• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN

(Studi Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Oleh:

MAYAVITA DWIYANTI PURBA 170200295

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN

KEMATIAN

(Studi Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Oleh:

MAYAVITA DWIYANTI PURBA 170200295

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh

A.n Ketua Departemen Hukum Pidana

Liza Erwina, S.H., M.Hum.

NIP. 196110241989032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H., M.Hum. Dr. Marlina, S.H., M.Hum.

NIP. 196209071988112001 NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : MAYAVITA DWIYANTI PURBA

NIM : 170200295

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 6/PID.SUS-ANAK/2019/PN SIM DAN PUTUSAN NOMOR 3/PID.SUS-ANAK/2020/ PN ENR)

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi yang saya tulis adalah benar dan tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Mei 2021

Mayavita Dwiyanti Purba 170200295

(4)

i

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena oleh berkat-Nya yang melimpah dalam segala hal serta kasih dan penyertaan-Nya di setiap langkah dan kehidupan, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak Hingga Menyebabkan Kematian (Studi Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr)” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam penulisan skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari segi isi penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan senang hati Penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang memberi perhatian terhadap skripsi ini.

Melalui kesempatan ini, penulis persembahkan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada orang tua penulis yaitu Bapak M.T Purba, S.Pd. dan Mama M. Lingga, S.Pd. yang terus memberikan doa, dukungan baik secara moril maupun materil, kasih sayang serta semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan ini, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

(5)

1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Mahmul Siregar SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Agusmidah SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Puspa Melati Hasibuan,S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Mohammad Ekaputra SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Pelaksana Tugas Ketua Departemen Hukum Pidana dan merangkap sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

7. Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Alm. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama masa perkuliahan.

(6)

iii

10. Bapak dan Ibu Dosen serta Jajaran Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada abang Mahardika Putra Purba S.Hut., M.Si dan kakak Maharani Dwiyana Purba, S.Hut. yang terkasih, yang selalu mendukung baik dalam bentuk moril maupun materil dan menyemangati dari jauh.

12. Kepada teman baik penulis yang terkasih yaitu Jihan Salsabilla, Winika Deliana Sitompul, Kristiadi Mangatur Silaban, Farhan Husein Nasution, Paulus Filippo Sinaga, Yudha Byan dan kakak yang terkasih yaitu Rodo Pandiangan S.H. yang selalu ada menemani dan menjadi tempat berkeluh kesah, berbagi canda tawa, bertukar pikiran serta memberikan dukungan dan nasihat dari awal perkuliahan.

13. Kepada Grup Dalam Grup (Kartika Doloksaribu, Anggi Aritonang, Samuel Felix Pardosi, Samuel Kevin Pakpahan, Andrew Harefa, dan Roy Silitonga), Bertiga (Evelyn Bintang dan Jonathan Marpaung), Sobat Ambyar (Alledya Purba, Tarida Saragih, dan Steven Lumbantobing), BPH (Erma Dianty Manullang dan Surya Baginda Sirait), dan Grup Wacana (Kristina Hutahuruk dan Yosifani Purba). Terima kasih atas bantuan serta dukungannya.

14. Kepada teman-teman Angkatan 2017 terkhusus Grup D Angkatan 2017, Kelompok Klinis dan teman-teman Departemen Hukum Pidana yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan serta dukungannya.

(7)

15. Kepada abang, kakak, dan teman-teman di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Komisariat Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, ilmu, dan pengalaman yang penulis dapatkan selama berorganisasi maupun kepanitiaan.

16. NCT dan EXO yang menjadi penyemangat penulis. Terima kasih sudah menghibur dan menjadi motivasi bagi penulis dari awal perkuliahan sampai sekarang.

17. Kepada setiap orang yang mengenal penulis, yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih untuk dukungan dan doa baiknya. Tuhan memberkati.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Besar harapan penulis agar kiranya skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pembacanya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2021 Hormat Penulis

Mayavita Dwiyanti Purba 170200295

(8)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Tindak Pidana ... 10

2. Tindak Pidana Kekerasan ... 14

3. Anak ... 16

F. Metode Penelitian... 20

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA A. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Hingga Menyebabkan Kematian ... 26

(9)

vi

B. Pengaturan Hukum Mengenai Anak Sebagai Pelaku Tindak

Pidana ... 31

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Oleh Anak Hingga Menyebabkan Kematian ... 49

B. Penerapan Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak Hingga Menyebabkan Kematian ... 54

1. Kebijakan Penal ... 57

2. Kebijakan Non-Penal ... 62

BAB IV ANALISIS YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN A. Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim ... 66

1. Kronologi Kasus ... 66

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 70

3. Tuntutan Pidana ... 71

4. Fakta Hukum ... 72

5. Pertimbangan Hakim ... 77

(10)

vii

6. Putusan Hakim ... 88

7. Analisa Putusan ... 88

B. Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr ... 91

1. Kronologi Kasus ... 91

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 94

3. Tuntutan Pidana ... 94

4. Fakta Hukum ... 95

5. Pertimbangan Hakim ... 100

6. Putusan Hakim ... 107

7. Analisa Putusan ... 108

C. Perbandingan Analisis Kasus Putusan Nomor 6/Pid.Sus- Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus- Anak/2020/PN Enr ... 110

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(11)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak /2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak /2020 /PN Enr ……… 112

(12)

ix ABSTRAK

Mayavita Dwiyanti Purba* Nurmalawaty**

Marlina***

Segala bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa nyaris dilakukan pula oleh anak-anak, salah satunya merupakan tindak pidana kekerasan. Skripsi ini membahas mengenai analisa yuridis terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian. Ada tiga jenis permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan terkait tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian menurut hukum Indonesia, bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian dan bagaimana analisis yuridis mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr.

Penelitian ini merupakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis berupa penelitian kepustakaan (library research). Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian diatur secara rinci pada Pasal 80 Ayat (3) Jo Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Terdapat perbedaan pertimbangan Hakim dalam penerapan hukum terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian. Dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus- Anak/2019/PN Sim, sanksi yang dijatuhkan terhadap Anak yaitu tindakan berupa pengembalian kepada orang tua. Dalam Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr, sanksi yang dijatuhkan terhadap Anak yaitu pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan Pelatihan Kerja di LPKA Maros selama 6 (enam) Bulan.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Tindak Pidana Kekerasan, Anak

* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(13)

1 A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara hukum.1 Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.2 Hukum memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yaitu sebagai alat untuk menciptakan keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban serta memberikan kepastian hukum. Namun dewasa ini pola tingkah laku manusia semakin menyimpang dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat dan berujung terjadinya suatu pelanggaran bahkan kejahatan.3

Hukum merupakan sebuah kekuasaan yang bersifat mengatur dan memaksa serta memiliki sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya. Hukum memiliki hakikat bertujuan untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup mayarakat. Indonesia sebagai negara hukum juga menganut prinsip demokrasi, perlindungan hukum, serta perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya termasuk perlindungan terhadap anak. Menurut hukum positif Indonesia, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2 Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), hlm. 69.

3 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(14)

2

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.4 Anak merupakan anugerah dari Tuhan. Anak memiliki peran yang strategis dan penting dalam pembangunan nasional, sehingga Pemerintah Indonesia mewujudkan dan/atau telah membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang pada hakikatnya melindungi, menjunjung tinggi, serta memperhatikan hak-hak anak sebagai wujud dari rasa kepedulian akan masa depan anak.

Anak merupakan harapan dan tumpuan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kelak mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.5

Anak adalah masa depan bangsa. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Cara mendidik dan memperlakukan anak-anak sebagai generasi penerus akan menentukan kualitas masa depan sebagai umat manusia dan bangsa.6 Namun seiring dengan perkembangan zaman membuat tata krama dan pola pikir

4 Pasal 1 angka 1 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.1.

6 Irwanto, dkk, Perdagangan Anak di Indonesia (Jakarta: International Labour Office, 2001), hlm. 121.

(15)

anak semakin menurun. Terjadi peningkatan jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak (juvenile delinquency) dan semakin beragam pula modusnya. Hal tersebut sangatlah miris, mengingat bahwa anak merupakan generasi bangsa yang harus dilindungi karena merupakan bagian dari penerus bangsa yang berperan memajukan bangsa ini.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan anak yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu kurang perhatian dan kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.7 Masalah anak merupakan salah satu masalah utama yang perlu dipecahkan dan ditangani dengan maksud sebagai pembinaan terhadap generasi muda, terlebih kepada anak yang mengalami konflik hukum.

Pembinaan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai tertib hukum, salah satu upayanya yaitu memberikan perlakuan dan perlindungan dengan cara khusus dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, mulai dari tingkat

7 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.

158.

(16)

4

penyidikan, penuntutan dan peradilan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian baik mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya.8 Anak memiliki hak secara spesifik berbeda dengan hak- hak orang dewasa, hal ini disebabkan bahwa anak sangat rentan mengalami kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi.9

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.10

Sebagai wujud dari perlindungan hukum terhadap anak, negara mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempertegas mengenai pentingnya pemberatan sanksi pidana dan juga denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak untuk memberikan efek jera,

8 Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak: Panduan Memahami Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 1.

9 Nur Rochaeti, “Implementasi Keadilan Restoratif dan Pluralisme Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia”, Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Vol. 44, No.2, (April 2015), hlm.150.

10 Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Anak (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 3.

(17)

serta untuk mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali secara fisik, psikis, dan juga sosial anak sebagai korban atau sebagai pelaku tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama di kemudian hari.11

Undang-Undang Perlindungan Anak telah membantu memberikan tafsir, apa- apa saja yang menjadi bagian hukum anak di Indonesia dimulai dari hak keperdataan anak dibidang pengasuhan, perwalian, dan pengangkatan anak, serta mengatur masalah eksploitasi anak dibidang ekonomi, sosial dan seksual.

Persoalan lain yang diatur dalam hukum perlindungan anak adalah bagaimana penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan juga tanggung jawab orang tua, masyarakat dan negara dalam melindungi anakanak. Dengan demikian, cakupan hukum anak sangatlah luas dan tidak bisa disederhanakan hanya pada bidang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak- anak.12

Berbagai kasus tindak pidana yang melibatkan anak harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah aktual dan faktual sebagai gejala sosial dan kriminal yang telah menimbulkan kehawatiran dikalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta penegak hukum.13 Segala bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa nyaris dilakukan pula oleh anak-anak, salah

11 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

12 Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, (Jakarta: PT.

Softmedia, 2012), hlm. 2.

13 Ulang Mangun Sosiawan, “Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol.16, No.4 (Desember 2016), hlm. 428.

(18)

6

satunya merupakan tindak pidana kekerasan. Kekerasan merupakan suatu tindakan sewenang-wenang yang dilakukan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Berbagai bentuk kekerasan terjadi, baik ringan sampai yang berat. Kekerasan dapat menyebabkan orang lain terganggu bahkan kematian pada pihak korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 89 dijelaskan bahwa, melakukan kekerasan merupakan suatu bentuk perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah yang membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.

Melihat permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum, Pemerintah berupaya dengan menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPA). Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sistem peradilan yang khususnya berlaku untuk mengadili anak yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dala Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.14

Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan

14 Muhammad Hamdan dan Mahmud Mulyadi, Sanksi Pidana dan Tindakan Terhadap Anak, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2019), hlm. 69.

(19)

Khusus Anak (LKPA). Substansi yang paling mendasar adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari stigmastisasi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.15

Tujuan daripada diterapkannya diversi dalam sistem peradilan pidana anak untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.16 Perlindungan hak-hak Anak yang berkonflik dengan hukum ini sebagai bentuk implementasi keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang dilakukan melalui upaya Diversi bagi anak yang Berkonflik dengan Hukum.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik mengangkat permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat dan penulis melakukan suatu kajian ilmiah dalam bentuk penelitian sistematis dan mendasar mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan korbannya meninggal dunia dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Analisis Yuridis Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak Hingga Menyebabkan Kematian (Studi Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr)”

15 Penjelasan atas UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

16 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(20)

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya dari skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan terkait tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian menurut hukum Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian?

3. Bagaimana analisis yuridis mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus- Anak/2020/PN Enr?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan terkait tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian menurut hukum Indonesia.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian.

3. Untuk mengetahui analisis yuridis mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian.

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penulisan yang diuraikan diatas, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

(21)

1. Manfaat Teoritis

Melalui hasil tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah wawasan mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian dan bahan tambahan bagi para akademisi sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat membantu para penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi berjudul “Analisis Yuridis Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak Hingga Menyebabkan Kematian (Studi Putusan No. 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr) merupakan hasil pemikiran sendiri oleh penulis tanpa adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun dan belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah dan secara akademik.

(22)

10

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu ―strafbaar feit‖.17 Istilah strafbaar feit, terdiri dari tiga unsur kata, yaitu straf, baar, dan feit. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat atau boleh, dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.18

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.19

Dalam hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain: orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang

17 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 (Medan: USU Press, 2015), hlm. 77.

18 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta: Rangkang Education), hlm. 19.

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru Edisi Pertama Cetakan ke-1) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 152-153.

(23)

tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.20

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan.21

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan

c. Macam-macam maksud atau oogmerk

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad e. Perasaan takut atau vress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:

a. Sifat melanggar hukum b. Kualitas dari si pelaku

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Sedangkan menurut Leden Marpaung unsur tindak pidana yang terdiri dari 2 (dua) unsur pokok, yakni: 22

20 Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 28.

21 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 193.

22 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 295.

(24)

12

Unsur pokok subjektif:

a. Sengaja (dolus) b. Kealpaan (culpa) Unsur pokok objektif:

a. Perbuatan manusia

b. Akibat (result) perbuatan manusia c. Keadaan-keadaan

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesalahan pelaku tindak pidana berupa 2 (dua) macam yakni:

a. Kesengajaan (Dolus/Opzet)

Dalam teori kesengajaan (Opzet) yaitu menghendaki dan mengetahui (willens en wettens) perbuatan yang dilakukan terdiri dari 2 (dua) teori yaitu:

1) Teori kehendak (wilstheorie), adanya kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang.

2) Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings theorie), pelaku mampu membayangkan akan timbulnya akibat dari perbuatannya.

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai 3 (tiga) macam jenis yaitu:

(25)

1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.

2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij ZekerheidsBewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij MogelijkheidsBewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

b. Ketidaksengajaan (Culpa)

Arti kata culpa adalah ―kesalahan pada umumnya‖, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.23

Dalam KUHP sendiri, tindak pidana dibagi menjadi dua yakni pelanggaran dan kejahatan yang masing-masing termuat dalam Buku II dan

23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2006), hlm. 65-72.

(26)

14

Buku III KUHP. Pelanggaran sanksinya lebih ringan daripada kejahatan.

Menurut Konsep KUHP Baru tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materiil.

Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyatakan:

1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

3) Setiap tindak pidana selalu dipadang bersifat melawan hukum kecuali ada alasan pembenar. Istilah strafbaar feit setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diartikan secara berlain-lainan oleh beberapa ahli hukum pidana, sehingga melahirkan istilah yang berbeda- beda pula. Ada yang menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, tindak pidana, dan delik.

2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan a. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan

Dalam tatanan Bahasa Inggris, abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictionary, Barker mendefenisikan abuse sebagai ‖improper behavior intended to cause

(27)

phsycal, phsychological, or financial harm to an indvidual or group‖

(Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologi, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai perihal yang berciri keras; perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain dan bersifat paksaan.

Menurut Pasal 1 ayat 15 (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

b. Jenis Tindak Pidana Kekerasan

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) maupun yang tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang atau bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada 4 (empat) jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi:

1) Kekerasan terbuka (kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian);

(28)

16

2) Kekerasan tertutup (kekerasan tersembunyi atau yang secara tidak langsung dilakukan, seperti pengancaman);

3) Kekerasan agresif (kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjambretan); dan

4) Kekerasan defensed (kekerasan untuk melindungi diri)

KUHP tidak mengatur kekerasan dalam satu bab khusus, melainkan terpisah-pisah dalam beberapa bab. Kualifikasi kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Kejahatan terhadap nyawa orang lain (Pasal 338-350 KUHP) 2) Kejahatan penganiayaan (Pasal 351-358 KUHP)

3) Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan (Pasal 365 KUHP)

4) Kejahatan terhadap kesusilaan (Pasal 285 KUHP)

5) Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan (Pasal 359 KUHP)

3. Tinjauan Umum Anak

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian ―anak‖ dimata hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga

(29)

disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).24

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.25

Dengan demikian maka pengertian anak (juvenile) pada umumnya adalah seorang yang masih di bawah umur tertentu, yang belum dewasa dan belum pernah kawin. Pada beberapa peraturan perundang–undangan di Indonesia mengenai batasan umur berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung dari sudut manakah pengertian anak dilihat dan ditafsirkan. Hal ini tentu ada pertimbangan aspek psikis yang menyangkut kematangan jiwa seseorang.26

Batasan umur anak sangatlah penting dalam perkara pidana anak karena berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tergolong anak atau bukan. Dalam hal batasan umur anak, lebih condong mengarah kepada batasan umur yang ditetapkan oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Sistem Peradilan Anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 adalah sistem mengenai proses penyelesaian perkara ―anak yang berhadapan dengan hukum.‖ Anak yang berhadapan dengan hukum yang

24 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: CV.

Novindo Pustaka Mandiri, 2001), hlm. 5.

25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

26 Abintoro Prakoso, Hukum Perlindungan Anak (Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2016), hlm. 42-43.

(30)

18

dimaksud oleh undang-undang tersebut, menurut Pasal 1 angka 2 Undang- Undang No. 11 tahun 2012, terdiri atas:

a. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3);

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4);

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5).

Menurut R. Wiyono, frasa ―anak yang berhadapan dengan hukum‖ dalam Pasal 1 angka 2 diambil dari ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal berikut:27

a. Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan: ―Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab unuk memberikan perlindungan

27 R. Wiryono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 15.

(31)

khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum...‖ dan seterusnya.

Namun pada UU No. 35 Tahun 2014, ketentuan pasal tersebut diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1): ―Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.‖

Ayat (2): ―Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a) Anak dalam situasi darurat;

b) Anak yang berhadapan dengan hukum;

c) Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e) Anak yang menjadi koban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;

f) Anak dengan HIV/AIDS; anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;

g) Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; anak korban kejahatan seksual;

h) Anak korban jaringan terorisme;

i) Anak penyandang disabilitas;

j) Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;

k) Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

l) Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.‖

Di antara pasal 59 dan pasal 60 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal 59 A sehingga berbunyi sebagai berikut:

―Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya: a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;

pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.‖

b. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan:

(32)

20

1) Ayat (1): Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.

2) Ayat (2): Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan orang tua atau keluarga; dan

g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa dan untuk menghindari labelisasi.

F. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, sutu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.28 Adapun metode dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

28 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1974), hlm. 37.

(33)

normatifnya.29 Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan serta norma-norma positif dalam sistem perundang- undangan.

Penelitian hukum normatif mencakup:30 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

d. Perbandingan hukum; dan e. Sejarah hukum.

Penelitian Hukum normatif memberi pemahaman terhadap permasalahan norma yang dialami oleh ilmu hukum dogmatik dalam kegiatannya mendeskripsikan norma hukum, merumuskan norma hukum, dan menegakkan norma hukum.31

2. Sifat Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek

29 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hlm. 57.

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14.

31 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, (Denpasar: Kencana, 2016), hlm. 82.

(34)

22

yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan selanjutnya dilakukan pengambilan kesimpulan.32

3. Sumber Data

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (authoritative). Bahan hukum tersebut terdiri atas: (a) peraturan perundang- undangan; (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan; dan (c) putusan hakim. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas: (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahaan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum; (b) kamus-kamus hukum; (c) jurnal-jurnal hukum; dan (d) komentar-komentar atas putusan hakim.

1) Bahan-bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak c) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak d) Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim

e) Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr

2) Bahan Hukum Sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaah kepustakaan atau berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian, yaitu:

32 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

(35)

a) Penelitian b) Jurnal hukum

c) Hasil karya ilmiah para sarjana dan sebagainya

3) Bahan Hukum Tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu:

a) Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia b) Ensiklopedia

c) Bahan hukum lain baik itu dari media elektronik maupun media cetak

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun metode yang digunakan penulis guna mendapatkan data yakni dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Instrumen yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan mengkaji beberapa buku dan juga dengan melakukan studi putusan untuk kemudian dianalisis dengan data dan fakta yang didapat dari riset kepustakaan yang dijadikan sebagai acuan penulisan. Kemudian disusun secara sistematis lalu dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan sesuai data- data yang telah disusun.

5. Analisis Data

Analisis data dalam skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu menganalisis data-data yang diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan-penjelasan atas hal-hal yang terkait dalam skripsi ini,

(36)

24

yang kemudian dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan dapat ditarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta hukum dalam masalah atau materi penelitian.33

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 (lima) bab, dimana tiap bab terbagi atas beberapa sub bab guna mempermudah pemahaman akan skripsi ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang berisi latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Bab ini membahas mengenai pengaturan hukum tindak pidana kekerasan hingga menyebabkan kematian dan mengenai pengaturan hukum anak sebagai pelaku tindak pidana menurut hukum pidana di Indonesia.

33 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 24.

(37)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN Bab ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian serta penerapan kebijakan kriminal terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak hingga menyebabkan kematian.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 6/PID.SUS- ANAK/2019/PN SIM DAN PUTUSAN NOMOR 3/PID.SUS- ANAK/2020/PN ENR)

Pada bab ini akan diuraikan kasus posisi yaitu kronologi, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim, putusan hakim dan analisis kasus serta perbandingan analisis kasus dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2019/PN Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN Enr.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab akhir yang menjadi penutup dari rangkaian bab-bab sebelumnya. Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya serta saran-saran yang mungkin berguna.

(38)

26 BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK HINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Hingga Menyebabkan Kematian

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksudkan dengan kekerasan. Namun dalam Pasal 89 KUHP disebut bahwa ―membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan‖. Pada penjelasan Pasal 89 KUHP, dijelaskan bahwa : ―Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya‖.34

Pengertian kekerasan dalam konteks anak yang berhadapan dengan hukum menurut Pasal 1 angka 16 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu: ―Setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual,

34 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Cetakan Ulang (Bogor:

Politeia, 1996), hlm. 146.

(39)

dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.‖35

Dalam KUHP, pengaturan mengenai kekerasan tidak disatukan dalam satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Dalam KUHP kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain Pasal 338-350 KUHP 2. Kejahatan penganiayaan Pasal 351-358 KUHP

3. Kejahatan pencurian, penodongan, perampokan Pasal 365 KUHP 4. Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya Pasal 285 KUHP

5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan, Pasal 359-367 KUHP

Adapun bentuk-bentuk kejahatan kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Kejahatan pembunuhan.

Kejahatan pembunuhan sebagaimana terdapat dalam KUHP bab XIX yang merupakan kejahatan terhadap nyawa orang yang selanjutnya diatur dalam KUHP pada Pasal 338 sampai Pasal 350 adalah merupakan suatu delik materiil, maka menitik beratkan pada akibat yang diancam dengan pidana oleh undang-undang. Cara dalam melakukan pembunuhan dapat berwujud bermacam-macam perbuatan, dapat berupa menikam dengan pisau, memukul dengan benda keras dan sebagainya. Kejahatan

35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hlm. 3.

(40)

28

terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:

1) Atas dasar unsur kesalahannya 2) Atas dasar objeknya (nyawa)

Atas dasar kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:

a) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven) yang termuat dalam BAB XIX KUHP Pasal 338 s/d 350.

b) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven), dimuat dalam BAB XXI khusus Pasal 359.

Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukun yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam, yakni:

a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal: 338. 339, 340, 344, dan 345.

b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343.

c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal: 346, 347, 348, dan 349.

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja dirumuskan dalam Pasal 359, yang berbunyi: ―Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dipidana

(41)

dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.‖ Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:

a) Adanya unsur kelalaian (culpa);

b) Adanya wujud perbuatan tertentu;

c) Adanya akibat kematian orang lain;

d) Adanya hubungan kasual antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.

2. Kejahatan penganiayaan berat.

Penganiayaan berat menurut undang-undang apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja menyebabkan atau mendatangkan luka berat.

Luka berat dimaksudkan disini adalah merupakan tujuan utama, jadi niat si pembuat harus ditujukan kepada melukai berat. Artinya luka harus dimaksudkan oleh si pembuat, apabila tidak dimaksudkan oleh si pembuat dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, terdapat dalam Pasal 351 ayat 2 KUHP

3. Kejahatan pencurian dengan kekerasan

Perlu diketahui bahwa pencurian dengan kekerasan pada dasarnya identik dengan modus pencurian lainnya, perbedaannya terletak pada klasifikasi kekerasan atau ancaman kekerasan yang melekat pada peerbuatan pencurian. Unsur ini merupakan unsur pokok yang penting dalam pencurian dengan kekerasan. Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut harus ditujukan kepada orang dan bukan barang.

(42)

30

4. Kejahatan pemerkosaan

Delik pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi barang siapa dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Melihat isi dari pasal tersebut, maka pemerkosaaan memiliki beberapa unsur diantaranya laki-laki yang memaksa perempuan dengan kekerasan, perempuan itu bukan istrinya, dan paksaan itu dilakukan untuk bersetubuh. Hal ini lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa persetubuhan itu harus benar-benar terjadi.

UU Perlindungan Anak secara yuridis mengatur tentang tindak pidana kekerasan yang dilakukan terhadap anak ke dalam beberapa pasal, salah satunya yaitu Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak. Lebih lanjut, Pasal 76 C menentukan bahwa: ―Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.‖

Dalam Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak, terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 C dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Dalam hal Anak mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(43)

B. Pengaturan Hukum Mengenai Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Anak adalah masa depan maupun generasi penerus bangsa yang memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada.36 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: ―Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.‖

Sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka ada peraturan lebih khusus mengenai tindak pidana kekerasan terhadap anak yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak berhadapan dengan hukum, yaitu:37

1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.

36 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 15.

37 Harry E. Allen and Clifford E. Simmonsen dalam Purniati, Mamik, Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, Correction in America An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia (Jakarta: UNICEF, 2003), hlm. 2.

(44)

32

2) Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

KUHP tidak mengatur secara tegas tentang anak sebagai pelaku tindak pidana. KUHP hanya menyebutkan kata ―barangsiapa‖. Akan tetapi dalam hal menjatuhkan sanksi pidana dirumuskan tentang adanya pilihan bagi Hakim dalam putusannya untuk menjatuhkan pidana apabila yang melakukan tindak pidana tersebut adalah anak yang belum berumur 16 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45, 46 dan Pasal 47 KUHP. Pasal-pasal ini sudah dicabut dan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.38

Mengenai anak sebagai pelaku kejahatan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP. Anak sebagai pelaku maupun sebagai korban diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang beberapa diantaranya sudah diubah dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Terdapat perbedaan proses peradilan pidana terhadap orang dewasa dan anak yang melakukan tindak pidana yaitu, undang-undang meringankan tindak pidana yang dilakukan anak, karena terdapat hak-hak anak yang harus dilindungi. Perbedaan proses peradilan tersebut dapat dilihat salah satunya dalam ketentuan Pasal 3 UU SPPA yang mengatur tentang hak setiap anak dalam proses peradilan pidana, diantaranya:

38 Muhammad Hamdan dan Mahmud Mulyadi, opcit, hlm. 49

(45)

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. Dipisahkan dari orang dewasa;

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. Melakukan kegiatan rekreasional;

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. Tidak dipublikasikan identitasnya;

j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

k. Memperoleh advokasi sosial;

l. Memperoleh kehidupan pribadi;

m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n. Memperoleh pendidikan;

o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(46)

34

Menurut Pasal 4 UU SPPA, anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:

a. Remisi atau pengurangan masa pidana;

b. Asimilasi;

c. Cuti mengunjungi keluarga;

d. Pembebasan bersyarat;

e. Cuti menjelang bebas;

f. Cuti bersyarat;

g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, asas perlindungan dalam UU SPPA terlihat dalam hal penjatuhan sanksi. Anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dijatuhi 2 (dua) macam sanksi, yakni sanksi tindakan (pelaku tindak pidana berumur di bawah 14 tahun) dan sanksi pidana (Pasal 69 UU SPPA).

a. Sanksi tindakan meliputi, pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan/atau perbaikan akibat tindak pidana (Pasal 82 UU SPPA).

b. Sanksi pidana meliputi pidana pokok dan pidana tambahan (Pasal 71 UU SPPA). - Pidana pokok yang meliputi, pidana peringatan, pidana dengan syarat (yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam

(47)

lembaga dan penjara. - Pidana tambahan yang meliputi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk anak yang melakukan tindak pidana kekerasan, hakim wajib untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan si anak terutama hak-haknya sebagai seorang anak. Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma tertinggi menggariskan bahwa ―setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi‖39

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, antara lain:40

a. Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival), yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (The Right of Live) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.

b. Hak terhadap perlindungan (Protections Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang

39 Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

40 Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 35.

Gambar

Tabel 1  Perbandingan  Putusan  Nomor  6/Pid.Sus-Anak  /2019/PN  Sim dan Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak /2020 /PN Enr  Putusan  Nomor:

Referensi

Dokumen terkait

Adapun untuk menilai keefektifan dari sistem keamanan yang diterapkan oleh Perpustakaan Kota Yogyakarta, Bapak Triyanta juga mengemukakan bahwa yang paling efektif adalah sistem

Pada kesempatan ini, akan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merelokasi hiposenter gempa bumi wilayah Sumatera Selatan pada tahun 2010 sampai tahun 2015

Hasil dari Pengujian Hipotesis menentukan bahwa Hipotesis Alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan oleh teka teki silang dalam penguasan kata

kesulitan metakognisi dalam memecahkan masalah sistem pertidaksamaan linear dua variabel. Kemudian metakognisi siswa bertipe kepribadian Artisan dalam memecahkan

Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi

Menerusi kertas kerja ini juga, beberapa konsep kajian berkaitan kemahiran generik, program ijazah sarjana muda pendidikan yang merangkumi kajian tentang

Pembahasan : Perusahaan menggunakan metode tidak langsung dalam melakukan pencatatan piutang tak tertagih  yaitu menggunakan akun cadangan kerugian piutang (yang

Dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk, pemberian pupuk anorganik (Phonska), pupuk organik kandang sapi, pupuk kandang ayam, pupuk organik kaya hara Formula A