• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. IWAN Nomor Stambuk :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. IWAN Nomor Stambuk :"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KOORDINASI LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN KOSMETIK MAJELIS ULAMA INDONESIA MAKASSAR DENGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM LABELISASI

HALAL PT INDOFOOD

IWAN

Nomor Stambuk : 10561 03668 10

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILLMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

(2)

HALAMAN PENGAJUAN

KOORDINASI LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN KOSMETIK MAJELIS ULAMA INDONESIA MAKASSAR DENGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM LABELISASI

HALAL PT INDOFOOD

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Disusun dan Diajukan Oleh IWAN

No. Stambuk : 10561 03668 10

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

(3)
(4)
(5)

(6)

ABSTRAK

IWAN : 2014. Koordinasi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia Makassar Dengan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Labelisasi Halal PT Indofood (dibimbing oleh Abdul Mahsyar dan Adnan Ma‟ruf).

Pemerintah telah menunjuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan kosmetik Majelis Ulama Indonesia. Untuk mengeluarkan lebelisasi halal dan sertifikat produk halal yang ditangani oleh badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan. Sebagaimana lembaga LPPOM MUI dan BPOM daerah ditiap-tiap propinsi memepunyai tanggung jawab penyelenggaraan labelisasi halal. Lembaga ini dapat berkoordinasi dengan efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai administrasi dan manajemen yang baik, dan merupakan tanggung jawab kedua lambaga tersebut. Namun pertanyaan kemudian, dapatkah semua produk memperoleh label halal dari lembaga tersebut. Kemungkinan ini dapat dikatakan tidak terlalu besar mengingat jumlah makanan dan minuman yang ada di masyarakat tidak sebanding dengan jumlah lembaga POM. Belum lagi ditambah dengan rumitnya prosedur dan biaya yang cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk mencoba menggambarkan dan menjelaskan tentang Koordinasi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia Makassar Dengan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Labelisasi Halal PT Indofood.

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif (menjelaskan kondisi objek secara alamiah) dengan informan sebanyak 8 (delapan) orang yang dipilh berdasarkan pandangan bahwa informan memiliki pengetahuan dan informasi mengenai permasalahan yang diteliti yakni Kepala PT Indofood, Lembaga LPPOM MUI Makassar lembaga BPOM makassar, Masyarakat sebagai konsumen. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan instrumen berupa;

observasi dan dokumentasi serta dikembangkan dengan wawancara terhadap informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Koordinasi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia Makassar Dengan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Labelisasi Halal PT Indofood masih harus di perkuat, seperti dalam hal komunikasi yang dilakuakan.

Kata kunci: Koordinasi ,Lembaga LPPOM MUI,BPOM,Labelisasi Halal

(7)

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Koordinasi lembaga pengkajian pangan obat-obatan dan kosmetik majelis ulama indonesia makassar dengan badan pengawas obat dan makanan dalam labelisasi halal PT Indofood “.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh Gelar Studi Strata Satu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Makassar.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini utamanya penulis ucapkan terimah kasih kepada Bapak Dr. Abdul Mahsyar, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Bapak Adnan Ma‟ruf, S.sos, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan penulisan skripsi sehingga penulis bisa merampungkan tugas penelitiannya.

Ucapan terima kasih selanjutnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. H.

Muhlis Madani, M.si selaku Dekan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, Bapak Burhanuddin, S.sos, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar serta para Dosen yag telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Makassar dan tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada

(8)

seluruh informan yang kesediannya memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengambil data dalam rangka merampungkan tugas penelitiannya.

Teristimewa penulis ucapkan terimah kasih kepada Nair,Jusnah orang tua penulis, saudara-saudaraku tersayang Perri Irawan, Sulhani, Sulhan saudara penulis. segenap keluarga yang selalu memberikan semangat serta dukungan moril dan material, dan sahabat-sahabat seperjuanganku Enal, Ical, Aswar, Zaid, Jumariah, mimi, Irna,Vera, Ayu, Erna, Hipsil, Dian, Fitri, Yuni, Yuyun, Chipa, Wandi, Yanmar, Akbar, Hendri, Baco, Sukur, Tasrif, Anca, Tuty, Ary, Basri, Safar, Herman, Ahmat Syawal, Suaib, Heri, Rahmat, Aswan, April, Masdin, Puput, Herul ,Samsul, Reski, Mento, Risal, Yunus, Idil, Adam, Wawan, Risman, Pendi, Abd Rasyid, Pirman, Iwan, Suleman, Arman, Ata, Muhaeming, Sugiansah,Muh Irsan, dll. Teristimewa buat Yuyun Astarina. Serta berbagai pihak yang turut membantu dan menyediakan waktunya demi terselesaikannya skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca maupun pihak lain. Akhir kata semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.

Makassar, 22 September 2014

IWAN

(9)

DAFTAR ISI Halaman Sampul

Halaman Pengajuan ... ii

Halaman Persetujuan ... iii

Halaman pernyataan keaslian karya ilmiah... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Koordinasi ... 13

B. Lembaga LPPOM MUI ... 22

C. Lembaga BPOM ... 26

D. Konsep Lebelisasi Halal ... 32

E. Kerangka Pikir ... 41

F. Deskrifsi Fokus Penelitian ... 41

(10)

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ... 44

B. Tipe dan Jenis Penelitian ... 44

C. Sumber Data ... 45

D. Informan Penelitian ... 46

E. Teknik Pengumpulan Data ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 47

G. Pengabsahan Data ... 48

H. Jadwal penelitian ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Obyek Penelitian ... 51

B. Deskripsi Koordinasi lembaga pengkajian pangan obata-obtan dan kosmetik majelis ulama inndonesia Makassar LPPOM MUI dengan badan pengawas obat dan makanan BPOM dalam proses labelisasi halal produk PT Indofood ... 65

C. Faktor yang mempengaruhi koordinasi antara LPPOM MUI dengan BPOM dalam proses labelisasi halal produk PT Indofood ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ...78

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel.1 Tebel Diagram Alir Koordinasi Labelisasi Halal dan Sertifikasi LPPOM MUI dan BPOM ... 58

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Bagan Kerangka Fikir ... 41

Gambar.2 Bagan Model analisis Interaktif (Sugiono) ... 48

Gambar.3 Bagan struktur organisasi PT Indofood CBP Makassar ... 52

Gambar.4 Bagan struktur kebijakan halal PT Indofood CBP Makassar ... 56

Gambar.4 Bagan diagram alir koordinasi labelisasi halal dan sertifikasi .... 58

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bermunculannya produk makanan yang beranekaragam terkadang masih diragukan kehalalannya. Produk ini tidak hanya hasil produksi dalam negeri namun juga dari luar negeri, diproduksi oleh umatIslam sendiri atau umat lain.

Mencermati fenomena tersebut, pertanyaan yang layak diajukan adalah, bagaimana status makanan tersebut, dijamin halal, masihmeragukan/syubhat atau bahkan bisa jadi haram.

Penentuan halal semua produk makanan yang beredar pada masyarakat Indonesia, memang memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam sendiri.

Sebagian mereka berpendapat bahwa labelisasi tidak diperlukan karena semua produksudah dapat diyakini halalnya selama tidak ada penjelasan keharamannya.

Penjelasan tersebut meliputi keterangan keharaman dan zatnya, pencampuran dengan barang haram atau terkontaminasi dengan barang haram, sebagaimana yang dicetuskan oleh Imam Syafi‟i. Pendapat lain mengemukakan bahwa labelisasi halal produk-produk makanansangat diperlukan, karena untuk menjaga umat Islam dari kerusakan, terutama terjaganya hati dan perilaku. Pendapat ini bersandar pada qaidah yang dikemukakanoleh Imam Hanafi.

Pemerintah Indonesia telah merespon kebutuhan masyarakat dalam masalah ini, terbukti dengan munculnya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan diundangkan produk hukum ini antara- lain meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

(14)

melindungi diri dan meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen (pasal 3 huruf f). Untuk menjaga kepentingan tersebut, pelaku usahadilarang memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan dan harus mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”

yang dicantumkan dalam label (pasal 8 huruf h).

Berkaitan dengan makanan halal, pemerintah telah menunjuk Majelis UlamaIndonesia MUI untuk mengeluarkan sertifikat produk halal yang ditangani oleh lembaga Pengawas Obat-obatan dan Makanan POM Pusat yang berkedudukan di Jakarta di samping beberapa POM daerah ditiap-tiap propinsi.

Masyarakat percaya bahwa lembaga ini dapat meminimalisasi keraguan dalam mengkonsumsi makanan yang beredar. Namun pertanyaan kemudian, dapatkan semua produk memperoleh label halal dari lembaga tersebut. Kemungkinan ini dapat dikatakantidak terlalu besar mengingat jumlah makanan dan minuman yang ada di masyarakat tidak sebanding dengan jumlah lembaga POM. Belum lagi ditambah dengan rumitnyaprosedur dan biaya yang cukup tinggi.

Menyadari hal tersebut maka pemerintah berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dalam mengonsumsi produk tidak halal. Hal ini merupakan implementasi dari amanat sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain dalam pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur label dan iklan pangan yang menyatakan (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk

(15)

diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam, dan atau dikemasan pangan; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang- kurangnya keterangan mengenai: a.nama produk; b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal;

dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.

Di Indonesia, konsumen muslim dilindungi oleh instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan BPPOM yang bertugas mengawasi produk-produk yang beredar dimasyarakat. Selain itu ada kesepakatan kerjasama antara Kementrian Agama, Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan BPPOM dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LPPOM MUI yang bertugas secara khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia.

BPOM mengawasi produk yang beredar dimasyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI dan telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim. Secara khusus pola konsumsi umat Islam sebetulnya telah diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari‟at. Dalam ajaran syari’at, tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengonsumsi produk-produk tertentu yang substansi kandungan atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari’at tersebut. Syari’at Islam sangat

(16)

tegas menghendaki umat islam untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan. Hal ini membuat konsumen muslim bukanlah konsumen yang permissive dalam perilaku pola konsumsinya. Mereka dibatasi oleh kehalalan dan keharaman yang dimuat dalam nash al-Qur‟an dan al-Hadits yang menjadi panduan utama bagi mereka.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an Surat al-Baqarah: 168 yang artinya: ‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛,

Dan dalam Hadits Riwayat Salman Alfarisi RA: ‚Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega, keju, dan bulu binatang. Beliau menjawab, halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak ditetapkan hukumnya) maka termasuk yang diampuni‛.

Berdasarkan nash al-Qur‟an dan Hadits di atas, maka ketentuan syari’at inilah yang menjadi tolok ukur utama konsumen muslim dalam proses pemilihan produk-produk makanan dan minuman. Ketidak inginan masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan demikian akan ada produk yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produkproduk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim. Konsumen Muslim sendiri bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram.

(17)

Keberadaan LPPOM MUI dapat membantu masyarakat memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk. Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan halalnya oleh LPPOM MUI sebuah perusahaan dapat mencantumkan label halal pada produk tersebut. Hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan konsumen muslim. Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat, persepsi, sikap dan motivasi mereka menentukan pilihan produk makanan halal yang diwakili dengan label halal.

Seiring dengan pesatnya perkembangan media dan mudahnya informasi yang dapat diperoleh konsumen, akan turut mempengaruhi pola konsumsi mereka.

Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang memberi informasi kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produsen yang tidak mencantukan label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang LPPOM MUI untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Keadaan label itu akan membuat konsumen muslim berhati-hati untuk memutuskan mengonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut.

(18)

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Ditjen POM (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) produk makanan tersebut. Sehingga konsumen dapat memperoleh informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produkproduk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi dari produk- produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat). LPPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya, sehingga masyarakat dapat mengonsumsi produk tersebut dengan aman.

Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM MUI memberikan sertifikat halal kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara sukarela mendaftarkan produknya untuk diaudit LPPOM MUI.

Dengan begitu produk yang beredar dikalangan konsumen muslim bukanlah produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili label halal pada kemasan produknya.

(19)

Oleh karena itu konsu-men muslim akan dihadapkan pada produkproduk halal yang diwakili label halal yang ada pada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya diragukan kehalalan produknya. Maka keputusan untuk membeli produk yang berlabel halal atau tidak, akan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen sendiri.

Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya tergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan terkait apa itu halal. Meskipun al-Qur‟an dan al-Hadits telah memberikan panduan tentang kehalalan suatu produk, akan tetapi dengan semakin berkembangnya arus informasi dan teknologi kemasan produk yang telah memberikan penawaran menggiurkan akan dapat memengaruhi prilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan atas produk halal, persepsi masyarakat mengenai pentingnya kehalalan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi dapat berupa keyakinan yang tinggi atas pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal.

(20)

Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang mereka lakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi mengenai produk halal maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan persepsi dan sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti dorongan keluarga, ceramah agama, ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi terhadap produk halal. Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta bukti ilmiah mengenai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal, Puslitbang Kehidupan keagamaan akan melakukan penelitian tentang Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal.

Oleh karena itu bagi kaum muslimin, makanan disamping berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik, juga berkaitan dengan rohani, iman dan ibadah juga dengan identitas diri, bahkan dengan perilaku. Dari ayat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Allah menyuruh manusia mengkonsumsi apa saja didunia ini yang diciptakan-Nya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik (thayibah). Selain ayat-ayat diatas masih banyak lagi ayat dalam Al Qur´an yang berisi suruhan atau perintah agar manusia berhati-hati dalam memilih makanan, dapat memisahkan mana yang halal (dibolehkan) dan mana yang haram (tidak diijinkan), cara memperoleh makanan itu dan makanan itu baik dari segi kesehatan jasmani maupun rohani.

(21)

Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya telah ada, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Secara teknis tentang pencantuman labelisasi „‟halal‟‟ Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan labelisasi Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan higienis pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higienis pengolahan makanan menurut syariat Islam.

Ketetapan tersebut kemudian dirubah menjadi Surat Keputusan Nomor:

924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan labelisasi „‟halal‟‟

pada Labelisasi Makanan, dimana pada Pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan labelisasi „‟halal‟‟ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.

Tahun 2001 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, adalah Majelis Ulama Indonesia melalui LPPOM MUI. akan tetapi kesemua

(22)

peraturan diatas belum dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.

Terjadi pula ketidak singkronan antara Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana yang terjadi pada antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Terbukti dengan masih sedikit perusahaan yang mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal dan bertambahnya tingkat pemalsuan yang dilakukan pelaku usaha terkait dengan labelisasi halal.

Tentu saja hal ini harus didukung dengan sistem pengaturan yang dapat memberikan legitimasi yang kuat. Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan penelitian labelisasi halal produk dan sertifikasi telah memiliki legitimasi yang kuat sebagai bentuk perlindungan terhadap banyaknya pemalsuan yang terjadi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas sebagai bahan pemikiran yang melatar belakangi sehingga saya mengangkat permasalahan ini denagan judul:

“Koordinasi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LPPOM MUI Dengan Badan Pengawas Obat Dan Makanan BPOM Dalam Labelisasi Halal Makanan Di PT Indofood Kota Makassar”.

(23)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana koordinasi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia Makassar dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam proses labelisasi halal produk makanan di PT Indofood?

2. Faktor yang mempengaruhi koordinasi antara Lembaga Pengkajian Panagan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia Makassar dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam proses labelisasi halal produk di PT Indofood ?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana koordinasi lembaga pengkajian pangan obat-obatan dan kosmetika, majelis ulama indonesia LPPOM MUI dengan badan pengawas obat dan makanan BPOM dalam proses labelisasi halal produk di PT Indofood.

2. Untuk mengetahui Faktor apa yang mempengaruhi antara koordinasi yang dilakukan LPPOM MUI dengan BPOM dalam proses labelisasi halal produk di PT Indofood.

(24)

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kegunaan akademis dan kegunaan praktis yaitu sebagai berikut :

1. Kegunaan Akademis

Bisa menambah wawasan peneliti maupun wawasan para pembaca tentang Koordinasi lembaga pengkajian pangan obat-obatan dan kosmetika majelis ulama indonesia LPPOM MUI dengan badan pengawas obat dan makan BPOM, terhadap produk makanan ringan.

dan bisa menjadi referensi peneliti berikutnya dengan tema yang sama namun fokus yang berbeda.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini yaitu bisa menjadi masukan bagi lembaga yang bersangkutan agar dapat meningkatkan bentuk kerjasama dalam meningkatkan koordinasi LPPOM MUI dengan BPOM.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Koordinasi

1. Pengertian.

Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing- masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal, agar memperoleh hasil secara keseluruhan. Koordinasi terhadap sejumlah bagian- bagian yang besar pada setiap usaha yang luas dari pada organisasi demikian pentingnya sehingga beberapa kalangan menempatkannya didalam pusat analisis.

Hasibuan (2007:85) bahwa, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya diantara para angota itu sendiri.

Menurut MC. Farland (Handayaningrat,1985:85) koordinasi adalah suatu proses dimana pimpinan mengembangkan pola uasaha kelompok secara teratur diantara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan didalam mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi tidak akan berjalan dengan efektif dan efesien apabila tidak adanya saling kerjasama antara kelompok satu dengan yang lainnya, dalam hal ini pimpinan yang harus berperan penting dalam proses koordinasi. harus menciptakan kerjasama yang efektif dan efesien.

(26)

Menurut Handoko (1988:97) koordinasi dapat didefenisikan sebagai proses untuk mengintraksikan atau menyatukan berbagai tujuan dan kegiatan dari berbagai satuan organisasi atau departemen agar supaya bisa mencapai tujuan organisasi dengan efesien. tanpa koordinasi maka pelaku-pelaku organisasi akan kehilangan arah dalam menjalankan tugasnya. Kebutuhan akan koordinasi berbeda untuk suatu organisasi dengan yang lain. Semakin bergantung pekerjaan mereka dengan kegiatan bagian lain, semakin perlu koordinasi. Jika tidak, pelaksanaan koordinasi pekrjaan makin tidak efesien.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diperinci unsur-unsur koordinasi yaitu sebagai berikut:

1. Koordinasi mengandung arti sebagai suatu proses atau kegiatan secara terus-menerus tidak pernah berhenti.

2. Mengandung upaya atau kegiatan untuk menyerahkan, menyelaraskan atau mensikronisasikan unit-unit atau bagian atau tindakan di dalam suatu organisasi.

3. Koordinasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dengan melalui upaya menghilangkan kekacauan serta tumpang tindih.

Berdasarkan ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa perhatian yang sangat besar dari Koordinasi Pembangunan Daerah terhadap upaya untuk menyelesaikan tugas dan tujuan keseluruhan sebagaimana yang tertuang dalam unsur-unsur koordinasi, dipandang sangat penting dalam mewujudkan pembangunan daerah yang dilaksanakan atas dasar perencanaan.

(27)

Hasibuan (1996:85) mengatakan koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.

Syarifuddin (1976:220) menjelaskan koordinasi adalah suatu proses perangkaian, kegiatan menghubungkan,bertujuan untuk menserasikan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai gerakan yang cepat untuk mencapai tujuan bersama. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan usaha, mengatur, menselaraskan,mengharmonisasikan atau menserasikan seluruh kegiatan dalam kelompok, dimana prosesnya memerlukan penataan yang integral sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Koordinasi dapat dipandang sebagai suatu proses atau kegiatan yang tidak pernah berhenti, dalam rangka memadukan kegiatan-kegiatan dan sasaran unit- unit organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Dengan demikian organisasi dapat di stimulant sebagai usaha memadukan kegiatan dan sasaran unit organisasi.Sehingga organisasi dapat bergerak secara utuh dan bulat untuk mencapai tujuan, disamping fungsi-fungsi lainnya, seperti perencanaan, pengorganisasian, pergerakan, dan pengawasan.

Dapat dikatakan bahwa koordinasi mengikat semua fungsi manajemen yang lainnya, dalam arti koordinasi itu diperlukan pada setiap tahap dalam proses manajemen, jadi fungsi koordinasi itu meliputi :

a. Koordinasi sebagai salah satu fungsi manajemen,dipakai oleh pimpinan untuk melaksanakan fungsi perenncanaan,pengorganisasian palaksanaan dan pengawasan.

(28)

b. Koordinasi merupakan suatu usaha untuk menjamin kelancaran mekanisme prosedur kerja yang dari berbagai komponen organisasi.

c. Koordinasi menciptakan suasana keterpaduan keserasian dan penyederhanaan pada seluruh kegiatan organisasi.

Selain dengan adanya fungsi koordinasi adapula prinsip-prinsip Penerapan prinsip koordinasi secara tepat dapat mendukung tercapainya koordinasi yang efektif (Sulistyowati,dkk 1999). Prinsip koordinasi tersebut antara lain:

1. Komunikasi

Koordinasi pada dasarnya tidak terlepas dari proses komunikasi yang terjadi pada semua level dalam organisasi. Koordinasi yang baik harus dimulai dengan menjalin komunikasi yang baik dan efektif antar anggota organisasi baik secara formal maupun non formal. Komunikasi yang baik memungkinkan transmisi informasi mengenai aturan, kebijakan, maupun prosedur pada semua level sehingga mendukung koordinasi.

2. Integrasi

Integrasi merupakan suatu usaha untuk menyatukan tindakan-tindakan berbagai badan, instansi, unit, sehingga merupakan suatu kebulatan pemikiran dan kesatuan tindakan yang terarah pada suatu sasaran yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Dengan adanya integrasi, koordinasi dapat berjalan secara terarah di semua level.

3. Sinkronisasi

Sinkronisasi adalah suatu usaha untuk menyesuaikan, menyelaraskan kegiatan, tindakan, dan unit sehingga diperoleh keserasian dalam pelaksanaan

(29)

tugas atau kerja. Keserasian dalam pelaksanaan tugas mampu mempermudah penerapan koordinasi di suatu organisasi.

4. Simplifikasi

Simplifikasi dimaksudkan adalah bahwa perumusan organisasi yang ada harus mampu dijabarkan secara sederhana, mudah dipahami oleh masing- masing unit organisasi. Masing-masing unit akan mengkoordinasikan tentang tugas dan pelaksanaanya kepada masing-masing bagian yang ada.

5. Monitoring dan evaluasi

Monitoring meliputi kegiatan untuk mengamati/meninjau kembali/mempelajari serta mengawasi secara berkesinambungan atau berkala terhadap pelaksanaan program/kegiatan yang sedang berjalan. Kegiatan monitoring dilakukan untuk menemukenali permasalahan, mencari alternatif pemecahan dan menyarankan langkah-langkah penyelesaian sebagai koreksi diniagar pelaksanaan kegiatan berjalan secara efisien, efektif dan tepat waktu, sedangkan evaluasi adalah usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif atas pencapaian hasil-hasil pelaksanaan program/kegiatan yang telah direncanakan.

6. Pemrograman

Pemrograman adalah sebuah proses menulis, menguji, dan memperbaiki dan membangun sebuah program yang menghasilkan sebuah implementasi.

Menurut hasibuan (2007:86) terdapat dua tipe koordinasi, yaitu:

1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan,pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit,kesatuan kerja yang ada

(30)

dibawah wewenang dan tanggungjawabnya. Tegasnya atasan mengkoordinasikan semua aparat yang berada dibawah tanggungjawabnya secara langsung jadi relatif koordinasi vertikal lebih mudah dilaksanakan.

2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan penyatuan,pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.

Koordinasi horisontal dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Interdiciplinary, yaitu suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan,menyatukan tindakan,mewujudkan,menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit yang sama tugasnya.

b. Inter/related yaitu koordinasi antara badan/instansi. unit-unit yang berfungsi berbeda,tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung,atau mempunyai kaitan baik secara intern maupun ekstern yang levelnya setaraf.

Koordinasi sangat diperlukan dalam mengintegrasi kinerja setiap unit.

Peran koordinasi dalam hal ini adalah berupaya membuat struktur dan memfasilitasi transaksi antar bagian yang saling bergantung. Terciptanya koordinasi yang baik antar unit atau departemen dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dan konflik sehingga proses produksi dapat berjalan dengan efektif.

(31)

Menurut Hasibuan (2007: 87) membagi tiga sifat koordinasi yaitu:

1. Koordinasi adalah dinamis bukan statis. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran.

2. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan,asas koordinasi adalah asas skala (hirarki), artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaiakan dengan jenjang yang berbeda satu sama lain.Tegasnya,asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) hrus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.

Menurut Handayaningrat (1985: 89) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan.oleh karena itu,koordinasi adalah meriupakan tugas pimpinan. koordinasi sering dicampuradukan dengan kata koperasi yang sebanarnya mempunyai arti yang berbeda,sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama.oleh karena itu maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi.

b. Adanya proses (continues proces). karena koordnasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik.

(32)

c. Pengaturan secara teratur usaha kelompok,oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan didalam kelompok,bukan terhadap usaha individu yang bekerjasama,dimana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efifisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi.Adanya tumpang tindih,kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi.

d. Konsep kesatun tindakan. hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi.kesatuan usaha berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil.

1. Faktor yang mempengaruhi koordinasi

Hisbuan (2006), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi antara lain adalah sebagai berikut:

a. Kesatuan tindakan

Pada hakekatnya koordinasi memerlukan kesadaran setiap anggota Organisasi atau satuan organisasi untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota atau satuan organisasi tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu kesatuan tindakan adalh inti dari pada koordinasi. Kesatuan dari pada usaha, berarti pemimpin harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha dari setiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian didalam mencapai hasil.

Kesatuan tindakan ini adalah merupakan suatu kewajiban dari pemimpin untuk memperoleh suatu koordinasi yang baik.

(33)

b. Komunikasi

Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari koordinasi, karena komunikasi, sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan berdasarkan rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi. Kemunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak kebutuhan manuasia dalam menjalin hidup dan kehidupanya. “perkataan komunikasi berasal dari perkataan communicare, yaitu yang didalam bahasa latin mempunyai arti berpartisipasi

ataupun memberitahukan”dalam organisasi komunikasi sanagat penting karna dengan komunikasi partisipasi anggota akan semakin tinggi dan pimpinan memberitahuakan tugas kepada karyawan harus dengan komunikasi. Sehingga dari uraian tersebut terlihat fungsi komunikasi sebagai berukut:

1) Mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai kebijakan dalam suatu lingkungan

2) Menginterpretasikan terhadap informasi mengenai lingkungan

3) Kegitan mengkomunikasikan informasi, nilai damn norma social dari generasi yang satu kegenerasi yang lain.

Maka dari itu komunikasi itu merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah sikap dan prilaku orang lain dengan melalui informasi atau pendapat atau pesan atau idea yang disampaikanya kepada orang tersebut.

c. Pembagian kerja

Secara teoritis tujuan dalam suati organisasi adalah untuk mencapai tujuan bersama dimana individu tidak dapat mencapainya sendir. Kelompok dua atau lebih orang yang bekerja sama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat

(34)

mencapai hasil lebih dari pada dilakukan perseorangan. Dalam suatu organisai tiang dasarnya adalah prinsip pembagian kerja (devision of labor). Prinsip pembagian kerja ini adalah maksudnya jika suatu organisasi diharapkan untuk dapat berhasil dengan baik dalam usaha mencapai tujuanya, maka hendanya lakukan pembagian kerja.

d. Disiplin

Pada setiap organiasi yang komplek, setiap bagian harus bekerja secara terkoordinasi agar masing-masing dapat menghasilkan hasil yang diharapakan.

Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu sesuai pada waktunya, sehingga masing masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal agar diporoleh hasil secara keseluruhan, untuk itu diperlukan disiplin.

B. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia.

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LPPOM MUI. Merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI disetiap daerah provinsi khususnya yang ada dikota makassar, dengan tugas menjalankanfungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalammengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika. Lembaga yang otoritatif melaksanakan Sertifikasi labelisasi Halal adalah Majelis Ulama Indonesia MUI yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, dan Kosmetika LPPOM.

(35)

Oleh karena itu LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual ini disusun oleh produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya. Tujuan penyusunan dan penerapan SJH diperusahaan adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal, sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentan LPPOM.

1. Terminologi Proses Sertifikasi Halal LPPOM MUI. (Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, 2008: 7-10).

a. Sertifikasi Halal

Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar LPPOM MUI.

b. Audit

Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

c. Auditor LPPOM MUI

Auditor adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan produksi halal diperusahaan.

(36)

d. Audit Produk

Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut.

e. Audit SJH

Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan pemegang sertifikat halal.

f. Sertifikat Halal

Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.

g. Sertifikat SJH

Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).

h. Audit Memorandum

Audit Memorandum adalah surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang diaudit tentang hasil audit yang membutuhkan tindak lanjut.

(37)

i. Evaluasi Hasil Audit

Evaluasi Hasil Audit adalah penilaian atas hasil audit melalui mekanisme rapat auditor.

j. Auditor Halal Internal

Auditor Halal Internal adalah staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk resmi oleh Manajemen Perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SJH.

k. Fatwa

Fatwa adalah hasil ijtihad para ulama terhadap status hukum suatu benda atau perbuatan sebagai produk hukum Islam. Dalam proses sertifikasi halal, fatwa merupakan status kehalalan suatu produk.

l. LPPOM MUI

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika.

m. Komisi Fatwa MUI

Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalanpersoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.

(38)

n. Status perusahaan :

1) Baru Perusahaan yang belum memiliki SH MUI.

2) Transisi Perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan

3) Perpanjangan Perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku sertifikat halalnya.

o. Maklon

Layanan produksi oleh suatu perusahaan (Pihak I) untuk perusahaan lain (Pihak II) yang semua atau sebagian bahan disediakan oleh Pihak II. Produk menjadi milik Pihak II.

C. Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan

Lembaga Badan Pengawas Obat Makanan adalah Merupakan lembaga yang menagani kegiatan labelisasi halal. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, kegiatan labelisasi halal telah diterapkan lebih dahulu sebelum sertifikasi halal.

Di Indonesia, konsumen muslim di lindungi oleh instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan BPPOM yang bertugas mengawasi produk-produk yang beredar di masyarakat. Selain itu ada kesepakatan kerjasama dan koordinasi antara Kementerian Agama, BPPOM dan LPPOM MUI yang bertugas secara khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia. (Karim, Muchith,A,.2013: 2)

(39)

Badan Pengawas Obat dan Makanan mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia, dan telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim.

. Di Indonesia peraturan yang bersifat teknis yang mengatur masalah pelabelan halal antara lain keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI No. 427/Men.Kes/SKBMII/1985 (Nomor 68 Tahun 1985) Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan. Pada peraturan ini disebutkan sebagai berikut:

Pasal 2, "Produsen yang mencantumkan tulisan "halal" pada label/penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.

Pasal 3, "Produsen sebagaimana dimaksud pada pasal 2 keputusan bersama ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada departemen kesehatan RI dengan mencantumkan keterangan tentang proses pengolahan dan komposisi bahan yang digunakan"

Pasal 4 ayat (1), "Pengawasan preventif terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 keputusan bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan".

(40)

Berdasarkan peraturan tersebut ijin pencantuman label didasarkan atas hasil laporan sefihak perusahaan kepada departemen kesehatan RI tentang proses pengolahan dan komposisi bahan, belum didasarkan atas sertifikasi halal.

Adapun kegiatan sertifikasi halal di Indonesia baru dilakukan semenjak didirikan LPPOM MUI tahun l989.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 924/Menkes/SK/VII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan disebutkan dalam Pasal 8: "Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan "halal" wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

Pasal 10: (1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa. (3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupapemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan".

Pasal 11: "Persetujuan pencantuman tulisan "halal" diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia".

(41)

Pasal 12: "(1) berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal memberikan: (a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat "Halal", (b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat "halal". (2) penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan".

Pasal 17: "Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan

"Halal" sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini".

Berdasarkan ketentuan diatas maka ijin pencantuman label halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan/Badan POM) berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). Kegiatan sertifikasi halal secara operasional ditangani oleh LPPOM MUI.

Peraturan yang lebih tinggi yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal antara lain Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 34 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan: "Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut".

(42)

Pada Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Pasal 34 (1) disebutkan: "Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya ".

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 (h) disebutkan. "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"

yang dicantumkan dalam label”

Pasal 62 (1) disebutkan: "Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00- (dua milyar rupiah)".

Perusahaan yang akan melakukan pelabelan halal secara legal harus melakukan sertifikasi halal. Hal ini untuk menghindari adanya pernyataan halal yang tidak valid. Suatu perusahaan yang membuat pernyataan halal secara tidak valid dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 62 ayat 1 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 karena termasuk sebagai pelanggaran terhadap pasal 8 (h) dari undang-undang tersebut. Pemegang labelisasi sertifikasi halal MUI LPPOM bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat lebelisasi halal ini dapat dipindah tangankan.

(43)

Peraturan pemerintah No.69 tahun 1999 pada pasal 1 ayat 3: Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label.

Pasal 1 ayat 5: Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur-unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. UU No.7 tahun 1999 pasal 1 ayat 4 Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal.

Kebijakan itu menambah biaya, memperpanjang jalur birokrasi sertifikasi, dan tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

(44)

Setelah diadakan sosialisasi, sekarang sudah banyak industri menengah kecil yang datang ke BPOM untuk melakukan proses pemeriksaan sertifikasi dan labelisasi halal atas produknya, Banyaknya produk yang dihasilkan oleh industri menengah kecil ini menimbulkan persoalan tersendiri.

Terlebih karena ketidaktahuan dan keengganan sebagian pengelola industri kecil untuk melaporkan produknya tersebut. Mereka banyak yang tidak tahu prosedur dan aturan pemeriksaan sertifikat halal.

D. Konsep Labelisasi Halal 1. Labelisasi

a. Pengertian

Labelisasi halal adalah Pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal .Produk halal adalah produk pangan, obat, kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang haram dalam proses pembuatanya serta dilarang untuk dikonsumsi.

Labelisasi halal adalah fatwa terulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu barang berdasarkan syariat islam. sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Sertifikasi dan labelisasi halal bertujuan untuk memebrikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap konsumen, serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional .

(45)

Tiga sasaran utama yang ingin dicapai adalah:

a. Menguntungkan konsumen dengan memberikan perlindungan dan kepastian hukum.

b. Menguntungkan produsen dengan peningkatan daya saing dan omset produksi dalam penjualan.

c. Menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan tambahan pemasukan kas negara.

Pada Pasal 30 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan labelisasi pada, didalam, dan atau dikemasan pangan. Pada ayat (2) Disebutkan labelisasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Memuat sekurang kurangnya keterangan mengenai :

a. Nama produk

b. Daftar bahan yang digunakan c. Berat bersih atau isi bersih

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia

e. Keterangan tentang halal dan

f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa.

(46)

Pada ayat (3) diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam Pasal 8 mengenai kewajiban pengusaha yang antara lain adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

Selanjutnya di dalam Bab IV Pasal 8, pengusaha dilarang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang/jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa jasa tersebut.

(47)

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi penjualan barang/jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi syariat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu:

a. Tidak mangandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah kotor-kotoran, dan lain sebagainya.

c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembilih menurut tata cara syariat Islam.

d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika

(48)

pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur dalam syariat Islam.

e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia oleh Auditor Halal Internal. Banyak umat bertanya, bagaimana kami tahu bahwa suatu makanan itu halal atau tidak kalau tidak ada label. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesiea memang tidak berdaya. Sebab masalah label adalah haknya Pemerintah. Majelis Ulama Indonsia akan mendukung labelisasi melalui sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik. Pada tahun 1996 setelah mengalami diskusi yang panjang maka dapatlah dicapai kerjasama antara Depkes,Depag,MUI tentang labelisasi Halal.

Hingga saat ini, piagam kerja sama tersebut menjadi landasan tindak bagi pihak terkait dalam melaksanakan sertifikasi dan labeliasi. Permintaan Sertifikat dan Label Halal dilakukan melalui satu pintu Pemeriksaan dilakukan oleh tim gabungan Depkes, Depag dan MUI. kemudian disidangkan oleh tenaga ahli MUI dan akhirnya kehalalan ditentukan oleh Komisi Fatwa MUI. Izin label halal diberikan oleh Depkes berdasarkan Fatwa MUI yang dikeluarkan sebagai Sertifikat Halal.

(49)

Kebijakan labelisasi halal dan sertifikasi merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan labelisasi halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi labelisasi halal adalah diterbitkannya sertifikat labelisasi halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk labelisasi halal. Sertifikasi labelisasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya.

Tujuan akhir dari labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal. Sedangkan sertifikasi labelisasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.

2. Halal

a. Pengertian

Dalam produk halal bukan hanya dinyatakan halal secara syar’i namun juga telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Produk ini mudah dikenali dengan adanya label halal yang dikeluarkan oleh MUI pada kemasannya. Produk halal yang akan dilihat mencakup makanan dan minuman yang dikemas yang dikelola oleh pabrik makanan dan minuman yang dihidangkan oleh restoran/rumah makan. (Karim, Muchith, 2013:11-12)

(50)

Kata halal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti diijinkan atau sesuai dengan hukum (lawful) (Abdul & Bisyri,1999:131).

Qardhawi (2003:31) mengartikan halal sebagai segala sesuatu yang tidak mengandung zat-zat yang membahayakan dan diperbolehkan oleh Allah swt.

Menurut MUI, yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut.

a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan, antara lain bahan yang diambil dari organ manusia, kotoran, dan darah

c. Semua hewan halal yang disembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam d. Seluruh penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan

transportasi bahan tersebut bukan bekas dipakai untuk babi, kecuali setelah dibersihkan dengan tata cara syariat Islam.

e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar (Depag,2003:2).

Pembahasan halal merupakan satu pembahasan yang amat luas. Sebagai contoh, jika dilihat dari aspek makanan saja, sesuatu makanan yang diproses boleh dikelaskan sebagai halal sekiranya ia dihasilkan dengan menggunakan bahan mentah, komponen dan aditif yang halal serta pemprosesannya berasaskan panduan yang ditetapkan syarak.

(51)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa barang yang halal dan haram sudah jelas patokannya dalam syari‟at Islam (2006:16).

Halal dan haram berdasarkan Al-Qur‟an (Panduan Umum Sistem Jaminan Halal,2008:42 - 44):

a. Al-Baqarah 168 : “Hai sekalian umat manusia makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikut langkah- langkah syetan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian”.

b. Al-Baqarah 172-173 : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kalian menyembah.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak berkehendak dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.

c. Al-Anam 145 : “Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah, daging babi karena ia kotor atau

(52)

binatang yang disembelih dengan atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”.

d. Al-Maidah 3 : “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di sisi berhala”.

e. Al-Maidah 90-91 : “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.

Sesungguhnya syetan itu hendak menimbulkan permusuhan dan perbencian diantara kalian lantaran meminum khamar dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.”

f. Al-Maidah 96 : “Dihalalkan untuk kalian binatang buruan laut dan makanannya”.

g. Al-A‟raf 157 : “Dia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor”

(53)

E. Kerangka Pemikiran

Proses pelaksanaan penelitian dan penulisan ini merupakan suatu rangkaian pemikiran yang diarahkan secara sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kerangka pemikiran dalam penulisan ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Bagan I: Model analisis kerangka pemikiran F. Deskripsi fokus peneletian

1. Koordinasi

Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal,

Koordinasi  Komunikasi

 Integrasi

 Sinkronisasi

 Simplikasi

 Monitoring

 Evaluasi

 -Pemrograman

Faktor yang mempengaruhi koordinasi

 Kesatuan tindakan

 Disiplin

 Pembagian kerja

 Komunikasi

Labelisasi Halal Produk Pangan

Makan LPPOM MUI

BPOM

Gambar

Diagram Alir Koordinasi Labelisasi Halal dan Sertifikasi  LPPOM dan BPOM

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti yang pernah dilakukan oleh Ody Adrian (2016) yang menggunkan metode KNN menerangkan bahwa aplikasi ini dapat mermberikan rekomendasi pemilihan laptop secara baik

Berdasarkan rekapitulasi faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan yang terdapat pada tabel 25 tergambarkan bahwasanya aspek ekonomi lebih besar dibandingkan

I : Semoga Allah yang Mahakuasa, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah membuat kita lahir-pula dari air dan Roh Kudus, dan yang juga memberi kita pengampunan dosa, menjagai

Pada saat lomba berlangsung tidak diperkenakan lagi melakukan pengecekan peralatan (komputer, printer dan UPS). Panitia/teknisi komputer berhak melakukan pengecekan

Penataan papan reklame di sepanjang jalan Hayam Wuruk terkesan masih kurang diperhatikan, hal ini dapat dilihat dari berbagai macam serta jenis papan reklame yang ada di

Dengan prosedur yang sederhana, analisis aktivasi neutron dapat digunakan untuk mengetahui kandungan aktinida dalam beberapa jenis sampel biologik.. Kata kunci : Thorium, urine,

Hal ini sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Ropyanto (2011) bahwa faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien post ORIF pasien fraktur ekstremitas

Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.5 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar