viii
ABSTRAK
ix
The title of the thesis is DEVELOPING THE STUDENTS’ MOTIVATION THROUGH THE PATTERN OF NARRATIVE EXPERIENTIAL IN CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION (PAK) IN SMP KANISIUS GAYAM OF YOGYAKARTA. This title t is chosen based on the fact of the learning process in the school, which is apprehensive. The writer found that students were less enthusiastic in attending each course of Catholic Religious Education. For them, attending the course was boring because the way its teacher taught was monotonous. Based on this fact, this thesis aims to help the teacher of Catholic Religious Education of the school to have a new method in organizing the course using the Pattern of Narrative Experiential for Catholic Religious Education is different from any other course in school.
The main problem of the thesis is how does the teacher of Catholic Religious Education motivate students during the course and what kind of teaching pattern, which could help the teacher in involving students’ experiences in communicating their faith. The accurate data is needed to examine the problem. Therefore, the writer interviewed the teacher and some students representing each class of the school. The writer also made a study on literature to find some reflective thoughts, in order to have ideas that could be used as contributions for teaching pattern for religion teachers.
PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI POLA NARATIF
EKSPERIENSIAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMP KANISIUS GAYAM, YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Katolik
Oleh :
Marchelinus Renato
NIM: 111124019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Bapak dan Ibuku, yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan finansial,
Adik-adikku, seluruh keluargaku dan seluruh sahabatku yang selalu memotivasi diriku,
Pacarku yang selalu menemani dan memberi semangat,
v MOTTO
viii
ABSTRAK
ix
The title of the thesis is DEVELOPING THE STUDENTS’ MOTIVATION THROUGH THE PATTERN OF NARRATIVE EXPERIENTIAL IN CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION (PAK) IN SMP KANISIUS GAYAM OF YOGYAKARTA. This title t is chosen based on the fact of the learning process in the school, which is apprehensive. The writer found that students were less enthusiastic in attending each course of Catholic Religious Education. For them, attending the course was boring because the way its teacher taught was monotonous. Based on this fact, this thesis aims to help the teacher of Catholic Religious Education of the school to have a new method in organizing the course using the Pattern of Narrative Experiential for Catholic Religious Education is different from any other course in school.
The main problem of the thesis is how does the teacher of Catholic Religious Education motivate students during the course and what kind of teaching pattern, which could help the teacher in involving students’ experiences in communicating their faith. The accurate data is needed to examine the problem. Therefore, the writer interviewed the teacher and some students representing each class of the school. The writer also made a study on literature to find some reflective thoughts, in order to have ideas that could be used as contributions for teaching pattern for religion teachers.
x
KATAPENGANTAR
Pujidan syukur kepada Allah Bapa atas berkat dan kasih-Nya yang melimpah,
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENINGKATAN MOTIVASI
BELAJAR SISWA MELALUI POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK) DI SMP KANISIUS GAYAM
YOGYAKARTA.
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis bahwa siswa-
siswi SMP Kanisius Gayam, Yogyakarta kurang memiliki motivasi belajar dalam
Pendidikan Agama Katolik. Permasalahannya adalah dari pihak guru kurang
bervariasi dalam mengolah bahan dengan menggunakan berbagai metode. Guru
sudah berusaha memberikan motivasi kepada siswa dalam mengaktifkan siswa dalam
proses belajar mengajar. Tetapi pada kenyataannya masih banyak siswa yang tidak
memperhatikan guru mengajar Pendidikan Agama Katolik. Menjawab keprihatinan
itu, penulis mengusulkan suatu usaha untuk meningkatkan motivasi belajar siswa
dalam pelajaran Pendidikan Agama Katolik. Usaha yang dimaksudkan adalah
penggunaan metode pola Naratif Eksperiensial dalam pelajaran Pendidikan Agama
Katolik.
Skripsi ini disusun tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan tulus
hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Romo Yoseph Ispuroyanto Iswarahadi, SJ,M.A selaku dosen pembimbing utama
yang telah meluangkan waktu, membimbing, memberikan perhatian dan
xi dari awal hingga akhir skripsi ini.
2. Romo Dr. B. Agus Rukiyanto SJ, selaku dosen Pembimbing Akademik yang
terus menerus membimbing dan mendampingi penulis dengan penuh kesetiaan
dan kesabaran selama menjalani studi di kampus PAK Universitas Sanata
Dharma.
3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, MPd, selaku dosen penguji yang selalu
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik,
Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendidik, membimbing dan memberi
teladan bagi penulis selama studi hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak, Ibu, dan adikku serta keluarga besarku yang telah memberi semangat dan
dukungan moral, material dan spiritual selama penulis menempuh studi di
Yogyakarta.
6. Teman-temanku mahasiswa PAK-USD, khususnya angkatan 2011 yang telah
memberikan motivasi, berbagi pengalaman hidup, dan berjuang bersama dalam
semangat persaudaraan dan kekeluargaan untuk menjadi katekis yang bermutu
dan bijaksana.
7. Bapak Benedictus Grilyadi serta seluruh karyawan di SMP Kanisius Gayam,
Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melengkapi materi dalam
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv
MOTTO………... v
PENYATAAN KEASLIAN KARYA……… vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………. vii
ABSTRAK……….. viii
ABSTRACT……… ix
KATA PENGANTAR………. x
DAFTAR ISI………... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Rumusan Permasalahan………. 3
C. Tujuan Penelitian………... 4
D. Manfaat Penelitian………. 4
E. Metode Penelitian……….. 5
BAB II. POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DALAM MENGIKUTI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK A. Pola Naratif Eksperiensial……… 6
1. Pengertian Naratif Ekperiensial……… 6
2. Cerita dalam Pendidikan……….. 8
3. Macam-macam Cerita……….. 10
4. Langkah-langkah Pengajaran Pola Naratif Eksperiensial……. 12
B. Motivasi………. 14
1. Pengertian Motivasi………. 14
xiv
C. Pendidikan Agama Katolik……….. 18
1. Pendidikan Agama Katolik di SMP……… 20
2. Proses Belajar Mengajar PAK di Sekolah……….. 24
BAB III. PEMBELAJARAN PAK DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SMP KANISIUS GAYAM YOGYAKARTA A. Proses Belajar Mengajar PAK di SMP……… 29
B. Pengaruh Pola Naratif Eksperiensial terhadap Motivasi Belajar Siswa dalam PAK di SMP Kanisius Gayam Yogyakarta………... 34
1. Metodologi Penelitian……….. 34
a. Tujuan Penelitian………. 34
b. Metode Penelitian……….... 35
c. Instrumen Penelitian……… 36
d. Waktu dan Tempat Penelitian………. 37
e. Responden Penelitian………... 37
f. Teknik Pengolahan Data……….. 38
g. Variabel Penelitian………... 38
C. Hasil Penelitian………. 40
D. Pembahasan Hasil Penelitian……… 47
1. Pembahasan Hasil Penelitian……….... 47
2. Keterbatasan Hasil Penelitian………... 55
BAB IV. USULAN PROGRAM POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM RANGKA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI PROSES BELAJAR MENGAJAR PAK DI SEKOLAH A. Pengertian Program……….. 57
B. Latar Belakang Program……….. 58
C. Tujuan Program………... 59
D. Pemilihan Program……….. 59
1. Pola Pembelajaran PAK……….… 60
xv
3. Pola Naratif Eksperiensial………
4. Pola Naratif Eksperiensial di SMP………. 64
E. Usulan Program Pola Naratif Eksperiensial……… 65
F. Penjabaran Usulan Program……… 66
G. Pengembangan Program………. 71
H. Laporan dan Refleksi atas Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pola Naratif Eksperiensial di SMP Kanisius Gayam Yogyakarta dengan Tema “Masyarakat” dan Materi Pelajaran “Pemuka Masyarakat” 77 1. Tema………... 78
5. Sarana dan Metode……… 81
6. Suasana Pembelajaran……… 84
7. Tanggapan dan Keterlibatan Siswa……… 85
8. Penguasaan Bahan dalam Penguasaan Materi………... 85
9. Peningkatan Motivasi Belajar Siswa………. 85
10. Hal-hal yang Perlu Ditingkatkan………. 86
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan……….. 87
B. Saran……… 89
DAFTAR PUSTAKA………... 92
LAMPIRAN Lampiran 1 : Pertanyaan Wawancara………... (1)
Lampiran 2 : Hasil Wawancara Guru PAK……….. (2)
Lampiran 3 : Hasil Wawancara Siswa……….. (3)
Lampiran 4 : Catatan Proses Pertemuan Usulan Program………… (21)
Lampiran 5 : Surat Ijin Penelitian………. (25)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu bentuk komunikasi
atau interaksi iman yang mengandung unsur pengetahuan, unsur pergaulan dan unsur
penghayatan iman dalam pelbagai bentuk. Dalam komunikasi iman itu jemaat
memerlukan sarana yaitu bahan. Bahan itu diketahui dan diinterpretasikan serta
diaplikasikan dalam kehidupan nyata, agar bahan menjadi partner dalam komunikasi
hidup. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa-siswi SMP Kanisius Gayam
Yogyakarta. Hasil pengalaman peneliti mengajar materi Pendidikan Agama Katolik
selama semester gasal menunjukkan bahwa hasil pembelajarannya kurang maksimal.
Hal ini terbukti dari hasil ulangan harian, siswa masih banyak yang berada di bawah
Kriteria Ketuntasan Minimalnya kurang dari 75. Kondisi semacam ini terjadi,
disebabkan siswa kurang minat membaca dalam belajar. (Dalyono, 1997 : 20)
Metode yang digunakan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik kurang
bervariasi. Pengetahuan yang ditransformasikan oleh guru hanya untuk meningkatkan
hasil belajar dalam kemampuan mengingat atau kognitif saja. Sedangkan kemampuan
dalam ranah afektif atau pemahaman dan ranah psikomotorik atau penerapan kurang
Salah satu metode yang kiranya cocok untuk diterapkan dalam PAK adalah
Metode Naratif Eksperiensial, yang dapat meningkatkan keaktivan belajar siswa melalui
cerita yang mengandung pengalaman. Menurut Ruedi Hofmann S.J, ”naratif” berarti
bahwa pola tersebut berdasarkan cerita, sedangkan kata ”eksperiensial” menunjuk pada
hubungannya dengan pengalaman. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan pola
”naratif-eksperiensial” kita harapkan umat akan memperoleh cerita yang berhubungan
dengan pengalamannya sendiri (Komkat KWI, 1994). Metode Naratif Eksperiensial juga
diartikan sebagai suatu metode yang mengutamakan cerita. Salah satu kekuatan cerita
adalah komunikasi lisannya seturut dengan awal terjadinya cerita. Kenyataan terjadi
karena dahulu kebanyakan orang belum mengenal budaya baca tulis, maka cerita sangat
dominan. Cerita disampaikan secara lisan dan mudah diingat, asalkan mengetahui
tokoh-tokoh, ucapan-ucapan penting dan alur cerita. Itulah pokok terpenting dalam proses
pendidikan guna meningkatkan keaktivan belajar dan prestasi belajar siswa. Diharapkan
penerapan metode ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam Pendidikan Agama
Katolik. (Hardjana, 2007 : 15)
Fakta ini juga menyadarkan peneliti untuk membantu siswa Sekolah Menengah
Pertama dalam memperkembangkan imannya melalui pengalaman hidupnya. Melihat
perkembangan anak SMP, memudahkan guru untuk menerapkan Metode Naratif
Eksperiensial guna meningkatkan keaktivan dan prestasi belajar siswa di kelas.
Pengalaman anak SMP bersama teman sekelompoknya membawa pengaruh dalam
Mereka juga mampu mengalami keberadaan Allah karena dalam metode pembelajaran
Pendidikan Agama Katolik, proses belajar mengajar lebih menampilkan pengalaman
manusia dan fakta yang membuka pemikiran. Pengalaman yang mengena keadaan anak
akan diterapkan dalam hidup sehari-hari.
Penyampaian komunikasi iman membutuhkan sarana yang dapat membantu
anak dalam memahami pengetahuan yang baru yaitu cerita. Menurut Ruedi Hofmann S.J
yang dimaksudkan dengan cerita adalah laporan mengenai suatu peristiwa dimana terjadi
ketegangan dan juga kelegaan. Dalam cerita selalu terdapat tokoh-tokoh yang saling
berhubungan. Peristiwa yang diceritakan dapat sungguh-sungguh terjadi (historis), tetapi
juga dapat merupakan khayalan (fiktip). Cerita dalam arti ini sangat dipentingkan dalam
komunikasi iman (Komkat KWI, 1997). Berdasarkan pengertian cerita, metode yang
bersifat naratif – eksperiensial adalah metode cerita pengalaman. Naratif berarti bahan
diceritakan (narasi) sebagai mitra dialog yang bersaksi mengenai pengalaman serta
penghayatan iman (eksperiensi). Komunikasi tersebut berawal dari dan menuju ke
pengalaman dan penghayatan sehari-hari siswa (Jacobs, 1992 : 10-11). Melalui cerita
anak dapat mengkomunikasikan imannya karena mudah dipahami dan konkrit terlebih
dalam usia ini anak memiliki banyak pengalaman dalam pergaulannya bersama teman
sekelompoknya dan masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian di
SMP Kanisius Gayam Yogyakarta :
2. Apakah penerapan metode Naratif Eksperiensial pada pembelajaran PAK dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa-siswi dalam PAK ?
3. Bagaimana pola Naratif Eksperiensial dapat diterapkan dalam proses belajar
mengajar PAK ?
C. TUJUAN PENULISAN
Sesuai dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan melalui Penelitian
Tindakan Kelas yang dilakukan pada siswa-siswi SMP Kanisius Gayam Yogyakarta,
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui keadaan guru PAK sebagai pendidik dalam memahami dan menerapkan
Pola Naratif Eksperiensial terhadap proses belajar mengajar di SMP Kanisius
Gayam.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pola Naratif Eksperiensial dalam
meningkatkan motivasi belajar anak dalam proses belajar mengajar PAK di SMP
Kanisius Gayam.
D. MANFAAT PENULISAN a. Bagi Siswa:
Dapat memberi pengalaman bagi siswa untuk berani mengungkapkan pendapat,
menggali pengalaman hidup siswa untuk memecahkan suatu masalah kehidupan
sehari-hari.
b. Bagi Guru
Guru memiliki variasi dalam memilih metode-metode pembelajaran, memiliki cara
bagaimana membuat siswa bekerja mandiri dan berani mengekspresikan
c. Bagi Sekolah
Sebagai pengembangan perbaikan kurikulum, upaya meningkatkan kualitas
pembelajaran.
E. METODE PENULISAN
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan deskriptif analisis. Untuk
itu penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan menggambarkan situasi nyata
BAB II
POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DALAM MENGIKUTI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAK)
A. Pola Naratif Eksperiensial
1. Pengertian Naratif Eksperiensial
Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak suka mendengarkan cerita sebelum
tidur. Cerita yang disampaikan biasanya cerita yang berbentuk dongeng, legenda
atau mite. Cerita dapat berasal dari tradisi yaitu sebagian kebudayaan yang
diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui gambar sebagai alat bantu untuk
memudahkan orang untuk mengingat isi cerita. Cerita yang berasal dari tradisi lisan
hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa dan nyanyian rakyat.
(Danandjaja, 1984: 1-2, 5). Oleh sebab itu, cerita dapat juga diartikan sebagai
laporan mengenai suatu peristiwa di mana terjadi ketegangan dan juga kelegaan.
Dalam cerita selalu terdapat tokoh-tokoh yang saling berhubungan. Peristiwa yang
diceritakan dapat sungguh-sungguh terjadi (historis), tetapi dapat juga merupakan
khayalan (fiktif) (Komkat KWI, 1994: 2).
Pengertian cerita sangat dipentingkan dalam komunikasi iman sehubungan
dengan peristiwa-peristiwa nyata atau fiktif. Salah satu kekuatan cerita adalah
komunikasi lisan seturut dengan awal terjadinya cerita. Cerita disampaikan secara
lebih hidup, menarik dan membantu daya imajinasi pendengar terhadap tokoh-tokoh,
alur cerita dan latar belakang permasalahannya, sehingga pendengar mudah
Digunakannya pola naratif eksperensial berarti orang diajak untuk berdialog
menentukan sikap sendiri melalui cerita. Oleh sebab itu, orang zaman dahulu pada
saat belum ada budaya tulis, mereka menyampaikan hal-hal penting kepada orang
banyak dan kepada keturunannya dalam bentuk cerita.
Mulai abad ke empat setelah Yesus lahir, Kitab Suci sering ditulis dengan
huruf indah dan dilengkapi dengan lukisan berwarna yang dapat dinikmati orang
yang buta huruf. Cerita-cerita zaman dahulu oleh banyak orang dikenal lewat
gambar sebelum mereka mengenal belajar membaca. Gambar-gambar itu diberi
nama “Kitab Suci Kaum Kecil” karena pada waktu itu mereka masih buta huruf.
Setelah adanya buku murah, Kitab Suci tidak dikenal lagi sebab sumber cerita yang
hidup adalah teks. Oleh sebab itu untuk mengenal Kitab Suci, orang harus belajar
membaca, sehingga buta huruf dianggap sebagai keterbelakangan dalam hal agama
(Hofmann, 1994: 28- 29).
Pada zaman sekarang orang mendapat informasi melalui radio maupun
televisi, namun dalam penyampaiannya masih bersifat uraian, pernyataan atau
kesimpulan, sehingga banyak orang kurang berminat menerima informasi lewat
televisi. Pada akhirnya yang diminati banyak orang adalah cerita, karena segala
bentuk cerita yang bervariasi dapat menyentuh dan mengesan untuk mata dan telinga
2. Cerita dalam Pendidikan
Pendidikan bagi anak-anak usia SMP merupakan hal yang sangat berperan
bagi perkembangan dirinya. Oleh sebab itu, pendidikan wajib diperhatikan agar anak
dapat berkembang dengan baik. Dalam dunia pendidikan perkembangan anak SMP
lebih diarahkan kepada perkembangan iman yang berpangkal pada pengalaman iman
anak, namun harus dibedakan antara iman dan pengungkapan iman dalam
pengalaman dan penghayatan iman anak-anak berdasarkan tingkatan. Pendidikan
iman anak SMP lebih diarahkan pada pengalaman iman yang diungkapkan. Artinya
segala perbuatan dan tindakan secara khusus dan eksplisit yang bertujuan untuk
mengekspresikan, mengungkapkan dan menyatakan iman. (Jacobs, 1992: 57).
Dalam komunikasi iman bahan menjadi mitra dialog yang bersaksi. Supaya
bahan menjadi mitra dialog yang hidup, menarik dan tidak memaksa, bahan diolah
dalam bentuk cerita. Dalam dialog terjadi komunikasi iman yang hidup antar siswa
dalam kelas sehingga melalui cerita, siswa mampu mengekspresikan,
mengungkapkan dan menyatakan iman dalam bentuk cerita pengalaman.
Dengan demikian, dalam menyampaikan cerita dibutuhkan pola yaitu pola
yang bersifat Naratif Eksperiensial. Berdasarkan pengertian cerita, pola yang bersifat
naratif-eksperiensial adalah pola cerita pengalaman. Naratif berarti bahan diceritakan
(narasi) sebagai mitra dialog yang bersaksi mengenai pengalaman serta penghayatan
iman (eksperiensi). Komunikasi tersebut berawal dari dan menuju ke pengalaman
Pola Naratif Eksperiensial tidak langsung diarahkan pada “hidup baik”,
namun memiliki tujuan supaya siswa-siswi memiliki cerita yang menjadi bekal,
sehingga dapat memampukan dirinya untuk mengatur hidupnya sendiri (Komkat
KWI, 1994: 15). Cerita yang didengar oleh siswa tidak semata-mata baik bagi
pengalaman hidupnya, melainkan siswa diharapkan mengolah dan menyaring cerita
serta menyikapi cerita untuk bekal hidupnya. Dengan demikian cerita sangat
3. Macam-macam cerita
Dalam Injil Yesus nampak sebagai pencerita yang unggul, maka ciri khas
dari cerita adalah komunikasi. Cerita yang dipakai Yesus adalah cerita kanonis
(Perjanjian Lama), cerita rakyat (Galilea) dan cerita kehidupan. Melalui sudut
pandang fungsional, banyak cerita disampaikan sebagai perumpamaan. Oleh sebab
itu, cerita dapat dipakai sampai sekarang dengan menyesuaikan perkembangan
hidup manusia. Di bawah ini beberapa macam cerita yang diwariskan Yesus kepada
kita yaitu:
a. Cerita Kanonis
Cerita Kanonis adalah cerita yang termasuk daftar cerita Kitab Suci.
Umumnya suatu peristiwa disampaikan secara lisan dahulu dan diberi penafsiran
oleh tokoh- tokoh yang ada hubungannya dengan Allah. Misalnya dari Perjanjian
Baru, pendamping dapat menggunakan cerita mengenai Yesus yang memaklumkan
Kerajaan Allah lewat perumpamaan-perumpamaan. Kerajaan Allah adalah misteri.
Allah hadir dan bertindak menyelamatkan kita, namun kita tidak dapat menangkap
sepenuhnya dan Allah tetap merupakan rahasia bagi kita. Kita sebagai pendamping
hendaknya dapat menceritakannya sesuai dengan bahasa anak-anak dan usia
perkembangannya. Dengan demikian cerita kanonis adalah cerita yang paling
berharga bagi Gereja yaitu semua cerita yang terdapat dalam Kitab Suci (Hofmann,
1994: 37). Pada zaman sekarang kita dapat menggunakan cerita kanonis dalam
b. Cerita Rakyat
Cerita Rakyat adalah cerita yang merupakan warisan dari kebudayaan yang
diturunkan dari nenek moyang. Biasanya yang masih memiliki cerita adalah orang
tua yang buta huruf di daerah terpencil. Pada zaman Yesus, cerita rakyat dari Galilea
dan cara Yesus berkomunikasi adalah melalui cerita yang mudah dimengerti oleh
rakyat dan seirama dengan agama dan filsafat yang diperoleh dari nenek moyang
(Komkat KWI, 1994: 17). Saat ini cerita rakyat dapat berasal dari asal-usul atau
tempat kejadian di suatu daerah. Cerita rakyat yang disampaikan kepada anak-anak
hendaknya mencerminkan kebijaksanaan hidup bersama. Yang paling penting adalah
pendamping memanfaatkan cerita rakyat sebagai cerita yang dapat
memperkembangkan hidup beriman anak. Selain itu menyiapkan pendamping untuk
menjadi pencerita yang baik dan mampu menyampaikan pesan lewat cerita. Dalam
buku Pelajaran Agama Katolik Kurikulum 1994, cerita rakyat dapat bersifat
dongeng, mite dan legenda.
c. Cerita Pengalaman
Cerita Pengalaman adalah cerita nyata mengenai kehidupan seseorang atau
pengalaman hidup sendiri atau pengalaman orang lain, sesuatu yang sungguh-
sungguh dialami kemudian di dalamnya para pendengar dapat menemukan
maknanya. Tujuan cerita kehidupan adalah supaya anak dalam mengikuti pelajaran
agama semakin mampu menceritakan cerita mereka sendiri, cerita individual mereka,
cerita keluarga mereka, dengan membandingkan cerita rakyat dan cerita kanonis
(Hofmann, 1994: 39-40). Cerita hendaknya disampaikan dengan penuh
4. Langkah-langkah Pengajaran Pola Naratif Eksperiensial
Secara garis besar, langkah-langkah pola Naratif Eksperiensial menurut
buku pegangan Guru 1, 2 dan 3 PAK untuk SMP (Komkat KWI, 1994) adalah
sebagai berikut:
a. Langkah I: Penampilan cerita rakyat/cerita kehidupan/pengalaman pribadi
Cerita ini berfungsi sebagai sarana untuk membuka wawasan siswa terhadap
situasi yang ada di sekitar kehidupannya baik melalui cerita rakyat maupun
peristiwa kehidupan yang ada di sekitar lingkungannya.
b. Langkah II: Pendalaman cerita rakyat/cerita kehidupan/pengalaman pribadi.
Melalui cerita yang ditampilkan, siswa diajak untuk mengenal, mengerti,
memahami dan mendalami isi cerita serta nilai-nilai yang terkandung di dalam
cerita tersebut.
c. Langkah III: Pandangan dalam Terang Kitab Suci.
Setelah siswa memiliki pemahaman terhadap peristiwa kehidupan yang ada di
sekitarnya, siswa perlu diberi arah pemahaman yang benar sebagai seorang
kristiani dengan penampilan cerita Kitab Suci atau Tradisi Gereja.
d. Langkah IV: Proses Pergumulan.
Dalam proses ini siswa yang sudah memiliki konsep atau pengalaman dari
cerita rakyat/kehidupan perlu memperoleh pigura yang sesuai dengan iman
kristiani mereka, maka pengalaman itu perlu dikonfrontasikan dengan peristiwa
yang terjadi di dalam Kitab Suci. Dengan demikian pengalaman/nilai yang
terdapat dalam cerita rakyat/kehidupan memperoleh makna baru setelah
direfleksikan dalam terang iman. Penginternalisasian makna yang baru inilah
e. Langkah V: Rangkuman
Rangkuman dibuat dengan melibatkan siswa. Dalam hal ini guru berperan aktif
sebagai fasilitator dalam merumuskan kalimat dan rangkuman ini hanya berupa
pokok-pokok atau garis besarnya saja. Dalam rangkuman diperlukan
adanya langkah konkrit untuk mewujudkan pengalaman iman dalam hidup
sehari-hari agar tidak sekadar menerima materi saja melainkan ada wujud
B. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Menurut para ahli, ada berbagai macam pengertian mengenai motivasi.
Motivasi dapat diartikan sebagai suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri
manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya
(Handoko, 1992: 9). Menurut Mahfudh Shalahuddin (1990: 113-114), secara
etimologi;
kata motivasi berasal dari kata motiv, yang artinya dorongan, kehendak, alasan atau kemauan. Maka, Motivasi adalah tenaga-tenaga (forces) yang membangkitkan dan mengarahkan kelakuan individu. Motivasi bukanlah tingkah laku, melainkan kondisi internal yang kompleks, dan tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi memengaruhi tingkah laku.
Berdasarkan pengertian di atas jelas bahwa motivasi berasal dari dorongan, kehendak
atau kemauan dari dalam diri seseorang. Motivasi adalah tenaga yang
membangkitkan dan mengarahkan kelakuan seseorang. Motivasi bukan tingkah laku,
melainkan keadaan yang tidak dapat diamati secara langsung namun memengaruhi
tingkah laku atas dorongan, kehendak atau kemauan. Timbulnya dorongan, kehendak
atau kemauan dapat berasal dari dalam diri seseorang maupun dari luar diri
seseorang. Oleh sebab itu, timbulnya motivasi dipengaruhi oleh dua macam segi,
yaitu segi instrinsik dan segi ekstrinsik. Segi instrinsik yaitu motivasi yang timbul
dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan dari orang lain atau
kemauan diri sendiri. Segi ekstrinsik yaitu motivasi yang timbul sebagai akibat
pengaruh dari luar individu karena ada ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain,
sehingga dengan keadaan demikian anak akan melakukan sesuatu untuk mengikuti
Dalam meningkatkan motivasi diperlukan faktor internal atau eksternal
untuk memengaruhi tingkah laku seseorang dalam melakukan tindakan atas
dorongan, kehendak atau kemauan dari dalam maupun luar diri seseorang. Oleh
sebab itu, guru sebagai pendidik diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip
motivasi dalam mengajar, yaitu dengan merangsang motivasi belajar siswa agar
memiliki motivasi untuk mengikuti pelajaran.
Dalam membangkitkan motivasi dibutuhkan proses yang diarahkan kepada
objek-objek dalam lingkungan siswa atau sekitarnya. Guru tidak hanya memberi
motivasi, melainkan guru mempunyai pengaruh besar terhadap peningkatan motivasi
siswa untuk memperoleh kebutuhan dalam mencapai tujuan yaitu belajar. Secara
skematis untuk mencapai tujuan belajar dapat dijabarkan sebagai berikut (Mahfudh
Shalahuddin 1990: 116-118):
Tujuan
Kelakuan
Ketegangan-ketegangan
Kebutuhan Dasar dan Kebutuhan Sosial
Kebutuhan-kebutuhan dapat dicapai tanpa ada kesulitan, namun sering terjadi
ketegangan-ketegangan atau rintangan baik dari dalam diri siswa maupun dalam luar
diri siswa seperti lingkungan sekolah maupun di luar sekolah yang mempengaruhi
kelakuan, sehingga sulit mencapai tujuan. Kebutuhan dasar merupakan suatu
keinginan yang ada dalam diri siswa, sedangkan kebutuhan sosial merupakan
2. Motivasi Belajar Anak
Motivasi membawa pengaruh besar terhadap perkembangan siswa baik iman
maupun pengetahuan berdasarkan dorongan atas kemauan dari dalam diri siswa yang
dipengaruhi oleh cara mengajar guru dalam mementingkan prinsip-prinsip motivasi.
Oleh sebab itu, dalam dunia pendidikan, motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses
yang bersifat:
a. Membawa siswa ke arah pengalaman belajar yang terjadi
b. Menimbulkan tenaga dan aktivitas siswa
c. Memusatkan perhatian siswa pada suatu arah dan pada suatu waktu (Mahfudh
Shalahuddin, 1990: 114).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi adalah dorongan
dari dalam diri siswa yang digambarkan sebagai harapan, keinginan dan sebagainya
yang bersifat menggiatkan atau menggerakkan siswa untuk bertindak dalam
memenuhi kebutuhan, sehingga dengan adanya motivasi tidak akan ada tujuan dan
tingkah laku yang terorganisasi. Sedangkan menurut rumusan Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama ”motivasi” adalah usaha yang disadari oleh pihak
guru untuk menimbulkan motif-motif pada diri siswa yang menunjang kegiatan ke
arah tujuan belajar. Dalam membangkitkan motif-motif pada siswa guru hendaknya
(Mahfudh Shalahuddin, 1990: 122):
a. Mengatur dan menyediakan situasi-situasi yang memungkinkan timbulnya
persaingan yang sehat antar siswa,
b. Membangun self-competition dengan jalan membangkitkan perasaan puas dan
c. Membiasakan siswa-siswi untuk mendiskusikan suatu pendapat mereka
masing-masing,
d. Memberikan contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
e. Membangun motivasi intrinsik pada siswa-siswi dengan mendorong mereka
untuk belajar.
Pada zaman ini siswa diharapkan memiliki motivasi dalam belajar di sekolah,
supaya komunikasi iman dalam pelajaran agama semakin membantu siswa untuk
mem perkembangkan iman yaitu melalui pendidikan. Pendidikan menjadikan siswa
memiliki pengalaman yang memungkinkan perubahan perilaku. Oleh karena itu, agar
siswa semakin berkembang imannya, dibutuhkan bahan yang membantu siswa untuk
memiliki motivasi dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah dan bahan tersebut
adalah cerita. Dengan materi yang diberikan dalam pelajaran agama yang diolah
C. Pendidikan Agama Katolik
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 tentang sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan Agama Katolik merupakan salah satu usaha
dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pendidikan Agama
Katolik merupakan tugas orang tua, keluarga dan masyarakat lingkungan serta
Gereja. Sekolah memiliki peran penting dalam pengembangan Pendidikan Agama
Katolik karena merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dengan memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama
lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional (Komkat KWI, 1999: 5). Sedangkan
undang-undang terbaru tentang sistem Pendidikan Nasional tertera dalam Undang-undang-undang
Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 menyebutkan Pendidikan Agama Katolik
memegang beberapa prinsip, yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai kultural dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang
sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan sarana atau pelaksana
pewarta Kristus demi perubahan batin dan pembaharuan hidup secara langsung bagi
kaum muda untuk mengembangkan kemampuannya, baik di sekolah maupun di
masyarakat. Maksudnya di dalam PAK, iman kepada Kristus dibicarakan dan diolah
bersama dengan tetap memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam
hubungan kerukunan antar umat beragama di masyarakat sebagai wujud persatuan
Dalam Gravissimum Educationis tentang pendidikan Kristen, Hardawiryana
menyatakan bahwa :
pendidikan pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan untuk mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis, langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh. 4:23) terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef. 4: 22-24); supaya mereka dengan demikian mereka, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef. 4: 13), dan ikut serta dalam mengusahakan pertumbuhan tubuh mistik. Kecuali itu hendaknya umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. Ptr. 3: 15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai kristen.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pendidikan memiliki tujuan selain
pendewasaan pribadi manusia, juga untuk mencapai keselamatan dan menyadari
karunia iman yang diterima bagi mereka yang telah dibaptis. Di samping itu juga,
supaya mereka dapat menjalankan apa yang sudah ada dalam Kitab Suci. Kita
sebagai manusia beriman, kendaknya mengakui adanya keberadaan Allah Tritunggal
Maha Kudus yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus terutama dalam perayaan Liturgi.
Menjadi manusia beriman berarti kita diharapkan dapat menghayati hidup kita
sebagai manusia baru agar mencapai kepenuhan seperti Kristus. Pada dasarnya
manusia tidak akan sampai pada kepenuhan Kristus, maka dibutuhkan pendampingan
dalam mengembangkan iman. Pengembangan iman untuk sampai pada kepenuhan
Kristus, kita peroleh melalui pendalaman iman dalam lingkungan keluarga dan
Pendalaman iman di dalam keluarga kita peroleh dari orang tua yang telah
mengajarkan kita untuk berdoa, menghargai sesama melalui sudara kita, ikut serta
dalam kerja dalam keluarga. Sedangkan di lingkungan sekolah kita memperoleh
pengetahuan-pengetahuan dari Kitab Suci maupun Tradisi Gereja yang mengajarkan
hal-hal baru dalam mengolah iman. Pengetahuan dari Kitab Suci dan Tradisi Gereja
direalisasikan dengan pengalaman hidup anak sehari-hari.
1. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah Pertama (SMP) a. Pengertian Pendidikan Agama Katolik di Sekolah
Pendidikan Agama Katolik menurut Purwatma (Komkat KWI, 2001: 12)
adalah suatu pelajaran agama yang mengutamakan pengetahuan dan ketrampilan
dengan “menggumuli/menginterpretasikan hidup dalam terang ajaran iman
Katolik”. Sedangkan pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah
Pertama merupakan salah bentuk komunikasi dan interaksi (tanya jawab dan
dialog) iman katolik. Kegiatan komunikasi atau interaksi iman katolik terjadi di
sekolah antara guru dengan siswa dan antar siswa dengan siswa. Kegiatan
komunikasi harus berkisar pada hidup iman (Komkat KWI, 1999: 5).
b. Tempat dan peranan Pendidikan Agama Katolik
Lokakarya mengenai tempat dan peranan PAK di sekolah yang diadakan oleh
Komkat KWI di Malino (1981) mengemukakan bahwa PAK merupakan bagian dari
katekese yang berusaha membantu siswa agar dapat menggumuli hidup dari segi
Berikut ini adalah penjelasan menurut Nina Komala (1992: 27) dalam pandangannya
mengenai tempat dan peranan PAK.
Pertama, siswa SMP lebih mudah mengalami Allah sebagai yang menjawab
kebutuhan afektifnya. Allah dipandang sebagai yang penuh pengertian namun
pertumbuhan iman yang dinamis pada remaja juga diwarnai konflik dan krisis. Oleh
sebab itu guru hendaknya memperlakukan mereka seperti orang dewasa, kendati
mereka belum dewasa.
Kedua, pendidikan agama tidak hanya berisi perintah dan aturan yang
disampaikan karena kurang cocok bagi mereka melainkan hendaknya lebih mem
perhatikan perkembangan sikap batin. Guru hendaknya turut serta mendengarkan dan
mempertimbangkan apa yang menjadi hidup dalam jiwa mereka.
Ketiga, melalui aktivitas belajar mengajar Pendidikan Agama Katolik mereka
perlu dibimbing untuk menanggapi problem-problem dengan jujur menurut suara
hati yang sejati meskipun dalam mengolah perasaan tidak mudah menemukan
bimbingan suara hati.
Keempat, di dalam diri siswa perlu ditanamkan sikap-sikap sosial terhadap
masyarakat sekitar dan diajak untuk lebih memerhatikan sesama karena manusia
saling membutuhkan atau istilah lain saling ketergantungan satu sama lain.
c. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Agama Katolik
Materi Pendidikan Agama Katolik, menurut pakar teologi dan Kitab Suci,
sebaiknya mengandung 4 dimensi atau aspek dari ajaran iman kita yaitu (Komkat
1) Dimensi atau aspek pribadi siswa, termasuk relasinya dengan sesama dan
lingkungan hidupnya: Materi PAK harus menyentuh pribadi siswa dan
pengalaman hidupnya.
2) Dimensi diri dan pribadi Yesus Kristus: Dia adalah pribadi penentu dalam
ajaran iman Kristiani. Kekhasan ajaran iman Kristiani diwarnai oleh pribadi
yang satu yaitu Yesus Kristus.
3) Dimensi Gereja: Gereja sebagai persekutuan murid-murid Yesus yang
melanjutkan karya Yesus Kristus. Ajaran dan iman Gereja tumbuh dan
berkembang dalam persekutuan ini.
4) Dimensi kemasyarakatan: Kehidupan Yesus dan Gerejanya bukan untuk diri-
Nya sendiri, tetapi untuk dunia. Dimensi kemasyarakatan hendaknya menjadi
materi Pendidikan Agama Katolik.
Dalam materi Pendidikan Agama Katolik terdapat satuan pelajaran dalam
rangka pendidikan iman. Oleh sebab itu, diperlukan lima segi arah dasar dalam
membuat satuan-satuan pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah
(Setyakarjana, 1982: 5-14) yaitu:
1) Mengembangkan kehidupan yang berpola Kristiani melalui berbagai macam
cara dan saling melengkapi.
2) Hendaknya sesuai dengan pembaharuan pendidikan modern dan sekaligus
penunjang pembaharuan.
3) Bersifat komunikatif dan sebagai proses.
4) PAK di sekolah adalah penting, namun terbatas pada ajaran di sekolah.
d. Pola atau Pendekatan Pengajaran PAK di Sekolah
Pola atau pendekatan PAK merupakan suatu segi pendidikan iman yang
menyeluruh dan mengandalkan kebebasan batin bagi setiap orang, maka Pendidikan
Agama Katolik di SMP tidak menggunakan pola indoktrinasi (memaksakan suatu
paham tertentu) kepada diri siswa. Oleh sebab itu, pola yang sesuai yaitu pola
kegiatan komunikasi iman yang bersifat Naratif-Eksperiensial. Pola ini berdasarkan
kurikulum 1994 yang bertujuan memperluas pengetahuan iman katolik, membantu
pergumulan agar dapat menghayati hidup beriman dan dialog antar iman umat
beragama (Dapiyanta, 2008b: 73). Dalam pola ini kisah diceritakan (narasi) sebagai
mitra dialog dalam pengalaman hidup sehari-hari siswa (eksperiensial). Kisah dapat
diambil dari Kitab Suci, riwayat hidup orang Kudus, cerita rakyat dan lain
sebagainya. Sedangkan mitra dialog narasi adalah pengalaman (eksperiensial) hidup
sehari-hari siswa (Komkat KWI, 1999: 8).
Dalam buku Pendidikan Agama Katolik pada Tingkat Dasar (Dapiyanta,
2008b: 73) dijabarkan suatu pola atau pendekatan untuk Pendidikan Agama Katolik
di sekolah adalah:
1) Pendekatan Pergumulan (hasil lokakarya PAK di Malino)
2) Pendekatan Naratif Eksperiensial
3) Pendekatan Pembelajaran Aktif- Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)
4) Pendekatan pembelajaran kooperatif dan beberapa pendekatan yang lain.
Sedangkan pendekatan yang dipakai hendaknya menunjang siswa itu
sendiri, (Komkat KWI 2004: 7) yakni:
1) Memungkinkan siswa untuk aktif. Dia menjadi partisipan aktif dalam proses
2) Kalau siswa menjadi partisipan, diandaikan dalam proses PAK ada interaksi
antar siswa serta antara siswa dan guru.
3) Interaksi yang terjadi hendaknya terarah, sehingga diandaikan ada suatu proses
yang berkesinambungan.
4) Interaksi yang berkesinambungan bertujuan untuk menginterpretasikan dan
mengaplikasikan ajaran iman dalam hidup nyata, sehingga siswa menjadi
semakin beriman.
2. Proses Belajar Mengajar di Sekolah
Dalam proses belajar mengajar ada kegiatan belajar dan mengajar, kegiatan
belajar erat hubungannya dengan metode belajar yang dilakukan siswa dalam
mempelajari bahan dari guru. Sedangkan kegiatan mengajar erat hubungannya
dengan metode mengajar yang berhubungan dengan cara guru menjelaskan bahan
kepada siswa (Nana Sudjana, 1989b: 72).
Para ahli psikologi dan pendidikan memberikan batasan atau pengertian
mengajar (Nana Sudjana, 1989a: 7-8). Pandangan pertama, mengajar diartikan
sebagai “menyampaikan Ilmu Pengetahuan (bahan pelajaran) kepada siswa”. Istilah
ini sering disebut “berpusat pada guru” (teacher centered) karena siswa dianggap
sebagai objek atau hanya menerima (pasif) apa yang diberikan guru.
Pandangan kedua, mengajar diartikan sebagai mengajar yang memberikan
tekanan kepada kegiatan optimal siswa belajar. Mengajar adalah membimbing,
mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat
Rumusan ini berpusat pada siswa yang belajar (student centered) dengan
melihat hakikat mengajar sebagai proses, yakni proses yang dilakukan oleh guru
dalam menumbuhkan kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain, hasil proses
mengajar adalah proses belajar, dan proses belajar menghasilkan tingkah laku.
Pandangan di atas tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar karena
terjadi adanya interaksi belajar mengajar antara guru dengan siswa, siswa dengan
guru dan siswa dengan siswa lainnya. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep
yang tidak dapat dipisahkan. Belajar mengacu pada apa yang dilakukan siswa,
sedangkan mengajar mengacu pada guru sebagai pemimpin belajar. Kedua konsep
terpadu dalam suasana kegiatan, maka terjadilah hubungan timbal balik (interaksi)
antara guru dan siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Dalam interaksi antara guru dan siswa terjalin komunikasi sebagai aksi,
interaksi dan transaksi. Guru menempatkan diri sebagai pemberi aksi dan siswa
sebagai penerima aksi. Demikian juga dengan siswa dapat sebagai penerima aksi dan
pemberi aksi, sedangkan komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah.
Komunikasi ini tidak hanya terjadi antara guru dan siswa tetapi siswa dengan siswa
lainnya. Di sini siswa dituntut lebih aktif dari pada guru. Siswa dapat berfungsi
sebagai sumber belajar bagi siswa sendiri (Nana Sudjana, 1989a: 10). Di samping itu
juga yang terpenting dalam komunikasi adalah keaktivan siswa karena bertujuan
untuk menumbuhkan perhatian dan kesadaran belajar siswa. Kesadaran belajar siswa
akan mengantar pada “belajar sejati”, yaitu proses belajar seumur hidup yang tumbuh
Melalui pola komunikasi banyak arah atau transaksi menjadikan siswa aktif.
Dengan demikian peranan guru dalam proses belajar mengajar (Nana Sudjana
1989a: 32-35) yaitu:
a. Sebagai pemimpin belajar
1) Guru merencanakan: menentukan tujuan belajar siswa, apa yang dilakukan
siswa dan sumber bahan apa yang disediakan.
2) Mengorganisasi: menentukan dan mengarahkan bagaimana cara siswa
melakukan kegiatan belajar, mengatur lingkungan belajar siswa,
mengoptimalkan sumber- sumber belajar dan mendorong motivasi belajar
siswa.
3) Melaksanakan: melakukan rencana di atas dalam bentuk tindakan nyata
untuk membantu siswa belajar.
4) Mengontrol kegiatan siswa belajar: mengawasi, memberi bantuan,
membimbing, memberi petunjuk, mencatat kekurangan dan kesalahan
untuk dibahas dan diperbaiki.
5) Menilai proses belajar, dan hasil belajar yang dicapai: dalam proses belajar
mengajar harus ada kegiatan belajar yang demokratis. Artinya adanya
partisipasi semua siswa dalam belajar, kebebasan siswa untuk
mengemukakan pendapatnya dalam memecahkan masalah yang dipelajari,
adanya kesediaan siswa menerima dan mempertimbangkan pendapat siswa
b. Fasilitator belajar
Guru memberikan kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan
belajarnya, yaitu dengan menyediakan fasilitas belajar seperti buku penunjang, alat
peraga dan alat belajar. Guru juga menyediakan waktu belajar yang cukup kepada
semua siswa dan memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah.
c. Moderator belajar atau pengatur arus kegiatan belajar siswa.
Guru menampung persoalan yang diajukan siswa dan mengembalikan lagi
persoalan tersebut kepada siswa lain untuk dijawab dan dipecahkan bersama.
Dengan demikian setiap siswa dikondisikan untuk aktif memberikan respon
terhadap pertanyaan yang diajukan. Guru tidak hanya mengatur jalannya kegiatan,
melainkan bersama siswa harus menarik kesimpulan atas jawaban sebagai hasil
belajar siswa.
d. Motivator belajar
Guru harus menciptakan kondisi kelas yang merangsang siswa melakukan
kegiatan belajar sebagai pendorong agar siswa mau melakukan kegiatan belajar, baik
kegiatan individu maupun kelompok. Rangsangan belajar dapat ditumbuhkan dalam
diri siswa (intrinsik) maupun dari luar diri siswa (ekstrinsik). Motivasi intrinsik
adalah motivasi yang muncul dari kebutuhan siswa untuk belajar, maka yang harus
diupayakan guru adalah dengan menumbuhkan kesadaran siswa. Sedangkan
motivasi ekstrinsik adalah motivasi dari luar diri siswa yang mem pengaruhi siswa
e. Evaluator
Guru wajib memantau proses belajar siswa dan hasil-hasil belajar yang
dicapai dengan penilaian yang objektif dan komprehensif. Guru juga melakukan
BAB III
PEMBELAJARAN PAK DAN HUBUNGANNYA DENGAN
PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SMP KANISIUS GAYAM, YOGYAKARTA
Dalam bab ini penulis menguraikan proses belajar mengajar yang dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar dalam Pendidikan Agama Katolik
di sekolah, terutama Sekolah Menegah Pertama (SMP). Kemudian dilanjutkan
dengan penelitian tentang Pengaruh Pola Naratif Eksperiensial terhadap motivasi
belajar Siswa dalam PAK untuk menunjukkan bahwa pola Naratif Eksperiensial
memengaruhi motivasi belajar siswa atau tidak. Dalam penelitian ini penulis
menjabarkan hasil penelitian dan pembahasannya. Di samping itu juga penulis
mengungkapkan keterbatasan hasil penelitian sebagai batasan yang mampu dicapai
penulis dalam penelitian ini.
A. Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Katolik di SMP
Pendidikan Agama Katolik (PAK) di sekolah dipahami sebagai proses
pendidikan dalam iman atau proses pendidikan dalam rangka membantu para siswa
agar semakin beriman. PAK merupakan suatu proses pendidikan yang berjalan
secara berkesinambungan dan sarana untuk membantu siswa dalam mencapai
kedewasan iman (Telaumbanua, 1999: 111). Oleh sebab itu proses pendidikan yang
berkesinambungan dijelaskan untuk mengetahui proses belajar mengajar yang
Menurut Nana Sudjana (1989a: 28), belajar dan mengajar merupakan dua
konsep yang tak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Belajar menunjuk
pada apa yang harus dilakukan siswa yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar
menunjuk pada apa yang dilakukan guru sebagai pengajar.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang yang ditunjukkan dalam perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap,
ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan tingkah laku pada individu untuk
belajar. Tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri individu seperti
kemampuan yang dimilikinya, minat dan perhatiannya, kebiasaan, usaha dan
motivasi serta faktor-faktor lainnya (Nana Sudjana, 1989a: 5-6).
Minat dan perhatian akan mata pelajaran tertentu membuat siswa mendorong
dirinya untuk mempelajarinya. Melalui kebiasaan belajar, siswa akan berusaha untuk
mempelajari sendiri tanpa ada dorongan dari luar, sehingga muncullah motivasi atau
timbul tingkah laku untuk belajar. Siswa yang tidak memiliki minat dan perhatian
terhadap mata pelajaran tertentu akan malas untuk belajar ataupun mempelajari
pelajaran lainnya, maka sering terlihat ada beberapa siswa yang unggul dalam bidang
yang disukainya namun rendah dalam bidang lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan
dorongan dari luar diri siswa yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat.
Dalam lingkungan keluarga yang berperan aktif dalam belajar siswa adalah
orang tua. Orang tua mendorong siswa belajar sebagai proses lanjutan dari proses
kembali di rumah atau keluarga agar apa yang didapat lebih diperdalam lagi.
Lingkungan masyarakat juga memengaruhi siswa untuk belajar terutama lingkungan
tempat tinggal siswa yang pada umumnya orang-orang yang memiliki semangat
untuk belajar atau mengenyam pendidikan. Lingkungan sekolah sangat besar
pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar siswa dalam proses belajar-mengajar
seperti guru, sarana belajar, kurikulum, teman-teman sekelas, kedisiplinan, peraturan
sekolah dan lain-lain (Nana Sudjana, 1989a: 6).
Guru dalam proses belajar mengajar memiliki peranan sebagai fasilitator,
pendorong atau motivator agar motif- motif yang positif pada diri siswa dapat
dibangkitkan dan ditingkatkan guna mencapai hasil belajar. Motif-motif positif
yang ada pada diri siswa dibangkitkan dan ditingkatkan dengan memberikan
rangsangan berupa sarana belajar yang disukai siswa, sesuai dengan taraf dan
perkembangannya dalam menyampaikan kurikulum (Semiawan, 1985: 10).
Dalam buku Cara Belajar Siswa Aktif (Nana Sudjana, 1989: 8) terdapat
konsep mengajar:
Konsep mengajar di atas bertitik tolak pada peranan guru bukan sebagai pengajar
melainkan sebagai pembimbing belajar, pemimpin belajar atau fasilitator belajar.
Dikatakan pembimbing karena dalam proses tersebut guru memberikan bantuan
kepada siswa agar siswa itu sendiri yang melakukan kegiatan belajar. Dikatakan
pemimpin karena guru yang menentukan ke mana kegiatan siswa diarahkan, dan
dikatakan fasilitator karena guru harus menyediakan fasilitas.
Proses Tingkah laku Siswa
Proses Belajar Siswa
Inti dari proses mengajar adalah menumbuhkan kegiatan siswa belajar, sehingga
keterpaduan dua konsep ini melahirkan konsep baru yang disebut “proses belajar
mengajar”.
Dalam proses belajar mengajar terutama dalam PAK, dibutuhkan interaksi
antara guru dengan siswa, maupun siswa dengan siswa lainnya. Interaksi siswa
dengan guru dibangun atas dasar tujuan, isi atau bahan, metode dan alat, serta
penilaian. Dalam interaksi siswa diarahkan oleh guru untuk mencapai tujuan
pengajaran melalui bahan pengajaran yang dipelajari oleh siswa dengan
menggunakan metode dan alat kemudian dinilai untuk mengetahui ada tidaknya
perubahan pada diri siswa setelah menyelesaikan proses belajar mengajar.
Keberhasilan interaksi antara guru-siswa tergantung pada bentuk komunikasi yang
digunakan guru pada saat berinteraksi dengan siswa. Komunikasi yang sesuai yaitu
komunikasi sebagai transaksi yang menuntut keaktivan dari siswa (Nana Sudjana,
1989: 9-10).
Pelajaran Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu bentuk komunikasi
atau interaksi iman. Komunikasi iman itu mengandung unsur pengetahuan iman,
pergumulan iman dan unsur penghayatan iman dalam pelbagai bentuk. Bagi siswa
yang beriman katolik dan memiliki pengetahuan mengenai iman katolik, komunikasi
iman diharapkan membantu mereka dalam menggumuli dan menghayati hidup
beriman. Hidup beriman juga tidak hanya bagi yang beriman katolik, melainkan
siswa yang beragama lain pun dapat mengkomunikasikan imannya melalui
agamanya sendiri. Dengan adanya keterbukaan, pengharapan dan kebebasan dari
masing- masing agama komunikasi iman antar siswa semakin diperkaya (Jacobs,
Dalam Silabus Pendidikan Agama Katolik (Jacobs, 1992: 10-11) diterangkan
bahwa pelajaran agama di sekolah diharapkan dapat menumbuhkan sikap untuk
bekerja sama dengan saudara beriman lainnya dan semua orang yang berkehendak
baik. Kegiatan komunikasi juga memerlukan sarana yaitu bahan. Bahan ini bukanlah
bahan mati melainkan mitra dalam dialog yang bersaksi dan menggairahkan siswa
untuk ikut dalam gerakan Kerajaan Allah. Supaya bahan menjadi mitra dialog yang
hidup, menarik dan tidak memaksa, bahan perlu diolah dalam bentuk cerita. Dalam
dialog terjadi komunikasi iman yang hidup antar siswa dalam kelas sehingga
melalui cerita, siswa mampu mengekspresikan, mengungkapkan dan menyatakan
iman dalam bentuk cerita pengalaman. Dengan demikian dalam menyampaikan
cerita, dibutuhkan pola yaitu pola yang bersifat Naratif Eksperiensial. Berdasarkan
pengertian cerita pola yang bersifat naratif-eksperiensial adalah pola cerita
pengalaman. Naratif berarti bahan diceritakan (narasi) sebagai mitra dialog yang
bersaksi mengenai pengalaman serta penghayatan iman (eksperiensi). Komunikasi
tersebut berawal dari dan menuju ke pengalaman dan penghayatan (eksperiensi)
sehari-hari siswa. Dalam pola komunikasi cerita membantu siswa untuk membuka
dan menyapa pengalamannya secara terbuka, tidak memaksa dan tidak
mengindoktrinasi, sehingga terjadi komunikasi yang menciptakan iklim untuk
memperkembangkan kreativitas siswa. Pola komunikasi juga diharapkan dapat
membantu penghayatan hidup beriman siswa melalui sharing pengalaman hidup
Oleh sebab itu, pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP merupakan
salah satu bentuk komunikasi dan interaksi (tanya jawab dan atau dialog) iman
katolik. Kegiatan PAK harus berkisar pada ajaran Gereja Katolik dan hidup Kristiani
yaitu bertumpu pada iman akan Yesus Kristus, Allah yang mendatangi manusia.
Pendidikan Agama Katolik di SMP juga dilaksanakan untuk memberikan sumbangan
bagi pembentukan dan pembangunan hidup beriman Kristiani para siswa untuk
mengenal dan mencintai Yesus Kristus serta menerapkan iman Kristiani dalam hidup
sehari-hari (Komkat KWI, 1999: 5-6).
B. Pengaruh Pola Naratif Eksperiensial terhadap Motivasi Belajar Siswa dalam Pendidikan Agama Katolik di SMP Kanisius Gayam, Yogyakarta
Untuk mengetahui motivasi belajar dalam Pendidikan Agama Katolik di SMP
Kanisius Gayam, penulis melakukan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh pola Naratif Eksperiensial terhadap hasil belajar siswa dalam
PAK. Penelitian ini diarahkan pada proses belajar mengajar dengan pola Naratif
Eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik. Hasil penelitian kemudian dianalisis
untuk mendapatkan gambaran nyata yang dialami siswa maupun guru PAK selama
proses belajar mengajar PAK berlangsung.
1. Metodologi Penelitian a. Tujuan Penelitian
1) Untuk Guru PAK
a) Mengetahui latar belakang tenaga pendidik SMP Kanisius Gayam,
Yogyakarta.
b) Mengetahui proses belajar mengajar di SMP Kanisius Gayam selama
mengikuti pelajaran PAK.
c) Mengetahui seberapa besar usaha guru meningkatkan hasil belajar siswa
dalam mengikuti proses belajar pengajar.
2) Untuk Siswa
a) Mengetahui proses belajar mengajar di SMP Kanisius Gayam dalam
pencapaian tujuan PAK.
b) Mengetahui sarana/media dan pola pembelajaran yang digunakan Guru PAK
dalam memotivasi belajar siswa.
c) Mengetahui seberapa besar motivasi belajar siswa dalam mengikuti proses
belajar mengajar PAK.
b. Metode Penelitian
Dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan metode survei. Dalam
survei, informasi atau data yang diperoleh melalui keterangan-keterangan kepada
responden. Pengertian survei dibatasi pada pengertian survei sampel dimana
informasi dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi
yang ada (Singarimbun & Sofian Effendi, 1989: 3).
Dalam mencari data-data mengenai tenaga pendidik dan proses belajar
mengajar di SMP Kanisisus Gayam, penulis mencari data tertulis yang sudah
dipersiapkan oleh sekolah. Selain itu juga penulis menggunakan metode survei
Adapun maksud dari penulis menggunakan metode survei, yaitu untuk mengetahui
peningkatan motivasi belajar siswa yang dipengaruhi oleh Pola Naratif Eksperiensial.
Selain itu, metode ini berguna untuk mengetahui sejauh mana guru PAK
menggunakan pola dan metode yang sesuai untuk meningkatkan motivasi belajar
siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar PAK. Untuk mengetahui lebih jauh
peranan guru dalam memberi motivasi belajar PAK sehingga meningkatkan hasil
belajar siswa, maka penulis mewawancarai responden, yaitu siswa dan guru
yang terkait dalam proses belajar mengajar. Informasi atau data berupa jawaban-
jawaban atas pertanyaan yang diajukan dengan wawancara dapat langsung tergali
dari responden dan nantinya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
penelitian ini.
c. Instrumen Penelitian
Instrumen sebagai alat pengumpulan data harus dirancang dan dibuat
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan data empiris apa adanya (Sudjana &
Ibrahim, 2004: 97). Dalam penelitian ini penulis menggunakan instrumen wawancara
yaitu mendapat informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden yaitu
guru PAK dan siswa (Irawati dalam Singarimbun, 1989: 192). Instrumen penelitian
berguna sebagai sarana memperlancar penelitian agar dapat terlaksana dengan baik
dan efisien. Alat yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah alat perekam
d. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Kanisisus Gayam. Sedangkan waktu
penelitian dilaksakan pada tanggal 3 Februari 2016 dan 7 Februari 2016 dengan
mewawancarai guru dan siswa secara langsung. Penulis memilih SMP Kanisius
Gayam , Yogyakarta sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan peneliti
mengenal sekolah itu melalui proses Persiapan Pelaksanaan Lapangan (PPL)
selama satu semester. Pertimbangan lain bahwa permasalahan yang sama belum
pernah diteliti di SMP Kanisius Gayam.
e. Responden Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik Purposive Sampling
(penentuan sampel secara sengaja) untuk mendapatkan data, yaitu responden sampel
ditentukan berdasarkan ciri tertentu yang dianggap mempunyai hubungan erat
dengan ciri-ciri populasi yaitu guru dan siswa (Hermawan Wasito 1995: 59). Guru
yang dijadikan responden adalah seorang guru yang mengajar pelajaran agama dan
siswa kelas 7, 8 dan 9. Berdasarkan data kesiswaan tahun terakhir tahun ajaran
2015/2016 siswa SMP Kanisisus Gayam berjumlah 130 orang dan mereka beragama
Katolik. Namun dari data di atas penulis hanya mengambil sampel sebanyak 18
orang sebagai responden untuk penelitian. Setiap kelas pararel mewakili 3 orang
yaitu 7A berjumlah 3 orang, 7B berjumlah 3 orang, 8A berjumlah 3 orang, 8B
berjumlah 3 orang 9A berjumlah 3 orang dan 9B berjumlah 3 orang. Siswa diambil
sebagai sampel dengan pertimbangan bahwa mereka telah dipilih langsung oleh guru
agama karena dianggap mampu memberikan keterangan mewakili siswa- siswi
f. Teknik Pengolahan Data
Data yang berhasil dikumpulkan dilakukan reduksi data yaitu dengan
menulis data dalam bentuk uraian yang terinci, kemudian disusun secara sistematis
sehingga lebih mudah memberikan kode kepada aspek- aspek tertentu. Menurut
Nana Sudjana dan Ibrahim (2004: 128), pengolahan data bertujuan untuk mengubah
data mentah dari hasil pengukuran menjadi data yang lebih halus, sehingga
memberikan arah untuk pengkajian lebih lanjut.
Guna mendukung dalam memberikan kesimpulan tersebut peneliti
mempelajari tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan data yang ada. Dalam
hal ini peneliti menggunakan tulisan-tulisan mengenai pengaruh Pola Naratif
Eksperiensial terhadap motivasi belajar anak dalam PAK.
g. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu yang dapat dijadikan sebagai faktor yang berperan
dalam gejala yang diteliti. Variabel yang akan diungkapkan dalam penelitian yang
berjudul “Peningkatan Motivasi Belajar Siswa Melalui Pola Naratif Eksperiensial
dalam Pendidikan Agama Katolik” adalah latar belakang pendidikan guru, peranan
Guru PAK dalam mengajar, situasi dalam proses belajar mengajar PAK dan usaha
guru dalam mengaktifkan proses belajar mengajar. Alasan dijabarkan karena guru
yang mengajar PAK sesuai bidangnya dan memahami akan pengertian Pola Naratif
Eksperiensial serta dapat menerapkan Pola Naratif Eksperiensial. Selain itu juga
untuk mencapai tujuan PAK, yaitu memampukan siswa untuk membangun hidup
Dari beberapa variabel tersebut dijabarkan lagi dengan beberapa item-item
pertanyaan sebagai panduan wawancara terhadap responden baik melalui guru
maupun siswa. Berikut ini tabel variabel untuk Guru PAK dan siswa:
1) Variabel wawancara untuk Guru PAK
Tabel 1: Variabel yang diungkap untuk Guru PAK (N= 1)
No. Variabel Aspek yang diungkap No. Soal
(1) (2) (3) (4)
1 Latar Belakang
Pendidikan Guru
PAK
Mengajar sesuai dengan bidang 1
2 Peranan Guru a. Metode yang digunakan dalam proses
belajar mengajar
b. Sarana/media dan pola pembelajaran
yang digunakan dalam mengajar PAK
c. Kendala-kendala dalam proses belajar
mengajar
PAK dalam 2
Mengajar
3
4
3 Usaha a. Cara mengaktifkan siswa dalam proses
belajar mengajar
b. Keterlibatan siswa dalam proses
belajar mengajar
c. Keterlibatan siswa dengan teman
sekelas dalam proses belajar mengajar
Mengaktifkan 5
PBM
6
2) Variabel wawancara untuk Siswa
Tabel 2: Variabel yang diungkap untuk Siswa (N= 18)
No. Variabel Aspek yang diungkap No. Soal
(1) (2) (3) (4)
1 Tujuan PAK a. Kesan mengikuti PAK 1
b. Manfaat mengikuti PAK 2
c. Saran agar pelajaran PAK lebih menarik 3
2 Peranan Guru a. Cara mengajar Guru PAK
b. Sarana/media yang digunakan oleh Guru
PAK
4
PAK dalam
Mengajar 5
c. Tanggapan atas cara mengajar Guru PAK
d. Paham akan materi yang disampaikan
oleh Guru PAK
6
7
3 Situasi dalam a. Pendukung proses belajar mengajar PAK
b. Penghambat proses belajar mengajar PAK
c. Minat mengikuti proses belajar mengajar
PAK
Pada bagian ini disajikan hasil wawancara sebagai jawaban dari
masing-masing responden. Peneliti akan menuliskan hasil penelitian yang dilakukan 2 kali
yaitu tanggal 3 Feb 2016 dan 7 Feb 2016. Tanggal 3 Feb 2016 peneliti
mewawancarai Guru PAK dan siswa. Namun dikarenakan ada perbaikan dengan
jumlah responden, wawancara dengan siswa diulang kembali pada tanggal 7 Feb
2016 dan bertempat di SMP Kanisius Gayam, Yogyakarta. Adapun responden yang