• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN

HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI

KABUPATEN BADUNG

I PUTU ANTONI GIRI NIM. 1203005257

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN

HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI

KABUPATEN BADUNG

I PUTU ANTONI GIRI NIM. 1203005257

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(3)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN

HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI

KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I PUTU ANTONI GIRI NIM. 1203005257

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(4)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 APRIL 2016

Pembimbing I

(I Ketut Sudiarta, SH., MH ) NIP. 196205151988031004

Pembimbing II

( Cokorde Dalem Dahana, SH., M.Kn ) NIP. 197604182003121007

(5)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 17 JUNI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor 1458/UN14.1.11.1/PP.05.02/2015 Tanggal 16 Mei 2016

Ketua : I Ketut Sudiarta, SH., MH. ( ) Sekretaris : Cokorde Dalem Dahana, SH., M.Kn. ( ) Anggota : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. ( ) Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn. ( ) Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH., M.Kn., LLM. ( )

(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, akhirnya skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan skripsi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis lainnya guna untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ide awal dari penelitian skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG” adalah karena melihat fenomena yang terjadi di masyarakat rangka pelaksanaan terhadap penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung masih nampak terjadi di Kecamatan Kuta Selatan sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung belum berjalan dengan maksimal. Oleh karena itu, menarik minat penulis untuk membahas dan meneliti bagaimana penegakan hukum terhadap pembangunan hotel pada kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung.

(7)

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dorongan serta bantuan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Untuk itu melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.H., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., M.H., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., M.H., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr, I Gede Yusa, SH., M.H., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Sudiarta, SH,. MH., sebagai Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, arahan, motivasi serta meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan kuliah dan skripsi walaupun beliau sedang sibuk.

6. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH., M.Kn., sebagai Pembimbing II sekaligus sebagai Pembimbing Akademik yang tak hentinya memberikan semangat dan masukan selama perkuliahan serta telah membantu memberikan petunjuk maupun membimbing penulis dengan penuh kesabaran untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

7. Bapak I Ketut Suardita SH., MH., sebagai Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui skripsi saya ini.

8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mendidik, membimbing, memberikan pengajaran dan membekali ilmu pengetahuan serta pengalaman yang berguna selama penulis mengikuti perkuliahan.

9. Bapak Kepala Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta segenap staff dan jajarannya, yang telah membantu penulis dalam mengurus keperluan administrasi selama mengikuti perkuliahan.

10. Terima kasih sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Ayah I Nyoman Murdita, dan Ibu Ni Made Ayu Tirtawati serta Adik Kadek Rama Denaka Ludra Giri, yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan baik moril maupun materiil selama mengikuti perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini.

11. Seorang wanita teristimewa, Desak Putu Kartika Rosiana Dewi S.E, yang tidak henti-hentinya menuntun, menemani, menasehati, serta mendukung, memberikan semangat moril dan materi dalam menyelesaiakan skripsi ini.

12. Kepada sabahat penulis Ngurah Surya Adi Kencana, yang telah membantu penulis baik memberikan dorongan, semangat dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

13. Kepada kawan-kawan seperjuangan penulis (Jaya Nugraha, Mirayanthi Utami, Fariz, Dwi Krisna Arjati, Guruh Hari Putra, Putu Widyastuti, Hendra Gunawan, Nopik, Kharisma) dan seluruh teman-teman angkatan Tahun 2012 yang telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan, bantuan, dukungan, doa kepada penulis baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi.

Akhirnya semoga budi baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah diberikan akan mendapatkan imbalan yang sesuai dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini maih jauh dari sempurna, baik dari penyajiannya maupun dalam penyusunannya, seperti

ungkapan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tidak retak”. Hal ini

semata-mata karena kemampuan dan pengetahun penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati senantiasa mengharapkan bantuan serta masukan berupa kritikan dan saran yang bersifat membangun yang diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya saya berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik sebagai bahan bacaan maupun pengetahuan bagi kita semua.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 20 April 2016

Penulis

(10)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penelitian Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penelitian Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Denpasar, 20 April 2016 Yang menyatakan,

(I Putu Antoni Giri) NIM. 1203005257

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan Umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 13

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 13

(12)

1.6.2 Manfaat Praktis ... 14

1.7 Landasan Teoritis ... 14

1.7.1 Teori Negara Hukum ... 14

1.7.2 Teori Penegakan Hukum ... 16

1.7.3 Izin dan Perizinan ... 18

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Data dan Sumber Data ... 19

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.8.5 Teknik Analisis ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG 2.1 Pengertian Penegakan Hukum ... 24

2.2 Penegakan Hukum dalam Bidang Hukum Administrasi ... 27

2.3 Penataan Ruang ... 32

2.3.1 Pengertian Penataan Ruang ... 32

2.3.2 Asas, Tujuan dan Manfaat Penataan Ruang ... 36

2.4 Pengertian Kawasan Sempadan Jurang ... 44

(13)

BAB III DASAR HUKUM PENGATURAN KAWASAN SEMPADAN

JURANG DAN PENEGAKAN HUKUMNYA DI KABUPATEN

BADUNG

3.1 Profil Wilayah Kabupaten Badung ... 47

3.2 Pengaturan Kawasan Sempadan Jurang di Kabupaten Badung 48 3.3 Penegakan Hukum Terhadap Pembangunan Hotel di Kawasan Sempadan Jurang di Kabupaten Badung ... 49

3.3.1 Lembaga yang Berwenang dalam Penegakan Hukum terhadap Pembangunan Hotel di Kabupaten Badung... 50

3.3.2 Pelanggaran Terhadap Pembangunan Hotel di Kawasan Sempadan Jurang di KabupatenBadung ... 53

BAB IV KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL DI KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG 4.1 Kendala yang Menghambat Penegakan Hukum terhadap Pembangunan Hotel di Kawasan Sempadan Jurang di Kabupaten Badung ... 58

4.1.1 Faktor Hukum ... 58

4.1.2 Faktor Penegak Hukum ... 60

4.1.3 Faktor Sarana atau Fasilitas ... 62

4.1.4 Faktor Masyarakat ... 63

4.1.5 Faktor Kebudayaan ... 65

(14)

4.2 Upaya dalam Mengatasi Kendala Penagakan Hukum terhadap Pembangunan Hotel di Kawasan Sempadan Jurang ... 67

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ... 71 5.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Daftar Informan

(15)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan budayanya, akan tetapi manusia nyaris lupa bahwa dirinya sendiri merupakan bagian dari alam dimana tempat mereka hidup. Dengan kelebihannya dari populasi-populasi yang lainnya, manusia mengemban tugas dan kewajiban untuk mengatur adanya keselarasan dan keseimbangan antara keseluruhan komponen ekosistem, terutama lingkungan.1 Terlihat perubahan-perubahan alam sekitarnya yang terjadi karena penyesuaian diri manusia, antara lain melalui proses budaya yang lama. Misalnya kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi berkualitas tinggi untuk melindungi diri dari pengaruh alam yang buruk serta mempermudah atau membantu aktivitas manusia. Manusia memperlihatkan kemampuannya menyelam jauh kedasar laut, bahkan, mampu terbang ke luar angkasa dan kegiatan-kegiatan lain tanpa mengubah sifat biologisnya.

Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970), manusia mulai sadar bahwa ia tidak pernah menaklukkan alam. Anggapan manusia akan kebebasannya dari alam lingkungannya mulai pudar dan ternyata suatu khayalan belaka. Kebergantungannya kepada alam atau lebih tepat dikatakan kesalingbergantungan manusia dengan lingkungannya untuk

1

Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 5.

(16)

memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.2

Batasan tentang lingkungan berdasarkan isinya untuk kepentingan praktis atau kebutuhan analisis kita perlu dibatasi hingga lingkungan dalam arti biosphere

saja, yaitu permukaan bumi, air dan atmosfir tempat terdapat jasad-jasad hidup. Batasan lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda, daya, kehidupan, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang terdapat dalam suatu ruang, yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.3 Istilah lingkungan hidup diartikan luas, tidak saja meliputi lingkungan fisik dan biologi, melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.4

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam abad ke-20, dalam waktu yang relatif singkat, keseimbangan antara kedua bentuk lingkungan hidup manusia, yaitu lingkungan hidup alami (natural environment or the biosphere of his inheritence) dan lingkungan hidup buatannya (man-made environment or the technosphere of his creation) mengalami gangguan (out of balance), secara fundamental mengalami konflik (potentially in deep conflict). Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.5

Di Negara Indonesia, yang merupakan negara berkembang dimana letak geografisnya bersuhu tropis sedang melakukan pembangunan secara

2

(17)

berkelanjutan dengan menggunakan teknologi-teknologi modern seiring perkembangan jaman sehingga terjadinya pembangunan yang diluar batas dan terdapat kerusakan lingkungan yang terjadi dimana-mana. Semakin meningkatnya pertambahan penduduk dan aktivitas kehidupan masyarakat diperkotaan maupun pedesaan, berakibat semakin banyak timbulnya bangunan-bangunan baru, yang jika tidak diawasi secara baik dan teratur bisa menimbulkan berbagai masalah, bukan hanya bagi pemerintah melainkan juga bagi seluruh masyarakat.

Menyadari semakin parahnya kerusakan lingkungan ini, beberapa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan melakukan berbagai upaya untuk melindungi alam dan lingkungannya sendiri dengan melakukan penegakan hukum lingkungan serta menuntut hak-hak mereka atas lingkungan yang bersih dan sehat karena mereka sadar akan bahayanya kehancuran yang akan menimpa masyarakat itu sendiri akibat dari kerusakan lingkungan.6 Selain itu menyadari semakin parahnya kerusakan lingukungan pemerintah melakukan tindakan-tindakan hukum dalam menjalankan fungsi pemerintahan administrasi negara juga diberi tugas untuk membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang sebenarnya menjadi tugas legislatif atau lebih tepatnya pemerintah.7 Secara normatif, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut disetiap negara hukum.8

6

Sodikin, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan, Djambatan, Jakarta, h. 39.

7

Marbun dan Mohammad Mahfud, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 71.

8

(18)

Ilmu pengetahuan, teknologi dan industri telah membawa berbagai kemajuan, tetapi sekaligus melahirkan pula risiko-risiko dalam kehidupan yang seringkali berakibat jauh dan panjang. Risiko kerawanan lingkungan hidup adalah salah satu contoh aktualnya. Sebuah kerawanan akibat rekayasa manusia yang mengejar kenikmatan ekonomi melalui kekuatan industri.

Profil Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, tetap sibuk mendesain dan memacu pembangunan nasionalnya.9 Pembangunan nasional tersebut dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Ada 5 (lima) prioritas pembangunan nasional dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004 tersebut, antara lain:

1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan;

2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik;

3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan;

4. Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya; dan

5. Meningkatkan pembangunan daerah.10

Memperhatikan prioritas pembangunan nasional khususnya untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik serta membangun kesejahteraan rakyat. Selain itu, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya dapat digarisbawahi apabila pemerintah serta masyarakat

9

Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Alumni, Bandung, h. 2.

10

(19)

seluruhnya mendukung prioritas pembangunan tersebut maka akan terciptanya keselarasan dan kedamaian serta berjalannya negara yang demokratis. Sehingga dalam melaksanakan kehidupan dimasa mendatang akan mencapai kesinambungan yang baik antara pemerintah, masyarakat serta lingkungan itu sendiri.

Salah satu wujud mencapai kesinambungan yang baik antara pemerintah, masyarakat serta lingkungan diwujudkan dengan cara penegakan terhadap penataan ruang. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Kemudian Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan mewujudkan keharmonisan antar lingkungan alam dan lingkungan buatan, kemudian terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan terakhir terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

(20)

daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan, terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategi kabupaten/kota. Pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Badung diwujudkan dengan cara menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Dari rumusan Pasal tersebut dapat ditarik arti bahwa suatu proses penataan ruang yang sebagai kewenangannya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Dimana Pemerintah Kabupaten Badung memberikan upaya-upaya untuk melakukan perencanaan penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut agar dapat berjalan dengan baik sehingga mencerminkan Tri Hita Karana. Guna mencegah terjadinya pelanggaran rencana tata ruang wilayah maka Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melakukan penyelenggaraan penataan ruang dengan memberi pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang yang berlandaskan pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 Pasal

1 Ayat (6) yang merumuskan “Tri Hita Karana adalah falsafah hidup Masyarakat

(21)

kebahagian bagi kehidupan manusia”. Tri Hita Karana bisa diartikan secara

leksikal yang berarti 3 penyebab kesejahteraan. Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan dan parahyangan. Sebagaimana tujuan dari Tri Hita Karana adalah palemahan melestarikan ekosistem dari Tri Hita Karana. Karena susungguhnya Tri Hita Karana merupakan suatu ekosistem, apabila hubungan manusia dengan manusia berjalan dengan baik, secara otomatis hubungannya dengan Tuhan juga akan baik, begitu juga sebaliknya. Begitupun hubungan manusia dengan alam harus tetap berjalan dengan baik.

Bahwa sesungguhnya yang terjadi dilapangan dalam hal penataan ruang tidak semua sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimana pemanfaatan ruang dalam konteks pembangunan hotel di Kabupaten Badung kurang pengawasan yang serius dari pemerintah. Dalam realita di lapangan, beberapa kewenangan tertentu yang berpotensial sering ditarik ulur sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.11 Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan budidaya. Itu dikarenakan pangsa pasar yang menuntut pembangunan hotel haruslah memiliki keunikan tempat dan view yang indah dipandang mata.

Salah satu kawasan lindung yang beralih fungsi adalah kawasan sempadan jurang. Berdasarkan Pasal 1 angka 35 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033, sempadan jurang adalah dataran sepanjang daerah datar bagian atas dengan lebar proporsional sesuai bentuk dan kondisi fisik. Berdasarkan Pasal

11

(22)
(23)

Ruang Wilayah Kabupaten pada Pasal 28 mengatur tentang sempadan pantai, Pasal 58 tentang ketinggian bangunan dan arsitektur Bali dan juga Pasal 25 huruf (f) sempadan jurang.

Dengan melihat fakta, maka kawasan yang seharusnya dilindungi menjadi terabaikan. Masih saja terlihat pembangunan kawasan hotel yang berada tidak jauh dari bibir jurang, yang pada hakekatnya sangat membahayakan bagi keselamatan serta terancam akan kerusakan yang termasuk dalam lingkup kawasan sempadan jurang tersebut. Sempadan jurang merupakan salah satu incaran dari pembangunan hotel. Kawasan tersebut dapat mempengaruhi nilai komersial yang tinggi terhadap akomodasi perhotelan. Oleh sebab itu, para investor memlilih salah satu kawasan yang menarik untuk melancarkan bisnisnya yaitu kawasan sempadan jurang. Sempadan jurang merupakan salah satu termasuk zonasi kawasan lindung yang dipertahankan keberadaannya dari aspek kuantitas dan fungsinya diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033

Pasal 69 Ayat (2) huruf h merumuskan “Ketentuan umum Peraturan Zonasi

Kawasan Sempadan Jurang.”

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul

“PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permalsahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung?

2. Bagaimana kendala dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam rangka pembahasan atas materi yang relevan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas, maka perlu dinyatakan secara tegas dan jelas tentang ruang lingkup masalah yang akan dibahas sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Penelitian skripsi ini berkisaran tentang yaitu mengenai penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung. Dibahas pula kendala dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Sejauh ini penelitian tentang “Penegakan Hukum terhadap

Pembangunan Hotel pada Kawasan Sempadan Jurang di Kabupaten

Badung” ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Badung, fakta ini diperoleh

(25)

Universitas Udayana, secara spesifik tidak ada penelitian mengenai kriteria hotel yang berada dalam kawasan bibir jurang di wilayah Kabupaten Badung yang dapat dikatakan melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 serta kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap bangunan hotel yang melanggar ketentuan sempadan jurang.

Namun berdasarkan salah satu sitematika penelitian harus menyertakan penelitian yang terkait dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah :

(26)

pengawasan perlindungan setempat, karena luasnya relatif kecil (sempit), tidak dipetakan dalam peta pola ruang wilayah kabupaten, namun tetap diatur dalam pengaturan pola ruang pada RTRWK. 2. Skripsi oleh Kadek Nicky Novita Tahun 2015 Fakultas Hukum

(27)

diberlakukan selama ini, hanya sebatas sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan pembinaan semata.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai peneliti melalui penelitian penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum administrasi khususnya yang berkaitan dengan permasalahan tentang penegakan hukum terhadap pembangunan hotel pada kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung dalam bidang hukum pemerintahan daerah melalui pemahaman tentang.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui dan memahami penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung. Selain itu, tujuan khusus lainnya untuk mengetahui dan memahami kendala yang dihadapi pemerintah dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

(28)

pemerintah daerah dan hukum lingkungan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap sempadan jurang.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian karya tulis ini memberikan manfaat praktis agar dapat mengetahui hotel yang berada dalam kawasan bibir jurang di wilayah Kabupaten Badung dapat dikatakan melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Selain itu, manfaat praktis lainnya yakni agar dapat mengetahui kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap bangunan hotel yang melanggar ketentuan sempadan jurang.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Negara Hukum

Salah satu langkah utama yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di masa-masa awal era reformasi untuk mengimplementasikan

semangat reformasi, adalah memunculkan kembali terminologi “Negara Hukum”

dalam UUD 1945. Sebagai lembaga tertinggi negara pada masa itu, MPR melakukan langkah tersebut dengan menjadikan hukum menjadi rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.12

Indonesia adalah negara hukum yang dimana setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “ Negara

12

(29)

Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum harus memenuhi dua

persyaratan yaitu supremacy before the law artinya hukum diberikan kedudukan tertinggi. Syarat kedua adalah equality before the law artinya semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa sama statusnya atau kedudukannya di mata hukum.13

Negara hukum adalah salah satu gagasan yang sangat penting dimasa sekarang. Hal tersebut merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gagasan mengenai moralitas politik modern serta tidak terpisahkan dari ide mengenai Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas.14

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang didasarkan atas Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa dan peraturan perundang- undangan yang berlaku bukan hanya berdasarkan atas kekuasaan semata sifat negara hukum tersebut dapat dilihat dari alat-alat kelengkapan pemerintah yang bertindak menurut hukum yang didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Teori negara hukum menggambarkan bahwa negara Indonesia beserta masyarakatnya harus mematuhi hukum yang berlaku baik hukum yang diciptakan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga diharapkan dapat terciptanya suatu keadaan yang tertib hukum dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat yang dimana negara Indonesia pemerintahannya harus berdasarkan

13

C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 88.

14

(30)

hukum, adanya independensi kekuasaan hakim, penghormatan, pengakuan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, akses terhadap keadilan dan peraturan yang terbuka dan jelas.

1.7.2 Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum ditinjau dari sudut subyek dan sudut obyek penegakan hukum. Sudut subyek penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

(31)

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau di terapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.15 Faktor hukumnya sendiri dimaksudkan bahwa dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat untuk daerah yang sah. Sedangkan Penegak hukum sendiri diartikan sebagai para aktor hukum yang melaksanakan pengayoman, pengawasan serta penindakan dari berjalannya hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Penegak hukum dalam mejalankan fungsinya memerlukan alat-alat yang digunakan sebagai penunjang dari pelaksanaannya disebut sarana atau fasilitas. Serta masyarakat sendiri merupakan lingkungan dimana aturan-aturan tersebut di terapkan dan aturan-aturan tersebut berdampak pada lingkungan tersebut. Yang terakhir adalah kebudayaan merupakan segala seni yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan mempunyai pengaruh besar terhadap aktifitas kelangsungan hidup sehari-hari masyarakat tersebut.

15

(32)

1.7.3 Izin dan Perizinan

Izin pada dasarnya adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku dalam suatu keadaaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan.16 Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Spelt dan ten Berge, dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan.17

Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan pengecualiannya apabila ada apek perdata yang berupa persetujuan seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan. Menurut WF. Prins izin hanmpir sama pengertiannya dengan dispensasi, hanya saja perbedaannya pada izin termuat uraian yang limitatif tentang alasan penolakannya, sedangkan dispensasi memuat uraian yang limitatif tantang hal-hal yang untuk itu diberikan dispensasi.18 Oleh karena itu izin tersebut secara tidak langsung digunakan oleh pemerintah untuk pengaturan demi

16

Ibid, h. 7.

17

N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, (disunting oleh Philipus M Hadjon), Yuridika, Surabaya, h. 2.

18

(33)

keselarasannya dalam kehidupan bernegara. Sesuainya perizinan terhadap pembangunan hotel dapat menyebabkan terlindungnya hak asasi manusia dan terlindungnya lingkungan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab dengan alasan ingin menguntungkan diri sendiri.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah jenis penelitian hukum empiris. Jenis penelitian ini pada dasarnya merupakan kesenjangan norma antara das sollen dengan realitas hukum atau das sein.19

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam meneliti ini berupa pendekatan fakta (the fact approach), dimana pendekatan ini mengacu pada pencarian data dari beberapa informan dalam penelitian skripsi ini. Disamping itu, penelitian skripsi ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di Kabupaten Badung.

1.8.3 Data dan Sumber Data

Sumber data adalah sumber darimana data diperoleh yang pada umumnya dibedakan antara data-data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data primer)

19

(34)

dan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka (data skunder). Pada penelitian ini, adapun data yang digunakan adalah bersumber dari:

1. Sumber data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari sumber utama di lapangan, dimana data tersebut berasal dari observasi atau pengamatan secara langsung ke tempat kejadian dan melalui wawancara terhadap pihak-pihak yang mengetahui dan terkait dengan pengaturan mekanisme perizinan dan penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di Kabupaten Badung.

2. Sumber data sekunder, yakni data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Data yang diperoleh dari bahan hukum primer, berupa:

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);

c) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

(35)

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

f) Peraturan Menteri PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;

g) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033, (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).

(36)

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara (interview). Menurut Soejono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpulan data, yaitu study dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, wawancara atau interview.20 Wawancara dilakukan bukan semata-mata bertanya pada seseorang, melainkan menghibahkan pertanyaan-pertanyaan yang jelas dirancang untuk menperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian yang ditujukan kepada informan agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada informan yang terkait di dalam pengaturan mekanisme perizinan dan penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di Kabupaten Badung.

1.8.5 Teknik Analisis

Dengan terkumpulnya data yang dicari kebenarannya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian data ini dianalisis dengan teknik analisis kualitatif atau analisis deskriptif, maka seluruh data primer maupun data sekunder yang terkumpul akan diolah dan dianalisis secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikategorikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara data satu dengan yang lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari

20

(37)

perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Kemudian data akan disajikan secara deskriptif, kualitatif dan sistematis.21

21

(38)

2.1 Pengertian Penegakan Hukum

Hukum adalah sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Kandungan hukum ini bersifat abstrak. Permasalahan yang sangat krusial dalam bidang hukum di Indonesia adalah masalah penegakan hukum. Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut law enforcement, dan bahasa Belanda disebut

rechtshandhaving. Apabila suatu hukum dapat ditegakan, maka perlu memperhatikan suatu syarat bahwa hukum itu akan dapat ditegakan. Syarat penegakan hukum itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang pertama, hukum (undang-undang) itu sendiri yang memang harus baik dalam arti hukum (undang-undang) itu memenuhi unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis suatu undang-undang yang memadai. Kedua adalah aparat penegak hukum yang memang bertugas menegakan hukum. Aparat penegak hukum memang harus benar-benar instansi yang terbaik dalam menegakan hukum. Ketiga adalah masyarakat, dan masyarakat yang ditegakan haruslah menerima hukum dan dapat diatur dengan baik. Keempat adalah sarana dan prasarana yang mendukung.1

Dalam buku Max Weber menjelaskan “in legal authority, legitimacy, is

based on a belief in reason, and laws are obeyed because they have been enacted

1

Sodikin, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Malta Printindo, Cet.2, Jakarta, hal. 94.

(39)

by proper procedures”.2 Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa dalm otoritas hukum, otoritas terhadap legitimasi hukum berdasarkan atas pada alasan kepercayaan dan hukum yang telah mereka tetapkan bersama oleh prosedur yang berlaku. Jadi, secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk melaksanakan sanksi hukum guna menjamin penataan terhadap ketentuan yang di tetapkan tersebut. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang baik yang terwujud dalam serangkaian nilai untuk menciptakan, memelihara,dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Setelah itu keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi terhadap istilah atau pengertian itu sendiri memang diakui tidak mudah. Karena dari sudut pandang sarja terdapat perbedaan, akan tetapi pada intinya tetap sama untuk mencari definisi atau pengertian dari penegakan hukum sebagai suatu langkah untuk mendapatkan unsur-unsur dari penegakan hukum itu sendiri.

Menurut Jimly Asshiddiqie, pada pokoknya penegakan hukum merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat,

2

(40)

berbangsa dan bernegara.3 Sedangkan Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang bersifat abstrak.4 Dilanjutkan dengan menelaah pendapat Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap yang mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering), memelihara dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup.5

Kemudian Soerjono Soekanto melanjutkan pendapatnya dalam rangka melakukan penegakan hukum terdapat lima faktor yang paling mempengaruhi dalam penegakan hukum. faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau di terapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.6

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukumnya

3

Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, Cet.1, Balai Pustaka, Jakarta, hal.93.

4

Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hal. 15.

5

Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, hal. 13.

6

(41)

sendiri dimaksudkan bahwa dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat untuk daerah yang sah. Sedangkan Penegak hukum sendiri diartikan sebagai para aktor hukum yang melaksanakan pengayoman, pengawasan serta penindakan dari berjalannya hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Penegak hukum dalam mejalankan fungsinya memerlukan alat-alat yang digunakan sebagai penunjang dari pelaksanaannya disebut sarana atau fasilitas. Serta masyarakat sendiri merupakan lingkungan dimana aturan-aturan tersebut di terapkan dan berdampak pada lingkungan tersebut. Yang terakhir adalah kebudayaan merupakan segala seni yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan mempunyai pengaruh besar terhadap aktifitas kelangsungan hidup sehari-hari masyarakat tersebut.

2.2 Penegakan Hukum dalam Bidang Hukum Administrasi

(42)

pemerintah itu tidak hanya memberikan wewenang untuk membuat dan menerapkan norma-norma hukum yang berlaku baik bagi administrasi dan warga negara, tetapi juga wewenang penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan tersebut ketika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut. Penegakan hukum adalah upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka penegakan hukum dalam hukum administrasi yang digunakan untuk mengontrol kebijakan pemerintah, menurut H.W.R. Wade

menyebutkan “the legal system of administrative justice has receive valuable

supplementation from the Parliamentary comissioner for Administration,

otherwise know as the ombudsman, who since 1967 has been abble to criticise,

and often to remedy, injustice caused by maladministration lying beyond the

reach of the law”.7 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan sistem hukum terkait keadilan administrasi telah memberikan hal yang sangat berharga oleh Komisaris Parlemen untuk Administrasi, yang dimana sejak tahun 1967 telah memberikan kritik, dan memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan kesalahan administrasi yang mengabaikan jangkauan hukum yang berlaku.

Selain menggunakan Ombudsman sebagai suplementasi terkait sistem hukum untuk mencapai keadilan administrasi, pemerintah dalam rangka menegakan hukum administrasi negara dilakukan dengan upaya preventif dan upaya represif dalam melakukan penegakan hukum bagi pelanggaran hukum

7

(43)

administrasi. Upaya preventif merupakan upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran hukum terhadap norma-norma hukum yang telah ditetapkan pemerintah. Sedangkan upaya represif merupakan upaya penindakan yang dilakukan pemerintah maupun aparat penegak hukum dalam rangka menegakan norma-norma hukum yang berlaku. Upaya preventif dilakukan dengan cara melakukan pengawasan terhadap jalannya peraturan perundang-undangan sedangkan upaya represif dilakukan dengan cara pemberian sanksi terhadap pelaku yang melanggar hukum.

Pengawasan merupakan salah satu langkah preventif dalam penegakan hukum administrasi untuk melaksanakan kepatuhan terhadap ketentuan norma-norma hukum, sedangkah penerapan sanksi sebagai upaya penegakan hukum administrasi negara merupakan langkah penegakan hukum represif untuk memaksakan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Jika dijabarkan secara rinci, penegakan hukum administrasi terkait dengan masalah legitimasi atau persoalan kewenangan dalam menjalankan instrumen penegakannya yang meliputi :

1Monitoring (Pengawasan)

2Menggunakan wewenang yang memberi sanksi, yang meliputi : a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (Bestuur Dwang); b. Uang paksa (Publekrechtelijke Dwangsom);

c. Penutupan tempat usaha (Sluiting Van Een Inrichting);

d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstelling Van EenToestel) dan;

e. Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa.8

8

(44)

Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelangaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya refresif. Disamping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini di upayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.9 Selain itu dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan upaya dalam pengenaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintah, yang dimana kewenangan ini bersumber dari aturan Hukum Administrasi Negara. Pada umumnya, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan norma-norma Hukum Administrasi Negara tertentu, diiringgi pula dengan memberikan kewenangan untuk menegakkan peraturan peurndang-undnagan itu melalui penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma Hukum Administrasi Negara tersebut.10

Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi repartoir ( reparatoire sancties ) diartikan sebagai sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditunjukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum ( legale situatie ). Dengan kata lain, mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya. Jenis sanksi berikutnya adalah sanksi punitif adalah

9

Ridwan HR, Op.cit, h.18

10

(45)

sanksi yang semata-mata ditunjukan untuk memberikan hukuman (straffen) pada seseorang.11

Menurut Paulus E. Lotulung, pengawasan/ kontrol dalam hukum administrasi negara dibagi menjadi beberapa jenis/model, yakni:

1) Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang di kontrol;

a) Kontrol intern, berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri.

b) Kontrol ekstern, berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh organ atau lembaga - lembaga yang secara organisatoris/struktural berada diluar pemerintah.

2) Ditinjau dari waktu dilaksanakannya;

a) Kontrol a-priori, adalah bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah.

b) Kontrol a-posteriori, adalah bilamana pengawasan itu baru dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan pemerintah. 3) Ditinjadi dari segi obyek yang diawasi;

a) Kontrol dari segi hukum (rechmatigheid) yaitu kontrol yang dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukumnya saja.

(46)

2.3 Penataan Ruang

2.3.1 Pengertian Penataan Ruang

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Dalam tata ruang pokok intinya adalah pengertian tentang ruang. Menurut D.A. Tisnaadmidjaja yang dimaksud dengan ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan yang layak.14 Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Jadi, pengertian dari ruang adalah wujud dimensi geografis dan geometris yang dapat dikatakan sebagai wadah yang meliputi dari segala ruang dimana tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta melaksanakan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya setelah membahas tentang pengertian ruang, terdapat pula pengertian dari tata ruang. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Stuktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki

14

(47)

hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Maka, tata ruang merupakan susunan permukiman dan jaringan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat sebagaimana diatur berdasarkan peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Setelah membahas tentang tata ruang, selanjutnya membahas pengertian dari penataan ruang. Penataan ruang menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam proses penataan ruang diperlukan perencanaan terkait tata ruang baik untuk pemanfaatan ruangnya serta pengendalian ruang. P. De Haan menguraikan bahwa konsep perencanaan dalam arti luas didefinisikan sebagai persiapan dan pelaksanaan yang sistematis dan terkoordinasi mengenai keputusan-keputusan kebijakan yang didasarkan pada suatu rencana kerja yang terkait dengan tujuan-tujuan dan cara-cara pelaksanaannya. Perencanaan itu terdiri prognoses (estimasi yang akan terjadi), beleidsvoornemens (rancangan kebijakan yang akan ditempuh), voorzieningen (perlengkapan persiapan), afspraken (perjanjian lisan),

beschikkingen (ketetapan-ketetapan), dan regelingen (peraturan-peraturan).15

15

(48)

Salah satu rencana yang terkenal dalam hukum administrasi negara adalah rencana peruntukan (bestemmingplan) yang terdiri dari peta perencanaan, peraturan dengan penggunaan (pemanfaatan). Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu rencana kota (stadsplan) atau rencana-rencana detail perkotaan yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu, seperti contohnya Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung sudah tentu mengikat warga masyarakat Kabupaten Badung untuk membangun secara tidak menyimpang dari pola gambar petunjuk peta-peta pengukuran dan petunjuk rencana-rencana detail perkotaan, mengingat tiap penyimpangan daripadanya dapat mengakibatkan bangunan yang bersangkutan dibongkar. Salah satu wujud perencanaan dalam hukum administrasi negara tertuang dalam perencanaan tata ruang Kabupaten Badung. Perencanaan tata ruang Kabupaten Badung dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Dalam rangka perencanaan tata ruang di Kabupaten Badung dilakukan dengan proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang di wilayah tertentu yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

(49)

kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang.

(50)

yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu lingkungan hidup maupun lingkungan sosial masyarakat di sekitar.

2.3.2 Asas, Tujuan dan Manfaat Penataan Ruang

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa asas dalam penataan ruang terdiri atas keterpaduan, keserasian, keselarasan, keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan, keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan, kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum, keadilan, dan akuntabilitas.

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan antara lain adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan kata lain penataan ruang dilakukan dengan mengutamakan kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan kepentingan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sekitar.

(51)

keterpaduan antara struktur dan pola ruang dengan kehidupan manusia serta lingkungan dan perkembangannya.

Asas keberlanjutan dapat diartikan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memerhatikan kepentingan generasi mendatang. Sedangkan asas keberdayagunaan dan keberhasilgunaan diartikan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.

(52)

diartikan bahwa penyelenggara penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.16

Dengan demikian, dalam rangka perencanaan tata ruang diperlukan berbagai asas yang dapat menunjang terhadap pelaksanaan tata ruang tersebut. Asas-asas tersebut sangat mempengaruhi baik dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan tata ruang di lapangan agar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan penataan ruang pada wilayah tertentu. Selanjutnya akan dijabarkan mengenai tujuan dari penataan ruang tersebut. Adapun yang menjadi tujuan penataan ruang ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memerhatikan sumber daya manusia; dan

c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Pengertian “aman’ yang dimaksudkan disini adalah situsi masyarakat

dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Kemudian yang dimaksud dengan “nyaman” adalah keadaan

16

(53)

masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam

suasana yang tenang dan damai. Sementara itu yang dimaksud dengan “produktif”

adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus

meningkatkan daya saing. “Berkelanjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan

fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.17

Sehingga tujuan dari penataan ruang adalah sebagai bentuk pengaturan yang mengarahkan seseorang dalam pemanfaatan ruang demi berlangsungnya pemaanfaatan ruang yang seimbang antara lingkungan dengan sumber daya alam dan lingkungan sumber daya buatan demi terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan pembinaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada hakekat wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Didalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan

17

(54)

sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan demikian tingkat pemanfaatan ruang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik, dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan penataan ruang wilayah kota, undang-undang ini secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit tiga puluh persen dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.18

Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri dari penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi, merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam kawasan dan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten

18

(55)

pada satu atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.

Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada setiap jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan lebih lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang bersangkutan.

(56)

Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai dakan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah nasional secara keseluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan nasioanal tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang oleh siapapun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang.19

Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun disusun berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan sublok peruntukan. Penyusunan rencana rinci tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan

19

(57)

zonasi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenakan sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.

(58)

Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan tata ruang, yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana serta pengenaan kompensasi dan penalti. Pengenaan sanksi yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.20

2.4 Kawasan Sempadan Jurang

Sebelum membahas terkait apa itu kawasan sempadan jurang, akan dijabarkan terlebih dahulu klasifikasi dalam penataan ruang. Menurut Hermit klasifikasi penataan ruang bukan merupakan hal baru dalam pengaturan sistem penataan ruang kita. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan ruang ini merumuskan, “Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan

sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai

strategis kawasan.” Undang-undang Penataan Ruang merumuskan penataan ruang

diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.

20

Referensi

Dokumen terkait

(1990\ yang menyatakan bahwa pengaruh varietas terhadap variabel yang diamati disebabkan oleh adanya perbedaan faktor genetik yang dimiliki masing-masing varietas jagung

Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa nilai ulangan matematika peserta didik dalam proses pembelajaran yang berlangsung di kelas untuk pra siklus berkisar antara

Melaksanakan koordinasi serta sinkronisasi perencanaan program/kegiatan pembangunan di daerah bidang sosial dan budaya dengan satuan kerja pemerintah daerah dan

PEMERINTAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR KOMIT UNTUK MEMPERTAHANKAN KEBERADAAN TANAMAN KELAPA SEBAGAI JATI DIRI DAN PEMANGKIN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DENGAN MENINGKATKAN PRODUKSI

Kelarutan dalam suatu obat yang bersifat asam atau basa tergantung pada pKa dari gugus fungsional yang mengion dan kelarutan intrinsik untuk bentuk terion dan bentuk tidak

Selanjutnya para pemimpin G20 mendukung praktik baik dalam pelaksana kebijakan dan pendekatan regulasi termasuk ketentuan uji coba perusahaan rintisan di bidang keuangan

Dengan jarak tempuh yang pendek, persoalan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh iklim tropis basah dapat dikurangi, apalagi jika penyelesaian rancangan arsitektur

Informasi sensitif dan terbatas: Setiap dari kita harus memastikan bahwa informasi yang sensitif dan terbatas tentang bisnis, karyawan, nasabah, klien dan/atau mitra bisnis