PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN SEKS ANAK USIA DINI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Isalam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Erwinda Mahluzatin B07212010
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Perkembangan teknologi (internet) yang semakin berkembang saat ini memudahkan anak untuk mengakses berbagai informasi, baik informasi positif maupun negatif. Hal ini menyebabkan anak-anak rentan terhadap informasi tentang seks. Berbagai fenomena kejahatan seksual anak di bawah umur marak terjadi. Dapat terlihat betapa orang tua belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan seks untuk anaknya, sehingga mereka membiarkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang tanpa pengawasan langsung. Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menggali bagaimana persepsi orang tua tentang pendidikan seks kepada anak usia dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak berusia dini berkisar 3-6 tahun. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi dengan tiga informan tahu sebagai data pendukung.
Hasil penelitian ini menemukan beberapa kategori temuan yang mana terdapat kategori temuan merupakan temuan utama, dan temuan lainnya sebagai temuan tambahan sebagai pelengkap temuan. Pertama, ada persepsi orang tua tentang pendidikan seks dan tujuan dari pendidikan seks, persepsi orang tua tentang pentingnya pemberian pendidikan seks sejak dini. selanjutnya, ditemukan ditemukan bentuk kepedulian orang tua kepada anak. Kemudian kesadaran orang tua akan kebutuhan anak terhadap pendidikan seks, adapun peran orang tua yang lebih besar untuk memberikan pendidikan seks kepada anak, waktu yang dianggap tepat untuk memberikan pendidikan seks kepada anak, dan kesulitan orang tua ketika memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini.
Abstract
The development of internet technology is growing at this time easier for children to be able to access a variety of information, both positive and negative information. This causes children vulnerable to information about sex. Various phenomena of sexual crimes minors rife. It is noticeable that parents do not have awarness of the importance of sex education for their children, so they let their children grow and develop without direct supervision. The purpose this study is to understand, explore how perception of parents in conducting sex education for early childhood. This study is qualitative methode using triangulation of data as data validation. The subjects in this study is mothers of children aged 3-6 years. There are 3 subjects that serve as the main source of information, and 3 subjects as informants knew as supporting of data.
This research found that some categories of findings which are the main categories of findings are the findings, and other findings as additional findings as complementary findings. First, there is the perception of parents about sex education and the purpose of sex education, parents' perceptions related to the importance of early sex education. furthermore. As discovered a form of awareness of parents to children. Then the parent's awareness of the needs of children to sex education, there is the role of parents is more likely to provide sex education to children, time is considered appropriate to provide sex education to children, and the difficulties parents when sex education for young children.
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ... ... ... i
Halaman Judul ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Pernyataan Keaslian Karya ... iv
Kata Pengantar ... .v
Daftar Isi ... .vii
Lampiran ... ix
Intisari ... x
Abstrack ... xi
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... ... 01
Fokus Penelitian ... 10
Tujuan Penelitian ... 10
Manfaat Penelitian ... 10
Keaslian Penelitian ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Persepsi Orang Tua ... 16
1. Pengertian Persepsi Orang Tua ... 16
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 19
B. Pendidikan Seks ... 21
1. Pengertian Pendidikan Seks ... 21
2. Waktu Tepat dalam Memberikan Pendidikan Seks untuk Anak ... 24
3. Tujuan Pendidikan Seks Anak Usia Dini ... 26
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks Anak Usia Dini ... 27
C. Anak Usia Dini ... 28
1. Pengertian Anak Usia Dini ... 28
2. Karakteristik/Ciri-ciri Anak Usia Dini ... 30
3. Tugas Perkembangan Anak Usia Dini ... 32
4. Perkembangan Sosialisasi Anak Usia Dini ... 33
5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini ... 34
6. Perkembangan Seksual Anak Usia Dini ... 36
D. Kerangka Teori ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42
B. Lokasi Penelitian ... 43
C. Sumber Data ... 43
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 47
F. Keabsahan Data ... 48
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 50
B. Hasil Temuan ... 56
1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 56
2. Analisis Hasil Temuan ... 67
C. Pembahasan ... 77
BAB V: PENUTUP A. Simpulan ... 87
B. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Identitas Subjek ... 93
Lampiran 2: Guidence Wawancara ... 96
Lampiran 3: Verbatim Hasil Wawancara ... 101
Lampiran 4: Dokumentasi Subjek Penelitian ... 135
Lampiran 5: Lembar Kesediaan Subjek Penelitian ... 138
Lampiran 6: Lembar Kartu Bimbingan ... 141
Lampiran 7: Surat Izin Penelitian ... 143
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman yang semakin maju akan berbagai macam teknologi dan
ilmu pengetahuan yang berkembang ini, nampaknya terselip sebuah masalah
yang kian marak di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan anak-anak
dan remaja khususnya, yakni masalah seks. Media elektronik semacam TV,
video, CD, film, internet, HP, dan media cetak seperti koran, majalah,
tabloid, brosur, foto, kartu, kertas stensilan yang berbau porno dapat diakses
oleh semua lapisan masyarakat, dan semakin terbuka dan mudah, tanpa ada
pengendalian yang memadai. Orang tua dan pemerintah semakin permisif
dan seakan memberikan “ dukungan”, karenanya produk “kelam” ini
cukup laris di pasaran (Raqib, 2008). Dewasa ini seringnya dijumpai
anak-anak remaja bahkan anak-anak-anak-anak yang masih berusia dini sudah pandai
mengaplikasikan internet, gadget, dan lainya, tidak menutup kemungkinan
berbagai informasi negatif juga akan ditemui mereka, misalnya hal-hal yang
berbau seksualitas. Hal ini sangat berbahaya untuk perkembangan mereka
selanjutnya jika tidak diarahkan dengan baik.
Melihat fenomenanya, banyak terjadi kasus seksualitas baik dari
kalangan remaja bahkan anak di bawah umur sekalipun. Terkait kasus
seksualitas yang terjadi pada kalangan remaja seringkali telah mencemaskan
2
memang sedang menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Masalah
seksualitas merupakan masalah yang cukup pelik untuk diatasi.
Perkembangan seksual itu muncul sebagai bagian dari perkembangan yang
harus dijalani, namun di sisi lain, penyaluran hasrat seksual yang belum
semestinya dilakukan dapat menimbulkan dan berakibat buruk yang serius
apabila tidak dapat dikendalikan, diredam secara baik (Gunarsa, 2001).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, 26,8%
atau 63 jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 233 juta
jiwa adalah remaja dengan usia 10-24 tahun. Jumlah remaja yang tinggi
tentunya akan diikuti oleh berbagai masalah yang berhubungan erat dengan
remaja. Salah satu masalah yang dihadapi remaja yang membutuhkan
perhatian adalah masalah seks pra nikah yang kian marak dan akan berujung
berbagai masalah yang lain. Bedasarkan survey kesehatan reproduksi remaja
(15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik 72% remaja mengaku telah
berpacaran dan 10,2% mengaku telah berhubungan seks. Selanjutnya
penelitian yang telah dilakukan Suryoputro dkk pada mahasiswa di Semarang
Jawa Tengah sebesar 5% mahasiswa mengaku telah berhubungan seks
sebelum menikah (Meilani, 2014).
Berdasarkan hasil observasi, didapat bahwa berbagai kasus seksualitas
banyak juga terjadi di daerah gresik, banyaknya dijumpai remaja-remaja putri
yang masih duduk di bangku SMP mengalami kehamilan tersebut khususnya
di daerah Ujungpangkah dan sekitarnya. Padahal jika dilihat kondisi dari
3
Namun ternyata masih banyak hal semacam itu yang kian marak terjadi, baik
dari kalangan siswi SMP biasa, maupun siswi yang merupakan santri pondok.
Selanjutnya, Kasus terkait seksualitas yang juga saat ini sedang marak
terjadi adalah tentang pelecehan seksual pada anak di bawah umur yang
makin meresahkan, pasalnya saat ini bukan hanya korban yang masih di
bawah umur, namun banyak pelaku kejahatan seksual ini masih berstatus
remaja bahkan di bawah umur yang merupakan kerabat, terdekatnya maupun
teman sebayanya. Misalnya, kasus pelecehan seksual pada (Yuyun) anak usia
12 tahun yang baru-baru ini terjadi pada bulan April lalu. Anak gadis ini
diperkosa dan di bunuh oleh 12 pelaku di mana beberapa dari pelaku tersebut
masih merupakan pelajar SMP, dan juga merupakan kakak kelasnya
(news.okezone.com.read.2016/04/10, diakses pada tanggal 10/05/2016).
Kasus pelecehan seksual terhadap anak dapat dikatakan bahwa 46%
justru terjadi di lingkungan sekolah yang melibatkan guru dan murid
sebagai pelaku. Salah satu faktor penyebab terjadinya kasus-kasus
tersebut adalah minimnya informasi yang diterima oleh masyarakat
tentang gejala-gejala yang mengarah pada tindak pelecehan seksual
terhadap anak, bentuk tindakan, dan batasan-batasannya. Pada umumnya,
pelecehan seksual dipahami sebatas pada tindakan pencabulan atau
perkosaan (Fajar, 2014).
Dari secuplik fenomena tersebut menunjukkan bahwa masalah seks
nampaknya kian merajalela baik di kalangan remaja bahkan anak-anak di
4
khususnya orang tua betapapun belum memiliki kesadaran untuk segera
menyikapi hal tersebut dengan melakukan pendidikan seks kepada anak sejak
awal. Sehingga masih terlihat orang tua kurang aktif menjalankan peran
pentingnya dalam mendidik, memperhatikan perkembangan, dan perilaku
anaknya. Hal ini menyebabkan ketika anak memasuki usia remaja kurang
memiliki pengetahuan yang benar terkait persoalan seksualitas sehingga
menyebabkan mereka mudah terjerumus ke dalam perbuatan buruk semacam
itu. Kemungkinan lainnya bahwa orang tua masih mempersepsikan seks
dalam artian yang sempit dan tabu untuk dibicarakan kepada anak-anaknya,
kata seks ini selalu dihubungkan dengan hal-hal yang berbau atau berkonotasi
porno, kotor, mesum, dan semacamnya.
Hal tersebut menyebabkan orang tua mengalami kesulitan dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anak-anaknya terkait apa itu seks.
Kesulitan yang dialami orang tua cenderung dialihkan ke hal-hal yang kurang
rasional, sehingga anak-anak gencar mengejar dengan pertanyaan yang lebih
rumit (Helmi & Paramastri, 1998). Sejalan dengan riset Joy L. Walker
(2001), ditemukan beberapa faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi
komunikasi antara orang tua dengan anak yang saling terkait tentang seks
(Joy L. Walker, 2001).
Upaya menanggulangi adanya kekerasan seksual tersebut, terutama
kekerasan seksual terhadap anak, telah menjadi masalah yang diseriusi oleh
pemerintah. Melalui penerbitan Inpres nomor 5 tahun 2014 tentang
5
Pemerintah berupaya mengerahkan semua komponen, baik lembaga
pemerintah maupun masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam memberantas
masalah seksual ini. Komitmen semacam ini tentunya membutuhkan
langkah-langkah yang implementatif dan aplikatif yang dapat menyentuh ke segala
lapisan masarakat, yaitu melalui sebuah pendidikan, sebab pendidikan
memiliki fungsi sebagai alat penyadaran. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai
alat penyadaran mestinya dapat memberikan informasi yang lebih lengkap
dan tepat (Fajar, 2014). Dalam hal ini pendidikan seks sudah sepatutnya
mendapat perhatian khususnya dari para orang tua khususnya sebagai upaya
preventif sekaligus kontrol sosial terhadap gejala-gejala penyimpangan
seksual, khususnya pelecehan seks terhadap anak (Fajar, 2014).
Pendidikan seks sendiri sebenarnya memiliki arti yang sangat luas,
menurut Suryadi (2007) (dalam nugraha, 2014) pendidikan seks merupakan
usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai
perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan
kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan
tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi,
kesuburan dan menopouse, serta penyakit kelamin (Nugraha, 2014). Menurut
Ulwan (1995), ruang lingkup pendidikan seks tidak hanya mengajarkan
mengenai seksualitas, tetapi juga berhubungan dengan aspek moral, etika,
hukum, budaya, dan perilaku sosial.
Dalam hal ini diharapkan orang tua memiliki persepsi yang positif
6
bagian dari proses pendidikan, dengan demikian memiliki tujuan untuk
memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian.
Dengan kata lain pendidikan seks adalah bagian integral dari usaha-usaha
pendidikan pada umumnya. Melalui pendidikan seks ini diusahakan
timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks.
Seks tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan
tabu, melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia.
Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan
yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur,
mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini juga
diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan terhadap
kegiatan seks (Gunarsa, 2001).
Dalam menghadapi masa depannya, pengetahuan dan informasi
tentang seks yang benar sangat penting diketahui oleh generasi penerus
bangsa. Akan tetapi anak-anak dan remaja rentan terhadap kesalahan
informasi tentang pengetahuan seks. Jika tidak mendapatkan pendidikan
seks yang benar, mereka akan percaya akan mitos-mitos tentang seks
yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan dari orang
tua, guru atau sumber informasi yang benar. Di Indonesia banyak anak-anak
tidak mendapatkan pendidikan seks yang benar dan cukup. Mereka justru
mendapat informasi tentang seks dari teman sebaya, internet, dan majalah.
Padahal sumber informasi tersebut belum tentu benar dan dapat
7
Pendidikan seks sendiri sangat berpengaruh baik dalam
perkembangan kehidupan anak ketika memasuki masa remaja dan
selanjutnya. Pendidikan seks yang diberikan sejak anak usia dini sangat
tepat, di mana dalam usia ini anak-anak sangat kritis dari segi pertanyaan dan
tingkah lakunya untuk menjelajahi lingkungannya, oleh sebab itu masa ini
disebut dengan ‘masa bertanya’. Itu semua karena pada masa ini anak-anak
memiliki rasa keingintahuan yang besar (Hurlock, 1980). Hal ini sejalan
dengan hasil riset Endang Lestari,S.Pd., M.Pd & Jangkung
Prasetyo,S.Pd.,M.Pd (2014), bahwa memperkenalkan seks pada anak tidak
ada batas waktu yang jelas. Namun, pendidikan seks ini sepatutnya mulai
diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks. Hendaknya orang tua dapat
menjawabnya sesuai dengan tahap perkembangan anak (Lestari & Jangkung
Prasetyo, 2014) .
Dengan demikian, ketika anak menginjak usia pubertas, remaja,
hingga dewasa akan dapat memahami persoalan seksualitas di dalam hidup,
ia mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tingkah laku
islami yang lurus dapat menjadi adat dan tradisi bagi anak nantinya, serta
menghindarkan mereka untuk terjebak dalam perbuatan yang buruk
(pergaulan bebas, kejahatan seksual, dan penyimpangan seksual lainnya)
seperti beberapa fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya. Pendidikan
seks yang tidak diberikan sedini mungkin dimungkinkan akan
mengakibatkan berbagai akibat buruk di masa perkembangan anak
8
Dalam rangka melaksanakan pendidikan seks hendaknya tidak
disempitkan artinya sebagai sekedar pembicaraan tentang seks saja,
melainkan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses-proses
perkembangan dan kehidupan seks. Dilihat dari sudut ini, maka proses
pendidikan seks dapat diberikan sejak anak usia dini sekalipun, di mana
pada saat seorang anak mulai bertanya tentang seks, misalnya : Mengapa alat
kelaminya berbeda dengan alat kelamin saudaranya?. Akan tetapi pendidikan
seks diberikan tidak selalu harus menunggu sampai timbul pertanyaan dari si
anak, melainkan dapat direcanakan orang tua sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan si anak. Sedikitnya sebelum seorang anak memasuki dunia remaja,
di mana proses kematangan timbul harus sudah diberikan (Gunarsa, 2001).
Usia dini atau usia Taman Kanak-kanak adalah usia keemasan atau
dengan istilah lain Golden Age, adalah masa-masa penting, dimana peran
orang tua dan lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk
membentuk kehidupan anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru
terhebat didunia, betapapun tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di
lingkungan ini, anak sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang
dilakukan oleh orang tua (Nugroho, 2014). Dalam hal ini para ahli yang
berkecimpung di dunia anak, pada umumnya sependapat bahwa pendidik
terbaik anak adalah orang tuanya sendiri, termasuk dalam hal ini adalah
pendidik dalam bidang seks. Oleh sebab itu, peran orang tua akan bermain
9
Pendidikan seks ini dapat dimulai oleh orang tua selaku keluarga inti
dari anak tersebut, karena bagaimanapun orang tua adalah pendidik utama
bagi anak-anaknya. Meskipun demikian, peranan guru, atau ahli-ahli lainnya
yang benar-benar memiliki dasar-dasar pengetahuan dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dapat saja melaksanakan pendidikan seks sejauh hal ini
memang dibutuhkan karena orang tua kurang dan tidak bisa memberikan
pendidikan seks atau pengetahuan seks untuk anaknya (Gunarsa, 2001).
Ada banyak alasan mengapa orang tua dianggap menjadi kunci dalam
pendidikan seks, diantaranya karena mereka termasuk fakta bahwa mereka
dilihat sebagai individu yang mampu tidak hanya untuk mendidik anak-anak
mereka tentang seks saja, tetapi juga untuk pujian dan mempertahankan
budaya dan etos dalam keluarga. Mereka mendukung aspek emosional dan
fisik kesehatan anak-anak mereka dan membantu mereka dalam
mempersiapkan kehidupan dewasa (Nambambi & Mufune, 2011). Oleh
karena itu, perlu terlahir kesadaran dari orang tua untuk memberikan
pendidikan yang juga tidak kalah pentingnya dengan pendidikan lainnya,
yaitu sebuah pendidikan seks seperti yang telah diuraikan di atas dengan
berbagai strategi yang dianggap tepat oleh orang tua sebagai upaya
pencegahan diri anak dari berbagai kejahatan seksual, dan membentengi anak
dari penyimpangan seksual lainnya.
Bertitik tolak dari pokok pikiran di atas, peneliti tertarik untuk
10
tentang pendidikan seks bagi anak usia dini dengan mengangkat judul:
“Persepsi Orang Tua Tetang Pendidikan Seks Anak Usia Dini”.
B. Fokus Penelitian
Bagaimana persepsi orang tua tentang pendidikan seks anak usia dini?
C. Tujuan Penelitian
Untuk menggambarkan persepsi orang tua tentang pendidikan seks anak usia
dini.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu baru yang
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di dalam bidang
psikologi perkembangan, keluarga, pendidikan dalam kaitanya dengan
pendidikan seks yang diberikan pada anak sejak usia dini.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan bahwa pedidikan
seks sejak usia dini itu perlu diberikan, serta memberikan manfaat bagi
orang tua khususnya dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia
dini. Sehingga akan lebih mudah bagi orang tua untuk menangani
pencegahan perilaku seks anak-anaknya hingga memasuki usia remaja,
11
E. Keaslian penelitian
Kajian seks secara umum maupun khusus terkait pendidikan seks ini
sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru, bahkan sudah pernah diteliti oleh
beberapa peneliti lain sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa penelitian
yang juga membahas tentang pendidikan seks, diantaranya penelitian tentang
pendidikan seks yang telah dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Avin
Fadilla Helmi & Ira Pramatasari Universitas Gajah Mada (1998). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada perubahan peningkatan
pengetahuan tentang seks yang sehat oleh anak-anak.
Adapun penelitian selanjutnya terkait pendidikan seks anak telah
dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Dwi Aryo Fajar, S.S., M.Hum.,
Susanto, S.S., M.Hum., Ribut Achwandi S.S. Universitas Pekalongan (2014).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan seks
dikatakan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dikarenakan adanya
kendala oleh kinerja PNFI yang kurang mampu memenuhi kebutuhan bagi
penyelenggara pendidika seks usia dini secara optimal.
Selanjutnya adapun penelitian lain terkait pendidikan seks ini, juga
telah dipublikasikan dalam sebuah jurnal karya Endang Lestari,S.Pd., M.Pd &
Jangkung Prasetyo,S.Pd.,M.Pd (2014). Hasil dari penelitian ini didapat bahwa
memperkenalkan seks pada anak tidak ada batas waktu yang jelas. Namun,
pendidikan seks ini sepatutnya mulai diberikan sejak anak mulai bertanya
tentang seks. Hendaknya orang tua dapat menjawabnya sesuai dengan tahap
12
Penelitian selanjutnya membahas tentang pendidikan seks juga telah
dipublikasikan dalam jurnal karya Inhastuti Sugiasih Fakultas Psikologi
Universitas Islam Sultan Agung. Hasil dari penelitian ini didapat pemaparan
mengenai kekuatan, hambatan, kelemahan dan peluang yang dimiliki ibu
berkaitan dengan pendidikan seksual untuk anak usia 3 – 5 tahun.
Penelitian lainnya terkait pendidikan seks juga telah diterbitkan dalam
jurnal karya Ria Rosela Nur’aini Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Surabaya (2014). Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa peran
orangtua dalam memberikan pendidikan seks tidak begitu besar karena
orangtua menganggap bahwa pendidikan seks sudah diberikan ketika di
sekolah. Peran konselor sendiri dalam memberikan pemahaman dalam
pendidikan seks hanya berpengaruh sekitar 15% sisanya 60% dari teman
dan 25% dari internet.
Selanjutnya adapun penelitian yang juga membahas tentang
pendidikan seks dan telah diterbitkan dalam sebuah jurnal berbahasa inggris
Karya Ndishishi M Nambambi and Pempelani Mufune Department of
Sociology, University of Namibia, Namibia. Temuan dari hasil diskusi atau
penelitian ini menunjukkan bahwa diskusi tersebut secara tradisional masih
dipandang tabu, mereka hanya mengamblil pembicaaraan disekitar masalah
menstruasi, kehamilan, dan HIV. Adapun resistensi terhadap diskusi spesifik
lebih di sekitra hubungan seksual. Kami menyimpulkan bahwa ada kebutuhan
bagi orang tua untuk diajarkan bagaimana memberikan pendidikan seks
13
Selanjutnya penelitian terdahulu yang juga membahas tentang
pendidikan seks untuk anak yang juga telah terpublikasikan dalam sebuah
jurnal internasional karya Joy L. Walker (2001). Hasil dari penelitian ini
adalah ditemukan beberapa faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi
komunikasi antara orang tua dengan anak yang saling terkait tentang seks.
Adapun penelitian lainnya juga telah diterbitkan dalam jurnal
berbahasa inggris karya Almeida, Ana Carla Campos Hidalgo De & Centa,
Maria De Lourdes (2008). Hasil dari penelitian ini adalah beberapa orang tua
berpendapat bahwa sangat penting untuk berbicara tentang seks kepada anak
secara terbuka, walaupun orang tua mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi. Yakni dengan cara mengejarkan nilai-nilai untuk membangun
personalitas dan meningkatkan pengetahuan mereka.
Selanjutnya adapun penelitian asing yang membahas tentang
pendidikan seks untuk anak dan juga diterbitkan dalam jurnal inggris karya
Netsanet fentahun, Tsion Assefa, Fessahaye Alemseged, dan Fentie Ambaw.
Hasil studi ini menyatakan bahwa semua partisipan memiliki keinginan untuk
memulai pendidikan seks pada sekolah, semua partisipan mengatakan bahwa
usia dini (primary school) yang berisi pendidikan seks abstinence-only dan
usia selanjutnya (secondary school) yang berisi abstinence-plus. Pendidikan
seks di sekolah seharusnya berdasarkan kebutuhan murid, guru, dan orang
tua.
Penelitian asing lainnya juga diterbitkan dalam sebuah jural berbahasa
14
Netherlands Institute for Health Services Research, Graaf, H. de,
Rademakers, J. The psychological measurement of childhood sexual
development in Western. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa Dari
metode-metode tersebut didapatkan hasil rangkuman sebagai beriut. Dibagi
ke dalam 4 tahap perkembangan yang berbeda : bayi dan balita (usia 0 bulan
hingga dua tahun), anak-anak pra sekolah ( usia 3 hingga 5 tahun ), masa
kanak-kanak tengah (usia 6 hingga 9 tahun ), dan akhir masa kanak-kanak
(usia 10 hingga 12 tahun).
Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas
memang memiliki perbedaan satu sama lainnya, dapat dilihat dari
penggunaan metode penelitiannya. Disebutkan ada yang menggunakan
metode kualitatif dan metode kuantitatif. Selain itu juga dilihat perbedaan dari
setting penelitiannya, serta pemilihan subjek penelitian yang didasarkan pada
kriteria tertentu. Sedangkan penelitian kali ini yang diangkat oleh peneliti
dengan judul ‘Persepsi Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Anak Usia Dini’
memunculkan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Diantaranya dilihat
dari penggalian data dengan setting penelitian yang berbeda, dalam hal ini
peneliti akan menggali data terkait bagaimana persepsi orang tua dalam
melakukan pendidikan seks pada anaknya, untuk settingnya sendiri
mengambil daerah Gresik. Dalam hal ini nantinya akan memilih subjek yaitu
orang tua khususnya ibu selaku keluarga terdekat anak yang berprofesi
sebagai guru dan ibu rumah tangga, serta memilih informan tahu sebagai
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Persepsi Orang Tua
1. Pengertian Persepsi Orang tua
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu
melalui alat pengindraan (Walgito, 1981). Selanjutnya Jalaludin (2005)
menjelaskan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan (Jalaludin, 2005). Adapun Siagian (2004)
persepsi adalah suatu proses di mana seseorang mengorganisasikan dan
menginterprestasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya
memberikan suatu makna tertentu kepada lingkungannya. Persepsi
didahului oleh proses penginderaan terhadap stimulus yang diterima
seseorang melalui panca inderanya (Walgito, 2002).
Proses penginderaan stimulus ini selanjutnya akan diteruskan ke
proses persepsi yaitu bagaimana seseorang mengorganisasikan dan
menginterprestasikan stimulus sehingga orang tersebut menyadari,
mengerti tentang apa yang di indera itu. Persepsi diartikan juga sebagai
kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau
kepercayaan langsung terhadap sesuatu (Komaruddin, 2000). Menurut
17
sebenarnya. Sebab itulah mengapa dua orang yang melihat sesuatu
mungkin memberikan interprestasi yang berbeda tentang apa yang
dilihatnya.
Perbedaan tersebut muncul karena adanya kecendrungan manusia
memilih apa yang ingin dipersepsinya. Apabila objek yang dipersepsi
sesuai dengan penghayatannya dan dapat diterima secara rasional dan
emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung
menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsi,
sementara apabila tidak sesuai dengan penghayatannya maka persepsinya
negatif atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapi secara
berlawanan terhadap objek persepsi tersebut (Jalaluddin, 2005).
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu
proses di mana seseorang menginterprestasikan kesan-kesan sensorinya
dalam usaha memberikan suatu makna tertentu terhadap lingkungannya
berdasarkan firasat terhadap kebenaran atau kepercayaan langsung
terhadap sesuatu. Persepsi ini didahului oleh proses penginderaan
seseorang terhadap stimulus yang diterima seseorang melalui panca
inderanya dan selanjutnya akan diteruskan ke proses persepsi yaitu
bagaimana seseorang menginterprestasikan stimulus sehingga orang
tersebut menyadari, mengerti tentang apa yang di lihat dan dirasakan.
Mengenai pengertian orang tua dalam kamus besar Indonesia
18
Sedangkan dalam penggunaan bahasa arab istilah ‘Orang tua’ dikenal
dengan sebutan Al-Walid, pengertian tersebut dapat dilihat dalam Suah
Al-Luqman ayat 14 yang berbunyi :
“ Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang tua ibu bapaknya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambahan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tua ibu bapakmu. Dan hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS. Al-Luqman : 14).
Banyak dari kalangan para ahli yang mengemukakan pendapatnya
tentang pengertian orang tua, salah satunya datang dari seorang ahli
Psikologi Ny. Singgih D Gunarsah dalam bukunya Psikologi Untuk
Keluarga mengatakan “ Orang tua adalah dua individu yang berbeda
memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan
kebiasaan-kebiasaan sehari-hari (Gunarsa, 2001).
Berdasakan pengertian mengenai orang tua dari beberapa para
ahli di atas dapat diperoleh pengertian bahwa bahwa orang tua memiliki
tanggung jawab dalam membentuk dan membina anak-anaknya baik dari
segi psikologis maupun pisiologis. Kedua orang tua dituntut untuk dapat
mengarahkan dan mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi
generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia.
Dari uraian masing-masing di atas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi orang tua adalah proses di mana orang tua menginterpretasikan
kesan-kesan sensorinya dalam usaha memberikan suatu makna tertentu
terhadap segala sesuatu yang diindrainya berdasarkan firasat terhadap
19
dimaksudkan dalam konsep penelitian ini adalah bagaimana orang tua
mempresepsikan atau memahami tentang pemberian pendidikan seks
kepada anak usia dini sesuai dengan pemikiran pribadi dan
kepercayaanya. Sehingga akan terlihat secara jelas apa saja hal yang
dilakukan oleh orang tua tersebut dalam melakukan pendidikan seks
untuk anak-anaknya. Dalam hal ini diharapkan orang tua tidak lagi
memandang pendidikan seks sebagai hal yang tabu dan enggan untuk
diberikan kepada anaknya.
Pendidikan seks ini diberikan oleh orang tua untuk memperkuat
dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian anak. Selain itu,
membekali anak dengan informasi yang benar tentang seks, menanamkan
akhlaq sejak dini dalam menghadapi persoalan seksual agar terhindar dari
pergaulan bebas ketika anak mulai memasuki dunia remaja, dewasa, dan
seterusnya. Dalam hal ini, orang tua dapat mulai untuk memberikan
pendidikan seks ini sejak anak berusia dini sekalipun dengan berbagai
strategi atau cara yang dianggap tepat untuk anaknya. Dengan demikian,
berbagai pengaruh negatif dari luar akan dapat dinetralisir jika orang tua
sejak dini senantiasa memberikan bimbingan dan pendidikan yang baik
kepada anaknya.
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi
Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi timbulnya persepsi, menurut Mahmud (1990)
20
sehari-hari dengan kebiasaan terdahulu yang di ulang-ulang. Menurut
Walgito (2002) dan Jalaluddin (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi yaitu objek yang dipersepsi, alat indera serta perhatian. Menurut
Siagian (2004) ada 3 faktor yang bisa menimbulkan persepsi yaitu:
a. Diri Orang yang Bersangkutan Sendiri
Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan
interprestasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh
karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif,
kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya. Persepsi seseorang
terhadap pendidikan seks juga tergantung pada hal-hal tersebut
diatas. Sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan
harapannya seseorang terhadap pendidikan seks dapat dilihat dari
persepsi yang dihasilkan apakah positif atau negatif.
b. Sasaran Persepsi
Sasaran mungkin berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat
sasaran biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang
melihatnya. Sasaran pendidikan seks bukan hanya remaja saja,
namun juga anak-anak dini sekalipun, hal ini menimbulkan persepsi
pada orang tua yang menggaggap perlu diberikannya pendidikan
seks untuk mencegah anak melakukan hal-hal yang tidak di
inginkan. Jadi sudah jelas dapat dikatakan bahwa sasaran dapat
21
c. Faktor Situasi
Persepsi harus dilihat secara konstektual yang berarti dalam situasi di
mana persepsi itu timbul haruslah mendapat perhatian. Situasi
merupakan faktor yang berperan dalam menimbulkan persepsi
seseorang. Misalnya pendidikan seks, apabila diberikan pada situasi di
mana lingkungan menganggap seks adalah hal yang tabu, jelek, kotor,
persepsi yang mungkin timbul akan negatif. Tapi situasi dimana
lingkungan sudah menyadari pentingnya pendidikan seks diberikan
pada anak, maka persepsi positif akan timbul.
B. Pendidikan Seks
1. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan merupakan proses mengubah sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus BesarBahasa Indonesia,
2001). Seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat
kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan intim
antara laki-laki dengan perempuan (Safita, 2013).
Menurut Roqib (2008) Pendidikan seks merupakan upaya transfer
pengetahuan dan nilai (knowledge and values) tentangfisik-genetik dan
fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-laki dan
perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk
hewan dan manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya. Pendidikan
22
masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha
menjaga anak terbebas dari kebiasaan buruk serta menutup segala
kemungkinan ke arah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan
pemahaman yang sehat tentang seks dari aspek kesehatan fisik, psikis,
dan spiritual.
Menurut Suryadi (2007) (dalam Nugraha, 2014), pendidikan seks
merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi
fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuuensi psikologis
yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks
terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku
seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopouse, serta penyakit
kelamin (Nugraha, 2014).
Pendidikan Seks (sex education) adalah suatu pengetahuan yang
mengajarkan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis
kelamin. Hal ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin
(Laki-laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi,
bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada
laki-laki, tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada
timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon,
Termasuk nantinya masalah perkawinan, kehamilan dan sebagainya.
Selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis
23
dan pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak
asasi manusia (Safita, 2013).
Pendidikan seks harus dianggap sebagai bagian dari proses
pendidikan, dengan demikian memiliki tujuan untuk memperkuat
dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan kata lain
pendidikan seks adalah bagian integral dari usaha-usaha pendidikan pada
umumnya. Melalui pendidikan seks ini diusahakan timbulnya sikap
emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks. Seks tidak
dianggap sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan tabu,
melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia.
Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan
yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur,
mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini
juga diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan
terhadap kegiatan seks (Gunarsa, 2001).
Menurut Ulwan (1995), ruang lingkup pendidikan seks tidak
hanya mengajarkan mengenai seksualitas, tetapi juga berhubungan
dengan aspek moral, etika, hukum, budaya, dan perilaku sosial.
Oleh sebab itu, pendidikan seks, seperti ditegaskan Sarwono (2004)
dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak
24
direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa
(Fajar, 2014).
Dari berbagai penjelasan tentang pengertian pendidikan seks di
atas, dapat diambil sebuah kesimpulan tentang pendidikan seks terkait
konsep penelitian ini adalah bahwa pendidikan seks merupakan usaha
yang dilakukan untuk memberikan informasi yang benar kepada anak
tentang seks, di mana ruang lingkupnya tidak hanya sekedar menjelaskan
tentang (kondisi fisik) saja, melainkan juga tentang konsekuensi
psikologis dari kondisi tersebut, mengajarkan moral, etika, dan perilaku
sosial yang baik kepada anak. Pendidikan seks ini diberikan dengan
harapan agar anak memperoleh informasi yang benar tentang seks,
menanamkan akhlaq sejak dini dalam menghadapi persoalan seksual agar
terhindar dari pergaulan bebas ketika anak mulai memasuki dunia
remaja, dewasa, dan seterusnya.
2. Waktu Tepat Memberikan Pendidikan Seks Anak Usia Dini
Selanjutnya, untuk menentukan kapan seharusnya pendidikan
seks atau pengenalan tentang seks ini diberikan pada anak yakni
sebagaimana juga dalam pendidikan, maka pendidikan seks merupakan
suatu proses yang berkesinambungan. Selain itu sulit untuk ditentukan
dengan pasti kapan harus mulai diberikan. Dalam rangka melaksanakan
pendidikan seks hendaknya tidak disempitkan artinya sebagai sekedar
pembicaraan tentang seks saja, melainkan hal-hal lain yang berhubungan
25
Dlihat dari sudut tersebut, maka proses pendidikan seks dapat
diberikan sejak anak usia dini sekalipun, di mana pada saat seorang
anak mulai bertanya tentang seks, misalnya : Mengapa alat kelaminya
berbeda dengan alat kelamin saudaranya?. Akan tetapi pendidikan seks
diberikan tidak selalu harus menunggu sampai timbul pertanyaan dari si
anak, melainkan dapat direcanakan orang tua sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan si anak. Sedikitnya sebelum seorang anak memasuki dunia
remaja, di mana proses kematangan timbul harus sudah diberikan,
misalnya anak perempuan sebelum mengalami haid pertama kali, atau
anak laki-laki sebelum keluar mani pertama kali akan lebih mudah untuk
membicarakan masalah seks sebelum anak itu mengalami kematangan
seksnya. Karena akan lebih terbuka, dan anak bisa mengurangi rasa
malunya. Selain itu juga lebih baik mendahului menerangkan sebelum
anak mendapatkan informasi dari orang lain yang mungkin memberikan
informasi yang salah karena hanya berfokus pada soal seks saja
(Gunarsa, 2001).
Selanjutnya, Dr. Rose Mini AP, M.Psi menyatakan bahwa
pengetahuan mengenai seksualitas bagi anak wajib diberikan
orangtua sedini mungkin, terutama saat anak masuk play group (usia
3-4 tahun). Tujuannya, agar mereka mengenal persamaan dan
perbedaan antara pribadi seorang anak laki-laki dan perempuan,
26
merealisasikan pelaksanaan pendidikan seks usia dini dibutuhkan
keterlibatan semua pihak (Fajar, 2014).
3. Tujuan Pendidikan Seks Anak Usia Dini
Melalui pendidikan seks ini diusahakan timbulnya sikap
emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks. Seks tidak
dianggap sebagai sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan tabu,
melainkan sebagai fungsi penting dan luhur dalam kehidupan manusia.
Pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi ketegangan-ketegangan
yang timbul karena menganggap seks adalah sesuatu yang kabur,
mencemaskan, bahkan menakutkan. Dengan adanya pendidikan seks ini
juga diharapkan mampu mengurangi keingintahuan yang berlebihan
terhadap kegiatan seks (Gunarsa, 2001).
Adapun tujuan lain yang ingin dicapai dalam memberikan
pendidikan seks kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut:
a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam
menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada
pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri
dalam menghadapi perubahan-perubahan dorongan seksual secara
islami.
b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab
terhadap masa depan seksual anaknya. Dalam hal ini orang tua dapat
memberikan contoh berperilaku yang baik kepada anak-anak dalam
27
c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk
menghindari anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan seksual.
d. Membekali anak dengan informasi yang benar dan tanggung jawab
tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumber-sumber
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya,
memperkenalkan anak tentang nama-nama anggota tubuh dengan
benar (vagina milik perempuan dan penis milik laki-laki),
memperkenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan lain
sebagainya.
e. Memahami sejak dini tentang perbedaan mendasar antara anatomi
pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam reproduksi
manusia (El-Qudsy, 2012).
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini
Walker (2001) dalam penelitiannya yang dilakukan pada orang
tua di Inggris, untuk melihat komunikasi antara orang tua dan anak dalam
membicarakan mengenai seks. Walker menemukan faktor-faktor yang
dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan
anak yang saling terkait dalam pendidikan seks.
a. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks
termasuk :
1. Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk
28
2. Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang
tua mereka.
3. Perasaan malu yang mengelilingi seluruh pengalaman dalam
membicarakan hal-hal seksual.
4. Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan
katakan sebagai orang tua.
5. Kesalahpahaman umum dan sosial harapan bahwa orang tua
harus memberi anak mereka bicara seks yang formal.
b. Faktor yang meningkatkan pendidikan seks yang ditentukan
menjadi:
1. Rangsangan yang memicu kesempatan selama kehidupan
keluarga yang sibuk.
2. Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam
keluarga adalah tabu.
3. Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah.
4. Akses terhadap informasi dan sumber (Walker, 2001).
C. Anak Usia Dini
1. Pengertian Usia Dini
Anak usia dini disebut juga anak usia pra-sekolah, di mana usia
ini merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak
mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai perempuan atau
laki-laki, dapat mengatur diriya sendiri dan mengenal bebrapa hal yang
29
sampai 6 tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Usia dini berlangsung
dari umur dua tahun sampai 6 tahun, masa ini dimulai sebagai penutup
masa bayi, di mana masa ketergantungan secara praktis sudah dilewati,
dan diganti dengan tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar usia
masuk sekolah dasar (Hurlock, 1980).
Pada anak usia dini atau pra sekolah pertumbuhan berlangsung
secara stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang
bertambah dan meningkatnya keterampilan. Ketika anak berada pada usia
ini akan mengalami pertumbuhan dalam tinggi dan berat badan
(Santrock, 2002). Selain itu, masa pra sekolah dapat dikatakan juga
sebagai masa bermain, di mana dalam masa ini anak-anak merasakan
kebahagiaan dan amat memuaskan dari seluruh masa kehidupan anak
(Hawadi, 2001).
Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian anak usia dini di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa anak usia dini merupakan fase
perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, di mana anak mulai memiliki
kesadaran tentang dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, dapat
mengatur diriya sendiri dan mengenal bebrapa hal yang dianggap
berbahaya. Dalam masa ini anak-anak dapat merasakan kebahagiaan
30
2. Karakteristik / Ciri-ciri Anak Usia Dini
Adapun ciri-ciri tertentu dari periode awal masa kanak-kanak,
ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan yang biasanya diberikan oleh para
orang tua, pendidik dan ahli psikologi. Adapun cirinya sebagai berikut :
a. Sebutan yang digunakan oleh orang tua
Sebagian para orang tua menganggap bahwa awal masa
kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah. Dengan datangnya
masa kanak-kanak ini sering terjadi masalah perilaku yang lebih
menyulitkan daripada masalah perawatan pisik pada masa bayi.
b. Sebutan yang digunakan oleh para pendidik
Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak ini
sebagai masa pra sekolah untuk membedakannya dari saat di mana
anak dianggap cukup tua, baik secara fisik maupun mental, untuk
menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mulai mengikuti
pendidikan formal.
c. Sebutan yang digunakan oleh ahli psikologi
Para ahli psikologi memberikan beberapa sebutan yang berbeda
untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan
psikologis anak selama tahun-tahun awal masa kanak-kanak. Salah
satu sebutan yang banyak digunakan adalah usia kelompok, masa
dimana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial yang
lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu
31
bertanya, di mana anak-anak menggunakan salah satu cara yang
umum dalam menjelajahi lingkungannya adalah dengan cara
bertanya (Hurlock, 1980).
Anak usia dini atau pra sekolah memiliki karakteristik sebagai
individu yang ingin tahu, mereka menanyakan serentetan pertanyaan.
Pertanyaan anak-anak yang paling awal nampak kira-kira pada usia 3
tahun, dan pada usia 5 tahun mereka mulai membuat orang-orang dewasa
disekitarnya lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka “mengapa”,
“bagaimana”, “kapan”, dan sebagainya. Dari pertanyaan-pertanyaan
itulah mereka sebenarnya mennjukkan perkembangan mental merekadan
mencerminkan rasa keingintahuan yang tinggi. Pada usia dini rasa ingin
tahu yang pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur
tubuh antara anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa
(Santrock, 2002).
Pada masa pra sekolah, anak memiliki karakteristik yang khas,
baik secara fisik, psikis, sosial, moral dan sebagainya. Sebab masa
kanak-kanak adalah masapembentukan fondasi dan dasar kepribadian
yang akan menentukan pengalaman anak selanjutnya. Pengalaman yang
dialami anak pada masa ini akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan
selanjutnya. Pengalaman tersebut akan bertahap lama, bahkan tidak dapat
32
3. Tugas perkembangan Anak Usia Dini
Adapun tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi pada
usia dini adalah sebgai berikut :
a. Belajar makan makanan padat
Pada saat masa bayi berakhir, normal telah belajar
makanan-makanan padat, dan mencaai tingkat stabilitas fisiologis yang
cukup baik, dan akan disempurnakan setahun atau dua tahunan
lagi.
b. Belajar berjalan
Begitupun dengan berjalan, pada masa akhir bayi, bayi normal
telah melakukan proses berjalan meskipun dalam tingkat
kecakapan yang berbeda.
c. Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh
Tugas pokok dalam mengendalikan pembuangan kotoran
tubuhsudah hampir sempurna dan akan sepenuhnya dikuasai dalam
waktu setahun atau dua tahun lagi.
d. Belajar berbicara
Meskipun sebagian besar bayi telah menambah kosa kata yang
berguna, dapat mengerti dari pertanyaan dan perintah secara
sederhana, dan dapat menyambungkan beberapa kata menjad satu
kalimat yang berarti. Meskipun demikian, untuk dapat
33
dalam taraf yang redah.masih banyak yang harus dikuasai sebelum
mereka masuk sekolah.
e. Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya
Dalam hal ini mereka sudah mempunyai pengetahuan sederhana
mengenai kenyataan sosial dan fisik, namun masih sangat kurang.
Hanya sedikit bayi yang mengetahui tentang perbedaan seks lebih
dari sekedar unsur dasarnya, dan sedikit lagi yang mngetahui
tentang sopan santun seksual. Masih diragukan apakah setiap bayi
yang memasuki awal masa kanak-kanak benar-benar mengerti
mengenai penampilan seks yang benar.
f. Belajar membedakan yang benar dan yang salah, dan mulai
mengembangkan hati nurani sebagai bimbingan untuk berperilaku
benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai motivasi anak-anak
untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai hal yang salah
bilamana mereka sudah terlalu besar untuk selalu diawasi orang tua
atau pengganti orang tua (Hurlock, 1980).
4. Perkembangan Sosialisasi Anak Usia Dini
Dasar untuk sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya
hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun-ke
tahun. Anak tidak hanya lebih bermain bersama teman-temannya saja,
tetapi juga lebih banyak berbicara. Jenis sosial lebih penting dari
jumlahnya. Jika anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun
34
baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya
kurang baik. Antara usia dua tahun dan tiga tahun, anak menunjukkan
minat yang nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha
mengadakan kontak sosial dengan mereka. Pada masa ini merupakan
tahap perkembangan yang kritis, karena pada masa inilah sikap dasar
sosial dan pola perilaku anak akan dibentuk (Hurlock, 1980).
5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Kohlberg merincikan dan meluaskan tahap-tahap perkembangan
moral piaget dengan memasukkan dua tahapan dari tingkat
perkembangan prakonvesional. Dalam tahap pertama, anak-anak
berorientasi patuh-dan-hukum dalam arti ia menilai benar salahnya
perbuatan berdasarkan aibat-akibat fisik dari perbuatan itu. Dalam tahap
kedua anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar
memperoleh pujian. Berakhirnya masa awal kanak-kanak, kebiasaan
untuk patuh harus dibentuk agar anak-anak mempunyai disiplin yang
konsisten. Namun, dalam hal ini, anak-anak belum mampu
mengembangkanhati nuraninya sehingga ia tidak merasa bersalah atau
malu bila melakukan sesuatu yang diketahuinya sebagai sesuatu yang
salah. Malah untuk mneghindari hukuman ia berusaha membenarkan
perbuatannya (Hurlock, 1980).
Selain perkembangan di atas, anak juga akan mengalami
perkembangan gender. Gender merupakan salah satu aspek penting yang
35
gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap yang diasosiasikan
dengan laki-laki atau perempuan. Kebanyakan anak mengalami
sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan gender.
Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas
gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak
mengembangkan keistimewaanya gender, sikap tentang jenis kelamin
mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan
gender, suatu kepercayaan bahawa jenis kelamin seseorang ditetukan
secara bilogis, permanen, dan tak berubah-rubah (Hurlock, 1980).
Selanjutnya, jika anak-anak sudah mulai mengenal perbedaan
antara laki-laki dan peempuan, maka mereka akan ingin mengerti apa arti
perbedaan tersebut, dan apa penyebabnya. Anak-anak akan menyetakan
minatnya terhadap tubuh dengan memberikan komentar tentang berbagai
bagian tubuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Jika hal itu
dianggapnya belum memuaskan, maka ia akan memeriksa bagian tubuh
temannya bermainnya. Tidak ada yang lebih menarik dari pada proses
pembuangan air kecil dan anak akan memperhatikan dengan penuh minat
setiap kali ia masuk ke kamar kecil (Hurlock, 1980). Adapun minat anak
terhadap seks, salah satunya ditunjukkan dengan munculnya berbagai
keingintahuan mengenai asal-usul bayi yang sangat besar, mereka
berusaha bertanya tentang maslah ini untuk memeroleh sebuah jawaban.
36
besar anak menganggap bayi itu berasal dari rumah sakitatau toko, atau
dibawa burung bangau (Hurlock, 1980).
Banyak anak memperlihatkan minat terhadap seks dengan
membicarakannya dengan teman-teman bermainnya. Kalau tidak ada
orang dewasa di sekelilingnya, maka mereka akan melihat
gambar-gambar pria dan wanita dewasa dalam pose yang merangsang. Karena
banyak orang tua yang menganggap bahwa permainan seks itu perbuatan
nakal, maka aktivitas seperti itu dilakukan degan cara sembunyi
(Hurlock, 1980).
6. Perkembangan Seksual Anak Usia Dini
Menurut Freud (dalam Kartono, 1995), rentang usia antara 3 –
6 tahun anak berada pada tahap phallic. Selama tahap phallic
kenikmatan berfokus pada alat kelaminnya. Kenikmatan masturbasi
serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik
membuka jalan bagi tumbulnya Oedipus Complex. Dimana anak laki
-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, sedangkan
anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.
Perasaan-perasaan ini menyatakan diri dalam khayalan pada waktu
anak melakukan masturbasi (Kartono, 1995).
Pada usia 3 sampai 4 tahun anak sudah mulai menyadari tentang
perbedaan alat kelamin yang berbeda antara anak laki-laki dengan
anak perempuan serta menanyakan mengenai perbedaan tersebut.
[image:46.595.137.516.281.521.2]
37
datangnya bayi”. Perilaku seksual yang biasanya muncul pada anak yang
berusia kurang dari 4 tahun adalah : (1) Menyentuh bagian-bagian
pribadi mereka di depan umum, (2) Menggosokgosokkan bagian pribadi
mereka dengan tangan atau benda yang lain, (3) Mencoba untuk
menyentuh paya dara Ibu atau wanita lain, (4) Mencoba untuk melepas
baju mereka di depan umum, (5) Mencoba untuk melihat orang lain
yang sedang telanjang dan (6) Mengajukan pertanyaan tentang
bagian-bagian tubuh mereka beserta fungsinya. Pada usia 4 – 6
tahun perilaku seksual yang pada umumnya muncul adalah : (1)
Menjelajah bagian-bagian tubuh mereka sendiri dengan teman- teman
seusianya, misalnya dengan bermain “dokter-dokteran”, (2) Meniru
perilaku orang dewasa, misalnya mencium, memegang tangan teman
lawan jenisnya, (3) Menyebutkan organ-organ vitalnya dengan istilah
mereka sendiri (Santrock, 2002) .
D. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil tema terkait pendidikan seks
untuk anak usia dini. Dalam hal ini peneliti mengambil subjek orang tua yaitu
ibu selaku orang tua dari anak dengan objek penelitian bagaimana persepsi
orang tua dalam memberikan pendidikan seks untuk anaknya. Sehingga
dalam hal ini akan ditemukan bentuk tindakan orang tua ketika memberikan
pendidikan seks kepada anaknya sesuai dengan persepsi yang telah dibangun
38
Selanjutnya alasan mengapa pemberian pendidikan seks ini
seharusnya diberikan oleh orang tua adalah karena usia dini adalah usia
keemasan atau dengan istilah lain Golden Age, adalah masa-masa penting,
dimana orang tua dan lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk
membentuk kehidupan anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru
terhebat didunia, betapapun tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di
lingkungan ini, anak sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang
dilakukan oleh orang tua (Nugroho, 2014). Dalam hal ini para ahli yang
berkecimpung di dunia anak, pada umumnya sependapat bahwa pendidik
terbaik anak adalah orang tuanya sendiri, termasuk dalam hal ini adalah
pendidik dalam bidang seks. Oleh sebab itu, peran orang tua akan bermain
lebih besar dalam hal ini (Gunarsa, 2001).
Pendidikan seks untuk anak baiknya diberikan ketika anak memasuki
usia dini (2-6 tahun), usia dini adalah usia keemasan atau dengan istilah lain
Golden Age, adalah masa - masa penting, dimana peran orang tua dan
lingkungan sekitarnya sangatlah mendukung untuk membentuk kehidupan
anak selanjutnya, dimana anak adalah peniru terhebat di dunia, betapapun
tidak peduli ia terhadap apa yang terjadi di lingkungan ini, anak
sebenarnya sedang memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh orang
tua (Nugroho, 2014). Pada masa ini pendidikan seks sendiri sangat
berpengaruh dalam perkembangan kehidupan anak ketika memasuki masa
remaja dan selanjutnya. Selain itu, pendidikan seks yang diberikan sejak
39
dari segi pertanyaan dan tingkah lakunya untuk menjelajahi lingkungannya,
oleh sebab itu masa ini disebut dengan ‘masa bertanya’. Itu semua karena
pada masa ini anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang besar (Hurlock,
1980).
Karakteristik perkembangan anak usia dini terkait dengan
perkembangan seksualitas anak menurut Freud (Santrock, 2002) rentang usia
antara 3-6 tahun anak berada pada tahap phallic. Selama tahap phallic
kenikmatan berfokus pada alat kelaminnya. Kenikmatan masturbasi serta
kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan
bagi tumbulnya Oedipus Complex. Dimana anak laki -laki ingin
memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, sedangkan anak perempuan
ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya. Perasaan-perasaan ini
menyatakan diri dalam khayalan pada waktu anak melakukan masturbasi
(Kartono, 1995).
Pada usia 3 sampai 4 tahun anak sudah mulai menyadari tentang
perbedaan alat kelamin yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak
perempuan serta menanyakan mengenai perbedaan tersebut. Pertanyaan
yang sering muncul pada usia ini adalah “dari mana datangnya bayi”.
Perilaku seksual yang biasanya muncul pada anak yang berusia kurang dari 4
tahun adalah : (1) Menyentuh bagian-bagian pribadi mereka di depan umum,
(2) Menggosokgosokkan bagian pribadi mereka dengan tangan atau
benda yang lain, (3) Mencoba untuk menyentuh paya dara Ibu atau wanita
40
untuk melihat orang lain yang sedang telanjang dan (6) Mengajukan
pertanyaan tentang bagian-bagian tubuh mereka beserta fungsinya. Pada
usia 4 – 6 tahun perilaku seksual yang pada umumnya muncul adalah :
(1) Menjelajah bagian-bagian tubuh mereka sendiri dengan teman- teman
seusianya, misalnya dengan bermain “dokter-dokteran”, (2) Meniru perilaku
orang dewasa, misalnya mencium, memegang tangan teman lawan
jenisnya, (3) Menyebutkan organ-organ vitalnya dengan istilah mereka
sendiri (Santrock, 2002).
Dalam melakukan pendidian seks untuk anak usia dini oleh orang tua
dalam penelitian ini memiliki batasan-batasan tertentu disesuaikan dengan
usia dan tingkat pemahaman si anak. Pendidikan seks untuk anak usia dini di
sini memiliki esensi dengan tingkatan sederhana sesuai dengan tingkat usia
dan pemahaman anak usia dini. Dalam hal ini berupa pengenalan kepada anak
tentang bentuk fisik dan pengajaran moral. Terkait pengenalan fisik di sini
adalah mengenalkan dan mengajarkan kepada anak tentang bagian-bagian
tubuh manusia, seperti memperkenalkan bagian anggota tubuh dan fungsinya
yang paling sederhana : mata, telinga, hidung, mulut, rambut, tangan, kaki
dan sebagainya hingga ke bagian yang lebih intim yaitu bagian alat kelamin.
Memperkenalkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang nampak
atau terlihat oleh mata, misalnya menjelaskan kepada anak terkait pakaian
antara laki-laki dan perempuan, di mana jika laki-laki memakai sarung, peci,
41
sholat. Jika anak perempuan memakai anting dan laki-laki tidak
diperbolehkan memakai anting, dan lain-lain.
Sedangkan untuk mengajarkan tentang moral kepada anak usia dini
disini bisa dimulai dengan mengajarkan tentang perbuatan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh anak ketika berada di tempat umum, misalnya
mengajarkan anak ketika membuang air kecil dibiasakan di kamar mandi,
mengajarkan anak untuk menjaga ucapannya, jangan sampai mengucap
kata-kata kotor. Selain itu juga memperkenalkan dan mengajarkan anak tentang
sholat, serta perbuatan baik lainnya.
Dari pemaparan krangka pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa
memang sangat penting dan baik sekali jika pendidikan seks sejak usia dini
segera diberikan oleh orang tua yang memiliki peran utama dalam mendidi
anak-anaknya, dengan tujuan agar anak memiliki pengetahuan yang besar
serta memahami terhadap masalah seksualitas yang benar. Anak dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa harus melakukan penyimpangan
moral dan penyimpangan seksual yang kini kian merajalela di kalangan
remaja dan anak-anak sekalipun. Selain itu anak juga mendapatkan ajaran
untuk dapat menjaga dan mengantisipasi dirinya dari kejahatan-kejahatan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, di mana esensi dari kualitatif
sendiri adalah untuk memahami sesuatu fenomena berdasarkan sudut
pandang sekelompok orang lain atau komunitas tertentu dalam setting
alamiah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Creswell (2010),
penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih
dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks
sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang
disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta
dilakukan deng