• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan. 2"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Etik

Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.1 Menurut hukum, tanggung jawab atau pertanggungjawaban adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.2

Dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liability).3

Tanggungjawab etik adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip - prinsip etis. Dari pengertian ini terdapat aspek tanggungjawab etik terhadap profesi polisi, yakni menunjukan diri sebagai seorang yang professional yang bermutu dan berani menjawab persoalan - persoalan yang muncul di dalam menjalankan tugasnya. Seorang yang professional berani menanggung resiko atau berani bertanggungjawab dari perbuatannya sebagai seorang profesi polisi. Ini berarti ia menyadari akan

1 Andi Hamzah, ” Kamus Hukum”, Ghalia Indonesia, 2005.

2 Soekidjo Notoatmojo, “Etika dan Hukum Kesehatan”, Rineka Cipta, Jakarta, 2010. Hlm. 45.

3 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, “Perlindungan Hukum bagi Pasien”, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010.

Hlm. 49.

(2)

prosedur dan memiliki pengetahuan yang memadai dalam menjalankan

pekerjaan.

B. Tinjauan Tentang Kepolisian 1. Pengertian Kepolisian

Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. 4 Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat yang diantaranya untuk melawan kejahatan, maka polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.5

Dalam ketentuan Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara republik Indonesia dapat dirumuskan mengenai definisi dari berbagai hal yang berkaitan dengan polisi, termasuk pengertian kepolisian. Hanya saja definisi tentang kepolisian tidak dirumuskan secara lengkap karena hanya menyangkut soal fungsi dan lembaga polisi sesuai yang diatur dalam peraturan perundang - undangan. Berdasarkan Pasal 1 Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang dimaksud kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang - undangan.6

Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata polisi adalah uatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman dan

4 Satjipto Rahardjo, “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis”, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Hlm. 111

5 Ibid. Hlm. 117

6 H. Pudi Rahardi, “Hukum Kepolisian (Profesionalsime dan Reformasi Polri)” Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007. Hlm. 53

(3)

ketertiban umum (mangkap orang yang melanggar hukum), merupakan suatu anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertigas menjaga keamanan dan ketertiban).7

Istilah “Polisi” pun dikemukakan oleh salah satu pakar ilmu hukum yang bernama Dr. Sadjijono, menurut Sadjijono istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah

“Kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ yakni suati lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggungjawab lembaga atas kuasa undang - undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat.8

2. Hukum Kepolisian

Di dalam literatur tentang kepolisian, sejumlah peraturan hukum yang diperlukan polisi untuk dapat dipergunakan dalam melakukan tugas / wewenangnya, beserta prosedur penyelesaiannya yang berisi wewenang dan cara bertindak, keterangan tentang kejahatan dan pelanggaran, pelanggaran - pelanggaran yang bersangkut paut dengan hak milik, pelanggaran - pelanggaran yang mengenai masyarakat pada umumnya, hukum acara pidana, peraturan lalu lintas, peraturan - peraturan lain yang memuat larangan atau sesuatu sebagai pelanggaran.9

7 W.J.S Purwondarminto, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka Jakarta, Jakarta, 1986. Hlm. 763

8 Sadjijono, “Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan dan Hubungan Dalam Hukum Administrasi”

Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006. Hlm. 6

9 Hazairin dalam Wasito Hadi Utomo, “Hukum Kepolisian di Indonesia” LPIP, Yogyakarta. Hlm. 28

(4)

Hukum kepolisian adalah hukum yang mengatur tentang tugas, status, organisasi dan wewenang badan - badan kepolisian serta bagaimana badan - badan kepolisian tersebut melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam lingkungan kuasa waktu, tempat dan soal - soal.10 Hukum kepolisian sendiri dibedakan menjadi 2, yaitu :

a) Hukum Kepolisian Materiil

Mengatur kepolisian sebagai fungsi, adalah kedudukan, fungsi kepolisian dalam pemerintahan, tugas, wewenang dan tanggung jawab.

b) Hukum Kepolisian Formil

Mengatur kepolisian sebagai organ yang menjalankan fungsi kepolisian, adalah struktur dan organisasi badan kepolisian, administrasi dan manajemen kepolisian.

Beberapa penulis telah melakukan pemetaan batas wilayah kajian hukum kepolisian, walaupun belum ada kesamaan namun dapat digunkan sebagai dasar pemikiran dalam memahami lingkup hukum kepolisian. Dapat dipetakan lingkup kajian hukum kepolisian, meliputi :

a. Hakekat Polisi

b. Dasar - dasar hukum umum yang mengatur kewenangan, kewajiban dan kekuasaan kepolisian

c. Dasar - dasar hukum yang mengatur kewenangan secara khusus.

Berpijak pada fungsi kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang POLRI, bahwa fungsi

10 Momo Kelana, Irjen Pol, “Memahami Hukum Kepolisian” PTIK Press, 2002

(5)

kepolisian meupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dapat dilihat bahwa hukum kepolisian berada dalam lingkup hukum administrasi, karena dilihat dari optik hukum administrasi.11

Berpijak pada konsep dasar hukum kepolisian yang merupakan bagian dari hukum administrasi, di mana hukum tata pemerintahan materiil dan formil, meliputi : hukum pemerintahan (pangreh-bestuurrecht), hukum peradilan (justitierecht), hukum kepolisian (politierecht), dan hukum (acara) perundang - undangan (regelaarrecht).12

Dengan demikian hukum kepolisian merupakan bagian dari hukum tata pemerintahan atau hukum administrasi, karena istilah hukum pemerintahan dalam perkembanganntya diberi prefensi dengan istilah hukum tata usaha, hukum tata usaha negara, hukum administrasi dan lain - lain.13

Dilihat dari pembagian hukum pemerintahan tersebut, maka kajian terhadap hukum kepolisian tidak bisa dipisahkan dengan hukum administrasi dan merupakan obyek yang saling terkait, karena makna menjalankan fungsi pemerintahan adalah menjalankan fungsi administrasi, sehingga asaas - asas hukum administrasi berlaku pula bagi asas hukum kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI.

11 Philipus M. Hadjon, Analisis terhadap RUU Administrasi Pemerintahan, disampaikan dalam Forum Sosialisasi RUU Administrasi Pemerintahan tanggal 15 Juni 2005 di Surabaya.

12 Van Vollenhoven dalam Kuntjoro Purbopranto, “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”, Bandung, 1981. Hlm. 15

13 Kuntjoro Purbopranto, “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”, Bandung, 1981. Hlm.13-14

(6)

3. Tugas dan Wewenang Kepolisian a) Tugas Kepolisian

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang POLRI. Tugas pokok POLRI dalam pasal 13 diklarifikasikan menjadi tiga, yakni : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Di dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, POLRI memiliki tanggungjawab terciptanya dan terbinanya suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah keadaan bebas dari kerusuhan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberi rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran norma - norma hukum.14

Selain tugas pokok kepolisian di atas, dalam penyelenggaraan kepolisian masih ada bagian tugas yang disebut tugas pembinaan, yakni tugas - tugas dalam rangka memberi bimbingan teknis maupun taktis dalam menjalankan fungsi kepolisian. Tugas pembinaan ini diberikan kepada lembaga - lembaga atau masyarakat potensial yang berdasarkan

14 Soebroto Brotodiredjo dalam R. Abdussalam, “Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Dinas Hukum Polri”, Jakarta, 1997. Hlm. 22

(7)

undang - undang diberikan tugas dan tanggugjawab menjalankan fungsi kepolisian, yang dalam istilah lain sebagai alat - alat kepolisian khusus.

Tugas - tugas alat kepolisian khusus tersebut ada persamaan dan perbedaannya dengan tugas - tugas yang diemban oleh POLRI, perbedaannya pada lingkup kewenangan yang terbatas pada bidang masing - masing, antara lain : penerangan dan penyuluhan; pencegahan dan penindakan. Dengan demikian tugas - tugas kepolisian yang diemban alat kepolisian khusus berdasarkan peraturan perundang - undangan dibidangnya dapat mencakup tugas - tugas pengawasan dan penyidikan dibidangnya masing - masing.

Namun demikian bagi alat kepolisian khusus yang menjalankan tugas - tugas penyidikan tetap di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang - undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yakni Penyidik sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undang - undang mempunyai wewenang sesuai dengan undang - undang yang menjadi dasar hukumnya dan dalam pelaksanaan tugas nya berada di bawa koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

b) Wewenang Kepolisian

Wewenang kepolisian dalam proses penyidikan diatur dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP, dimana karena kewajibannya mempunyai wewenang :

(8)

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahan, penggeledahan dan penyitaan.

Kewenangan dalam melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh penyelidik atau penyidik dengan syarat :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan

c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa e. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Tugas dan wewenang sebagaimana telah diuraikan di atas dilaksanakan tetap berdasarkan pada norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan dan kesusilaan, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta mengutamakan tindakan pencegahan.

4. Diskresi Kepolisian

Diskresi tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang yang melekat untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan

(9)

pertimbangannya sendiri dan tanggungjawab atas tindakan tersebut. Dalam suatu kekuasaan dan wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinannya lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.15

Dari penjelasan di atas, mensyaratkan tindakan dilakukan atas dasar hukum, walaupun pertimbangan hukum dikesampingkan dan lebih bersifat pada pertimbangan moral. Dengan demikian moral mendasari pertimbangan atas tindakan tersebut dilakukan, sehingga moral pejabat publik menjadi sangat menentukan tepat dan tidaknya tindakan yang dilakukan. Pengertian lain dari diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.16

Dari sini dapat disimpulkan secara khusus, bahwa diskresi adalah suatu wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan atas dasar penilaian dan pertimbangannya sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.

5. Pengawasan Kepolisian

Istilah pengawasan di kenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi, yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.17 Pengawasan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencegah berbagai tindakan dan penyalahgunaan wewenang yang sangat merugikan negara, dengan

15 Thoma J. Aaron dalam M. Faal, “Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian)”, PT.

Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 1991, Hlm. 16

16 Prayudi Admosudirdjo dalam R. Abdussalam, “Penegakan Hukum Di Lapagan Oleh Polri” Hlm. 25

17 Irfan Fachruddin, “Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah”, Alumni, Bandung, 2004. Hlm. 88

(10)

demikian untuk meningkatkan efesien dan efektifitas serta terselenggaranya sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengawasan.18

Pengawasan kepolisian dapat dilakukan dalam bentuk - bentuk pengawasan preventif dan pengawasan represif, selain itu masih ada beberapa bentuk pengawasan yang tidak dimasukkan.19 Pengawasan preventif, artinya pengawasan yang dilakukan sebelumnya untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang yang diberikan, dan Pengawasan represif, artinya pengawasan yang dilakukan kemudian karena telah ada indikasi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dicermati dari rumusan tugas dan wewenang kepolisian, kondisi yang memberi peluang besar untuk tindakan penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang - wenang dalam penyelenggaraan kepolisian, adalah tugas dan wewenangnya sebagai penegak hukum, dimana kepolisian selaku

“penyidik”, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf a dengan wewenangnya diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan pasal 14, pasal 15, pasal 16 dan pasal 17 Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang POLRI.

18 Hassan Suryono, “Hukum Tata Uaha Negara”, Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press, Solo, 2005. Hlm. 45

19 Lihat dalam Philipus M. Hadjon dkk, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law)”. Hlm. 75-76. Bentuk-bentuk pengawasan dan kontrol ada 10 yang terdiri dari : Pengawasan Represif, Pengawasan Preventif, Pengawasan yang positif, Kewajiban untuk memberitahu, Konsultasi dan perundingan, Hak banding administrasi, Dinas-dinas pemerintah yang didekonsentrasi, Keuangan, Perecanaan dan Pengangkatan untuk Kepentingan pemerintah pusat.

(11)

Oleh karena itu, tindakan dalam penyidikan perlu mendapatkan pengawasan atau kontrol yang ketat secara struktural maupun fungsional, walaupun telah ada kontrol melalui PraPeradilan, mengingat penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian adalah langkah awal dan pintu depan bagi seseorang pencari keadilan yang berkaitan dengan proses hukum pidana dan menjadi faktor terbentuknya opini masyarakat, sehingga penyidik dalam menjalankan tugasnya harus tetap berkonsentrasi pasa asas tujuan dibentuknya wewenang, yakni sebagai penegak hukum.

a. Lembaga Pengawasan 1. Pengawasan Internal

Pengawasan internal ini dilakukan oleh atasan yang mempunyai wewenang penuh, kewenangan terbatas maupun kewenangan sangat terbatas. Masing - masing atasan tersebut memiliki perasan sebagai pengawas dan pengendali terhadap bawahannya, sehingga pengawasan semacam ini disebut pengawasan melekat. Pengawasan melekat adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengendalikan atau menjamin dan mengarahkan agar sesuatu tugas dan pekerjaan berjalan dengan semestinya.20

2. Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga - lembaga di luar organisasi POLRI atau yang tidak

20 Suyamto, “Aspek - Aspek Pengawasan Di Indonesia”, Sinar Grafika, Cetakan Ke-tiga, Jakarta, 1994; dan lihat rumusan pasal 3 ayat (2) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1983

(12)

dalam kendali managemen organisasi. Lembaga - lembaga pengawas eksternal yang dimaksud adalah :

a) Badan Pengawas Keuangan (BPK), lembaga ini berkaitan dengan penggunaan APBN yang diserahkan kepada POLRI untuk pendanaan operasional dan pembinaan kepolisian.

b) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini difokuskan pada indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan oleh anggota POLRI.

c) Lembaga Independen : Lembaga - lembaga ini didirikan oleh masyarakat, intelektual dan lain - lain yang difokuskan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga pemerintahan termasuk kepolisian.

d) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga ini sebagai pengawas khususnya berkaitan dengan penyelenggaraan kepolisian yang dinilai melakukan tindakan melanggar norma - norma Hak Asasi Manusia.

e) Lembaga Peradilan, Pengawasan ini juga disebut sebagai pengawas legalitas, artinya menilai dari segi hukumnya atas komplain masyarakat karena akibat tindakan kepolisian.

Pengawas ini terdiri dari Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

(13)

6. Hukum Disiplin Kepolisian

Disiplin Polri merupakan sikap perilaku anggota POLRI dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan yang sungguh - sungguh terhadap norma atau kaidah yang berlaku di masyarakat, baik norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan maupun norma hukum. Disiplin anggota POLRI mencerminkan ke dalam sikap tindak, perilaku atau perbuatan dan tutur kata bangi anggota POLRI dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai anggota POLRI, yakni dalam memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat serta penegak hukum.21

a. Kewajiban Anggota POLRI

Kewajiban - kewajiban anggota POLRI dalam menaati peraturan disiplin POLRI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republin Indonesia pada Pasal 4 adalah sebagai berikut :

a) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik - baiknya kepada masyarakat.

b) Menaati sumpah / janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

c) Bersikap dan bertingkah laku sopan terhadap masyarakat.

d) Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

21 Sadjijno ”Memahami Hukum Kepolisian”, Laksbang Pressindo, Yogyakkarta, 2010. Hlm. 199

(14)

b. Larangan - larangan Anggota POLRI

Beberapa larangan yang harus tidak dilakukan oleh setiap anggota POLRI menurut Peraturan Disiplin Anggota POLRI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republin Indonesia pada Pasal 6 , dirumuskan

a) Membocorkan rahasia operasi kepolisian;

b) Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;

c) Menghindarkan tanggung jawab dinas;

d) Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;

e) Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;

f) Memanipulasi perkara;

g) Menyalahgunakan wewenang

h) Bertindak sewenang - wenang terhadap bawahan

i) Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani.

c. Sanksi Pelanggaran Disiplin POLRI

Terhadap suatu pelanggaran disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI, memiliki 2 jenis sanksi, yakni sanksi tindakan disiplin dan/atau sanksi hukuman disiplin.

(15)

Sanksi tindakan disiplin dijatuhkan dapat berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik, di mana saknsi tersebut dijatuhkan secara spontan pada saat itu juga yang diketahui oleh anggota POLRI. Sanksi tindakan disiplin ini dapat dijatuhkan oleh atasan langsung maupun atasan tidak langsung oleh anggota Provos POLRI sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya.

Disisi lain, sanksi hukuman disiplin, unsur dan mekanisme penjatuhan hukumannya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), yang karena wewenangnya menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya, sedangkan atasan Ankum adalah atasan langsung dari Ankum.

Sanksi hukuman disiplin menurut pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI, berupa :

a) Teguran tertulis

b) Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 tahun c) Penundaan naik gaji berkala

d) Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun e) Mutasi yang bersifat demosi

f) Pembebasan dari jabatan

g) Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 hari.

Dari tujuh jenis sanksi hukuman disiplin di atas dapat juga dijatuhkan secara alternatif dan komulatif. Dijathkan secara alternatif artinya

(16)

memilih salah satu sanksi hukuman yang sesuai berdasarkan keadilan, dan komulatif artinya dapat dijatuhkan lebih dari satu sanksi hukuman berdasarkan keadilan dan setara dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan.

C. Tinjauan Tentang Penyidik dan Penyidikan 1. Pengertian Penyidikan

Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap - tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya.22

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan denga adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.23

Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar dapat ditemukan tersangka. 24 Definisi lain menyebutkan bahwa pengertian penyidikan adalah usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu

22 Hibnu Nugroho, “Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Media Aksara Prima, Jakarta, 2012. Hlm. 67

23 Ali Wisnubroto, “Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana)”, Jakarta, PT. Galaxy Puspa Mega, 2002. Hlm. 16

24 Hibnu Nugroho, “Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Media Aksara Prima, Jakarta, 2012. Hlm. 1

(17)

tindakan pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.25

Tahap penyidikan terhadap suatu perkara biasanya dilakukan setelah penyidik mengetahui adanya suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Disamping itu, penyidikan juga akan dimulai apabila penyidik menerima laporan ataupun pengaduan tentang dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana.

Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik, yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang dijelaskan Pasal 1 butir (1) Kitab Undang - Undang Hukum Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.26

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana. Dari pengertian tersebut, maka bagian - bagaian dari hukum acara pidana yang menyangkut tentang penyidikan adalah ketentuan tentang alat - alat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, pemeriksaan di tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau dakwa, penahanan sementara, penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyitaan, penyampingan perkara, pelimpahan perkara kepada penuntun umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.

25 Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 3, Universitas Jendral Soedirman Fakultas Hukum, Purwokerto, Juli 2010. Hlm. 10

26 M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Hlm. 112

(18)

2. Proses Penyidikan

Dalam proses penyidikan, penyidik telah menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadi suatu tindak pidana, maka ia melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP).27 Berdasarkan Pasal 75 KUHAP, hasil pemeriksaan di TKP dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan.

Pada berita acara dimuat segala sesuatu yang dilihat, dialami atau didengar.

Berita Acara Pemeriksaan di TKP merupakan alat bukti yang sah, yakni

“surat”.28 Setelah Berita Acara Pemeriksaan di TKP dibuat, selnajutnya penyidik membuat Berita Acara Pemeriksaan Saksi Pelapor atau Saksi Pengadu. Setelah itu penyidik atau penyidik pembantu dapat membuat

“rencana penyidikan” yang mencakup “jadwal” dan “kegiatan”.

Dalam proses penyidikan, pada saat pemeriksaan saksi - saksi pada prinsipnya semua orang dapat menjadi saksi dan merupakan suatu kewajiban jika dipanggil oleh penyidik yang diberi kewenangan, hal ini berdasarkan Pasal 112 KUHAP. Untuk itu penyidik menerbitkan surat panggilan dengan mencantumkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang waktu. 29 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alamai sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

27 Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara (Penyelidikan dan Penyidikan)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 80

28 Ibid. Hlm. 81

29 Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara (Penyelidikan dan Penyidikan)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 82

(19)

Keterangan saksi tidak perlu harus mengenai semua kejadian. Sebagian dari kejadian / peristiwa tersebut asal dilihat sendiri atau didengar atau dialami sendiri, merupakan keterangan saksi. Keterangan saksi diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun.30 Dalam pemeriksaan saksi, penyidik hars memperhatikan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap para saksi perlu menyadari bahwa keterangan saksi yang akan diberikan kemungkinan dapat membantunya. Dengan kesadaran demikian, harus dicegah perilaku penyidik yang menyudutkan saksi.

Keterangan ahli merupakan urutann kedua sebagai alat bukti yang sah sebagaimana tercantum pada Pasal 184 KUHAP.31 Pendapat ahli merupakan pendapat orang yang memiliki keahlian khusus yang memberi keterangan dengan mengangkat sumpah kecuali jabatannya mewajibkannya menyimpan rahasia. Ini tidak berarti bahwa ahli lain dalam pembuktian tidak diperlukan.

Seorang ahli dapat memberikan keterangan berbentuk tertulis yang dapat digunakan sebagai alat bukti surat. Ahli tersebut dapat dipergunkan sebagai saksi jika memberi keterangan di dalam sidang.32

Berdasarkan PAsal 118 Ayat (1) KUHAP yang merupakan petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

30 Ibid. Hlm. 84

31 Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara (Penyelidikan dan Penyidikan)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 88

32 Ibid. Hlm. 92

(20)

Petunjuk - petunjuk itu pada hakekatnya dimaksud kesimpulan - kesimpulan yang diambil oleh Hakim dari suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti hingga menjalankan suatu kejadian atau keadaan yang tidak terbukti.33

Selanjutnya adalah mengenai penyitaan, arti dari penyitaan dicantumkan pada Pasal 1 butir 16 yang berbunyi “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak dan atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”. Penyitaan tersebut dapat dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara RI, PPNS, Komandan Sektor (Dansek), Penyidik pembantu, dan Penyidik berdasarkan Undang - Undang tertentu yang dapat dilakukan pada tahap penuntutan bahkan pada pemeriksaan di persidangan, dapat dolakukan berdasarkan Penetapan Pengadilan.

Untuk melakukan penyitaan, penyidik mengajukan permintaan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Permintaan izin penyitaan tersebut dilampiri resume dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehingga jelas hubungan langsung barang yang akan disita dengan tindak pidana yang sedang disidik.34

Selanjutnya adalah mengenai penggeledahan. Penggeledahan terdiri dari penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Baik penggeledahan rumah maupun penggeledahan badan hanya dapat dilakukan penyidik. Khusus untuk penggeledahan badan hanya dapat dilakukan atas diri tersangka.35

33 Tirtaamidjaja, “Kedudukan Hakim dan Jaksa”, Fasco, Jakarta, 1995. Hlm. 92

34 Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara (Penyelidikan dan Penyidikan)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 95

35 Ibid. Hlm. 106

(21)

Dalam proses penyidikan di dalamnya juga termasuk penangkapan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP, yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang - undang ini. Berdasarkan Pasal 17 KHUAP perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP, dapat dilakukan paling lama satu hari.

Selain itu, dalam proses penyidikan juga terdapat penahanan. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP diatur bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menibulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan ini tidak hanya dilakukan pada proses penyidikan saja tetapi juga saat proses penuntutan dan pemeriksaan perlara di pengadilan, sehingga yang memiliki wewenang untuk melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim.

Tenggang waktu penahanan ini berdasarkan KUHAP berbeda - beda tiap tingkatan. Pada proses penyidikan berdasarkan Pasal 24 KUHAP adalah selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 40 hari apabila proses

(22)

pemeriksaan belum selesai. Jenis penahanan ada tiga yaitu penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota.

Berikut adalah bagian - bagain hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat - alat penyidik

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik 3. Pemeriksaan di tempat kejadian

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa 5. Penahanan sementara

6. Penggeledahan

7. Pemeriksaan atau intrograsi 8. Berita acara

9. Penyitaan

10. Penyimpangan perkara

11. Pelimpahan perkata kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

3. Prinsip - Prinsip Penyidikan

KUHAP dalam melakukan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana menganut prinsip akuisator, ini artinya tersangka selama mengikuti proses penyidikan kedudukannya ditempatkan sebagai subjek bukan sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akuisator menempatkan kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan.36

36 Oemar Seno Adji, “Mass Media & Hukum”, Erlangga, Jakarta, 1977. Hlm. 14

(23)

a) Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena ini tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri.

b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka atau terdakwa, ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.

Sebelum menggunakan prinsip akuisator, dahulu penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemeriksaan menempatkan tersangka sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang - wenang. Hal ini dinamakan dengan prinsip inkuisator. Dalam inkuisator terdakwa tidak diberikan sama sekali hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka untuk membela diri dan mempertahankan kebenarannya.

Selanjutnya prinsip akuisator, di mana seorang tersangla atau terdakwa wajib di dengar keterangannya, di mana tersangka atau terdakwa dijadikan subjek pemeriksaan, dan tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk mencari dan mendapatkan hak - hak yang ia miliki. Masalah teknis pemeriksaan berada diluar jangkauan, karena itu termasuk dalam ruang lingkup ilmu penyidikan kejahatan. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik adalah tersangka, maka oleh karena itulah dapat diperoleh sebuah keterangan mengenai peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

Akan tetapi sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan prinsip akuisator. Dimana tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat, ia

(24)

harus dinilai sebagai subjek dan bukan sebagai objek, yang diperiksa bukanlah manusianya sebagai tersangka tapi perbuatan tindak pidananya.37 4. Pengertian Penyidik

Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana membedakan antara penyidik dan penyelidik. Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, disebutkan bahwa penyidik merupakan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang - Undang untuk melakukan penyidikan.38

Pejabat polisi dalam Pasal 1 KUHAP, bukan berarti semua pejabat Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang dapat menjadi penyidik. Penyidik terdiri dari polisi negara dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang - Undang, sedangkan penyelidik hanya terdiri dari polisi negara saja.39

Dalam Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara republik Indonesia Pasal 1 ayat (8) menyebutkan pengertian penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara republik Indonesia yang diberi wewenanag khusus oleh undang - undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian pada ayat (9) menyatakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan undang - undang ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk

37 M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Hlm. 134

38 Bawengan Gerson W, “Penyidikan Perkara Pidanan Dan Teknik Interogasi”, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988. hlm. 16

39 Hamzah Andi, “Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Hlm. 74

(25)

melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang - undang yang menjadi dasar hukumnya masing - masing.

5. Tugas dan Wewenang Penyidik

Tugas penyidik adalah melaksanakann penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti guna membuat terang tindak pidana dan mengetahui pelakunya.40 Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik harus memperhatikan dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.41 Penyidik dituntut untuk selalau menjunjung tinggi hukum dan bertindak sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku.42

Kewenagan penyidik, berdasarkan pasal 7 KUHAP, maka penyidik berwenang :

a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan

e) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang betanggungjawab.

Di dalam rumusan Pasal 7 ayat 1 tersebut disampaikan bahwa penyidik memiliki wewenang tersebut karena kewajibannya. Klausa demikian itu

40 Ibid. Hlm. 120

41 Yudowidago Hendrastanto, Kesuma Anang Suryanata, Adji Sutio Usaman dan Ismunarto Agus, “Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia”, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Hlm. 99

42 Ibid. Hlm. 103

(26)

menunjukan bahwa lahirnya wewenang tersebut karena adanya kewajiban, sehingga wewenang tersebut di atas juga merupakan kewajiban.43

D. Tinjauan Tentang Kode Etik dan Pelanggaran Kode Etik 1. Pengertian Kode Etik

Kode Etik adalah norma - norma yang mengatur tingkah laku seseorang yang berada pada lingkungan tertentu.44 Etika menurut etimologi (cabang ilmu tentang bahasa (linguistik) yang mempelajari asal usul atau perubahan dan pembentukan kata) berasal dari bahasa latin “ethic” yang mempunyai arti kebiasaan.45

Menurut arti lain, kode etik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas - batas sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.46 Selain itu, kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.

Pengertian kode etik lainnya adalah suatu aturan yang tertulis, secara sistematis dengan sengaja di buat, berdasarkan prinsip - prinsip moral yang ada serta ketika di butuhkan bisa di fungsikan sebagai alat yang dapat digunakan menghakimi berbagai macam dari tindakan yang pada umumnya dinilai menyimpang dari kode etik yang ada.

Kaidah atau norma itu sebenarnya merupakan pelembagaan atau institusionalisasi nilai - nilai yang diidealkan sebagai kebaikan, keluhuran dan

43 Bambang Waluyo, “Pidana dan Pemidanaan”, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm. 50

44 Ali Imron, “Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah”, Bumi Aksara, Jakarta, 2012. Hlm. 163

45 M. Sholihin, dkk, “Akhlak Tasawuf : Manusia Etika dan Makna Hidup”, Penerbit Nuansa, Bandung, 2003.

Hlm. 29

46 Ahmad Faizur Rosyad, “Mengenal Alam Suci : Menapak Jejak Al-Ghozali Tasawu, Filsafat dan Tradisi”, Kutub, Yogyakarta, 2004. Hlm. 94

(27)

bahkan kemuliaan berhadapan dengan nilai - nilai yang dipandang buruk, tidak luhur atau tidak mulia.47 Nilai baik dan buruk adalah sebuah cerminan pribdi setiap manusia dalam melaksanakan aktifitasnya sehari - hari dalam pergaulan dengan orang lain.

Kode etik profesi adalah sistem norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional Kepolisian. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Tujuan kode etik yaitu agar profesional memberikan pelayanan sebaik - baiknya kepada pemakai atau orang yang dilayani. Adanya kode etik profesi ini akan melindungi seseorang akibat perbuatan yang tidak profesional. Salah satu contoh seseorang datang ke kantor polisi untuk mengadu, polisi dengan ini harus melayani dengan seksama sesuai dengan Sistem Operasional Prosedur Etika Kepolisian.

Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik profesi adalah suatu tuntunan bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam praktik.48

47 Jimly Asshiddigie, “Peradilan Etika dan Etika Konstitusi”, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Hlm. 49

48 Pudi Rahardi, “Hukum Kepolisian (Kemandirian, Profesionalisme dan Reformasi POLRI)”, Laksbang Grafika, Surabaya, 2014. Hlm 156.

(28)

Kode etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda pedoman etis dalam melakukan tugas kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berprilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik - baiknya kepada masyarakat. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.

2. Pengertian Kode Etik Kepolisian

Dalam kaitannya dengan kepolisian, pengertian kode etik profesi POLRI adalah norma - norma atau aturan - aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan prilaku maupun ucapan mengenai hal - hal yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan oleh anggota POLRI dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan.49

Organisasi kepolisian, sebagaimana organisasi pada umumnya, memiliki

“etika” yang menunjukan perlunya bertingkah laku sesuai dengan peraturan - peraturan dan harapan yang memerlukan “kedisiplinan” dalam melaksanakan tugasnya sesuai misi yang diembannya selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab.

Rangkuman etika POLRI telah dituangkan dalam pasal 34 dan 35 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pasal - pasal tersebut mengamanatkan agar

49 Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011

(29)

setiap anggota POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian bhayangkara negara seutuhnya.

Mengabdikan dirinya sebsgai alat negara penegak hukum, yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, serta diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis tinggi, oleh karena itu setiap anggota POLRI harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian dalam sikap dan perilakunya.50

Tujuan dibuatnya kode etik POLRI yaitu berusaha meletakkan etika kepolisian secara proposional dalam kaitannya dengan masyarakat. Sekaligus juga bagi polisi berusaha memberikan bekal keyakinan bahwa internalisasi etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, hal tersebut merupakan sarana untuk :51

1. Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.

2. Mencapai sukses penugasan.

3. Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar, membentuk partisipasi masyarakat.

4. Mewujudkan polisi yang profesional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.

50 Wik Djatmika, “Etika Kepolisian (Dalam Komunitas Spesifik Polri)”, Jurnal Studi Kepolisian, STIK-PTIK, Edisi 075. Hlm. 21

51 Wawan Tunggul Alam, “Memahami Profesi Hukum : Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal”, Milenia Populer, Jakarta. Hlm. 67

(30)

3. Pengertian Pelanggaran Kode Etik

Pengertian pelanggaran adalah suatu perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari perbuatan melawan hukum.52 Definisi lain menyebutkan pelanggaran adalah Politis-on Recht, yang artinya adalah perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara.53 Adapun unsur - unsur dari suatu pelanggaran yaitu :

1. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan perundang - undangan 2. Menimbulkan akibat hukum

Kode etik adalah prinsip - prinsip moral yang melekat pada suatu profesi dan disusun secara sistematis. Ini berarti, tanpa kode etik yang sengaja disusun secara sistematis itupun suatu profesi tetap bisa berjalan karena prinsip - prinsip moral tersebut sebenarnya sudah melekat pada profesi tersebut.

Meskipun demikian, kode etik menjadi perlu karena jumlah penyandang profesi itu sendiri sudah demikina banyak, disamping itu tuntutan masyarakat juga makin bertambah komplek. Pada titik seperti ini organisasi profesi mendesak untuk dibentuk.54

Dari penjelsan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa pelanggran kode etik profesi merupkan pelanggran yang dilakukan oleh sekelompok profesi yang tidak mencerminkan atau tidak manaati peraturan yang telah di

52 Wirjono Prodjodikoro, “Asas - Asas Hukum Pidana”, Refika Aditama, Bandung, 2003. Hlm. 33

53 Bambang Poernomo, “Dalam Asas - Asas Hukum Pidana”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Hlm. 40

54 Shidarta, “Moralitas Profesi Hukum”, Refika Aditama : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Cet Ke 2, Bandung, 2002. Hlm. 107-108

(31)

buat serta tidak memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu suatu profesi di mata masyarakat.

Pelanggaran kode etik POLRI adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota POLRI yang bertentangan dengan kode etik profesi POLRI.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran kode etik oleh anggota POLRI, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya pengasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidak patuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya.55

Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik maka telah ada prosedur tersendiri untuk penyelesaian pelanggaran kode etik di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Penyelesaian pelanggaran kode etik dilakukan melalui sidang kode etik oleh Komisi Kode Etik Polri (KEPP). KEPP menurut Perkap Polri Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu wadah yang dibentuk di lingkungan POLRI yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggara KEPP berupa menyatakan bahwa pelanggar terbukti secara sah dan meyakinkan telah terjadi pelanggran KEPP atau tidak terbukti melakukan pelanggaran KEPP. Dalam hal ini terjadi pelanggaran kode etik, maka berasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) Perkap Polri Nomor 19 Tahun 2012 akan menerima sanksi berupa sanksi etika dan sanksi administratif.

55 Dwi Haryadi, “Kode Etik Profesi Hukum”, http://www.uub.ac.id, diakses 19 November 2016.

(32)

Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia guna pemuliaan profesi kepolisian.

4.Ruang Lingkup dan Bentuk - Bentuk Pelanggaran Kode Etik Kepolisian

Pelanggaran kode etik profesi anggota Kepolisian Republik Indonesia dapat dinilai berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ruang lingkup etika profesi POLRI mencakup :

a. Etika Kenegaraan

Etika kenegaraan aadalah sikap moral anggota POLRI terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kebinekatunggalikaan.

Etika kenegaraan memuat pedoman berprilaku anggota POLRI dalam hubungan :56

a) Tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b) Pancasila.

c) Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 d) Kebinekatunggalikaan.

56 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 5 huruf a.

(33)

b. Etika Kelembagaan

Etika kelembagaan adalah sikap moral anggota POLRI terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya sesuai dengan nilai - nilai yang terkandung dalam Tribata (pedoman hidup POLRI) dan Catur Prasetya (pedoman kerja POLRI).

Etika kelembagaan memuat pedoman prilaku anggota POLRI dalam hubungan :57

a) Tribrata sebagai pedoman hidup.

b) Catur prasetya sebagai pedoman kerja c) Sumpah janji anggota POLRI.

d) Sumpah janji jabatan.

e) Sepuluh komitmen moral pada perubahan pola pikir.

c. Etika Kemasyarakatan

Etika kemasyarakatan adalah sikap moral anggota POLRI yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.

Etika kemasyarakatan ini memuat pedoman berprilaku anggota POLRI dalam hubungan :58

a) Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

b) Penegakan hukum.

57 Ibid. Huruf b

58 Ibid. Huruf c

(34)

c) Pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

d) Kearifan lokal, antara lain gotong royong, kesetiakawanan dan toleransi.

d. Etika Kepribadian

Etika kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan anggota POLRI dalam kehidupan beragama, kepatuhan, ketaatan dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Etika kepribadian memuat pedoman berprilaku anggota POLRI dalam hubungan :59

a) Kehidupan beragama.

b) Kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum.

c) Sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Keempat etika tersebut di atas tentunya akan menimbulkan kewajiban dan larangan bagi anggota POLRI, di mana pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan itu akan menimbulkan sanksi atau hukuman setelah melalui tahapan proses penegakan kode etik profesi POLRI.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan - tindakan berupa :60

1. Bertutur kata kasar dan bernada marah

2. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas

59 Ibid. Huruf d

60 Yanius Rajalahu, “Penyelesaian Pelanggaran KOde Etik Profesi Oleh Kepolisian Republik Indonesia”, Lex Crimen, Vol. II No. 2, 2013. Hlm. 151.

(35)

3. Bersikap mencari - cari kesalahan masyarakat

4. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan atau pertolongan 5. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat

6. Melakukan perbuatan yang dirsakan merendahkan martabat perempuan 7. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

5.Penegakan Dalam Hal Terjadinya Pelanggaran Kode Etik Kepolisian Apabila terjadi pelanggaran atas kode etik profesi Polri maka dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Kapolri berdasarkan Pasal 35 Undang - Undang Polri yang menyebutkan pelanggaran atas kode etik profesi oleh pejabat Polri dioeriksa oleh Komisi Kode Etik Polri. Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa polisi merupakan sebuah profesi yang diikat atau tunduk pada kode etik profesi yang diterbitkan oleh institusi Polri. Pelanggaran terhadap kode etik tersebut membawa konsekuensi akan diadili oleh sebuah komisi kode etik profesi. Dengan demikian sebagai sebuah profesi maka setiap pajabat polri wajib memiiki profesionalisme dalam menjalankan tugas dan kewajiban.

Kode etik profesi Polri untuk pertma kali ditetapkan oleh kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Skep/213/VII/1985, yang kemudian diubah dengan keputusan Kapolri No. Pol:Kep/05/III/2001, tanggal 7 Maret 2001, yang berisi buku petunjuk administrasi bagi komisi kode etik profesi Pori.61 Terakhir diatur dengan peraturan Kapolri No 7 Tahun 2006. Setiap pelanggaran terhadap kode etik profesi polri dikenakan sanksi moral yang

61 Keputusan Kapolri Nomor V Tahun 2001 Tentang Petunjuk Administrasi Bagi Komisi Kode Etik Profesi Polri

(36)

diberikan dalam bentuk putusan sidang komisi secara tertlis kepada terperiksa.

Sanksi moral tersebut dapat berupa pernyataan putusan yang menyatakan tidak terbukti atau peryataan putusan yang menyatakan terperiksa terbuktu melakukan pelanggara kode etik.62

Upaya penegakan disiplin dan kode etik kepolisian sangat dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebeankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak hukum sendiri tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidak disiplinan dan ketidak profesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat.

62 Pudi Rahardi, “Hukum Kepolisian”, Cet 1, Lakbang Mediatama. Surabaya, 2007. Hlm. 205.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut MC Maryati (2007:148) dalam menyusun ruangan untuk kerja perkantoran, ada beberapa tujuan yang perlu dicapai, baik secara fungsional yang berhubungan dengan

Oleh karena itu, obat-obatan perlu dilakukan kontrol kualitas secara rutin yang melibatkan analisis kimia dan mikrobiologi untuk memastikan bahwa obat-obatan

Secara konsep, asosiasi bisnis memiliki peran pengawasan dan penilaian terhadap perusahaan anggotanya, sehingga dengan adanya upaya pengawasan maupun

Dalam hal tindak pidana narkotika, dengan dasar hukum UU No 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika yang mana dalam melaksanakan tindakan penyidikan ialah tidak hanya dari pihak

Keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau suami istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kehamilan yang tidak diinginkan,

Pengawasan menurut Kadarisman (2013:171) mengemukakan : “Pengawasan adalah fungsi di dalam manajemen fungsional yang harus dilaksanakan oleh setiap pimpinan semua

Oriented Strand Board (OSB) merupakan papan yang diproduksi untuk penggunaan struktural terbuat dari untaian (strand) kayu yang sengaja diorientasikan secara

Penyakit bawaan makanan atau keracunan makanan yang ditimbulkan akibat adanya kontaminasi makanan dan minuman oleh mikroba perlu mendapat perhatian secara seksama, karena