BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Proses produksi film
Rabiger (2008) menyatakan bahwa seorang sutradara memiliki tugas dan tanggung jawab kepada producer untuk mengubah sebuah naskah menjadi sebuah karya visual sesuai dengan kualitas, detail dan arti yang ingin disampaikan.
Proferes (2008) menyatakan bahwa perancangan blocking dapat menunjukan relasi karakter dan posisinya. Jika ada satu karakter yang duduk di meja besar dan satu karakter lainnya di posisikan berdiri di samping meja tersebut, kami sebagai penonton dapat mengasumsikan bahwa orang yang sedang berdiri tersebut adalah bawahan orang yang sedang duduk (hlm.28).
Montan dan Stanley (2007) mengatakan bahwa ada banyak cara untuk menunjukan bahwa seorang karakter itu penting di dalam sebuah cerita yaitu dari cara karakter diposisikan, di frame bagian mana mereka diposisikan, dan tinggi seorang karakter di dalam frame (hlm.114).
Brown (2011) menambahkan bahwa di dalam buku Hitchcock/Truffaut, disebutkan bahwa penempatan sesuatu yang penting didalam cerita harus sesuai dengan ukurannya dalam sebuah frame (hlm.54), Pada setiap tahap pembuatan film atau video, seorang sutradara memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, antara lain:
2.1.1. Development:
Irving (2013) menyatakan bahwa sebuah naskah harus di jadikan menjadi karya visual. Seorang sutradara harus mengevaluasi apakah naskah tersebut menceritakan tema utama yang ingin disampaikan. Jika sebuah cerita mempunyai kekurangan dalam penyampaian tema dan konsep besar yang ingin disampaikan seorang, sutradara harus mengaplikasikan idenya ke dalam naskah tersebut. Mungkin hanya sekecil pergantian dialog tetapi bisa jadi sampai harus menulis ulang cerita tersebut.
Rabiger (2008) menambahkan bahwa penulisan datang dari pengalaman imajinasi dan intuisi dan segala aspek yang ada didalam cerita harus bisa di visualkan dengan baik. Jika cerita tersebut sudah cukup baik seorang sutradara hanya perlu membuat breakdown dari naskah tersebut baru bisa lanjut ke tahap berikutnya.
2.1.2. Pra-Produksi
Irving (2013) menyatakan bahwa sutradara mulai membuat visi untuk merealisasikan naskah tersebut menjadi karya visual setelah naskah telah di breakdown. Rabiger (2008) menambahkan bahwa sutradara awam biasanya kurang mengeksplorasi naskah yang sudah diberikan dan beberapa kemungkinan yang dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih berguna (hlm.273) Sutradara bertanggung jawab dengan setiap elemen yang akan terlihat di frame dengan alasan yang jelas. Sutradara dengan tim kreatifnya harus mengetahui apa tema dan keinginan karakter dalam film tersebut.
Sutradara harus mengetahui beat dari sebuah naskah sehingga dapat menentukan visual style, pacing, dan tone bersama dengan director of photography, production designer, sound designer, dan editor untuk film tersebut. Cherrier (2018) menambahkan bahwa seorang filmmaker menggunakan film sebagai cara berbahasa. Oleh karena itu setiap shot, shot sequence, scene, dan dramatic sequence harus berkontribusi untuk membicarakan visi dari film tersebut dalam membuat shotlist, floorplan, dan storyboard.
Irving menyatakan bahwa selain sutradara harus bertanggung jawab akan budget yang akan dipakai untuk pembuatan film, sutradara juga bertanggung jawab atas lokasi apa yang dibutuhkan untuk film tersebut sesuai dengan naskah yang sudah diberikan dan bagaimana lokasi tersebut dapat membantu menceritakan tema dari film tersebut. Selain lokasi, sutradara juga harus ikut serta dalam casting dan pemilihan aktor yang tepat untuk film tersebut kemudian melatih aktor tersebut melalui proses reading, yaitu membaca naskah dan melatih aktor untuk dapat mencapai emosi yang sudah diinginkan sutradara. Proses rehearsal melatih blocking aktor agar sesuai dengan floorplan yang sudah dirancang. Setelah semua persiapan siap, sutradara dapat lanjut ke tahap berikutnya.
2.1.3. Produksi
Gambar 2.1. Director's preproduction responsibility
(Irving, 2013, hlm. 33)
Irving (2013) menyatakan bahwa sutradara adalah kepala dari proses shooting tersebut jadi apapun keputusan seorang sutradara baik benar atau salah harus diikuti. Pada umumnya, proses shooting berjalan seperti berikut: kru dan aktor tiba di lokasi, kamera mulai ditempatkan, dan sutradara melakukan rehearsal di set tersebut untuk memastikan blocking yang sudah dirancang dapat dilakukan. Setelah itu, aktor akan memakai pakaian dan makeup sesuai dengan apa yang sudah ditentukan lalu proses shooting dimulai.
selanjutnya sampai pada akhirnya semua yang dijadwalkan sudah terambil dan film tersebut selesai. Rabiger (2008) menambahkan bahwa selama proses shooting seorang sutradara harus mampu membedakan bagaimana cara menangani kru dan aktornya. Seorang sutradara yang baik membiarkan kru nya mengerjakan apa yang sudah disiapkan sehingga sutradara dapat fokus kepada actor dan hubungan yang sudah dikembangkan selama proses reading dan rehearsal akan dituangkan hasilnya pada proses shooting. Oleh karena, itu seorang sutradara harus tetap menjaga hubungan yang baik dan sebisa mungkin membuat nyaman aktornya karena performa mereka adalah salah satu kunci dari prosesi shooting yang lancar.
Gambar 2.2. Production flowchart
2.1.4. Pasca-Produksi
Irving (2013), seorang sutradara bertanggung jawab untuk mengawasi proses editing yang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah offline editing yang berisikan sync sound, assembly, rough-cut, fine-cut, dan setelah itu tahap selanjutnya dinamakan picture lock yang dilanjutkan dengan online editing yang berisikan sound post production, visual effects, music scoring dan color grading.
Rabiger (2008) menambahkan bahwa sebelum film ini diselesaikan, harus ada penonton yang tidak terlalu mengetahui apapun tentang film tersebut untuk memberi masukan atau kritik objektif untuk film tersebut. Tugas dari seorang sutradara adalah mempertanyakan impresi film secara keseluruhan, tidak banyak bertanya, dan tidak menjelaskan tentang film melainkan mendengarkan apa masukan dari penonton tersebut. Masukan tersebut menjadi masukan tambahan untuk finalisasi film tersebut. Setelah itu, terdapat proses married print dimana dua aspek tersebut digabung dan akan di berikan kepada producer.
Gambar 2.3. film postproduction flowchart
(Irving, 2013, hlm. 238) 2.1.5. Distribution & Exhibition
Irving (2013) menyatakan bahwa pada tahap ini seorang sutradara bertanggung jawab untuk membantu mempubliksasikan film yang sudah dibuat. Rabiger menambahkan bahwa film ini merupakan hasil yang perlu disebarluaskan dan tidak ada hal aneh dari mempromosikan film sendiri karena jika tidak dipromosikan, film tersebut akan cepat dilupakan.
Komposisi
Katz (2014) menyatakan bahwa pemanggungan adalah hal yang esensial dalam penyutradaraan. Departemen kreatif tidak dapat bekerja kecuali seorang sutradara telah memutuskan 2 hal, yaitu; dimana kamera akan ditaruh dan bagaimana pemeran akan bergerak. (hlm.3)
Gustavo (2011) Sebuah frame secara mendasar terbagi dari 2 garis atau sering disebut axis, garis horizontal atau disebut x axis, garis vertikal atau disebut y axis. Tetapi, ada axis ketiga yang menggambarkan kedalaman dari sebuah frame atau yang disebut z axis. Axis ini digunakan untuk menghindari frame yang datar dan memberi efek jarak dan pergerakan sebuah karakter atau memberi hubungan dan relasi sebuah karakter dari subjek dan ruangan di sekitarnya.
Gambar 2.4. XYZ Axis
(Mercado, 2010, hlm. 23)
Setiap objek yang terlihat didalam sebuah frame memiliki visual weight dari ukuran, warna, penaruhan objek memiliki visual weight yang dapat mempengaruhi persepsi penonton. Visual weight yang seimbang menyebarkan aspek visualnya secara merata di dalam sebuah frame yang biasanya menggambarkan hal yang teratur dan seragam, sementara visual weight yang tidak seimbang memiliki aspek
visual yang difokuskan pada satu titik di dalam sebuah frame yang biasanya menunjukan kekacauan dan tensi.
Cherrier (2018) menambahkan selain dari visual weight, komposisi yang mengandalkan z axis dinamakan deep frame dan biasanya digunakan untuk membuat ilusi kedalaman, sedangkan yang mengandalkan gambar dua dimensi dinamakan flat frame. Deep frame bisa dicapai dengan cara membuat mise-en- scene, yaitu objek yang ditaruh sepanjang z-axis yang menetapkan dimana foreground, middleground, dan background. Cara lain untuk mencapai deep frame adalah object overlapping, yaitu objek yang ditaruh di dekat foreground akan menutup sebagian atau menindih objek yang terdapat di background. Diminishing perspective, yaitu objek akan terlihat lebih kecil jika jaraknya jauh dari penonton dan sebaliknya, objek akan terlihat lebih besar jika mereka dekat jaraknya. Semua hal ini dapat di lakukan dengan penggunaan blocking.
Blocking
Rabiger (2008) menyatakan bahwa blocking berarti pergerakan dan posisi aktor yang berkorelasi dengan kamera. Kapan dan bagaimana mereka bergerak berasal dari kebutuhan karakter di sebuah film. Seorang sutradara harus dapat mengembangkan aktor untuk dapat menekspresikan persepsi, perasaan, pemikiran dan keinginan sebuah karakter dari blocking (hlm.299).
Ward (2003) menambahkan bahwa komposisi sebuah karakter untuk membuat blocking dibagi menjadi tiga yaitu: single figure composition, two figure composition dan multi-figure composition. Single figure composition berarti aktor akan memiliki hubungan dengan elemen lain di dalam sebuah frame. Two figure
composition berarti akan ada dua aktor berada didalam satu frame dan biasanya akan membuat perpecahan perhatian kecuali salah satu aktor dibuat lebih dominan dari blocking aktor. Multi-figure composition artinya didalam satu frame akan ada lebih dari dua aktor. Cara untuk tetap membuat salah satu aktor yang akan menjadi subjek utama lebih dominan diantara yang lainnya adalah dengan membuat blocking kumpulan aktor menjadi sebuah bentuk yang berkumpul dan membuat seakan aktor tersebut menjadi pusat perhatian didalam sebuah frame (hlm.199).
Katz (2004) Faktor utama dari pemanggungan di sebuah adegan adalah logika dari aksi tersebut dan bagaimana seorang sutradara menyeimbangi aksi natural dengan aksi yang membentuk drama. Untuk adegan yang memerlukan koreografi sangatlah berguna untuk mengurangi ruang dari adegan tersebut dengan menggunakan beberapa teknik antara lain:
1. Staging across the frame: sekumpulan pemain yang di bariskan sepanjang frame kamera.
Gambar 2.5. Staging across the frame
(Katz, 2004, hlm. 43)
2. In-depth staging: pemain yang ditaruh di foreground dan di belakangnya ada pemain yang ditaruh di background.
Gambar 2.6. In-depth staging
(Katz, 2004, hlm. 44)
3. Circular staging: sekumpulan pemain yang di taruh di set dan membentuk sebuah lingkaran.
Gambar 2.7. Circular staging
4. Zone staging: frame dibagi ke beberapa zona dan sekumpulan pemain yang dikumpulkan di satu zona tersebut dengan aksinya sendiri.
Gambar 2.8. Zone staging
(Katz, 2004, hlm. 45)
5. Man–on-man-staging: pemanggungan yang dibagi dari subject yang bergerak.
Gambar 2.9. Man-on man staging
(Katz, 2004, hlm. 45)
Cherrier (2018) menyatakan bahwa ada dua tipe bagaimana filmmaker dapat membuat sebuah shot. Yang pertama adalah static shot dimana sebuah frame tetap diam tanpa mengubah perspektif. Yang kedua adalah camera move dimana sebuah
informasi, mengubah perhatian dan perspektif penonton dengan menggerakan kamera secara horizontal, vertikal atau sepanjang z-axis (hlm.61).
Katz (2004) menambahkan bahwa seorang sutradara memiliki empat teknik dasar dalam perancangan pemanggungan dalam sebuah adegam yaitu; kamera yang statis, kamera yang bergerak, subjek yang statis, dan subject yang bergerak. Empat hal tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mengarahkan penonton untuk menekankan elemen cerita.
Defense Mechanism
Cramer (2015) menyatakan bahwa definisi dari defense mechanism sendiri adalah sebuah keputusan yang dilakukan seseorang diluar dari kesadaran orang tersebut. Fungsi dari defense mechanism itu sendiri adalah melindungi seseorang dari stress, kegelisahanan yang berlebih, dan kehilangan rasa harga diri.
Cramer (2015) menyatakan bahwa ada beberapa pelajaran yang dapat digali dalam pengembangan defense mechanism dari seseorang, yaitu: pembelajaran tentang penilaian sifat, pembelajaran konsep psychoanalytic, investigasi proses pengembangan mental yang terjadi diluar dari kesadaran seseorang, pembelajran thematic apperception test, dan pembelajaran perolehan experiment tentang proses pemikiran kognitif. Corbett (2013) menambahkan bahwa untuk membuat sebuah karakter yang dalam itu membutuhkan fokus yang tidak dititikberatkan pada keinginan, tetapi dari bagaimana karakter tersebut menghadapi sebuah masalah, kelemahan, rahasia, dan apa yang karakter itu tentangi.
Corbett juga menyatakan bahwa setiap individu memiliki jenis-jenis adaptasi yang berbeda saat berhadapan dengan masalah berdasarkan dari teori yang
dikemukakan Anna Freuid. dan dibagi dalam 4 jenis diurutkan dari seberapa sulit sampai seberapa mudah seorang beradaptasi terhadap suatu masalah, yaitu: Psychotic Adaptations, Immature Adaptations, Neurotic Adaptations, dan Mature Adaptations.
1. Psychotic Adaptations a. Paranoia
Cramer (2006) menyatakan bahwa paranoia diasosiasikan dengan seorang karakter yang mempunyai ekspektasi tidak realistis tentang sesuatu yang berbahaya di sekitarnya. Biasanya dihasilkan dari aksi bahaya individu atau tidak menerima aksi seseorang dan akhirnya menimbulkan rasa takut yang berlebihan (hlm.245).
2. Immature Adaptations a. Pasif Agresif
American Psychiatric Association (1994) menjelaskan bahwa pasif
agresif berhadapan dengan konflik emosional secara internal ataupun eksternal seseorang yang dengan secara tidak langsung memasukkan emosi agresif terhadap orang lain. Kenyataannya hal agresif yang dilakukan adalah bentuk respon untuk orang lain yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa keinginan orang tersebut dan berharap orang tersebut dapat beradaptasi dengan situasi tersebut dengan sifat agresif yang sudah diberikan (hlm.756).
b. Proyeksi
Schacter (2013) menjelaskan bahwa proyeksi adalah bentuk defense mechanism yang melibatkan perasaan, motivasi atau impuls personal dan ditumpahkan ke orang atau grup lain (hlm.357), Cramer (2006) menambahkan bahwa proyeksi berfungsi untuk melindungi seseorang dari kegelisahan yang berlebihan dengan melimpahkannya secara eksternal dengan harapan jika pikiran yang menganggu tersebut dapat ditaruh diluar diri itu dapat membantu seseorang tersebut.
Budaya Batak
Salim (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki beranekaragam perbedaan, mulai dari sumber daya alam, ekosistem, dll. Manusia juga melakukan kegiatan demi kelangsungan hidupnya. Mulai dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari, mencipatakan kebiasaan-kebiasaan baru di masyarakat, dan dari situ pula munculnya adat istiadat dalam masyarakat. Masyarakat percaya akan alam sebagai guru dalam kehidupan, termasuk adat istiadat. Maka dari itu, adat istiadat dipercaya masyarakat sebagai bagian dalam kehidupan.
Rumapea dan Simanungkalit (2015) menyatakan bahwa adat istiadat merupakan suatu acara, upacara, maupun kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan dan dilakukan secara turun menurun. Adat istiadat biasanya telah disepakati oleh masyarakat setempat.
Primadona dan Mulati (2019) menyatakan bahwa adat Batak masih sangat kental diantara masyarakat. Peraturan-peraturan yang sudah ada dari
leluhurnya masih kental dan dijalankan dengan taat. Begitupula dengan hukum tentang pernikahan dengan adat Batak. Terdapat beberapa peraturan dan tahap-tahap yang harus ditaati dan dijalani. Berbicara tentang pernikahan berarti berbicara pula tentang keturunan. Terdapat tiga keturunan di adat Batak, yaitu masyarakat ke-Ibu-an (Matrilineal), masyarakat ke-Bapa-an (Patrinilial), dan masyarakat ke-Ibu/Bapa-an (Bilateral atau Parental). Seperti layaknya pernikahan pada umumnya, pernikahan di dalam adat Batak juga merupakan saat dimana seorang laki- laki dan perempuan yang memutuskan untuk membuat sebuah komitmen dan membangun rumah tangga bersama. Namun, tidak jarang terjadi pernikahan karena suatu hal yang mendesak. Akibatnya, pihak laki-laki dan perempuan tidak memiliki perasaan dan tujuan yang sama. Dengan begitu, tujuan dari pernikahan yang sesungguhnya tidak terwujud. Maka dari itu, ada peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara secara tertulis untuk syarat pernikahan. Tidak hanya secara tertulis, namun ada juga peraturan tidak tertulisnya yang dibuat berdasarkan adat istiadat tertentu demi tercapainya tujuan utama dari pernikahan tersebut. Dalam budaya Batak Toba, terdapat peraturan yang melarang pernikahan sedarah atau semarga. Namun, budaya tersebut perlahan luntur di zaman yang sudah modern ini. Pernikahan Batak Toba merupakan pernikahan yang bersifat Patrilineal. Hal ini dilakukan agar masih ada keturunan di garis laki-laki, sehingga Batak Toba tidak menghilang begitu saja.
Tata Cara dan Tahapan Prosesi Pernikahan dalam Adat Batak Toba. (2016, Oktober 16). Diakses pada Mei 22, 2020, dari Manik Raja :
http://manikraja.or.id/2016/10/28/tata-cara-dan-tahapan-prosesi-
pernikahan-dalam-adat-batak-toba/ menyatakan bahwa pernikahan adat Batak memiliki tahap-tahap yang cukup panjang. Untuk mengerti adatnya membutuhkan waktu yang cukup lama, ditambah persiapan dan pelaksanaannya yang cukup rumit dan panjang. Tata cara pernikahan ni disebut nag ok. Berikut tata caranya pelaksanaannya:
1. Mangaririt
Di zaman sekarang, sudah ada yang menggabungkan pelaksanaan paulak une dan maningkir dengan acara adat setempat yang disebut dengan Ulaon Sadari.
2. Mangalehon Tanda
Mangalehon Tanda artinya adalah mengasihi. Hal ini merupakan tanda seorang laki-laki sudah menemukan perempuan sebagai calon istrinya. Pada tahap ini, laki-laki memberikan uang kepada perempuan, dan perempuan memberikan sarung kepada laki-laki. Sebagai tanda pengikat.
3. Marhori-hori Dinding atau Marhusip
Marhusip artinya adalah berbisik. Pada tahap ini dilakukan perundingan mengenai mas kawin yang akan diberikan kepada pihak perempuan dari pihak laki-laki. Perundingan
ini dilakukan di rumah pihak perempuan dengan diwakilkan wakil dari masing-masing pihak. Hal ini dilakukan secara tertutup.
4. Marhata Sinamot
Tahap ini merupakan tahap dimana pertemuan dan perkenalan secara resmi orang tua dari pihak laki-laki dengan orang tua dari pihak perempuan. Pada marhata sinamot, akan dibicarakan masalah hewan apa yang akan disembelih, berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, berapa banyak ulos, hingga tanggal dan tempat pelaksanaan acara pernikahan ini.
5. Pudun Saut
Pada tahap ini, pihak laki-laki mengantarkan wadah sumpit yang dimana terdapat nasi dan daging hewan ternak yang sudah disembelih. Makanan itu akan dimakan bersama, kemudian dilanjutkan dengan pembagian daging (jambar juhut) kepada kerabat.
6. Martumpol
Martumpol merupakan tahap yang biasanya disebut dengan pertunangan. Tahap ini biasanya dilakukan di gereja, dan biasanya dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.
Tahap ini merupakan tahap dimana perundingan secara teknis dan non teknis dengan saudara dan masyarakat sekitar.
8. Manjalo Pasu-pasu Parbagason
Ini merupakan tahap pelaksanaan pemberkatan pernikahan di gereja yang dilakukan oleh pendeta. Setelah pemberkatan, akan dilakukan acara pernikahan secara adat.
9. Ulaon Unjuk (Pesta Adat)
Ulaon Unjuk merupakan pesta adat dimana pengantin mendapatkan berkat dari keluarga. Dilaksanakan juga pemberian kain ulos sebagai tanda doa-doa untuk pengantik dan dilanjutkan dengan pemberian jatah atau jambar berupa daging dan uang. Pesta berakhir dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
10. Mangihut Di Ampang atau Dialap Jual
Hal ini dilakukan hanya apabila pesta dilakukan dirumah pengantin perempuan, maka akan dilaksanakan pembawaan pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki.
11. Ditaruhon Jual
Hal ini dilakukan hanya apabila pesta dilakukan dirumah pengantin laki-laki maka pengantin perempuan diizinkan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Namun, setelah itu
akan diantar oleh namboru-nya untuk kembali ke rumah pengantin laki-laki.
12. Daulat ni si Panganon
Ini merupakan tahap dimana diadakannya makan-makan setelah pengantin perempuan sampai di rumah pengantin laki-laki. Makanan yang disajikan adalah makanan yang berasal dari pihak parboru.
13. Paulak Une
Ini merupakan waktu dimana orang tua pengantin perempuan mengetahui bahwa anaknya baik-baik saja dirumah suaminya. Sepasang pasutri dan keluarga serta kerabat dari pihak laki-laki akan mengunjungi kediaman orang tua pihak perempuan setelah beberapa hari tinggal di rumah mertuanya.
14. Manjae
Dalam adat Batak, ini merupakan saat dimana anak laki-laki yang merupakan anak bungsu akan mewarisi rumah orang tuanya. Namun jika ia bukan anak bungsu, maka ia akan hidup mandiri, terpisah dari orang tuanya. Hal ini dilakukan setelah beberapa saat tinggal bersama.
15. Maningkir Tangga
Seperti yang sudah disebutkan bahwa adanya acara pisah rumah, maka orang tua pengantin harus mendatangi rumah anak dan mertuanya dan diadakan makan bersama.