MODEL KONSEP DAN AKTUALISASI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Ade Wahidin
Dosen STAI YAMISA Soreang Bandung
ABSTRACT
This paper aims to describe the concept model and actualization of inter-religious harmony. Assessed through a library approach Types of literature / literature research can be in the form of studies: the Holy Qur'an, or Al-Hadith, scientific books, textbooks, legislation, and thoughts about education or others. To achieve the results of the study using descriptive analysis methods, namely research on problems in the form of current facts from a population. It is known, tolerance is an actual problem of all time, moreover religious tolerance. Islam gives high attention to the need for religious tolerance since the beginning of the development of Islam, both written in the Qur'an and implicit in the various behaviors of the Prophet.
Actualization of religious tolerance in Indonesia is considered far from ideal.
Therefore, socialization and fostering of religious people in Indonesia need to be continuously improved.
Keywords: Religion, tolerance, ukhuwah.
ABSTRAK
Makalah ini, bertujuan untuk mendeskripsikan model konsep dan aktualisasi kerukunan antar umat beragama. Dikaji melalui pendekatan pustaka Jenis penelitian kepustakaan/literatur bisa berupa kajian: Kitab Suci Al-Qur'an, atau Al-Hadits, Buku ilmiah, Buku Ajar, Peraturan Perundang- undangan, dan Pemikiran Tokoh tentang Pendidikan atau lainnya. Untuk mencapai hasil penelitian menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Diketahui, toleransi merupakan masalah yang aktual sepanjang masa, terlebih lagi toleransi beragama. Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap perlunya toleransi beragama sejak awal perkembangan Islam, baik tersurat di dalam Al Quran maupun tersirat dalam berbagai perilaku Nabi. Aktualisasi toleransi beragama di Indonesia dipandang masih jauh dari ideal. Oleh karena itu sosialisasi dan pembinaan umat beragama di Indonesia perlu terus ditingkatkan.
Kata kunci: Agama, toleransi, ukhuwah.
PENDAHULUAN
anusia sebagai makhluk social tidak bisa dilepaskan dari hubungan (interaksi social) dengan sesamanya. Hubungan antar manusia dalam masyarakat ditata dalam suatu tatanan normative yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat tersebut yang disebut nilai atau norma yang menjamin terwujudnya harmoni dalam bentuk kedamaian dan ketentraman. Interaksi social antar anggota maupun kelompok dalam masyarakat seringkali diwarnai dengan konflik yang dapat mengganggu terwujudnya harmoni tersebut disebabkan karena adanya persepsi, kepentingan, maupun tujuan yang berbeda di antara individu maupun kelompok dalam masyarakat.
Perbedaan antar anggota maupun kelompok yang berpotensi konflik dan bersifat destruktif antara lain karena adanya perbedaan agama. Konflik antarpenganut agama biasanya dipicu oleh prasangka antara penganut satu agama dengan yang lain yang berkembang menjadi isu-isu yang membakar emosi. Munculnya sikap-sikap tersebut tidak datang sendirinya, melainkan dikarenakan beberapa sebab, seperti: ketiadaan saling pengertian antarpemeluk agama (mutual understanding), adanya kesalahan dan kekeliruan dalam memahami teks-teks keagamaan, dan masuknya unsur- unsur kepentingan di luar kepentingan agama yang luhur.
Agama sebagai pedoman perilaku yang suci mengarahkan penganutnya untuk saling menghargai dan menghormati, tetapi seringkali kenyataan menunjukkan sebaliknya, para penganut agama lebih tertarik kepada aspek-aspek yang bersifat emosional.
Dalam hal ini Khami Zada, (2002), mengungkapkan bahwa agama bisa kehilangan makna substansialnya dalam menjawab soal-soal kemanusiaan, yakni ketika agama tidak lagi berfungsi sebagai pedoman hidup yang mampu melahirkan kenyamanan spiritual dan obyektif dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Atau dalam istilah Karl Marx, ketika agama telah menjadi candu bagi masyarakat. Macam itulah yang sedang dialami bangsa Indonesia menghadapi tantangan bergesernya fungsi agama. Konflik antaragama, radikalisme, dan terorisme menj adi masalah besar bangsa dan harus dicarikan penyelesaian secara tepat. Agama tampaknya bukan lagi alat kedamaian umat, tetapi sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari hubungan positif antara praktik beragama dengan aksi kekerasan yang sering terjadi. Sebab kekerasan adalah adanya faktor pemahaman agama, terutama praktik dan pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme dan militansi.
Adanya konflik dan ketidakharmonisan antarpemeluk agama akan sangat merugikan bagi bangsa dan negara termasuk bagi pemeluk agama
M
A
D
itu sendiri. Ketidakharmonisan, apalagi konflik akan berdampak pada semua aspek kehidupan. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan sosial dan budaya akan terganggu. Sedangkan masyarakat berada pada suasana ketidakpastian, ketakutan, dan akan muncul perasaan saling tidak mempercayai.
Agama yang dipandang dan diamalkan semata-mata sebagai perangkat upacara dan hukum, tidaklah cukup. Agama, khususnya Islam mendorong umatnya untuk melaksanakan ajaran secara utuh dan integral dalam bentuk hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, alam lingkungan, dan dengan Allah Sang Khalik.
PEMBAHASAN
Konsep Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik”
dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850).
Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil;
maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?.
Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.
Penataan hubungan antar penganut agama dalam ajaran Islam berakar pada “benih’ yang telah ditanamkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang ke dalam diri manusia. Adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari bahwa manusia diciptakan-Nya senasib, secara kodrati ditempatkan di permukaan bumi ini, secara kodrati satu keturunan, secara kodrati diberiNya sifat-sifat dasar yang sama, ringkasnya banyaklah
“kebersamaan kodrati” sesama manusia. “Pengalaman” paling awal manusia terj adi ketika seseorang mulai dari rahim ibunya, dipelihara secara lahir dan bathin.
Selanjutnya lahir ke permukaan bumi ini, terus menerus dipelihara oleh ibu dengan penuh “kasih sayang” (dalam bahasa Arab disebut “rahim”
juga), sampai remaja dan dewasa. Keturunan manusia terus berkembang secara lahiriyah (genealogis), demikian pula hubungan kasih sayang berkembang secara rohaniyah, secara kekeluargaan dari generasi ke generasi. Hingga saat inipun, ketika umat manusia telah berkembang menjadi berbagai ras, bangsa, suku bangsa, dan berbagai kelompok yang lebih kecil ataupun berbagai “campuran”, hubungan kasih sayang (silaturrahim) yang kodrati itu tetaplah ada.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan dan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta ’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Hubungan intern umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam Islam. Alquran menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam, yaitu:
Pertama, ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. Kedua, Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama; Adam dan Hawa. Ketiga, ukhuwah wathaniyah wannasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Keempat, Ukhuwwahfid din al islam, persaudaraan sesama muslim. (Quraish Shihab. M. 1997: 57).
Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan dalam bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam hadisnya: Seorang mukmin dengan mukmin seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. (HR.Muslim dan Ahmad).
Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Alquran mengajarkan
umat Islam untuk menjalin persatuan dan kesatuan sebagaimana difirmankan Allah dalam (QS.Al-Anbiya, [21]:92); “...Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku. (Depag RI, 1998)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman dalan (QS.Al-Mukminun, [23’:
52). : ”...Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua;agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku”(Depag RI, 1998)
Kata umat dalam ayat di atas dikaitkan dengan tauhid karena itu umat yang dimaksud adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya menunjukkan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsi-prinsip usulnya; tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Karena itu, kesatuan umat bukan berarti bersatu dalam satu wadah, melainkan kesatuan dalam aqidah.
Bisa saja berbeda dalam ras, bahasa, maupun budaya, tetapi semuanya bersatu dalam aqidahnya. Salah satu masalah yang dihadap umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Kelemahan umat Islam terj adi hampir di semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Kelemahan ini tidaklah disebabkan karena sedikitnya jumlah umat Islam, melainkan rendahnya kualitas sumber daya manusianya.
Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. Konsep kejamaahan yang tidak terpisahkan dari salat telah diabaikan dalam konteks kehidupan sosial. Individualisme dan materialisme yang merupakan produk dari westernisasi telah menj adi pilihan sebagian umat Islam. Salat, puasa dan haji hanya dipandang semata-mata ibadah ritual, sedangkan ruhnya tidak terbawa atau mewarnai kehidupan umat. Oleh karena itu, umat Islam masih memerlukan pendalaman lebih lanjut terhadap nilai-nilai esensial ajarannya yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai implikasi sosial dari keberpihakan terhadap kebenaran dan kebaikan, kerukunan dan perdamaian sebagaimana yang dikandung dalam pengertian Islam itu sendiri.( Suyuti Pulungan J. 1994)
Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan jamaah. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah. Nabi menggambarkan eratnya hubungan muslim dengan muslim sebagaimana anggota tubuh dengan anggota tubuh
lainnya, jika salah satu anggota tubuh terluka, maka anggota tubuh lainnya merasakan sakitnya. Perumpamaan tersebut mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu persengketaan antar muslim berarti mencederai wasiat Rasul.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menj adi sebab perpecahan umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada umumnya bukanlah hal yang bersifat mendasar. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap sesuatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat Islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenai sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.
Menurut Haidlor Ali Ahmad (2009), untuk menghindari perpecahan di kalangan umat Islam dan memantapkan ukhuwah islamiah para ahli menetapkan tiga konsep, yaitu:
Tanawwul al ‘ibadah
Konsep tanawwul al ‘ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadist). Interpretasi bagaimana pun melahirkan perbedaan- perbedaan, karena itu menghadapi perbedaan ini hendaknya disikapi dengan cara mencari rujukan yang menurut kita- atau menurut ahli yang kita percayai- lebih dekat kepada maksud yang sebenarnya. Terhadap orang yang berbeda interpretasi, kita kembangkan sikap hormat dan toleransi yang tinggi dengan tetap mengembangkan silaturahmi.
Al mukhtiufi al ijtihadi lahu ajrun
Konsep al mukhtiufi al ijtihadi lahu ajrun (yang salah dalam berijtihad pun mendapat ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah swt yang baru akan kita ketahui di hari akhir.
Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritas keilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad. Perbedaan- perbedaan dalam produk ijtihad adalah sesuatu yang wajar, karena itu
perbedaan yang ada hendaknya tidak mengorbankan ukhuwah islamiyah yang terbina di atas landasan keimanan yang sama.
La hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid
Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam alQuran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat Islam, khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda
Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengamalan. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif, karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan.
Di sini konsep Islam tentang islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi permusuhan, maka islah diperankan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan.
Hubungan antar umat beragama
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Islam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Alquran dan AsSunnah, tetapi dampak sosial yang lahir dari pelaksanaan aj aran Islam secara konsekwen dapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa, nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal. Islam mengajarkan prinsip kesamaan dan kesetaraan manusia sebagaimana diungkapkan Allaw SWT, dalam (QS.49: 13)
Artinya: “…Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Depag RI, 1998)
Universalisme Islam dapat dibuktikan antara lain dari segi agama, dan sosiologi. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya dengan tindakan yang sangat mudah, yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama Islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukkan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu, maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari aj aran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam. (Hendropuspito, 1984.:170). Melihat universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak Universalisme Islam dapat dibuktikan antara lain dari segi agama, dan sosiologi. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya dengan tindakan yang sangat mudah, yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinj au dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama Islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukkan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu, maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari aj aran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian; menghindari pertentangan dan perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran
Islam menjadi dasar bagi hubungan antar manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah.
Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik.
Hubungan dan kerja sama antar umat beragama merupakan bagian dari hubungan sosial antar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam.
Hubungan dan kerja sama dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
Aktualisasi hubungan umat beragama di Indonesia
Saat ini, di Indonesia sendiri pemahaman hak atas kebebasan beragama dimasing-masing kelompok memiliki penafsiran sendiri-sendiri, baik kelompok agama maupun kelompok sekuler. Dan pertentangan ini terus berlanjut yang tidak akan menyatu karena masing-masing kelompok memiliki landasannya sendiri.
Dalam kesatuan wujud ini Allah Tuhan Yang Maha Kuasa menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bergolongan-golongan. Manusia dengan wujudnya berbangsa-bangsa dan bergolong-golongan ini memberi dorongan yang besar baginya untuk memikirkan dan mempelajari sesama manusia, sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, kebudayaan, bahasa, politik dan lain-lain. dengan ilmu-ilmu ini akan memudahkan bagi manusia itu dalam membina dan memelihara hubungan antara sesamanya, baik antara golongan, dalam masyarakat, maupun antar bangsa, negara dan agama.
Dalam masyarakat yang multiagama, Harold Howard (Saefullah,2007:
180), mengatakan ada tiga prinsip umum dalam merespons keanekaragaman agama: Pertama, logika bersama, Yang Satu yang berwujud banyak. Secara filosofis dan teologis, logika ini merupakan sumber realitas dan cara paling signifikan untuk menj elaskan keanekaragaman agama. Bagi mereka yang mendalami sej arah agama-agama, logika ini bukanlah hal yang asing.
Misalnya, dalam Veda dapat menemukan gagasan tentang Yang Satu yang disebut dengan banyak nama. Kedua, agama sebagai alat. Karenanya, wahyu dan doktrin dari agama-agama adalah jalan, atau dalam tradisi Islam disebut syariat untuk menuju Yang Satu. Karena sebagai alat, yang ada dalam agama- agama adalah kumpulan particular sarana yang digunakan sebagai alat yang dengannya, Yang Satu dapat dicapai. Ketiga, pengenaan kriteria yang mengabsahkan. Yang dimaksud di sini adalah mengenakan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Al Quran merupakan wahyu yang mengabsahkan,
sehingga menjadi dasar untuk menguji wahyu-wahyu lainnya. Maka, dengan criteria yang mengabsahkan ini masing-masing digunakan untuk berlomba- lomba menuju Yang Satu.
Dalam negara, manusia membentuk dan menentukan corak masyarakat yang dikehendaki. Agar bentuk dan corak yang baik dapat terwujud.
Keberagaman yang ada perlu dipelihara, karena merupakan kenyataan yang telah ditetapkan oleh pemilik semesta alam ini. Bila ada yang menolak, ia akan menemui kesulitan, karena berhadapan dengan kenyataan itu sendiri.
Mengingat keberagaman (heterogenitas) merupakan realita dan ketentuan dari Allah Tuhan semesta alam maka bagi manusia tak ada alternatif lain, kecuali menerima dan memelihara dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama. Memang apabila tidak dipelihara dengan baik dapat saling bergesekan sehingga terjadi perpecahan, dan tidak mustahil mengarah kepada separatisme. Tetapi karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan menyadari bahwa keberagaman ini merupakan ketentuan atau takdir dari Allah Yang Maha Pengatur alam, maka insan Indonesia menggalang dan membina persatuan bangsanya. Bukan hanya itu, dari keberagamaan ini pulalah dihimpun hasrat-hasrat yang ada menjadi hasrat kolektif dalam membangun, memelihara kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara.
Walaupun agama bersifat unversal, namun dengan beragama tidak mengurangi rasa kebangsaan, bahkan menguatkan rasa kebangsaan. Karena agama mendorong penganutnya untuk membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya. Dalam hal ini seorang ahli hikmah mengatakan “ Mencintai tanah air merupakan bagian dari iman. Kalimat ini cukup membangkitkan bangsa Indonesia berjuang mati-matian untuk mengusir penjajah sejak mereka mulai menginjakkan kakinya di bumi Indonesia sampai kepada masa mempertahankan kemerdekaan, dengan bahu-membahu sesama umat beragama.
Menurut Muhammad Maftuh Basyuni (2008), dalam seminar kerukunan antar umat beragama tanggal 31 Desember 2008 di Departemen Agama, mengatakan bahwa kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesame umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(Hendropuspito, 1984: 170)
Kerukunan hidup umat beragama bukan berarti merelatifir agama- agama yang ada dengan melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai unsur dari agama
totalitas itu. Dengan kerukunan dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan antara warga yang berlainan agama. Urgensi kerukunan adalah untuk mewujudkan kesatuan pandangan dan kesatuan sikap, guna melahirkan kesatuan perbuatan dan tindakan serta tanggung j awab bersama, sehingga tidak ada pihak yang melepaskan diri dari tanggung jawab atau menyalahkan pihak lain. Dengan kerukunan umat beragama menyadari bahwa masyarakat dan negara adalah milik bersama dan menjadi tanggung jawab bersama untuk memeliharanya. Karena itu, kerukunan hidup umat beragama bukanlah kerukunan sementara, bukan pula kerukunan politis, tetapi kerukunan hakiki yang dilandasi dan dijiwai oleh agama masing-masing.
Kerukunan beragama berkaitan dengan toleransi, yakni istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Yang perlu dikedepankan kemudian adalah toleransi antar kelompok agama. Dan toleransi tidak akan menj adi apa-apa tanpa ada perubahan orinetasi dari kaum agama untuk berani keluar dari pemahaman sebelumnya.
Dalam hal ini diperlukan adanya transformasi internal yang signifikan dalam tradisi agama. Tanpa perubahan seperti itu, pada akhirnya toleransi tidak lebih dari sekedar wacana yang tidak memiliki implikasi normative dalam tingkah laku antar pemeluk agama.
Toleransi memiliki peranan yang penting dalam pluralism saat ini, tidak hanya dipahami sebagai etika yang mengatur hubungan antar kelompok agama, akan tetapi juga yang terpenting adalah adanya kepekaan baru untuk sepenuhnya menghargai keberagaman. Dalam konteks ini, transformasi internal agama tidak hanya pada aspek doktrin-teologis akan tetapi juga diperlukannya transformasi pada aspek cultural-sosiologis untuk menghormati dan menghargai keberadaan dan hak-hak kelompok agama lain.
Dialog antar Agama
Telah diterangkan bahwa salah satu fungsi agama ialah memupuk persaudaraan umat manusia. Tugas rersebut memang tidak sia-sia, karena memang menghasilkan buah yang positif menurut kesaksian sejarah sudah dinikmati sekian banyak manusia yang berbeda-beda.
Kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu hasil dari dialog, yang dicari dalam dialog ialah kebenaran universal yang tidak dimiliki oleh masing-masing pihak. Jadi dialog agama bukan hanya untuk mencari saling pengertian akan tetapi juga mengambil bagian dalam pengalaman batin orang lain.
Menurut Ignas Kleden, dialog antar agama tanpaknya hanya bisa dimulai dari keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini bisa dilihat dari: (1) Segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agam yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditoleransi dan dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan; (2) Bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang/ kelompok orang terbuka kepada kelompok pada agama lain.(Dadang Kahmad, 2001: 161)
Tujuan diaolog adalah sesuatu yang positf, maksudnya member informasi dan nilai-nilai yang dimiliki, lalu membantu pihak lain mengambil keputusan itu. Dalam dialog sikap yang berrbeda- beda daari peseerta teetap dihargai dan yang terpenting adalah tumbuhnya saling pengertian yang objective dan kritis. Ketentuan dialog-dialog yang paling baik diperhatikan adalah keterbukaan, hormat, komunikasi, kesabaran, keinginan menerima, kesediaan member, koreksi diri, ketaatan batin terhadap kebenaran dan kebatilan.
Dalam kehidupan beragama yang sekaraang ini, konflik antar umar beragama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkenaan ddengan kerukunan umat beragama dibentuklah wadah kerukunan yang diberi nama forum komunikasi antar umat beragama (FKUB). Maksud pembentukan FKUB yaitu senantiasa bersama-sama merumuskan segala bentuk kegiatan yang diprogramkan dari beberapa komponen agama yang berbedaa – beda. Berbagai kegiatan yang diprogramkan oleh masing-masing agama didassarkan atas upaya untuk membangun komitmen bersama dalam FKUB.(Haidlor Ali Ahmad, 2009: 245).
Menjaga kerukunan hidup antar umat beragama
Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama salah satunya dengan dialog antar umat beragama. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat yang modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan. Untuk itulah kita harus saling
menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Secara historis banyak terjadi konflik antar umat beragama, misalnya konflik di Poso antara umat islam dan umat kristen. Agama disini terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik tersebut. Sangatlah ironis konflik yang terjadi tersebut padahal suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati. Untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
Konflik yang terjadi antar umat beragama tersebut dalam masyarakat yang multkultural adalah menjadi sebuah tantangan yang besar bagi masyarakat maupun pemerintah. Karena konflik tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.
Supaya agama bisa menjadi alat pemersatu bangsa, maka kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar, maka diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk permasalahan yang mengganjal antara masing- masing kelompok umat beragama. Karena mungkin selama ini konflik yang timbul antara umat beragama terjadi karena terputusnya jalinan informasi yang benar diantara pemeluk agama dari satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif.
Menurut Muchoyar (2000), dalam menyikapi perbedaan agama terkait dengan toleransi antar umat beragama agar dialog antar umat beragama terwujud memerlukan tiga konsep yaitu: Pertama; Setuju untuk tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki akidah masing- masing sehingga agama saling bertoleransi dengan perbedaan tersebut. Kedua; Setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama memiliki kesamaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan martabat umatnya; Ketiga; Setuju untuk berbeda, maksudnya dalam hal perbedaan ini disikapi dengan damai bukan untuk saling menghancurkan. Tema dialog antar umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah peribadatan tetapi lebih ke masalah kemanusiaan seprti moralitas, etika, dan nilai spiritual, supaya efktif dalam dialog aantar umat beragama juga menghindari dari latar belakang agama dan kehendak untuk memdominasi pihak lain.
Model dialog antar umat beragama yang dikemukakan oleh Kimball (Keith A Robert 1984), antara lain: (1) Dialog Parlementer (parliamentary dialogue) . Dialog ini dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh umat beragama di dunia. Tujuannya adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian antar umat beragama di dunia; (2) Dialog Kelembagaan
(institutional dialogue). Dialog ini melibatkan organisasi-organisasi keagamaan.
Tujuannya adalah untuk mendiskusikan dan memecahkan persoalan keumatan dan mengembangkan komunikasi di antara organisasi keagamaan. (3) Keenam;
Dialog Teologi (theological dialogue). Tujuannya adalah membahas persoalan teologis filosofis agar pemahaman tentang agamanya tidak subjektif tetapi objektif. (4) Dialog dalam Masyarakat (dialogue in society). Dilakukan dalam bentuk kerjasama dari komunitas agama yang plural dalam menylesaikan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dialog Kerohanian (spiritual dialogue). Dilakukan dengan tujuan mengembangkan dan memperdalam kehidupan spirituak di antara berbagai agama.
Cara lain menjaga kerukunan hidup antar umat beragama Indonesia yang multikultural terutama dakam hal agama membuat Indonesia menjadi sangat rentang terhadap konflik antar umat beragama. Maka dari itu menjaga kerukunan antar umat beragama sangatlah penting. Dalam kaitannya untuk menjaga kehidupan antar umat beragama agar terjaga sekaligus tercipta kerukunan hidup antar umat beragama dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia misalnya dengan cara sebagai berikut: (1) Menghilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain yaitu dengan cara mengubah rasa curiga dan benci menjadi rasa penasaran yang positf dan mau menghargai keyakinan orang lain. (2) Jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan kesalahan tetapi salahkan orangnya. Misalnya dalam hal terorisme. (3) Biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan olok-olok mereka karena ini bagian dari sikap saling menghormati, dan (4) Hindari diskriminasi terhadap agama lain karena semua orang berhak mendapat fasilitas yang sama seperti pendidikan, lapangan pekerjaan dan sebagainya. (Shalahuddin Sanusi. 1987)
Dengan memperhatikan cara menjaga kerukunan hidup antar umat beragama tersebut hendaknya kita sesama manusia haruslah saling tolong menolong dan kita harus bisa menerima bahwa perbedaan agama dengan orang lain adalah sebuah realitas dalam masyarakat yang multikultural agar kehidupan antar umat beragma bisa terwujud.
KESIMPULAN
Mengingat keberagaman merupakan realita dan ketentuan dari Allah Tuhan semesta alam, maka diperlukan rasa keberterimaan dan usaha untuk memelihara dengan mengarahkannya kepada kepentingan dan tujuan bersama.
Perbedaan yang terjadi merupakan fakta yang harus disikapi secara positif
sehingga antar pemeluk agama terjadi hubungan kemanusiaan yang saling menghargai dan menghormati. Agama bersifat unversal, tetapi beragama tidak mengurangi rasa kebangsaan, bahkan menguatkan rasa kebangsaan. Agama mendorong penganutnya untuk membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Pluralitas merupakan sebuah fakta sosial historis yang melekat pada ke Indonesian. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan multikultural. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang sanggup hidup dalam perbedaan dan bersikap toleran. Bersikap toleran berarti bisa menerima perbedaan dengan lapang dada, dan menghormati hak pribadi dan sosial pihak yang berbeda (the other) menjalani kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zaki Yamani. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: the Saudi Publishing House.
Dadang Kahmad, 2001, Sosiologo Agama dalam dinamika, konflik dan modernitas, Bandung: Pustaka Ssetia.
Depdikbud, 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Tim Pusat Bahasa
Haidlor Ali Ahmad, 2009. Rvitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indnesia. Jakarta: Prasasti,
Hendropuspito, 1984. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Keith A Robert 1984. Religion in Sociological Persective, Illinois: The Donney Press Khamami Zada. 2002. Tantangan Kehidupan Beragama. [Online]. Terlihat:
http://www.kompas.com/kompascetak/0212/13/opini/42 1 87. (diskses tanggal 11 April, 2018.
Muchoyar 2000. Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di.
Indonesia. Jakarta: Prasasti.
Natsir. M. 1969. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dawah.
Poespoprodjo. 1988. Filsafat Moral. Bandung: Remaja Karya.
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. 1985. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Departeman Agama RI.
Shalahuddin Sanusi. 1987. Integrasi Ummat Islam. Pola Pembinaan Kesatuan Ummat Islam. Bandung: Iqamatuddin.
Saifullah, Muhammad Qutb 2007. Sistem Pendidikan Non Dikotomik. Yogyakarta:
Suluh Press.
Shihab. Quraish M. 1997. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Suyuti Pulungan J. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur`an. Jakarta: Raja Grafindo Persada
EKSISTENSI KEPALA MADRASAH SEBAGAI PEMBINA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI MADRASAH
TSANAWIYAH KABUPATEN BANDUNG BARAT Hery Saparudin
Mahasiswa PPs S-3 UIN SGD Bandung
ABSTRACT
This study aims to describe the Existence of Madrasah Heads as Fostering Islamic Education in Madrasah Tsanawiyah, West Bandung Regency. To achieve the results of the study using descriptive analysis methods, namely research on problems in the form of current facts from a population. It is known that the existence of the madrasa head is very important in its position in regulating, fostering and guiding Islamic Religious Education teachers. The results of the study showed that: The implementation of Islamic Religious Education coaching by the head of the madrasa in West Bandung Madrasah Tsanawiyah was well done, although there were still shortcomings. As for the effort taken to improve the development of Islamic Education by the head of madrasas, among others: Improve the quality of Islamic Religious Education teachers through trainings;
Cooperating with the madrasas with various parties, and Managing facilities and infrastructure that support the implementation of Islamic Education in madrasas.
Keywords: Head, Teacher, Coaching, Management of Madrasas
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Eksistensi Kepala Madrasah Sebagai Pembina Pendidikan Agama Islam Di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat. Untuk mencapai hasil penelitian menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi.
Diketahui bahwa keberadaan kepala madrasah sangatlah penting kedudukannya dalam mengatur, membina, dan membimbing guru Pendidikan Agama Islam. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa: Pelaksanaan pembinaan Pendidikan Agama Islam oleh kepala madrasah di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat telah dilakukan dengan baik, meskipun masih terdapat kekurangan. Adapun usaha yang ditempuh untuk meningkatkan pembinaan Pendidikan Agama Islam oleh kepala madrasah antara lain: Meningkatkan kualitas guru Pendidikan Agama Islam melalui pelatihan–pelatihan; Melakukan kerjasama antara pihak madrasah dengan berbagai pihak, dan Mengelola sarana dan prasarana yang mendukung terselenggaranya Pendidikan Agama Islam di madrasah.
Kata Kunci: Kepala, Guru, Pembinaan, Manajemen Madrasah
PENDAHULUAN
bad 21 telah ada di pelupuk mata, sebuah abad dimana dunia ini bagaikan tak terbatas lagi. Bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan budaya nampak menjadi satu. Globalisasi kata yang digunakan untuk melukiskan kondisi tersebut menjadi begitu akrab di telinga kita sejak dasawarsa terakhir ini. Adapun dibidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi untuk peserta didik yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan.
Kepala madrasah berperan sebagai Pembina pendidikan agama islam di madrasah yang dipimpinnya. Peran ini tentu saja sangat strategis dalam menunjang kelaancaran pencapaian tujuan pendidikan agama islam. Dibawah kepemimpinan kepala madrasah guru pendidikan agama islam dan civitas madrasah hendaknya terdorong untuk mewujudkan pelaksanaan pendidikan agama islam sesuai dengan tujuan. Karena tanggung jawan pelaksanaan pendidikan islam bukan hanya terletak pada guru pendidikan agama islam saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab civitas madrasah.
Dalam kurikulum pendidikan agama islam tahun 1994 untuk madrasah umum disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perlu diketahui untuk mencapai tujuan diatas telah dilakukan berbagai upaya pembinaan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam antara lain: (1) Menghadirkan kurikulum pendidikan Agama Islam tahun 1994 sebagai sumber utama dalam pelaksanaan pendidikan agama islam di madrasah; (2) Mengangkat Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dan Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) masing-masing sebagai tenaga pelaksana dan Pembina pendidikan agama Islam di madrasah; (3) Menyediakan bahan belajar pendidikan agama Islam sebagai penunjang kelancaran pembelajaran agama Islam di madrasah umum maupun Madrasah;
(4) Meningkatkan kemampuan guru pendidikan agama Islam dan pengawas pendidikan agama Islam serta jajaran Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama
D A
Islam melalui berbagai pelatihan guna meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas; (5) Menerbitkan berbagai pedoman kerja untuk GPAI dan PPAI juga untuk siswa sebagai panduan pelaksanaan tugas dalam rangka memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan agama Islam di madrasah.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang masalah tersebut, sehingga penulis tuangkan dalam sebuah judul “Eksistensi Kepala Madrasah Sebagai Pembina Pendidikan Agama Islam Di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat”.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis merumuskan berbagai permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana Kedudukan Kepala Madrasah Sebagai Pembina Pendidikan Agama Islam? Bagaimana pelaksanaan pembinaan pendidikazn Agama Islam di madrasah Tsanawiyah? Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembinaan pendidikan agama Islam? Bagaimana cara menanggulangi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di madrasah?
KONSEP DASAR PEMBINA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan tidak pernah terpisah dengan kehidupan manusia. Anak–
anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak–anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak–anaknya.
Begitu pula dimadrasah para siswa dididik oleh guru. Pendidikan adalah khas milik dan alat manusia. Tidak ada makhluk alin yang membutuhkan pendidikan. Untuk lebih jelasnya, para ahli medefiniskan pendidikan agama islam sebagai berikut:
Pendidikan agama dapat di defenisikan sebagai upaya untuk mengaktualkan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada manusia, upaya tersebut dilaksanakan tanpa pamrih apapun kecuali untuk semata-mata beribadah kepada Allah (Bawani, 1993: 65).
Ali, (1995: 139), menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah sebagai proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukan insan beriman dan bertakwa agar manusia menyadari kedudukannya, tugas dan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya serta tanggung jawab kepada Tuhan YME (termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya).
Para ahli pendidikan islam memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan variatif tersebut antara lain: Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan agama islam adalah proses mengubah
tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai tinggi dan kehidupan mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.
Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama (insan kamil).
Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan islam sebagai bimbingan diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005: 45) .
Bersasar pada Undang–undang RI no 2 tahun 1989, ditegaskan bahwa;
“...Pendidikan agama islam merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional“. (UU RI no 2 tahun 1989 Bab IX pasal 39).
Dalam Kurikulum PAI, (2002), ditegaskan bahwa pendidikan agama islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar ummat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Dengan demikian, esensi dari pengertian pendidikan agama islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran islam secara menyeluruh. Tujuan agar dapat mengamalkan serta menjadikan islam sebagai pandangan hidup.
Pembinaan Pendidikan Agam Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa “pembinaan” berarti usaha, tindakan dan kegiatan yang diadakan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik (DepDikbud, 1990, hlm. 37).
Menurut Hendayat, dkk, 1982:43), pembinaan juga dapat berarti suatu kegiatan
yang mempertahankan dan menyempurnakan apa yang telah ada sesuai dengan yang diharapkan.
Dari definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan apa yang sudah ada kepada yang lebih baik (sempurna) baik dengan melalui pemeliharaan dan bimbingan terhadap apa yang sudah ada (yang sudah dimiliki). Serta juga dengan mendapatkan hal yang belum dimilikinya yaitu pengetahuan dan kecakapan yang baru.
Pembangunan dibidang agama diarahkan agar semakin tertata kehidupan beragama yang harmonis, semarak dan mendalam serta ditujukan pada peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Terpeliharanya kemantapan kerukunan hidup umat beragama dan bermasyarakat dan berkualitas dalam meningkatkan kesadaran dan peran serta akan tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak serta secara bersama- sama memperkokoh kesadaran spiritual, moral dan etika bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama. Dimaksudkan untuk lebih memperdalam pengalaman ajaran dan nilai-nilai agama untuk membentuk akhlak mulia, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan.
Peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan melalui pemahaman dan pengamalan nilai-nilai spiritual, moral dan etik agama, sehingga terbentuk sikap batin dan sikap lahir yang setia (Abdul Rahman Shaleh, 2000:2-4).
Pembinaan pendidikan agama islam yang dilakaukan terhadap pihak terkait di madrasah akan menciptakan situasi yang bersifat kondusif bagi tumbuh kembang suasana keagamaan di madrasahsehingga upaya peningkatan keimanan, ibadah dan akhlak mulia akan berhasil mencapai tujuan pemdidikan agama islam. Untuk lebih jelasnya pengertian pembinaan pendidikan agama islam sebagai berikut:
“....Pembinaan pendidikan agama islam oleh kepala madrasah merupakan optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi kepala madrasah dalam pembinaan terhadap pelaksanaan pendidikan agama islam, khususnya dalam kegiatan peningkatan keimanan, ibadah dan akhlak mulia dan budi pekerti di madrasah”. (Departemen Agama RI, 2000).
Sebagai pembia pendidikan agama islam, kepala madrasah tidak hanya dituntut untuk melaksanakan pembinaan kepada guru pendidikan agama islam saja melainkan juga mencakup pembinaan terhadap guru mata pelajaran lain, aparat madrasah, siswa dan orang tua siswa agar mereka terlibat secara aktif untuk mendukung keberhasilan pendidikan agama islam di madrasah.
Kebijakan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Kebijaksanaan pendidikan agama islam secara lebih terinci sebagai implementasi Undang–undang nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional, yang meliputi beberapa aspek yaitu:
Pertama; Pemerataan pendidikan agama islam
Undang–undang nomor 2 tahun 1989 menyebutkan bahwa kurikulum setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan wajib memuat pendidikan agama.
Ketentuan ini jelas mengisyaratkan perlunya pendidikan agama diberikan pada setiap madrasah, jenis, jalur dan jenjang dimana pun madrasah itu berada, sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Bahkan khusus juga menurut undang–undang tersebut harus mendapat pendidikan agama.
Kedua: Peningkatan mutu tenaga guru pendidikan agama islam
Dalam undang–undang nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan pancasila dann Undang–Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Peran tenaga pendidikan terutama GPAI sangat penting karena GPAI lah yang paling menentukan tingkat keberhasilan pendidikan agama. Mereka adalah pelaksana kurikulum pendidikan agama islam sebagai sarana utuk mencapai tujuan pendidikan agama islam yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pendidikan nasional.
Ketiga; Pengembangan Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam Terpadu Sebagai Pembina pendidikan Agama Islam di madrasah kepala madrasah memegangperanan penting dalam mewujudkan pola pendidikan agama Islam terpadu, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional dikembangkan secara terpadu antara berbagai jalur pendidikan yakni madrasah, masyarakat dan keluarga.
Dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi kepala madrasah sebagai Pembina pendidikan agama Islam di madrasah maka kepala madrasah dapat mengarahkan berbagai keterpaduan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
Keterpaduan proses yang dimaksud disini adalah proses pelaksanaan pendidikan agama Islam yang dilaksanakan secara harmonis dan dinamis
diantara tigalingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, madrasah dan masyarakat. Melalui keterpaduan proses ini akan terjadi saling mengisi dan saling menunjang antara guru pendidikan agama Islam di madrasah dengan orang tua siswa di rumah dan para tokoh dimasyarakat untuk secara bersama- sama menuju kearah tercapainya tujuan pendidikan agama Islam, yaitu membentuk manusia yang beriman dan beryaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk mengembangkan keterpaduan proses pendidikan agama Islam, kepala madrasah dituntut untuk melakukan berbagai upaya, antara lain:
Pertama; Memotivasi guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran lain dan karyawan madrasah untuk memfasilitasi kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam di madrasah, keluarga dan masyarakat.
Kedua; Membentuk tim Pembina pendidikan agama Islam, yang terdiri dari kepala madrasah, BP3, dan tokoh masyarakat. Tim Pembina ini bertugas untuk memberikan pelayanan pembinaan kependidikan kepada guru, orang tua siswa dan anggota masyarakat sekitar dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama islam.
Ketiga; Menyelenggarakan pertemuan koordinasi dan konsultasi dengan pengawas pendidikan agama Islam, guru pendidikan agama Islam, OSIS dan tokoh masyarakat untuk mengembangkan keterpaduan pendidikan agama Islam di madrasah, keluarga dan masyarakat.
Keempat; Menciptakan hubungan timbale balik antara madrasah, keluarga dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam terpadu.
Kelima; Memberikan penghargaan terhadap siswa yang berprestasi dalam pendidikan agama Islam, termasuk penghargaan kepada guru pendidikan agama Islam, orang tua siswa dan tokoh masyarakat yang terlihar dalam pembinaan prestasi sswa tersebut.
Keenam; Mengelola potensi madrasah, keluarga dan masyarakat untuk menyelenggarakan ekstra kulikuler pendidikan agama Islam secara terprogram, terencana, evaluasi dan berkesinambngan.
Ketujuh; Menggalam kekuatan madrasah, keluarga dan masyarakat dalam kegiatan dan peningkatan keimanan, ibadah dan akhlak mulia.
Kedelapan; Mengarahkan guru pendidikan agama Islam agar hasil pembelajaran agama Islam di madrasah dapat ditindak lanjuti di rumah dan
masyarakat melalui program perbaikan, penerapan dan pengayaan., dan kesembilan; Mengajak aparat madrasah, orang tua siswa dan tokoh masyarakat untuk menciptakan suasana keagamaan yang saling menunjang antara madrasah, keluarga dan masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Eksistensi Kepala Madrasah Sebagai Pembina Pendidikan Agama Islam Di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini melalui pendekatan pustaka Jenis penelitian kepustakaan/literatur bisa berupa kajian: Kitab Suci Al- Qur'an, atau Al-Hadits, Buku ilmiah, Buku Ajar, Peraturan Perundang- undangan, dan Pemikiran Tokoh tentang Pendidikan atau lainnya. Untuk mencapai hasil penelitian menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner, wawancara dan observasi. Kuesioner dimaksudkan untuk menjaring data tentang komitmen, kompetensi, motivasi dan kinerja guru.
Sementara wawancara dimaksudkan untuk menjaring data keempat variabel penelitian yang tidak dapat dijaring dengan teknik kuesioner. Kelengkapan data juga ditunjang oleh observasi.
Agar hasil penelitian valid dan reliabel, butir-butir pertanyaan dalam kuesioner perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas (Kuntadi 2004:57). Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrument yang digunakan sudah tepat mengukur apa yang seharusnya diukur atau belum, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi validitas suatu test, maka alat test tersebut akan semakin tepatmengenai sasaran.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Kedudukan Kepala Madrasah dalam Pembinaan Pendidikan Agam Islam
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya seorang kepala madrasah harus memiliki kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang luas dalam bidang pendidikan sehingga data mengelola madrasah yang dipimpinnya sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rosululloh Saw, sebagai berikut: “Jika suatu pekerjaan diserahkan bukan pada
ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (H.R Bukhori) . Seorang kepala madrasah harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan kemajuan madrasah yang dipimpinnya, sebagaimana keterangan berikut : “Tiap–tiap kamu adalah pemimpin dan tiap–tiap kamu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”.(HR. Bukhori, Muslim).
Dalam kaitan ini kepala madrasah dapat melakukan berbagai hal anatara lain: Pertama; Memotivasi guru mata pelajaran lain untuk mengintegrasikan mata pelajaran yang diajarkan dengan mata pelajaran pendidikan agama islam yang tercermin dalam rumusan tujuan pembelajaran, khusus materi yang akan diajarkan.
Kedua; Memotivasi aparat madrasah untuk mendukung kelancaran pendidikan agama islam yang dilakukan melalui kerja sama baik dengan komite madrasah maupun dengan lingkungan madrasah.
Ketiga; Pembinaan pendidikan agama islam terhadap siswa. Siswa sebagai peserta didik yang aktif dan kreatif dalam berbagai kegiatan keagamaan di madrasah, memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan pendidikan agama islam di madrasah, keluarga dan masyarakat, oleh karena itu kepala madrasah dituntut untuk memberikan pembinaan terhadap para siswa untuk memberikan pembinaan terhadap para siswa untuk mendukung kelancaran pedidikan agama islam serta untuk menciptakan suasana kelas dan madrasah yang dinamis dann selaras yang menuntut kreatfitas guru dan mengembangkan pembelajaran pendidikan agama islam sehingga mampu menarik minat siswa untuk senantiasa belajar dengan sungguh–sungguh.
Kondisi siswa seperti itu perlu dipelihara dan ditingkatkan melalui pembinaan pendidikan agama islam terhadap siswa dapat dilakukan dengan cara antara lain: (1) Membimbing dan mengarahkan para pengurus OSIS, kelas dan organsisasi yang berlatar belakang seni, olah raga, bakat dan keilmuan dikalangan siswa untuk aktif menggerakan siswa dalam kegiatan peningkatan keimanan, ibadah dan akhlak mulia; (2) Memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi dalam kegiatan keagamaan, seperti bagi pemenang lomba pidato keagamaan, MTQ, khatam Al-Qur’an dan lain–lain’ (3) Memotivasi siswa untuk membiasakan dan mengamalkan ajaran agama islam sehingga dapat memberikan contoh baik bagi teman–temannya, dan (4)
Menyarankan siswa untuk menambah kegiatan belajar diluar madrasah, sperti Madrasah Diniyah, private les agama, tutorial keagamaan, pesantren kilat dan lain lain.
Keempat; Pembinaan pendidiikan agama islam terhadap orang tua siswa.
Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam keluarga,khususnya dalam pendidikan agama islam. Oleh karena itu orang tua siswa merupakan mitra kerja guru pendidikan agama islam secara bersama–sama berupaya kearah pencapaian tujuan pendidikan agama islaam. Dengan demikian hubungan dan kerjasama orang tua siswa dengan guru pendidikan agama islam sangat menentukan keberhasilan pendidikan agama islam di madrasah dan keluarga. Untuk memperkokoh hubungan tersebut kepala madrasah dapat melakakan pembinaan pendidikan agama islam melalui berbagai pelayanan terhadap orang tua siswa antara lain.
Peningkatan Pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama Islam
Didalam GBHN tahun 1993 dijelaskan bahwa kebijaksanaan sector pendidikan ditujukan untuk menindkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu mnausia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja, professional, bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan rohani.
Indikator tujuan pendidikan diatas dapat dikelompokan menjadi empat yaitu: Pertama; Rencana pembelajaran disusun berdasarkan silabus dan disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku jadwal pelajaran Madrasah yang bersangkutan dan sarana yang tersedia.
Kedua; Program tahunan: Perencanaan tahunan merupakan suatu rencana pembelajaran selama satu tahun yang disusun berdasarkan GBPP serta disesuaikan dengan kalender yang berlaku dan jadawal pelajaran. Rencana tahunan terdiri dari program semester ganjil dan genap. Program semester mencakup komponen : pokok bahsan/ konsep/tema, alokasi, waktu tiap pokok bahasan/konsep/tema dan waktu pelaksanaan, selain itu disediakan pula alokasi waktu pelaksanaan dalam kegiaatan dan penilaian yang tidak terduga.
Dengan demikian dalam rencana semester terlihat sebaran bahan kajian alokasi waktu pelaksanaan dalam menentukan alokasi waktu untuk tiap pokok bahasan perlu dipertimbangkan tingkat kesulitan dan keluasan/kedalaman dan
serta banyaknya kegiatan (percobaan, latihan, dan lain–lain). Rencana tahunan dan semesteran belum dapat digunakan secara langsung untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu perlu dibuat rencana harian berupa persiapan mengajar.
Ketiga; Persiapan mengajar; sebelum mengajar guru perlu membuat persiapan mengajar yang sekurang–kurangnya memuat: (1) Bahan kajian (pokok bahsan/sub pokok bahasan); (2) Kelas, semester dan tanggal; (3) Tujuan pembelajaran; (4) Tujuan khusus pembelajaran; (5) Bahan pelajaran dan kegiatan belajar mengajar secara umum; (5) Cara menilai kemajuan siswa.
(Depag RI, 2000: 7).
Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah dan Cara Menanggulanginya.
Sebagaimana diketahui, pembinaan Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah, sangatlah diperlukan. Untuk menciptakan siswa-siswa sebagai penerus bangsa menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, akan tetapi untuk mewujudkan semua harapan tersebut di perlukan berbagai pendukung baik sarana maupun prasarana. Hal inilah yang menjadi salah satu penghambat dalam pembinaan Agama Islam terutama di Madrasah Tsanawiyah.
Adapun untuk lebih jelasnya faktor-faktor penghambat tersebut diantaranya:
Terbatasnya fasilitas
Terbatasnya fasilitas tanah yang ada, sehingga sulit untuk membangun sarana ibadah (mushola) dilingkungan madrasah, karena itu siswa tidak dapat melaksanakan berbagai kegiatan praktek ibadah yang seharusnya di laksanakan di mushola, seperti praktek shalat wajib dan shalat sunat. Sehingga hanya belajar teorinya saja diruang kelas yang sangat terbatas.
Terbatasnya Tenaga Pengajar
Keterbatasan kualitas dan kuantitas tenaga pengajar dan pengawasan.
Keterbatasan waktu atau jam pelajaran yang dialokasikan, terutama untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, contohnya mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Agama Islam (SKI) yang hanya satu jam pelajaran saja dalam satu minggu, serta Al-Qur’an Hadistpun hanya satu jam dalam satu minggu,
sedangkan matri yang harus diajarkan kepada siswa banyak sekali dan sangat penting untuk menambah pengetahuan dan membentuk para siswa menjadi lebih islami.
Terbatasnya Sumber Belajar
Kurangnya buku-buku sebagai sarana untuk menambah wawasan dan daya kreatifitas siswa dalam pendidikan Agama Islam, sehingga siswa lebih senang membaca-baca buku komik atau buku cerita lainnya.
Kurangnya Kerjasama
Kurangnya kerjasama antara guru dengan siswa baik dilingkungan madrasah maupun dilingkungan luar madrasah, sehingga seperti ada garis pembatas yang membedakan antara guru dengan siswa.
Kurangnya Komunikasi
Kurangnya komunikasi antara pihak madrasah dengan orang tua siswa, sehingga terkadang terjadi miskomunikasi antara pihak orang tua dengan pihak madrasah, yang mana orang tua hanya mempercayakan anaknya untuk di didik di madrasah saja, padahal peran orang tua kepada anaknya sangatlah penting.
Untuk menanggulangi factor-faktor penghambat tersebut diatas maka diperlukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama; Penambahan fasilitas tanah, sehingga dapat dibangun sarana dan prasarana ibadah yang dapat digunakan untuk keperluan siswa ataupun guru dan aparat madrasah lainnya. Dan untuk itu tentu saja diperlukan dana yang tidak sedikit dan untuk mendapatkan semua itu diperlukan bantuan dari pemerintah maupun masyarakat setempat.
Kedua; Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya tenaga pengajar dan pengawasan pendidik, serta untuk mewujudkannya bantuan dari pemerintah sangatlah penting yaitu dengan memberikan/menambah guru bantuan neeri yang berkualitas. Selain itu diperlukan adanya tambahan waktu/jam pelajaran terutama untuk mata pelajaran pendidikan agama islam yaitu Qur’an Hadist, aqidah akhlak, Fiqih, SKI dan bahasa arab yaitu dengan menugaskan pada setiap guru mata pelajaran umum untuk mengulas/membahas tentang hubungan antara iman dan taqwa/imtak dan iptek.
Ketiga; Meminta bantuan tambahan buku–buku teutama buku yang berkaitan erat dengan pendidikan agama islam kepada Departemen Agama, sehingga para siswa akan lebih tertarik untuk membaca buku–buku cerita.
Tentang kisah–kisah Rasul dan sahabat–sahabatnya dimasa lalu dan karenanya siswa dapat mendalami ajaran islam terpaksa.
Keempat; Meningkatkan kerjasama antara pihak madrasah dengan orang tua siswa sehingga siswa dapat dibimbing/dibina baik madrasah maupun dirumah. Dengan demikian maka tujuan pemdidikan agama islam akan tercapai dengan baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang eksistensi kepala madrasah sebagai Pembina agama islam di Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat, ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pelaksanaan pembinaan pendidikan agama islam oleh kepala madrasah Madrasah Tsanawiyah Kabupaten Bandung Barat telah dilakukan dengan baik meskipun masih terdapat kekurangan.
Faktor–faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembinaan pendidikan agama islam di Kabupaten Bandung Barat adalah kekurangannya sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan pembinaan tersebut.
Cara penanggulangan faktor penghambat dalam pelaksanaan pembinaan pendidikan agama islam adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga pengajar, meningkatkan kerjasama antara pihak madrasah dengan orang tua siswa, meningkatkan atau menambah sarana dan prasarana untuk menunjang kelancaran proses belajar mengajar.
Sesuai dengan permasalahan yang penulis teliti maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: Kepala madrasah diharapkan mampu memberikan pembinaan pendidikan agama islam tidak hanya kepada guru PAI saja. Dan Kepala madrasah meningkatkan pelayanan yang lebih baik kepada guru di madrasah yang bersangkutan.