•2.
PENGARUH LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
TERHADAP PERUBAHAN
PERILAKU GELANDANGAN
DI PERKOTAAN
Studi kasus tentang pengaruh latar belakang gelandangan dalam hubungannya dengan usaha
meningkatkan kehidupan menjadi pemulung
di kampung Pendongkelan, kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara
T e s i s
Oiajuksn kepada Panitia Ujian Tesis
Institut Keguruan dan llmu Pendidikan Bandung
untuk mernenuhi sebagian dari syarat Program Pasca Sarjana Bidang Studi Pendidikan Luar Sekolah
Oleh
SRI REDJEK1
NO. 690/C/XIX-11
FAKULTAS PASCA SARJaNA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
DISETUJUI OLEH PEMBIMBING
Prof. Dr. Achmad Sanusi
Pembimbing I
Dr. Bambang Soewarno
Pembimbing II
Dr. H. Djudju Sudjana
Pembimbing III
JUDUL TESIS
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
Halaman
1
11
111
v
DAFTAR ISI 1X
DAFTAR TABEL x111
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Masalah dan Perumusannya 14
C ,. Oef inisi Operasional 2-5
D. Tujuan Penelitian
27
E. Kegunaan Penelitian
2S
BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Landasan Teoritis Penelitian.
1. Gelandangan, Masalah dan Pemecahannya.
30
a . Penqertian Gelandangan dan Latar
Belakang Sosial Budaya Gelandangan,.
a. 1. Apa Gelandangan itu ? .... 30
a.2. Mengapa Timbul Gelandangan .. 34
a,. 3. Periiaku Gelandangan 41
a. 4. Usaha Pemecahan Masalah 44 Geiandangan
a.5; Hal-hal yang pernah dilakukan oieh PLS/Pemerintah terhadap
para gelandangan •-- - 4S
2. Konstruksi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pemecahan Masalah Gelandangan
a. Pengertian dan karakter Pendidi
kan Luar Sekolah 62
b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah.
c. Pendidikan Luar Sekolah sebagai
proses perubahan periiaku ...
d. Beberapa Program Pendidikan Luar
Sekolah sebagai Alternatif
Pemecahan Masalah Gelandangan ..
8.. Beberapa Pandangan Ilmuwan Sosial tentang
Gelandangan
BAB III. PROSEDUR PENELITIAN
A.. Metode Penelitian
x
70
8.. Populasi Penelitian
95
C. Teknik Pengumpulan Data 96
D.. Prosedur Pengolahan Data 99
E. Disain yang digunakan
1°1
F. Penjabaran
Konsep
Teoritis,
Empiris,
Ana1itis 102
BAB
IV.
HASIL-HASIL PENELITIAN DAN ANALISISNYA
A. Daerah Umum Daerah Penelitian
!
1. Keadaan daerah kumuh di OKI Jakarta
108
2. Keadaan Penduduk
HI
3,. Keadaan Pendidikan
ii3
4. Keadaan Mata Pencaharian
114
8. Gambaran Umum Lokasi Kumuh yang diteliti
118
C. Gambaran Umum tentang Responden.
1. Daerah Asal Responden 121
2. Pendidikan Responden
122
3. Aspirasi (Cita-cita masa depart)
....
125
4. Latar Belakang Status Sosial Ekonomi
124
D. Analisis Hasil Penelitian
125
E. Faktoi—Faktor yang menyebabkan
perubahan
periiaku
xi
p, Hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen 135
1. Hubungan aspirasi dengan periiaku .. 136
2. Hubungan antara Latar Belakang
Pendidikan dengan periiaku 149
3. Hubungan antara Latar Belakang Status
Sosial Ekonomi dengan Periiaku .... 161
BAB V. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN-SARAN
A. Diskusi i74
'• B. Kesimpulan 184
C.. Saran-saran 192
DAFTAR KEPUSTAKAAN 200
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jumlah penduduk Gelandangan menurut wilayah tempat 111 tinggal
2.. Jumlah penduduk Gelandangan menurut Kelompok umur 112
3. Penyebaran penduduk Gelandangan berdasarkan tingkat li;
pendidi kannya.
4,. Klasifikasi barang-barang bekas beserta harganya. 118
5. Penyebaran penduduk berdasarkan daerah asal dan 122 jenis pekerjaannya.
6.. Penyebaran responden berdasarkan pendidikan. 12;
7_ Penyebaran responden berdasarkan clta-cita masa 124
depan.
3. Penyebaran responden berdasarkan perubahan periiaku 129 ditinjau dari latar belakang pekerjaan didaerah
asal.
9. Penyebaran responden berdasarkan perubahan periiaku
130
ditinjau dari latar belakang pekerjaan sekarang.
10. Penyebaran responden berdasarkan perubahan periiaku
131
ditinjau dari kegiatan di lokasi.
jl;)__ Penyebaran responden berdasarkan perubahan periiaku
ditinjau dari cara berinteraksi dengan tetangga.
12. Hubungan
antara
cita-cita
masa
depan
dengan
13 7
periiaku petani.
13. Hubungan
antara
cita-cita
masa
depan
dengan
138
periiaku non petani.14. Hubungan
antara
cita-cita
masa
depan
dengan
periiaku pemulung.
140
15. Hubungan
antara
aspirasi
dengan
periiaku
bagi
141
pengemis.16. Hubungan
antara
aspirasi
dengan
periiaku
bagi
142
pekerja lain .,17. Hubungan antara aspirasi dengan periiaku
responden
144
yang mengikuti kegiatan di lokasi.
18. Hubungan
antara
aspirasi
dengan
periiaku
dari
145
responden yang tidak mengikuti kegiatan sama sekali
di lokasi.
19. Hubungan
antara aspirasi
dengan
periiaku
bagi
14:
responden
yang
cara
berinteraksi
baik
dengan
tetangga.
20. Hubungan
antara aspirasi dengan periiaku
ditinjau
dari cara berinteraksi ku.ran.g.„ba.i.!<. dengan tetangga.
x i v
21. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku petani.
22. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
periiaku bagi non petani.
dengan
23. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku pemulung.
24. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku pengemis.
:5. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku bagi pekerja lain.antara latar belakang Pendidikan dengan
periiaku
bagi
responden
yang selalu
mengikuti
kegiatan di lokasi.27. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku
bagi
responden
yang tidak
mengikuti
kegiatan di lokasi.28. Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku
bagi
responden
yang berinteraksi
baik
dengan tetangga.Hubungan
antara latar belakang
Pendidikan
dengan
periiaku
bagi
responden
yang cara berinteraksi
ki.|ran.g....baik. dengan tetangga.30. Hubungan
antara
latar belakang status
sosial
162
ekonomi dengan periiaku petani.31. Hubungan
antara
latar belakang status
sosial
163
ekonomi dengan periiaku non petani.
32. Hubungan
antara
latar belakang status
sosial
164
ekonomi dengan periiaku pemulung.33. Hubungan
antara latar belakang status
sosial
165
ekonomi dengan periiaku pengemis.
34. Hu'bungan
antara
latar belakang status
sosial
ekonomi dengan periiaku pekerja lain.
35. Hubungan
antara
latar belakang status
sosial
ekonomi dengan periiaku bagi responden yang
selalu
mengikuti kegiatan di lokasi.
36. Hubungan
antara
latar
belakang
status
sosial
ekonomi
dengan periiaku bagi responden yang
tidak
pernah mengikuti kegiatan di lokasi.
37. Hubungan
antara
latar
belakang status
sosial
ekonomi
dengan
periiaku
bagi
responden
yang
berinteraksi baik.
167
168
169
38. Hubungan
antara latar belakang status
sosial
1/2
ekonomi
dengan
periiaku
bagi
responden
yang
berinteraksi kyranq...bai..!<. dengan tetangga.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam
pola
dasar pembangunan Indonesia
yang
disusun
berdasarkan landasan idiel Pancasila, landasan
konstitusional Undang-Undang Dasar 1945, dan landasan
operasional
Garis
Garis
Besar
Haluan
Negara
tercermin
tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang
Undang
dasar 1945 yang memberikan arah
pada
penyelenggara
negara
antara lain dapat dilihat pada pasal 27 ayat 2 yang
berbunyi:
"Tiap-tiap
warga
negara
berhak
atas
pekerjaan
dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."
Hal ini dipertegas lagi dalam pasal 34 ayat 1 yang berbunyi:
"Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh
negara."
Kedua
pasal
itu
dalam
kaitannya secara
konstitusional,
memberikan
petunjuk tentang hasrat bangsa
Indonesia
untuk
menunjukkan keadilan sosial dan kemanusiaan dalam
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
pembangunan jangka panjang, yaitu bahwa pembangunan
manusia
seutuhnya
dan
pembangunan
seluruh
masyarakat
Indonesia.
Hakekat
pembangunan nasional yang demikian itu,
mengandung
makna
bahwa pembangunan itu fcidak hanya
mengejar
kemajuan
lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan
sebagainya, atau kepuasan batiniah seperti pendidikan,
rasa
aman,
bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab,
rasa keadilan, dan sebagainya, melainkan juga untuk mencapai
keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.
Sedang
untuk
melaksanakan
cita-cita
tersebut,
pembangunan sendiri menuntut adanya oeningkatan sumber daya
manusia.
Sumber
daya manusia itu berkaitan erat
dengan
pendidikan.
Maka
dari
itu, pendidikan memegang
peranan
penting
bagi
kelangsungan kemajuan yang telah kita cita-citakan
bersama.
Menurut
Fakry Gaffar (1987:28), faktor sumber daya
manusia
sangat menentukan keberhasilan nasional untuk
mencapai
tujuan yang dapat mensejahterakan manusia pula.
Namun demikian, pembangunan juga mempunyai dampak
yang
besar-besaran dari desa-desa atau dari daerah yang minus menuju Ke
kota-kota besar yang banyak terdapat bangunan-bangunan
yang
sedang dibangun, maupun yang baru direncanakan untuk mengadu
untung
dalam mempertahankan hidupnya. Menurut mereka,
kota
besar
terutama
Jakarta, dipandang
seakan-akan
memberikan
tawaran
dan jaminan kesempatan berusaha, serta
hidup
yang
lebih
baik dan menyenangkan. Masalah
perpindahan
penduduk
atau
urbinisasi
tersebut merupakan masalah
yang
unik
di
kota-kota
besar
karena
membawa
implikasi
negatif
dalam
kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kemrosotan fisik
dalam
lingkungan,
masalah
pengangguran,
gelandangan
dan
krimilitas, dapat mengakibatkan meningkatnya kemacetan
lalu
lintas
sebagaimana terlihat di wilayah OKI Jakarta.
dengan
demikian
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
urbanisasi
mengakibatkan
gelandangan,
kemiskinan,
dan
sejenisnya.
Akibatnya
kemiskinan itu dapat menyebabkan seseorang tidak
mampu mernenuhi kebutuhan primernya, seperti makan,
pakaian,,
perumahan,
pendidikan,
dan lain sebagainya, yang hal
itu
berarti
ada kaitannya dengan situasi ekonomi sosial
secara
4
Penduduk
yang
berkelebihan
jelas
akan
menimbuIkan
berbagai
kebutuhan
pokok
yang
tidak
terpenuhi,
seperti
tersebut
di
atas,
dan
kekurangan
iapangan
kerja,
yang
menyebabkan
penduduk
banyak yang
menganggur
dan
men.jadi
gelandangan.
Padahal
gelandangan,
kemiskinan dan
sejenisnya
merupakan
hambatan bagi pembangunan.
Ini merupakan salah satu sebab, mengapa penelitian ini perlu
diadakan .
Penyebab
lain
yang
mendukung
diadakannya
penelitian ini antara lain:
1... Gagalnya
pemerintah
dalam
manangani
masalah
penanggulangan gelandangan dan pengemis.
2. Kemajuan
masyarakat
yang belum merata
di
wilayah
Indonesia ini.
Dari
faktor-faktor di atas, maka sesuai
dengan
judul
tesis, akan diselidiki tentang latar belakang sosial
budaya
gelandangan
yang diduga berpengaruh terhadap
perubahan
periiaku.
Gelandangan
yang ada di kota-kota besar
pada
umumnya
disebabkan faktor-faktor lain misalnya kurangnya pendidikan,
merosotnya
mentalitas
penduduk,
modernisasi,
keturunan,
kondisi
lapangan
kerja, tekanan ekonomi, alam,
dan
masih
banyak lagi.
Menurut
pendapat
Herl.ianto.
(1986:13)
mengatakan
bahwa
meningkatnya gelandangan dikarenakan memang pada saat
ini
tampaknya
kesejahteraan
baru
dimiliki
sebagian
kecil
masyarakat
saja.
Sebaliknya,
ketidak
sejahtera,
kesengsaraan,
kemiskinan
paling banyak
dialami
sebagian
besar masyarakat negara yang sedang berkembang. Mungkin juga
keadaan
ini
sebagai konsekwensi logis
bagi
negara-negara
berkembang
seperti
Indonesia.
Masalah
gelandangan
di
Indonesia
selain
menghambat
pembangunan
juga
menyangkut
masalah
harkat dan martabat manusia, dan eksistensi
mereka
tidak
sesuai dengan norma kehidupan bangsa
Indonesia
yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang dasar 1945.
Kendornya
tata kota juga menyebabkan akan
memberi
peluang
bagi
para
penduduk desa
yang
memang
sudah
haus
akan
kesejahteraan dan peningkatan ekonomi.
diinginkan
dalam
kehidupan masyarakat
serta
pembangunan,
haruslah diadakan suatu pemecahannya.
Permasalahan
gelandangan
ataupun
kemiskinan
pada
umumnya berkisar pada kenyataan bahwa mereka itu:
(1) mengalami
keterbatasan
baik
dalam
pemenuhan
kebutuhan pokok jasmaniah maupun rohaniah.
(2) tidak mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian
yang tetap dan layak.
(3) kebanyakan
bodoh,
kekurangan modal
usaha,
tidak
mempunyai ketrampilan sosial.
("4) mengalami
berbagai
macam
hambatan
baik
untuk
mengembangkan mental, sosial, maupun psikologis.
(5) kehidupan
tersisih
dari
tata
pergaulan
dalam
masyarakat pada umumnya. (Departemen Sosial, 1981).
Berdasarkan
Kategori
di atas
tersebut,
jelas
bahwa
pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mempunyai program
yang bertujuan untuk mengembalikan mereka menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan guna mencapai taraf hidup
dan penghidupan yang layak,
dan dapat diterima
dalam
penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pemecahan
masalah gelandangan tersebut.
Namun sebenarnya, tidaklah pantas apabila orang yang
lahir di atas aiam yang subur, makmur, gemah ripah loh
jinawi, sangatlah janggal bila di kota yang terkenai
(sebagai kota yang diagung-agungkan) rakyatnya masih
banyak
yang
dikungkung dengan kesengsaraan, kemiskinan
dan
tidak
sepatutnya
seseorang
atau
sekelompok
masyarakat
menjadi
gelandangan.
Dalam masalah gelandangan, terkait pula adanya masalah
"pedagang
asongan"
yang
banyak
disoroti
baru-baru
ini..
Memang
kalau
dilihat dari keamanan, dan
ketertiban,
maka
pengasong-pengasong
itu
sangat
mengacaukan
keadaan
lalu
lintas kota. Karena pengasong sifatnya menjual dagangannya
di jalan-jalan raya atau sewaktu lampu pengatur lalu
lintas
sedang
merah,
dipersimpangan
jalan,
mereka
dengan
kebraniannya
mengambil
resiko
besar
mempertaruhkan
keselamatannya dengan memburu calon pembeli.
Pada
umumnya
para
pengasong
itu
adalah
anak-anak
usia
yang tidak memadai keuntungannya sebab demi perut, dan
juga
demi bos yang memberi hasil.
Pedagang
asongan sebagian besar anak dari gelandangan
yang
ikut mencari nafkah, berhubung orang tuanya kuwalahan
untuk
memberi
makan mereka. Sedangkan barang dagangannya
diambil
dari
warung-warung
yang
sudah tetap
dan
ada
di
daerah
tersebut.
Dengan
munculnya
operasi
Esok
Penuh
Harapan
(OEPH),
banyak
mendapat dukungan dari
masyarakat,
selain
untuk
menertibkan
keadaan
lalu
lintas,
juga
memberi
kesempatan
kepada para pengasong untuk lebih bebas
menjual
dagangannya di tempat-tempat yang akan ditentukan dan tidak
akan main kejar-kejaran dengan petugas Kamtib OKI Jakarta.
Apabila
ditinjau dari segi kemanusiaan, maka
pedagang
asongan patut mendapat belas kasihan dan uluran tangan dari
semua pihak, karena mereka umumnya masih kecil-kecil
(usia
sekolah) sudah berjuang untuk mempertahankan hidupnya dengan
berupaya mencari
sesuap nasi di tengah-tengah jalan
ray
dengan resiko nyawahya.
Oleh
karena itu untuk melaksanakan Operasi Esok
Penuh
kehidupan
pengasong
saja, akan tetapi
adanya
"kesadaran"
dari
para pembeli yang sedang melaksanakan
perjalanan,
di
mana
masih
banyak
di antara
mereka
membeli
sesuatu
di
tempat-tempat
yang tidak semestinya walaupun
waktu
sangat
terbatas. Perbuatan ini justru akan mengundang para
pangasong
lebih
banyak
lagi
untuk
menjual
di
tempat
tersebut.
Para pengasong riwatnya sama dengan gelandangan di mana
peneliti
mengadakan
penelitian
di
kampung Pendongkelan.
memang sebagian besar mereka meninggalkan kampungnya
karena
tekanan
sosial
ekonomi,
karena
perekonomian
desa
tidak
memberikan
penghasilan layak buat
menompang
kehidupannya
sehari-hari,
mereka terpaksa berurbanisasi (Kompas
23
Mel
1990).
Di Samping itu bayangan kerja di desa, selain
tidak
kontinue dan tergantung musim, pendapatannya sangat
rendah..
Rata-rata
sekitar
Rp
1.000,00
per
hari . Pada
hal
kalau
pengasong di
Jakarta, dengan modal kecil atau
bahkan nol
sama
sekali
justru
bisa
meraih
keuntungan
sekitar
Rp 2.000,00 lebih dalam seharinya.
10
termasuk pedagang asongan, maka diperlukan motivasi. Adapun
motivasi pada seseorang dapat menimbulkan semangat atau
dorongan
bagi
orang
yang
bersangkutan
untuk
melakukan
sesuatu sesuai aspirasinya (cita-cita masa depan), motivasi
dan
aspirasi
saling berkaitan. Motivasi
mempunyai
fungsi
yang
dapat
menolong untuk mendorong
mereka
agar
menjadi
manusia yang memiliki kehidupan dan penghidupan yang layak.
Fungsi tersebut menurut S. Nasution (1986:73) adalah:
(1) mendorong manusia untuk berbuat
(2) menentukan
arah
perbuatan, yakni ke
arah
tujuan
yang hendak dicapai.
(3) menseleksi
perbuatan, yakni menentukan
perbuatan-perbuatan
apa
yang harus dijalankan
yang
serasi
guna mencapai tujuan dengan menyampingkan perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
Hal
ini
diperkuat dari Soepardjo
Adikusumo
(1988:5)
bahwa dalam motivasi didapatkan cipta, rasa, karsa dan
karya,
serta berlangsungnya dinamik kognitif,
psikomotorik
dan
periiaku. Hanya dengan motivasi kuat dan
mandiri
akan
11
bijak,
cerdas,
dan kreatif karena sekarang kita bergerak
memasuki
era
SURVIVAL OF THE
BEST
INFORMED
sebagaimana
ucapan Jeremy Rifkih yang dikutip Soedjatmoko. Dalam hal ini
untuk
menjadikan manusia yang cerdas dan kreatif bagi
para
gelandangan dan sejenisnya, maka pendidikan nonformal sangat
cocok berperan di dalamnya, karena pendidikan tersebut
akan
mengarahkan
dan
membantu
merubah periiaku
yang sejalan
dengan mental/moral pembangunan baik menyangkut pengetahuan
maupun
ketrampilan. Perubahan tersebut mengantarkan
kepada
orang
untuk
terbuka
terhadap
kebutuhan-kebutuhan
yang
semakin
bervariasi
dan
memberikan
jalan
ke
arah
pemenuhannya.
Pendidikan
nonformal, di samping cocok untuk
menambah
pengetahuan para gelandangan dan sejenisnya juga dapat
rnenciptakan
ketrampilan
produktif,
dapat
meningkatkan
penghasilan dan yang penting memberikan manfaat kepada
golongan miskin atau yang berpenghafjlan rendah.
Jadi melalui Pendidikan Luar Sekolah dapat diharapkan
bahwa
seseorang dapat mampu dan memahami diri serta
lingkungannya
12
Hal ini sesuai dengan pendapat Kindervatter yang
mengemukakan dalam konsep proses "empowering" yang
bunyinya
sebagai berikut:
"People
gainning an understanding of and control
over
social,
economic, and/or political forces in order
to
improve
their
standing
in
society"
(Kindervatter
1979:62).
Kemampuan
di
sini mencakup pengetahuan,
ketrampilan,
dan
sikap
sedangkan
memahami
mengandung
maksud
kesadaran
seseorang akan eksistensi diri dan
lingkungannya
sehingga
orang tersebut mampu memperbaiki kedudukan dalam masyarakat.
Sesuai
dengan pendapat Parsudi Suparlan dan
pandangan
ilmuwan
sosial
lainnya tentang gelandangan,
maka
Yayasan
Kesejahteraan Keluarga Pemuda '66 Jakarta (1981:146,147)
membagi
pengertian gelandangan menjadi
dua bagian
yaitu
gelandangan berkarya dan gelandangan murni.
Gelandangan berkarya adalah gelandangan yang sudah mempunyai
pekerjaan tertentu atau tetap akan tetapi selama menjalankan
pekerjaan tersebut sepanjang masa, mereka tidak mempunyai
tempat tinggal tertentu atau layak. Contoh calo bus,
tukang
beca,
tukang sayur eceran, tukang semir sepatu
dan
lam
13
sekali
tidak
mempunyai pekerjaan dan tempat
tinggal
yang
tetap
dan layak. Contoh anak-anak terlantar,
pengemis
dan
juga sebagian dari para pemulung dan lain sebagainya.
Akan
tetapi
kedua kelompok
tersebut
masih
termasuk
golongan
gelandangan, karena masih menempati
tempat-tempat
liar
yang
kadang-kadang
di
tanah-tanah
terlarang
oleh
pemerintah. Adapun munculnya pemukiman liar yang dihuni para
gelandangan
di tanah-tanah milik tuan tanah di
pekuburan-pekuburan,
dan
di
tanah-tanah
milik
negara,
disebabkan
antara
lain oleh "kendurnya pengaturan tata
kota"
seperti
yang
pernah disebutkan
di atas,
dan
mengakibatkan
akan
memberi semacam kemudahan bagi pemukiman pendatang-pendatang
baru dari kampung-kampung tersebut (Parsudi Suparlan,1984).
Implikasi
penelitian
ini
adalah
untuk
memberikan
masukan
kepada pemerintah dalam hal penanggulangan
masalah
gelandangan
tersebut. Berhubung pemerintah dalam melakukan
pemecahan
masalah
gelandangan
mengalami
kegagalan,
maka
melalui
penelitian
ini diharapkan dapat
merubah
periiaku
14
B. MASALAH DAN PERUMUSANNYA
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, masalah
yang utama disoroti (fokus penelitian) adalah mengapa
gelandangan masih tetap menggelandang dan sampai sejauh mana
para
gelandangan
itu dapat
mengubah
perilakunya
menjadi
manusia
yang
mempunyai
taraf
hidup,
kehidupan
dan
penghidupan yang layak di wilayah OKI Jakarta, sehingga para
gelandangan dapat memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat.
Sebagaimana
telah
diutarakan di muka
bahwa
pemulung
berasal dari gelandangan murni yang pada mulanya dalam usaha
mengalami kegagalan, karena tidak memiliki modal,
peralatan
dan
yang paling berat masih mempunyai perasaan malu,
yaitu
melaksanakan pekerjaan mengais barang-barang bekas yang
harus mengorek-orek sampah yang ada di mana saja. Usaha yang
pertama itu dapat dikatakan gagal, akan tetapi mereka
tidak
jera dengan kegagalan tersebut, bahkan dengan kegagalan
itu
mereka merasa memperoleh nilai tambah yaitu pengalaman.
Dalam kenyataannya, berkat pengalaman itu serta terdorong
pada adanya kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi, maka mereka
15
pemulung.
Pada waktu meninggalkan kampung, juga mengalami
keragu-raguan,
walaupun
akhirnya
mereka
tetap
pergi,
karena
terdorong
percaya diri dan akan menanggung
resiko
apabila
sampai di tempat yang dituju mengalami kesulitan.
Apabila
dilihat
dari kegiatan mereka,
maka
usahanya
tampak
bahwa di dalamnya terkandung proses Pendidikan
Luar
Sekolah, yaitu belajar berdasarkan pengalaman percaya
diri,
belajar
mengatasi
kesulitan
melalui
usaha
mencoba-coba
meskipun
mengalami
kegagalan.
Proses
belajar
yang
berdasarkan
pengalaman adalah merupakan ciri belajar
orang
dewasa
yang di dalamnya terkandung proses jtranf.ormasi
dan
nilM.r.0.i.lM...P..yd.aya yang berlangsung secara informal. Setelah
menunjukkan
hasil
yang
dapat
memberikan
harapan
bagi
kehidupannya,
mereka itu berusaha terus untuk
meningkatkan
penghasilan dengan bekerja keras, raj in dan tekun.
Dengan
demikian dari segi usaha mencari
barang-barang
bekas,
jelas bahwa proses Pendidikan Luar Sekolah yakni
proses belajar dengan sistem berkelompok,
belajar sendiri
16
Pengais
barang-barang
bekas yang sudah
berhasil
dan
didukung
oleh kesadaran para pemulung sendiri
masih
tetap
rnengadakan
tukar
pikiran,
tukar
pengalaman,
saling
mengungkap
reaksi
dan tanggapan
mengenai
suatu
masalah:,
sehingga menemukan suatu pemikiran yang baru. Pemikiran
itu
berguna
untuk
usaha
meningkatkan
penghasilan
atau
kesejahteraan.
Hasil
dari
kegiatan
ini
merupakan
suatu
proses
belajar
orang
dewasa
yang
terkandung
proses
transformasi dan nilai-nilai budaya yang berlangsung secara
informal.
Mengingat
kebutuhan-kebutuhan pokok
yang
harus
terpenuhi, maka lama kelamaan mereka dapat mewujudkan
suatu
kelompok yang dipimpin oleh seorang "lapak", yang
tujuannya
untuk mempermudah pemasarannya barang bekas tersebut.
Lapak
selain sebagai pemimpin juga mempunyai latar belakang status
sosial
ekonomi yang baik (menurut ukuran gelandangan),
dan
mempunyai kebranian serta wibawa. Istilah lapak sama
dengan
istilah "patron" menurut Parsusi Suparlan dalam tulisan yang
berjudul
"Gelandangan:
Sebuah
Konsekuensi
Perkembangan
Kota", tahun 1986.
17
usaha
meningkatkan mata pencaharian para gelandangan
dapat
penulis
tuangkan
dalam
suatu bagan
yang
disajikan
pada
gambar I.
Meneliti tentang perubahan periiaku gelandangan dapat
dilihat
dari
faktor
yang
diduga
mempengaruhi
perubahan
tersebut
yaitu
antara lain latar belakang
sosial
budaya.
Sosial
budaya meliputi aspirasi, latar belakang
pendidikan
dan
latar belakang status sosial ekonomi.
Dengan
demikian
ketiga
faktor di atas diduga mewarnai
perubahan
periiaku
Gambar I
Sistim transformasi PLS dalam meningkatkan
mata pencaharian para gelandangan
di Kampung Pendongkelan,
Kelurahan Kepala Gading Barat
Kecamatan Koja, Wilayah Jakarta Utara
Masukan mentah
(Rawa input)
-Gelandangan
yang murn i.
t
Instrumental input (Masukan sarana) - Tutor/Fasilitator - Metoda - Materi - Sarana 4r Proses belajar - kelompok - magang - mandiri- pengalaman. dll
1
Masukan lingkungan - Lingkungan sosial
- masyarakat
- keluarga
- teman, dl1 - Aspirasi
- Lb.Pendidikan
- Lb.Status sosial
ekonomi Pembinaan lanjut -Pemukiman lokal -Bimbingan -Bantuan modal -Lain-lain Output - Pemulung - Gelandangan berkarya Tujuan Menjadi manusia yang memiliki
harga diri, dan
kemampuan menca
pai taraf hidup, kehidupan dan penghidupan yang layak.
- mata pencahari an tetap.
- terpenuhi
but-sarman.
- melaksanakan
Ada dugaan bahwa upaya Pendidikan Luar Sekolah
berkenaan dengan usaha meningkatkan mata pencaharian
tersebut pada dasarnya dilandasi oleh proses belajar yang
berbentuk pengalaman. Sebab proses belajar untuk manusia itu
tidak terhenti pada waktu seorang meninggalkan sekolah saja,
akan
tetapi
proses
belajar
berlangsung
terus,
melalui
pergaulan,
pengalaman, bacaan, kursus-kursus, kegiatan
dan
lain sebagainya. Oleh karena itu tepat sekali bahwa yang
dipergunakan
dalam
pendidikan
para
gelandangan
adalah
melalui proses belajar pengalaman, karena mereka rata-rata
berpendidikan rendah, baik pria maupun wanita.
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa faktor
yang
diduga
mendukung dalam perubahan periiaku adalah
aspirasi,
latar
belakang pendidikan dan latar belakang status
sosial
ekonomi. Maka dengan demikian peneliti berusaha untuk
mengungkapkan
faktor-faktor
tersebut
sehingga
memperoleh
gambaran
dalam
merubah
periiaku
dan
sikap
gelandangan
sebagai
manusia
yang mempunyai kehidupan
dan
penghidupan
yang layak.
20
Sekolah (PLS) akan tampak jelas dalam memberikan acuan,
penyuluhan, dorongan pengarahan maupun ketrampilan yang
sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.
Faktor ini dipilih dalam penelitian karena didasarkan
akan
pertimbangan bahwa faktor tersebut
dianggap
memiliki
potensi
yang dikemudian hari mungkin ada implikasinya
yang
relevan
bagi
pemerintah
dan
masyarakat
umumnya
dan
pengembangan
sistem PLS khususnya. Implikasi
yang
relevan
terutama pada instansi yang benar-benar terkait di dalamnya,
misalnya Departemen Kesehatan, Departemen Agama,
Departemen
Sosial,
dan
Iain-lain.
Dengan
adanya
pekerjaan
sebagai
pemulung
maka
Departemen
Kesehatan
akan
meningkatkan
penyuluhannya
agar kebersihan tetap terjaga
di
lingkungan
tempat
tinggal
mereka, maka akan berkurang
penyakit
yang
biasa
menjangkit
di daerahnya. Begitu
pula
dalam
bidang
keagamaan , diharapkan dengan ada penelitian ini
dilengkapi
dengan
faktor-faktor
yang
diduga
mempengaruhi
perubahan
periiaku, maka diharapkan akan mengadakan penyuluhan
secara
para gelandangan tersebut. Demikian halnya implikasi
terhadap instansi-instansi yang lain.
Mengingat faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
periiaku gelandangan cukup banyak, maka hal ini tidak
mungkin dapat diteliti seluruhnya. Oleh karena itu
penelitian khusus akan mengkaji hubungan antara latar
belakang sosial budaya (aspirasi, latar belakang
pendidikan
dan latar belakang status sosial ekonomi) dengan periiaku
gelandangan.
Faktor-faktor ini akan diperinci lagi
menjadi
beberapa
aspek untuk mempermudah dalam
penelitian.
Adapun
perincian itu sebagai berikut:
1. Aspirasi
(cita-cita
masa
depan),
yang
meliputi
aspirasi terhadap pendidikan anak dan terhadap
pekerjaan yang akan datang.
2. Latar belakang pendidikan, yang meliputi pendidikan
formal, nonformal dan pendidikan informal.
3. Latar belakang status sosial ekonomi yang meliputi
pendapatan dan harta kekayaan (hak milik).
Secara
grafis dapat disajikan hubungan antara
22
Pendidikan Perilaku
Dengan
adanya
dugaan di atas,
arah
hubungan
antara
ketiga
faktor
dengan periiaku seperti
telah
dikemukakan„
dapat
dirumuskan
beberapa
pertanyaan
penelitian
sebagai
berikut:
1. Apakah ada perbedaan antara gelandangan yang
beraspirasi
dengan
gelandangan
yang
tidak
beraspirasi dalam perubahan periiaku? Sejauh mana
23
2. Apakah ada perbedaan antara gelandangan yang
memiliki latar belakang pendidikan tinggi dengan
gelandangan yang memiliki latar belakang pendidikan
rendah terhadap perubahan periiaku?. Sejauh mana
latar belakang pendidikan mempengaruhi perubahan
periiaku tersebut?
3.. Apakah ada perbedaan antara gelandangan yang
mempunyai latar belakang status sosial ekonomi baik
dengan gelandangan yang mempunyai latar belakang
status sosial ekonomi kurang baik terhadap
perubahan?. Sejauh mana latar belakang status sosial
ekonomi mempengaruhi perubahan periiaku gelandangan?
C. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk mendapatkan perhatian yang sama mengenai istilah
yang
dipakai
dalam penelitian ini maka
diberikan
batasan
operasional sebagai berikut:
1„ Budaya adalah berasal dari bahasa Sanksekerta
yaitu
budhayah berarti budhi dan akal. Jadi budaya
adalah
dapat
diartikan sebagai hal yang
berkaitan
dengan
24
pencaharian,
kesenian,
pengetahuan,
teknologi,
peralatan
dan
sebagainya. Dengan kata
lain
bahwa
budaya
adalah hampir semua aktivitas manusia
dalam
hidupnya.
Aspirasi
adalah
cita-cita
masa
depan.
Dalam
penelitian
ini ditinjau dari cita-cita
masa
depan
gelandangan, maka dapat diklasifikasikan menjadi dua
katagori yaitu gelandangan yang beraspirasi
positip
dan gelandangan yang beraspirasi negatip.
Yang
dimaksud dengan aspirasi
positip
adalah
gelandangan yang mempunyai kriteria bahwa memiliki
cita-cita masa depan lebih tinggi dari pada
keadaan
yang ada sekarang, dan gelandangan yang beraspirasi
negatip adalah gelandangan yang tidak mempunyai
cita-cita pada masa depannya atau sudah puas
dengan
keadaan sekarang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hurlock
(1979:265)
bahwa aspirasi
positip
adalah
aspirasi yang berorientasi pada keberhasilan ingin
mencari
sesuatu
yang lebih tinggi dari
yang ada,
berorientasi
pada
keinginan
untuk
mempertahankan
yang sudah ada.
3,. Latar
belakang
pendidikan
yaitu
pendidikan
yang
pernah
diikuti oleh masing-masing responden.
Daiarn
penelitian
ini
latar
belakang
Pendidikan
dapat
dibagi
menjadi dua katagori yaitu gelandangan
yang
mempunyai
pendidikan
tinggi
dan
yang
mempunyai
pendidikan
rendah. Dalam katagori gelandangan
yang
mempunyai
pendidikan tinggi yaitu gelandangan
yang
pernah
mengikuti
sekolah
di
SMTP/sederajat,
sedangkan
gelandangan
yang
mempunyai
pendidikan
rendah
adalah
gelandangan
yang
hanya
pernah
mengikuti
pendidikan
di SO/sederajat
atau
mereka
yang belum pernah mengalami sekolah apapun.
4. Latar belakang Status Sosial Ekonomi yaitu kedudukan
yang
berdasarkan
penghasilan
dan
kekayaan
yang
dimilikinya.
Dalam
hal
ini dapat dibagi
menjadi
dua
katagori
yaitu status sosial ekonomi baik, dan status sosial
26
Gelandangan
yang
mempunyai status
sosial
ekonomi
baik
bila mempunyai kriteria penghasilan
rata-rata
per
harinya tidak kurang Rp 2.001,00 dan
mempunyai
rumah/tanah
di
daerah
asal
maupun
di
tempat
sekarang.
Sedangkan
gelandangan
yang
mempunyai
status sosial ekonomi kurang baik, apabila mempunyai
kriteria berpenghasilan rata-rata per harinya kurang
dari
Rp
2.000,00 dan tidak memiliki
tanah/rumah,
baik daerah asal maupun di tempat sekarang.
5. Periiaku
gelandangan
dalam penelitian
ini
adalah
semua
aktivitas
yang
mendorong
setiap
responden
untuk mencapai tujuan tertentu dan mewujudkan
suatu
keinginan,
aktivitasnya
yang tampak mata
(overt
behavior).
Sedangkan dalam perubahan
periiaku
ini
dapat
di klasifikasikan menjadi dua kelompok
yaitu
gelandangan yang cenderung akan merubah sikap serta
periiaku
dalam usahanya
meningkatkan
kehidupannya
mencapai
tujuan
tertentu-
Menurut Krech et
al
(1962:70)
adalah semua aktivitas yang mendorong
katagori yang lalu adalah gelandangan yang cenderung
tidak merubah sikap dan periiaku dengan kreteria
sikap masa bodoh, mementingkan kepentingan
pribadi,
rnengabaikan norma-norma sosial yang berlaku.
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian
ini
bertujuan untuk
memperoleh
informasi
tentang perubahan periiaku antara
a. Gelandangan yang beraspirasi dengan gelandangan yang
tidak
beraspirasi
terhadap
perubahan
periiaku..
Sejauh
mana
aspirasi
itu
mempengaruhi
perubahan
periiaku tersebut.
b. Gelandangan yang berlatar belakang pendidikan tinggi
dengan gelandangan yang berlatar belakang pendidikan
rendah terhadap perubahan periiaku.
Sejauh
mana latar belakang pendidikan
mempengaruhi
perubahan periiaku tersebut.
Gelandangan
yang
berlatar belakang
status
sosial
ekonomi
baik
dengan
gelandangan
yang
berlatar
belakang status sosial ekonomi kurang baik
terhadap
perubahan periiaku.
Sejaunmana
-status
sosia.l
ekonomi
mempengaruhi
perubahan periiaku.
E. KEGUNAAN PENELITIAN
Kegunaan penelitian mi adalah untuk memperoleh
bahan-bahan
tambahan sebagai alat untuk mengadakan tindaK
1. an jut
yang
lebih sempurna dalam usaha menanggulangi
gelandangan.
Masalah
ini merupakan masalah yang unik dan
pen ting
untuk
diteliti
yang
dapat
diambil
manfaatnya
dari
segi-segi
berikut:
1. Segi teoritis: penelitian ini dapat digunakan
untuk
menunjukkan
bahwa
PLS
dapat
menerapkan
dan
memberikan
pengetahuan,
ketrampilan,
sikap
guna
meningkatkan
penghasilan
agar
dapat
memperbaiki
taraf hidupnya.
2. 3egi
prakt isn ya: dapat memberi kan gamba ran
ten tang
bagaimana cara mengubah periiaku gelandangan apabila
dilihat latar belakang sosial budaya sesuai point 1.
Dari gambaran di atas diharapkan dapat memperoleh jaian
yang
lebih cocok. untuk mengadakan
perubahan
periiaku
tindakannya lebih enak didengar dan dilihat oleh
masyarakat
pada umumnya.
Dari kedua segi tersebut diharapkan akan memberi
acuan
pada
pemerintah
dalam
rangka
menanggulangi
masalah
gelandangan
dan
sejenisnya. Hal ini merupakan
salah
satu
BAB V
DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAH
A. DISKUSI
1. Dari analisis data tentang hubungan antara aspirasi
gelandangan dengan perubahan periiaku, diperoleh hasil bahwa
ada perbedaan perubahan periiaku antara gelandangan yang
berasprirasi
dengan
gelandangan
yang
tidak
beraspirasi..
Gelandangan
yang
beraspirasi
itu
lebih
cenderung
untuk.
merubah sikap. Hal ini pada umumnya apabila seseorang
mempunyai
cita-cita masa depannya, justru cita-cita
itulah
sebagai
pendorong
baginya.
Dan
cita-cita
itulah
juga
merupakan
salah
satu motivasi diharapkan
mereka
mengenai
potensi yang ada pada dirinya sehingga terbuka keinginan dan
berusaha untuk hidup lebih baik.
Perbedaan perubahan periiaku tersebut dapat ditinjau
dari:
a.. Latar belakang pekerjaan di daerah asal, yang
terdiri
dari petani dan non petani. Petani
yang
mempunyai
cita-cita masa depan dan ingin merubah sikapnya berjumlah
175
71%
yang
terdiri. dari 43%
cita-cita
terhadap
pendidikan
anaknya dan 28% cita-cita terhadap pekerjaannya. Sedangkan
petani yang tidak beraspirasi berjumlah 29%.
P etani yang be rasp iras i pada umurnnya mern i1Iki fa kto r yang
kuat untuk merubah sikapnya, seperti apa yang diutarakan
o.eh salah satu responden antara lain:
"Saya ini hanya me mpu nyaI anak dua, j ika anak say a
sampai. tidak sekolah dan nantinya tidak bekerja seperti
orang-orang lain di kota, saya akan merasa menyesal dan berdosa sampai mat! „ Saya ingin anak-anak saya jam gan
menu run nasib orang tuanya, bodoh, miskin tak punya
apa-apa.
Adanya saya nekat pergi dari
kampung,
untuk
mencari pekerjaan sedapatnya demi anak di hari depannya
dan untuk hidup sekeluarga".
(C.,L. No.8, wawancara tanggal 12 Agustus 1989).
Dari jawaban responden dapat disimpulkan bahwa mereka adanya
bersikeras
pergi
ke Jakarta, bertujuan
untuk
memperbaiki
h:'.dupnya , sehingga
dapat memenu hi
kebu tu han
pokok
untu k
sekeluarga. Lain
halnya
bagi non petani,
mereka
sebagian
besar penganggur. Oleh karena Itu mereka lebih cenderung
untuk merubah nasibnya dan berniat untuk meninggalkan
kampungnya,
walaupun
be1urn
tahu di.
mana
tempat
tinggai.
mereka nanti.
176
pemulung, pengemis dan yang bekerja lainnya (acakan).
Responden yang bekerja sebagai pemulung dan pengemis seperti
tampak pada data, lebih banyak mempunyai aspirasi dan
cenderung untuk merubah sikapnya dibandingkan dengan mereka
yang
tidak mempunyai aspirasi.'Hal ini dapat didengar
dari
keterangan responden yang berasal dari Brebes katanya:
".... Sinareng kesah dateng Jakarta, kula dangu-dangu dados pemulung. Kula remen sanget, sebab hasilipun
lumayan cekap ngangge nyekolahaken anak-anak Ian menawi
saged sekedik-sekedi k semah kula bade sadeyan
(dagang.)
wonten dusun kangge imbet-imbet. Menawi kula tetep
wonten mriki kemawon, pados modal kangge ngelaraken
usaha dagang semah kula, supados rnboten rekaos sanget
anggenipun membiayai anak" (CL.No,12 wawancara
tanggal
26 Agus-cus 1989) .Sedangkan
bagi
responden yang
tidak
mempunyai
aspirasi,
umumnya
orang
yang sudah putus asa atau
orang
yang
usia
lanjut.
Yang jelas bagi mereka yang muda-muda
sudah
tidak.
mempunyai 'cita-cita karena terbawa dari sifat yang
pemalas,
yang
akhirnya
mereka tetap menjadi pengemis
atau
bekerja
lain yang dirasakan enak baginya. Pekerjaan pengemis
adalah
suatu
pekerjaan yang paling mudah untuk.
ditempuh,
seperti
177
"Duiu saya seorang kuli jaian di Bogor, ayah saya
senang judi, ibu saya sudah meninggal, sedangkan saya tidak punya saudara hidup sendiri disini. Untuk apa saya bekerja, lebih baik saya minta kepada orang yang mau memberi, masak seluas Jakarta tidak ada orang satupun yang memberi makan kepada saya".
(LC. No.47, wawancara tanggal 27 Oktober 1989).
Dari hasil dialog ini jelas bahwa pengemis mempunyai
sifat yang menonjol yaitu pemalas, bebas, hidupnya tidak mau
dlganggu, kadang-kadang karena putus asa.
c. Kegiatan-kegiatan di lokasi, yang terdiri dari
responden yang selalu mengikuti kegiatan dan responden yang
tidak
pernah
mengikuti
kegiatan.
Responden
yang
selalu
mengikuti kegiatan di lokasi umumnya mempunyai aspirasi
dan
cenderung untuk merubah sikapnya, yaitu berjumlah 75% yang
terdiri dari 40% cita-cita terhadap pendidikan anaknya dan
3 0% terhadap pekerjaannya. Sedangkan 30 % responden yang
tidak pernah mengikuti kegiatan. Dengan mengikuti kegiatan
berarti akan memberi kesempatan untuk bertukar pikiran,
tukar pengalaman sehingga bertambah pengetahuan mereka,
ssperti keterangan salah satu responden sebagai berikut:
"Setiap pertemuan atau kumpul-kumpul dengan bos, saya sering mendapat nasehat, dia selalu mejnperhati kan anggotanya. Agar tidak kena penyakit, maka kita semua
disuruh memakai sarung tangan, jlka tidak punya supaya
memakai kantong plastik, sebab kalau sakit tidak dapat
178
berita di radio, supaya mengetahui keadaan dunia luar".
(C.L. No.17, wawancara tanggal 3 September 1989).
Sedangkan
bagi.
responden
yang
tidak
pernah
mengikuti
kegiatan
apa-apa,
sering ketinggalan dalam
hal
kemajuan,
baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman.
d. Cara berinteraksi dengan tetangga, yang terdiri dari
responden
yang cara berinteraksi baik dan yang tidak
baik.
Responden
yang cara berinteraksi balk, mempunyai
aspirasi,
cenderung untuk merubah sikapnya ini berjumlah 67%,
sedangkan mereka berinteraksi baik tetapi tidak
beraspirasi
ada 33%. Mereka yang berinteraksi balk, beraspirasi serta
cenderung untuk merubah sikapnya, karena rrempunyai indikator
yang
kuat
yaitu sama dengan mereka yang
selalu
mengikuti
kegiatan di lokasi tersebut, dengan berinteraksi baik, maka
untuk mempermudah mendapatkan inforinasi atau pengalaman yang
mendorong dalam meningkatkan usahanya, sehingga akan
tercapal clta-citanya.
2. Dari analisa data tentang hubungan antara latar
belakang pendidikan dengan perubahan periiaku, ternyata
ada
perbedaan antara responden yang berpendidikan tinggi
dengan
be rpendid ikari. D i s Ini respon den yan g mempunyi atar
belakang pendidikan rendah banyak juga yang cenderung
untuk
rnertbah
sikap atau nasibnya, apalagi mereka
yang
memiliki
iatc.r bela<ang pendidikan yang tinggi. Justru mereka yaanq
berpendidi<an
rendah,
harus lebih tekun
dan
raj in
serta
mau
menerima
saran-saran
dari
orang
lain
,
demi
meningkatnya usaha mereka, sebagaimana penjelasah responden:
"Kula
rumaos
tiyang
bodo, yen
mboten
sregep
mirengaken
nasehat utawi tumut tukar pikiran kaliyan konco-konco,,
kula
mboten
saget
majeng/tambah
hasilipun".
(C.L.No.
21.,
wawancara tanggal 7 September 1989).
DI
antara
para
responden
yang
pernah
mengikuti
pen yu luhan
atau ku rsu s- ku rsu s mau pu n 1ai. nnya yan g sIfatnya
menambah pengetahuan hanya ada beberapa orang saja, dan
iru.
tidak dapat dikembangkan atau ditularkan kepada orang
lain,
sebab
minat
serta
orangnya tidak
ada.
sebagaimana
kata
responden :"Ku 1a
rumiyen
tuinu t penyu 1uhan 'KB'
Ing
dusun ,
nanging
ing
mrlki.
mboten
saget
kula
tularaken
hasil
penyuluhanipun,
sebab katah-katah warga mriki namung
gadah
180
sami dipun tilar wonten dusun." (C.L. No.31, wawancara
tanggal 2 Oktober 1989).
Responden yang mempunyai pendidikan rendah lebih banyak
cenderung untuk merubah sikap atau merubah nasibnya, karena
roe rasa sudah bosan dengan kehidupan yang serba susah atau
miskin. Namun demikian mereka maslr mempunyai semangat besar
untuk memperbaiki hidupnya yaitu dengan tidak bosan-bosan
belajar
sendiri atau mencari pengalaman kepada
orang
lain
untuk meningkatkan usahan/a, cocok dengan keterangan
responden yang mengatakan:"Saya hanya sebagai pemulung,
dan
tidak ada pelajaran khusus mengena:. pekerjaan pemulung, maka
saya harus raj in mencari pengalaman balk itu dari pengalaman
orang
lain
maupun dari pengalaman saya
sendiri,
sehingga
pengalaman itu menjadi kenyataan yang menghasilkan pekerjaan
yang
saya
senangi, karena dari pekerjaan
ini
saya
dapat
menghidupi
keluarga saya." (C ., L-No. 2, wawancara
tanggal
2
Agustus 1989).
Adapun
responden
yang
msmiliki
latar
belakang
pendidikan
tinggi
sangat
terbtas
sekali,
apalagi
yang
181
responden yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi ada
1 orang menjadi lapak, 6 orang jadi pemulung, dan 3 orang
lag! bekerja tidak menentu. Dan secara kebetulan ada
keseimbangan
antara
yang
cenderung
untuk
merubah
sikap
dengan
yang
Ingin mempertahankan. hanya
dalam
mengadakan
perubahan periiaku mereka memakai akal dan persepsi sendiri,
seperti halnya informasi dari seorang responden yang
kebetulan menjadi lapak mengatakan:"Memang saya orang
gelandangan,
akan tetapi untuk
mengumpulkan
barang-barang
bekas,
saya tidak mau capek maka dari Itu saya
menghubungl
sarnpah-sampah pabrik, ada tiga pabrlk yang hubungl , sehingga
anak buah saya tinggal memilih sampah-sampah menurut
jenisnya. Maka dari Itu saya tidak perlu banyak anak buah,
cukup 15 orang saja, yang penting pikiran saya jaian."
('C.L-no. 5, wawancara tanggal 11 Agustus 1989).
Oleh karena itu faktor pendidikan sangat mendukung
sekali dalam perubahan periiaku.
3. Dari analisa data tentang hubungan antara latar
belakang status sosial ekonomi perubahan periiaku,
ternyata
IS"-status sosial ekonomi balk dengan responden yang mempunyai
latar
belakang
status sosial ekonomi kurang
baik.
Mereka
yang memiliki latar belakang status sosial ekonomi balk pada
umumnya lebih cenderung untuk merubah sikap atau memperbaiki
status
tersebut,
sudah ada
sarana-sarana
yang
tersedia,
sebagaimana diutarakan oleh seorang responden:
"Kalau saya ingat waktu dulu bu, ketika belum mempunyai
pekerjaan
tetap, rasanya tak ingin hidup, akan
tetapi.
setelah ketemu jaiannya, walaupun bekerja sebagai pemulung saya sudah puas. Tidak sampai dua tahun saya mencoba untuk menjadi lapak dengan anggota berjumlah 35
orang,
dan
berhasil. Dan Ini
saya
ingin
memperluas
usaha
saya di jaian Cacing, mungkin bulan depan
sudah
saya
mulai
karena
modal sudah
cukup."
(C.L.
No.3,
wawancara tanggal 6 September 1989).
Lain halnya dengan responden yang Ingin
mempertahankan
sikapnya, karena sudah ouas dengan apa yang dla capai
seka
rang, dan merasa cukup untuk menghidupi anak dan keluarganya
baik untuk waktu sekarang maupun untuk hari depannya,hal ini
diucapkan oleh seorang responden yang memiliki status sosial
ekonomi balk, tetapi tidak mau merubah sikapnya:
"Hidup
tidak
usah ngoyo bu, kalau sudah
cukup
untuk
makan seharl-harl dengan keluarga, dan biaya sekolah
anak-anak, akan apa lagi. Syukur-syukur dapat
menolong
Saudara,
tetangga dan lainnya."(C.L.
no.7,
wawancara
183
Sebagian besar responden yang memiliki latar belakang
status sosial ekonomi baik maupun yang kurang balk, akan
cenderung merubah sikapnya, baik ditinjau dari pekerjaan
asal, pekerjaan sekarang, dengan mengikuti kegiatan di
lokasi dan cara berinteraksi dengan ~etangga.
Bag! responden yang pada dasarnya di desa sebagai
petani miskin dan sekarang juga sebagai responden yang
memiliki latar belakang status sosial ekonomi kurang baik
atau lemah, mempunyai minat juga untuk merubah sikapnya atau
nasibnya- Dan diantara mereka sebagian besar tidak mau
pulang ke kampung, meskipun sama-sama menyandang kemiskinan,
ctlasan mereka diutarakan waktu wawancara antara Iain:
"Memang di desa saya sering lapar, tetapi disini saya selalu
bisa mengisi perut." (C.L.no. 53, wawancara tanggal 24
Oktober
1989).,
Ini
suatu
peningkatan
ekonomi
sedikit.,
walaupun mereka menjadi gelandangan. Maka jelaskah bahwa
rangsangan
ekonomi
langsung bagi
;erciptanya
perpindahan
penduduk dari desa ke kota memang sangat kuat.
Kalau melihat data yang ada, maka di antara 50
responden yang mempunyai status ekonomi balk ada 31 orang
184
kurang balk berjumlah 19 orang. Akan tetapi dIantara yang
mempunyai latar belakang status sosial ekonomi baik ada dua
orang lapak yang lebih baik status sosial ekonominya
dibandingkan dengan yang lainnya, menurut ukuran orang
gelandangan.
Responden yang memiliki latar belakang status sosial
ekonomi kurang balk, lebih kuat untuk cenderung merubah
sikap dan nasibnya, karena mengingat hidup yang serba sullt
itu akan mendorong mereka untuk lebih giat dalam melakukan
pekerjaan supaya lebih meningkat hasilnya, apalagi bila
mereka mempunyai cita-cita masa depannya balk cita-cita masa.
depan pendidikan anaknya ataupun bagi pekerjaan mereka
send!ri.
B. KESIMPULAN.
Berdasarkan analisa data maupun hasil penelitian
sebagaimana diuraikan pada. bab IV, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain adalah:
1. Dilihat dari aspirasi (cita-cita masa depan) gelandangan,
maka sebagian besar mereka mempunyai aspirasi. Cita-cita masa
185
pekerjaan mereka sendiri untuk meningkatkan usahanya. Dalam hal
ini pada umumnya yang mempunyai aspirasi itu adalah yang
dahulunya tidak mempunyai pekerjaan (penganggur), yang masih
bujangan ataupun mereka yang sangat miskin. Sedangkan yang
tidak mempunyai aspirasi atau tidak mempunyai cita-cita adalah
mereka-mereka yang sudah usia lanjut dan orang yang sudah tidak
mempunyai saudara lagi, dan mereka yang putus harapan.
Kalau melihat hasil. penelitian, yang mempunyai cita-cita rnasa
depannya berjumlah 64% yang terdiri dari 30% cita-cita terhadap
pendidikan anaknya dan 34% cita-cita terhadap pekerjaan mereka,
sedangkan yang tidak beraspirasi berjumlah 36%.
Kalau
ditinjau dari perubahan sikap atau
nasibnya,
maka
sebagian
besar
mereka
cenderung
ingin
merubahnya.
Selain
responden
yang tadinya menganggur, juga responden yang
selalu
mengikuti kegiatan, cara berinteraksi baik, dengan tetangga maka
keinginan
untuk
cenderung merubah sikap/nasib
sangat
besar,,
mereka selalu bertukar pikiran maupun bertukar pengalaman
sehingga
manambah
pengetahuan dan terbukalah
pikiran
mereka
untuk berfikir kehidupan yang akan datang. Dengan jaian
186
hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak akan tercapai.
2. Apabila ditinjau dari latar belakang pendidikan, memang
mereka sebagain besar memiliki pendidikan yang rendah, justru
ada yang sama sekali tidak berpendidikan balk formal maupun
onfromal. Diantara responden yang memiliki pendidikan tinggi
hanya 10 orang dan yang memiliki pendidikan rendah berjumlah 40
orang. Kalau ditinjau dari perubahan perilakunya maka:
a. Menurut pekerjaan di. daerah asal. Untuk petani dan non
petani
yang
berpendidikan
tinggi
cenderung
akan
merubah
sikap/nasibnya yaitu berturut-turut berjumlah 60% dan 80%, yang
ingin
mempertahankan atau tidak merubah sikap/nasib
berturut-turut adalah 40% dan 20%. Petani dan non petani yang
berpendldlkan rendah cenderung merubah sikap/nasib
berturut-turut berjumlah 55% dan 60%. sebaliknya yang cenderung tidak
ingin merubah sikap/nasib berjumlah 45% dan 40%. Jadi ternyata
responden yang memiliki pendidikan tinggi lebih cenderung untuk
merubah sikap dari pada yang berpendldlkan rendah.
b. Menurut pekerjaan sekarang. Pemulung/lapak, pengemis
dan yang bekerja lainya memiliki pendidikan tinggi cenderung
187
sebaliknya yang cenderung tidak. merubah sikap/nasib
berturut-turut berjumlah 25%, 33%, dan 33%. Pemulung/lapak, pengemis,,
dan yang bekerja lainya yang berpendldlkan rendah serta
cenderung ingin merubah sikap/nasib berturut-turut berjumlah
68%, 78%, dan 67%, sedangkan yang tidak ingin merubah
sikap/nasib berturut-turut berjumlah 32%, 22%, dan 33%..
Ternyata mereka yang memiliki pendidikan tinggi lebih cenderung
untuk merubah sikap/nasib, karena lebih perseosi dari pada yang
berpendldlkan rendah.
c. Dilihat mereka yang ikut kegiatan-kegiatan di lokasi,
maka kelompok yang sering mengikuti kegiatan-kegiatan dan yang
tidak
pernah
mengikuti kegiatan di lokasi, dan
yang memiliki
pendidikan tinggi, yang cenderung ingin merubah
slkap/nasibnya
berjumlah secara berturutan adalah 83% dan 75%. Sebaliknya yang
tidak ingin merubah sikap/nasibnya berjumlah 17% dan 25%. Dan
kedua kelompok yang mengikuti kegiatan dan yang tidak pernah
mengikuti. kegiatan di lokasi, serta memiliki oendidikan rendah.,
maka yang cenderung untuk merubah sikap/nasib berturut-turut
berjumlah 58% dan 50%, sebaliknya yang tidak ingin merubah
188
ikut/tidaknya
kegiatan di lokasi, maka responden yang
meiliki
pendidikan
tinggi dan sering mengikuti kegiatan di lokasi
itu
yang cenderung Ingin merubah sikap/perllaku.
d. Di tlnjau dari cara berinteraksi dengan tetangga, yaitu
yang berinteraksi baik dan yang tidak balk-. Kedua kelompok
tersebut yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi serta.
yang ingin merubah sikap/nasibnya berturut-turut berjumlah 67%
dan 50%, sebaliknya yang ingin mempertahankan atau tidak
merubah sikap dan nasibnya berjumlah 33% dan 50%. Adapun dari
kedua kelompok itu yang memiliki pendidikan rendah justru lebih
cenderung untuk merubah sikap/nasibnya, yaitu berjumlah 67% dan
40%, sebaliknya yang tidak ingin merubah sikapnya berjumlah 33%
dan 60%. Jadi kesimpulannya bahwa data menunjukkan kalau
responden yang memiliki pendidikan tinggi, banyak yang
berinteraksi baik, banyak yang ingin merubah sikap/nasib,
sedang yang berinteraksi kurang baik dan berpendldlkan
tinggi,
seimbang.
3. Ditinjau dari latar balakang status sosial ekonomi dengan
perubahan oerilaku, ternyata ada perbedaan antara responden
189
dengan yang memiliki latar belakang star.js sosial ekonomi
kurang balk. Pada umumnya yang memiliki latar belakang status
sosial ekonomi baik, lebih cenderung untuk merubah
sikap/nasibnya dIbandingkan dengan responden yang status sosial
e ko n o m Iny a k u ra n g b a i k
-Respon den yang mem i1ik i statu s sosia1 ekonomI baik,
berjumlah 31 orang dan memiliki status sosial ekonomi kurang
baik 19 orang. Ada perbedaannya dari kedua kelompok tersebut,
hal ini dapat dilihat dari perubahan pe ri1a kunya yain g d 111nja u
a,. Menurut pekerjaan di daerah asal, dimana petani dan non
petani yang memiliki latar belakang status sosial. ekonomi baik
serta yang cenderung merubah sikap berturut-turut adalah 56%
dan 67% yang berarti responden yang termasuk kelompok ini dan
11dak ing in me ruba h s I. kap be rjum1a h 44% dan 33%.. Sedangka n
petani dan non petani yang memiliki latar belakang status
sosial ekonomi kurang balk, cenderung untuk merubah sikap/nasib
berjumlah 22% dan 60%.Sebaliknya yang tidak Ingin merubah sikap
/nasib berjumlah 78% dan 40%-Jadi dalam peruoahan periiaku yang
1.90
status sosial ekonomi. baik ingin berubah si kap/per 1 laku cari.
p ada yarig me mpuriya I status s os Ia I e kono rn 1. ku rang ba 1k
-b. Menurut pekerjaan sekarang, maka pemulung/lapak,
p3ngem 1s .. dan yang be ke rja 1a 1. nnya dan yang mem punya 3 1. ata
-belakang status sosial ekonomi baik, cenderung meruban
s ikap/n as 1. b be rtu rut-tu rut be rjum1a h 79%, 88%, dan 75% .,
sedangkan yang tidak menghendakl perubahan sikap/nasib
berjumlah 11%, 12%, dan 25%., Sebaliknya para pemu lung/lapak ,
pengemis dan yang be ke rja la Inya , yang mem 111 kI 1. ata
balakang status sosial. ekonomi kurang balk, cenderung meruban
sikap/nasib berurutan sebagai berikut 50%, 50%, dan 60%,