• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Organisasi. Harries Madiistriyatno & Sri Wahyuningsih, 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Dinamika Organisasi. Harries Madiistriyatno & Sri Wahyuningsih, 2021"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

dinamika

ORGANISASI

(2)
(3)
(4)

Dinamika Organisasi

__________________________________________________________________________________

© Harries Madiistriyatno & Sri Wahyuningsih, 2021

Penulis : Harries Madiistriyatno & Sri Wahyuningsih Penyunting : Asep Rachmatullah

Tata Letak : Indigo Media Rancang Sampul : Siti Roykhanah

Diterbitkan Oleh : Indigo Media Jl. Kalipasir No. 36 Sukasari

Kota Tangerang 15118 0812-1000-7656 www.pustakaindigo.com Email : pustakaindigo@gmail.com

x + 164 halaman; 15 x 23 cm Cet I, Juli 2021 ISBN 978-623-7709-29-9

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.

(5)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini, yang membahas tentang manajemen konflik, dinamika kelompok, serta pelatihan dan pengembangan. Pembahasan yang diketengahkan difokuskan pada tiga aspek: manajemen konflik, dinamika kelompok, serta pelatihan dan pengembangan. Ketiga aspek tersebut sangatlah berpengaruh terhadap dinamika yang terjadi dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuan-tujuannya, baik itu tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang. Di sinilah letak pentingnya memahami aspek- aspek yang menjadi bagian dari dinamika organisasi.

Buku ini sengaja disusun seringkas dan sepadat mungkin, juga dengan bahasa (yang sebisa mungkin) mengalir dan mudah dipahami.

(6)

Akan tetapi, sekalipun buku ini dikemas dengan nuasa praktis, materi yang disuguhkan dalam buku ini sarat dengan nuansa teoretis, yang utamanya disarikan dari bahan-bahan catatan kuliah penulis sebagai tenaga pengajar, kumpulan makalah dari bahan-bahan diskusi, serta pengalaman pribadi penulis sebagai narasumber dalam berbagai kegiatan seminar. Buku ini juga menjadi bagian dari upaya penulis dalam rangka mengajak rekan-rekan di STIMA IMMI untuk bermitra atau menulis bersama sehingga persemaian gagasan yang dituangkan dapat menjangkau seluas-luasnya khalayak pembaca.

Semoga kehadiran buku ini kiranya dapat menambah wawasan dan referensi bagi pembaca, terutama dalam memahami “dinamika organisasi. Pada sisi lain, penulis pun menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Terlebih, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Maka dari itu, penulis sangat senang dan terbuka menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan buku di masa mendatang.

Selamat membaca

Jakarta, 23 juni 2021

(7)

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAGIAN I MANAJEMEN KONFLIK ... 1

Bab 1 Memahami Konflik ... 2

A. Pengertian Konflik ... 4

B. Pandangan terhadap Konflik... 6

C. Ciri-ciri Konflik ... 9

D. Faktor-faktor Penyebab Konflik ... 11

E. Jenis-jenis Konflik ... 19

F. Konflik dan Persepsi ... 21

DAFTAR ISI

(8)

Bab 2

Strategi Mengatasi Konflik ... 26

A. Mengelola Konflik... 27

B. Tipe Pengelolaan Konflik... 29

C. Peran Pemimpin dalam Menyelesaikan Konflik ... 30

Bab 3 Gaya Penyelesaian Konflik... 40

A. Teknik Penyelesaian Konflik ... 40

B. Pendekatan dalam Menangani dan Menyelesaikan Konflik ... 44

BAGIAN II DINAMIKA KELOMPOK... 49

Bab 4 Memahami Dinamika Kelompok ... 50

Bab 5 Sejarah dan Kedudukan Dinamika Kelompok ... 58

A. Sejarah Dinamika Kelompok ... 61

B. Status Dinamika Kelompok ... 64

C. Pendekatan dan Fungsi Dinamika Kelompok ... 65

Bab 6 Kelompok Sosial ... 72

A. Pengertian dan Ciri-ciri Kelompok Sosial ... 72

B. Jenis-jenis Kelompok Sosial... 76

Bab 7 Pembentukan dan Efektivitas Kelompok Sosial ... 82

A. Pembentukan Kelompok Sosial ... 82

B. Efektivitas Kelompok Sosial ... 88

(9)

Bab 8

Pertumbuhan dan Perkembangan Kelompok ... 94

A. Proses Pembentukan Kelompok ... 94

B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Kelompok ... 98

C. Penerapan Konsep Dinamika Kelompok ... 100

Bab 9 Kepemimpinan dalam Kelompok Sosial ... 104

BAGIAN III PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN ... 121

Bab 10 Pelatihan dan Pengembangan dalam Organisasi ... 122

A. Pelatihan dan Pengembangan Karyawan ... 124

B. Tujuan Pelatihan dan Pengembangan ... 126

Bab 11 Metode Pelatihan dan Pengembangan Karyawan ... 134

A. Metode-Metode Pelatihan dan Pengembangan ... 134

B. Manfaat Pelatihan dan Pengembangan ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 142

INDEKS ... 150

GLOSARIUM ... 156

TENTANG PENULIS ... 162

(10)
(11)

BAGIAN I

MANAJEMEN KONFLIK

(12)

Bab 1 Memahami Konflik

Konflik sering terjadi dalam setiap organisasi baik yang disengaja (diciptakan) ataupun tidak sengaja. Tidak jarang konflik terjadi hanya karena perbedaan intonasi suara yang membuat individu tersinggung karena merasa diperlakukan tidak baik. Konflik juga kerap terjadi karena miskomunikasi dalam kelompok yang menciptakan perbedaan pandangan yang tajam antara satu anggota dengan anggota lainnya.

Gesekan yang terjadi pada individu, baik antara individu-individu atau individu-kelompok akan menggerogoti keutuhan organisasi jika dibiarkan. Individu akan merasa tidak nyaman dan perlahan-lahan kehilangan motivasi terhadap pekerjaannya, bahkan bisa berakibat apabila individu tersebut memutuskan meninggalkan organisasi.

Pada konteks ini, ketidakpuasan yang berakibat pada pengunduran

(13)

lebih jauh ialah apabila individu yang berkonflik memengaruhi individu lainnya, yang jika dibiarkan berlarut akan mengancam keutuhan organisasi.

Konflik pun dapat berujung pada melemahnya kinerja perusahaan, karena konflik secara psikologis mampu memengaruhi (menurunkan) motivasi individu dalam bekerja. Pada proses selanjutnya, individu tersebut akan sulit konsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Apabila konflik tersebut terjadi pada sebuah tim kerja, kerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (target atau sasaran) bisa terganggu dan menghambat pencapaian bersama.

Untuk dapat menangani konflik dalam kelompok atau tim kerja, diperlukan kemampuan manajemen dalam mengelola tim organisasi untuk menghadapi konflik. Pengelolaan ini pun tak semudah mencari

(14)

kesalahan administratif, sebab konflik bersentuhan dengan sikap dan cara pandang manusia. Kemampuan manajemen dalam mengelola memang unik dan memiliki pola tersendiri. Oleh karena itu, terdapat suatu seni dalam mengelola konflik yang muncul di dalam organisasi atau perusahaan.

Apabila konflik dibiarkan tanpa ada pengelolaan yang baik dan manusiawi, akibat atau dampaknya berpotensi menghambat laju gerak organisasi dan perusahaan dalam mencapai sasaran. Kinerja individu yang ikut terlibat konflik bisa menurun sehingga hal yang menjadi sasaran pencapaian akan terhambat. Bahkan, individu tersebut bisa saja mengundurkan diri dari organisasi atau perusahaan karena merasa tak nyaman dalam bekerja.

A. Pengertian Konflik

Kata “konflik” berasal dari bahasa Latin “configere” yang berarti

“saling memukul”. Kata “konflik” secara sosiologis dimaknai sebagai

“proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak yang lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tak berdaya”. Konflik juga bisa diartikan sebagai “hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda”

Konflik biasanya disebabkan adanya perbedaan pendapat individu dalam melihat atau memandang tujuan tertentu yang hendak dicapai.

Perbedaan pendapat itu sendiri merupakan hal wajar dan alamiah dalam organisasi atau perusahaan. Tak hanya di tingkatan organisasi

(15)

(keseharian) masyarakat. Artinya, dalam “proses interaksi” baik antara individu-individu maupun individu-kelompok, tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian.

Untuk memahami pengertian konflik secara lebih luas, berikut ini adalah berbagai pengertian atau definisi yang dikemukakan para ahli.

1. Konflik adalah warisan kehidupan sosial yang bisa berlaku pada berbagai keadaan akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus menerus (Newstrom & Davis, 2002).

2. Selain menciptakan kerja sama, hubungan yang saling tergantung berpotensi melahirkan konflik; hal ini terjadi ketika masing-masing pihak dalam organisasi atau perusahaan memiliki kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain (Gibson, Ivancevich, & Konopaske, 2011).

3. Konflik dalam organisasi disebabkan oleh persepsi individu atau kelompok. Apabila mereka tak menyadari adanya konflik dalam organisasi, konflik secara umum dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan terjadi konflik dalam organisasi, maka konflik tersebut menjadi kenyataan (Robbins, 1996).

4. Dari sudut pandang perilaku, konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok, atau pada tingkatan organisasi. Pada tingkatan individual, konflik sangat erat kaitannya dengan stres (Muchlas, 2008).

5. Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih di mana keduanya itu saling berhubungan serta tergantung satu

(16)

sama lain, namun dipisahkan oleh tujuan yang berbeda (Minnery, 1985).

6. Konflik dalam organisasi sering kali terjadi tidak secara simetris di mana hanya ada satu pihak yang sadar dan memberi respon pada konflik tersebut. Atau hanya satu pihak yang mempersepsi ada pihak lain yang menyerang (Robbins & Judge, 2011)

7. Konflik adalah ekspresi pertikaian antara individu-individu atau kelompok-kelompok karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian memperlihatkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, serta dialami (Pace &

Faules, 1998).

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, dan juga diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole, 1984).

9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, atau bisa bersumber dari perilaku pihak- pihak yang ikut terlibat (Kreps, 1986; Myers & Myers, 2010; Ruben

& Stewart, 2006).

10. Interaksi yang disebut komunikasi diantara individu yang satu dengan yang lainnya dapat menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda (DeVito, 1992).

B. Pandangan terhadap Konflik

Robbins (1996) menyebut konflik di dalam organisasi sebagai the

(17)

dapat meningkatkan kinerja kelompok sementara di sisi lain organisasi dan perusahaan berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir potensi konflik. Pandangan ini kemudian bisa dibagi menjadi tiga bagian.

1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang buruk, negatif, juga merugikan dan karenanya harus dihindari sebisa mungkin. Kata konflik dipadankan dengan istikah violence, destruction, irrationality. Artinya konflik merupakan sebuah “hasil disfungsional” dari komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-orang dan juga kegagalan manajer dalam merespon kebutuhan dan aspirasi karyawan.

2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View) Pandangan ini menyatakan bahwa konflik sebagai hal wajar yang terjadi dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai hal yang tidak mungkin dihindari, karena dalam kelompok atau organisasi pasti terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antaranggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat dalam mendorong serta meningkatkan kinerja organisasi. Jadi konflik harus dijadikan sebagai motivasi guna melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)

Pandangan ini cenderung mendorong kelompok atau organisasi untuk dapat menciptakan (mengelola) konflik, sebab organisasi

(18)

yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, serta tidak inovatif. Oleh karena itu, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan, sehingga setiap anggota di dalam kelompok tetap semangat, kritis, percaya diri dan kreatif.

Menurut Stoner dan Freeman (1989), konflik dapat dipandang dalam dua bagian: pandangan tradisional (old view) serta pandangan modern (current view) (Stoner & Freeman, 1989).

1. Pandangan tradisional menyatakan bahwa konflik dapat dihindari.

Konflik diyakini bisa mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan organisasi secara optimal. Sebab itulah konflik harus dihilangkan agar tujuan organisasi bisa tercapai. Konflik biasanya disebabkan kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dalam hal ini, manajer perlu meminimalisir potensi-potensi konflik.

2. Pandangan modern beranggapan konflik tidak dapat dihindari.

Konflik yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor seperti struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai-nilai dan lain-lain.

Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Apabila terjadi konflik, manajer harus mengelola konflik supaya kinerja yang optimal dapat terus dipertahankan dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran organisasi.

(19)

Dari pandangan lainnya, konflik juga bisa dipahami dari dua sudut pandang, yaitu pandangan tradisional dan kontemporer (Myers &

Myers, 2010).

1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai hal buruk yang harus dapat dihindari. Pandangan menekankan perlunya menghindari konflik yang dianggapnya sebagai faktor penyebab pecahnya kelompok dan organisasi. Bahkan konflik kerap dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan (fisik atau kata/

ucapan kasar). Konflik pasti menimbulkan sikap emosi dari setiap orang dalam kelompok atau organisasi sehingga menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, pandangan tradisional meyakini bahwa konflik harus dihindari.

2. Pandangan kontemporer tentang konflik didasarkan anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Tapi, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, namun bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi atau bahkan merusak tujuan organisasi.

Konflik dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bersifat destruktif, namun harus dijadikan sebagai hal konstruktif untuk membangun organisasi, seperti untuk mendorong kinerja dalam organisasi atau perusahaan.

C. Ciri-ciri Konflik

Menurut Wijono (1993), konflik yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan memiliki ciri-ciri sebagaimana berikut (Wijono, 1993).

(20)

1. Setidaknya ada dua pihak baik itu perorangan maupun kelompok yang terlibat dalam interaksi yang saling bertentangan.

2. Timbul pertentangan diantara dua pihak baik secara perorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan; dalam pertentangan ini, nilai atau norma yang diyakini atau dianut saling berlawanan satu sama lain.

3. Muncul interaksi yang kerap ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi serta menekan terhadap pihak lain sehingga memperoleh keuntungan seperti status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik (sandang-pangan, materi atau tunjangan tertentu) dan pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti rasa aman, penghargaan, rasa percaya diri, aktualisasi diri, dan lain sebagainya.

4. Muncul tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari “pertentangan” yang berlarut-larut.

5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan lain sebagainya.

(21)

D. Faktor-faktor Penyebab Konflik

Persepsi seseorang terkait penyebab konflik dapat memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang terhadap penyebab konflik juga akan turut menentukan kehidupan, atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan perilaku menghindar saat

(22)

menghadapi konflik. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik adalah sebagai berikut.

1. Perbedaan individu dalam hal ini meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia ialah individu unik, yang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal bisa menjadi faktor penyebab konflik dimana seseorang bisa menjadi tidak sejalan dengan orang lain/kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di suatu daerah atau tempat, tentu perasaan tiap warga yang tinggal di daerah atau tempat tersebut akan berbeda satu sama lain: ada yang merasa terusik atau ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang budaya yang kemudian membentuk kepribadian individu saling berbeda satu sama lain. Seseorang sedikit banyak bisa terpengaruh dengan pola pemikiran dan pendirian orang lain dan kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia merupakan sosok makhluk yang memiliki perasaan, pendirian, dan latar belakang budaya yang beda. Sebab itu, dalam waktu bersamaan, setiap orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam di

(23)

wajar terjadi. Namun, jika jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak maka perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya saja, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial di antara nilai-nilai lama (bercorak pertanian misalnya) dengan nilai-nilai yang baru (masyarakat industri). Nilai-nilai lainnya yang ikut berubah misalnya gotong- royong menjadi kontrak kerja dengan ‘upah’ yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan pun luntur dan ikut berubah menjadi individualisme, atau nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, apabila terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan bisa saja terjadi penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap dapat mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

Menurut Mulyasa (2003) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan baik secara materil maupun nonmateril (Mulyasa, 2003). Untuk mencegah konflik, berbagai pen- yebabnya dapat dipelajari sebagaimana berikut.

1. Perbedaan pendapat. Konflik bisa saja terjadi karena perbedaan pendapat dan masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan

(24)

pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan maka akan menimbulkan ketegangan.

2. Salah paham. Konflik dapat terjadi karena adanya salah paham (misunderstanding), seperti tindakan individu mungkin tujuannya baik, tapi dianggap merugikan pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan bahkan kebencian.

3. Salah satu atau dua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati, benci. Perasaan- perasaan ini berpotensi menimbulkan konflik yang menyebabkan kerugian baik secara materi, moral maupun sosial.

4. Terlalu sensitif. Konflik bisa saja terjadi karena terlalu sensitif.

Tindakan seseorang mungkin dianggap wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitif maka dianggap merugikan serta menimbulkan konflik, meskipun dari sudut pandang etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan salah.

Sementara itu, jika dipandang dari sumbernya, konflik juga dapat muncul karena adanya beberapa penyebab berikut.

1. Konflik individu, yang muncul ketika individu sedang menghadapi pekerjaan yang tidak disukainya tetapi harus tetap diselesaikan sebagai bentuk konsekuensi status dan jenjang kepangkatan yang melekat pada dirinya. Pada situasi tertentu, individu berpotensi

(25)

mengalami konflik ketika target pekerjaan yang harus diselesaikan tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimiliki karena faktor pendidikan, usia serta kesehatan.

2. Konflik antarindividu, yang muncul dalam sebuah organisasi atau perusahaan lantaran latar belakang yang berbeda baik etnis, suku, agama, tujuan maupun kepribadian dalam diri setiap individu.

Konflik seperti ini juga bisa muncul karena setiap individu punya peran berbeda satu sama lain dalam kelompok atau organisasi, seperti antara direktur dengan manajer, manajer dengan mandor, dan mandor dengan buruh dan atau sebaliknya. Perbedaan peran tentu memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan kepentingan masing-masing.

3. Konflik antara individu dengan kelompok, yang terjadi karena individu pada sebuah kelompok atau organisasi tidak/kurang bisa memberi manfaat baik secara langsung maupun tak langsung sehingga dikucilkan dari pergaulan kelompok atau organisasi tersebut. Perasaan dikucilkan, tidak dihargai atau dihormati bisa menyebabkan konflik, mengganggu integritas dan keseimbangan hubungan antarindividu. Hal ini pun dapat merugikan organisasi secara keseluruhan.

4. Konflik antarkelompok, yang muncul karena kepentingan atau tujuan yang berbeda dimana salah satu kelompok tidak ada yang mengalah. Konflik ini biasanya muncul karena ada kepentingan untuk bisa menguasai; contohnya mayoritas yang merasa berhak menjadi pemimpin dan menentukan tujuan kelompok, sementara kelompok minoritas berasumsi bahwa dalam kelompok tak ada

(26)

superior dan inferior, di mana setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.

5. Konflik antara kelompok dengan organisasi, yang timbul ketika organisasi menuntut target produktivitas terlalu tinggi sedangkan para individu anggota organisasi hanya bisa memberikan terlalu rendah. Direktur ingin perusahaan maju dengan tingkat produksi yang optimal agar dicapai laba perusahaan yang optimal pula, sementara dari sisi manajer, mandor, atau buruh, ada keinginan bagaimana memperoleh upah tinggi untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.

6. Konflik antarorganisasi, yang muncul karena adanya “persaingan bisnis” atau beda kepentingan untuk dapat meraih pengaruh dari masyarakat. Dari sisi bisnis, perang harga atau perebutan pasar, pengembangan produk, dan kemajuan teknologi, berpotensi menimbulkan konflik antarorganisasi.

Konflik pada dasarnya bisa muncul pada aktivitas diri seseorang (sebagai konflik internal) atau pada aktivitas sosial yang cakupannya lebih luas. Konflik yang timbul dari internal individu/organisasi bisa ditanggulangi lebih mudah dibanding dengan konflik antarkelompok atau kelompok dengan organisasi. Kecepatan dalam menangani dan menyelesaikan berbagai jenis konflik yang muncul sangat dipengaruhi oleh tingkat respon dan ketepatan dalam memilah/memilih strategi penyelesaian konflik tersebut.

(27)

Konflik dengan skala cakupan sempit yang berasal dari individu dengan individu dapat menjadi konflik besar jika dalam merespon dan menanganinya tidak bisa tuntas serta memuaskan dua individu yang berkonflik. Hal ini mungkin terjadi karena konflik antarindividu kemungkinan berasal dari dua kelompok yang berbeda satu sama lain. Dalam situasi ini, pimpinan organisasi harus cepat merespon dan juga menangani konflik yang ada, karena jika dibiarkan berlarut akan berpotensi menjadi konflik antarkelompok, yang pada gilirannya akan merugikan organisasi itu sendiri.

Konflik yang timbul dalam aktivitas organisasi, baik konflik individu, antarindividu, kelompok, antarkelompok ataupun individu/kelompok dengan organisasi, penyebabnya sering karena hal sepele. Komunikasi yang tidak lancar atau pebedaan pandangan terhadap suatu informasi sering menjadi pemicu konflik. Selain itu interaksi antarindividu dan antarkelompok ada kalanya tidak bisa saling memahami-membangun hubungan interpersonal yang dikehendaki. Untuk dapat menganalisis bentuk interaksi antara individu dengan individu, konsep Jendela Johari yang dikembangkan oleh Joseph Luth dan Harry Ingham pada 1955 dapat digunakan (Rakhmat, 2012; Soekanto, 2001).

(28)

Empat sel yang ditunjukkan pada gambar di atas menunjukkan adanya empat sel yang mencerminkan masing-masing pribadi dalam interaksi sosial.

1. Pribadi Terbuka (Open Self). Pola interaksi ini menunjukkan pribadi yang mengenal dirinya sendiri dan mengenal pribadi orang lain.

Pribadi lebih terbuka sehingga bisa meminimalisir konflik yang mungkin timbul.

2. Pribadi Tersembunyi (Hidden Self). Pola interaksi ini memperlihat- kan pribadi hanya cenderung mengenal dirinya sendiri serta tidak mengenal pribadi orang lain. Akibat dari kondisi ini ialah pribadi tersebut menjadi lebih tertutup pada orang lain, karena takut mengungkapkan sesuatu hal yang dianggap dapat menimbulkan reaksi (negatif) bagi orang lain. Akumulasi dari pola-pola interaksi pribadi yang demikian sangat potensial memunculkan konflik antarpribadi dalam organisasi.

(29)

3. Pribadi Buta (Blind Self). Pada situasi ini, orang mengenal pribadi orang lain namun tak mengenal dirinya sendiri. Orang dengan pribadi ini amat menjengkelkan orang-orang di sekelilingnya karena banyak perilakunya yang menyimpang, namun orang lain segan memberi tahu. Kekecewaan demi kekecewaan orang lain sebagai dampak perilaku yang diperlihatkan pribadi buta ini berpotensi menimbulkan konflik dalam organisasi.

4. Pribadi tak Dikenal (Undiscovered Self). Pada situasi ini, individu sama sekali tidak mengenal dirinya sendiri serta orang lain. Dalam praktik interaksi sosial sehari-hari, pribadi undiscovered self kerap mengalami konflik antarpribadi dalam bersosialisasi dengan siapa pun.

E. Jenis-jenis Konflik

Menurut Stoner dan Wankel dalam bukunya Management (1982) terdapat lima macam konflik (Stoner & Wankel, 1982).

1. Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal ialah konflik yang dialami individu dengan dirinya sendiri, yang terjadi jika pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:

a. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing.

(30)

b. Beragam macam cara berbeda yang mendorong peran-peran serta kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.

c. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan.

d. Ada aspek positif atau negatif yang menghalangi “pencapaian tujuan” yang diinginkan. Dalam proses adaptasi yang dilakukan individu, hal-hal yang seperti ini kerap menimbulkan konflik, yang jika dibiarkan akan memunculkan keadaan yang tidak menyenangkan (mengganggu).

2. Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal adalah “pertentangan antarindividu” yang disebabkan perbedaan kepentingan yang tak bisa diselesaikan.

Hal ini sering kali terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, atau bidang kerja dalam organisasi atau perusahaan.

3. Konflik Antarindividu dan Antarkelompok

Konflik ini melibatkan individu dengan kelompok. Apabila ada individu yang tak bisa memenuhi keinginan kelompok, maka ia akan mendapatkan teguran atau hukuman yang selanjutnya berpotensi menimbulkan konflik.

4. Konflik Antarkelompok dalam Organisasi yang Sama

Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi dalam organisasi yang antara lain dapat terjadi antara lini dan staf atau antara kelompok pekerja dengan manajer.

(31)

5. Konflik Antarorganisasi

Konflik ini terjadi antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Di tingkat negara kita bisa melihat bagaimana konflik perang dagang yang terjadi antara Cina versus Amerika Serikat, sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap negara tertentu, dan lain sebagainya.

F. Konflik dan Persepsi

Dalam pembahasan sebelumnya, sudah diketengahkan berbagai pengertian mengenai konflik, yang salah satunya oleh Robbins dan Judge (2011) dikatakan dipengaruhi oleh persepsi. Daro sudut pandang perilaku, konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkat individual, interpersonal, kelompok, atau pada tingkatan organisasi.

Pada tingkatan individual, konflik sangat erat kaitannya dengan stres (Muchlas, 2008).

Dalam memandang konflik, pandangan modern beranggapan konflik tidak bisa dihindari, dan penyebabnya antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, dan persepsi (Stoner & Freeman, 1989).

Persepsi seseorang terhadap penyebab konflik ini juga akan turut menentukan kehidupan, atau harga dirinya berupaya semaksimal mungkin untuk berkompetisi dan memenangkan konflik.

Memahami Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis penting bagi manusia sehingga dapat merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat

(32)

luas, menyangkut internal dan eksternal. Ada berbagai definisi terkait persepsi yang sudah dikemukakan para ahli, meskipun umumnya memiliki makna yang sama. Tatkala manusia mempersepsi sebuah objek, ada perbedaan sudut pandang dalam hal penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik (positif) dan ada pula yang negative. Apa pun yang dipersepsikan, hasil persepsi tersebut akan memengaruhi tindakan individu tersebut, yang dalam beberapa keadaan justru tidaklah disadari oleh individu bersangkutan.

Walgito (2004) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses pengorganisasian atau penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme (atau individu) sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan satu aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu (Walgito, 2004). Respon, sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu bersangkutan. Karena itulah, perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang tidak sama satu sama lain. Dalam mempersepsi suatu stimulus hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.

Artinya setiap individu mempunyai kecenderungan melihat benda yang sama tapi dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi berbagai faktor, seperti pengetahuan, pengalaman, dan sudut pandang yang terbentuk akibat pengalaman di masa lalu, yang pada gilirannya akan memengaruhi individu tersebut.

Persepsi juga berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap objek tertentu dengan cara berbeda-beda dengan menggunakan alat

(33)

positif atau negatif ibaratnya adalah sebuah “file” yang sudah tersimpan rapi dalam alam pikiran bawah sadar. Dalam Psikologi Kognitif (2005), disebutkan bahwa persepsi ialah proses menginterpretasikan atau menafsirkan informasi yang diperoleh melalui alat indera manusia (Suharnan, 2005). Ada tiga aspek dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera serta pengenalan pola dan perhatian.

Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004) persepsi terjadi setelah syarat-syarat berikut ini bisa dipenuhi (Sunaryo, 2004).

1. Ada objek yang dipersepsi.

2. Ada perhatian sebagai langkah pertama (persiapan) dalam meng- adakan persepsi.

3. Ada alat indera/reseptor, yaitu alat untuk menerima stimulus.

4. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, dan pada tahapan selanjutnya menjadi alat untuk memberikan respon.

Faktor yang Memengaruhi Persepsi

Menurut Thoha (2007), persepsi seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor berikut ini (Thoha, 2007).

1. Faktor internal, yang meliputi perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian, proses

(34)

belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan, serta minat, dan motivasi.

2. Faktor eksternal, yang meliputi latar belakang keluarga, informasi, pengetahuan, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, sesuatu yang baru dan familiar atau ketidakasingan pada suatu objek. Pada proses persepsi, diperlukan adanya perhatian yang merupakan Langkah utama (persiapan) sebelum melakukan persepsi. Perhatian itu sendiri adalah pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan pada sesuatu atau sekumpulan objek.

(35)

KESIMPULAN

Konflik sering terjadi dalam setiap organisasi baik yang disengaja ataupun tak sengaja. Konflik tak jarang berujung pada melemahnya kinerja perusahaan, karena secara psikologis mampu memengaruhi (menurunkan) motivasi individu dalam hal bekerja. Konflik biasanya disebabkan perbedaan pendapat antarindividu atau perbedaan dalam melihat tujuan tertentu yang hendak dicapai

Untuk menangani konflik dalam kelompok (tim kerja), dibutuhkan kemampuan manajerial (mengelola organisasi) untuk menghadapi konflik. Pengelolaan ini juga tidaklah semudah mencari kesalahan administratif, karena konflik bersentuhan dengan sikap dan cara pandang individu. Di satu sisi konflik (dianggap) dapat meningkatkan kinerja individu atau organisasi, sedangkan pada sisi lain organisasi berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir potensi konflik.

Ditinjau dari jenisnya, setidaknya terdapat lima jenis konflik baik yang melibatkan individu, individu-individu atau individu-kelompok, yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antarindividu dan antarkelompok, konflik antaroganisasi dan yang terakhir adalah konflik antarkelompok dalam organisasi yang sama.

(36)

Konflik tidak selalu bermakna negatif. Apabila dapat dikelola dengan baik, konflik bisa memberi kontribusi positif bagi kemajuan organisasi atau perusahaan. Untuk mengatasi konflik, terdapat berbagai macam strategi yang dapat ditempuh sesuai dengan kondisi dan karakteristik dari konflik yang terjadi. Dalam Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement (1986), Pruitt dan Rubin menyebutkan lima strategi yang bisa ditempuh untuk mengatasi konflik (Pruitt & Rubin, 1986).

1. Bertanding (Contending), menerapkan solusi atau pemecahan masalah yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain.

2. Mengalah (Yielding), menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia (lapang) menerima kurang dari apa yang sebenarnya diinginkan.

3. Pemecahan Masalah (Problem Solving), yaitu mencari ‘alternatif’

Bab 2

Strategi Mengatasi Konflik

(37)

4. Menarik Diri (Withdrawing), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Strategi ini meliputi pengabaian terhadap kontroversi-kontroversi yang mungkin ada dan berkembang dalam konflik.

5. Diam (Inaction), yaitu tidak melakukan apapun yang mengarah kepada pemecahan masalah. Masing-masing pihak yang bertikai hanya saling menunggu langkah yang berikutnya dari pihak lain

A. Mengelola Konflik

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan pandangan yang menyata- kan bahwa konflik dapat dicegah atau dikelola alih-alih sekadar dianggap sebagai hal negatif. Jadi, konflik yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan dapat dicegah dan dikelola dengan hal-hal berikut.

1. Disiplin

Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer sebisa mungkin harus mengetahui dan memahami aturan-aturan dalam organisasi atau perusahaan. Jika aturan-aturan yang ada belum jelas, maka manajer harus mencari bantuan untuk memahaminya.

2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan

Konflik dapat dikelola dengan cara mendukung individu mencapai tujuannya sesuai dengan pengalaman serta tahapan hidupnya.

Misalnya, pegawai junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan ke jenjang lebih tinggi, sementara

(38)

pegawai senior berprestasi bisa dipromosikan menduduki jabatan yang lebih tinggi.

3. Komunikasi

Komunikasi yang baik bisa menciptakan lingkungan yang kondusif.

Berbagai cara yang dapat dilakukan manajer di antaranya adalah menerapkan ‘komunikasi efektif’ dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.

4. Mendengarkan secara Aktif

Mendengarkan secara aktif menjadi hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan manajer sudah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan pegawai yang sekaligus juga menjadi tanda bahwa mereka telah mendengarkan aspirasi pegawai dengan baik.

Sementara itu, diperlukan keahlian mengelola-menyelesaikan konflik. Dalam hal ini, ada beberapa pendekatan dalam resolusi konflik yang tergantung pada:

1. Konflik itu sendiri

2. Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya 3. Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik 4. Pentingnya isu yang menimbulkan konflik

5. Ketersediaan waktu dan tenaga

(39)

B. Tipe Pengelolaan Konflik

Manajemen harus meredam persaingan yang sifatnya berlebihan, yang memang cenderung berpotensi melahirkan konflik yang bersifat disfungsional, lantaran konflik ini dapat merusak semangat sinergisitas dan integritas organisasi. Untuk memahami segi-segi yang terkait dengan pengelolaan konflik, Baskerville (1993) menyebutkan adanya enam tipe pengelolaan konflik yang dapat digunakan (Baskerville, 1993).

1. Avoiding, yaitu gaya seseorang dan organisasi yang cenderung menghindari konflik. Hal-hal sensitif yang berpotensi menimbul- kan konflik, sebisa mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.

2. Accomodating, yaitu gaya mengakomodir pendapat dan kepen- tingan dari seluruh pihak yang terlibat konflik untuk kemudian dicarikan jalan keluar; gaya ini tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan yang diperoleh.

3. Compromising, yaitu penyelesaian konflik dengan teknik negosiasi terhadap pihak yang berkonflik sehingga mampu menghasilkan solusi atau jalan keluar yang dapat memuaskan satu sama lain (lose-lose solution).

4. Competing, dimana para pihak yang berkonflik saling bersaing dan memenangkan konflik, dan pada gilirannya harus ada pihak yang rela dikorbankan kepentingannya demi tercapai kepentingan pihak lain yang lebih kuat (win-lose solution).

5. Collaborating, melalui cara ini, pihak-pihak yang berkonflik akan memperoleh hasil yang sama-sama memuaskan, karena mereka

(40)

dapat bekerja sama secara sinergis menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Dengan kata lain, kepentingan kedua pihak tercapai (win-win solution).

6. Conglomeration (Mixtured Type), cara ini menggunakan lima gaya di atas secara bersama-sama dalam menyelesaikan sebuah konflik.

C. Peran Pemimpin dalam Menyelesaikan Konflik

Salah satu tugas pemimpin adalah mampu mengelola konflik sebaik mungkin sehingga tidak sampai pada titik breaking point. Tugas ini tentunya tidak mudah, dan mempunyai segudang tantangan dan risiko yang melingkupinya. Karena itu, pemimpin sebuah organisasi dan perusahaan sebaiknya dapat memiliki jiwa yang dinamis, kreatif, berani, bertanggung jawab dan berdedikasi penuh pengabdian.

Dalam menangani konflik, metode yang kerap digunakan oleh seorang pemimpin adalah dengan mengurangi konflik yang diikuti dengan penyelesaian konflik. Dalam hal mengurangi konflik salah satu cara yang sering efektif ialah dengan cara mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling things down).

Cara seperti ini memang belum tentu bisa menyentuh masalah yang sebenarnya dalam konflik. Cara lainnya ialah membuat “musuh bersama” sehingga semua anggota dalam kelompok dapat bersatu untuk menghadapi “musuh bersama” tersebut. Pada beberapa kasus, cara ini pun sebenarnya hanya mengalihkan perhatian dari anggota kelompok yang sedang mengalami konflik, tak sampai menyentuh akar masalah dibalik konflik.

(41)

Berikut adalah beberapa metode yang bisa digunakan (diterapkan) pemimpin dalam rangka menyelesaikan konflik yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan.

1. Metode Dominasi atau Supresi

Metode dominasi dan supresi biasanya memiliki dua persamaan:

a. Mereka menekan konflik dan bahkan menyelesaikan dengan cara memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”.

b. Mereka menimbulkan situasi menang-kalah, di mana pihak yang kalah terpaksa mengalah karena otoritas lebih tinggi atau pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan pun muncul.

Dalam metode ini terdapat beberapa tindakan yang biasanya dilakukan dalam menyelesaikan konflik.

a. Memaksa (Forcing). Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak bicara, saya yang berkuasa di tempat ini, saudara harus mau melaksanakan perintah saya!”

maka semua argumen sudah habis. Pemaksaan demikian dapat menimbulkan munculnya ekspresi-ekspresi konflik secara tidak langsung yang bersifat destruktif, seperti kepatuhan tetapi diiringi dengan sikap bermusuhan (malicious obedience). Gejala itu adalah salah satu di antara banyak bentuk konflik yang bisa menyebar jika pemaksaan penyelesaian terus-menerus diterapkan.

(42)

b. Membujuk (Smoothing). Dalam kasus membujuk, yang menjadi sebuah cara menekan konflik secara lebih diplomatis, manajer mencoba untuk menguraikan sekaligus mengurangi luas serta pentingnya ketidaksetujuan yang ada; manajer mencoba secara sepihak membujuk pihak lain supaya mengikuti keinginannya.

Apabila manajer memiliki lebih banyak informasi dibandingkan pihak lain, maka sarannya cukup masuk akal dan metode yang diterapkan bisa berjalan dengan baik (efektif). Namun sebaliknya, jika terdapat pemikiran bahwa manajer hanya menguntungkan pihak tertentu atau dianggap tidak memahami persoalan yang sedang terjadi, pihak lain yang kalah akan menentangnya.

c. Menghindari (Avoidance). Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar datang pada seorang manajer untuk meminta keputusannya, tapi ternyata sang manajer menolak ikut campur, setiap pihak bisa mengalami perasaan tak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap “pura-pura tidak ada konflik” adalah tindakan menghindari, bentuk lainnya dari penolakan untuk menghadapi konflik dengan mengulur waktu dan berulang kali menangguhkan tindakan hingga bisa didapat lebih banyak informasi.

d. Keinginan Mayoritas (Majority Rule). Upaya menyelesaikan konflik dalam suatu kelompok melalui pemungutan suara bisa menjadi cara yang efektif jika semua angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair”. Namun, apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai kemena- ngan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.

(43)

2. Metode Kompromi

Metode ini mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan titik temu dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih memperkecil kemungkinan munculnya permusuhan yang terpendam dari pihak- pihak yang berkonflik, sebab tak ada yang merasa menang atau kalah.

Akan tetapi, dipandang dari pertimbangan organisasi, pemecahan ini bukanlah cara terbaik, karena tidak membuat penyelesaian terbaik

(44)

bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan pihak-pihak yang saling bertentangan atau berkonflik. Adapun yang termasuk kompromi di antaranya adalah:

a. Akomodasi, yaitu penyelesaian konflik yang menggambarkan adanya kompetisi bayangan cermin yang memberi keseluruhan penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses ini disebut dengan taktik perdamaian.

b. Sharing, pendekatan penyelesaian kompromi antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lainnya menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan. Melalui tindakan kompromi, manajer menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik supaya mengorbankan sasaran tertentu untuk mencapai sasaran lain. Keputusan-keputusan yang diraih lewat kompromi agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yang berkonflik merasa frustasi atau mengambil sikap bermusuhan.

Akan tetapi, dipandang dari sudut pandangan organisasi, penyelesaian ini dianggap lemah, karena biasanya tidak memun- culkan pemecahan yang paling baik dalam membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya. Dalam hal ini, pemecahan yang dicapai adalah pihak-pihak yang berkonflik dapat

“hidup” dengannya.

(45)

Dalam menerapkan metode kompromi untuk menyelesaikan konflik, berikut ini adalah bentuk-bentuk kompromi.

a. Separasi (Separation), dimana para pihak yang terlibat konflik dipisahkan untuk sementara waktu sampai mereka mencapai suatu pemecahan.

b. Arbitrasi (Arbitration), dimana para pihak yang berkonflik tunduk terhadap suatu keputusan pihak ketiga (biasanya dari pihak manajemen).

c. Mengambil Keputusan Berdasarkan Faktor Kebetulan (Settling by Chance), dan di mana keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas hingga jatuh, menaati atuan- aturan yang berlaku (resort to rules), di mana para pihak yang berseteru sepakat menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku.

d. Menyogok (Bribing). Salah satu pihak menerima imbalan tertentu agar bersedia mengakhiri konflik yang sedang terjadi.

3. Metode Pemecahan secara Integratif

Penyelesaian konflik secara integratif adalah mengubah konflik menjadi satu situasi pemecahan bersama yang dilakukan dengan teknik pemecahan masalah (problem solving) tertentu. Pihak-pihak yang bertentangan mencoba memecahkan persoalan secara bersama, tak hanya sekadar mencoba menekan konflik atau kompromi. Hal ini merupakan cara terbaik bagi organisasi sekalipun dalam praktiknya sangat sulit dilakukan dan tercapai, khususnya karena kurangnya

(46)

kemauan untuk bersikap jujur dalam memecahkan masalah. Dalam penyelesaian secara integratif ini, ada tiga (3) metode penyelesaian konflik secara integratif (Winardi, 2007).

a. Konsensus (Concencus) b. Konfrontasi (Confrontation)

c. Penggunaan Tujuan-tujuan Superordinat (Superordinate Goals)

4. Metode Kompetisi

Penyelesaian konflik ini menggambarkan satu pihak mengalahkan (mengorbankan) yang lain. Penyelesaian seperti ini dikenal juga dengan istilah “win-lose orientation” yang terdiri dari lima orientasi berikut.

a. Menang-Kalah (Win-Lose)

Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, Anda kalah”. Pada penyelesaian ini, individu cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, kepribadian untuk memperoleh yang diinginkan dengan cara mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini, seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang.

Juga sebaliknya, ia akan berpikir kalah jika orang lain yang menang.

Akan tetapi, dirinya akan diliputi rasa bersalah jika menang, karena ia menganggap menang yang diraihnya atas dasar mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah juga akan menyimpan kecewa dan merasa diabaikan. Sikap menang-kalah ini dapat muncul dalam bentuk:

(47)

1) Memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri.

2) Mencoba untuk berada di atas orang lain.

3) Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.

4) Memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan perasaan orang lain.

5) Iri dan dengki ketika orang lain berhasil.

b. Kalah-Menang (Lose-Win)

Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi dan harapan. Ia cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Apa yang dicari ialah suatu kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena gaya ini mementingkan sisi popularitas serta penerimaan maka “menang” bukanlah yang utama. Akibatnya, banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkap sehingga menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan. Berbagai gangguan ini tentunya akan merugikan individu itu sendiri, yang pada gilirannya dapat menurunkan kinerjanya.

c. Kalah-Kalah (Lose-Lose)

Terjadi jika orang yang berkonflik sama-sama punya paradigma menang-kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang, lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh; yang ada hanyalah perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.

(48)

d. Menang (Win)

Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting mereka mendapatkan apa yang diinginkan.

Individu dengan mentalitas seperti ini cenderung menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya, maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit bekerja sama dalam tim.

e. Menang-Menang (Win-Win)

Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam seluruh interaksi.

Menang-Menang mengusahakan semua pihak senang dan puas dengan pemecahan atau keputusan yang disepakati. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai ‘wahana kerja sama’, bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pihak yang terlibat konflik dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.

(49)

KESIMPULAN

Untuk dapat mengatasi konflik, ada berbagai jenis strategi yang dapat ditempuh sesuai dengan kondisi atau karakteristik dari konflik yang terjadi. Kelima strategi tersebut telah disebutkan Pruitt dan Rubin (1986), yaitu bertanding (contending), mengalah (yielding), pemecahan masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction). Sementara itu, dalam memahami segi-segi yang berkaitan dengan pengelolaan konflik, Baskerville (1993) menyebutkan enam jenis/teknik pengelolaan konflik yang dapat digunakan, yaitu avoiding (menghindari konflik), accomodating (mengakomodir pendapat- pendapat untuk mencari jalan keluar), compromising (negosiasi), competing (bersaing untuk saling bersaing memenangkan konflik), collaborating (menyelesaikan persoalan secara bersama-sama), dan conglomeration (campuran dari lima gaya sebelumnya).

Dalam mengelola dan menyelesaikan konflik, hal yang tidak kalah penting adalah peran pemimpin untuk mengelola konflik. Dalam mengelola dan memecahkan masalah atau konflik, pemimpin bisa menggunakan berbagai metode penyelesaian konflik, yaitu metode dominasi (atau supresi), kompromi, pemecahan secara integratif dan kompetisi yang penggunaannya dapat disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik konflik yang terjadi.

(50)

A. Teknik Penyelesaian Konflik

Dalam menyelesaikan konflik, gaya (style) yang akan digunakan seseorang (atau organisasi) akan sangat dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian (personality), motivasi, kemampuan (kelompok acuan) yang dianut seseorang atau organisasi. Pilihan atas suatu gaya (style) tersebut merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik, yang dalam hal ini amat terkait dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Pada level subkultur (subculture), shared values dapat mempre- diksi pilihan yang ditentukan seseorang terhadap gaya penyelesaian konflik. Subkultur individu dianggap mampu memengaruhi perilaku seseorang yang pada gilirannya akan membentuk suatu perilaku yang

Bab 3

Gaya Penyelesaian Konflik

(51)

Berikut adalah gaya-gaya dalam penyelesaian konflik baik yang terjadi di tingkat individu, kelompok, organisasi atau perusahaan.

1. Rujuk, yaitu usaha pendekatan dan hasrat untuk bekerja sama dan menjalani suatu hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.

2. Persuasi, yaitu mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan

“kerugian” yang mungkin timbul yang disertai dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul yang ditawarkan akan memberikan ‘keuntungan’ dan konsisten dengan standar keadilan yang berlaku.

3. Tawar-menawar, yaitu penyelesaian yang bisa diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang bisa diterima.

(52)

Komunikasi secara tak langsung bisa digunakan tanpa mengemu- kakan janji secara eksplisit.

4. Pemecahan masalah terpadu, usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan dua pihak, di mana terjadi proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, serta kebutuhan yang berlangsung secara terbuka dan jujur. Dalam proses ini, rasa saling percaya ditumbuhkan dengan merumuskan alternatif pemecahan bersama.

5. Penarikan diri, yaitu penyelesaian persoalan di mana salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini bisa berjalan efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi;

sebaliknya cara ini tidak efektif apabila tugas tersebut memerlukan interaksi dari kedua pihak.

6. Pemaksaan dan penekanan, yaitu cara yang digunakan untuk memaksa-menekan pihak lain supaya menyerah. Gaya ini amat efektif jika salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang digunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Akan tetapi, cara ini kurang efektif, karena salah satu pihak harus mengalah dan menyerah secara terpaksa.

7. Intervensi (campur tangan) pihak ketiga. Apabila pihak-pihak yang bersengketa tak bersedia berunding atau upaya yang ditempuh menemui jalan buntu atau tidak membuahkan hasil, pihak ketiga bisa dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Berikut ini adalah beberapa bentuk penyelesaian konflik yang melibatkan pihak

(53)

a. Arbitrase (Arbitration), di mana pihak ketiga mendengarkan keluhan dari kedua pihak dan bertugas menjadi “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Model ini mungkin tak meng- untungkan dua pihak secara sama tetapi dianggap lebih baik daripada muncul perilaku agresi atau tindakan destruktif.

(54)

b. Penengahan (Mediation), yaitu mengundang mediator yang mampu menengahi sengketa atau perselisihan. Mediator bisa membantu mengumpulkan fakta dan menjalin komunikasi yang terputus, dan dalam hal ini dapat menjernihkan serta memperjelas masalah. Mediator mampu melapangkan jalan untuk mencari pemecahan masalah secara komprehensif.

Efektivitas mediasi ini amat bergantung pada kepribadian dan kemampuan (skill) mediator itu sendiri.

c. Konsultasi, yaitu memperbaiki hubungan antarpihak dan mendorong para pihak menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk bisa memutuskan dan juga tidak menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran jika tingkah laku kedua pihak terganggu atau tidak berfungsi sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.

B. Pendekatan dalam Menangani dan Menyelesaikan Konflik

Tatkala menghadapi konflik, pendekatan dimulai melalui penilaian terhadap diri sendiri, analisis isu-isu seputar konflik, meninjau kembali dan menyesuaikan dengan hasil eksplorasi yang dicapai, mengatur dan merencanakan pertemuan di antara individu (para pihak) yang terlibat konflik, mengamati sudut pandang dari semua individu yang terlibat konflik, mengembangkan dan menguraikan solusi hingga memutuskan solusi, mengambil tindakan, dan merencanakan tahap pelaksanaannya.

(55)

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi konflik antara lain ialah menciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif yang mampu mencegah konflik yang dapat berkembang ke arah destruktif. Selain itu tetapkan aturan baku yang menyangkut individu dalam organisasi atau perusahaan. Pada konteks organisasi atau perusahaan, atasan punya peran penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul ke permukaan. Ciptakan juga iklim dan suasana kerja harmonis, termasuk membentuk tim kerja yang solid, karena seluruh pihak hendaknya sadar bahwa seluruh unit kerja merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung dan tidaklah perlu ada yang merasa paling hebat.

Berikut ini ialah beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanganan dan penyelesaian konflik.

1. Pendekatan KAPOW (Knowledge, Authority, Power, Other, dan Winning)

a. Knowledge (Pengetahuan)

1) Sejauh mana Anda mengetahui isu pihak lain?

2) Sejauh mana pihak lain mengetahui isu Anda?

3) Sejauh mana Anda mengetahui masalahnya?

b. Authority (Wewenang)

1) Apakah Anda punya wewenang mengambil keputusan?

2) Apakah pihak lain punya wewenang untuk mengambil keputusan?

(56)

c. Power (Kekuatan)

1) Sejauh mana Anda dapat memberi pengaruh terhadap situasi?

2) Seberapa besar kekuatan yang dimiliki pihak lain atas diri Anda?

d. Other (Relasi)

1) Seberapa pentingnya relasi bagi Anda?

2) Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi pihak lain?

e. Winning (Kemenangan)

1) Seberapa pentingnya unsur kemenangan?

2) Apakah Anda harus menang?

3) Apakah pihak lain harus menang?

4) Apakah kompromi dapat diterima?

5) Apakah kekalahan dapat diterima?

2. Pendekatan ACES (Asses, Clarify, Evaluated, Solve) a. Asses the Situation (Mengenali Situasi)

b. Clarify the Issues (Memperjelas Permasalahan)

c. Evaluate Alternative Approaches (Menilai Ragam Pendekatan Alternatif)

d. Solve the Problem (Mengurai Permasalahan)

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab antara kedua organisasi selalu bertikai atau konflik karena adanya kepentingan individu atau kelompok yang merugikan kelompok yang lain dan tidak mengikuti aturan

Konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi

Peran Organisasi Ekstra Kampus (Omek) sebagai kelompok kepentingan menjadi aktor konflik sosial tersebut, dimana Omek satu dengan Omek yang lain memiliki orientasi yang sama

Dari uraian konflik menurut para ahli di atas, penulis berargumentasi bahwa konflik adalah pertikaian antara lebih dari satu individu, kelompok, organisasi, kelas, suku dan Negara

Peran Organisasi Ekstra Kampus (Omek) sebagai kelompok kepentingan menjadi aktor konflik sosial tersebut, dimana Omek satu dengan Omek yang lain memiliki orientasi yang sama

Konflik sosial yang terjadi pada dua kelompok atau individu yang satu sama lainnya memiliki perbedaan serta pandangan berbeda mengenai prinsip dari masalah.. ketatanegaraan

Sunariyanto, S.Sos., M.M Peran budaya organisasi merupakan salah satu pola dari asumsi dasar yang ditemuka n, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud