• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN

DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR

MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK

SKRIPSI

diajukan guna memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi untuk meraih gelar Sarjana Sastra

oleh

Debbie Meliana Malau 0905938

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

INFERENSI PORNOGRAFI TERHADAP TUTURAN

DALAM FILM INDONESIA BERGENRE HOROR

MELALUI PERSPEKTIF PRAGMATIK

Oleh

Debbie Meliana Malau 0905938

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© Debbie Meliana Malau 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

Inferensi Pornografi Terhadap Tuturan dalam Film Indonesia Bergenre Horor Melalui Perspektif Pragmatik

ABSTRAK

Debbie Meliana Malau 0905938

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena tuturan film Indonesia bergenre horor yang berpotensi sebagai tuturan porno. Penelitian ini menggunakan analisis pragmatik, meliputi dua lapisan analisis yakni implikatur dan inferensi pragmatik yang digunakan untuk mengkaji tuturan dalam film horor tersebut. Penelitian ini mengungkap dua hal mengenai (1) implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor; dan (2) maksud pertuturan yang dapat dipahami sebagai tuturan porno. Data dalam penelitian diperoleh dengan cara menyimak tuturan film Indonesia bergenre horor, kemudian mencatat tuturan-tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno. Selanjutnya data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan cara menggunakan teori implikatur dan inferensi pragmatik.

Berikut adalah hasil penelitian yang dapat dijelaskan secara singkat. Dari 6 film horor yang dianalisis, terdapat 30 peristiwa tutur yang berpotensi sebagai tuturan porno. Tuturan film horor yang dianalisis melahirkan implikatur. Implikatur tersebut teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan PKS. Prinsip kerja sama dalam tuturan film horor tersebut acap kali dilanggar. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mencakup pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi karena seorang peserta tutur memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada lawan tuturnya. Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena peserta tutur memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi. Pelanggaran maksim cara terjadi karena peserta tutur memberikan suatu informasi yang tidak jelas ataupun kabur dan pelanggaran maksim kualitas terjadi karena peserta tutur mencoba memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong.

(5)

Inference Against Pornography Speech in the Indonesian Film Through the narrative potential as pornographic speech. This study uses a pragmatic analysis, the analysis includes two layers of implicature and pragmatic inference is used to examine the narrative in a horror film. The research reveals two things about (1) implicatures of utterances in Indonesian horror films, and (2) the intent of substitutions that can be understood as utterances porn. The data were obtained by listening to the speech of Indonesian films bergenrehoror, then record the speech that is potentially as pornographic speech. Furthermore, the data that has been obtained is then processed and analyzed by using the theory of implicature and pragmatic inference.

Here are the results of research that can be described briefly. Of 6 horror movies that were analyzed, there were 30 events said utterance potentially as porn. Narrative horror film that spawned analyzed implicature. Implicatures are identified through an analysis of the application of the principle of cooperation. The principle of cooperation in the horror film narrative often violated. Violation of the principle of cooperation include maxim violations quantity, quality, relevance, and manner. Violation maxim of quantity occurs because a participant said that information is unclear or redundant to the opponent he said. Maxim of relevance violation occurred because the participants said give answers that are not linked with the previous conversation and try to change the subject that is going on. Maxim violation occurred because the participants explained how to give information that is not clear or vague, and violations of the maxim of quality occurs because participants said try to provide information that tends to be incorrect or false.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2Masalah ... 6

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 6

1.2.2 Batasan Masalah ... 6

1.2.3 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 7

1.4 Manfaat Penelitian... 7

1.5 Anggapan Dasar ... 8

1.6 Struktur Organisasi Penulisan ... 8

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1Pragmatik ... 9

2.2Aspek-aspek Pragmatik ... 10

2.3Komponen Pragmatik... 11

2.3.1 Penutur dan Mitra Tutur ... 11

2.3.2 Tuturan ... 12

2.3.3 Konteks ... 12

2.4 Tindak Tutur ... 13

(7)

2.6 Implikatur ... 18

2.6.1 Implikatur Konvensional ... 19

2.6.2 Implikatur Nonkonvensional ... 20

2.7 Inferensi ... 21

2.8 Film ... 22

2.9 Undang-Undang Pornografi ... 23

2.10 Penelitian Terdahulu ... 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 28

3.1 Metodologi Penelitian ... 28

3.2 Data dan Sumber Data... 30

3.3 Teknik Penelitian... 30

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.3.2 Teknik Penganalisisan Data ... 30

3.4 Instrumen Penelitian ... 31

3.5 Defenisi Operasional ... 31

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Deskripsi Data ... 32

4.2 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 33

4.2.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 34

4.2.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 37

4.2.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 38

(8)

4.2.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 41 4.2.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 42 4.2.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 42 4.2.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 44 4.2.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 44 4.2.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Perawan Jeruk Purut” ... 46

4.3 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang

Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 46 4.3.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 47 4.3.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 50 4.3.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 50 4.3.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 53 4.3.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 53 4.3.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 55

4.3.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

(9)

Horor yang Berjudul “Dendam Pocong Mupeng” ... 58 4.4 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang

Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 58

4.4.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 60 4.4.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 62 4.4.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 63 4.4.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 65 4.4.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 66 4.4.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 68 4.4.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 68 4.4.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 70 4.4.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 70 4.4.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Arwah Goyang Jupe-Depe” ... 73 4.5 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang

Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 73 4.5.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 75 4.5.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

(10)

4.5.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 77 4.5.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 80 4.5.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 81 4.5.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 83 4.5.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 83 4.5.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 85 4.5.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 86

4.5.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 88

4.5.11 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 6 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 88

4.5.12 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 6 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 91

4.5.13 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 7 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 91

4.5.14 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 7 dalam Film

Horor yang Berjudul “Rumah Bekas Kuburan” ... 93

4.6 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang

Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 93

4.6.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

(11)

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 97 4.6.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 98 4.6.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 100 4.6.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 101 4.6.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 103 4.6.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 104

4.6.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 106 4.6.9 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 106 4.6.10 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 5 dalam Film

Horor yang Berjudul “Kutukan Arwah Santet” ... 108

4.7 Analisis Tuturan Film Indonesia Bergenre Horor yang

Berjudul “Hantu Budeg” ... 109 4.7.1 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 111 4.7.2 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 1 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 114 4.7.3 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 114 4.7.4 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 2 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 117 4.7.5 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

(12)

4.7.6 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 3 dalam Film

Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 119

4.7.7 Analisis Implikatur Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 120

4.7.8 Inferensi Pragmatik Pada Peristiwa Tutur 4 dalam Film Horor yang Berjudul “Hantu Budeg” ... 122

4.8 Pembahasan Hasil Penelitian ... 122

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 126

5.1 Simpulan... 126

5.2 Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129

LAMPIRAN ... 131

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana

komunikasi dalam kehidupannya. Bahasa diperlukan untuk menjalankan segala

aktivitas hidup manusia, seperti penelitian, penyuluhan, pemberitaan bahkan

untuk menyampaikan pikiran, pandangan, serta perasaan. Perkembangan dalam

bidang komunikasi ternyata sudah sampai pada tingkat modernisasi dan

kecanggihan media-media komunikasi. Salah satu bentuk pengaruh yang sangat

mencolok saat ini adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh media elektronik.

Salah satu jenis media komunikasi massa yang digunakan sebagai sarana

hiburan adalah film, dalam hal ini, film bergenre horor. Kata horor berasal dari

bahasa Latin horrere yang berarti ‘berdiri hingga akhir’. Istilah ini merujuk pada berdirinya bulu kuduk/rambut karena merinding atau gemetar karena ketakutan.

Horor sering didefinisikan sebagai rasa takut yang luar biasa atau sesuatu yang

dapat membangkitkan ketakutan. Film bergenre horor ini tidak pernah ketinggalan

menghiasi bioskop-bioskop nusantara. Indonesia merupakan salah satu negara

yang aktif dalam memproduksi film horor. Genre horor mendominasi pasar

melalui film-film horor remaja yang umumnya mengambil cerita mitos atau

legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker yang menampilkan

makhluk-makhluk gaib khas lokal, seperti kuntilanak, pocong, genderuwo, suster ngesot,

tuyul, dan sebagainya. Tidak hanya itu, beberapa sutradara juga melakukan

beberapa adaptasi terhadap film horor luar negeri, baik dari sesama negara Asia

maupun dari negara-negara Barat. Beberapa adaptasi film tersebut seringkali

tampak dan tak jarang pula memasukkan unsur erotisme sebagai bahan dasar

dalam racikan film. Produser dan Sineas Indonesia saling latah membuat film

horor berbalut seks. Belakangan, banyak film horor Indonesia mendapat kecaman

dari berbagai pihak. Keberadaan dan peran LSF (Lembaga Sensor Film) pun

(14)

2

vulgar dan tentu saja diikuti dengan tuturan yang berpotensi sebagai tuturan

porno.

Pornografi tentu saja tidak asing lagi dalam masyarakat karena masalah

pornografi selalu menarik perhatian dari remaja hingga kalangan dewasa. Terlebih

para laki-laki biasanya sangat tertarik dengan hal-hal tersebut. Hal itu sebagai

pengaruh perkembangan teknologi modern sekarang ini. Dalam KBBI (2008:

1094) Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan

atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan

sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi. Sejalan

dengan pengertian di atas, Wijana (2006) mengatakan bahwa pornografi adalah

perbincangan masalah seksual atau segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas

seksual secara terus terang.

Tindak tutur lahir sebagai wujud komunikasi bukanlah peristiwa yang

terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud

dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra

tutur. Chaer (2004: 17) mengemukakan tiga komponen yang harus ada dalam

setiap proses komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni pengirim

dan penerima informasi yang dikomunikasikan, yang lazim disebut partisipan; (2)

informasi yang dikomunikasikan; dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi

itu. Pihak yang terlibat dalam suatu proses komunikasi tentunya ada dua orang

atau dua kelompok orang, yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi, dan

yang kedua yang menerima (receiver) informasi. Informasi yang disampaikan

tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan atau pesan. Sedangkan alat yang

digunakan dapat berupa simbol/lambang seperti bahasa.

Peristiwa serupa ditemukan juga dalam sebuah film. Para pelaku dalam

sebuah film tidak lepas dari kegiatan merealisasikan tuturan. Bentuk-bentuk

tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan

tertentu yang ingin dicapai. Seperti halnya dalam dunia nyata, dalam film pun

terdapat tuturan-tuturan yang tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat.

(15)

3

penontonnya. Dalam beberapa film horor di Indonesia terdapat sejumlah tuturan

yang berpotensi sebagai tuturan porno.

Salah satu contoh adalah film horor yang berjudul Arwah Goyang

Karawang (Arwah Goyang Jupe-Depe). Dirilis tanggal 10 Februari 2011,

disutradarai oleh Helfi Kardit dan diproduseri oleh Gobind Punjabi. Pemeran

dalam film ini antara lain: Julia Perez, Dewi Perssik, Erlando dan beserta pemeran

lainnya. Berikut sepenggal tuturan film horor tersebut saat pemeran (Julia Perez

dan Dewi Perssik) sedang menari di panggung dan disaksikan oleh banyak

Tuturan di atas terjadi pada malam hari di sebuah pub bintang kejora. Lilis

adalah seorang penari di sebuah grup tari Jaipong goyang karawang.

Penampilannya di atas panggung selalu saja menjadi pusat perhatian pengunjung

pub. Baju yang dipakainya untuk menari dipanggung pun terlihat seksi. A dan B

merupakan dua penonton yang terbius dengan kemolekan tubuh Lilis. Pada

tuturan di atas penutur menyampaikan atau menginformasikan kepada lawan

tuturnya bahwa wanita yang sedang menari itu bernama Lilis sekaligus primadona

di kampung itu. Penutur dalam tuturan “toketnya udah kendor ya?”

mengimplikasikan pada suatu hal yang mengarah pada salah satu bagian tubuh

wanita. Kata“toket” dengan asal kata tetek, dipopulerkan pada tahun 80-an

sebagai istilah dalam bahasa prokem. Penggunaan diksi “toket kendor” merujuk

(16)

4

bergairah, seolah-olah penonton merasakan suasana berhubungan badan. Jika

diperhatikan dan dimaknai, penggunaan bahasa dalam penggalan tuturan tersebut

berpontensi sebagai tuturan porno. Hal ini bergantung pada konteks dan

pemahaman mitra tutur dalam menginterpretasikan tuturan.

Melihat film horor diminati penonton, para produser dan sineas Indonesia

kemudian saling latah membuat film horor juga, karena pertimbangan ekonomi

yang dominan, film-film horor di Indonesia tidak dibuat dengan

sungguh-sungguh, biaya yang murah, estetika yang kacau, serta jalan cerita yang tidak

masuk akal membuktikan bahwa kurang kreatifnya produser dan sineas Indonesia.

Ini akan berdampak kepada masyarakat yang berujung kepada krisis moral yang

memicu kepada tindak asusila, kriminalitas serta tindak kekerasan. Tuturan yang

nyeleneh dan vulgar jelas melanggar Undang-Undang pornografi no 40 tahun

2008 yakni materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar,

sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,

syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain yang dapat

membangkitkan hasrat seksual merupakan melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam

masyarakat.

Oleh karena itu, peneliti bermaksud meneliti tentang inferensi pornografi

terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre horor melalui perspektif

prgamatik. Pragmatik hadir sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji kondisi

penggunaan bahasa. Yule (1996:3) menyebutkan pragmatik adalah studi tentang

maksud penutur, yaitu studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan

ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Dalam upaya mengungkap maksud dari

sebuah tuturan, peneliti menggunakan Inferensi Pragmatik sebagai jembatan

untuk mengungkap maksud pertuturan, khususnya tuturan dalam film Indonesia

bergenre horor.

Ada beberapa penelitian sejenis yang mengangkat tema ini di antaranya

yang dilakukan oleh Wijana dan Rohmadi (2006) melakukan penelitian tentang

kekhasan judul-judul berita artis dalam media massa cetak. Dalam penelitian

(17)

5

respons pembaca terhadap asosiasi pornografis judul-judul berita artis dalam

media massa cetak. Dalam penelitiannya, Wijana dan Rohmadi menyimpulkan

bahwa adanya pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan yang digunakan pada media

massa cetak, yaitu (1) menggunakan kalimat-kalimat pendek, dan (2)

memanfaatkan bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna ganda, sehingga dapat

menimbulkan asosiasi yang bukan bukan di benak pembaca.

Yuniawan (2007) melakukan penelitian tentang fungsi asosiasi pornografi

dalam wacana humor. Dalam penelitiannya, Yuniawan mendeskripsikan fungsi

asosiasi pornografi dalam wacana humor. Data dalam penelitian ini adalah wacana

humor bahasa Indonesia yang berasosiasi pornografi beserta konteksnya. Dalam

penelitiannya, Yuniawan menyimpulkan bahwa fungsi asosiasi pornografi dalam

wacana humor mencakup: 1) menarik perhatian, 2) menghibur, 3) membuat rasa

penasaran, 4) memperhalus, 5) mengecoh pembaca.

Rahayu (2010) melakukan penelitian tentang ambiguitas pada judul-judul

film pornografis Indonesia. Dalam penelitiannya, Rahayu menganalisis mengenai

ambiguitas (ketaksaan) yang berhubungan dengan bentuk dan struktur yang

terdapat pada judul-judul film pornografis Indonesia. Hasil analisis menunjukkan

bahwa ambiguitas pada judul-judul film pornografis Indonesia banyak

menggunakan ambiguitas gramatikal dibandingkan dengan penggunaan

ambiguitas fonetik dan leksikal serta struktur ambiguitas judul-judul film

pornografis menggunakan beberapa struktur dengan dasar hukum M-D atau D-M

(unsur inti dan unsur tambahan).

Yanah (2010) melakukan penelitian tentang citra pornografis dalam iklan

premium call surat kabar lampu hijau. Dalam penelitiannya, Yanah menganalisis

bentuk tuturan yang nyeleneh yang terkesan vulgar dan melanggar etika bahasa

yang digunakan pada iklan, maksud tuturan dalam iklan, serta citra pornografis

yang terdapat pada iklan. Dari hasil penelitiannya, yanah menyimpulkan bahwa

citra 60% terlihat pada gambar dan 40% pada tuturan. Dalam iklan memiliki 2

implikatur mengarah pada ngobrol curhat dan mengarah pada kencan seks.

(18)

6

Khoirunnisa (2012) melakukan penelitian tentang asosiasi pornografis

dalam judul-judul film Indonesia bergenre horor tahun 2008-2011. Dalam

penelitiannya, dibahas mengenai pilihan kata yang mengandung makna denotatif

dan konotatif.

Dari serangkaian penelitian di atas, pemilihan kajian ini didasarkan atas

pertimbangan berikut, yakni, sejauh pengamatan penulis, penelitian yang secara

khusus memfokuskan kajian pada pemilihan objek maupun teori yang digunakan

belum pernah dilakukan. Uraian terdahulu hanya mengangkat permasalahan dari

media massa, wacana humor, maupun iklan surat kabar dengan kajian yang

beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap permasalahan yang peneliti lakukan

tampak penting untuk dilakukan.

1.2 Masalah

Dalam bagian ini akan dijelaskan masalah penelitian yang meliputi tiga

bagian, yaitu (1) identifikasi masalah, (2) batasan masalah, dan (3) rumusan

masalah.

1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1) Berlandaskan inferensi pragmatik, terdapat sejumlah tuturan film horor di

Indonesia yang memiliki potensi sebagai tuturan porno.

2) Tuturan yang terdapat dalam film horor di Indonesia mengimplikasikan

sesuatu sekaligus mencerminkan strategi penutur.

1.2.2 Batasan Masalah

Agar permasalahan dapat diselesaikan dan lebih terfokus, penelitian ini

dibatasi pada beberapa masalah berikut.

1) Objek film horor yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya sebatas tuturan

(19)

7

2) Tuturan film horor yang akan dikaji diambil dari kaset DVD maupun VCD

sebanyak 6 film.

3) Implikatur yang akan diteliti adalah implikatur yang digagas oleh Grice yang

menunjukkan adanya empat kemungkinan yang dapat terjadi terkait dengan

realisasi Prinsip Kerja Sama.

4) inferensi pragmatik yang berlandaskan pada pendapat Cummings.

1.2.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan

masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimana implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor?

2) Bagaimana maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

1) implikatur tuturan dalam film Indonesia bergenre horor.

2) maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini, ada beberapa manfaat yang dapat

diperoleh.

1) Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan terhadap

perkembangan studi ilmu pragmatik, dalam hal berikut ini. Deskripsi tersebut

diharapkan memberikan kontribusi teoretis dalam bidang linguistik. topik

penelitian ini dapat menyajikan salah satu bahasan tentang inferensi pornografi

(20)

8

sebagai pilihan pustaka dalam mengkaji fenomena kebahasaan dari berbagai sudut

pandang.

2) Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

sebagai data dasar bagi penelitian lanjutan dan dalam upaya pembinaan dan

pengembangan bahasa serta dapat memberikan pemahaman terhadap penonton

sebagai penikmat film yang akan lebih memahami konteks dari beragam film

horor di Indonesia. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberi

gambaran kepada masyarakat, agar lebih selektif dan cerdas dalam memilih acara

yang ditonton.

1.5 Anggapan Dasar

Penelitian ini didasarkan pada sejumlah anggapan dasar sebagai berikut.

1) Perkembangan dalam bidang komunikasi ternyata sudah sampai pada tingkat

modernisasi. Pemahaman masyarakat tentang kebebasan dalam berkarya,

semakin banyak disalahgunakan. Hal tersebut terbukti dari kebebasan

membuaf film, khususnya film horor esek-esek yang mendapat pencekalan

dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk ditayangkan.

2) Setiap orang dapat menginterpretasi maksud dari sebuah tuturan dengan

menggunakan pengetahuan tambahan.

1.6 Struktur Organisasi Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, untuk memudahkan

penyajiannya, maka struktur organisasi penulisan ini disusun dari bab satu sampai

bab lima. Berikut ini adalah urutan struktur organisasi penulisan skripsi.

Bab pertama memuat pendahuluan yang membahas latar belakang masalah

penelitian. Bab kedua memuat kajian pustaka dan dilanjutkan dengan

(21)

9

membahas mengenai desain penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan

data, dan teknis analisis data, instrumen penelitian dan defenisi operasional. Bab

keempat memuat penyajian dan pembahasan hasil penelitian. Bab kelima memuat

(22)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam

melaksanakan penelitian atau dalam mengumpulkan data. Metode penelitian

bahasa bertujuan mengumpulkan, mengkaji data, serta mempelajari

fenomena-fenomena kebahasaan (Djajasudarma, 2006: 4).

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan teoretis, yakni pendekatan

pragmatik. Pragmatik hadir sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji kondisi

penggunaan bahasa. Dalam hal ini, untuk mengungkap maksud dari sebuah

tuturan. Selain itu, Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni

teknik penelitian yang lebih menitikberatkan pada pengelompokan data,

penganalisisan, dan pendeskripsian. Bogdan dan Taylor (Moleong, 1989: 4)

mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data

deskriptif berupa data kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati.

Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya

dengan penelitian jenis lainnya, salah satunya adalah deskriptif. Data yang

dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Secara deskriptif

peneliti dapat memerikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui

pemilahan data yang dilakukan pada tahap pemilahan data setelah terkumpul

(Moleong, 1989: 11). Penulis menggunakan metode ini karena data yang diteliti

merupakan data yang berbentuk deskripsi, hingga penulis bisa

mempertimbangkan bahwa data ini memang layak menggunakan metode

deskriptif kualitatif. Metode ini menyajikan analisis data dan mengaitkannya pada

teori pustaka. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif yaitu berupa tuturan

dalam film Indonesia bergenre horor yang diamati kemudian diuraikan

pemaparannya secara jelas. Penjelasan dipaparkan secara natural, objektif dan

faktual. Dengan menggunakan metode ini penulis dapat memberikan gambaran

(23)

29

Untuk memperjelas tentang metode penelitian yang akan diuraikan

sebelumnya, pada bagian ini akan digambarkan gambar alur penelitian dalam

bentuk diagram berikut.

3.1 Bagan Alur Penelitian Tuturan dalam Film

Indonesia Bergenre Horor

Metode 1) Simak 2) Catat

Penganalisisan Menggunakan Teori Pragmatik

1) klasifikasi Grice mengenai berbagai kemungkinan mengenai realisasi prinsip kerja sama dalam implikatur; 2) pengetahuan tambahan (Inferensi

Pragmatik) untuk menguak implikatur.

Metode Pengumpulan dan Pengelompokkan Data

Temuan

1) Implikatur tuturan dalam film Indonesia bengenre horor

2) maksud pertuturan dapat dipahami sebagai tuturan porno

Simpulan

(24)

30

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara menyimak tuturan dalam

film Indonesia bergenre horor, kemudian mencatat tuturan-tuturan yang

berpotensi sebagai tuturan porno. Selanjutnya data yang telah didapat kemudian

diolah dan dianalisis. Sumber data yang akan menjadi bahan kajian penelitian

diambil dari film horor Indonesia yang berpotensi sebagai tuturan porno. Sumber

data berbentuk dokumentasi yaitu berupa kaset VCD maupun DVD.

3.3 Teknik Penelitian

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik pengumpulan,

pengolahan data dan penganalisisan data.

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data

(Sugiyono, 2008: 62). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam

teknik pengumpulan data yakni (1) teknik simak dan, (2) teknik catat. Teknik

simak dalam penelitian ini berupa teknik simak libas cakap artinya peneliti hanya

berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa dan sama sekali tidak terlibat

dalam proses petuturan. Teknik Simak yang dilakukan yaitu dengan cara

menyimak tuturan dalam film Indonesia bergenre horor. Selanjutnya, teknik catat,

peneliti melakukan pencatatan terhadap tuturan dalam film Indonesia bergenre

horor yang berpotensi sebagai tuturan porno. Teknik ini dilakukan untuk mencatat

semua data tuturan film horor yang kemudian terbentuk data tertulis.

3.3.2 Teknik Penganalisisan Data

Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya, data dianalisis.

Penganalisisan data dilakukan dengan menentukan hal-hal berikut:

1) mengelompokkan data yang berasal kontekstualisasi data berdasarkan setiap

(25)

31

2) mengidentifikasi tuturan dalam film Indonesia bergenre horor yang

mengandung implikatur;

3) mendekripsikan dan menganalisis implikatur untuk memahami maksud

tuturan;

4) menginterpretasi tuturan melalui inferensi pragmatik sehingga dapat dipahami

sebagai maksud pertuturan.

3.4 Instrumen Penelitian

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif yakni sebagai perencana,

pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti

menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di

sini tepat karena peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian

(Moleong, 1989: 168). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti adalah

instrumen kunci.

3.5 Defenisi Operasional

Definisi operasional ini dibutuhkan agar tidak terjadi pertentangan

pendapat dalam penelitian ini. Definisi operasional yang diperlukan dalam

penelitian sebagai berikut.

1) Inferensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan pengetahuan

tambahan yang digunakan mitra tutur untuk mengungkap implikatur

percakapan.

2) Pornografi adalah penggambaran tingkah laku melalui lukisan atau tulisan

untuk membangkitkan nafsu birahi.

3) Tuturan merupakan dialog atau kata-kata yang diujarkan oleh para pemain

maupun pemeran dalam film horor yang mereka perankan.

4) Film horor di Indonesia adalah film horor yang terdapat di Indonesia yang

(26)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Pada bab terakhir ini akan disimpulkan hasil dari penelitian. Temuan dan

pembahasan penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,

merupakan dasar dalam menyusun simpulan pada bab ini. Penelitian ini

membahas maksud tuturan yang berpotensi sebagai tuturan porno dalam

wujud tuturan film Indonesia bergenre horor.

Tuturan film yang dikaji dalam penelitian ini antara lain “Hantu Perawan Jeruk Purut (2008), “Dendam Pocong Mupeng (2010)”, “Arwah Goyang Jupe-Depe (2011)”, “Rumah Bekas Kuburan (2012)”, “Hantu Budeg (2012)” dan “Kutukan Arwah Santet (2012)”, menggambarkan adanya maksud yang berpotensi sebagai tuturan porno. Dari 6 buah film horor

tersebut, terdapat 30 peristiwa tutur yang berpotensi sebagai tuturan porno.

Bahasa yang dibangun dalam tuturan tersebut menyimpan pesan tersendiri,

baik secara ekplisit maupun implisit. Sejalan dengan rumusan penelitian,

maka ada dua simpulan dari penelitian ini.

Pertama, tuturan film horor yang dianalisis melahirkan implikatur.

Implikatur tersebut teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan PKS.

Prinsip kerja sama dalam tuturan film horor tersebut acap kali dilanggar.

Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama tersebut menghasilkan implikatur

percakapan. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut mencakup pelanggaran

maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Pelanggaran maksim

kuantitas terjadi karena seorang peserta tutur memberikan informasi yang

kurang jelas atau berlebihan kepada lawan tuturnya. Pelanggaran maksim

relevansi terjadi karena peserta tutur memberikan jawaban yang tidak

bertautan dengan pembicaraan sebelumnya dan mencoba mengalihkan topik

pembicaraan yang sedang terjadi. Pelanggaran maksim cara terjadi karena

(27)

127

Selanjutnya pelanggaran maksim kualitas terjadi karena peserta tutur

mencoba memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong.

Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah

ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Hal tersebut merupakan

strategi penutur dalam mengemas tuturannya. Perlu pengetahuan tambahan

bagi mitra tutur untuk mengungkap maksud tersirat dari tuturan tersebut,

salah satunya menggunakan inferensi pragmatik.

Kedua, inferensi pragmatik diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya

mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan

film Indonesia bergenre horor dapat disimpulkan bahwa secara implisit,

tuturan film tersebut memiliki implikasi porno. Pada tuturan-tuturan yang

dianalisis mengindikasikan bahwa maksud tuturan mengimplikasikan sesuatu

sekaligus mencerminkan strategi penutur. Di antaranya bagian-bagian vital

perempuan. Misalnya saja, salah satu bagian tubuh wanita, yakni payudara.

Hal tersebut tergambar dari penggunaan bentuk toket kendor, tetek gede, susu

berbahaya, durian montong. Selain itu, untuk mengimplikasikan alat vital

laki-laki, tergambar dari penggunaan bentuk pisang gede dan barang.

Selanjutnya mengenai aktivitas berhubungan badan atau bersenggama,

tergambar dari penggunaan bentuk lagi pengen, ngewong, ML (making

love/bercinta), kawin, enak diulek, tidur, melayani, maen, bercinta, kekepin,

nyodok, praktek, mupeng (muka pengen/ ingin bercinta), serta bakuda-kuda

(bercinta). Berikutnya terdapat juga penggunaan bentuk onani, horny,

kondom, threesome dan nungging. Bentuk onani merujuk kepada pengeluaran

sperma tanpa melakukan senggama atau hubungan seksual. Terdapat pula

bentuk horny yang merujuk kepada timbulnya birahi seksual atau terangsang.

bentuk kondom merujuk kepada alat kontrasepsi keluarga berencana yang

terbuat dari karet dan pemakaiannya dilakukan dengan cara disarungkan pada

kelamin laki-laki ketika akan bersanggama. Kondom menjadi sefety first

(pengaman pertama) saat melakukan hubungan seksual untuk memperkecil

resiko terjadinya kehamilan. Selanjutnya, penggunaan bentuk threesome

(28)

128

pasangan. Penggunaan bentuk nungging merujuk kepada salah satu gaya

untuk berhubungan badan atau bersenggama.

Dalam proses menyimpulkan maksud, mitra tutur perlu

menghubungkan tuturan dengan konteks dari tuturan tersebut. Hasil analisis

menunjukkan bahwa tuturan-tuturan tersebut merujuk kepada kegiatan seks.

5.2 Saran

Penelitian ini merupakan upaya untuk membuktikan betapa

pentingnya model analisis Pragmatik sebagai media atau alat dalam

mengungkap maksud tuturan dalam film Indonesia bergenre horor.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis mengajukan beberapa

saran sebagai berikut.

1) Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya wawasan dan

khasanah kebahasaan khususnya pragmatik. Penulis berharap agar

peneliti selanjutnya dapat memperluas data yang diteliti dengan

menggunakan kerangka analisis dan kerangka teori yang berbeda dalam

cakupan pragmatik. Dengan begitu, hasil penelitian lebih luas dan

beragam.

2) Bagi masyarakat agar lebih selektif dan cerdas dalam memilih film yang

hendak ditonton.

3) Bagi pemerintah, khususnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) agar

lebih selektif dalam memilah acara yang akan disiarkan kepada

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, K. (1994). Felicity conditions on speech acts. Encyclopedia of Language and Linguistics, ed. by Ron Asher. Vol.3, pp.1210- 13. Oxford: Pergamon Press.

Austin, J. L. (1962). How To Do Things With Words. Second Edition. New York: Oxford University Press.

Bach, K. & Robert M. Harnish. (1979). Linguistic Communication and Speech Acts. Cambridge MA: MIT Press.

Bachari, Andika Dutha. (2011). “Analisis Pragmatik terhadap Tuturan Berdampak Hukum (Studi Kasus Terhadap Laporan Dugaan Tindak Penghinaan, Penipuan, dan Pencemaran Nama Baik yang Ditangani Satreskrim Polrestabes Bandung)”. Tesis tidak dipublikasikan pada Program Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana, UPI, Bandung.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Cumming, Louise. (1999). Pragmatics, A Multidisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press Inc.

Cumming, Louise. (2007). Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner (Diterjemahkan Setiwati¸ dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, Fatimah. (2006). Metode Linguistik. Bandung: Refika Aditama.

Grice, H. P. (1975). “Logical And Conversation”. Syntax And Semantics, Speech Act, 3. New York: Academic Press.

Imanjaya, Ekky. (2006). A to Z about Indonesia film. Bandung: Mizan.

Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

(30)

130

Moleong, Lexi. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Depdikbud.

Rahardi, Kunjana. (2008). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rahayu, Ningsih Nina. (2010). “Ambiguitas Pada Judul-Judul Film Pornografi Indonesia”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Henry Guntur. (1990). Pengajaran Pragmatik. Bandung: angkasa.

Undang-Undang Pornografi. (2008). [Online] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi. (Diakses pada 29 mei 2013 pukul 11:00).

Wijana, I.D.P. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Wijana, I.D.P. (2009). Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.

Wijana, Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yanah, Putri Yatul. (2010). “Citra Pornografis dalam Iklan Premium Call Surat Kabar Lampu Hijau”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan.

Yule, George. (2006). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses pembuatan laporan ini bendahara melaporkan penerimaan dan pengeluaran kas setiap bulannya kepada kepala Yayasan, ketika kepala Yayasan telah meng acc

Sampai di sini, siapa pun bisa menengarai bahwa titik kait atau framing isu yang efektif dan dipakai Khatib al-Sambasi untuk membesarkan jaringan ulama Sambas adalah

Dari hasil analisis deskriptif persentase diperoleh bahwa disiplin siswa maupun fasilitas perpustakaan sekolah dikatakan baik, dengan indikator disiplin siswa di

Sumber Data : Laporan Program Pengendalian Penyakit Menular di Jawa Timur Seksi Pemberantasan Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2000 – 2011 (satuan Penderita

Hal ini tentu menjadi peluang yang cukup besar bagi Indonesia sebagai negara dengan potensi akuakulturnya yang sangat besar untuk berkontribusi lebih besar dalam akuakultur

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai F hitung sebesar 2,863 (lihat lampiran) sedangkan F tabel pada taraf signifikansi 5% adalah 2,37 ternyata F

Nilai efisiensi yang dihasilkan bersifat relatif atau hanya berlaku dalam sekumpulan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang dibandingkan (Nugroho,1995)efisiensi untuk mengukur

Az általános iskoláknál rendszerint nem jelentett problémát (bár egyes gyermekjóléti szolgálat által összeállított beszámolók azt mutatják, hogy az általános