SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNO LOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR SURABAYA
SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR SURABAYA
Halaman
J. Analisa Kelayakan Finansial ………. 22
C. Alat ……… 29
D. Metode Penelitian ………. 30
E. Parameter ……….. 33
F. Prosedur Penelitian ……….. 34
BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN ………. 38
A. Hasil Analisa Bahan Baku ……… 38
B. Hasil Analisa Bakso Sintetis ………... 38
B. Saran ……… 65 DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Daftar Komposisi Asam amino Gluten ……… 6
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai ………. 15
Tabel 2.3 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis . 15 Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen ……… 18
Tabel 2.5 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen………. 18
Tabel 2.6. Komposisi Kimia Tepung Tapioka ... 20
Tabel 4.1. Hasil Analisa bahan baku Tepung Kedelai………. 38
Tabel 4.2. Rerata kadar air bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ………. 39
Tabel 4.3. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh proporsi gluten : tepung kedelai ……… 41
Tabel 4.4. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh penambahan minyak wijen……….. 42
Tabel 4.5. Rerata kadar lemak bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 43
Tabel 4.6. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai ………. 45
Tabel 4.7. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil pengaruh penambahan minyak wijen ………. 45
Tabel 4.8. Rerata WHC bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 46
Tabel 4.9. Nilai rata –rata rendemen bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 48
Tabel 4.10. Rerata tekstur bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……… 50
Tabel 4.11. Nilai rata-rata uji kesukaan rasa bakso ………. 53
Tabel 4.12. Nilai rata-rata uji kesukaan warna bakso ………. 54
Tabel 4.13. Nilai rata-rata uji kesukaan tekstur bakso ……… 56
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten ……….. 7 Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis ……… 14 Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai ………. 16 Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992)… 35 Gambar 6. Diagram alir pembuatan bakso sintetis gluten – kedelai ….. 37 Gambar 7. Hubungan antara penambahan tepung kedelai
dan minyak wijen terhadap kadar air bakso sintetis ……….. 40 Gambar 8. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap kadar protein bakso sintetis ……... 43 Gambar 9. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap WHC bakso sintetis ………... 47 Gambar 10. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap rendemen protein bakso sintetis …… 49 Gambar 11. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap tektur bakso sintetis ………. 51
Lampiran 2. Lembar Kuisioner.
Lampiran 3. Perincian Hasil Analisa Kadar Air Lampiran 4. Perincian Hasil Analisa Kadar Protein Lampiran 5. Perincian Hasil Analisa Kadar Lemak Lampiran 6. Perincian Hasil Analisa Kadar Pati Lampiran 7. Perincian Hasil Analisa Kekenyalan Lampiran 8. Perincian Hasil Analisa Kadar Rendemen Lampiran 9. Hasil analisa tekstur (mm/gr.dtk)
Lampiran 10. Uji Organoleptik Rasa Lampiran 11. Uji Organoleptik Warna Lampiran 12. Uji Organoleptik Tekstur
Lampiran 13. Perincian Data kapasitas Bakso Sintetis Lampiran 14. Penghitungan Modal Perusahaan
Lampiran 15. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun Lampiran 16. Perhitungan Keuntungan Produksi Bakso Sintetis
Lampiran 17. Perhitungan Payback Period dan Break Event Point Produksi Bakso Lampiran 18. Laju Pengembalian Modal
Lampiran 19. Net Present Value dan Gross B/C
APRIANTI RAHMADANI NPM : 0733010021
INTISARI
Bakso daging sintetis merupakan salah satu produk yang dibuat dengan menggunakan bahan – bahan protein nabati, dalam hal ini adalah gluten yang ditambahkan dengan bahan lain untuk meningkatkan nilai gizinya. Pada pembuatan bakso sintetis ini, dilakukan penambahan tepung kedelai dan minyak wijen. Penggunaan kedua bahan inni bertujuan untuk menciptakan suatu produk bakso yang memiliki kadar protein tinggi, cita rasa dan tekstur yang disukai konsumen. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor pertama proporsi gluten : tepung kedelai (80:20,70:30 dan 60:40) dan faktor kedua : penambahan minyak wijen ( 5%, 10%, 15%).
A. Latar Belakang
Bakso merupakan jenis makanan yang sangat popular di Indonesia, ditemui di restoran sampai pedagang keliling. Di negara lain produk sejenis bakso dikenal dengan nama “meatball”. Beberapa istilah yang diberikan menurut Fulton,1983 antara lain: party meatballs, polpette (Italian meatballs), Morrocan
meatballs, Konigsberger klopse (meatball in Lemon and Caper Sauce), Curried
koptas (Indian meatball), Porcupines, Smoked Chinese meatballs, Swedish
meatball (Hamilton,1977) dan Ninh Hoa Grilled meatballs (Doung dan Kiesel,1981).
Bakso biasanya terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan – bahan lainnya, dibentuk bulatan – bulatan, dan selanjutnya direbus. Daging yang digunakan biasanya berupa daging sapi ataupun ayam, akan tetapi saat ini mulai terjadi pergeseran gaya hidup masyarakat dimana masyarakat mulai sadar untuk memperhatikan pola makan mereka. Banyak orang yang sekarang mulai mengurangi mengkonsumsi daging untuk menghindari kolesterol yang dapat menyebabkan penyakit jantung maupun darah tinggi sehingga sekarang orang beralih ke makanan yang berasal dari nabati (vegetarian).
memberikan variasi pengolahan bakso sekaligus memenuhi pola makan bagi para vegetarian.
Daging sintetis sebagai bahan baku bakso sintetis, sebagian besar terbuat dari protein kedelai, konsentrat atau isolat protein kedelai, yang diproses menjadi protein pekar (Texturized Vegetable Protein) atau protein pintal dengan penambahan bahan pengikat, flavour, pewarna, stabillizer, dan suplementasi zat gizi (Wolf dan Cowan,1971 dalam Koswara 1995) dan produk – produknya dapat berupa bacon sintetis, daging asap sintetis, ham sintetis, dll (Koswara,1995).
Pembuatan daging sintetis dari protein kedelai memerlukan proses yang rumit dan sampai saat ini produk – produk daging sintetis dari protein kedelai harga jualnya cukup tinggi. Oleh karena itu, diupayakan pembuatan daging sintetis dari bahan yang sama tetapi dengan metode yang lebih sederhana. Pembuatan bakso sintetis sebelumnya pernah dibuat dengan menggunakan gluten dan tepung tempe (Kurniawati,2009). Namun pembuatan bakso sintetis yang akan dipergunakan pada penelitian ini yaitu pembuatan bakso sintetis dari proporsi antara tepung kedelai : gluten dan minyak wijen. Penggunaan gluten dan tepung kedelai dimaksudkan untuk meningkatkan nilai gizi bakso yang dihasilkan sedangkan penggunaan minyak wijen ini untuk memperbaiki citarasa, tekstur, dan menambah nilai gizi bakso sintetis.
B. Tujuan Penelitian
• Mempelajari pengaruh proporsi tepung kedelai : gluten dengan minyak
• Mendapatkan perlakuan terbaik dari penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen untuk menghasilkan bakso sintetis yang bermutu baik, disukai konsumen dan memiliki kadar protein yang tinggi
C. Manfaat Penelitian
A. Bakso
Salah satu jenis produk olahan daging yang mempunyai aseptabilitas dan nilai gizi yang cukup tinggi adalah bakso. Bakso merupakan salah satu produk hasil pengolahan daging. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging (ikan, sapi, dan lain - lain), tepung tapioka, dan bumbu - bumbu yaitu: garam, lada, dan bawang putih (Wibowo, 1995).
Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, terjadi bila emulsifier lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat membantu terjadinya dispersi minyak dalarn air (o/w), sehingga bakso bersifat elastis (Soeparno, 1992).
B. Bakso sintetis
1. Daging sintetis dari gluten
Gluten pertama kali ditemukan pada awal abad ke -7 M oleh Pendeta Budha di Tiongkok. Ketika itu para pendeta yang enggan meninggalkan kelezatan daging berupaya keras menemukan protein nabati sebagai subtitusi daging karena di dataran tiongkok banyak terdapat lahan gandum. Para pendeta tersebut akhirnya bereksperimen dengan membuat adonan sederhana dari tepung gandum dan air. Saat meremas dan mengolah adonan itu dalam bak air, mereka menemukan sesuatu yang baru. Ternyata tepung kanji itu hanyut di dalam air. Semakin keras digiling dan diremas, semakin banyak tepung kanji yang terpisah dan larut dalam air. Hasilnya , tersisa sebuah bahan yang kenyal dan mengandung protein yang cukup tinggi. Setelah dimasak dengan kaldu beraneka rasa selama beberapa waktu, bahan kenyal yang kemudian dikenal dengan nama gluten ini berubah wujud menjadi bahan bertekstur lembut mirip daging.
dalam bentuk kering maupun basah. Gluten basah mempunyai daya simpan terbatas karena mudah ditumbuhi mikroba, sementara gluten kering lebih tahan. Baik gluten basah maupun kering mempunyai kandungan nutrisi sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Daftar Komposisi Gluten
Air (%) Protein(%) Lemak(%) Karbohidrat(%)
Gluten basah 70 22 2 6
Gluten kering 10 72 4 14
Sumber: Buckle,1987
Pada Tabel 2.1 diketahui bahwa kadar air gluten basah lebih tinggi daripada gluten kering, karena alasan tersebut maka glutan basah memiliki daya simpan terbatas. Selain itu, kandungan nutrisi gluten kering lebih tinggi bila dibandingkan dengan gluten basah sehingga dalam pembuatan daging sintetis lebih banyak digunakan gluten kering.
Tabel 2.2. Daftar Komposisi Asam Amino Gluten (gm per16 gm N)
Kandungan Gliadin Glutenin
Menurut Suhardi (1988), ikatan disulfida dalam gluten gandum berperan
penting dalam pembentukan ikatan penghubung (crosslinking) rantai – rantai polipeptida. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Pembentukan ikatan penghubung gluten
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten (Mc Williams,2001) Pembentukan ikatan disulfida dalam suatu peptida melibatkan 2 tahap:
• Tahap 1 : oksidasi gugus sulfihidril untuk membentuk sulfida.
• Tahap 2 : pengaturan kembali ikatan sehingga membentuk struktur Intramolekuler
(protein gandum)
Intramolekuler & crosslink linear (glutenin gandum)
-S-S- -S-S- -S-S-
-S-S- -S-S-
-S-S- --
-S-S-
Ikatan disulfida berpindah dari satu posisi ke posisi lain melalui reaksi pertukaran disulfida. Ikatan disulfida ini menyebabkan struktur menjadi lebih kompak dan elastis (Mc Gilvery,1975). Adanya ikatan disulfida inilah yang menyebabkan adonan menjadi elastis. Segera setelah gluten mengembang dalam adonan, gluten dapat dipisahkan dari konstituen lain dalam tepung terutama butir – butir pati yang ada pada tepung dengan jalan mencucinya dalam air dingin. Dari hasil pencucian diperoleh gluten kasar yang masih mengandung sedikit butir – butir pati dan 2/3 bagian air.
Pembuatan daging sintetis dari gluten ini pada awalnya menggunakan tepung gandum (terigu) yang ditambahkan dengan kedelai dan albumin (putih telur) akan tetapi pada perkembangannya daging sintetis dibuat dengan menggunakan isolat protein kedelai (Whittaker,1977).
2. Daging sintetis dari kedelai
Daging sintesis dari kedelai bisa terbuat dari tepung, konsentrat, dan isolat protein kedelai. Produk ini pertama kali dibuat oleh Husden dan Hoer tahun 1972. Untuk membuat daging tiruan, tepung, konsentrat, maupun isolat protein kedelai terlebih dahulu diolah menjadi protein pekar (TVP / Texturized Vegetable Protein) atau protein pintal (SPV / Spun Vegetable Protein). Protein
pekar dan pintal merupakan daging tiruan dalam bentuk kering (Uransyah,2011).
mengandung lemak hewani dan harganya lebih murah. Dibandingkan dengan daging asli, daging tiruan mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain: • lebih homogen dan tahan lama disimpan (dalam bentuk keringnya)
• dapat dibuat tidak mengandung lemak hewani atau kolesterol
• tinggi kandungan asam lemak tidak jenuhnya sehingga baik untuk
kesehatan dan harganya lebih murah (30 - 50 persen harga daging asli) • teksturnya dapat dirasakan oleh mulut sebagai butiran atau serabut daging
asli
• kekerasan atau keempukannya dapat diatur menurut kehendak konsumen
dengan mengatur penambahan air
• dapat menyerap sari daging (yang biasanya keluar jika daging asli
dimasak) jika dicampur dengan daging asli dan dimasak
• dapat diolah menjadi berbagai produk olahan daging seperti sosis, sarung
sosis (cassing), hamburger, daging rendang, meat loaf, meat ball, beef steak, bakso, opor dan produk-produk lainnya.(Santoso,2005)
exchange zone (sejenis ekstruder bertekanan tinggi) dan keluar melalui lubang-lubang dengan diameter 1 mm sehingga terbentuk serabut - serabut protein kedelai yang kemudian diikuti dengan pendinginan. Selanjutnya dilakukan pengeringan sampai kadar air 5 - 7 persen, lalu dibuat butiran atau tepung, dikemas dan disimpan (Uransyah, 2011).
Protein pintal umumnya dibuat dari isolat protein kedelai. Salah satu sifat yang sangat menarik dari isolat protein kedelai ialah kemampuannya untuk membentuk serat - serat atau benang-benang jika dipintal dalam larutan asam Proses inilah yang kemudian berkembang menjadi proses yang sangat penting dalam industri daging sintetis. (Santoso,2005).
Untuk membuatnya, mula-mula isolat protein kedelai dilarutkan dalam larutan natrium bikarbonat encer atau basa lain sehingga membentuk larutan kental. Kemudian cairan protein kental ini dipompa dan dilewatkan pada plat platina yang mempunyai beribu-ribu lubang dengan diameter 1 mm. Benang-benang protein yang terbentuk kemudian dilewatkan ke dalam larutan asam klorida encer sehingga membentuk benang - benang halus, ditarik dan dipintal (dalam alat pemintal khusus). Suhu air pencuci dapat diatur sesuai dengan tekstur daging tiruan yang diinginkan (Santoso,2005).
(direhidrasi) sehingga menyerap air sebanyak 2 -3 kali beratnya. Biasanya air yang ditambahkan dalam bentuk emulsi dengan minyak hewani atau nabati yang dapat dibuat dengan menggunakan emulsifier. (Santoso,2005)
Daging sintetis atau yang dikenal dengan nama meat analog, mempunyai beberapa keistimewaan antara lain gizi yang lebih baik, lebih homogen dan yang penting lagi lebih tahan simpan. Kadang – kadang bahkan tidak memerlukan penyimpanan dingin, dan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mengandung lemak hewani, sedang harganya dapat ditekan serendah mungkin (Koeswara,1995).
Karakter istik daging sintetis
Selama proses pengolahan atau pembuatan daging sintetis terjadi perubahan – perubahan baik secara kimia maupun fisik. Perubahan tersebut antara lain:
1. Perubahan Kadar Air (KA)
2. Perubahan Kadar Protein
Menurut Sudarmadji, dkk (1996), molekul protein tersusun atas mata rantai asam – asam amino. Asam amino merupakan senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksi (- COOH) dan gugus amino (-NH2). Asam
amino yang berbeda – beda akan berikatan melalui suatu ikatan peptide. 3. Perubahan Tekstur
Perubahan kadar air daging sintetis akan mempengaruhi tekstur daging sintetis yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi menyebabkan daging sintetis menjadi cenderung lunak. Selain itu, tingkat kekerasan daging sintetis dipengaruhi oleh kadar serat kasar daging sintetis. Serat kasar yang terdiri atas selulosa akan membentuk rantai yang panjang dan kaku dalam bahan pangan. Tekstur berserat pada daging sintetis disebabkan karena pembentukan benang – benang fibril oleh protein gluten jika ditambahkan dengan air (de Mann,1977).
4. Perubahan Cita Rasa
Proses pemanasan menyebabkan protein dalam bahan pangan mengalami perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain yang membentuk senyawa rasa (glutamine acid) (Sudarmadji,1996). Cita rasa daging sintetis disebabkan karena lemak yang ditambahkan (dalam hal ini adalah lemak nabati) karena lemak dapat meningkatkan kelezatan selain itu juga disebabkan oleh penggunaan bumbu – bumbu yang ditambahkan.
60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80: 20 dan tapioka 10%.
Tahapan pembuatan bakso sintetis campuran gluten – tempe adalah sebagai berikut:
a. Persiapan bahan
Menimbang bahan baku diantaranya gluten, tepung tempe ( gluten : tepung tempe = 80:20) dan tepung tapioka 10 % (b/b)
b. Pencampuran
Mencampur semua bahan dan penambahan bumbu – bumbu diaduk sampai terbentuk adonan.
c. Pencetakan
Adonan yang telah dicampur, dicatak berbentuk seperti bola – bola bakso dengan 15 gram perbutir.
d. Perebusan
Selanjutnya direbus dalam air mendidih sampai bakso mengapung atau masak. e. Penirisan dan pendinginan
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis (Kurniawati, 2011).
C. Tepung kedelai
Menurut Koswara (1992), tepung kedelai kaya akan kandungan asam amino lisin dan leusin. Tingginya asam amino ini berguna untuk menyempurnakan kandungan asam amino pada gluten yang rendah akan lisin (Inglett, 1974). Tepung kedelai memiliki kadar lesitin sebesar 20 – 22% (Hartomo,1992).
Tepung kedelai dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan kandungan lemaknya, yaitu tepung kedelai berlemak penuh dan tepung kedelai berlemak rendah. Dalam pembuatan tepung kedelai, proses pemanasan (perebusan, pengukusan, atau penyangraian) merupakan tahap penting.
Gluten : Tempe 80:20 70:30 60:40
Perebusan Adonan
Bakso sintetis Pencampuran
Pencetakkan
Pemanasan ini berakibat antitripsin dan enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif, sehingga tepungnya menjadi bergizi tinggi dan tidak berbau langu.
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai Jenis tepung
Sumber : Waggle dan Kolar (1979) dalam Winarno (2004)
Menurut Inglett (1972), Somaatmadja dkk (1985), dan Koswara (1992), tepung kedelai dapat digunakan sebagai bahan pembuat daging sintetis (bakso). Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fungsional pada protein kedelai seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis
Sifat fungsional Fungsi
Kohesi – adhesi* Bahan pengikat Pengikat flavor* Penyerapan Penyerapan dan
pengikat air**
Ikatan hidrogen dari H2O
Elastisitas ** Ikatan disulfide
Gel ** Pembentukan dan pengendapan matriks protein
Sumber : Kinsella (1979) dalam Somaatmadja dkk*(1985) dan Koswara**(1995)
Menurut Koswara (1995), pembuatan tepung kedelai adalah sebagai berikut:
a. Sortasi
b. Perendaman
Kedelai direndam selama 8 - 16 jam dan direbus 30 menit. Setelah itu, kedelai ditiriskan dan dipisahkan kulitnya.
c. Pengeringan
Kedelai dikeringkan dengan dijemur atau menggunakan oven dengan suhu 50 – 60 °C.
d. Penggilingan
Kedelai digiling halus sehingga diperoleh tepung kedelai.
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992). Penirisan dan pendinginan
Perendaman Sortasi
Perebusan Kedelai
Tepung Kedelai Penggilingan
D. Emulsi
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, yang molekul – molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tapi saling antagonistik. Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu:
1. Bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir – butir yang biasanya terdiri dari lemak.
2. Media pendispersi yang juga dikenal sebagai continous phase (terdiri dari air).
3. Emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air.
Senyawa ini molekul – molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan itu (Winarno, 2004).
E. Minyak wijen
Wijen (Sesamum indicum) dikenal juga dengan nama : till, gingelly, simsin dan ajonjoli (di Amerika Latin). Minyak wijen mengandung zat tidak
tersabunkan dalam jumlah relatif tinggi tetapi kandungan tertinggi adalah sterol dan zat – zat yang tidak dapat dipisahkan dengan pemurnian, sedangkan kadar bahan non minyak lainnya relatif rendah (Ketaren, 1986).
Minyak wijen mengandung kurang lebih 0,3 – 0,5 persen sesameoline fenol berikatan 1-4 yang dikenal sebagai sesamol dan sesamin sekitar 0,5- 0,1
antioksidan (Bailey, 1964). Minyak wijen juga mengandung asam – asam lemak yaitu oleat dan linoleat, palmitat, dan stearat dan jumlahnya dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen
Asam lemak Rumus Persen
Sumber : Hilditch (1974) dalam Ketaren (1986)
Tabel 2.6 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen
Karakteristik Syarat
Berat jenis pada 25°C 0,916-0,921
Indeks bias pada 25°C -1,4763
Bilangan Iod 103-112
tinggi yaitu sekitar 902 kalori/100 gr, wijen juga mengandung vitamin B1 dan
vitamin C yang berfungsi sebagai zat pelindung tubuh manusia (Ketaren, 1986).
F. Air
Air dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dalam sayuran dan produk hewani, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk yang diemulsi dan sebagai komponen tambahan dalam makanan lain (De Mann,1997).
Air berfungsi mendistribusikan komponen atau bahan dasar dari adonan yang homogen. Bila air yang digunakan terlampau sedikit akan menyebabkan adonan kaku dan kurang kohesif, sedangkan bila terlampau banyak akan meyebabkan adonan lembek sehingga tidak dapat dibentuk dan dicetak (Pomeranz, 1985).
G. Tepung tapioka
Bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah tapioka. Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15 % dari berat daging. Idealnya tepung tapioka yang ditambahkan sebanyak 10 % dari berat daging (Wibowo, 2006).
Tabel 2.7. Komposisi Kimia Tepung Tapioka
Pada pernbuatan bakso terjadi proses gelatinisasi dari tapioka yaitu yang rnempunyai sifat mudah menyerap air dan air yang diserap pada saat temperatur meningkat. Jika pati dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan granula ini mulai menggelembung. Ini terjadi saat suhu gelatinisasi tepung tapioka antara 52 - 64 0C (Winamo, 2004).
H. Bahan tambahan 1. Garam
Garam yang digunakan pada pengolahan makanan adalah NaCL (Natrium Chlorida). Penambahan garam pada pengolahan makanan bertujuan untuk menambah citarasa. Makanan yang kurang dari 0,3% NaCl akan terasa hambar dan kurang disenangi. Jumlah garam yang biasanya ditambahkan untuk konsumsi adalah 2,5 – 3% (Winarno, 2004).
2. Gula
dan D – fruktosa (De Mann,1997). Gula merupakan pemberi citarasa manis pada suatu bahan makanan (Wiriono, 1894).
3. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan umbi lapis yang juga berfungsi sebagai bumbu masak atau penyedap masakan, mempunyai aroma yang sedap karena adanya senyawa methyl – allyil – disulfide (Lamina, 1989). 4. Merica
Merica merupakan biji yang dihasilkan oleh tanaman lada (piperningrum) mempunyai 2 sifat khas yaitu aroma yang khas dan rasa pedas yang disebabkan oleh adanya zat piperanim. Piperanim dan chavicin, dua zat ini yang menyebabkan merica digunakan sebagai penyedap / peningkat rasa masakan (Rismunandar,1986).
I. Analisa Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1987).
Pada penelitian ini, pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada hasil analisa daging sintetis yang mempunyai mutu terbaik, baik dari segi fisik, kimia dan organoleptik.
J . Analisa Kelayakan Finansial
Analisa kelayakan financial adalah analisa yang melihat suatu proyek dari sudut lembaga atau badan – badan yang mempunyai kepentingan langsung dari proyek atau yang menanamkan modal ke dalam proyek tersebut. Analisa kelayakan adalah analisa yang ditunjukkan untuk meneliti suattu proyek layak atau tidak layak untuk proyek tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga dapat memenuhi syarat dapat berkembang atau tidak (Susanto dan Saneto,1994).
Pada penelitian ini, beberapa parameter yang digunakan dalam analisa finansial antara lain :
1. Br eak Even Point (BEP) (Susanto dan Saneto,1994).
Suatu analisis yang menunjukkan hubungan antara keuntungan, volume produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Even Point (BEP) .BEP ialah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai / hasil penjualan atau laba. Jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian.
penjualan, biaya produksi keseluruhan (biaya tetap + biaya tidak tetap) dan volume produksi .
Volume penjualan pokok dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : FC
BEP =
P – VC Keterangan :
BEP = Break Even Point FC = Biaya Tetap
VC = Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp) Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :
a. Biaya Titik Impas (BEP) Biaya Tetap BEP =
1 – (biaya tidak tetap / penjualan) b. Presentase
BEP (Rp)
BEP (%) = X 100 % Penjualan
c. Kapasitas Titik Impas (BEP Unit)
Kapasitas Titik Impas = persen titik impas x kapasitas produksi
2. Net Pr esent Value (NPV) (Susanto dan Saneto,1994).
perhitungan diperoleh nilai NPV lebih kecil dari 0 (nol) , maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
Bt - Ct Rumus NPV : NPV = ∑
( 1 + i ) t Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t t = 1, 2, 3, … , n
n = Umur ekonomis dari pada proyek i = Social discount rate
3. Payback Per iode (PP) (Susanto dan Saneto,1994).
Payback Periode (PP) merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode (PP) tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis.
I Rumus PP : PP =
Ab Keterangan :
I = Jumlah modal
Ab = Penerimaan bersih perbulan atau tahun 4. Inter nal Rate Of Return (Susanto dan Saneto,1994).
(modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih bila nilai IRR lebih besar dari nilai suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.
Rumus perhitungan IRR adalah sebagai berikut : NPV
IRR = i + ( i’ - i ) NPV – NPV’
Keterangan :
NPV = NPV positif hasil percobaan nilai NPV’ = NPV negative hasil percobaan nilai i = Tingkat bunga
5. Gr oss Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto,1994). Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan sekarang (present value) .
Pendapatan Nilai B/C Ratio =
Biaya produksi
K. Landasan Teori
suatu sistem dua fase yang terdiri dari suatu dispersi dua cairan yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain (Soeparno, 1992).
Mekanisme terjadinya emulsi bakso daging sapi yaitu adanya partikel protein dan air membentuk suatu matrik yang menyelubungi globula – globula lemak. Protein miofibrillar yaitu aktin dan myosin merupakan agensia pengemulsi pada daging sapi (Soeparno,1992).
Bakso sintetis harus memenuhi kriteria bakso daging sapi pada umumnya yaitu adanya mekanisme emulsi oil in water (o/w). Air sebagai fase pendispersi, lemak sebagai fase terdispersi dan lipoprotein sebagai emulsifier (pengemulsi) (Kurniawati,2009).
yang berasosiasi dengan lipid bertanggungjawab terhadap sifat – sifat kohesif dan viskositas adonan (Belitz dan Grosh,1987).
Kedelai ditambahkan dengan tepung terigu dan albumin pada putih telur digunakan sebagai meat analog sederhana (Whitaker, 1977). Kedelai dijuluki susu nabati dijadikan sumber dan bahan baku zat pengemulsi, kedelai memang kekurangan sistein dan metionin tetapi kaya lisin, leusin, asam glutamat dan arginina, bersaing dengan telur, susu, dan daging (Hartomo, 1992). Penggilingan kedelai perlu dilakukan bertujuan untuk membentuk emulsi protein kedelai dan lemak yang merata. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara memotong – motong bahan serta mencacah pada saat persiapan larutan protein, serta turut membantu terbentuknya emulsi (Koswara,1995).
Penambahan minyak wijen dalam adonan bakso dapat berfungsi untuk memperbaiki cita rasa, tekstur, dan menambah nilai gizi bakso sintetis. Minyak wijen mengandung lemak nabati dan memiliki sifat tidak dapat memisah sehingga kekentalannya baik (Ketaren,1986). Minyak wijen mengandung asam lemak linoleat tinggi yang merupakan salah satu asam lemak essensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh (Anonimous,1996). Minyak yang dihirogenasi mempunyai stabilitas tinggi dan tahan ketengikan (Jamieson,1943 dalam Ketaren, 1986). Protein wijen sangat baik untuk dikonsumsi karena memiliki sifat unik yaitu kandungan asam amino sulfur (metionin dan sistin ) yang lebih tinggi dibanding kedelai (Esminger,1994).
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2009) tentang bakso sintetis, hasil terbaik dengan kadar protein total 21,59%, kadar air 60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80: 20 dan tapioka 10%.
L. Hipotesa
A . Tempat dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Analisa Pangan dan Laboratorium Uji Inderawi Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur pada bulan Juli 2011 sampai November 2011.
B . Bahan
Bahan yang digunakan pada proses pembuatan bakso sintetis adalah gluten kering dibeli di toko Sinar Yong Surabaya, tepung kedelai, air, minyak wijen, serta bumbu – bumbu seperti : garam, gula, merica, bawang putih yang diperoleh dari Pasar Soponyono, Surabaya
Bahan yang digunakan untuk dianalisa adalah aquadest, HCL 25%, K2SO4, H2SO4, NaOH 45%, H2BO2, H3BO3, Na2SO2, eter, reagen nelson, reagen
arsenomolybdat, Na2SO4 – HgO : 20 – 1, H2SO4, NaOH, MM, HCl, H3BO3,
Aquades, Et anol.
C. Alat
Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah : timbangan digital, kompor, ayakan, gelas ukur, alat – alat pengolahan, bekker glass.
porselin, penjepit, alat – alat gelas untuk analisis (labu takar, gelas bekker), corong, pengaduk, satu set alat uji protein, sentrifuge, penetrometer, soxhlet.
.D. Metode Penelitian
Metode penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor, masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga ada 27 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA). Bila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’t Multiple Range Test) (Gasperz, 1994).
1. Variabel Berubah
Faktor A : Proporsi gluten dan tepung kedelai A1 : perbandingan 80:20
A2 : perbandingan 70:30
A3 : perbandingan 60:40
Faktor B : Penambahan minyak wijen (% v/b)
B1 : 5%
B2 : 10%
Kombinasi dari kedua faktor di atas akan menghasilkan kombinasi perlakuan sebagai berikut :
Keterangan :
A1B1 : Proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan minyak wijen 5%
A1B2 : Proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan minyak wijen 10%
A1B3 : Proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan minyak wijen 15%
A2B1 : Proporsi gluten : tepung kedelai (70:30) dan minyak wijen 5%
A2B2 : Proporsi gluten : tepung kedelai (70:30) dan minyak wijen 10%
A2B3 : Proporsi gluten : tepung kedelai (70:30) dan minyak wijen 15%
A3B1 : Proporsi gluten : tepung kedelai (60:40) dan minyak wijen 5%
A3B2 : Proporsi gluten : tepung kedelai (60:40) dan minyak wijen 10%
A3B3 : Proporsi gluten : tepung kedelai (60:40) dan minyak wijen 15%
B
A B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A2B1 A2B2 A2B3
Menurut Gasperz (1991), model matematika untuk percobaan faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah:
Yijk = + + + ( ) + ∑ k
Keterangan :
i = 1, 2, 3, … , 6, a
j = 1, 2, 3, … , 6, b
k = 1, 2, 3, …, n
Yijk = Hasil / nilai pengamatan untuk faktor A level ke – i , faktor B
level ke – j dan pada ulangan ke - k
= Nilai tengah umum
= Faktor A pada level ke - i
= Pengaruh faktor B level ke – j
( ) ij = Pengaruh perlakuan interaksi level ke – i faktor A dan level ke -
j dari faktor B
∑ k = Pengaruh kesalahan ( galat ) percobaan untuk level i
2. Variabel Tetap
•Penambahan bumbu – bumbu tambahan sebesar 2 %
•Penambahan air sebanyak 70 ml •Penambahan tapioka 10 %
•Lama perebusan selama 15 menit
•Total berat bahan tepung gluten, kedelai, dan tapioka = 100 gram
E. Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini antara lain : 1. Bahan awal (tepung kedelai )
• Kadar protein (Metode Semimikro Kjeldahl,AOAC.1988).
• Kadar air ( Metode Pengeringan oven, Apriyantono, dkk. 1989)
• Kadar lemak ( Metode Soxhlet Extration, AOAC. 1988)
• Kadar pati (Metode Hidrolisis asam,AOAC.1988)
2. Bakso sintetis
• Kadar air ( Metode Pengeringan oven, Apriyantono,dkk. 1989)
• Kadar protein ( Metode Semimikro Kjeldahl,AOAC.1988)
• Kadar lemak ( Metode Soxhlet,AOAC.1988)
• Kadar pati (Metode Hidrolisis asam,AOAC.1988)
• Daya ikat air ( Tien R Muchtadi,1992)
• Tekstur (kekenyalan) dengan penetrometer
• Uji organoleptik yang meliputi rasa, warna, dan kekenyalan dengan
menggunakan skala hedonik.
F. Pr osedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu terdiri dari penelitian
pendahuluan untuk membuat tepung kedelai serta penelitian lanjutan untuk membuat produk dan analisa produk.
1. Pembuatan tepung kedelai
• Penimbangan biji kedelai sebanyak 1 kg.
• Perendaman kedelai selama 10 jam.
• Perebusan selama 30 menit setelah itu ditiriskan dan diremas – remas
untuk melepas kulitnya.
• Dilakukan pengeringan dengan jalan penjemuran atau dioven pada suhu
60 °C.
• Kedelai kering digiling dan diayak dengan ukuran 80 mesh. Kemudian
Biji Kedelai
Perendaman 10 jam Sortasi
Perebusan 30 menit
Penggilingan
Tepung Kedelai Pelepasan Kulit
Pengayakan 80 mesh Penirisan
Pengeringan 50 – 60 °C,24 jam
Analisa :
• Kadar Protein • Kadar Air • Kadar Lemak • Kadar Pati
2. Pembuatan bakso sintetis gluten – kedelai
• Gluten kering dan tepung kedelai ditimbang sesuai perlakuan
(80:20),(70:30) dan (60:40) sedangkan minyak wijen diukur volumenya sesuai perlakuan (5%, 10%, dan 15% (%v/b) ).
• Bumbu – bumbu ditimbang sebesar 0,2 % (b/b)
• Gluten, tepung kedelai, minyak wijen, dan bumbu – bumbu dicampur
semua sampai bahan homogen.
• Adonan dicetak membentuk bulatan dengan diameter ±3 cm menyerupai
bakso
• Bakso kemudian direbus pada suhu 100°C selama 15 menit
• Setelah itu bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan pada suhu ruang. • Produk bakso sintetis gluten – kedelai yang dihasilkan dilakukan analisa
kimia (kadar air, protein, lemak, pati, daya ikat air), analisa fisik (tekstur / kekenyalan) dan analisa organoleptik (tekstur dan penerimaan secara keseluruhan).
Gambar 6. Diagram alir pembuatan bakso sintetis gluten – kedelai.
Penirisan dan Pendinginan suhu ruang
A. Hasil Analisis Bahan Baku
Pada penelitian pembuatan bakso sintetis ini dilakukan analisa terhadap bahan baku yaitu tepung kedelai. Hasil analisa tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 4.1. Hasil Analisis bahan baku Tepung Kedelai
Komposisi Kandungan Gizi Tepung Kedelai (dalam 100 gram bahan)
Air 11,64 %
Protein 39,51%
Lemak 19,63%
Pati 24,91%
Pada hasil analisis terhadap tepung kedelai diperoleh kadar air sebesar 11,64%, kadar protein 39,51%, kadar lemak 19,63 dan kadar pati 24,91%. Hal ini sesuai dengan literatur, yang menyatakan tepung kedelai penuh (full fat soy flour) yang mengandung enzim lipoksigenase yang aktif, dibuat dengan cara menghancurkan serpihan kedelai (flakes) yang mengandung lemak sekitar 19 – 21%, kadar air 10%, kadar pati 25% dan kadar protein 40% (Koswara,1995) dan didukung oleh pernyataan dari Smith (1975), yang menunjukkan bahwa tepung kedelai berlemak penuh memiliki kadar protein ± 46,6% dan kadar lemak 22,1%.
B. Hasil Analisis Bakso Sintetis 1. Kadar Air
tepung kedelai dan penambahan minyak wijen. Masing – masing perlakuan
berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar air bakso sintetis. Pengaruh
perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak wijen
terhadap nilai rata – rata kadar air bakso sintetis dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Rerata kadar air bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen
Proporsi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa kadar air bakso sintetis berkisar antara
50,006% – 53,813%. Bakso sintetis dengan perlakuan proporsi gluten :
tepung kedelai (80:20) dan penambahan minyak wijen 5% memberikan rata
– rata kadar air tertinggi yaitu sebesar 53,813% , sedangkan kadar air
terendah terdapat pada perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (60:40)
dan penambahan minyak wijen 15% dengan nilai rata – rata sebesar
50,006%. Hubungan perlakuan antara proporsi gluten : tepung kedelai
dengan penambahan minyak wijen dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Hubungan antara proporsi gluten:tepung kedelai dan minyak wijen terhadap kadar air bakso sintetis
Pada Gambar 7. dapat dilihat bahwa semakin tinggi proporsi
gluten:tepung kedelai dan minyak wijen, maka kadar air bakso sintetis yang
dihasilkan akan semakin rendah. Pembuatan bakso sintetis mekaniseme
yang terjadi adalah emulsi oil in water (o/w). Pada tahap perebusan bakso,
air bebas yang ada pada bahan diikat bersama minyak oleh protein kedelai
(lesitin). Saat pengukuran kadar air, dimana bahan dipanaskan di dalam
oven akan dengan mudah menguapkan air bebas pada bahan tetapi tidak
dengan air yang terikat. Terjadinya penguapan air bebas dalam bakso sintetis
dapat menyebabkan menurunnya kadar air.
Menurut Suhardi (1988), protein dapat berikatan karena hidrasi dengan
rasio 1 gr air dan 5 gr protein kering dan selain itu beberapa protein dapat
pr opor si gluten:tepung k edelai
2. Kadar Pr otein
Berdasarkan hasil analisis ragam pada (Lampiran 4). menunjukkan tidak
adanya interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen, akan tetapi perlakuan proporsi
gluten : tepung kedelai berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar protein
bakso sintetis. Pengaruh perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai dapat
dilihat pada Tabel 4.3. berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Pada Tabel 4.3 diketahui bahwa semakin tinggi penambahan tepung
kedelai terjadi penurunan kadar protein bakso sintetis. Hal ini disebabkan
adanya pengurangan proporsi gluten dimana gluten merupakan sumber
protein terbanyak pada pembuatan bakso sintetis ini dan kadar protein gluten
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein tepung kedelai. Kadar
protein tepung kedelai berdasarkan dari hasil analisa bahan baku hanya
sebesar 39,51%.
Menurut Smith (1972), tepung kedelai memiliki kadar protein sebesar ±
Tabel 4.4. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh penambahan
Keterangan : Nilai rata-rata yang disertai dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa antara perlakuan penambahan minyak
wijen 5% dan 15% berbeda nyata, sedangkan perlakuan penambahan
minyak wijen 10% tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan
minyak wijen 5% dan 15%. Hal ini karena diduga penambahan minyak
wijen akan mempengaruhi kerja lesitin yang dipergunakan sebagai
emulsifier dalam pembuatan bakso sintetis ini. Lesitin mempunyai bagian
yang larut dalam minyak dan bagian yang mengandung gugus PO43- (polar)
yang larut dalam air (Winarno,2004). Jadi, semakin banyak minyak wijen
ditambahkan maka akan semakin banyak lemak yang diikat oleh protein
yang berasal dari tepung kedelai.
3. Kadar Lemak
Berdasarkan hasil analisis ragam pada (Lampiran 5). menunjukkan
adanya interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen. Pengaruh perlakuan proporsi gluten
: tepung kedelai dan penambahan minyak wijen terhadap nilai rata – rata
Tabel 4.5. Rerata kadar lemak bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen
Proporsi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Tabel 4.5. menunjukkan bahwa kadar lemak bakso sintetis berkisar
antara 7,634% – 9,747%. Perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (60:40)
dan penambahan minyak wijen 15% memiliki nilai rata – rata kadar lemak
tertinggi yaitu sebesar 9,747% dan kadar lemak terendah sebesar 7,634%
terdapat pada perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan
penambahan minyak wijen 5%. Grafik hubungan perlakuan antara proporsi
gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak wijen dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan minyak wijen y = 0.350x + 7.339
pr opor si gluten:tepung k edelai
Berdasarkan pada Gambar 8. menunjukkan bahwa semakin tinggi
penambahan minyak wijen dan tepung kedelai, menyebabkan kadar lemak
bakso sintetis mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan komponen utama
dari minyak wijen adalah lemak sehingga penambahan minyak wijen yang
semakin tinggi akan meningkatkan kadar lemak pada bakso sintetis. Tepung
kedelai yang digunakan pada pembuatan bakso sintetis juga merupakan
tepung kedelai yang jenisnya fullfat soy flour berdasarkan hasil analisa
bahan baku memiliki kadar lemak sebesar 19,63% sehingga penambahan
tepung kedelai yang semakin banyak juga menyebabkan meningkatnya
kadar lemak pada bakso sintetis. Didukung oleh pernyataan Koswara (1995),
tepung kedelai berlemak penuh memiliki kadar lemak sebesar 20% dan
diperkuat oleh Smith (1975), fullfatsoy flour berkadar lemak sebesar 22,1 %
sedangkan menurut Hilditch (1947) dalam Ketaren (1986), minyak wijen
mengandung asam lemak jenuh sebesar 15% dan asam lemak tak jenuh
85%. Tepung kedelai memiliki kadar lesitin 20-22% (Hartomo,1992).
Dengan kadar lemak yang tinggi pada bahan baku tepung kedelai dan
minyak wijen dapat meningkatkan kadar lemak pada bakso sintetis.
4. Kadar Pati
Berdasar dari hasil analisis ragam yang terdapat pada (Lampiran 6).
menunjukkan tidak adanya interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan
proporsi gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak wijen, namun
perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai berpengaruh nyata (p ≤ 0,05)
tepung kedelai terhadap kadar pati bakso sintetis dapat dilihat pada Tabel
4.6.
Tabel 4.6. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai
proporsi Rerata
notasi DMRT 5% gluten : tepung kedelai kadar pati (%)
80:20 94.8 a -
70:30 102.64 b 1.216
60:40 106.75 c 1.278
Keterangan : nilai rata – rata yang didampingi dengan huruf (notasi) berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Pada Tabel 4.6. dapat dilihat bahwa semakin tinggi penambahan tepung
kedelai pada bakso sintetis maka akan semakin tinggi kadar pati bakso
sintetis yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tepung kedelai mempunyai
kadar pati yang cukup tinggi yaitu sebesar 24,91%. Menurut Koswara
(1992), tepung kedelai mempunyai kandungan pati sebesar 25%.
Tabel 4.7. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil pengaruh penambahan tidak berbeda nyata pada p ≤ 0,05
Pada Tabel 4.7 penambahan minyak wijen 5% dan 10% tidak
menunjukkan adanya perbedaan nyata karena terdapat sedikit perbedaan
pada penambahan minyak wijen 5% dengan minyak wijen 15% diduga
dengan kadar air, dimana semakin banyak pati dalam bakso sintetis maka
pati tersebut dapat mengikat air bebas bakso sintetis sehingga kadar pati
bakso sintetis berbanding terbalik dengan kadar air bakso sintetis.
Menurut Pomeranz (1971) dalam de Mann (1997), gelasi terjadi melalui
dua tahapan proses yaitu, denaturasi struktur protein awal menyebabkan
polipeptida yang terbuka lipatannya dan tahap pembentukkan matriks gel
secara bertahap yang akan memerangkap air.
5. Water Holding Capacity ( WHC )
Berdasarkan hasil analisis ragam pada (Lampiran 5). menunjukkan
adanya interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen. Pengaruh perlakuan proporsi gluten
: tepung kedelai dan penambahan minyak wijen terhadap nilai rata – rata
daya ikat air (WHC) bakso sintetis dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Rerata WHC bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Tabel 4.8. menunjukkan bahwa WHC bakso sintetis berkisar antara
penambahan minyak wijen 15% memiliki nilai rata – rata WHC tertinggi
yaitu sebesar 59,229% dan WHC terendah sebesar 50,182% terdapat pada
perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan penambahan minyak
wijen 5%. Grafik hubungan perlakuan antara proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 9. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan minyak wijen terhadap WHC bakso sintetis
Berdasarkan pada grafik yang terdapat pada Gambar 9. Diketahui bahwa
semakin tinggi penambahan tepung kedelai dan minyak wijen maka WHC
juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan makin banyak tepung kedelai
yang ditambahkan dapat meningkatkan kadar protein bakso sintetis, dimana
sifat dari protein kedelai adalah mampu menyerap air dan sebagai emulsifier
sehingga minyak wijen akan diikat juga oleh gluten dan kedelai sehingga
rerata WHC semakin besar.
Menurut Kinsella (1979) dalam Somaatmadja dkk (1985) dan Koswara
(1992), menyebutkan bahwa protein kedelai mempunyai kemampuan untuk
mengikat air dan bersifat hidrofilik (suka air). Pembentukkan gel oleh
Pemanasan protein globulin akan mengubah struktur globulin sehingga
protein tersebut dalam keadaan setengah gel dan akan membentuk gel
setelah pendinginan. Gel memiliki sifat kohesif, sifat ini memberikan
kontribusi terhadap daya ikat produk (Smith dan Circles, 1972).
6. Rendemen
Berdasarkan hasil analisis ragam pada (Lampiran 5). menunjukkan
adanya interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen. Pengaruh perlakuan proporsi gluten
: tepung kedelai dan penambahan minyak wijen terhadap nilai rata – rata
rendemen bakso sintetis dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Nilai rata –rata rendemen bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen
Proporsi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Pada Tabel 4.9. menunjukkan bahwa nilai rata – rata rendemen berkisar
antara 224,47% - 276,77% . Proporsi gluten : tepung kedelai (80:20) dan
penambahan minyak wijen 5% memberikan hasil rendemen produk yang
(60:40) dan penambahan minyak wijen 15% memberikan hasil rendemen
bakso sintetis yang tertinggi yaitu sebesar 276,77%
Gambar 10. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan minyak wijen terhadap rendemen protein bakso sintetis
Pada Gambar 10. dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan tepung
kedelai dan minyak wijen yang semakin tinggi, maka rendemen bakso yang
dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena rendemen yang
dihasilkan dipengaruhi oleh adanya lesitin (protein kedelai), kadar pati, daya
ikat air. Semakin tinggi penambahan tepung kedelai, kadar pati dan daya
ikat air produk maka rendemen produk bakso sintetis yang dihasilkan juga
semakin tinggi.
Kadar pati pada bahan baku tepung kedelai sebesar 24,91%. Menurut
Winarno (2004), jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar,
maka kemampuan menyerap air sangat besar sehingga rendemen yang
dihasilkan dengan semakin tingginya daya ikat air dan menurunnya kadar air
maka rendemen bakso sintetis juga akan semakin besar. Protein kedelai
wijen) sehingga rendemen produk bakso sintetis yang dihasilkan juga
semakin besar.
7. Tek stur
Berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 5. menunjukkan adanya
interaksi nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai
dan penambahan minyak wijen. Masing – masing perlakuan berpengaruh
nyata (p ≤ 0,05) terhadap tekstur bakso sintetis. Pengaruh perlakuan proporsi
gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak wijen terhadap nilai rata –
rata tekstur bakso sintetis dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Rerata tekstur bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen
Proporsi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Dari Tabel 4.10. diketahui bahwa nilai rerata tektur yang paling tinggi
sebesar 16,28 mm/gr.dtk adalah bakso sintetis dengan perlakuan proporsi
gluten : tepung kedelai (60:40) dan penambahan minyak wijen 15%,
sedangkan bakso sintetis dengan proporsi gluten : tepung kedelai (80:20)
Gambar 11. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan minyak wijen terhadap tektur bakso sintetis
Berdasarkan grafik pada Gambar 11. menunjukkan semakin tinggi
penambahan minyak wijen dan tepung kedelai maka semakin tinggi nilai
rerata tekstur bakso sintetis yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena
semakin banyak tepung kedelai dan minyak wijen yang ditambahkan tekstur
bakso sintetis akan semakin lunak sehingga nilai rata – rata tekstur yang
dihasilkan semakin besar.
Menurut de Man (1997), reduksi protein ikatan disulfida dalam gliadin
dan glutenin pada protein gluten dapat mempengaruhi sifat kekenyalan.
Pendapat ini didukung oleh Suhardi (1988) yang menyatakan bahwa sifat
viskoelastisitas bahan pangan ditentukan oleh adanya gluten sebagai
jaringan yang terbentuk oleh adanya interaksi air dengan protein gliadin dan
glutenin.
pr opor si gluten:tepung k edelai
8. Uji Organoleptik
Kualitas bahan pangan dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu kimiawi,
fisik dan sensorik. Diterima atau tidaknya bahan pangan oleh konsumen
banyak ditentukan oleh faktor mutu terutama mutu organoleptik.
Sifat organoleptik dari bakso yang diberi perlakuan penambahan tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen, yang diuji meliputi warna, rasa,
dan tekstur dengan menggunakan uji hedonik. Hasil penelitian pada bakso
dengan perlakuan penambahan tepung kedelai dan minyak wijen yang
dihasilkan, diujikan secara organoleptik meliputi :
a. Rasa
Rasa merupakan faktor yang penting dari suatu produk makanan
selain penampakan dan warnanya. Berdasarkan uji friedman Lampiran
10. menunjukkan bahwa perlakuan (proporsi gluten : tepung kedelai)
penambahan dan penambahan minyak wijen berpengaruh nyata (p ≤
0,05) terhadap rasa bakso sintetis yang dihasilkan. Nilai rata-rata rasa
bakso sintetis dengan perlakuan (proporsi gluten : tepung kedelai)
penambahan dan penambahan minyak wijen dapat dilihat pada Tabel
Tabel 4.11. Nilai rata-rata uji kesukaan rasa bakso
Berdasarkan Tabel 4.11 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa bakso didapatkan hasil rata-rata kesukaan 1,65 –
4,40 masuk dalam skala (tidak suka – suka). Nilai rata-rata tertinggi
terdapat pada bakso dengan perlakuan proporsi gluten : kedelai (60:40)
dan minyak wijen 15% yaitu sebesar 4,40, sedangkan nilai rata-rata
terendah terdapat pada bakso dengan perlakuan proporsi gluten :
kedelai (80:20) dan minyak wijen 5% yaitu sebesar 1,65.
Hasil uji organoleptik terhadap rasa menunjukkan bahwa bakso
yang paling disukai adalah bakso dari gluten 60% dan tepung kedelai
40% serta penambahan minyak wijen 15%. Hal ini dikarenakan rasa
kedelai yang dominan pada bakso sintetis juga aroma khas minyak
wijen yang dapat menggugah selera panelis. Senyawa rasa
disumbangkan oleh asam amino dari protein terutama oleh asam
glutamate juga karena adanya ikatan peptida antara asam glutamate,
aspartat dan asam amino hidrofobik leusin. Asam glutamat terdapat
Menurut Suhardi (1988) terbentuknya rasa gurih dikarenakan
adanya asam amino glutamat. Pada bakso sintetis asam glutamat
terdapat pada bahan baku yaitu gluten dan tepung kedelai. Rasa gurih
dapat diakibatkan oleh adanya ikatan peptida gurih, yaitu antara asam
amino glutamat, aspartat dan asam amino hidrofobik leusin
(Lioe,2001).
b. Warna
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting dari
suatu bahan pangan, khususnya bakso. Kesukaan konsumen terhadap
suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh warna. Berdasarkan
uji friedman pada (Lampiran 12). menunjukkan bahwa proporsi gluten
: tepung kedelai dan penambahan minyak wijen tidak berpengaruh
nyata (p ≤ 0,05) terhadap warna bakso yang dihasilkan. Nilai rata-rata
warna bakso sintetis perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai dan
penambahan minyak wijen dengan dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Nilai rata-rata uji kesukaan warna bakso Perlakuan
rerata gluten : tepung kedelai minyak wijen (%)
80:20 5 3.8
– 3,8 masuk dalam skala (tidak suka – suka). Hasil uji organoleptik
terhadap warna menunjukkan bahwa terdapat dua perlakuan bakso
sintetis yang paling disukai, yang pertama adalah bakso dari gluten
80% dan tepung kedelai 20% serta penambahan minyak wijen 15%
selanjutnya bakso sintetis dengan perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai (80:20) dan penambahan minyak wijen 5%.
Bakso sintetis mengalami perubahan warna setelah pemasakan.
Jika makanan yang dipanaskan mengandung gula reduksi, maka akan
segera terjadi reaksi maillard, yaitu antara lain lisin dengan fruktosa
atau glukosa hingga terbentuk senyawa gula amino (Suhardi,1988).
Menurut Sunarlim (1992), warna bakso yang baik adalah coklat muda
cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga agak
keputihan atau abu-abu.
c. Tekstur
Berdasarkan uji friedman pada (Lampiran 11). menunjukkan
bahwa perlakuan antara proporsi gluten : tepung kedelai dan
penambahan minyak wijen berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap
tekstur bakso yang dihasilkan. Nilai rata-rata tekstur bakso dengan
perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak
Tabel 4.13. Nilai rata-rata uji kesukaan tekstur bakso Perlakuan
rerata gluten : tepung kedelai minyak wijen (%)
80:20 5 3.75
Berdasarkan Tabel 4.13 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap tekstur bakso didapatkan hasil rata-rata kesukaan 3,45
– 4,45 masuk dalam skala (agak tidak suka – suka). Nilai rata-rata
tertinggi terdapat pada bakso dengan perlakuan penambahan tepung
kedelai 20% dan penambahan minyak wijen 10% yaitu sebesar 4,45,
sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada bakso dengan
perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (60:40) dan penambahan
minyak wijen 5% yaitu sebesar 3,45.
Bakso yang disukai panelis adalah bakso yang bertekstur kenyal
dan kompak. Menurut Indrarmono (1987), kecilnya konsentrasi protein
terlarut akan menurunkan jumlah protein terkoagulasi atau
menurunkan kekompakan gel protein, karena itu untuk memperbaiki
kekenyalan dan membentuk tekstur yang padat pada pembuatan bakso
biasanya ditambahkan bahan pengikat (Wilson,1981).
C. Analisis Keputusan
kimia, fisik dan organoleptik yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak
kadar pati, rendemen, warna, rasa dan tekstur. Nilai keseluruhan dari berbagai
D. Analisis Finansial
Perhitungan analisis finansial dilakukan untuk produk bakso sintetis
dengan perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai 70 : 30 dan penambahan
minyak wijen 15%.
1. Kapasitas produksi
Kapasitas produksi direncanakan tiap tahun memerlukan bahan baku
gluten (saitan) dan tepung kedelai sebesar 1.719,13 kg per tahun. Apabila
1 hari kapasitas produksi sebanyak 15 kg/hari, maka kapasitas produksi 1
tahun sebesar 4680 kg. Data kapasitas produksi lebih lengkap dapat dilihat
pada Lampir an 13.
2. Biaya produksi
Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk
menjalankan satu usaha. Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya
produksi langsung (biaya tidak tetap). Biaya tetap adalah biaya – biaya
yang dalam jangka waktu tertentu tidak berubah mengikuti perubahan
tingkat produksi. Biaya tetap bersifat konstan pada relevan range tertentu,
sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah sejalan
dengan tingkat produksi yang mulai dihasilkan (Susanto,1994).
Secara singkat total produksi per tahun dari industri bakso sintetis dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Total Biaya Produksi = Biaya Tetap + Biaya Tidak Tetap
= Rp. 58.210.486,- + Rp. 226.373.761,-
Perincian total biaya produksi dapat dilihat pada Lampir an 15.
3. Harga pokok produksi
Berdasarkan kapasitas produksi tiap tahun, dan biaya produksi per tahun,
maka dapat diketahui harga pokok tiap kemasan adalah Rp. 3.050,00.
Perincian data dapat dilihat pada Lampir an 16.
4. Harga jual produksi
Harga jual diperoleh berdasarkan dari harga pokok produksi, keuntungan
yang ingin dicapai ditambah pajak. Keuntungan yang ingin dicapai sebesar
55% dari harga pokok ditambah laba.
Harga Jual = Harga Pokok + Keuntungan 55% + Pajak 10 %
= Rp. 3.050,00 + Rp 1.677,50 + Rp. 305,00
= Rp. 5.032,50
= Rp. 5.100,00 (per bungkus)
Jadi, harga jual bakso sintetis tiap kemasan adalah Rp.5.100,00
5. Break event point (BEP)
Analisa break event point (BEP) adalah suatu teknik untuk mempelajari
hubungan antara biaya tetap, biaya tidak tetap, keuntungan dan volume
kegiatan. Volume penjualan dimana penghasilannya tetap sama besarnya
dengan biaya totalnya sehingga perusahaan tidak mendapat keuntungan
dan tidak menderita kerugian dinamakan “Break event point”. Biaya yang
termasuk biaya – biaya tetap pada umumnya depresiasi aktifitas tetap,
sewa bangunan, biaya hutang, gaji pegawai, gaji pimpinan, gaji staff
§ Biaya titik impas = Rp 110.712.673,62
§ Persen titik impas = 23,19%
§ Kapasitas titik impas = 2.170.584 unit/tahun
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan
untuk mencapai titik impas tersebut. Jadi produksi bakso sintetis mencapai
keadaan impas jika produksi sebesar Rp. 110.712.673,62 dengan kapasitas
normal sebanyak 93.600 unit/tahun, hal ini berarti produksi bakso sintetis
memperoleh keuntungan karena produksinya diatas kapasitas titik impas.
Grafik BEP dapat dilihat pada Lampiran 17.
6. Net Present Value (NPV)
Net Present Value merupakan selisih antara nilai penerimaan sekarang
dengan nilai biaya sekarang. Bila dalam analisa diperoleh nilai NPV lebih
besar dari 0 (nol), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam
perhitungan diperoleh NPV lebih kecil dari 0 (nol), maka proyek tersebut
tidak layak untuk dilaksanakan (Susanto,1994). Berdasarkan perhitungan
pada Lampir an 19 tentang perhitungan NPV pada produk bakso sinteis
adalah sebesar Rp. 27.771.493,-
7. Payback periode (PP)
Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa
prosentase maupun waktu (baik tahu maupun bulan). Payback Periode
diharapakan nilai tersebut lebih kecil 10 tahun atau sedapat mungkin
kurang dari 5 tahun.
Berdasarkan perhitungan yang terdapat pada Lampir an 17. diperoleh
nilai PP sebesar 2,9 tahun. Umur ekonomis proyek yang direncanakan
selama 5 tahun. Hal ini berarti investasi pada proyek ini dapat diterima
karena nilai PP lebih kecil dari pada umur ekonomis.
8. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C)
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor
yang telah di present valuekan (dirupiahkan sekarang). Proyek akan dipilih
apabila nilai Gross B/C >1 bila proyek mempunyai nilai Gross B/C < 1
maka tidak akan dipilih. Berdasarkan Lampir an 19 diperoleh nilai Gross
B/C sebesar 1,0337. Hal ini berarti proyek ini dapat diterima dan layak
untuk dijalankan.
9. Internal rate of return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat suku bunga yang
menunjukkan persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan
jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek sedang dikerjakan.
Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila nilai
IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih
kecil dari suku bunga bank yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan
Berdasarkan Lampir an 18. diperoleh IRR sebesar 22,446%. Hal ini
berarti proyek ini dapat diterima karena nilai IRR lebih besar daripada
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen terhadap kadar air, lemak, WHC,
tekstur (kekenyalan) dan rendemen. Tidak terdapat interaksi yang nyata
antara perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai dan penambahan minyak
wijen terhadap kadar protein dan pati bakso sintetis.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai (70:30) dan penambahan minyak wijen 15% yang menghasilkan
bakso sintetis terbaik dengan kadar air 52,053%, protein 20.424%, lemak
9,556%, pati 364,498%, rendemen 272,23%, WHC 53,410%. Hasil
rata-rata uji hedonic menunjukkan nilai warna (suka) 70, rasa (suka) 120,5 dan
tekstur (suka) 116.
3. Hasil analisis finansial menyimpulkan bahwa perusahaan bakso sintetis
dengan perlakuan proporsi gluten : tepung kedelai (70:30) dan penambahan
minyak wijen 15% layak diproduksi karena net B/C lebih besar dari satu,
yaitu 1,0337 dan NPV lebih besar dari nol, yaitu Rp27.771.493,-
sedangkan IRR sebesar 22,446 % lebih besar dari tingkat suku bunga bank.
Dalam proyek ini pertahunnya mendapat nilai keuntungan bersih sebesar