BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kontradiksi Konsep Perlindungan HKI yang Diberikan Sarana Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman Di Indonesia
Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional Berbasis Sumber Daya Genetik
Pengetahuan tradisional merupakan sebuah pengetahuan yang dipraktikan oleh masyarakat adat yang tercermin dalam tradisi-tradisi kebudayaannya secara turun- temurun. Praktik tersebut kemudian menghasilkan inovasi dan kreasi yang dihasilkan dari aktivitas intelektual sehingga dapat dipraktikan dalam bidang industri, keilmuan, atau kesenian (Pushpa Kumar Lakshmanan dan Shanmugamurthy Lakshmanan, 2014: 31). Inovasi tersebut dapat ditingkatkan nilainya apabila dilindungi oleh rezim HKI yang sesuai dengan bidangnya (Candra Irawan, 2017: 58). Pengetahuan tradisional sebagai sebuah pengetahuan yang dihasilkan oleh praktik kebudayaan yang dilakukan secara berulang-ulang tersebut menghasilkan sebuah inovasi dan kreasi sehingga menjadi kekayaan intelektual sekelompok masyarakat adat.
Inovasi dan kreasi yang dilindungi dalam lingkup hak kekayaan intelektual memiliki hak dan eksklusivitas yang hanya dimiliki oleh pemiliknya. Seorang pihak yang memiliki hak atas kekayaan intelektual berhak untuk diakui kepemilikannya dan mendapatkan hak ekonomi apabila kreasi atau inovasinya digandakan atau dikomersilkan oleh pihak lain. Dalam konteks ini, pengetahuan tradisional sebagai sebuah inovasi yang dilahirkan oleh masyarakat adat memiliki kedudukan yang sama dengan inovasi atau kreasi lain yang dilindungi oleh rezim HKI untuk diakui keberadaannya. Masyarakat adat berhak untuk diakui sebagai pemilik dari pengetahuan tradisionalnya serta menikmati hak ekonomi yang lahir dari pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka.
WIPO, pada tahun 2013 meringkas pengertian pengetahuan tradisional yang disepakati oleh para ahli sebagai sebuah pengetahuan, know-how, keahlian, dan praktik yang diwariskan secara turun-temurun dalam suatu kelompok masyarakat.
Merujuk pada pengertian tersebut, maka pemanfaatan sumber daya genetik sebagai commit to user
suatu pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan pengertian invensi seperti yang dipaparkan dalam UU Perlindungan Paten. Pasal 1 Ayat 2 UU Perlindungan Paten menegaskan bahwa invensi adalah, “Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses”. Pengetahuan tradisional dan rezim perlindungan paten memiliki korelasi mengingat pemanfaatan sumber daya genetik sebagai pengetahuan tradisional kerap diwujudkan dalam bentuk obat-obatan tradisional atau ramuan (Freedom Kai Phillips, 2016: 4). Aspek know-how, keahlian, serta proses dari pembuatan produk obat-obatan tradisional tersebutlah yang kemudian dilindungi berdasarkan Perlindungan Paten (Dwi Martini, Hayyanul Haq, dan Budi Sutrisno, 2017: 12).
Dasar tersebutlah yang menjadikan UU Perlindungan Paten memasukan pengaturan pengetahuan tradisional dalam Pasal 26 yang mensyaratkan disclosure requirement atau pengungkapan asal-usul pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik yang dijadikan basis pembuatan sebuah invensi.
Pemanfaatan sumber daya genetik sebagai pengetahuan tradisional juga kerap berwujud pada kegiatan pemuliaan tanaman. Dalam mempraktikan pengetahuan tradisional untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka, masyarakat adat dapat memanfaatkan sumber daya genetik sebagai solusi dalam meningkatkan produktivitas kegiatan pertanian atau agrikultur yang mereka olah.
Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman menegaskan bahwa varietas lokal sepenuhnya dilindungi dan dikuasai oleh negara. Yang menjadi problematika dalam hal ini adalah pengaturan yang ada dalam UU Paten dan UU Perlindungan Varietas Tanaman masih belum cukup dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional yang berbasis pada sumber daya genetik.
Tidak adanya sinkronisasi antara karakteristik perlindungan yang ditawarkan dalam perlindungan paten dan perlindungan varietas tanaman sebagai regulasi HKI dengan pengetahuan tradisional merupakan masalah utama yang menjadi penyebab tidak optimalnya perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Apabila pengetahuan tradisional bersifat komunal dan intergenerational, perlindungan HKI commit to user
yang memiliki konsep umum sebagai perlindungan yang bersifat individualistis menghambat pengetahuan tradisional untuk dilindungi sebagai invensi di bawah rezim perlindungan paten maupun perlindungan varietas tanaman. Hal ini lah yang menyebabkan pengetahuan tradisional kerap mengalami misappropriation atau pembajakan hak atas kepemilikan terhadap pengetahuan tradisional itu sendiri sebagai sebuah objek kekayaan intelektual (A. Andrzejewski, 2010: 96).
Ketidakmampuan HKI, khususnya perlindungan paten dan perlindungan varietas tanaman, dalam memberikan perlindungan hukum bagi pengetahuan tradisional menjadi sebuah problematika tersendiri. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya, regulasi HKI seharusnya memberikan eksklusivitas bagi pemilik dari pengetahuan tradisional itu sendiri sebagai pemegang hak kekayaan intelektual, yakni kelompok masyarakat adat. Namun secara bertentangan, beberapa pasal dalam pengaturan perlindungan hak paten dan perlindungan varietas tanaman di Indonesia sebagai bagian dari rezim perlindungan HKI konvensional memberlakukan beberapa ketentuan dan syarat yang baik secara langsung maupun tidak langsung membuat perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional menjadi terabaikan dan tersisihkan.
Ketidaksinambungan antara sistem perlindungan paten dan perlindungan perlindungan varietas tanaman dalam melindungi pengetahuan tradisional berbasis sumber daya genetik sehingga masih memberikan celah terjadinya misappropriation tidak menghadirkan konsep perlindungan hukum yang sebenarnya. Pasalnya, berdasarkan teori perlindungan hukum yang dijabarkan oleh Philipus M. Hardjon, perlindungan hukum dapat menyediakan sarana perlindungan preventif dan defensif. Apabila sistematika yang ada dalam konsep perlindungan paten dan perlindungan varietas tanaman di Indonesia tidak dapat mencegah dan menganulir tindakan misappropriation atas pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik, maka hal itu akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai permasalahan yang ada dalam perlindungan hukum dalam sistem HKI konvensional di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional terbagi menjadi dua pembahasan yang menyoroti masing-
commit to user
masing permasalahan yang ada dalam masing-masing pengaturan perlindungan paten dan perlindungan varietas tanaman.
1. Kontradiksi Konsep Pengaturan Paten Dengan Konsep Pengetahuan Tradisional yang Berkaitan Dengan Sumber Daya Genetik Untuk Dilindungi
Perdebatan mengenai apakah rezim perlindungan paten dapat memberikan payung hukum yang jelas dalam melindungi kepemilikan pengetahuan tradisional bukan hal yang baru di kalangan ahli hukum. Korelasi antara pengetahuan tradisional dengan terminologi invensi sangatlah jelas. Pasal 1 Ayat 1 UU Perlindungan Paten menegaskan bahwa yang dimaksud Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya. Sebagai sebuah metode pemecahan masalah dengan menggunakan pengetahuan dalam komunitasnya, masyarakat adat kerap menciptakan berbagai hal yang dapat dipakai atau dikonsumsi sebagai sebuah produk. Sebagai contoh, invensi-invensi yang berbasis pada pengembangan pengetahuan tradisional di antaranya obat- obatan berbasis pada sumber daya genetik, produk kesehatan, kosmetik, dan sebagainya. Pengetahuan tradisional tersebut diteliti oleh ilmuan untuk kemudian dijadikan basis metode dalam memproduksi sebuah produk yang bahkan berbahan dasar sumber daya genetik yang dimanfaatkan dalam pengetahuan tradisional yang bersangkutan (Sulasi Rongiyati, 2011: 223). Hal ini lah yang mendasari Pasal 26 UU Perlindungan Paten mengatur mengenai pemberian informasi yang jelas atas asal-usul pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik bagi sebuah invensi yang memiliki korelasi dengan pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik.
Sifat dari perlindungan paten utamanya adalah bersifat afirmatif atau bersifat memberikan izin terhadap invensi yang memenuhi kriteria berdasarkan persyaratan yang diharuskan menurut rezim perlindungan paten. Namun, disamping afirmatif, sistem perlindungan paten juga memiliki tujuan defensif, yang artinya perlindungan paten dapat digunakan untuk melindungi suatu invensi yang sudah diketahui sebelumnya atau tidak memiliki langkah inventif.
Dengan sifat tersebut, perlindungan paten menawarkan tiga cara untuk commit to user
melindungi pengetahuan tradisional sebagai sebuah invensi, yakni perlindungan secara defensif, perlindungan afirmatif, dan perlindungan dengan pengungkapan asal-usul pengetahuan tradisional yang menjadi basis sebuah invensi (Jay Erstling, 2009: 297-298). Perlindungan yang disediakan oleh UU Perlindungan Paten Indonesia terhadap pengetahuan tradisional yang berkembang di Indonesia kerap dikenal dengan istilah disclosure requirement sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Perlindungan Paten.
Perlindungan dengan sistem disclosure requirement mewajibkan bagi inventor yang hendak mendaftarkan invensinya dalam lingkup perlindungan paten untuk memberikan informasi mengenai asal-usul pengetahuan tradisional yang menjadi basis atau inspirasi dari invensinya. Dengan begitu, sistem disclosure requirement dalam UU Paten beserta dengan Naskah Akademiknya bertujuan untuk memastikan tercapainya kebijakan access and benefit sharing dengan pemberlakuan mekanisme disclosure requirement (Jay Erstling, 2009:
298). Namun, permasalahan yang muncul dalam konteks perlindungan pengetahuan tradisional berdasarkan perlindungan paten adalah tidak adanya pengertian secara eksplisit apa yang dimaksud dengan kata “Pengetahuan Tradisional” itu sendiri.
Pasal 26 UU Perlindungan Paten mewajibkan inventor untuk secara jujur menjabarkan pengetahuan tradisional mana yang menjadi inspirasinya dalam membuat dan mengembangkan invensinya. Namun, dalam UU Perlindungan Paten atau Undang-Undang manapun, absennya pengertian dari kata
“Pengetahuan Tradisional” serta batasan yang membedakan apa yang dikategorikan sebagai pengetahuan yang dikatakan sebagai pengetahuan tradisional dan bukan menimbulkan kerancuan tersendiri. Perundang-undangan Indonesia perlu mengatur dengan tegas kategori yang menjadikan sebuah pengetahuan atau invensi sebagai pengetahuan tradisional dan menegaskan siapa pihak yang memenuhi persyaratan untuk memiliki hak kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional tersebut. Dengan begitu, kebijakan disclosure requirement yang menjadi pijakan perlindungan pengetahuan tradisional dalam konteks perlindungan paten memiliki kepastian hukum yang jelas. commit to user
Permasalahan yang ada dalam pemberlakuan kebijakan disclosure requirement dalam perlindungan pengetahuan tradisional seperti yang diadopsi dalam UU Perlindungan Paten adalah rancunya pemilik atau inventor atas pengetahuan tersebut. Seorang inventor atas pengetahuan tradisional hampir tidak mungkin untuk diketahui sebab pengetahuan tradisional itu sendiri bersifat komunal dan diwariskan secara turun temurun, bukan dimiliki secara privat. Hal tersebut berimplikasi bahwa pemilik dari pengetahuan tradisional itu sendiri tidak diakui berdasarkan rezim perlindungan paten yang berlaku di Indonesia (Jay Erstling, 2009: 322). Hal ini membuat disclosure requirement seperti yang disyaratkan dalam UU Perlindungan Paten belum cukup dalam melindungi pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia.
Alternatif cara yang dapat dilakukan agar pemberlakuan disclosure requirement di Indonesia dapat menjadi kebijakan yang optimal dan tanpa celah adalah dengan hadirnya dokumen pembanding yang dimiliki oleh Kantor Paten di Indonesia yang dalam hal ini adalah Ditjen HKI. Dokumen pembanding tersebut haruslah berisi mengenai jenis-jenis pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia beserta dengan bahan-bahan sumber daya genetik yang digunakan dalam membuat produk pengetahuan tradisional tersebut. Kepemilikan atas dokumen pembanding atas pengetahuan tradisional di Indonesia menjadi penting untuk menegaskan bahwa pengetahuan tradisional merupakan sebuah invensi atau metode dalam menciptakan sebuah produk yang sudah diakui ada sebelumnya atau prior art (Sulasi Rongiyati, 2011: 233).
Penegasan status pengetahuan tradisional di Indonesia sebagai prior art merupakan hal yang penting untuk menggugurkan ketentuan perlindungan paten seperti yang tertera pada Pasal 3 UU Paten. Pasal 3 UU Paten mengharuskan sebuah invensi yang hendak didaftarkan untuk dilindungi berdasarkan perlindungan paten sebagai invensi yang memiliki kebaruan (novelty), memiliki langkah inventif sehingga bukan merupakan hal yang pasti bagi ahli di bidangnya (nonobviousness), dan dapat diaplikasikan dalam dunia industri (industrially applicable). Hal ini dapat berimplikasi sebuah invensi yang berbasis pada pengetahuan tradisional dapat diloloskan untuk diberikan hak commit to user
paten karena metode dan pengetahuan yang ada dalam pengetahuan tradisional tidak tercatat secara tertulis sejauh ini sehingga invensi tersebut dapat dikategorikan sebagai hal yang baru (novel). Tanpa diketahuinya asal-usul dan pemilik pengetahuan tradisional tersebut juga berimplikasi tindakan misappropriation dapat dilegalkan mengingat metode yang digunakan dalam menghasilkan produk berbasis pada pengetahuan tradisional tersebut tidak dapat disangkal oleh ahli manapun sehingga memenuhi kriteria nonobviousness.
Di sisi lain, absennya pengaturan hukum yang jelas mengenai indikator seberapa luas kriteria pengetahuan yang dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional dapat mempengaruhi pada tidak jelasnya disclosure requirement yang diwajibkan berdasarkan UU Perlindungan Paten. Hal ini tentu saja menimbulkan misappropriation terhadap kepemilikan pengetahuan tradisional yang seharusnya sudah menjadi hak masyarakat adat. Terlebih, dikarenakan sifatnya yang komunal dan turun temurun, sistem perlindungan hukum paten yang bersifat individualis hanya menjadi sarana dalam membajak kepemilikan pengetahuan tradisional. Tidak adanya penegasan dalam sistem hukum perlindungan paten di Indonesia mengenai kategori prior art sehingga pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia diakui sebagai pengetahuan yang sudah ada sebelumnya hanya melanggengkan pembajakan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional melalui pemberian perlindungan paten. Dengan tidak adanya pengaturan mengenai demarkasi antara apa yang disebut sebagai pengetahuan yang dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional dan yang bukan, serta minimnya ketentuan mengenai prior art sebagai pengetahuan yang tak dapat dipatenkan, maka sebuah invensi yang sebenarnya melakukan misappropriation atas pengetahuan tradisional karena memenuhi unsur baru (novel), memiliki langkah inventif (nonobvious), serta dapat diaplikasikan dalam dunia industri. Ketentuan tersebut membuat perlindungan paten tidak dapat dijadikan solusi satu-satunya kebijakan yang dapat melindungi kepemilikan pengetahuan tradisional secara efektif (Jay Erstling, 2009: 296).
commit to user
2. Kelemahan Peraturan Perlindungan Varietas Tanaman Dalam Melindungi Pengetahuan Tradisional yang Berkaitan Dengan Sumber Daya Genetik
Kepemilikan atas pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat kerap dibajak melalui sarana perlindungan paten. Sumber daya genetik yang menjadi bahan dalam menghasilkan sebuah pengetahuan tradisional diteliti oleh seorang peneliti yang datang ke dalam teritori sebuah negara dan masyarakat adat setempat untuk kemudian dikembangkan oleh sebuah industri sehingga dapat diaplikasikan dalam dunia industri untuk dijadikan sebuah produk seperti obat-obatan atau kosmetik dan kemudian diberikan perlindungan paten. Hal ini lah yang kerap disebut sebagai misappropriation. Hanya saja, bentuk misappropriation tidak hadir kepada pengetahuan tradisional yang sudah dikembangkan dalam bentuk produk saja(seperti obat-obatan tradisional dan jamu), melainkan bahan dasar dari pengetahuan tradisional tersebut, yakni sumber daya genetiknya, juga berpotensi untuk dibajak. Hal ini disebabkan bahwa pengetahuan tradisional sendiri juga dapat hadir dalam kegiatan pemuliaan tanaman (Krishna Ravi Srinivas, 2008: 84).
Sistem perlindungan HKI di Indonesia mengantisipasi hal demikian dengan memberlakukan Pasal 7 Perlindungan Varietas Tanaman yang menegaskan bahwa varietas lokal merupakan objek HKI yang dilindungi oleh Negara. Dalam Pasal 1 Ayat 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal Untuk pembuatan Varietas Turunan Esensial (PP Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Esensial), yang dimaksud dengan varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dikembangkan secara turun temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara. Sayangnya, ketentuan Perlindungan Varietas Tanaman yang ada di Indonesia masih belum cukup dalam melindungi pemanfaatan sumber daya genetik dalam pengetahuan tradisional sebagai kegiatan pemuliaan tanaman.
Penggunaan sumber daya genetik yang dilibatkan dalam menghasilkan pengetahuan tradisional oleh masyarakat adat memerlukan peran dan keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan akses dan pemanfaatan sumber commit to user
daya genetik tersebut. Sebuah varietas lokal yang memiliki kaitan dengan praktik pengetahuan tradisional apabila hendak dimanfaatkan oleh pihak di luar kelompok masyarakat adat yang bersangkutan haruslah terlebih dahulu melaksanakan kewajiban access and benefit sharing atau pembagian manfaat (Yuliana Diah Warsiki Susi Irianti, 2017: 12). Hal ini dipertegas dengan ratifikasi Indonesia atas Convention on Biological Diversity atau CBD dan Protokol Nagoya sebagai ketentuan internasional bagaimana setiap negara pihak memenuhi kewajiban yang ada dalam CBD dalam konteks pembagian akses dan manfaat atas pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik. Hanya saja, pengaturan terhadap varietas lokal yang sudah pasti bersinggungan dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang lahir dan hidup di tengah masyarakat adat sebagaimana tertera dalam Pasal 7 UU Perlindungan Varietas Tanaman masih kurang dalam mengatur bagaimana proses pembagian akses dan manfaat terhadap kepemilikan atas varietas lokal.
Substansi dasar dari kebijakan pembagian akses dan manfaat adalah dipastikannnya keterlibatan masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan, pemanfaatan, Keterlibatan masyarakat adat tersebut perlu dipastikan dalam menentukan apakah sumber daya genetik yang mereka gunakan dalam pengetahuan tradisionalnya merupakan hal yang dapat diakses atau tidak. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan sumber daya genetik dalam pengetahuan tradisional memiliki sifat yang beragam. Beberapa pengetahuan tradisional dapat memiliki akses yang dapat terbuka bagi pihak di luar masyarakat adat, namun ada beberapa pengetahuan tradisional yang sifatnya sakral dan tak dapat diakses secara sembarangan. Untuk menghormati hak-hak dan tradisi masyarakat adat atas sumber daya genetik dan pengetahuan tradisionalnya, maka diperlukan pengaturan yang juga mewajibkan para pihak yang hendak mengakses varietas lokal untuk mendapatkan izin dari pihak masyarakat adat yang bersangkutan atau dikenal dengan konsep prior informed consent (Miqdad Abdullah Siddiq, 2018:
175).
Permasalahan yang timbul dalam konteks perlindungan sumber daya genetik yang digunakan dalam pengetahuan tradisional sebagai varietas lokal commit to user
seperti yang diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Varietas Tanaman adalah kurangnya melibatkan peran masyarakat adat dalam membuat perjanjian pembagian akses dan manfaat dengan pihak yang hendak mengakses varietas lokal mereka. Pasal 7 UU Perlindungan Varietas Tanaman menegaskan bahwa varietas lokal dikuasai oleh negara. Perwujudan yang timbul dari pengaturan tersebut adalah lahirnya pengaturan yang ditegaskan dalam Pasal 9 PP Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Esensial di mana setiap orang yang hendak menggunakan varietas lokal milik masyarakat setempat haruslah membuat perjanjian dengan Bupati/Walikota, Gubernur, atau Kantor Perlindungan Varietas Tanaman yang dianggap mewakili masyarakat setempat. Terlebih, dalam Pasal 5 PP Penamaan, Pendaftaran, serta Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Esensial benar-benar sangan menggantungkan peran Bupati/Walikota atau Gubernur dalam hal mendaftarkan varietas lokal tersebut, tanpa adanya peran dari masyarakat adat pemilik varietas lokal. Hal ini dirasa masih kurang dalam menghormati hak-hak yang menjadi milik masyarakat adat mengingat masyarakat adat seharusnya juga dilibatkan secara langsung dengan memberlakukan prior informed consent. Hanya saja, hal ini tidak diatur lebih lanjut dalam peraturan hukum yang mengatur mengenai perlindungan varietas tanaman, dan spesifiknya varietas lokal.
Pengaturan untuk memperoleh izin terlebih dahulu terhadap varietas lokal dari masyarakat adat memerlukan pengaturan yang lebih detail. UU Perlindungan Varietas Tanaman tidak dapat memberikan sarana yang optimal untuk hal ini. Sebab, apabila Indonesia hanya ingin merujuk pada pengaturan yang tertera pada ratifikasi CBD dan Protokol Nagoya, yakni masing-masing Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Keanekaragaman Hayati dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, maka hal tersebut juga tak diatur secara rinci. Bahkan, Pasal 6 Ayat 2 Protokol Nagoya sebagai instrumen hukum internasional yang dibuat untuk melaksanakan kebijakan pembagian akses dan manfaat yang ditegaskan dalam CBD pun menyerahkan pelaksanaan teknisnya untuk diatur dengan rinci oleh kebijakan nasional setiap Negara pihak commit to user
(Chenguo Zhang, 2018: 3). Ketentuan dalam Protokol Nagoya tersebut membuat kebijakan dalam memperoleh prior informed consent berbeda-beda di setiap negara dan hal ini tidak diatur dalam perundang-undangan yang melindungi pengetahuan tradisional dalam bentuk varietas tanaman (Anne Perrault, 2004:
23). Oleh karena itu, UU Perlindungan Varietas Tanaman dan peraturan terkait lainnya belum dapat melindungi hak masyarakat adat ketika varietas lokal mereka diakses dan hendak digunakan.
B. Peraturan Sui Generis Tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dalam Menjembatani Perlindungan HKI Atas Kepemilikan Pengetahuan
Tradisional Berbasis Sumber Daya Genetik
Pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan invensi dan inovasi dari suatu penggunaan sumber daya alam. Dalam melakukan penelitian, para inventor dari suatu teknologi kerap menjadikan pengetahuan tradisional sebagai dasar dari penemuan tersebut untuk kemudian dikembangkan dan mendapatkan hak perlindungan atas paten. Dalam Pasal 26 Undang-Undang Paten, disebutkan bahwa suatu invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional atau sumber daya genetik harus memberikan keterangan dengan jelas terkait asal pengetahuan tradisional tersebut. Hal ini belum memenuhi ketentuan yang ideal yang tertera dalam CBD Pasal 8 (j) yang menyebutkan bahwa perlindungan pengetahuan tradisional suatu negara dapat dilaksanakan apabila negara tersebut memiliki Undang-Undang khusus yang melindungi pengetahuan tradisionalnya.
Perlindungan yang hanya menegaskan pemberian pengakuan akan asal-usul suatu invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik belum cukup untuk melingkupi perlindungan pengetahuan tradisional yang sifatnya komunal dan seringkali tidak terdaftar sebagai kepemilikan individu atau badan usaha sesuai asas first to file sebagaimana aturan yang ditetapkan oleh perlindungan HKI yang berkaitan dengan perlindungan kepemilikan hak industrial (Muthia Septarina, 2016: 47). Tanpa adanya upaya perlindungan pengetahuan tradisional melalui Undang-Undang khusus, pertauran HKI di Indonesia tidak dapat mencegah penyalahgunaan sebuah pengetahuan tradisional yang berbasis pada
commit to user
sumber daya genetic dan merugikan komunitas adat pemilik pengetahuan tradisional tersebut (biopiracy).
Masyarakat pemilik pengetahuan tradisional memiliki konsep yang berbeda dengan konsep HKI dalam melindungi suatu invensi sebagai hak industrial.
Dibandingkan dengan perlindungan HKI yang sifatnya individualistik, masyarakat menganggap penggunaan pengetahuan tradisional mereka sebagai public domain.
Masyarakat pemegang pengetahuan tradisional menganggap bahwa penggunaan pengetahuan tradisional mereka mengandung fungsi sosial, sehingga mereka tidak memiliki komplain terhadap asal-usul dan sumber dari suatu invensi yang berbasiskan pengetahuan tradisional mereka. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat barat yang menjadikan pengetahuan tradisional mereka sebagai suatu aset yang dapat dimiliki oleh satu orang saja sehingga dapat mendatangkan nilai ekonomi bagi mereka, sementara masyarakat adat menganggap bahwa penggunaan pengetahuan tradisional mereka erat kaitannya dengan fungsi sosial sehingga pengetahuan tradisional mereka dapat dimiliki oleh siapa saja. Mereka beranggapan bahwa memberikan hak kepemilikan terhadap pengetahuan tradisional terhadap orang lain akan memberikan ganjaran pada kelompok mereka di masa depan.
Pemikiran ini lah yang kemudian menggiring mereka untuk menjadi korban misappropriation atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh orang dari luar kelompok mereka terhadap pengetahuan tradisional yang mereka miliki. Dengan menjadi korban misappropriation tersebut, maka hak-hak mereka sebagai pemegang pengetahuan tradisional terabaikan dan menimbulkan kerugian bagi mereka (Muthia Septarina, 2016: 49). Tindakan misappropriation tersebut kerap berlangsung dengan situasi di mana para peneliti asing meneliti dan mengkaji pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat dan kemudian mendaftarkannya dalam lingkup rezim HKI (Agus Sardjono, 2010: 11 dan 36).
Dengan kondisi tersebut, maka para pemegang pengetahuan tradisional dapat dibebankan royalti ketika hendak menggunakan kembali pengetahuan tradisional mereka yang sudah tercatat sebagai kekayaan intelektual oleh industri baik dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun invensi tersebut bisa saja tidak sama persis dengan pengetahuan tradisional yang masih menjadi praktik masyarakat lokal commit to user
karena sudah adanya beberapa pengembangan, namun perlindungan hukum terhadap bagaimana pengetahuan tersebut diakses tetap ditegakkan untuk mencegah sebuah misappropriation tersebut terjadi.
Zainul Dulay dalam bukunya mengungkapkan bahwa dari sumbernya, pengetahuan tradisional dapat diklasifikasikan sebagai sebagai suatu invensi yang dihasilkan oleh seseorang, sekelompok orang, atau masyarakat lokal. Sedangkan dari aspek bagaimana pengetahuan tersebut diberdayakan dan dilestarikan, pengetahuan tradisional dapat diklasifikasikan sebagai pengetahuan individu, pengetahuan bersama suatu komunitas, dan pengetahuan yang sudah menjadi public domain (Zaini Dulay, 2011: 52). Dengan karakteristik tersebut, maka perlindungan hukum yang dapat diberlakukan terhadap pengetahuan tradisional memiliki tiga isu yang harus ditekankan dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Pertama adalah status pengetahuan tradisional sebagai public domain position yang menegaskan bahwa pengetahuan tradisional merupakan common heritage of mankind atau harus menjadi milik umum yang dapat dinikmati oleh penduduk dunia. Status ini menentang penggunaan pengetahuan tradisional sebagai komoditi yang dapat dikomersilkan oleh suatu pihak. Karena hal ini lah maka pengetahuan tradisional berbenturan dengan konsep individualistik HKI yang dianggap dapat merusak lembaga dan sifat ketradisionalan pengetahuan tersebut. Kedua, the appropriation position pengetahuan tradisional tersebut yang menyokong kepemilikan eksklusif pengetahuan tradisional oleh suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengakomodir penggunaan pengetahuan tradisional sebagai objek komersil dan penggunaan lainnya. Dan ketiga, the moral right position yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap pemegang pengetahuan tradisional harus hadir sebagai upaya mencegah atau menggugurkan klaim para pihak yang ingin menyalahgunakan pengetahuan tradisional tersebut. Terkait poin ketiga, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan hak penuh atas kepemilikan pengetahuan tradisional tersebut terhadap pemiliknya (Muthia Septarina, 2016: 51).
Hubungan antara karakteristik pengetahuan tradisional dan perlindungan yang ditawarkan oleh sistem HKI tidak memiliki titik temu (loophole) dikarenakan commit to user
lemahnya regulasi yang mengatur akan hal tersebut pada sistem hukum Indonesia.
Indonesia masih relatif tertinggal dari negera berkembang lainnya seperti India, misalnya, yang memiliki regulasi yang dapat melindungi pengetahuan tradisionalnya. Regulasi yang diterapkan India membuat India dapat memenangkan kasus-kasus seperti turmeric case, bamasti rice case, dan neem tree case untuk menggagalkan paten yang dibuat oleh industri asing untuk mengklaim pengetahuan-pengetahuan tradisionalnya.
Baik regulasi perlindungan paten dan perlindungan varietas tanaman tidak dapat melindungi kepemilikan atas pengetahuan tradisional dalam konteks hak kekayaan intelektual. Disclosure requirement yang tertera dalam ketentuan perlindungan paten memiliki kelemahan tersendiri dalam melindungi pengetahuan tradisional yang berkonsep komunal, tidak memenuhi syarat kebaruan, dan tidak memiliki langkah-langkah inventif. Begitupun dengan perlindungan varietas tanaman sebagai sarana perlindungan pengetahuan tradisional dalam bentuk varietas lokal dikarenakan kurangnya pengaturan mengenai keterlibatan peran masyarakat adat sebagai pemilik pengetahuan tradisional apabila varietas lokal mereka hendak diakses. Untuk mengatasi hal itu, Indonesia memerlukan ketentuan sui generis dalam bidang HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional.
Sui generis dapat diartikan secara harfiah sebagai “on its own”. Dengan begitu, aturan sui generis dapat diartikan sebagai ketentuan hukum khusus, yang dalam hal ini berarti peraturan yang mengatur mengenai pengetahuan tradisional. Sebagai aturan khusus yang mengatur mengenai pengetahuan tradisional, peraturan sui generis akan berisi standar dari bentuk-bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual yang akan dipadukan dengan bentuk perlindungan hukum lain terhadap pemanfaatan pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik. Kehadiran peraturan sui generis merupakan suatu sistem peraturan yang disesuaikan sedemikian rupa dari beberapa sifat dan ketentuan dari peraturan HKI yang sekarang dimiliki oleh Indonesia sehingga dapat mengakomodir perlindungan pengetahuan tradisional sebagai suatu kekayaan intelektual (Balavanth Kalaskar, 2012: 2).
commit to user
Sampai sekarang pun, Indonesia masih belum memiliki bentuk perlindungan hukum yang ideal terkait penggunaan dan kepemilikan pengetahuan tradisional.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Pasal 26 UU Paten masih belum dapat menggaransi perlindungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik baik dari aspek kepemilikan maupun pelaksanaan dari access and benefit sharing itu sendiri. Dari aspek kepemilikan, belum ada aturan hukum yang menegaskan sejauh apa lingkup dan kriteria sebuah invensi dapat dikatakan sebagai pengetahuan tradisional yang wajib mendapatkan perlindungan hukum. Sekalipun jenis invensi tersebut dapat dibedakan sebagai pengetahuan tradisional ataupun bukan, kriteria dari pemilik pengetahuan tradisional juga belum ditegaskan baik dalam UU Paten maupun naskah akademiknya.. Dalam hal ini, seharusnya perlindungan HKI (khususnya paten) di Indonesia juga memiliki ketentuan yang mengatur bagaimana prosedur dan pihak-pihak mana saja yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan access and benefit sharing, baik itu ditegaskan dalam UU terkait maupun dalam Peraturan Pemerintah.
Aspek diberlakukannya pelaksanaan access and benefit sharing dalam pertimbangan dibuatnya peraturan sui generis hanya salah satu aspek dari satu bagian yang lebih besar. Dikarenakan pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan sebuah invensi dan metode yang dipraktikan oleh masyarakat adat dalam tradisi kebudayaannya, maka pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan definisi “invensi” seperti yang dijabarkan di dalam Pasal 1 UU Paten. Dalam Pasal 3 UU Paten, invensi yang dapat dilindungi oleh rezim paten adalah invensi yang memenuhi kriteria sebagai sebuah invensi yang mengandung unsur kebaruan (novelty), mengandung langkah inventif (inventive steps), dan dapat diterapkan dalam industri. Hal ini masih mengancam pengetahuan tradisional yang rawan diprivatisasi berdasarkan rezim HKI, khususnya paten. Oleh karena itu, keberadaan peraturan sui generis sebagai upaya pencegahan paten yang tidak sah dan bentuk misappropriation lain terhadap pengetahuan tradisional menjadi sesuatu yang penting. Peraturan sui generis yang nantinya dikembangkan harus menegaskan secara jelas bahwa invensi dan pengetahuan yang dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional berkedudukan sebagai prior art atau pengetahuan yang commit to user
dianggap sudah ada sedari lama (Rohaini, 2015: 447). Dengan konsep pengaturan tersebut, peraturan sui generis menjadi sebuah dasar hukum yang dapat memberikan mekanisme positive dan defensive protection atas pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya genetik.
Dengan teori perlindungan hukum yang dipaparkan oleh Philipus M. Hadjon, maka perlindungan pengetahuan tradisional dapat dibagi menjadi perlindungan preventif dan perlindungan represif (Philipus M. Hadjon, 1987: 2). Kedua sarana perlindungan tersebut diwujudkan dengan langkah perlindungan defensif dan positif atas pengetahuan tradisional yang bertujuan untuk mencegah dan menghentikan pemberian hak kekayaan intelektual atas suatu pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik (Rohaini, 2015: 430).
Diberlakukannya peraturan sui generis dalam menyelesaikan permasalahan ini perlu diberlakukan secara menyeluruh untuk memberikan sarana (A) Perlindungan defensif terhadap kepemilikan pengetahuan tradisional dalam mengatasi misappropriation atas pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik serta (B) Mekanisme perlindungan yang menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban dalam mengakses pengetahuan tradisional yang berbasis sumber daya genetik untuk diatur secara khusus melalui sarana perlindungan positif atas pengetahuan tradisional.
Kedua aspek tersebut harus memiliki sinkronisasi agar upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik dapat berlangsung optimal.
1. Peraturan Sui Generis Sebagai Peraturan yang Melegitimasi Status Pengetahuan Tradisional Sebagai Prior Art Dalam Menyokong Defensive Protection Terhadap Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan tradisional yang berkaitan erat dengan penggunaan sumber daya genetik erat kaitannya dengan paten dan dapat memenuhi unsur dari definisi sebuah invensi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Paten. Kasus- kasus terhadap klaim atas kepemilikan sebuah invensi yang berbasiskan pada metode yang digunakan dalam pengetahuan tradisional sering menggunakan rezim paten untuk melindungi kepemilikan kekayaan intelektual atas invensi tersebut. Perlindungan atas invensi yang memiliki know-how dengan basis pengetahuan tradisional atas penggunaan sumber daya genetik dengan commit to user
menggunakan perlindungan invensi berdasarkan hukum paten merupakan hal yang memiliki korelasi satu sama lain, mengingat aspek utama dari pengetahuan tradisional yang dipraktikan oleh masyarakat adat adalah suatu pengetahuan yang memiliki metode dari proses penggunaan sumber daya genetik dalam praktik kebudayaan dan pemecahan masalah sehari-hari. Karena pengetahuan tradisional sudah ada dan diturunkan dari generasi ke generasi, maka dari itu rezim hukum paten masih belum cukup untuk mencegah misappropriation karena perlindungan invensi tersebut tidak memenuhi unsur novelty dan non- obviousness sebagaimana syarat suatu paten dapat diberikan.
Suatu paten dapat digagalkan atau dicabut apabila tidak memenuhi salah satu unsur tersebut (Michael C. Ogwezzy, 2012: 34). Hal ini kerap dikonsepkan
sebagai langkah defensive protection
(http://www.wipo.int/globalissues/tk/background/index.html, diakses pada Kamis, 29 Oktober 2020 pukul 21:32), yakni sebuah langkah perlindungan defensif terhadap pengetahuan tradisional di mana penempatan pengetahuan tradisional sebagai prior art digunakan untuk menggagalkan atau mencabut paten yang diberikan terhadap suatu invensi sebab invensi tersebut tidak memenuhi unsur kebaruan dan memiliki langkah-langkah inventif (Loretta Feris, 2004: 246). Untuk menggunakan langkah tersebut, maka diperlukan dokumen pembanding sehingga pihak otoritas yang dapat mengabulkan atau mencegah suatu paten atas suatu invensi dapat memeriksa terlebih dahulu apakah invensi tersebut memiliki unsur yang dimiliki oleh suatu pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik atau tidak (Manuel Ruiz, 2002: 7). Penempatan pengetahuan tradisional sebagai prior art dapat dihubungkan dengan upaya registrasi dan dokumentasi sebagai kebijakan yang juga harus dikembangkan disamping pembentukan peraturan sui generis.
Implikasinya hukumnya adalah, apabila pihak otoritas HKI, yang dalam hal ini adalah Dirjen HKI di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, lalai dan mengabulkan paten yang berbasiskan pada pengetahuan tradisional dan di sisi lain pemegang hak paten tersebut tidak menjalankan kewajiban sesuai dengan yang ditegaskan dalam peraturan sui generis ketika commit to user
hendak menggunakan dan mengakses pengetahuan tradisional sebagai prior art, maka kehadiran peraturan sui generis dapat menjadi dasar untuk menggagalkan paten tersebut (Michael C. Ogwezzy, 2012: 34). Sebagai contoh, dalam Andean Community’s Decision 486, komunitas negara-negara Andean menghasilkan putusan bahwasannya peran peraturan sui generis sangat sentral untuk menganulir paten terhadap pengetahuan tradisional apabila tidak diakses secara memadai sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak memiliki lisensi atau izin dari komunitas adat yang bersangkutan. Sebagai kesimpulan, kehadiran peraturan sui generis sebagai aturan yang menegaskan hak dan kewajiban untuk mengakses dan menggunakan pengetahuan tradisional yang memenuhi persyaratan untuk dianggap sebagai prior art adalah hal yang vital sebagai kebijakan yang menindaklanjuti proses dokumentasi dan registrasi pengetahuan tradisional sebagai sebuah prior art. Kemudian, penegasan akan hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan cara mendokumentasi setiap pengetahuan tradisional milik masyarakat adat.
a. Sistem Registrasi yang Dapat Diberlakukan Terhadap Pengetahuan Tradisional di Indonesia
Salah satu hambatan dalam melakukan perlindungan kekayaan intelektual terhadap pengetahuan tradisional adalah minimnya dokumentasi, data, dan informasi terkait pengetahuan tradisional yang sudah ada sejak lama.
Pengetahuan tradisional tersebut dapat mengandung suatu invensi yang dapat dipatenkan oleh sebuah industri sehingga terjadi misappropriation. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2016 Tentang Paten (UU Paten) menegaskan bahwa invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dan/atau penggunaan sumber daya genetik harus secara jelas menerangkan asal-usul pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik tersebut. Ketentuan disclosure sebuah invensi yang berbasiskan pada pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik tersebut dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan access and benefit sharing sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal tersebut dan Naskah Akademik UU Paten, yang juga diharuskan dalam Pasal 26 (3) Undang-Undang tersebut. (Trias Palupi commit to user
Kurnianingrum, 2019: 53). Namun, ketentuan tersebut belum didukung oleh sistem dokumentasi dan sumber informasi mengenai invensi yang sudah ada dalam bentuk pengetahuan tradisional yang berlaku di Indonesia. Meskipun Pasal 16 dan 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan mengatur mengenai dokumentasi pengetahuan tradisional, namun tidak adanya peran pemerintah untuk hadir baik sebagai pihak yang memverifikasi maupun pembuat database pengetahuan tradisional tidak dapat membuat pengetahuan-pengetahuan tradisional tersebut sebagai prior art atau invensi yang sudah diakui dan ada sedari dulu (Dwi Tiara Kurnilasari, Annalisa Yahanan, dan Rohani Abdul Rahim, 2018: 117). Pasalnya, sampai saat ini, satu-satunya database yang berisi pencatatan pengetahuan tradisional hanya dimiliki oleh Non-Governmental Organisation (NGO), yakni Sobat Budaya (www.budaya-indonesia.org). Karena belum dapat dianggapnya pengetahuan tradisional tersebut sebagai invensi yang sudah diakui sebab belum adanya pencatatan resmi yang seharusnya dilakukan oleh negara, maka dari itu dibutuhkan sistem registrasi sebagai upaya pencatatan dan pendokumentasian pengetahuan tradisional yang berisi invensi-invensi yang dapat diindustrialisasikan.
Registrasi pengetahuan tradisional merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena mendatangkan banyak manfaat bagi negara dan masyarakat yang memelihara pengetahuan tradisional tersebut. Manfaat yang didapat dari pelaksanaan registrasi tersebut dapat digambarkan dengan sangat variatif tergantung konteksnya seperti, kepentingan orang-orang yang berwenang untuk melakukan hal tersebut dan kebutuhan serta para masyarakat adat dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisional mereka yang berbasis pada sumber daya genetik. Secara signifikan, pelaksanaan registrasi tersebut dapat mendatangkan manfaat secara keuntungan finansial, sistematisasi dan pencatatan pengetahuan tradisional untuk kepentingan generasi mendatang, pedoman bagi para pihak yang akan memanfaatkan pengetahuan tradisional tersebut, pengakuan terhadap kepemilikan masyarakat adat atas pengetahuan tradisional mereka, pendidikan, defensive disclosure apabila pengetahuan commit to user
tradisional tersebut dilibatkan sebagai objek sengketa hak kekayan intelektual, dan perlindungan secara positif atas pengetahuan tradisional tersebut atau berbagai produk yang berkaitan dengan hal tersebut (World Intellectual Property Organization [WIPO], 2017: 9).
Sistem registrasi dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam melakukan perlindungan hukum terhadap kepemilikan intelektual atas pengetahuan tradisional. Registrasi/pencatatan pengetahuan tradisional adalah kumpulan dokumentasi resmi yang menjelaskan mengenai pengetahuan tradisional termasuk juga di dalamnya asal-usulnya. Registrasi berbeda dengan database, di mana database terhadap pengetahuan tradisional hanya memberikan daftar informasi, sementara sistem registrasi berisi daftar informasi yang di-input oleh beberapa atau seorang untuk mendapatkan hak yang dilindungi secara hukum atas informasi tersebut (UNU-IAS, 2004: 11). Dalam hal ini, sistem pendaftaran (registry) tidak hanya berisi mengenai daftar atau database.
Sistem pendaftaran berisi informasi mengenai pencantuman pemilik dari pengetahuan tradisional, sehingga memiliki hak yang dilindungi secara hukum untuk mengakses informasi dan pengetahuan tradisional tersebut.
Sistem pendaftaran ini memungkinkan pengetahuan tradisional untuk tercatat dalam suatu sistem database dan memungkinkan khalayak umum untuk mengetahui atau aware mengenai pendaftar yang melakukan pendaftaran terhadap pengetahuan tradisional tersebut menegaskan klaimnya terhadap pengetahuan tradisionalnya. Sistem pendaftaran biasanya dilakukan dalam bentuk database yang menurut TRIPS Agreement didefinisikan sebagai kompilasi data atau materi lain, entah dalam bentuk yang dapat dibaca oleh mesin atau bentuk lain, yang karena penentuan atau pengaturan isinya merupakan ciptaan yang termasuk sebagai kekayaan intelektual (David R.
Dornes dan Sarah A. Laird, 1999: 5).
Pendaftaran pengetahuan tradisional dilatarbelakangi oleh komunitas- komunitas yang ada di India di bawah People Biodiversity Register, dan melalui Society for Research and Initiatives for Sustainable Technologies and Institutions (SRISTI), sehingga saat ini India memiliki database untuk commit to user
dimanfaatkan oleh petani-petani untuk mencantumkan inovasinya dalam mengembangkan sumber daya genetik yang ada di wilayahnya (David R.
Dornes dan Sarah A. Laird, 1999: 5)
Registrasi pengetahuan tradisional dapat dilakukan dengan dua acara yakni sistem registrasi lokal dan sistem registrasi eksternal. Registrasi lokal dilakukan oleh masyarakat adat dengan menentukan invensi-invensi apa saja yang terkandung dalam pengetahuan tradisional mereka yang akan dipublikasikan secara terbuka dan didaftarkan. Sementara registrasi eksternal dilakukan oleh pihak di luar komunitas adat tersebut seperti pemerintah, museum, organisasi non-pemerintah (NGO), atau perpustakaan (Stephen A.
Hansen dan Justin W. VanFleet, 2003: 16).
Sistem registrasi ini dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan hak dan konsep perlindungan yang akan diberikan terhadap pengetahuan tradisional tersebut, yakni public registry dan private registry (Adya Paramitha Prabandari, 2011: 49).
1) Sistem Registrasi Publik/Public Registry System
Sistem registrasi public menempatkan pengetahuan tradisional sebagai domain public (public domain) sehingga dapat diakses oleh siapapun. Hal ini menjadikan pengetahuan tradisional sebagai prior art atau sebuah invensi yang diketahui dan diakui secara hukum oleh publik.
Dengan diakuinya pengetahuan tradisional tersebut sebagai domain publik, maka secara langsung dapat diberlakukan defensive disclosure terhadap pengetahuan tradisional tersebut. Defensive disclosure (publikasi defensif) ini lah yang akan mencegah klaim paten yang illegal terhadap industri yang mengakses pengetahuan tradisional tersebut dan mengkomersialisasikannya, namun tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan hukum yang berlaku (Stephen Hansen dan Justin W. Vanfleet, 2003: 16). Ketika sebuah invensi yang terkandung dalam pengetahuan tradisional diajukan sebagai sebuah prior art, maka invensi itu akan diperiksa apakah sudah memenuhi persyaratan untuk dianggap sebagai prior art atau belum. commit to user
Sistem registrasi publik memiliki beberapa kelemahan dikarenakan sifatnya yang menempatkan pengetahuan tradisional di dalam domain publik. Kepemilikan HKI tidak dapat berlaku dalam ranah publik dan penempatan pengetahuan tradisional dalam ranah publik tidak dapat mendatangkan keuntungan komersil dari pemanfaatan pengetahuan tradisional tersebut oleh pihak di luar masyarakat adat (Adya Paramita Prabandari, 2011: 1). Meskipun begitu, karena pengetahuan tradisional sudah diakui sebagai prior art, maka defensive disclosure masih tetap dapat diberlakukan untuk menggugurkan paten yang tidak memenuhi kriteria dan prosedur dalam akses pengetahuan tradisional.
2) Sistem Registrasi Privat/Private Registry System
Sistem registrasi privat merupakan sistem registrasi yang tidak menempatkan pengetahuan tradisional yang diregistrasikan dan didokumentasikan ke dalam ranah publik. Meskipun dalam hal ini pengetahuan tradisional tidak diakui berlaku sebagai prior art karena ditempatkan dalam ranah privat, namun dokumentasi tersebut tetap dapat digunakan untuk menyanggah unsur kebaruan terhadap paten yang didapat tanpa memenuhi kriteria dan prosedur yang berlaku (defensive disclosure). Hanya saja, kemampuan sistem registrasi privat dalam mencegah paten yang dianggap misappropriate terhadap pengetahuan tradisional masyarakat lokal baru dapat berlaku apabila ada perundang- undangan yang sifatnya sui generis terhadap perlindungan pengetahuan tradisional yang menjadikan pengetahuan tradisional tersebut sebagai prior art. Namun, situasi tersebut dapat diatasi apabila ada peraturan sui generis yang berlaku untuk menegaskan status prior art atas setiap pengetahuan tradisional yang diregistrasikan dalam private registry.
Sistem ini dapat digunakan sebagai mekanisme registrasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan budaya juga sebagai alat apabila di kemudian hari, dilaksanakan perjanjian untuk mengakses dan memanfaatkan pengetahuan tradisional tersebut. Sistem registrasi privat dapat dijadikan sebagai “katalog” dengan commit to user mengkategorisasikan pengetahuan-
pengetahuan tradisional mana saja yang dapat dilisensikan dan yang tidak dapat dilisensikan bagi pihak luar masyarakat adat dalam melakukan penelitian dan pengembangan produk. Dalam lingkup sebagai upaya pelestarian pengetahuan tradisional, sistem registrasi privat berlaku sebagai pustaka kebudayaan yang mendokumentasikan dan mencegah hilangnya pengetahuan tradisional karena tergerus zaman.
Sistem registrasi privat yang tidak menempatkan penggunaan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik terkait pun memiliki keistimewaan tersendiri yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat pemilik pengetahuan tersebut. Keistimewaan tersebut yakni apabila ke depannya masyarakat adat pemegang pengetahuan tradisional hendak mengkomersilkan pengetahuan mereka, maka mereka dapat mengkomersilkan pengetahuan tersebut dengan perlindungan di bawah rezim Rahasia Dagang selama informasi mengenai metode pembuatannya masih bersifat rahasia dan tidak diketahui oleh publik. Selain itu, dengan ketidaktahuan publik mengenai bagaimana cara mempraktikan pengetahuan tradisional sehingga dapat menghasilkan suatu invensi, sistem registrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya peraturan sui generis dapat menjadi alat untuk mendorong dilakukannya perjanjian access and benefit sharing (Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, 2003: 16-17). Mengingat karakter dari pengetahuan tradisional sangat beraneka ragam, maka sistem registrasi privat dinilai lebih cocok untuk diberlakukan karena lebih melibatkan institusi masyarakat tradisional dalam upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan penggunaan sumber daya genetik yang berkaitan.
Sistem registrasi sesuai dengan yang tertera di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Budaya merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hanya saja, hal yang dikatakan dalam Pasal 20 dan 16 UU Pemajuan Budaya masih dapat dikatakan belum jelas mengenai bagaimana pengetahuan tradisional yang akan didokumentasikan akan diposisikan.
Dalam UU tersebut, masih belum dijelaskan apakah pengetahuan tradisional commit to user
yang didokumentasikan akan ditempatkan sebagai public domain atau private domain. Undang-Undang tersebut hanya menegaskan bahwasannya proses dokumentasi pengetahuan tradisional akan dilakukan oleh berbagai pihak untuk membantu tugas kementerian terkait. Di tambah lagi, Undang-Undang tersebut tidak menegaskan mengenai proses registrasi pengetahuan tradisional tersebut sehingga tanpa adanya proses registrasi, pengetahuan tradisional tersebut belum mendapatkan perlindungan hukum yang cukup kuat tentang pihak yang memiliki pengetahuan tradisional tersebut, hak-hak apa saja yang diakui oleh pemilik pengetahuan tradisional tersebut, dan prosedur penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa di bidang kekayaan intelektual terkait akses dan penggunaan pengetahuan tradisional tersebut. Di tambah lagi, database yang ada di Indonesia untuk mendokumentasikan pengetahuan tradisional hanya di miliki oleh lembaga non pemerintah (Non-Governmental Organization/NGO), sehingga tidak mendatangkan hak dan kewajiban hukum atas pengetahuan tersebut. Pemerintah dan negara tidak memiliki database khusus untuk mencatat keberadaan pengetahuan-pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia.
Negara-negara seperti Korea Selatan dan India, sebagai perbandingan, merupakan negara-negara yang memiliki akses dan portal database mengenai dokumentasi pengetahuan tradisional dan dikelola oleh pemerintah yang ada di masing-masing negara (Dwi Tiara Kurnilasari, Annalisa Yahanan, dan Rohani Abdul Rahim, 2018: 114). Penentuan metode registrasi dan dokumentasi ini penting untuk dilakukan oleh pembuat kebijakan sehingga status pengetahuan tradisional sebagai objek yang dilindungi hukum, khususnya HKI, menjadi jelas dan optimal.
b. Jenis Registrasi yang Dapat Diadopsi Sehingga Proses Dokumentasi yang Dilakukan Dapat Menjadikan Pengetahuan Tradisional Sebagai Prior Art
Menentukan metode registrasi merupakan langkah awal yang harus ditentukan oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik yang selama ini dimiliki oleh masyarakat adat. Sebagaimana pembahasan sebelumnya commit to user
sudah memaparkan sifatnya masing-masing, setiap bentuk dari sistem registrasi dan dokumentasi pengetahuan tradisional menempatkan pengetahuan tradisional pada domain yang berbeda. Registrasi dan dokumentasi pengetahuan tradisional menjadi penting sebagai langkah dalam menggugurkan paten yang tidak dilakukan dengan layak sebab tidak memenuhi dua dari tiga syarat suatu paten dapat dikabulkan, yakni novelty dan non-obviousness. Untuk menutup kelemahan tersebut, penting untuk menegaskan status pengetahuan tradisional sebagai prior art.
Penetapan suatu pengetahuan tradisional sebagai bagian dari prior art merupakan langkah penting untuk mencegah dan menyanggah paten atas pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik yang didapatkan tanpa prosedur yang layak (misappropriation). Membahas mengenai penetapan pengetahuan tradisional sebagai prior art, prior art sering diterjemahkan sebagai seni pendahulu yang sudah terlebih dahulu diakui sebelum hak paten atas sebuah invensi diberikan. European Patent Office mendefinisikan prior art sebagai sebuah invensi yang memiliki bukti bahwa invensi tersebut sudah ada sebelum pemberian hak paten atas invensi yang lebih baru (https://www.epo.org/learning/materials/inventors-handbook/novelty/prior- art.html, diakses pada Jumat, 30 Oktober 2020 pukul 17:33 WIB). Dengan sifatnya yang membuat suatu invensi atau pengetahuan sudah ada sebelumnya itu lah, penetapan pengetahuan tradisional sebagai prior art dapat menjadi langkah defensif untuk menggugurkan paten yang tidak layak terhadap pengetahuan tersebut dikarenakan tidak adanya unsur novelty dan non- obviousness sebagai syarat paten (C. Douglass Thomas, 1996: 148).
Kedua bentuk registrasi dan dokumentasi seperti yang sudah dapat dibahas dapat menawarkan solusi tersebut. Perbedaan mendasar terletak pada di domain mana pengetahuan tradisional akan ditempatkan setelah proses tersebut dilakukan. Sebagai catatan, syarat sebuah pengetahuan tradisional dapat dikategorikan sebagai prior art tidak harus ditempatkan di dalam domain publik. Selain karena domain publik tidak akan memberikan keuntungan komersil terhadap potensi komersialisasi pengetahuan tradisional commit to user
yang akan dilakukan oleh industri-industri yang berkaitan, peranan masyarakat adat juga dapat tereduksi dalam hal ini. Stephen A. Hansen bersama dengan Justin W. VanFleet dalam bukunya menyatakan, pengetahuan tradisional yang ditempatkan dalam domain publik menjadikan seseorang yang hendak untuk mengakses dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meminta izin kepada masyarakat lokal pemegang pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik tersebut (Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, 2003: 28). Dengan tidak adanya peranan masyarakat adat dalam hal ini, masyarakat adat tidak dapat mengkaji izin dari pembatasan tersebut dan peran mereka semakin minim dalam menentukan isi perjanjian terkait akses dan pembagian keuntungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik mereka.
Hal ini mengingat sistem registrasi privat akan menempatkan pengetahuan tradisional dalam domain privat yang know-how dan know-why- nya tidak dapat diketahui oleh masyarakat luas (Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet 2003: 28). Pengadopsian sistem registrasi publik justru tidak akan optimal untuk melindungi pengetahuan tradisional dan penggunaan sumber daya genetik masyarakat adat dikarenakan hanya akan menjadi sebatas bentuk perlindungan defensif saja tanpa mengakomodir hak-hak yang sudah menjadi milik masyarakat adat.
Pengadopsian sistem registrasi privat akan lebih relevan untuk dilakukan dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik yang ada di Indonesia. WIPO dalam publikasinya menjelaskan bahwasannya ada tiga jenis pengetahuan tradisional yang dapat dikategorikan sebagai prior art. Ketiga jenis tersebut yakni, pengetahuan tradisional yang sifatnya rahasia, pengetahuan tradisional yang disebarkan dari mulut ke mulut, dan pengetahuan tradisional yang didokumentasikan secara fisik, yakni secara tertulis, diunggah ke dalam database di internet, atau bentuk-bentuk telekomunikasi dan rekaman lainnya. Mengenai pengetahuan tradisional yang didokumentasikan secara fisik, pengetahuan tradisional dan penggunaan sumber daya genetik tidak harus dipublikasikan secara menyeluruh, sehingga commit to user
aksesnya dibatasi oleh pihak yang berwenang. Sebagai contoh, otoritas yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan hak kekayaan intelektual di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Dirjen HKI, dapat menginventarisasi pengetahuan tradisional dari penggunaan sumber daya genetik yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat adat. Dengan dokumentasi terhadap pengetahuan tersebut, dokumen yang bersangkutan dapat dijadikan dokumen pembanding dan dijadikan dasar yang menegaskan bahwasannya pengetahuan tradisional tersebut sudah dikategorikan sebagai prior art dan dapat digunakan untuk menolak dan membatalkan paten atas invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional tanpa izin dan akses yang memadai yang melibatkan masyarakat adat (Stephen A. Hansen dan Justin W.
VanFleet, 2003: 28). Keberadaan dokumen pembanding yang dimiliki oleh pihak otoritas HKI ini lah yang menjadikan pengetahuan tradisional sebagai prior art (Manuel Ruiz, 2002: 5). Dengan tidak diketahuinya hal tersebut, maka peraturan sui generis dengan skema access and benefit sharing hadir sebagai prosedur dibentuknya perjanjian yang adil bagi para pihak (Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, 2003: 17). Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang bahwa pengetahuan tradisional, khususnya yang berkaitan dengan sumber daya genetik, wajib diregistrasikan, maka hal ini tidak lepas dari hadirnya peran pemerintah daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 PP Nomor 13 Tahun 2004. Namun, keterlibatan pemerintah daerah tidak dapat menggantikan peran masyarakat adat untuk dilibatkan secara langsung, melainkan sebagai jembatan untuk proses dokumentasi yang nantinya berpotensi pada proses pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersangkutan.
Pemberlakuan sistem registrasi privat akan berjalan efektif dengan berlakunya peraturan sui generis di waktu yang bersamaan untuk mengatur bagaimana mekanisme pemenuhan hak yang seharusnya dipegang oleh masyarakat adat dan sebagai peraturan positif yang melegitimasi pengetahuan tradisional yang sudah diregistrasi dan didokumentasikan sebagai prior art.
commit to user
2. Peran Peraturan Sui Generis Dalam Memberikan Perlindungan Positif Atas Pengetahuan Tradisional (Positive Protection)
Permasalahan dalam perlindungan hukum atas kepemilikan pengetahuan tradisional muncul dikarenakan perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh rezim perlindungan HKI dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional terus ada dan terpelihara karena diwarisi dari generasi ke generasi (intergenerational) membuat pengetahuan tradisional sebagai suatu invensi tidak hanya dimiliki oleh satu orang saja. Bahkan, pemilik pengetahuan tradisional bisa bersifat komunal dengan dimiliki oleh sekelompok masyarakat adat. Dengan berkembangnya pengetahuan tradisional tersebut sehingga diketahui oleh banyak orang, pengetahuan tradisional ditempatkan di dalam public domain, dan rezim HKI tidak dapat melindungi sebuah invensi yang ada dalam public domain. Di sisi lain, kepemilikan pengetahuan tradisional secara intelektual tidak dapat dilindungi berdasarkan rezim HKI karena tidak memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, karena pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan invensi di berbagai bidang, pengetahuan tradisional bisa saja tidak dapat dipatenkan karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU Paten, yakni memiliki unsur kebaruan, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Dapat disimpulkan, HKI konvensional sebagaimana ditetapkan dalam Part II dari perjanjian TRIPs tidak cukup untuk melindungi kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional (Julia Jenewa Oseitutu, 2010: 164 dan 169). Untuk mengatasi hal itu, Indonesia memerlukan ketentuan yang sui generis dalam bidang HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional dengan mekanisme perlindungan hukum positif atas pengetahuan tradisional.
Peraturan sui generis mengenai perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional yang berbasis pada sumber daya genetik atau penggunaan keduanya merupakan hal yang dibutuhkan saat ini. Kebijakan disclosure terhadap invensi yang berbasis pada pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik seperti yang ditegaskan pada Pasal 26 UU Paten sebagai kerangka aturan dalam mewujudkan terlaksananya access and benefit sharing memang dapat commit to user
memberikan perlindungan ekonomi terhadap masyarakat adat selaku pemilik pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik. Namun, selain karena tidak adanya registrasi dan dokumentasi terhadap asal-usul dan pemilik pengetahuan-pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik, tidak adanya peraturan khusus yang mengatur terkait lingkup dan indikator pengetahuan seperti apa yang dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional dan/atau sumber daya genetik dapat menyebabkan pelaksanaan access and benefit sharing akan rancu untuk dilakukan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kekurangan yang dimiliki oleh UU Paten tersebut dapat dilengkapi dengan adanya peraturan sui generis yang menegaskan batas-batas apa saja yang membuat sebuah pengetahuan dan invensi dapat dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional. Lebih jauh lagi, pengetahuan dan invensi yang sudah dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional tersebut pun akan diregistrasikan sehingga dapat menggagalkan paten yang tidak sesuai.
Substansi yang fundamental dari diberlakukannya ketentuan yang sui generis sebagai langkah perlindungan positif adalah diterapkannya konsep access and benefit sharing terhadap perlindungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik. Access and benefit sharing merupakan wujud pengakuan yang tegas bahwasannya pemilik dari sebuah pengetahuan tradisional adalah masyarakat adat yang bersangkutan, sehingga diperlukan pengaturan yang secara khusus mengatur mengenai bagaimana cara mengakses dan memanfaatkan pengetahuan tradisional sebagai upaya menghormati hak kekayaan intelektual para masyarakat adat.
Kebutuhan upaya perlindungan positif dalam menjadi dasar hukum diberlakukannya konsep access and benefit sharing adalah fakta bahwa perlindungan defensif saja tidak akan cukup dalam mengatasi dan mencegah tindakan misappropriation (Rohaini, 2015: 438). Hal ini juga dialami oleh India yang memiliki sistem dokumentasi terhadap pengetahuan tradisional mereka dengan Traditional Knowledge Documentation Library (TKDL) yang dimiliki.
Meskipun India dapat memenangkan beberapa kasus seperti kasus Neem Tree, Tumeric, dan Bamasti Rice dengan mengandalkan TKDLnya, namun mereka commit to user
tetap harus bersengketa dengan Amerika Serikat terkait paten dan merek yang dikabulkan atas pengetahuan-pengetahuan tradisional tersebut. Kehadiran peraturan sui generis untuk melegitamasi bahwa suatu pengetahuan yang sudah dianggap sebagai prior art dan kepemilikan intelektualnya dilindungi berdasarkan hukum yang berlaku dinilai penting untuk hadir.
Kondisi tersebut memberikan pemahaman bahwa agar langkah defensive protection terhadap pengetahuan tradisional dapat menjadi upaya perlindungan yang diharapkan berjalan optimal, langkah tersebut masih memerlukan peraturan sui generis sebagai positive protection untuk menegaskan bahwa pengetahuan tradisional yang dikategorikan sebagai prior art memerlukan kewajiban khusus, yakni access and benefit sharing dalam menggunakannya (Manuel Ruiz, 2002:
12). Peraturan sui generis nantinya akan menjadi ujung tombak bagi pihak otoritas HKI di Indonesia ketika mereka sudah memiliki dokumen pembanding dan mendapati bahwa invensi yang dimohonkan kepada mereka untuk dilindungi berdasarkan rezim hukum paten merupakan invensi yang sudah ada sebagai prior art. Pertama, peraturan sui generis yang dirumuskan harus menegaskan bahwa pengetahuan yang sudah memenuhi ketentuan untuk diwajibkan dan dilindungi secara hukum berdasarkan peraturan tersebut dikategorikan sebagai prior art. Setelah invensi tersebut sudah ditentukan sebagai prior art dan tidak berhak untuk mendapatkan perlindungan paten, maka peraturan sui generis menjadi mekanisme yang menentukan dan menjamin bagaimana perlindungan dan pembagian manfaat atas pengetahuan tradisional dapat dijalankan (Rohaini, 2015: 438). Penegasan status pengetahuan tradisional sebagai prior art oleh peraturan sui generis yang kemudian akan mengatur mengenai hal ini akan memberikan hak dan kewajiban khusus dalam hal mengakses dan menggunakan sebuah pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik yang melibatkan peran dari masyarakat adat.
Secara teknis, hal ini harus dijelaskan lagi lebih jauh syarat-syarat apa saja kah yang harus dipenuhi oleh para pihak yang dapat dianggap sebagai pemilik dan pemelihara pengetahuan tradisional tersebut. Prinsip-prinsip yang kemudian harus diadopsi dalam ketentuan sui generis Indonesia dalam upaya memberikan commit to user
perlindungan HKI terhadap pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik adalah sebagai berikut (Muthia Septarina, 2016: 59):
a. Sifat dari ketentuan sui generis terkait harus sederhana
b. Ketentuan sui generis yang akan diberlakukan harus mengakomodir dan mengadopsi beberapa hukum adat yang dinilai relevan dalam perlindungan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik
c. Ketentuan sui generis yang akan diberlakukan harus mengedepankan aspek komunal dan sistem kemasyarakatan
d. Mengedepankan aspek kebermanfaatan dalam kaitannya dengan penggunaan dan akses pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik bagi masyarakat luas.
Pemerintah Indonesia dalam tugasnya menyusun peraturan sui generis tersebut dapat memanfaatkan hasil kerja WIPO yang juga berupaya memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak masyarakat adat sebagai pemilik pengetahuan tradisional. Upaya memanfaatkan hasil kerja WIPO tersebut dapat mencantumkan beberapa unsur-unsur yang harus ditegaskan dalam peraturan sui generis tersebut yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (Muthia Septarina, 2016:
58)
a. Kriteria sebuah invensi dapat dikatakan sebagai pengetahuan tradisional dan harus dilindungi kepemilikannya berdasarkan rezim hukum yang berlaku, entah itu berbasis sumber daya genetik atau tidak.
b. Subjek yang diatur beserta juga dengan kriteria yang harus dipenuhi oleh subjek yang bersangkutan.
a. Pemilik pengetahuan tradisional beserta dengan hak & kewajibannya ketika diakses.
b. Prosedur untuk memperoleh hak perlindungan pengetahuan tradisional.
a. Kriteria Sebuah Invensi Dapat Dikategorikan Sebagai Pengetahuan Tradisional
Setelah WIPO membedakan pengertian antara pengetahuan tradisional dan budaya tradisional berdasarkan jenis hak kekayaan intelektualnya, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan hal commit to user