• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Bahasa Dalam Konteks Sosial

Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.

Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Hal yang sama berlaku pula bagi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia lebih-lebih lagi bagi para penutur asing berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

Di dalam masyarakat atau suatu komunitas tertentu, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain, tetapi merupakan anggota

(2)

kelompok sosial. Oleh sebab itu bahasa dan pemakaiannya tidak saja diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatan masyarakat. Dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial.

Di dalam pemakaiannya, bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor non linguistik. Faktor-faktor non linguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa, antara lain ialah faktor sosial dan faktor situsional. Adanya kedua faktor ini dalam pemakaian bahasa menimbulkan variasi bahasa, yaitu bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola umum bahasa induknya.

Setiap penutur mempunyai sifat-sifat yang khas yang tidak dimiliki oleh penutur lain. sifat khas seperti ini disebabkan oleh faktor fisik dan psikis. Sifat-sifat khas yang disebabkan oleh faktor fisik, misalnya karena perbedaan watak dan tempramen, intelegensi dan sikap mental lainnya. Baik sifat khas karena faktor fisik maupun karena faktor psikis mengakibatkan sifat khas pula dalam tuturannya. Sifat khas dalam tuturan seseorang yang berbeda dengan orang lain dikenal dengan istilah idiolek.

Berbahasa pada hakikatnya adalah berkomunikasi. Berkomunikasi berarti menyampaikan pesan dari satu pihak kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa. Untuk itu, agar komunikasi yang dilakukan dapat berlangsung secara efektif dan efisien, dalam arti baik dan benar, penutur bahasa selain perlu memiliki pengetahuan tentang kaidah bahasa, seperti tata bahasa, sistem bunyi, dan leksikon, juga perlu

(3)

mengetahui berbagai aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat yang bahasannya dipelajari.

Troike (1982 : 25) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif tidak hanya mencakup pengetahuan tentang bahasa, tetapi juga mencakup kemampuan menggunakan bahasa itu sesuai dengan konteks sosial budayanya. Jadi, kompetensi komunikatif itu tidak hanya berisi pengetahuan tentang masalah kegramatikalan suatu ujaran, tetapi juga berisi pengetahuan tentang patut atau tidaknya suatu ujaran itu digunakan menurut status penutur dan pendengar, ruang dan waktu pembicaraan, derajat keformalan, medium yang digunakan, pokok pembicaraan, dan ranah yang melingkupi situasi pembicaraan itu.

Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa faktor-faktor sosial budaya yang menjadi konteks penggunaan bahasa merupakan hal yang perlu diketahui oleh para pembelajar bahasa agar mereka dapat berkomunikasi secara baik dan benar dalam situasi yang sebenarnya.

Bahasa dan konteks sosial (masyarakat/komunitas) dipelajari melalui sosiolingustik. Sosiolingustik merupakan cabang ilmu linguistik bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan obyek penelitian tentang hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.

Kebutuhan akan sosiolingustik makin terasa setelah menghadapi berbagai masalah kebahasaan. Masalah ini timbul karena disamping studi bahasa cenderung bersifat multidispliner, juga karena adanya kenyataan bahwa bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan masyarakat pemakainya.

(4)

2.1.2. Kontak Bahasa dan Kedwibahasaan 2.1.2.1. Kontak Bahasa

Weinreich (1968) menyatakan bahwa dalam penelitian terkini, dua bahasa atau lebih dikatakan mengalami kontak, jika kedua bahasa tersebut digunakan secara bergantian oleh seorang penutur. Praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian ini disebut bilingualisme atau kedwibahasaan, sedangkan orang yang melakukan praktik ini disebut bilingual atau dwibahasawan.

Menurut Apeltauer (2001:17), kedwibahasaan bukanlah suatu keadaan yang statis. Semakin banyak bahasa asing yang telah dipelajari seseorang, semakin besar pula usaha yang harus dilakukan untuk menjaga keterampilan tersebut. Penguasaan dwibahasawan atas lebih dari satu bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dari kaidah-kaidah suatu bahasa dalam tuturan dwibahasawan yang disebut sebagai fenomena interferensi .

Those instance of deviation from the norms of either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact, will be referred to as INTERFERENCE pheonomena.

Weinreich (1968) juga mengatakan bahwa interferensi harus dilihat secara luas tanpa kualifikasi perbedaan tingkatan antara dua bahasa. Dengan demikian, dua system yang berinterferensi dapat saja berupa bahasa, dialek bahasa yang sama, atau bahkan variasi dari dialek yang sama. Semakin besar perbedaan antara dua system tersebut, maka semakin besar tingkat kesulitan untuk mempelajari sistem tersebut dan potensi terjadinya interferensi.

(5)

Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut saling kontak. Terjadinya peristiwa saling kontak ini karena penutur mampu menguasai dan bahasa atau lebih sehingga di dalam komunikasi dia dapat menggunakan bahasa yang diketahuinya.

Rohmana (2000 : 13) mengambil dari Mackey (1977 : 554) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung. Ia membedakan antara kontak bahasa dan kedwibahasaan, yaitu bahwa kontak bahasa cenderung merupakan gejala bahasa, sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung kepada gejala tuturan. Hal ini berarti bahwa kedwibahasaan terjadi akibat dari kontak bahasa.

Suwito (1985 : 39) mengemukakan bahwa kontak bahasa terjadi dalam situasi kontak sosial, yaitu situasi dimana seseorang belajar bahasa kedua didalam masyarakatnya. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa kontak bahasa menyebabkan adanya pengaruh terhadap bahasa pertama yang dimiliki dwibahasaan.

Berdasarkan pandangan di atas, jelaslah bahwa kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan bahasa. Peristiwa ini mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam kontak sosialnya. Fenomena semacam ini terjadi pula dalam wujud kedwibahasaan campur kode.

2.1.2.2. Kedwibahasaan

Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa menurut Uriel Weinreich dalam “Languages in Contact” (1974:1), mendefenisikan kedwibahasaan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih (oleh seseorang) secara

(6)

bergatian. Artinya, Weinrech tidak menekankan pada kemahiran dan kemampuan yang sama baiknya dalam kedua bahasa.

Weinreich (1974:9-10) juga menjelaskan bahwa menurut tingkat kedwibahasaannya, kedwibahasaan terbagi menjadi tiga.

1. Kedudukan Koordinat

Kedwibahasaan koordinat adalah kedwibahasaan yang terbentuk jika seseorang menguasai bahasa atau lebih sebagai suatu sistem yang terpisah. Dalam penggunaannya, kedua bahasa jarang sekali dipertukarkan. Hal ini terjadi karena misalnya bahasa pertama yang dikuasai penutur diperoleh di rumah, sedangkan bahasa kedua dipelajari melalui jalur pendidikan formal. Pada tingkat ini, penurut akan berbicara seperti penutur aslinya karena penggunaan bahasa kedua bukan merupakan suatu terjemahan dari bahasa pertamanya.

2. Kedwibahasaan Majemuk

Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang terbentuk apabila seseorang menguasai dua bahasa atau lebih sebagai suatu sistem yang terpadu. Kedwibahasaan majemuk ini tampak apabila seseorang mempelajari dua bahasa di dalam konteks sosial yang sama, misalnya di rumah arena orang tuanya menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian dan terus menerus. Jika sedang bercakap-cakap, seorang penutut dwibahasa manjemuk sering kali mengacaukan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya.

(7)

3. Kedwibahasaan Subordinat

Kedwibahasaan subordinat adalah kedwibahasaan yang berbentuk apabila seseorang menguasai dua bahasa sebagai suatu sistem yang terpisah, tetapi masih terdapat proes penerjemahan dari bahasa pertama (BI) ke bahasa kedua (B2). Jadi, bagi penutur kedwibahasa subordinat, bahasa kedua digunakan dengan cara menerjemahkan suatu ungkapan dari bahasa pertamanya terlebih dahulu. Kedwibahasaan subordinat banyak ditemukan pada orang-orang yang masih berada dalam tahap belajar kedua khususnya pada tahap belajar bahasa asing di sekolah. Pada tingkat kedwibahasaan ini, seseorang akan mengalami kesulitan dalam menggunakan dan mengerti bahasa kedua karena ia masih dipengaruhi bahasa pertamanya.

2.1.3. Sikap Bahasa

Chaer (1995 : 2000) membagi sikap bahasa atas dua macam yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut keyakinan mengenai bahasa. Dengan demikian, sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara terentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sikap terhadap bahasa bisa positif dan bisa negatif.

Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 1995 : 201) menyebutkan tiga ciri pokok dari sikap bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (language loyality), yang mendorong

(8)

masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain (2) kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan bahasana dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun ; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatna menggunakan bahasa (language use). Ketiga ciri yang dikemukakan di atas merupakan ciri-ciri positif terhadap bahasa. Sebaliknya, kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melema dari diri seseorang atau diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri orang atau kelompok itu.

Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa. Fishman, misalnya, mengkaitkan penggunaan bahasa semacam itu dengan Who speaks What language to Whom and When (1972:244). Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor non-kebahasaan seperti: partisipan, topik pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud (1972:35).

Gagasan dari kedua ahli itu sebenarnya mengandung maksud yang mirip. Kemiripan itu dapat diilustrasikan sebagai berikut. Ungkapan who speaks (penutur) dan to whom (lawan tutur) menyaran pada orang yang melakukan speech act; keduanya disebut partisipan. What language menyaran pada pemilihan bahasa yang

(9)

dilakukan oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembicaraan. Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu (dari sejumlah bahasa yang dikuasainya) karena topik pembicaraannya lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu. Pemilihan bahasa juga dipengaruhi oleh waktu dan suasana (Fishman menyebut when) dan setting. (Menurut Pride dan Holmes, setting merujuk pada waktu dan tempat).

Penggunaan bahasa-bahasa (setidak-tidaknya dua bahasa) secara berselang-seling dapat ditanggapi dari perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa. Penggunaan dua bahasa atau lebih (gandabahasa atau multibahasa) secara berselang seling semacam ini menimbulkan fenomena alih-kode. Menurut Istiati Soetomo (1985), tindak berbahasa yang ideal adalah bahwa bila seseorang berbahasa, maka bahasa yang digunakan adalah satu bahasa (dari sekian bahasa yang dia kenal dan kuasai) yang baik dan benar. Durdje Durasid (1990) menyatakan bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi penggunaannya, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Ini berarti bahwa bila seseorang berbahasa dalam situasi tertentu, dengan menggunakan bahasa tertentu (bahasa Indonesia, misalnya) maka hendaknya unsur-unsur atau kaidah-kaidah dan sejenisnya dari bahasa-bahasa lain yang dikuasainya tidak dimasukkan dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Bila dalam situasi lain, dia memanfaatkan bahasa lain (bahasa daerah), maka hendaknya bahasa daerah itu tidak terselepi oleh simbol-simbol atau kaidah-kaidah dari bahasa-bahasa lain.

(10)

Dalam perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa ini, fenomena alih kode dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini, seseorang yang melakukan alih kode (mungkin berwujud alih bahasa, alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya) bukan berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Sebab, ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota masyarakat lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Dia “harus” melakukan alih kode lantaran nilai budaya masyarakatnya, misalnya, “menghendaki” hal itu.

2.1.4. Pemilihan Bahasa dan Wujudnya 2.1.4.1.Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bab tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984)

(11)

memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut.

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang dibayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bJ (bahasa Jawa) dan bI (bahasa Indoesia) harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bJ berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bJ kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa

(12)

Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metofora yang melambangkan identitas penutur.

Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Gejala seperti ini cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam

(13)

masyarakat luas. Pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat.

Grosjean (1982 : 136) berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Keempat faktor tersebut adalah (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Dia menekannkan beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan empat faktor pemilihan bahasa tersebut. Faktor pemilihan bahasa partisipasi adalah keahlian berbahasa, pilihan bahasa yang dianggap lebih tepat, usia, pendidikan, pekerjaan, latar belakang etnis, keintiman dan sebagainya, aspek yang berhubungan dengan faktor situasi adalah lokasi atau latar, tingkat formalitas serta kehadiran pembicara. Faktor isi wacana adalah topik sementara faktor yang berhubungan dengan fungsi interaksi yaitu menaikkan status, menciptakan jarak sosial, dan memerintah serta melarang.

Menurut Sugiyono (2005 : 49) situasi sosial sangat berperan aktif pula di dalam menentukan pemilihan bahasa dimana, situasi sosial terdiri atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut juga dapat dinyatakan sebagai obyek yang ingin diketahui “apa yang terjadi” didalamnya.

Dari paparan di atas dapat disimpukan bahwa pemilihan bahasa yang dilakukan oleh kedwibahasaan atau multibahasawan disebabkan oleh empat faktor utama. Dari keempat faktor tersebut, tampaknya faktor partisipasi menduduki kedudukan yang lebih penting dari pada faktor-faktor lainnya. Jadi karakteristik

(14)

pembicara dan pendengar merupakan faktor penentu terpenting dalam pemlihan bahasa.

2.1.4.2. Wujud Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Senada dengan Evin-Tripp, Groesjean (1982: 136) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi wacana mengacu pada (1) topik

(15)

pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Faktor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/ mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.

Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pemilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahasa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol

(16)

2.2. KONSEP 2.2.1. Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Sobarna (1994 : 28) menyebutkan bahwa alih kode dapat terjadi antar bahasa daerah di dalam suatu bahasa nasional yang disebut alih kode kedalam dan antar bahasa asli (daerah atau Indoensia) dengan bahasa asing yang disebut alih kode keluar.

Fishman (Chaer, 995 : 143) menyebutkan konteks berbahasa dapat mempengaruhi seseorang beralih kode, bergantung pada siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Untuk dapat memahami pendapat di atas dapat di ilustrasikan sebagai berikut : Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelah kuliah dimulai sudah hadir diruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Ketika sedang asik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliah mereka yang berasal dari Tapanuli yang tidak dapat berbahasa Sunda. Togor menyapa mereka dalam bahasa Indonsia, lalu mereka terlibat percakapan dalam bahasa Indonesia. Dari ilustrasi di atas di dalam pengalihan bahasa tercakup dalam peristiwa yang disebut alih kode (Chaer, 1995 140-142).

Alih kode adalah penggunaan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain, sedangkan campur kode adalah

(17)

penggunaan suatu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan bahasa-bahasa lain (Chaer, 1995 : 203).

Menurut Gumperz (1976) alih kode memiliki beberapa fungsi berikut.

1. Sebagai acuan unsur yang tidak atau kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan terjadi karena pembicara tidak mengetahuai suatu kata dalam bahasa lain.

2. Berfungsi direktif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung, alih kode diarahkan langsung pada pendengar, peserta ujaran dalam percakapan ini dapat berpikir tentang fungsi langsung dari pemilihan bahasa.

3. Berfungsi ekspresif, pembicara menekankan identitas alih kode melalui penggunaan dua bahas adalam wacana yang sama.

4. Berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi dan berfungsi fatik.

5. Berfungsi sebagai metabahasa, dengan pemahaman alih kode digunakan dalam mengulas suatu bahasa baik secara langsung maupun tidak langsung.

6. Berfungsi di dalam humor atau permainan, hal ini sangat berperan di dalam masyarakat bilingual/multilingual.

Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel

(18)

memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.

Suwito (1985:72) membagi alih kode menjadi dua, yaitu : 1. alih kode ekstern

bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, dan

2. alih kode intern

bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.

Lebih lanjut, dalam Suwito (1985) dinyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan alih kode sebagai berikut..

1. Penutur,

seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.

2. Mitra Tutur

mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.

(19)

untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

4. Pokok Pembicaraan

pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

5. Untuk membangkitkan rasa humor

biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. 6. Untuk sekadar bergengsi

walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

Biasanya pembicaraan alih kode akan selalu diikuti dengan campur kode. Ohoiwutun (1996 : 72) menyatakan bahwa, hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. Bilamana seseorang yang melaksanakan pembicaraan pada dasarnya mengirimkan berupa kode-kode kepada lawan bicaranya. Kalau hanya satu pihak memahami apa yang dikodekan lawan bicaranya maka selanjutnya ia akan mengambil keputusan dan berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

(20)

Kode menurut Poejosoedarmo (1976 : 3) adalah sistem tutur yang peranan bahasanya mempunyai ciri khas sesuai latar belakang penutur, hubungan penutur dengan lawan bicaranya, dan situasi tutur yang ada. Selanjutnya, kode tutur adalah sistem tutur yang kebahasaannya memiliki ciri-ciri khas dengan penerapannya mencerminkan salah satu keadaan, salah satu komponen tutur seperti latar belakang orang pertama dan orang kedua, situasi bicara dan lawan lain. Kode tutur ini merupakan bahasa atau varian bahasa yang digunakan dalam komunikasi masyarakat (Poejosoedarmo 1976 : 9)

2.2.2. Campur Kode

Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:

1. campur kode ke dalam (innercode-mixing): campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya

(21)

2. campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. sikap (attitudinal type)

latar belakang sikap penutur, dan 2. kebahasaan(linguistic type)

latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan peranan, ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.

Beberapa wujud campur kode, 1. penyisipan kata,

2. menyisipan frasa, 3. penyisipan klausa,

4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan

5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

Di dalam suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti, tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode. Di Indonesia campur kode ini sering sekali terdapat dalam keadaan berbincang-bincang yang dicampur ialah bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Jikalau orang itu ‘terpelajar”, kita dapat

(22)

juga melihat campur kode antara bahasa Indonesia (atau bahasa daerah) dengan bahasa asing (Nababan, 1984 : 32).

Selanjutnya Nababan (1984) menjelaskan bahwa ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalaupun terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal itu disebabkan karena tidak ada istilah atau ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai. Sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing: dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau menggaris bawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicaraan ingin memerlukan “keterpelajarannya’ atau “kedudukannya”.

Campur Kode (CK) merupakan salah satu aspek dari ketergantungan bahasa dalam masyarakat bilingual/multilingual. Ciri ketergantungan itu ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara fungsi dan peran kebahasaan. Peran menunjukkan siapa yang menggunakan bahasa itu, yang ditandai oleh latar belakang sosial penutur, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan fungsi menunjukkan apa yang hendak dicapai penutur dengan campur kode dan sejauh mana bahasa yang dipakai memberikan peluang untuk bercampur kode.

Fasold (1984 : 180) mengatakan bahwa campur kode merupakan fenomena yang lembut. Serpihan-serpihan satu bahasa digunakan oleh seorang penutur, namun pada dasarnya dia menggunakan bahasa lain. Serpihan-serpihan bahasa yang diambil

(23)

dari bahasa lain itu biasanya berupa kata-kata tetapi dapat juga berupa frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005 : 190), campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, dimana pemakaiannya berupa kata, klausa, idiom, sapaan dan sebagainya.

Scotton (1979 : 65) menjelaskan bahwa campur kode sebagai pilihan kode atau bahasa yang berhubungan dengan pemakaian bahasa atau lebih dalam kalimat yang sama atua percakapan. Selanjutnya dikatakan bahwa wujud dari campur kode dapat merupakan pergantian dari kata, frasa, klausa atau kalimat dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain.

Merujuk pada pendapat dari landasan teori di atas, ter bahwa campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotonomiannya. Seorang penutur misalnya, yang dalam bahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa lain, termasuk bahasa asing, bisa dilakukan bahwa dia telah melakukan campur kode.

Sehubungan dengan hal di atas maka dapat dijelaskan bahwa para penyiar Pro 2 FM RRI Medan adalah masyarakat yang multilingual atau sebagai komunitas yang menggunakan multi bahasa dalam interaksi verbal sehari-hari. Interaksi verbal antara sesamanya sering mengakibatkan terjadinya percampuran kata/leksikal, frasa, klausa atau kalimat. Akibatnya kadar penguasaan bahasa ibu dari masing-masing penutur bahasa tersebut semakin lama semakin berkurang. Hal ini tampak jelas terjadi di

(24)

dalam aktivitas dialog interaktif antara penyiar dengan pendengar dan pada saat penelitian yang sering menggunakan bahasa campuran dalam tuturannya. Dapat disimpulkan bahwa semakin berkurangnya kadar kemampuan dalam menguasai bahasa ibu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya campur kode.

Imawati (1996 ; 26) mengemukakan dua faktor utama sebagai penyebab campur kode yaitu (1) sebagai jawaban atas situasi tutur, misalnya masuk orang ketiga atau adanya pergantian topik pembicaraan, penggunaan frasa tertentu dalam berbagai salam, dan (2) sebagai alat retorik, misalnya penekanan pentingnya kata tertentu dengan jalan menggunakan kata padanan dalam bahasa lain, atau untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dengan mengambil kata-kata dari bahasa lain.

Campur kode bisa terjadi karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur demi kemudahan belaka. Kata-kata itu seakan telah ada di ujung lidah, dan pola peralihan bahasa yang terdapat pada tuturannya tampaknya di luar kesadaran penuturnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Haugen (1972 : 34) yang mengatakan bahwa campur kode terjadi sebagai akibat timbulnya semacam dorongan untuk memicu pelatuk. Ia juga mengatakan bahwa campur kode bisa juga terjadi karena adanya dorongan ekspresif. Dorongan ini disebabkan oleh gaya bahasa, atau bahkan tidak disebabkan apapun. Pendapat Haugen ini tampaknya sangat relevan dengan hasil penelitian yang telah penulis lakukan sebab penulis berasumsi bahwa campur kode yang dilakukan oleh para penyiar RRI Medan sebagai penutur bahasa

(25)

sebagaimana telah disebutkan di atas umumnya hanya karena kebiasaan tanpa mempunyai tujuan atau sebab yang jelas.

Di dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada penyiar RRI Medan, penulis mengacu kepada tiga faktor yang dikemukakan Suwito, yaitu (1) peranan, (2) ragam, dan (3) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Mengingat bahwa campur kode dalam penelitian ini dibatasi pada campur kode antar bahasa saja, maka faktor ragam tidak dianalisis dalam penelitian ini. Dengan demikian, hanya dua faktor yang dijadikan acuan dalam menganalisis campur kode ini, yaitu 1) peranan, dan (2) keinginan menjelaskan dan menafsirkan. Akan tetapi, tampaknya kedua faktor ini saling bergantung dan tidak jarang tumpang tindih, sehingga sulit untuk menentukan perbedaan antara keduanya secara jelas.

Selain pendapat Suwito di atas, penulis juga mengacu kepada pendapat Haugen (Rohmana, 2000 : 67) yang menekankan pula pada faktor kebiasaan. Penulis berasumsi bahwa apa yang diajukan tersebut sangat relevan dengan apa yang ingin penulis capai dalam penelitian ini. Jadi dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode dalam penelitian ini, penulis membatasi pada tiga faktor-faktor berikut : (1) peranan, (2) keinginan menjelaskan dan menafsirkan dan (3) kebiasaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa campur kode itu terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya, penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk campur kode untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.

(26)

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, penulis berpendapat bahwa campur kode yang terjadi di lokasi penelitian, yakni di RRI Medan adalah merupakan akibat dari kontak sosial melalui interaksi verbal antara penyiar dengan pendengar.

Referensi

Dokumen terkait

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Kriteria laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 (revisi 1998) dengan PSAK 1 (revisi 2009) adalah dalam butir (f) yang mengharuskan entitas untuk menyajikan

Sebaliknya makin tinggi kadar air dalam bahan, makin cepat mikroorganisme berkembangbiak sehingga proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat (Winarno, 2002).

Dari variabel-variabel yang dinilai dalam penelitian ini (usia, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, serta sumber informasi paling berkesan), terdapat perbedaan

Dari teori tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku merokok seseorang, terutama kapan seseorang harus memperoleh informasi mengenai bahaya

Karena tidak hanya mengarahkan kami tentang bagaimana keadaan siswa yang sedang mengikuti pelajaran Penjasorkes, ibu Sumarni juga mengarahkan kepada kami tentang

Business Intelligence sebagai alat bantu untuk mengolah dan menganalisa data nilai, data mahasiswa, data dosen yang dikumpulkan dalam data mart, kemudian

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada