• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON ANAK KORBAN KEKERASAN TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RESPON ANAK KORBAN KEKERASAN TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA)."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON ANAK KORBAN KEKERASAN TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL

OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh : INTAN DIRJALAILA

090902049

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Intan Dirjalaila NIM : 090902049

Jurusan : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul Skripsi : Respon Anak Korban Kekerasan Terhadap Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak ( PKPA )

Medan, Desember 2013

DOSEN PEMBIMBING

NIP : 19710207 200112 2 001 Mastauli Siregar S.Sos, M.SP

KETUA DEPARTEMEN

NIP : 19710927 20 001 Hairani Siregar S.Sos, M.SP

DEKAN FISIP USU

NIP : 19680525 199203 1 002 Prof Dr. BADARUDIN, M.Si.

(3)

ABSTRAK

Abuse adalah kata yang biasa di terjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat di definisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon Anak korban Kekerasan baik kekerasan fisik, Psikis, seksual dan sosial terhadap program pelayanan sosial oleh PKPA. Respon diartikan sebagai suatu tingkah laku balas atau sikap yang berwujud pemahaman, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak, serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap Layanan Penerimaan Pengaduan, program Layanan Hukum, Konseling, Pemeriksaan Kesehatan dan Monitoring.

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa anak korban tindak kekerasan dampingan Lembaga Pusat Kajian dan Perlindungan Anak memberikan respon yang sangat baik pada seluruh pelayanan sosial PKPA. Setiap korban dapat mengerti dan memahami tentang tujuan dari tiap-tiap layanan PKPA dan dapat mengikuti prosedur pelayanan sosial oleh PKPA. Korban terlibat dengan aktif dalam menjalani tahapan bantuan pelayanan sosial, mulai dari layanan pengaduan sampai layanan monitoring. Melalui serangkaian kegiatan yang dirancang oleh PKPA, Korban dan keluarganya dapat merasakan manfaat yang positif dari Pelayanan Sosial oleh PKPA dalam menangani kasus kekerasan dan memberikan penilaian yang baik terhadap pelaksanaan Program Pelayanan Sosial oleh PKPA.

Kata Kunci: Respon Anak dan Pelayanan Sosial

(4)

ABSTRACT

Abuse is a word commonly translated as violence, persecution, torture or mistreatment. Child Abuse can be defined as an event of physical injury, mental, or sexual abuse which usually done by people who have a responsibility for the welfare of the child.

Which is indicated by losses and threats to the health and welfare of children.

This study aims to determine how the respond of child victims of physcal, psycilogical, sexual and social violence of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against Revenue Service complaints, the Legal Services program, counseling, Monitoring Health Condition and Monitoring Of Case.

Based of analysis of case it can be concluded that the child victims of violence assistance PKPA give excellent response in all social services. Each victim can know and understand about the purpose of social service and to follow procedures. Victims actively involved in following stages help since the reception service complaints to the monitoring service. Through a series of social service activities designed by teh PKPA, Victims and families can be feel positive benefit from social service by PKPA in resolve cases of violence being faced and give best value against the implementation of social service program by PKPA.

Keyword : Child Response and Social Service

(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Bismillahirahmanirrahim. Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kami Nabi besar Muhammad S.A.W beserta keluarga.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempurnaan nikmat dan rahmatnya berupa rezeki, kesehatan, kekuatan, kemudahan dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah di Departement Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU dan merampungkan skripsi dengan judul : Respon Anak Korban Kekerasan Terhadap Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak.

Penulis menyadari didalam proses penyelesaian skripsi telah melibatkan banyak pihak yang turut membantu oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada semua pihak yang berperan serta dalam penulisan skripsi, antara lain:

1. Prof Dr. Badarudin M,Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara

2. Kepada Ibu Hairani Siregar S.Sos M.SP selaku Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara

3. Kepada Ibu Mastauli Siregar S.Sos M.SP Selaku Dosen Pembimbing saya yang selalu membimbing saya dalam merampungkan skripsi ini

4. Kepada Bapak Drs. Matias Siagian M.Si Phd selaku Dosen Pembimbing Jurnal yang membimbing saya dalam penyelesaian jurnal ilmiah kesejahteraan sosial

5. Seluruh Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang mengajar di FISIP USU 6. Seluruh staff administrasi FISIP USU

7. Kepada PKPA sebagai lembaga pembelajaran kedua setelah kampus, terimakasih telah menerima kehadiran saya, terutama pada kak Emi, bang Misran, kak Lia dan bang Andi

8. Kepada yang teristimewa, Ayah dan Mama yang tak pernah berhenti memberi support selama masa study di FISIP USU, semoga kita sekeluarga senantiasa diberi kesehatan, tak ada kebahagiaan yang luar biasa selain bisa membuat Ayah dan Mama bangga atas jeripayah ku suatu saat nanti.

(6)

9. Kepada kakek tersayang Alm. H. Abdurrahim, yang pada akhir hayatnya pun masih menanyakan “kapan intan wisuda?” tenang ya kakek cucu mu ini sebentar lagi wisuda 10. Kepada adik ku yang pintar dan sholeh, Muhammad Arwanda belajar yang rajin jangan

mau kalah sama kakakmu ini ya...

11. Yang paling tak bisa dilupakan mahluk-mahluk ajaib Windy Safutry, Irene Simanjuntak, Kartini Zalukhu, Melvira Noviasari, “gak Cuma sehari dua hari kenal kalian, kita bisa melewati 4,5 tahun dengan sederhana dan apa adanya, senang dan susah semuanya bisa ditertawakan. Semoga Allah menjamah cita-cita kita, senantiasa memberikan kita kesehatan dan semoga kita tetap bisa menjaga silaturahmi dengan baik sampai keriput ya

12. Kepada seluruh Tim Sertifikasi PKH NIAS, ada mbak Wina, kak Clarissa, bang Hendrik, bang Veni, bang Putra, bang Dian, bang Mario, Christyan Pasaribu, Agha Aryes, Immanuel, Ridho, Rovindo, Afrizal, Soloon, Syaiful Bahri Zega. Semoga ada kesempatan lagi untuk kita bisa bersama-sama seperti dulu

13. Kepada seluruh teman-teman Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 09, Citra Gustianda, Mitta Novianty, Sri Wahyuni, Rayyihana dan lainnya yang takbisa disebutkan satu persatu, kita luaarrrrr biasaaaa!

14. Kepada rekan-rekan KOMPAK Medan (Komunitas Orang Muda anti Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak) lanjutkan!!

15. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan hidayahnya untuk kita.

Penulis menyadari bahwa didalam penulisan skripsi ini masih masih banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk masyarakat khususnya para pembaca.

Medan, Desember 2013 Penulis

Intan Dirjalaila

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR BAGAN... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

1.3.1. Tujuan Penelitian... 8

1.3.2. Manfaat Penelitian... 8

1.4. Sistematika Penulisan... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon... 10

2.2. Konsep Anak... 12

2.2.1. Pengertian Anak... 12

2.2.2. Hak-hak Anak... 13

2.2.3. Kebutuhan Anak... 15

2.3. Kekerasan ... 17

2.3.1. Kekerasan terhadap Anak... 17

2.3.2. Bentuk-bentuk Kekerasan... 18

2.3.3. Faktor Anak Menjadi Korban Kekerasan... 20

2.3.4. Dampak Kekerasan bagi Anak... 23

2.4. Pelayanan Sosial... 26

2.4.1. Pengertian Pelayanan Sosial... 27

2.4.2. Pelayanan Sosial Personal... 29

2.4.3. Pelayanan Sosial PUSPA-PKPA... 31

2.5. Kerangka Pemikiran... 33

2.6. Definisi Konsep dan Operasional... 36

2.6.1. Definisi Konsep... 36

2.6.2. Definisi Operasional... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian... 41

3.2. Lokasi Penelitian... 41

3.3. Populasi... 42

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 42

3.5. Teknik Analisis Data... 43

(8)

BAB IV LOKASI PENELITIAN

4.1. Latar Belakang PKPA... 44

4.2. Latar Belakang PUSPA... 45

4.3. Kedudukan dan Klasifikasi Lembaga... 47

4.4. Visi dan Misi... 48

4.5. Struktur Lembaga... 49

4.6. Job Desc PUSPA... 51

4.7. Mekanisme Pelaporan dan Rujukan Kasus Anak... 55

4.8. Pola Pendanaan... 56

BAB V ANALISIS DATA 5.1. Data Identitas Responden... 58

5.2. Data Pengetahuan anak terhadap pelayanan sosial PKPA... 62

5.2.1. Layanan Penerimaan Pengaduan... 62

5.2.2. Layanan Pendampingan Hukum... 70

5.2.3. Layanan Konseling... 79

5.2.4. Layanan Pemeriksaan Kesehatan... 85

5.2.5. Layanan Monitoring... 90

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan... 95

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur... 58

Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 59

Tabel 5.3 Karakteristik Responden Bedasarkan Agama... 60

Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 60

Tabel 5.5 Informasi Tentang Layanan Penerimaan Pengaduan... 62

Tabel 5.6 Tingkat Pengertian Responden Tentang Tujuan Mengadukan Kasus ke PKPA... 63

Tabel 5.7 Tingkat Komunikasi Responden dengan Staff PKPA... 64

Tabel 5.8 Tingkat Manfaat yang Dirasakan Responden saat Mengadukan Kasus ke PKPA... 66

Tabel 5.9 Tingkat Kemudahan Prosedur Pelayanan Penerimaan Pengaduan... 66

Tabel 5.10 Penilaian Responden tentang Sikap Staff saat Menerima Pengaduan... 67

Tabel 5.11 Tingkat Kepuasan Responden Setelah Mengadukan Kasus Ke PKPA... 68

Tabel 5.12 Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Penerimaan Pengaduan... 69

Tabel 5.13 Informasi tentang Layanan Pendampingan Hukum... 70

Tabel 5.14 Tingkat Pengertian Responden tentang Tujuan Pendampingan Hukum oleh PKPA...71

Tabel 5.15 Tingkat Keaktifan Responden saat Proses Hukum... 72

Tabel 5.16 Manfaat Layanan Hukum Bagi Responden... 73

Tabel 5.17 Tanggapan Mengenai Sikap Petugas saat Mendampingi... 73

Tabel 5.18 Tingkat Kemudahan Prosedur Pelayanan Hukum... 75

Tabel 5.19 Tingkat Penilaian Responden Mengenai Layanan Hukum yang diberikan PKPA... 75

Tabel 5.20 Tingkat Kepuasan Responden terhadap Layanan Bantuan Hukum... 77

Tabel 5.21 Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Pendampingan Hukum... 78

Tabel 5.22 Tingkat Pengertian Responden tentang Tujuan Konseling... 79

Tabel 5.23 Tingkat Keaktifan Responden Mengikuti Konseling... 80

Tabel 5.24 Tingkat Komunikasi Responden dengan Konselor... 80

Tabel 5.25 Manfaaat Konseling Bagi Responden... 81

Tabel 5.26 Penilaian tentang Layanan Konseling... 82

Tabel 5.27 Tingkat Kepuasan terhadap Layanan Konseling... 83

Tabel 5.28 Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Konseling... 84

Tabel 5.29 Tingkat Pengertian Responden tentang Tujuan Pemeriksaan Kesehatan... 85

Tabel 5.30 Keaktifan Responden Menjalani Pemeriksaan Kesehatan... 86

Tabel 5.31 Manfaat Layanan Pemeriksaan Kesehatan... 87

Tabel 5.32 Tingkat kepuasan terhadap layanan pemeriksaan kesehatan... 88

Tabel 5.33 Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Pemeriksaan Kesehatan... 89

Tabel 5.34 Tingkat Pengertian Responden tentang Layanan Monitoring... 90

Tabel 5.35 Tingkat Kesediaan Responden Untuk Di Monitoring... 90

Tabel 5.36 Tingkat Manfaat Layanan Monitoring Bagi Responden... 91

Tabel 5.37 Tingkat Kepuasan terhadap Layanan Monitoring... 92

Tabel 5.38 Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Monitoring... 93

(10)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1 Bagan Alir Pikir...35 Bagan 4.5 Struktur Organisasi PKPA... ...49 Bagan 4.7 Alur Pelaporan Dan Rujukan PKPA...55

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak merupakan masa depan bagi sebuah Negara, mahluk yang kerap di usung sebagai penerus bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai successor suatu bangsa, maka anak-anak selalu di pandang sebagai aset bangsa.

Mengingat anak merupakan penerus cita-cita dan peradaban manusia, seyogyanya anak mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya. Kasih sayang, perhatian dan perlindungan merupakan syarat yang tidak dapat di tawar-tawar lagi agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.

Untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut tentu anak harus mendapatkan perhatian khusus dan kesempatan untuk berkembang dengan sempurna. Sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child) tahun 1990 yang ikut di ratifikasi Indonesia bahwa setiap Negara memiliki kewajiban baik secara hukum dan politik untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak.

Diantaranya hak ekonomi, sosial dan budaya antara lain : hak perlindungan atas kepentingannya dari berbagai situasi, hak untuk berkembang, memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas, mengemukakan pendapat, mendapatkan informasi bermain, dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, dan kekerasan (Hadi Supeno, 2010:31)

Jauh dari harapan, pada kenyataannya jangankan melaksanakan konvensi tersebut, bahkan masih amat banyak anggota masyrakat yang tidak tahu akan adanya konvensi yang telah diratifikasi oleh hampir semua Negara anggota PBB itu. Kenyataan demikian jelas merupakan ironi, karena kenyataannya, masih banyak anak-anak indonesia hidup dalam

(12)

kondisi yang memprihatinkan. Hak-hak dasar anak untuk mendapat pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal yang layak dan aman, bahkan hak untuk mendapatkan makanan yang layak pun masih menjadi mimpi yang teramat jauh untuk di raih ratusan ribu anak.

Setiap harinya media menayangkan berita mengenai anak-anak yang disiksa dan dianiaya hingga ada yang terbunuh, baik yang dilakukan keluarganya maupun masyarakat.

Anak-anak yang disekap, diculik, ditelantarkan, dianiaya, diperkosa, dilacurkan atau anak- anak yang diperdagangkan. Hingga saat ini mereka belum mendapatkan pelayanan bantuan yang memadai, baik yang dilakukan negara, maupun masyarakat.

Permasalahan anak di Indonesia belum dapat di tangani secara serius dan komprehensif. Penanggulangan masalah anak menjadi ter-marjinalkan di tengah hiruk pikuk persoalan politik dan hegemoni kekuasaan. Ironisnya, di satu sisi permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tapi disisi lain dalam realitasnya permasalahan anak, tindak kekerasan dan penelantaran anak masih belum dapat di tangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Setiap tahunnya di perkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang di perdagangkan di Indonesia. 40.000-70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Institute perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 % korban trafficking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar perdaganagan anak melibatkan anakanak usia 17 tahun. 450.000 orang (70 % adalah perempuan) dikirim ke luar negeri setiap tahunnya dan hampir 60 % dari mereka dikirim secara illegal (Data IOM 2007).

Dalam laporannya, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat telah memulangkan sebanyak 3.943 orang yang diperdagangkan. 90,26% adalah perempuan, 23,41% adalah anak perempuan dan 0,15 % adalah bayi. 40-70 ribu diperkirakan menjadi korban eksploitasi seksual, sementara di Jawa saja terdapat 21.000 anak terlibat prostitusi

(13)

Jumlah anak-anak yang terlibat di dalam wisata seksual terus meningkat, terutama di Bali, Batam, di tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke dll. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana, lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orangtua. Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik di jalanan, di sekolah dan diantara teman sebaya mereka.

Tindak kekerasan seksual terhadap anak memang cukup mencuri perhatian publik.

Dimana pelaku perbuatan amoral ini tidak lagi merasa malu. Ironisnya walau telah ada legitimasi prostitusi khususnya di kota-kota yang telah menyediakan para wanita tuna susila namun masih saja ada lelaki bahkan yang sudah tua tega memperkosa dan mencabuli anak- anak yang masih berusia belasan tahun bahkan yang masih di bawah 10 tahun.

Realitas menunjukkan bahwa kekerasan dan kejahatan ini tidak hanya memakan korban dan wanita dewasa, tetapi juga melanda mereka yang masih anak-anak.

Sebagaimana yang di lansir dalam surat kabar Republika 09 maret 2013 : bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan tahun 2013 merupakan tahun darurat kekerasan pada anak. Indikasi tersebut terlihat kasus kekerasan kian meningkat terhadap anak, khususnya kekerasan seksual.

Peristiwa kejahatan ini memaksa Komite Nasional Perlindungan Anak turun ke daerah-daerah untuk memberi pengarahan dan mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan itu. Komisi Nasional Perlindungan Anak bahkan mencatat, selama tahun 2012 lembaga ini telah menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62 % atau 1.526 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak.

(14)

Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak. Data tersebut menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 10% sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak, memprediksikan tahun 2013 ini akan menjadi tahun darurat kekerasan seksual pada anak jika tidak dilakukan upaya-upaya konkrit sejak dini. Untuk itu, semua pihak baiknya terlibat secara langsung, turut serta mengatasi persoalan ini agar tidak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdxor-2013kekerasanseksual -pada-anak -dinilai-memburuk di akses pada 24 April 2013 Pukul 15.54 wib)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia menetapkan peringkat pertama kekerasan anak untuk Sumatera Utara berada di Medan dan disusul Siantar-Simalungun. Kasus kekerasan tersebut terdiri dari dua macam yakni kekerasan seksual dan kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiayaan, kekerasan psikis. Untuk Siantar-Simalungun ada 476 kasus kekerasan anak yang tercatat hingga November 2012. 476 kasus tersebut masih merupakan data yang tercatat di Komisi Nasional Perlindungan Anak dan berbeda lagi dengan kasus kekerasan yang tidak terlaporkan, 62 % dari kasus yang terlapor di Siantar-Simalungun merupakan kekerasan seksual dan sisanya adalah kekerasan fisik.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang cukup tinggi, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi sebagai penanggung jawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan sosial terhadap anak menyebutkan, bahwa sepanjang tahun 2010 tercatat 74, tahun 2011 tercatat 70 kasus kekerasan terhadap anak dan 97 kasus sepanjang 2012. Sedangkan terhitung january – april PUSPA sudah menangani 20 Kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan KPAID menetapkan Kota Medan di

(15)

urutan ke empat terbanyak kasus kekerasan anak setelah Jakarta, Makassar dan Jawa Barat, terhadap kekerasan seksual yang dialami anak. Ini berdasarkan pendataan secara nasional Komnas Perlindungan Anak, dari 21 juta anak di Indonesia (Kompas, 07 January 2013).

Komisi Nasional Perlindungan Anak menambahkan bahwa pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah : 1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orangtua, 2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi, 3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi, 4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orangtua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orangtua.

Data kekerasan yang di sajikan sebelumnya adalah salah satu contoh dari banyak bentuk tindak kekerasan yang mengancam anak- anak. Bentuk kekerasan lainnya seperti, kekerasan Fisik, Psikis, dan kekerasan Sosial, walau tingkat kasus nya lebih sedikit tapi tetap saja menghantui anak-anak indonesia. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa kanak-kanak berhubungan erat dengan meningkatnya kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman masa kanak-kanak yang tidak baik dalam lingkungan rumah, mempunyai kemungkinan besar untuk mendapatkan gangguan kepribadian ambang dan pada gilirannya akan mendapatkan kemungkinan yang lebih besar untuk menderita depresi pada masa dewasanya.

(16)

Lebih jauh Terry E. Lawson mengemukakan bahwa semua kekerasan yang diterima anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan di bawa sampai pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif dan melakukan kekerasan yang serupa terhadap anak-anak.

Dalam upaya melindungi anak-anak Indonesia, kita sudah memiliki beberapa instrumen hukum yang bertujuan meberikan perlindungan. Ada ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres 39/1990 dan sebagai bentuk implementasinya juga ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya di pandang sebagai persoalan politik dan legislasi. Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggung jawab orangtua, dan kepedulian masyarakat. Semua pihak harusnya menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak.

Tanpa partisipasi masyarakat, pendekatan legal formal saja tidak cukup efektif melindungi anak. Komunitas lokal memiliki peran penting dalam merancang kebijakan dan program aksi perlindungan anak. Kekuatannya terletak pada prosesnya yang partisipatoris sehingga mampu merespon kebutuhan masyarakat setempat lebih tepat. Oleh karena itu optimalisasi peran orangtua, negara dan pemerintah, serta masyarakat terutama melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam upaya mensejahterakan anak perlu diupayakan.

PKPA Medan hadir sebagai salah satu lembaga non pemerintah yang berkomitmen untuk melindungi anak-anak indonesia. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi sebagai penanggung jawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan sosial terhadap anak. PKPA sejak tahun 2001 sampai saat ini berhasil menangani dan mendampingi kasus anak baik secara litigasi dan

(17)

nonlitigasi. Pelayanan-pelayanan tersebut diantaranya: (1)Layanan penerimaan pengaduan, (2) Layanan bantuan hukum, (3) Layanan konseling, (4) Layanan pemeriksaan kesehatan, (5) Layanan monitoring.

Keberadaan pelayanan sosial ini tentunya diharapkan bisa membantu anak-anak mencapai kebebasannya kembali. Dengan itu Pelayanan sosial ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, pelayanan untuk terapi, pertolongan dan rehabilitasi, termasuk perlindungan sosial, perawatan pengganti, dan mendapatkan akses, informasi, dan nasihat. Tapi sejauh ini, tidak ada jaminan apakan layanan ini benar- benar sesuai dengan hal yang di butuhkan anak-anak, atau sudahkah layanan ini menjawab kebutuhan anak-anak korban kekerasan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon atau sikap balasan anak-anak terhadap pelayanan sosial yang di lakukan PKPA.

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon anak korban kekerasan terhadap program pelayanan sosial.

Dengan melihat respon dapat diketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap anak tersebut terhadap program pelayanan sosial. Karena perbedaan respon dapat memunculkan perbedaan yang tajam pada pemanfaatan suatu program. Penelitian ini dirangkum dalam skripsi dengan judul : “Respon Anak Korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”.

(18)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana respon anak Korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) ?”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon anak korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat di gunakan dalam rangka :

1. Sebagai bahan masukan bagi LSM PKPA dalam menyusun dan memberikan pelayanan sosial terbaik bagi anak korban kekerasan

2. Hasil penelitian di harapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan penambah wawasan bagi kalangan yang tertarik dengan permasalahan anak dan kekerasan.

(19)

1.4. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.

BAB IV : GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Berisiskan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon

Banyak ahli yang memberikan penjelasan tentang teori respon. Respons dikatakan Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku adekuat.

Sementara itu Scheerer menyebutkan respons merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsang-rangsang prosikmal di organisasikan. Sedemikian rupa sehingga sering terjadi representasi fenomenal dari rangsang prosikmal (Sarwono, 1998).

Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai respon atau tidak respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangaka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif (Azwar, 1988). Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau mendekati objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk menjauhi objek tersebut.

Hal yang diperlukan dan sangat penting dalam mengukur respon adalah persepsi, sikap dan partispasi. Jadi berbicara mengenai respon tidak terlepas dari pembahasan persepsi, sikap, dan partisipasi.

(21)

Persepsi adalah suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Walgito, 2000). Bentuk persepsi dalam penelitian ini pengetahuan dan pemahaman anak korban kekerasan terhadap pelayanan sosial yang di berikan oleh PKPA.

Sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkahlaku tertentu kalau ia menghadapi ransang tertentu (Wirawan, 199: 20).Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang tehadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui:

1. Pengaruh atau penolakan 2. Penilaian

3. Suka atau tidak suka

4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi

Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila

(22)

informasi yang didengarkan atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek tertentu.

Partisipasi adalah Perilaku yang memberikan pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang. Pengertian lain tentang partisipasi juga dikemukakan oleh Slameto, yang mengatakan bahwa partisipasi adalah Pemusatan energi psikis yang tertuju pada suatu obyek, dan juga meliputi banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang sedang dilakukan. Partisipasi dapat di lihat dari keaktifan atau keikut sertaan dalam menjalani program pelayanan sosial.

2.2. Konsep Anak 2.2.1. Pengertian Anak

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention of the Child Right (CRC) atau KHA menetapkan definisi anak: “Anak berarti setiap manusia di bawah 18 tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Sedangkan Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Semestinya setelah lahir Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum di kategorikan sebagai Lex Spesialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus di sesuaikan termasuk kebijakan yang dilahirkan yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak.

Tapi kenyataanya masih banyak perbedaan persepsi mengenai usia yang di kategorika anak-anak. Masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Beberapa Undang-Undang tersebut diantaranya :

(23)

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki – laki.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin

3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah berusia 8 tahun, tapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin

4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin 5. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan memperbolehkan

usia bekerja 15 tahun

6. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan wajib belajar 9 tahun, yang di konotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun

7. Dan ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

2.2.2. Hak – hak Anak

Deklarasi Internasional pada tahun 1979 yang di canangkan sebagai “Tahun Anak Internasional”. Untuk itu pemerintah Polandia mengajukan ususl bagi perumusan dokumen yang meletakkan standart internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan Konvensi Hak Anak (Convention of the Cgild Right).

Konvensi Hak Anak di ratifikasi oleh hampir semua anggota PBB, yang menandakan bahwa semua bangsa di Dunia sepakat dan sepaham untuk terikat dengan ketentuan-

(24)

ketentuan dalam KHA tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990.

KHA terdiri atas 54 pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara sebagai pihak yang meratifikasi KHA. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam KHA tersebut dapat di kelompokkan dalam empat ketegori hak-hak anak:

a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life) dan hak untuk memperoleh standart kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik- baiknya (the right to the highets standart of health and medical care attainable) b. Hak terhadap perlindungan (proctection right), yaitu hak-hak anak alam KHA yang

meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi

c. Hak untuk tumbuh kembang (development right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standart hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak

d. Hak untuk berpartisipasi (participation right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the right of child to express her/his views in all matter affecting that child).

(25)

2.2.3. Kebutuhan Anak

Setiap anak sebagaimana halnya manusia lainnya, memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk di penuhi, sehungga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak-anak adalah adanya hubungan orangtua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian dan kasih sayang yang berkelanjutan, perlindunagan, dorongan, dan pemeliharaan harus di penuhi orangtua.

Kebutuhan umum anak adalah perlindungan, kasih sayang, pendekatan/perhatian, dan kesempatan untuk terklibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat. Sementara itu Huttman merincikan kebutuhan anak sebagai berikut :

1. Kasih sayang orangtua 2. Stabilitas Emosional 3. Pengertian dan Perhatian 4. Pertumbuhan kepribadian 5. Dorongan kreatif

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7. Pemeliharaan kesehatan

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai 9. Aktifitas rekreasional yang kontrukstif dan positif

10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya anak membutuhkan makanan yang bergizi, pekaian, sanitasi dan perawatan kesehatan. Semasa kecil mereka memerlukan pemeliharaan

(26)

dan perlindungan dari orangtua sebagai perantara dunia nyata. Unuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial, peran- peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental, lemah daya nalar dan bahkan perilaku – perilaku maladaftif, seperti autism, nakal, sukar di atur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia yang menyimpang dan pelaku kriminal.

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambata jika anak mengalamai hal sebagai berikut :

1. Kekurangna gizi dan tanpa perumahan yang layak 2. Tanpa bimbingan dan asuhan

3. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat 4. Diperlakukan salah secara fisik

5. Diperlakukan salah dan di eksploitasi secara seksual

6. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, di inginkan, aman, dan bermartabat

7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian, dan mempunyai orangtua yang menderita gangguan/sakit jiwa

8. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi.

(27)

2.3. Kekerasan

Barker, dalam The Social Work Dictionary mendefinisikan kekerasan sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial baik yang di alami individu maupun kelompok.

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

2.3.1. Kekerasan terhadap Anak

Abuse adalah kata yang biasa di terjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictioanry, Barker mendefenisikan abuse sebagai perilaku tidak layak yang mengakibat kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis atau finansial, baik yang di alami individu maupun kelompok.

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat di definisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang di alami anak –anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali – kali sampai terjadi luka atau goresan.

Namun demikian perlu di sadari bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik melainkan juga berupa bentuk eksploitasi.

Misalnya pornografi dan penyerangan seksual, pemberian makanan yang tidak layak bagi

(28)

anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles, 1985).

2.3.2. Bentuk – bentuk Kekerasan

Terry E Lawson, psikiater anak, mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (Child Abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Sementara itu Suharto (1997: 365-366) mengelompokkan kekerasan terhadap anak menjadi : kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, dan kekerasan seksual dan kekerasan secara sosial. Keempat bentuk kekerasan terhadap anak ini apat di jelaskan sebagai berikut :

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat sentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika.

Lokasi luka biasanya di temukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya di picu oleh tingkah laku anak yang tidak di sukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus menerus, merusak barang berharga, dan lain sebagainya.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis tidak begitu mudah di kenali, karena korban tidak akan memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Kekerasan psikis meliputi penghardikan,

(29)

penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan bukun gambar, atau film porno pada anak. Anak yang medapatkan perlakuan ini pada umumnya menunjukkan gejala prilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika di dekati, takut bertemu orang lain, dan lemah dalam membuat keputusan.

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan hubungan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindak pelecehan seksual terhadap anak –anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan tau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini.

4. Kekerasan Sosial

Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak di kucilkan, di asingkan dari keluarga, atau tidak di berikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan Eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat, sebagai contoh, memaksa anak unuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya anak di paksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang

(30)

memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata atau di paksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melebihi batas kemampuannya.

2.3.3. Faktor Anak menjadi Korban Kekerasan

Terjadinya kekerasan terhadap anak di sebabkan oleh berbagai faktor yang memperngaruhinya. Faktor-faktor yang memperngaruhinya demikian kompleks, kekerasan terhadap anak umunya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat.

Secara garis besar paling tidak ada tiga faktor sosial yang menjadi penyeban terjadinya kasus tindak kekerasan terhadap anak. Pertama karena tidak adanya kontrol sosial terhadapa terjadinya kasus atau tindak kekerasan terhadap anak. Kedua, adanya hubungan hierarki sosial di masyarakat yang cap kali menemoatkan anak pada anak tangga terbawah. Ketiga, ketimpangan sosial dan struktur sosial-ekonomi yang menindas sering kali melahirkan semacam kultur kekerasan, khususnya di kalangan keluarga miskin.

Moore dan Parton mengungkapkan ada orang yang berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak lebih di sebabkan oleh faktor individual dan ada juga yang beranggapan bahwa faktor struktural sosial yang lebih penting. Mereka yang menekankan faktor individual mengatakan bahwa orangtua yang memiliki potensi untuk menganiaya anak mempunyai karakteristik tertentu, yaitu mempunyai latar belakang (masa kecil) yang juga penuh kekerasan, ia juga sudah terbiasa menerima pukulan; ada pula yang menganggap anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua (role reversal) sahingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus di hukum; karakter lainnya adalah ketidak tahuan kebutuhan perkembangan anak, misalnya usia anak belum memungkinkan untuk

(31)

melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orangtua, si anak dipaksa melakukannya dan ketika ternyata anak memang belum mampu, orangtua menjadi marah.

Kemudian Moore dan Parton menjelaskan bahwa mereka yang berpendapat bahwa perspektif sosial lebih penting berargumentasi bahwa seorang individu tidak mungkin apat di pahami tanpa memahami konteks sosialnya. Dalam kasus kekerasan, mungkin saja terjadi karena seseorang tidak mempunyai jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam mengahadapi masalah, atau juga mungkin ketidakpuasannya melihat struktur sosial di mana ia berada pada strata yang kurang beruntung.

Sedangkan Richard J. Gelles (2004: 4-6) menegmukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi ari berbagai faktor yaitu personal, sosial dan kultural. Faktor- faktor tersebut dapat di kelompokkan kedalam empat kategori utama, yaitu :

1. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi

Banyak anak belajar dari perilaku orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya. Dengan demikian perilaku kekerasan di warisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukan bahwa lebih kurang 30 % anak-anak yang di perlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras pada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi sebagian besar anak-anak yang di perlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak-anaknya.

(32)

2. Stres Sosial

Stres yang di timbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, ukuran keluarga besar dari rata- rata, kelahiran bayi baru, orang berkebutuhan khusus di rumah, dan kematian seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus yang di laporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.

Penggunaan alkohol dan narkoba yang umum di antara orangtua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak mungkin memperbesar stress dan merangsang perilaku kekerasan.

3. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orangtua an pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalm suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orangtua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka mengatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Lagipula kurangnya kontak dengan masyarakat menjadikan para orangtua ini kurang memungkinkan merubah perilaku mereka sesuai dengan nilai- nilai dan stadar-standar masyarakat.

Faktor-faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan di terima keluarga. Dalam budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya di anggap sebagai tanggung jawab

(33)

masyarakat, yaitu tetangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak apabila orangtua tidak bersedia atau tidak sanggup.

4. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak di bandingkan dengan orangtua yang utuh. Karena keluarga dengan orangtua yang tunggal biasnya berpendapatan lebih kecil di bandingkan dengan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat di katakan sebagai penyebab meningktanya tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau isteri yang di perlakukan salah mempunyai tingkat tindkan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi di bandingkan dengan keluarga yang tanpa masalah. Selain itu keluarga, diaman baik suami maupun isteri mendominasi di dalam membuat keputusan penting mampunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi di bandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami isteri sama – sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

2.3.4. Dampak Kekerasan bagi Anak

Selama ini berbagai kasus telah membuktikan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan metal anak. Dari hasil penelitian di katakan bahwa penganiayaan pada masa anak berhubungan erat dengan meningkatnya kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman masa kanak yang tidak baik dalam lingkungan rumah, mempunyai kemungkinan besar untuk mendapatkan gangguan

(34)

kepribadian ambang dan pada gilirannya akan mendapatkan kemungkinan yang lebih besar untuk menderita depresi pada masa dewasa.

Secara lebih terperinci dampak yang di alami anak –anak yang menjadi korban tindak kekerasan adalah :

1. Kuragnya Motivasi/harga diri

2. Problem kesehatan mental, misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur

3. Sakit yang serius dan luka yang parah sampai cacat permanen, misalnya patah tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga sakit kepala, perut, otot dan lainnya yang bertahun – tahun meski sudah tak lagi di aniaya

4. Problem – problem kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksi, kehamilan yang tak di inginkan, ketularan penyakit menular seksual

5. Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiamdan suka menarik diri dalam pergaulan

6. Mimpi buruk dan serba ketakutan. Selain itu tidak nafsu makan, tumbuh an belajar lebih lambat, sakit perut, asma dan sakit kepala

7. Kematian.

Adapun dampak kekerasan pada anak dalam masyarakat, menurut Pinky Saptandari (2002) sebagai berikut :

1. Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun temurun atau daru generasi ke generasi 2. Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua mempunyai hak untuk

melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan kekerasan

(35)

3. Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak yang di aniaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak (child abuse) berdasarkan bentuk kekerasan yang di teriama anak. antara lain;

1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orangtua akan berlaku kejam kepada anak- anaknya. Orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;

2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orangtuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat- obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri;

(36)

3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orangtua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

2.4. Pelayanan Sosial

Pelayanan Sosial (social service) merupakan istilah yang tidak mudah untuk di jelaskan (Romanyshyn, 1971; Wickenden, 1976). Pertama-tama kesulitannya karena service memiliki berbagai arti seperti pekerjaan atau kewajiban yang dilakukan untuk pemerintah, perusahaan, atau militer. Kata ini juga dapat berarti bagian dari suatu organisasi pemerintah seperti Civil Service dan Diplomatic Service. Kata service juga dapat berarti perawatan dan perbaikan kendaraan dan mesin secara reguler; dan juga digunakan sebagai pukulan awal dalam tenis atau badminton. Kata ini juga sering diartikan sebagai jasa seperti dalam good and service, yaitu barang dan jasa, dan sebaginya.

(37)

2.4.1. Pengertian Pelayanan Sosial

Sainsbury (1997), Profesor dalam social administration di Inggris menyatakansecara luas bahwa pelayanan sosial adalah pelayanan yang di gunakan untuk semua orang (communal service) yang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan mengurangi jenis-jenis maslah sosial tertentu, kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang memerlukan penerimaan public secara umum atas tanggung jawab sosial yang tergantung pada pengorganisasian hubungan-hubungan sosial untuk pemecahannya.

Pelayanan-pelayanan sosial ini menurut Sainsbury, meliputi kesehatan, pendidikan, pemeliharaan penghasilan, perumahan, dan pelayanan sosial personal. Dolgoff dan Feldstein mengatakan bahwa bahwa paling sederhana untuk menyatakan pelayanan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial.

Pelayanan sosial adalah usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga-keluarga melalui :

1. Sumber-sumber sosial pendukung

2. Proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluarga- keluarga untuk mengatasi stress dan tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal. (Romansyhyn, 1997)

Bagi Wickenden (1976), pemahan atas pengertian pelayan sosial berdasarkan interaksi antara tiga konsep yaitu “kesejhateraan sosial” untuk menggambarkan suatu bidang fungsional yang luas; “Pelayanan Sosial” untuk menggambarkan unsur pelayanan personal dari fungsi dalam bidang kesejahteraan tersebut; dan “pekerjaan sosial” untuk menggambarkan profesi yang mengarahkan, menyupervisi, atau melaksanaka pelayanan- pelayanan tersebut. Jadi pelayanan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, di

(38)

supervisi atau di arahkan oleh pekerja sosial dalam melaksanakan fungsi-fungsi dalam bidang kesejahteraan sosial.

Pengertian pelayanan sosial yang dikemukakan para ahli di atas, semuanya mengacu pada pelayanan sosial dalam arti sempit yaitu pelayanan sosial personal. Definisi yang di kemukakan oleh Kahn (1979) berikut mengacu pada pengertian dalam arti luas. Kahn menyatakan bahwa pelayanan sosial dapat di tafsirkan dalam konteks kelembagaan sebagai terdiri dari atas program-program yang disediakan berdasarkan kriteria selain kriteria pasar untuk menjamin tingkatan dasar dan penyediaan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan masyarakan dan keberfungsian individual, untuk memudahkan akses pada pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga pada umumnya, dan untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan dan kebutuhan.

Kriteria pemberian pelayanan sosial bukan berdasarkan kriteria pasar artinya tidak berdasarkan kemampuan orang untuk membayar. Pemberian pelayanan sosial di dasarkan atas kebutuhan, sehingga walaupun orang tidak mampu membayar tetap akan diberikan pelayanan yang di butuhkan. Idealnya pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial, pelatihan kerja, dan pelayanan sosial personal di sediakan pada tingkat minimal untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dan keberfungsian orang- orang. Pelayan sosial personal dengan profesi pekerjaan sosialnya akan membantu orang- orang yang mengalami masalah dan orang-orang miskin, termasuk untuk menjangkau pelayanan-pelayanan dan/atau lembaga-lembaga tertentu yang di butuhkan.

Pelaksanaan pelayanan sosial mencakup adanya perbuatan yang aktif antara pemberi dan penerima. Bahwa untuk mencapai sasaran sebaik mungkin maka pelaksanaan pelayanan sosial mempergunakan sumber-sumber tersedia sehingga benar-benar efisien dan

(39)

tepat guna. Sehubungan dengan itu maka dalam konsepsi sosial service delivery, sasaran utama adalah si penerima bantuan (beneficiary group).

Dilihat dari sasaran perubahan maka sasarannya adalah sumber daya manusia dan sumber-sumber natural. Pelayanan sosial tidak hanya mengganti atau berusaha memperbaiki keluarga dan bentuk-bentuk organisasi sosial, tetapi juga merupakan penemuan sosial yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia modern dalam berbagai hubungan dan peran-perannya sama halnya seperti inovasi teknologis yang berfungsi sebagai tanggapan terhadap persyaratan fisik dari kehidupan modern.

Kahn membedakan pelayanan sosial secara luas kedalam dua bagian, yaitu :

1. Pelayanan sosial yang menjadi sedemikian terperinci dan luasnya sehingga mencapai identitas mendiri,

2. Pelayanan-pelayanan sosial lainnya yang mencakup bidang dengan batas-batas yang berubah dan meliputi program-program yang berdiri sendiri, misalnya lembaga-lembaga kesejahteraan anak atau pelayanan keluarga. Dan beberapa lembaga yang berada dalam lembaga-lembaga lain, misalnya pekerja sosial di sekolah, pelayana sosial medis, pelayanan sosial di perumahan publik, program-program kesejahteraan industri dan sebagainya. Pelayanan sosial jenis kedua ini di sebut sebagai pelayanan sosial personal atau pelayanan sosial umum (general service).

2.4.2. Pelayanan Sosial Personal

Pelayanan sosial personal adalah program yang melindungi atau mengembalikan kehidupan keluarga, membantu individu mengatasi masalah yang berasal dari luar maupun dari dalam diri, meningkatkan pekembangan dan memudahkan akses melalui pemberian informasi, bimbingan, advokasi dan beberapa jenis bantuan konkret.(Kahn, 1979)

(40)

Sedangkan Sainsbury mengatakan bahwa pelayanan sosial personal adalah pelayanan yang berkepentingan dengan kebutuhan dan kesulitan yang menghambat keberfungsian sosial individu secara maksimum, yang menghambat kebebasannya untuk mengembangkan kepribadiannya dan untuk mencapai aspirasi melalui hibungan dengan orang lain;

pelayanan sosial personal berkepentingan dengan kebutuhan-kebutuhan yang secara tradisional di atasi dengan tindakan pribadi atau keluarga.

Pelayanan-pelayanan sosial tersebut adalah “personal” dalam arti pelayanan- pelayanan itu adalah individualized yang berarti di sesuaikan dengan masing-masing penerima pelayanan, apakah dalam penyampaian pelayanan, dalam menjamin akses pada hak-hak atau manfaat, atau dalam memberikan konseling dan bimbingan (Kahn &

Kamerman, 1976)

Suatu ciri penting dari pelayanan sosial personal adalah bahwa pelayanan ini tidak di pandang sebagai pelayanan untuk orang miskin saja. Selain itu pelayanan sosial personal dapat di bedakan menjadi dua, yaitu :

a. Keperluan-keperluan Sosial Publik (Public Social Uilities)

Pelayanan untuk keperluan sosial publik dapat di bedakan lagi menjadi dua bagian : 1. Di Pelayanan sosial yang disediakan berdasarkan pilihan pengguna, misalnya

pusat kegiatan masyarakat.

2. Pelayanan berdasarkan status atau kategori umur pengguna, misalnya day care sevice (pelayanan perawatan/penitipan anak) dan pusat kegiatan untuk lanjut usia.

b. Pelayanan – pelayanan Kasus (Case Service)

Pelayanan kasus adalah pelayanan yang diberikan berdasarkan hasil evaluasi atau diagnosis. Pelayanan – pelayanan seperti ini di maksudkan untuk mengembalikan atau meningkatkan keberfungsian sosial dalam cara yang di individualisasi.

(41)

Pelayanan sosial personal mempunyai beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut dapat di kelompokkan mejadi tiga golongan, yaitu :

1. Pelayanan-pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan

2. Pelayanan-pelayanan untuk terapi, pertolongan dan rehabilitasi, termasuk perlindungan sosial dan perawatan pengganti

3. Pelayanan-pelayanan untuk mendapatkan akses, informasi, dan nasihat.

Pelayanan-pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan misalnya adalah pusat- pusat kegiatan untuk anak-anak, remaja, dan pemuda, termasuk kegiatan yang dilaksanakan melalui kelompok atau pekerjaan sosial dengan kelompok. Pelayanan-pelayanan sosial untuk terapi, pertolongan, dan rehabilitasi misalnya adalah konseling untuk keluarga, pelayanan untuk korban tindak kekerasan, dan asuhan keluarga, sedangkan pelayanan- pelayanan untuk mendapatkan akses, informasi, dan nasihat, misalnya rujukan kepada pekerja sosial atau tenaga profesional lain untuk mendapatkan pelayanan tertentu yang dibutuhkan, atau dapat juga di dirikan pusat informasi dan nasihat untuk mereka yang ingin bekerja di luar kota atau keluar Negeri dengan memberikan gambaran yang jelas, yang meliputi untung rugi serta masalah-maslah yang mungkin di alami nantinya, dan cara-cara mengantisipasi atau mengatasinya.

2.4.3. Pelayanan Sosial PUSPA-PKPA

Pada tahun 2001 PKPA mendirikan unit layanan pengaduan anak yang di berinama Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA-PKPA). PUSPA merupakan unit layanan untuk memberikan perlindungan dan penanganan masalah anak diantaranya adalah korban kekerasan seksual seperti pelacuran paksa dikalangan anak-anak, traffiking untuk

(42)

tujuan seksual, kekerasan fisik/seksual anak di dalam rumah tangga, incest (perkosaan dalam keluarga), anak yang berkonflik dengan hukum dan bentuk kekerasan lainnya.

PUSPA sebagai sebuah pusat layanan informasi dan pengaduan juga membangun kerjasama antar institusi pemerintah dan non pemerintah di Sumatera Utara dalam mengatasi masalah-masalah terkait dengan anak juga mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan terbaik terhadap anak di Sumatera Utara.

Layanan yang ada di unit PUSPA dapat di akses semua lapisan masyarakat luas terutama bagi keluarga ekonomi tidak mampu yang membutuhkan bantuan pendampingan baik secara litigasi dan non litigasi. Pada umumnya korban yang membutuhkan bantuan hukum ke PUSPA-PKPA membutuhkan penanganan serius dan perlindungan. Kondisi tersebut diatas apabila tidak cepat ditangani akan menambah permasalahan dan mengganggu kehidupan anak dikemudian hari. Dalam menjalankan programnya khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap korban, PUSPA-PKPA memberikan pelayanan litigasi dan non litigasi sebagai berikut :

1. Pelayanan Litigasi

Adalah pelayanan sosial yang memberikan bantuan berupa pendampingan hukum bagi korban kekerasan, trafficking dan lainnya. Bentuk layanan litigasi ini diantaranya :

a. Menindaklanjuti pengaduan yang diterima PUSPA berkordinasi dengan staf litigasi lainnya dan Tim Pengacara pada setiap tingkatan hingga putusan hakim berkekuatan hukum tetap.

b. Melakukan investigasi setelah memperoleh informasi adanya kasus anak melalui koran maupun informasi yang langsung diperoleh dari keluarga.

c. Melakukan penjemputan terhadap klien di lokasi prostitusi, barak penampungan maupun tempat lain yang menjadi tempat sementara klien sebelum kasusnya ditangani oleh PUSPA.

(43)

2. Pelayanan Non Litigasi

Adalah layanan sosial yang diberikan PKPA diluar bantuan hukum, diantaranya : a. Melakukan konseling terhadap anak dan Perempuan (Klien) berkordinasi dengan

staf layanan Bidang Hukum.

b. Melakukan layanan rujukan kesehatan atau layanan kesehatan lainnya seperti rumah sakit yang ditunjuk oleh kepolisian misalnya untuk visum berkordinasi dengan staf Layanan Hukum.

c. Melakukan reintegrasi korban kepada lingkungan keluarga dan sosial.

d. Melakukan kunjungan ke dampingan, eks dampingan dan keluarganya untuk memantau perkembangan mereka setelah kembali ke lingkungan keluarga

2.5. Kerangka Pemikiran

Tindak kekerasan terhadapa anak baik dengan bentuk fisik, psikis, seksual maupun sosial tentu meberikan dampak pada kesehatan fisik dan juga kesehatan mental. Hal ini jelas telah merenggut Hak anak terhadap perlindungan (proctection right), yaitu hak-hak anak alam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi.

Anak korban kekerasan akan mengalami berbagai masalah baru baik fisik maupun psikologis. Jika sudah seperti ini anak tentu membutuhkan pelayanan-pelayanan sosial untuk bisa mengembalikan keberfungsiannya kembali.

Banyak lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang memberikan pelayanan sosial khusus untuk anak, diantaranya adalah Pusat Kajian dan Perlindungan Anak yang

(44)

memberikan pelayanan sosial bagi anak korban kekerasan. Layanan berupa Litigasi, yaitu layanan pendampingan hukum dan Non Litigasi yaitu pelayanan penerimaan pengaduan, konseling, penjemputan dan monitoring.

Keberadaan pelayanan sosial ini tentunya diharapkan bisa membantu anak-anak mencapai kebebasannya kembali. Dengan itu Pelayanan sosial ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya sebagai pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, pelayanan untuk terapi, pertolongan dan rehabilitasi, termasuk perlindungan sosial, perawatan pengganti, dan mendapatkan akses, informasi, dan nasihat.

Tetapi tidak ada jaminan apakan layanan ini benar-benar sesuai dengan hal yang di butuhkan anak-anak, atau sudahkah layanan menjawab kebutuhan anak-anak korban kekerasan. Untuk itulah penelitian di lakukan untuk mengetahui respon atau sikap balasan anak-anak terhadap pelayanan sosial. Pengukuran tersebut akan dilihat dari persepsi, sikap, dan partisipasi anak terhadap pelayanan sosial oleh PKPA.

Untuk mempermudah memahami kerangka pemikiran ini, maka peneliti mambuat dalam bentuk bagan alir pikiran, sebagai berikut :

(45)

Bagan 2.1 Bagan Alir Pikiran

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

ANAK KORBAN KEKERASAN

RESPON ANAK Meliputi:

1. persepsi 2. sikap 3.partisipasi Pelayanan Sosial PKPA:

1. Layanan penerimaan pengaduan 2. layanan bantuan hukum

3. layanan konseling

4. layanan pemeriksaan kesehatan 5. layanan monitoring

(46)

2.6. Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.6.1. Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan di kaji. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang di jadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang di teliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut definisi konsep.

Untuk memahami konsep-konsep yang di gunakan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan, sebagai berikut :

1. Respon dalam penelitian ini adalah suatu tingkah laku balas atau sikap yang berwujud pemahaman, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak, serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu

2. Kekerasan dalam penelitian ini adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak, kekerasanan dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual dan kekerasan sosial

3. Anak Korban kekerasan dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 14 sampai 18 tahun yang yang menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan sosial, yang mengadu ke PKPA dan mendapatkan pelayanan sosial dari PKPA Medan.

4. Pelayanan Sosial dalam penelitian ini adalah program yang membantu individu mengatasi masalah yang berasal dari luar maupun dari dalam diri, meningkatkan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang ada pada tabel di atas kita bisa melihat bahwa mayoritas responden mengaku mengikuti program pemberdayaan anak jalanan tiga kali atau lebih dalam 1 bulan dan

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa responden sebanyak 25 orang (100%) menyatakan pernah mendapatkan informasi seputar remaja khususnya kesehatan reproduksi

a) Faktor penyebab anak menjadi anak jalanan yang menjadi dampingan SKA-PKPA yang tersebar dibeberapa titik persimpangan, terminal bus, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat

Penelitian ini dilakukan terhadap 5 (lima) orang anak jalanan dan 3 (tiga) orang staff SKA-PKPA.Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa anak jalanan tidak sepenuhnya mengerti

Puji syukur dan kemuliaan penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Esa atas setiap anugerah-Nya yang penulis rasakan selama ini, serta pertolongan-Nya yang memampukan penulis

Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya kekerasan dalam keluarga

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja media komunikasi yang digunakan PKPA, pesan apa yang disampaikan melalui media komunikasi PKPA, penggunaan

Pengelolaan program kinerja pendampingan yang dilakukan oleh P2TP2A sudah efektif dan berkelanjutan serta kerjasama antar instansi-instansi daerah dan masyarakat sipil yang