiatif : kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.

4) Optimismen: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran

kendati ada halangan dan kegagalan.

2. Kecerdasan sosial

Kecerdasan ini menentukan bagaimana kita menangani suatu

hubungan.

a. Empati

Kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan

orang lain

1) Memahami orang lain : mengindra perasaan dan

perspektif orang lain, dan menunjukan minat aktif

terhadap kepentingan mereka.

2) Orientasi pelayanan : mengantisipasi, mengenali, dan

(40)

3) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan

perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan

kemampuan mereka.

4) Mengatasi keragaman: menumbuhkan peluang melalui

pergaulan dengan bermacam-macam orang.

5) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi

sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

b. Keterampilan sosial

Kepintaran dalam mengubah tanggapan yang dikehendaki

pada orang lain.

1) Pengaruh memiliki taktik – taktik untuk melakukan

persuasi

2) Komunikasi: mengirimkan pesan yang jelas dan

meyakinkan.

3) Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu

kelompok dan orang lain.

4) Katalisator perubahan : memulai dan mengelola

perubahan.

5) Manajemen konflik : negoisasi dan pemecahan silang

pendapat.

6) Pengikat jaringan: menumbuhkan hubungan sebagai

(41)

7) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain

demi tujuan bersama.

8) Kemampuan tim: menciptakan sinergi kelompok dalam

memperjuangkan tujuan bersama.

Menurut Cooper dan Sawaf (Casmini, 2007: 21-22) menyebutkan

empat aspek kecerdasan emosi, yaitu:

a. Kesadaran Emosi (Emotional Literacy), yang bertujuan membangun

rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan emosi yang dialami dan

kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik

terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk

mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat

menyalurkan energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.

b. Kebugaran emosi (emotional fitness), yang bertujuan mempertegas

antusiasme dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan dan

perubahan. Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai orang

lain serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara

yang paling konstruktif.

c. Kedalaman emosi (emotional depth) yaitu mencakup komitmen untuk

menyelaraskan hidup dan kerja dengan potensi serta bakat unik yang

dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini, pada

gilirannya memiliki potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu

(42)

d. Alkimia emosi (emotional alchemy), yaitu kemampuan kreatif untuk

mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di

dalamnya. Hal ini mencakup ketrampilan bersaing dengan lebih peka

terhadap kemungkinan solisi yang masih bersembunyi dan peluang

yang masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa

kini, dan mempertahankan masa depan.

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulan bahwa terdapat banyak

aspek-aspek kecerdasan emosional. Terdapat 5 aspek yang berpengaruh

yaitu terdiri dari :

a) Kesadaran diri

Sebagai kemampuan mengetahui apa yang dirasakan oleh diri

sendiri dalam suatu keadaan, dan dapat membantu dirinya untuk

mengambil keputusan. Membangun kepercayaan diri sendiri

yang meliputi kesadaran emosi, penilaian diri, dan percaya diri.

b) Pengendalian diri

Kemampuan emosi yang dapat mengendalikan diri, perasaan,

pikiran, dapat menunda keinginan. Memahami ketidak stabilan

emosi dan tekanan emosi.

c) Motivasi

Dorongan atau semangat dalam mencapai cita-cita dan prestasi.

Antusias dan gairah untuk semangat dan sukses.

(43)

Kemampuan memahami emosi dan peka terhadap masalah

orang lain. Kemampuan menangkap tanda non-verbal, dan

membaca arus emosi orang lain.

e) Keterampilah sosial

Keterampilan dalam berinteraksi dengan orang lain, serta

mengatasi atau masalah sosial dengan baik sehingga tercipta

hubungan yang serasi dan memuaskan.

Dari kesimpulan aspek-aspek tersebut dapat membantu

mengarahkan kemampuan seseorang dalam kecerdasan emosional. Dapat

diketahui bahwa kemampuan orang berbeda-beda dalam aspek-aspek

tersebut, beberapa orang barangkali amat terampil dalam menangani

pengendalian emosi diri nya, tetapi tidak terampil dalam keterampilan

sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Kekurangan-kekurangan

dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai ketingkat yang

lebih baik di mana masing-masing orang dapat menampilkan bentuk

kebiasaan dan respons dengan upaya yang tepat dan dapat dikembangkan.

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional

Menurut Agus Nggermanto (2002: 100) salah satu cara terbaik

untuk mengukur kecerdasan emosional adalah menggunakan parameter

kerangka kerja yang dirancang oleh Daniel Goleman. Kerangka kerja ini

terdiri dari lima kategori utama yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri,

(44)

Goleman (2001: 403) menjelaskan ciri-ciri siswa yang memiliki

kecerdasan emosional, yaitu :

a. Kesadaran diri emosional

Siswa yang memiliki kecerdasan emosional adalah siswa yang

mengenali dan merasakan emosinya, tahu apa penyebab emosinya dan

mengenal perasaan dan tindakannya/

b. Mengelola emosi

Pengelolaan emosi yang memiliki kecerdasaan emosional jauh lebih

baik daripada siswa yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Siswa

yang mampu mengelola emosinya adalah siswa yang mampu

mengelola amarahnya, tidak suka mengejek secara verbal, tidak suka

berkelahi atau menggangu orang lain, berkurangnya perilaku agresif

atau merusak diri sendiri, perasaan positif tentang diri sendiri, sekolah

dan keluarga serta berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam

pergaulan.

c. Memanfaatkan emosi secara produktif

Siswa yang memiliki kecerdaan emosional memiliki prestasi yang

meningkat, lebih bertanggung jawab dan mampu memusatkan

perhatian pada tugas yang dikerjakan.

d. Empati

Kecerdasan emosi yang dimiliki siswa juga ditandai dengan

(45)

peka terhadap perasaan orang lain, dan bisa mendengarkan orang lain

dengan baik.

e. Membina hubungan

Kemampuan membina hubungan ini ditunjukkan dengan

kemampuannya dalam menyelesaikan pertikaian secara lebih baik,

tegas dan terampil dalam berkomunikasi, tenggang rasa, mampu

bekerja sama, tolong-menolong dan mementingkan kepentingan

bersama.

Ciri-ciri kecerdasan emosi menurut Dapsari (Casmini, 2007: 24)

yaitu:

a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi

dalam hidupnya, seperti saat menanggani peristiwa dalam

hidupnya dan menangani tekanan masalah-masalah pribadi yang

dihadapi.

b. Terampil dalam membina emosinya, dimana orang tersebut

terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi

emosi terhadap orang lain.

c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, meliputi kecakapan

intensionalitas, kreatifvitas, ketangguhan, hubungan antar-

pribadi dan ketidakpuasan konstruktif.

d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, instuisi,

(46)

e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup,

relationship quotient dan kinerja optimal.

Goleman, Boyatzis & Mckee (2005: 44) menyebutkan empat

domain kecerdasan emosional yang terdiri atas:

1. Kompetisi Pribadi : kemampuan ini akan membantu seseorang

mengelola diri secara baik. Kompetisi pribadi ini antara lain:

a. Kesadaran diri

Individu yang memiliki kesadaran diri adalah individu yang

dapat menyadari emosi diri yaitu memahami dampak dari

emosinya dan bisa menggunakannya untuk mengambil

keputusan. Selain itu individu mampu mengenal kekuatan

dan keterbatasan diri dan percaya diri.

b. Pengelolaan diri

individu yang dapat mengelola diri adalah individu yang

dapat mengendalikan emosi yang meledak-ledak,

menunjukkan kejujuran dan dapat dipercaya. Selain itu,

mampu menyesuaikan diri, ada motivasi untuk memperbaiki

kinerja serta optimis.

2. Kompetensi sosial, kemampuan ini menentukan bagaimana

individu mengelola hubungan. Dalam mengelola hubungan

kesadaran sosial seperti empati, kesadaran organisosial dan

(47)

3. Pengelolaan Relasi, invividu yang memiliki kemampuan

mengelola relasi di tandai dengan kemampuannya membangun

ikatan, bekerja secara kelompok, berkolaborasi serta

mengembangkan kemampuan orang lain.

Ciri-ciri kecerdasan emosional merupakan hal yang sangat

berpengaruh penting dalam keberhasilan seseorang, orang yang memiliki

kecerdasan emosi cenderung dapat mengenali dirinya sendiri dan

Kemampuan untuk memotovasi diri sendiri serta bertahan mengahadapi

frustasi. Mampu mengendalikan diri terhadap kesenangan yang

berlebihan, dapat mengatur suasana hati dalam kondisi stress sehingga

tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Orang

dengan ciri kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik berarti

kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan.

Menguasain kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka,

orang yang tidak dapat menghimpun kendali tentu atas kehidupan

emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas

kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan

memiliki pikiran yang jernih.

5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Golleman (Casmini,2007: 23), ada dua faktor yang

mempengaruhi kecerdaan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor

(48)

1. Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari

dalam individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional

seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala,

neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal lain yang

berbeda pada otak emosional.

2. Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar

individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah sikap.

Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan,

secara kelompok. Antara individu mempengaruhi kelompok dan

sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui

perantara misalnya media masa baik cetak maupun elektronik serta

informasi yang canggih lewat jasa satelit.

Menurut Goleman (2001: 276) Faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:

a. Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk

mempelajari emosi. kecerdaan emosional dapat juga diajarkan

saat masih bayi dengan cara contoh-contoh ekspresi. Peristiwa

emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan

menetap secara permanen hingga dewasa. Kecerdasan

emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi

(49)

Pembelajaran emosi bukan hanya melalui hal-hal yang

diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung pada

anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang

mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri

atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri.

Perceraian pertikaian dan perkawinan kembali terjai pada orang

tua pun berpengaruh pada kecerdasan emosional anak. Pada

umumnya bila orang tua saling mendukung dan mengasuh,

mekarlah kecerdasan emosional anak-anak mereka. Tetapi,

anak-anak yang terus menerus terkena permusuha orang tua

mereka, akan mengalami resiko-resiko yang parah. Menurut

Gottman dan Declaire (2003: 152) jenis perselisihan rumah

tangga memiliki efek-efek yang mendalam terhadap kesehatan

jasmani dan emosional dan juga kemampuan anak dalam

bergaul dengan teman sebayanya.

Pola asuh orang tua juga mempengaruhi kecerdaan

emosional seseorang. Gottman dan Declaire (2001: 4)

menyebutkan gaya pengasuhan orang tua yang berpengaruh

pada kecerdasan emosional anak terdiri dari:

1) Orang tua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan,

menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negatife

(50)

2) Orang tua yang tidak menyetujui, bersifat kritis terhadap

ungkapan perasaan-perasaan negatife anak mereka dan

barangkali memarahi atau menghukum mereka karena

mengungkapkan emosinya.

3) Orang tua Laissez-Faire, yang menerima emosi anak

mereka dan berempati dengan mereka, tetapi tidak

memberikan bimbingan menentukan batas-batas pada

tingkah laku anak mereka.

b. Lingkungan Non Keluarga

Lingkungan non keluarga terkait dengan lingkungan

masyarakat dan pendidikan. Pembelajaran ini biasanya

ditunjukkan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai

seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan

orang lain. Kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan

perkembangan fisik dan mental anak.

Menurut Le Dove (Goleman, 2001: 18) bahwa ada beberapa

faktor yang mempengaruhi kecerdaan emosional seseorang, yaitu:

a) Fisik

Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling

berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah

(51)

merupakan dua bagian penting “otak hidung” primitif yang

dalam evolusi memunculkan korteks serta kemudian

neokorteks. Amigdala adalag spesialis masalah-masalah

emosional. Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang

ingatan emosional, dan dengan demikian makna emosional itu

sendiri. Hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa

makna pribadi sama sekali.

Bagian otak yang digunakan untuk berpikir yaitu

korteks. Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang

mengurusi emosi yaitu sistem limbik tetapi sesungguhnya yang

paling berpengaruh adalah cortex dan sistem limbik. Cortex

berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam,

menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan

selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Sedangkan

sistem limbik sring disebut sebagai emosi otak yang letaknya

jauh dalam hemisfere otak besar dan terutama bertanggung

jawa untuk pengaturan emosi dan implus. Sistem limbik

hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran

emosi dan tempat disimpannya emosi.

b) Psikis

Selain dipengaruhi oleh kepribadian individu,

(52)

pemikiran yang mencakup didalamnya pengalaman, perasaan,

kemampuan berpikir dan motivasi. Setiap orang memiliki

pemikiran yang berbeda satu sama lain, sejumlah orang

biasanya menganggap dirinya mampu keluar dari

permasalahan, sementara yang lain tidak yakin bahwa mereka

memiliki tenaga, kemampuan atau sarana untuk mencapai

tujuan.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor

lingkungan keluarga dan faktor non keluarga. Dalam kecerdasan

emosional faktor keluarga sangat mempengaruhi seseorang untuk

dapat mengkontrol emosinya. Terdapat dorongan sikap yang positif

yang didapat seseorang yang bila berada dilingkungan keluarga,

misalnya dalam kehangatan keluarga seseorang dapat merilexkan

pikirannya yang jenuh akan kegiatan diluar rumah dan mendapat

semangat serta motivasi lebih dari keluarga. Selain itu faktor non

keluarga terkait dengan lingkungan diluar rumah seperti

dimasyarakat dan pendidikan, merupakan faktor yang datang dari

luar yang mempengaruhi individu untuk merubah sikap. Pengaruh

luar sangat berperan untuk mengembangkan fisik dan mental

seseorang. Jadi, Masing-masing faktor tersebut dalam kecerdasan

(53)

B. Kajian Tentang Psikodrama

1. Pengertian Psikodrama

Psikodrama pada awalnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh

Jacob L. Moreno, seorang psikoater dari Rumania. Kata ‘psikodrama’

sering digunakan sebagai istilah umum ketika berbicara tentang tindakan

berbagai metode yang dikembangkan J.L. Moreno. Menurut J.L moreno

(Winkel, 2004: 571) Psikodrama adalah sebuah bentuk pengembangan

manusia dengan eksprolasi, melalui tindakan dramatis, masalah, isu,

keprihatinan, mimpi dan cita-cita tertinggi orang, kelompok, sistem dan

organisasi. Hal ini kebanyakan digunakan sebagai metode kerja

kelompok, dimana setiap orang dalam kelompok dapat menjadi agen

poenyembuhan (terapeutic agent) untuk satu sama lain dalam kelompok.

Menurut winkel (2004: 571) psikodrama bersifat kegiatan terapi dan

ditangani oleh seorang ahli psikoterapi.

Menurut J.L Moreno (Winkel, 2004: 572), psikodrama adalah

sebuah bentuk pengembangan manusia dengan eksplorasi, melalui

tindakan dramatis, masalah, isu, keprihatinan, mimpi dan cita-cita

tertinggi orang, kelompok, sistem dan organisasi. Hal ini kebanyakan

digunakan sebagai metode agen penyembuhan (terapeutic agent) untuk

satu sama lain dalam kelompok. Psikodrama ini merupakan salah satu

cara yang bisa digunakan sebagai media pengembangan manusia (human

(54)

dapat menyadarkan seseorang (insight) dan juga menggali (to explore)

permasalahan yang sedang dihadapinnya. Berbagai isu (issue) atau

masalah dan kemungkinan pemecahannya dimainkan terasa lebih baik

daripada sekedar berbicara. Psikodrama menawarkan kesempatan untuk

melatih dengan aman peranan baru, melihat diri sendiri dari sisi luar,

menumbuhkan insight dan perubahan. Ada seorang pemimpin (director),

sebuah action area dan para anggota kelompok. Director mendukung

kelompok untuk menggali (exploresolusi) baru dari masalah-masalah

terdahulu, anggota kelompok berpartisipasi dalam drama sebagai orang

lain yang berarti dan saling berbagi cara mereka bagaimana berhubungan

secara pribadi dan bisa belajar dari masalah yang diajukan pada akhir

sesi. Psikodrama menawarkan pendekatan yang sangat kuat untuk

mengajar dan belajar, serta hubungan timbal balik pelatihan keterampilan.

Teknik tindakan psikodrama juga menawarkan cara untuk menemukan

dan mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan dan situasi di mana

komunikator telah terlibat.

Hampir sama dengan sosiodrama, psikodrama adalah upaya

pemecahan masalah melalui drama. Menurut Tohirin dalam bukunya

Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (2007: 294)

psikodrama yang didramakan adalah masalah-masalah psikis yang

dialami individu. Siswa yang memiliki masalah psikis disuruh

(55)

atau ketegangan yang ada dalam diri individu dapat dikurangi. Kepada

sekelompok siswa dikemukakan suatu cerita yang menggambarkan

adanya suatu cerita yang menggambarkan adanya suatu ketegangan psikis

yang dialami individu. Selanjutnya siswa diminta untuk mendrama-

kannya di depan kelas. Bagi siswa yang mengalami ketegangan psikis,

melalui drama ini akan dapat menggurangi keteganggannya.

Menurut beberapa ahli, yaitu yang pertama Menurut Bennet

(Romlah 2001: 99) psikodrama merupakan bagian dari permainan

peranan (role playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua

macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Psikodrama merupakan

dramatisasi dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan

serius dalam kesehatan mental pada partisipan, sehingga tujuannya ialah

perombakan dalam struktur kepribadian seseorang.

Dari uraian diatas maka psikodrama merupakan salah satu cara

yang bisa digunakan sebagai media pengembangan manusia dengan

berakting dalam sebuah drama. Psikodrama memberikan pendekatan yang

sangat kuat untuk mengajar dan belajar. Dengan memerankan peran

tertentu, konflik dan atau ketegangan yang ada dapat dikurangi.

diharapkan psikodrama dapat membantu menyelesaikan masalah yang

dihadapi. Pemecahan masalah dalam bentuk psikodrama ini membantu

untuk memecahkan masalah psikis dalam individu yang dituangkan

(56)

memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, menemukan

konsep diri, menyatakan reaksi – reaksi terhadap tekanan – tekanan yang

dialaminya.

2. Tujuan Psikodrama

Psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksudkan agar

individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih baik

tentang dirinya, dapat menemukan konsep pada dirinya, menyatakan

kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksinya terhadap tekanan-

tekanan terhadap dirinya ( Corey dalam Romlah, 2001: 107).

Menurut Yustinus Semiun (2006: 562) tujuan dari psikodrama ini

adalah membantu seorang pasien atau sekelompok pasien untuk

mengatasi masalah-masalah pribadi dengan cara menggunakan permainan

peran, drama, atau terapi tindakan. Teori diatas menegaskan bahwa Lewat

cara-cara itu pasien dibantu untuk mengungkapkan perasaan tentang

konflik, kemarahan, agresi, perasaan bersalah dan kesedihan. Sehingga

dapat membantu menyelesaikan masalahnya melalui psikodrama.

Seperti yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Moreno

(semiun, 2006: 562-563), psikodrama menggunakan tempat yang

menyerupai panggung. Hal ini bertujuan supaya pasien memainkan peran

di alam khayal, dengan demikian dia merasa bebas mengungkapkan

sikap-sikap yang terpendam dan motivasi-motivasi yang kuat. Teori

(57)

realistik dari tingkah lakunya yang dramatis menjadi jelas. Keterampilan

terapis dalam mengenal dan menafsirkan dinamika yang diungkapkan

memudahkan proses terapi.

Menurut Gerald Corey (Hary Adam: 2012) tujuan psikodrama ini

adalah membantu konseli untuk mengatasi masalah-masalah pribadi

dengan cara menggunakan permainan peran, drama, atau terapi tindakan.

Lewat cara itu konseli dibantu utnuk mengungkapkan perasaan tentang

konflik, kemarahan, agresi, perasaan bersalah dan kesedihan.

Dari beberapa uraian tujuan psikodrama diatas merupakan untuk

memperoleh pengertian yang baik tentang dirinya sehingga dapat

menemukan konsep dirinya, kebutuhan-kebutuhan dirinya, reaksi-reaksi

terhadap tekanan yang dialaminya. Dengan tujuan psikodrama juga

membantu seseorang untuk mengambil keputusan yang menyulitkan

orang tersebut untuk bertindak. Tujuan psikodrama juga dapat membantu

merubah pola pikir seseorang dari yang negatif hingga ke pola pikir

positif.

3. Aspek – Aspek Psikodrama

Beberapa aspek –aspek psikodrama menurut (Retmono: 2012) adalah :

1) Psikodrama harus dipahami sebagai metode yang kompleks dan

kaya harus dapat di integrasikan ke dalam praktek psikoterapi

secara holistik dan integratif multimodal. Dasar pemikirannya

(58)

teoritis psikoterapi, seperti juga diungkapkan oleh ratusan inovator

seluruh bidang psikoterapi. Pendekatan-pendekatan ini lebih

dihargai sebagai sebuah bagian dari matriks inde teoritis bahkan

lebih luas yang berkaitan dengan sifat psikologis termasuk sosial,

budaya, dan dimensi psikosomatis.

2) Dasar-dasar penggunaan psikodrama dihargai lebih lanjut oleh

sejumlah perkembangan dibidang yang terkait erat, tidak hanya

tulisan-tulisan didalam wilayahnya sendiri. Dramatherapy, drama di

bidang pendidikan, dasar-dasar teoritis dari terapi seni kreatif

lainnya, dan ide-ide lain dalam jenis lain terutama yang action-

oriented therapy, semua memiliki relevansi, dan penelitian serta

tulisan-tulisan di bidang ini dalam beberapa dekade terakhir adalah

signifikan.

3) Di sisi lain, ide-ide yang kompleks yang berhubungan dengan

psikodrama, belum tentu langsung merujuk psikodrama itu sendiri,

tetapi berbicara masalah yang lebih umum, sifat maunsia,

pertumbuhan dan interaksi manusia. Hal ini memberikan kontribusi

yang berharga untuk bidang psikologi yang lebih besar, dan

beberapa contoh telah terbukti.

4) Sebagai sebuah heuristik terutama ide, menerapkan teori-peran

moreno elaborasi yang lebih sistematis dan pendekatan kreatif

(59)

aplikasi praktis di bidang psikoterapi umum, meskipun tidak ada

tindakan nyata metode yang digunakan. Lebih dari itu, pendekatan

ini menawarkan konteks meta-wacana lintas disiplin, dan user-

friendly untuk melibatkan pasien dan mas

Gambar

Gambar 1.
Tabel 2. Pedoman Wawancara Kepada Guru BK
Tabel 4. Pedoman Wawancara Kepada Subyek
Tabel 5. Kisi – kisi Skala Kecerdasan Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

metode bagian dapat meningkatkan hasil belajar lempar lembingpada siswa kelas. VIII SMP N 2 Percut sei tuan Kab Deli Serdang tahun

Melihat tingkat jarangnya siswa membaca dan mengajukan pertanyaan ini peneliti tertarik untuk menerapkan strategi eraborasi melalui metode PQ4R, dalam membantu siswa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana metode PQ4R dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa Kelas VIII B SMP Kanisius Kalasan

penyusunan skripsi dengan judul “UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN RASA PERCAYA DIRI SISWA SMP N 1 CIMANGGU MELALUI PROBLEM BASED LEARNING DENGAN