• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA

JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:451/PDT/.2015.PT.BDG)

TESIS

Oleh:

HARIYADI 157011279/M.Kn

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA

JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:451/PDT/.2015.PT.BDG)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARIYADI 157011279/M.Kn

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah di uji pada

Tanggal : 30 Januari 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Suprayitno, SH, M.Kn

2. Prof. Dr. Madiasa Ablizar, SH, MS 3. Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan SH, M.A

(5)

PERSETUJUAN PUBLIKASI

TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : HARIYADI

Nim : 157011279

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini saya menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalty Non Eksklusif (Non exclusive, royalty free right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul:

“TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA

JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:451/PDT/.2015.PT.BDG)”

Dengan Hak Bebas Royalty Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta

Demikianlah persetujuan publikasi ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Medan, Januari 2018

HARIYADI

(6)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, HARIYADI, dengan ini menyatakan bahwa tesis saya :

“TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS OBJEK PALSU YANG MENJADI DASAR PEMBUATAN AKTA

JUAL BELI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA TERSEBUT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:451/PDT/.2015.PT.BDG)”

Adalah karya orisinal saya dan setiap pendapat serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2018 Yang membuat pernyataan

HARIYADI

(7)

ABSTRACT

PPAT as a public official is liable for any deeds he makes. When it is legally defective due to a Notary’s negligence and intention, PPAT takes moral and legal liability. Since he has big responsibility, he has to be very cautious in any object he has to sign. One of the negligence cases about false object was given by the persons appearing who want to make sales deeds in the Bandung Appellate Court’s Verdict No. 451/PDT/2015.PT.BDG. The case occurred when Rian Pratama as a Notary/PPAT with the work area of Bandung made a Sales Deed No. 250/2012 on June 19, 2012 and a Sales Deed No. 251/2012 on June 19, 2012 between Eva Fatimah as the seller and Yo Swie Tjin as the buyer. However, the PPAT did negligence in making the contracts because the buyer had given false object.

The research used juridical normative and descriptive analytic method.

Secondary data were obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials and analyzed qualitatively.

The research conclusion is that the legal domicile and the evidence of the sales deeds made by PPAT which contain false object cause them to be degraded into underhanded certificates and can be revoked. A PPAT who makes an authentic deed which contains false object can be imposed with administrative and civil sanction. Concerning the Bandung Appellate Court’s Verdict No.

451/Pdt/2015.PT.Bdg., there are 2 (two) substantial problems which have to be analyzed: the legal domicile and the evidence of the deeds made by Rian Pratama as a PPAT which contain false object so that they become legally defective and degraded into underhanded certificates and can be revoked . As a PPAT, Rian Pratama has to take administrative and civil liability for his negligence. It is recommended that a PPAT be guided by the prevailing laws and regulations on sales deeds and in making sales contracts. He should be very cautious and alert in scrutinizing any documents given by the persons appearing. In examining lawsuit against making sales deeds by PPAT which contain illegal act, the Court can impose sanction and revocation on the sales deeds made by PPAT, and hand down a sanction in the form of compensation upon the PPAT.

Keywords: PPAT’s Liability, False Object, Sales Deeds

(8)

ABSTRAK

PPAT sebagai pejabat publik bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dia buat. Ketika cacat hukum karena kelalaian dan niat Notaris, PPAT mengambil tanggung jawab moral dan hukum. Karena dia memiliki tanggung jawab yang besar, dia harus sangat berhati-hati dalam objek apa pun yang harus dia tanda tangani. Salah satu kasus kelalaian tentang objek palsu diberikan oleh orang-orang yang muncul yang ingin membuat akta penjualan dalam Putusan Pengadilan Banding Bandung No.

451 / PDT / 2015.PT.BDG. Kasus ini terjadi ketika Rian Pratama sebagai Notaris / PPAT dengan wilayah kerja Bandung membuat Akta Penjualan No. 250/2012 pada 19 Juni 2012 dan Akta Penjualan No. 251/2012 pada 19 Juni 2012 antara Eva Fatimah sebagai penjual dan Yo Swie Tjin sebagai pembeli. Namun, PPAT melakukan kelalaian dalam membuat kontrak karena pembeli telah memberikan objek palsu.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analitik.

Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dan dianalisis secara kualitatif.

Kesimpulan penelitian adalah bahwa domisili hukum dan bukti akta penjualan yang dibuat oleh PPAT yang mengandung objek palsu menyebabkannya terdegradasi menjadi sertifikat curang dan dapat dicabut. PPAT yang membuat akta otentik yang mengandung objek palsu dapat dikenakan sanksi administratif dan perdata. Mengenai Putusan Pengadilan Banding Bandung No. 451 / Pdt / 2015.PT.Bdg., Ada 2 (dua) masalah substansial yang harus dianalisis : domisili hukum dan bukti perbuatan yang dibuat oleh Rian Pratama sebagai PPAT yang mengandung objek palsu sehingga menjadi cacat hukum dan diturunkan ke sertifikat curang dan dapat dicabut. Sebagai PPAT, Rian Pratama harus mengambil tanggung jawab administratif dan sipil atas kelalaiannya. Disarankan bahwa PPAT dipandu oleh hukum dan peraturan yang berlaku tentang akta penjualan dan dalam membuat kontrak penjualan. Ia harus sangat berhati-hati dan waspada dalam memeriksa setiap dokumen yang diberikan oleh orang-orang yang muncul. Dalam memeriksa gugatan terhadap pembuatan akta penjualan oleh PPAT yang mengandung tindakan ilegal, Pengadilan dapat menjatuhkan sanksi dan pencabutan atas akta penjualan yang dibuat oleh PPAT, dan menjatuhkan sanksi dalam bentuk kompensasi atas PPAT.

Kata kunci: Kewajiban PPAT, Obyek Salah, Akta Penjualan

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas ini lah penulis menyusun dan memilih judul :

“Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Objek Palsu Yang Menjadi Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dan Kekuatan Pembuktian Akta Tersebut (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:

451/PDT/.2015.PT.BDG).”

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Suprayitno, SH, M.Kn serta Prof. Dr. Madiasa Ablizar, SH, MS masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan dan bimbingan kepada penulis selama dalam masa penulisan tesis ini. Dan kepada Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, M.Hum dan Dr. Edy Ikhsan SH, M.A selaku dosen penguji yang telah banyak memberi kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

(10)

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara..

4. Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A selaku Sekertaris Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan Pegawai Biro Administrasi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

6. Yang terkasih Ayahanda Alm. Syamsuddin dan Ibunda Almh. Sumarti terima kasih atas doa, cinta dan kasih serta dukungan moril maupun materil juga motivasinya yang tiada pernah di lupakan sepanjang hidup penulis.

7. Kepada yang teristimewa juga penulis ucapkan terimakasih kepada istri penulis yakni Dyah Puspita Sari yang senantiasa menemani, membantu, serta mendoakan penulis dalam penyelesaian tesis ini, Terlebih buat anak penulis yakni Talitha Adya Kirana, Keisha Adya Natha, dan Azka Adya Pratama yang sangat memberikan spirit luar biasa kepada penulis juga motivator terbesar dalam hidup penulis.

8. Terimakasih buat teman-teman rekan seperjuangan angkatan 2015 Reguler Khusus atas kebersamaan, doa, dukungan, semangat semasa pertemanan kita.

(11)

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penulisan kedepan . Akhir kata, penulis berharap agar tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi berbagai pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Januari 2018 Penulis

HARIYADI

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 23

(13)

3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4. Alat Pengumpulan Data ... 25

5. Analisis Data ... 25

BAB II KEDUDUKAN HUKUM DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA JUAL BELI YANG DIBUAT PPAT YANG DIDASARKAN OBJEK PALSU ... 27

A. Tinjauan Terhadap Akta ... 27

1. Pengertian Akta ... 27

2. Macam-Macam Akta ... 29

B. Syarat-Syarat Dalam Pembuatan Akta Jual Beli ... 33

1. Syarat Materil ... 35

2. Syarat Formil ... 36

C. Kedudukan Hukum Dan Kekuatan Pembuktian Akta Jual Beli Yang Dibuat PPAT Yang Didasarkan Objek Palsu ... 41

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PPAT TERHADAP AKTA YANG DIBUAT PPAT DIDALAMNYA TERHADAP OBJEK PALSU ... 47

A. Peran dan Tanggungjawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah ... 47

B. Pengertian Jual Beli ... 54

C. Tata Cara Pembuatan Akta PPAT ... 56

D. Pertanggungjawaban PPAT Terhadap Akta Yang Dibuat PPAT Didalamnya Terdapat Objek Palsu ... 63

1. Tanggungjawab Secara Administratif ... 64

2. Tanggungjawab Secara Keperdataan ... 67

3. Tanggungjawab Secara Pidana ... 72

(14)

BAB IV ANALISIS HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NOMOR : 451/PDT/2015 PT.BDG JIKA DIHUBUNGKAN DENGAN ISI AKTA YANG

DIAWALI DENGAN ADANYA OBJEK PALSU ... 77

A. Kasus Posisi ... 77

B. Tuntutan (Petitum) ... 81

C. Analisis Hukum Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor : 451/Pdt/2015 Pt.Bdg Jika Dihubungkan Dengan Isi Akta Yang Diawali Dengan Adanya Objek Palsu ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah bagi manusia memiliki kedudukan yang sangat penting dimana tanah merupakan suatu kebutuhan, hal ini disebabkan karena segala aktivitas manusia dilaksanakan di atas tanah. Manusia dengan tanah mempunyai hubungan bersifat abadi, karena manusia sebagai makhluk sosial sekaligus pemilik tanah tidak bisa berbuat sesukanya mempergunakan hak atas tanah tanpa memperhatikan kepentingan orang lain yang melekat pada haknya yang berfungsi sosial, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) menyatakan :

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan, kepentingan perseorangan harus tunduk pada kepentingan umum”.

Mengingat kebutuhan akan tanah bagi masyarakat Indonesia maupun masyarakat asing yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, maka harus ditingkatkan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah. Dengan kata lain meningkat pula kebutuhan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.

Berkaitan dengan itu, dalam Pasal 19 UUPA telah memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.

Selanjutnya, menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan :

(16)

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikkan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasinya pertanahan.47

Sebagai konsistensi dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( untuk selanjutnya cukup disebut PPAT) sangat diperlukan, baik dalam penyediaan tanah maupun dalam pemutakhiran data penguasaan tanah. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut Peraturan Jabatan PPAT), menyebutkan :

“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.”

PPAT diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat

47 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

(17)

akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan :

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Maka, peralihan hak atas tanah ini tidak lagi dilakukan di hadapan Kepala Adat ataupun Kepala Desa, melainkan harus dilakukan di hadapan PPAT yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan dilakukannya peralihan hak atas tanah di hadapan PPAT, maka tercapailah kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan,48 serta menjaga terjadinya perubahan data fisik dan data yuridis sehingga melalui perbuatan hukum dimaksud terjamin kebenarannya.49

PPAT sendiri mempunya tugas pokok yakni melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

48Mariati Zendrato, Bahan Ajar Pendaftaran Tanah (Pemahaman Terhadap Perlindungan Hukum dan Kepastian Hak Atas Tanah,(Medan, 2016), hal 6

49 Ibid., hal 20

(18)

yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.50 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut

1. Jual beli 2. Tukar menukar 3. Hibah

4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

7. Pemberian Hak Tanggungan;

8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.51

Salah satu bentuk perbuatan hukum yang sering dilakukan dalam peralihan hak atas tanah adalah jual beli. Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang muncul dari kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya saja jual beli tanah, merupakan perjanjian tidak bernama, karena tidak ditemukan dalam bentuk-bentuk perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian jual beli merupakan implementasi dari asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak secara bebas dapat menentukan kemauannya. Perjanjian jual beli sering ditemukan dalam praktik sehari-hari di masyarakat maupun di kantor-kantor Notaris/PPAT.

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pada rumusan yang diberikan dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau

50 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Jabatan PPAT 51 Pasal 2 ayat (2) Peraturan Jabatan PPAT

(19)

perikatan untuk memberikan sesuatu dan menerima sesuatu. Jual beli merupakan suatu perjanjian yang bersifat konsensuil.52

Peralihan hak atau jual beli yang menjadi fokus penelitian adalah jual beli tanah yang dibuat oleh seorang PPAT. Peralihan hak atau jual beli tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam praktiknya sering terjadi sengketa dalam pembuatan akta jual beli yang di buat dihadapan PPAT, dimana tidak jarang dilibatkan PPAT dalam sengketa antara para pihak. Padahal sengketa yang terjadi bukanlah antara para pihak dengan PPAT, mengingat PPAT bukanlah pihak dalam akta yang dibuatnya. Namun, PPAT sering harus keluar masuk pengadilan untuk mempertanggungjawabkan aktanya maupun sebagai saksi-saksi.

PPAT sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan PPAT atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya ataukah adanya kesepakatan yang dibuat antara PPAT dengan salah satu pihak.

Apabila akta yang dibuat PPAT mengandung cacat hukum karena kesalahan PPAT baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan maka PPAT itu harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya hal ini harus dibuktikan.

52 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal.

48.

(20)

Jabatan PPAT merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk pada peraturan jabatan PPAT dan kode etik PPAT. Dengan demikian diharapkan agar PPAT dalam menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, seorang PPAT tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang mengandung cacat hukum dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa diluar sepengatahuan PPAT, para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar dan menyerahkan surat- surat/dokumen-dokumen tidak benar sehingga setelah semuanya dituangkan ke dalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung objek palsu.

Objek palsu adalah objek yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut.53

Hal ini dapat diamati pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 451/PDT/.2015.PT.BDG. Pada awalnya kasus ini bermula atas gugatan dari Rian Pratama selaku Notaris/PPAT dengan daerah kerja Kota Bandung sebagai terbanding I dahulu penggungat berhadapan atau lawan Eva Fatimah sebagai terbanding II dahulu tergugat I, dan Yo Swie Tjin sebagai pembanding dahulu tergugat II.

53 P. A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan), (Bandung:

Mandar Maju, 1991), hal 83.

(21)

Kasus ini bermula ketika pada awal bulan Mei 2012 Eva Fatimah selaku penjual meminta staff Rian Pratama (Ibu Gilang) untuk datang ke kantornya dan membuat akta jual beli atas nama Yo Swie Tjin selaku pembeli, dan pada saat itu Ibu Gilang bertemu dengan Yo Swie Tjin di kantor developer milik Eva Fatimah. Dua hari kemudian staff Eva Fatimah yang bernama Sisi memberikan dua sertipikat asli yaitu Sertipikat Hak Milik Nomor 7281/Kelurahan Cisaranten Kulon seluas 108 M2 (seratus delapan meter persegi) dan Sertipikat Hak Milik Nomor 7282/Kelurahan Cisaranten Kulon seluas 108 M2 (seratus delapan meter persegi) keduanya atas nama Eva Fatimah. Kemudian Rian Pratama melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan Kota Bandung, dan setelah dilakukan pengecekan, sertipikat asli tersebut dalam keadaan clear tidak ada pembebanan Hak Tanggungan, sitaan atau blokir dari pihak lain dan kemudian Rian Pratama membuatkan akta jual beli atas sertipikat hak milik tersebut.

Kemudian, pada tanggal 8 Mei 2012 Eva Fatimah menelepon Ibu Gilang (staff Rian Pratama) dan mengatakan bahwa sertipikat yang dibawa oleh stafnya yang bernama Sisi adalah salah karena sebenarnya kavling yang dibeli Yo Swie Tjin terdiri dari Sertipikat Hak Milik Nomor 7415/Kelurahan Cisaranten Kulon seluas 97 M² (sembilan puluh tujuh meter persegi) dan Sertipikat Hak Milik Nomor 7416/Kelurahan Cisaranten Kulon seluas 103 M² (seratus tiga meter persegi) terdaftar atas nama Eva Fatimah. Kemudian Eva Fatimah menyuruh staffnya untuk menukar sertipikat tersebut dan memberikan fotocopy sertipikat tersebut dengan mengatakan bahwa sertipikat asli akan segera diberikan kepada Rian Pratama, dengan alasan pada saat itu Eva Fatimah baru saja pindah kantor sehingga berkas-berkasnya belum

(22)

tersusun dan banyak yang terselip atau bisa juga sertipikatnya sedang dalam proses perbaikan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pada tanggal 10 Mei 2012, Eva Fatimah datang bersama dengan Yo Swie Tjin untuk menandatangani akta jual beli di kantor Rian Pratama, dan pada saat pembacaan akta jual beli, Rian Pratama mengatakan kepada para pihak bahwa sertipikat yang asli belum berada di Rian Pratama dan hanya ada fotocopynya saja, dan dari proses penandatangan akta jual beli tersebut Eva Fatimah belum menyerahkan sertipikat asli SHM Nomor 7415 dan SHM Nomor 7416 kepada Rian Pratama. Selain itu, Eva Fatimah belum membayar pajak penjual (PPh), Yo Swie Tjin juga belum membayar pajak pembeli (BPHTB) sehingga Rian Pratama belum bisa memberi nomor dan tanggal pada akta jual beli tersebut. Rian Pratama akan memberikan nomor dan tanggal atas 2 (dua) draft akta jual beli yang sudah ditandatangani setelah sertifikat asli diserahkan ke Rian Pratama, selain itu pajak- pajak juga harus sudah dibayar.

Pada tanggal 19 Juni 2012, Eva Fatimah menelpon Rian Pratama untuk memberikan dulu salinan akta jual beli atas nama Yo Swie Tjin dengan alasan suami Yo Swie Tjin sudah marah dan kebetulan pada saat itu juga suami Yo Swie Tjin datang ke kantor untuk meminta salinan akta jual beli dan memaksa. Kemudian Rian Pratama menyarankan kepada suami Yo Swie Tjin untuk mengambil salinan akta jual beli di kantor developer saja milik Eva Fatimah.

Dengan janji yang disampaikan oleh Eva Fatimah, maka Rian Pratama menyerahkan salinan akta jual beli kepada staff Eva Fatimah. Akta jual beli yang dimaksud yaitu:

(23)

1. Akta Jual Beli Nomor 250 / 2012 tanggal 19 Juni 2012 untuk pengalihan hak milik atas tanah dan bangunan berdasarkan SHM Nomor 7415 / Kelurahan Cisaranten Kulon tersebut;

2. Akta Jual Beli Nomor 251 / 2012 tanggal 19 Juni 2012 untuk pengalihan hak milik atas tanah dan bangunan SHM Nomor 7416 / Kelurahan Cisaranten Kulon tersebut;

Setelah Rian Pratama menyerahkan salinan akta jual beli tersebut, Rian Pratama berusaha menayakan dan meminta asli sertipikat tersebut. Namun, jawaban dari Eva Fatimah tidak memuaskan Rian Pratama dan berbelit. Kemudian, Rian Pratama pun menyelidiki keberadaan sertipikat tersebut ke Kantor Pertanahan Kota Bandung dan ternyata setelah diselidiki sertipikat tersebut sedang dalam jaminan bank yaitu SHM Nomor 7415/ Kelurahan Cisaranten Kulon ada di Bank Nagari atas nama Ny. Andriyati sedangkan SHM Nomor 7416/ Kelurahan Cisaranten Kulon ada di Bank Mandiri atas nama Tuan Andri. Setelah mengetahui sertipikat dalam jaminan, maka Rian Pratama memberitahukan kepada Yo Swie Tjin dan bermaksud untuk menarik akta jual beli karena sertipikat ada dalam jaminan maka akta jual beli harus dibatalkan.

Ketika dimintai pertanggungjawaban kepada Eva Fatimah, Eva Fatimah berjanji akan mengambilnya di bank. Namun, ketika ditagih janji tersebut Eva Fatimah tidak diketahui keberadaannya. Dan Rian Pratama pun telah melaporkan Eva Fatimah atas adanya dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan kepada kepolisian.

(24)

Dari adanya hubungan hukum dan peristiwa hukum yang telah dijelaskan tersebut, terlihat adanya kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dalam mengeluarkan salinan akta jual beli tanpa sebelumnya melakukan pengecekan sertipikat di kantor pertanahan. Kelalaian lain yang sangat penting dilakukan oleh PPAT yakni melakukan penandatanganan akta otentik terlebih dahulu dengan tanpa memenuhi syarat sahnya perjanjian yakni adanya kepastian objek yang diperjualbelikan sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata karena adanya objek palsu yang diberikan oleh salah satu pihak. Dengan adanya hubungan hukum dan peristiwa hukum tersebut, selanjutnya bagaimana tanggung jawab PPAT atas akta yang telah dibuatnya dan bagaimana juga kekuatan pembuktian akta tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Objek Palsu Yang Menjadi Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dan Kekuatan Pembuktian Akta Tersebut (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:

451/PDT/.2015.PT.BDG).”

B. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan tolak ukur dari pelaksanaan penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian. Sehingga tidak mengarah pada pembahasan hal yang di luar masalah.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kedudukan hukum dan kekuatan pembuktian akta jual beli yang dibuat PPAT yang di dasarkan objek palsu ?

(25)

2. Bagaimana pertanggungjawaban PPAT terhadap akta yang dibuat PPAT di dalamnya terdapat objek palsu?

3. Bagaimana analisis hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 451/PDT/.2015.PT.BDG jika dihubungkan dengan isi akta yang diawali dengan adanya objek palsu?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum dan kekuatan pembuktian akta jual beli yang dibuat PPAT yang di dasarkan objek palsu.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban PPAT terhadap akta yang dibuat PPAT di dalamnya terdapat objek palsu.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 451/PDT/.2015.PT.BDG jika dihubungkan dengan isi akta yang diawali dengan adanya objek palsu

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta manfaat dalam ilmu pengetahuan berupa teori atau gagasan perkembangan ilmu hukum.

(26)

Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab PPAT atas objek palsu yang menjadi dasar pembuatan akta jual beli dan kekuatan pembuktian akta tersebut.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini diharapkan bagi PPAT untuk lebih teliti dalam pelaksanaan pembuatan akta jual beli baik sebelum dan pasca penandatanganan dengan memastikan objek yang dibeli.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum serta Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Objek Palsu Yang Menjadi Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dan Kekuatan Pembuktian Akta Tersebut (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 451/PDT/.2015.PT.BDG).” Akan tetapi, ada beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian terkait tentang tanggung jawab pejabat pembuat akta tanah dalam akta yang dibuatnya, namun secara judul dan substansi berbeda dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang berkaitan dengan tanggung jawab pejabat pembuat akta tanah dalam akta yang dibuatnya tersebut yang pernah dilakukan adalah:

1. Penelitian oleh Akhmad Mighdad, NIM : 097011114, mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Akibat

(27)

Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli (Studi kasus Perkara Perdata No.

107/Pdt.G/2010/PN.Mdn)” masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaimanakah kedudukan hukum sebuah akta jual beli?

b. Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta jual beli?

c. Bagaimanakah peranan notaris/PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan akta jual beli?

2. Penelitian oleh Aldi Subhan Lubis, NIM :077011004, mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst) ” masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak?

b. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta PPAT ?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT secara melawan hukum ?

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu

(28)

yang terjadi.54 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.55 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapakannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa “keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”56

Fungsi teori dalam tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori kepastian hukum dan teori tanggung jawab hukum.

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya peraturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenagan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim

54 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,1986), hal122 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto 1)

55 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung:Mandar Maju, 1994), hal 80 56 Soerjono Soekanto 1,Op Cit., hal. 6

(29)

antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.57

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan Monstesquieu.58

Teori kepastian hukum menurut Gustav Radbruch, memberikan hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanaan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum.

Tetapi dapat pengecualian bilamana pertentangan antara isi tata hukum tentang keadilan begitu besar. Sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.59

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa

“kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.”

Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif

57 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Grup, 2008), hal 158

58 Wordpress.com/2013/02/05/Memahami-Kepastian-dalam-hukum/, Diakses tanggal 01 Maret 2017

59 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal 163

(30)

yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Bernard Arif Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.

b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.

c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.

d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan.

e. Aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaiakan sengketa hukum,dan.

f. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.60

Keenam syarat yang dikemukan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat

dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

Soerjono Soekanto berpendapat, bagi kepastian hukum yang penting adalah peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah

60 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2006), hal 85

(31)

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah diluar pengutamaan kepastian hukum.61

Fungsi teori kepastian hukum dalam penelitian ini adalah sebagai pisau analisis dalam menganalisis akta otentik khususnya akta jual beli yang dibuat PPAT yang terindikasi dalam pembuatan aktanya menggunakan objek palsu yang disampaikan oleh salah satu pihak. Dengan adanya indikasi objek palsu yang diberikan oleh salah satu pihak, lantas bagaimana dengan kepastian hukum atas akta otentik tersebut. Dan masihkah layak dikatakan akta otentik. Kiranya hal tersebut akan di bahas selanjutnya dengan menggunakan teori kepastian hukum.

b. Teori Tanggung Jawab Hukum

Selain teori kepastian hukum penelitian ini juga menggunakan teori tanggung jawab hukum. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “ seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia harus bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.62

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari : 1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri..

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahawa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

61 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, (Bandung: Alumni, 1982), hal 21 (selanjutnya di sebut Soerjono Soekanto 2)

62 Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of Law and State, Teori Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, (Jakarta:BEE Media Indonesia, 2007), hal 81

(32)

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan tidak diperkiran.63

Sedangkan menurut Roscoe Pond, membagi 3 (tiga) jenis tanggung jawab, yaitu:

1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan disengaja.

2. Atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja.

3. Dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja.64

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti.

PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,65 sedangkan sebagian

63 Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, (Bandung:Nuansa dan Nusamedia, 2006), hal 140

64 Roscoe Pond sebagaimana diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction To The Philosophy Of Law, (Jakarta: Bhratara Niaga Media, 1996), hal 92

65 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Jabatan PPAT.

(33)

lagi dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

Dengan adanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan pemerintah, maka seharusnya PPAT harus memiliki kecermatan dalam pembuatan akta otentik sehingga akta tersebut memiliki nilai pembuktian sempurna dan kuat.

Sebagai pisau analisis, teori tanggung jawab hukum ini akan berfungsi untuk menganalisis bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum yang dimiliki oleh PPAT dalam pembuatan akta otentik. Dengan adanya kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dalam pembuatan akta otentik, yakni tidak cermat dalam menjamin objek jual beli secara clear. Maka selajutnya bagaimana tanggung jawab PPAT sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik. Hal inilah fungsi teori tanggung jawab hukum dalam menganalisis kasus tersebut.

2. Kerangka Konsep

Konsep berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.66 Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.67

66 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2000), hal.122

67 Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.

34

(34)

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.68 Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilimiah.69 Suatu konsep atau kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat absrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian. 70

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu antara lain:

a. Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.71

b. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.72

c. Objek palsu adalah objek yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan objek yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat untuk

68 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal 3 69 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal. 96

70 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal 133 (untuk selanjutnya disebut Soerjono Soekanto 3)

71 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2005), hal 100 72 Pasal 1 angka 1 Peraturan Jabatan PPAT

(35)

dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut.73

d. Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.74

e. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.75

f. Akta jual beli adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa jual beli, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan jual beli, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.76

g. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang ditemukan dalam persengketaan yang diajukan ke pengadilan, atau memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.77

G. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan tesis ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan antara lain:

73 P. A.F Lamintang, Op.Cit., hal 83.

74 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal 121 (untuk selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo 1)

75 Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

76 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal 106 (untuk selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo 2)

77 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta:Pradya Paramita, 2005), hal 1

(36)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.78

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma hukum.79 Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang didasarkan pada norma sebagaimana tercantum dalam norma, kitab-kitab hukum dan putusan pengadilan. Penelitian ini menekankan kepada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,80 yang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai tanggung jawab PPAT atas objek palsu yang menjadi dasar pembuatan akta jual beli dan kekuatan pembuktian akta tersebut (studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:

451/PDT/.2015.PT.BDG).

78 Bernard Arief Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung:Refika Aditama,2006), hal.43.

79 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang:Ghalia Indonesia,1996),hal 13 80 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

(37)

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaaan yang terjadi di lapangan.81

Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.82

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier berupa norma dasar, perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku, dan lain-lain sebagainya.83

a. Bahan hukum primer.84

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian diantaranya adalah Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

81 Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), hal.132.

82 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 35

83 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 30

84 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Peneletian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1990), hal. 53.

(38)

Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan putusan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 451/PDT/.2015.PT.BDG.

b. Bahan hukum sekunder.85

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan Pejabat Pembuaat Akta Tanah, kekuakatan pembuktian akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah atas akta yang dibuat dihadapannya.

c. Bahan hukum tertier.86

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam teknik penelitian pustaka (library research) ini berasal dari buku-buku, arikel-artikel dan peraturan perundang-undangan.

4. Alat Pengumpulan Data 85 Ibid

86 Ibid.

(39)

Alat pengumpulan data yang digunakan dalan penelitian ini adalah studi dokumen, studi dokumen dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan menganalisis literatur buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan tesis

5. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Adanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).87 Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti, kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.88

Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal.89 Analisis data merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan.90

87 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis danMetodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

88 Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, (Jakarta:Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hal. 78

89 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 77 90 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103

(40)

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematiskan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memeperoleh jawaban yang baik pula.91

Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah tanggung jawab PPAT atas objek palsu yang menjadi dasar pembuatan akta jual beli dan kekuatan pembuktian akta tersebut (studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 451/PDT/.2015.PT.BDG). Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil- dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 92 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

91 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 106 92 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 109

(41)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA JUAL BELIYANG DIBUAT PPAT YANG

DI DASARKAN OBJEK PALSU

A. Tinjauan Terhadap Akta 1. Pengertian Akta

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts Geleerd Handwoordenboek”, kata akta berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrt

atau surat93 sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan.94

A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: “surat-surat yang ditandatangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.48

Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering dijumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini dijumpai misalnya pada Pasal 108 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam “akta” atau dengan izin tertulis dari suaminya. “

93 S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, (Jakarta: N. V. Gronogen, 1951), hal. 9.

94 R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hal 9

(42)

Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena itu, berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya. Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan “akta” dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Menurut R. Subekti, kata akta dalam Pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.95

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah:

a. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan

b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.

Demikian pula misalnya dalam Pasal 109 KUH Perdata (Pasal 1115 BW Nederland) dan Pasal 1415 KUH Perdata (Pasal 1451 BW Nederland) kata akta

dalam Pasal-Pasal ini bukan berarti surat melainkan perbuatan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.96

95 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 1980), hal. 29.

96 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1979), hal.

106.(untuk selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo 1)

(43)

2. Macam-Macam Akta

Pasal 1867 KUH Perdata berbunyi “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) otentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di bawah tangan. “

a. Akta otentik

Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.97

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg memuat pengertian dan kekuatan pembuktian akta otentik sekaligus. Pengertian akta otentik dijumpai pula dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris/ PPAT yang berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang- Undang Jabatan Notaris,98 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu:

1) Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku)

97 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 42

98 M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 152

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelusuran dan inventarisasi yang telah dilakukan sebelumnya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Program Studi Magister

Peran PPAT dan PPAT sementara di Indonesia adalah memberikan informasi yang benar serta menjelaskan pentingnya tanah untuk didaftarkan karena akan diperoleh sertifikat

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan

Berdasarkan hasil penelusuran atau pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara secara khusus di Pascasarjana Magister Kenotariatan,

Berdasarkan hasil penelusuran dan inventarisasi yang telah dilakukan sebelumnya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Program Studi Magister

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara umumnya dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan peneliti

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan