• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBN MISKAWAIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBN MISKAWAIH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

PERSPEKTIF IBN MISKAWAIH

Halimatus Sa’diyah

Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan Email: sadiyahhalimatus10@yahoo.co.id

Abstrak: Tulisan ini mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih tentang pendidikan akhlak. Dalam pandangannya, keutamaan akhlak berada dalam posisi tengah di antara dua ekstrim. Posisi tengah yang dimaksud adalah al-‘iffah, al-syajâ'ah, dan al-hikmah. Adapun perpa-duan dari ketiganya disebut al-‘adâlah (keadilan atau keseimbangan). Pribadi yang diidealkan oleh Ibn Miskawaih ialah pribadi yang mampu memposisikan dirinya secara proporsional dan profesional dalam rangka keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah antara ekstrimitas kehidupan. Selain itu juga harus memiliki kepekaan intelektual (intelectual ability) dan kepedulian emosional (emotional majority) terhadap kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ada dua pendekatan yang harus dilakukan dalam mendidik akhlak, yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan peniruan.

Kata kunci: pendidikan, akhlak, al‘adâlah, iffah, syajâ'ah,

al-hikmah ibn Miskawaih

Abstract: This paper studies Ibn Miskawaih’s view of moral education. In his view, moral virtue is in the mid-position between two extreme poles. The mid-position he meant is al-iffah, al-syajâ'ah, and al-hikmah. The combination of the three is so-called al-'adalah (justice or balance). The idealized person of Ibn Miskawaih is a person who is able to put himself proportionally and professionally to keep the balance between the two extremes of life. He must also acquire the sense of intellectual (intellectual ability) and emotional awareness (emotional majority) on his life, society and environment. To achieve these objectives there are two approaches in character education, namely through habituation and training, and exemplary and impersonation.

Keywords: education, akhlak, al‘âdalah, al-iffah, al-syajâ'ah, al-hikmah ibn Miskawaih

(2)

Pendahuluan

Diskursus tentang pengembangan sistem pendidikan Islam yang diprakarsai para pakar pendidikan Islam serta para pengambil kebija-kan selama ini telah memperkaya khazanah keilmuan dan bisa mem-berikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Namun dalam realisasinya, kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan belum mampu membe-rikan hasil yang memuaskan, khususnya dalam membentuk moral bangsa. Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari mayoritas Islam, pe-laksanaan pendidikan agama Islam tampaknya belum menyentuh pa-da jiwa kaum muslim.

Dalam upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan Islam saat ini, perlu dikaji konsep pendidikan yang telah diterapkan oleh tokoh pendidikan terdahulu yang eksis pada masanya seperti Ibn Miskawaih. Dia merupakan tokoh pendidikan Islam yang memiliki concern cukup tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral.

Biografi Singkat Ibn Miskawaih

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn ya'qub ibn Miskawaih, ada yang menyebutnya "Miskawaih" (tanpa ibn).1 Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H/ 16 Februari 1030 M. Kedua

orang tuanya berasal dan berkebangsaan Persia.2

Soal kemajusiannya sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pa-ra pengapa-rang buku sejapa-rah. Jurji Zaydan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi lalu memeluk Islam.3 Sedangkan Yaqut pengarang Dairah al-Ma'arif al-Islamiyah kurang sepakat akan hal itu.

Menurut-nya, nenek Miskawaih yang Majusi kemudian memeluk Islam.4

1Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta:

Lantabora Press, 2006), hlm. 112.

2Imam Tholhah, et.al., Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), hlm. 338.

3Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâq fî al-Islâm (Kairo: Muassat al-Khaniji, tt),

hlm. 388.

4Ibrahim Zaky Khursyid, et al, Dâirah al-Ma'ârif al-Islâmiyah Vol. I (Kairo: al-Sya'ab, tt),

(3)

nya Ibn Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagaimana terlihat dari nama ayahnya Muhammad.

Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi'ah.5 Sehingga ia diduga beraliran Syi'ah, karena sebagian besar usi-anya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Bu-waihi.6 Kemudian ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.

Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H.

Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Mis-kawaih juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sek-retaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian ia memi-liki kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para birokrat.7

Ibn Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristo-teles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya Fauz

al-Asghar. Dalam buku tersebut, ia membahas ide-ide filosofisnya ke

dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang eksistensi Tuhan, ten-tang jiwa, dan tenten-tang kenabian. Ia mencoba melakukan rekonsiliasi antara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam.

Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah),

5Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2000), hlm. 20.

6Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Meadia Pratama, 1999), hlm. 56.

7Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung:

(4)

ketimbang sebagai filosof ketuhanan (Falsafah Nadzariyyah

al-'Amaliyah).8 Agaknya hal itu dimotivasi oleh situasi masyarakat yang

kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan me-tode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah:

1. Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A'raq 2. Kitab al-Sa'âdah

3. Kitab al-Fawz al-Kabîr 4. Kitab al-Fawz al-Shaghîr

5. Kitab Jawidan Khard (al-Aql al-Azalî) 6. Tajrib al-Umam

7. Kitab Uns al-Farîd 8. Kitab al-Sayr 9. Kitab al-Musthafâ

10. Kitab al-Adawiyah al-Mufradah, dan lain-lain.

Dasar Pemikiran Ibn Miskawaih

Sebagaimana para filosof Islam pada umumnya, Ibn Miskawaih mencoba menyatukan konsep filsafat Yunani dengan syari'at Islam, hanya saja upayanya lebih terfokus pada masalah moral. Sehingga pemikiran pendidikannya tidak terlepas dari konsep tentang manusia dan akhlak. Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki bermacam-macam daya. Dia membaginya kepada tiga komponen:

1. Daya bernafsu (al-afs al-bâhimiyyah) 2. Daya berani (al-nafs al-sabû'iyyah)

3. Daya berfikir (al-nafs al-nâthiqah).9

Daya yang pertama merupakan daya terendah yang dimiliki oleh manusia sedangkan daya tersebut merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda-beda. Jika daya yang pertama dan kedua merupakan unsur rohani yang berasal dari unsur materi, maka daya yang ketiga itu sebagai daya tertinggi yang berasal dari ruh

8Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 240-241.

9Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk (Beirut: Mansyurat Dar Maktobat Al-Hayat,

(5)

Tuhan. Karena itu dia berpendapat bahwa kedua nafs yang berasal dari materi itu suatu saat akan hancur seiring dengan hancurnya

ba-dan, sedangkan al-nafs al-nâtiqah tidak akan mengalami kehancuran.10

Selanjutnya Ibn Maskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa

al-syahwiyyah/al-bahîmiyyah dan jiwa al-sabûiyyah al-ghadlabiyyah dengan

jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi. Artinya baik/buruknya kondisi tubuh mempengaruhi terhadap kuat atau lemahnya kedua jiwa tersebut. Oleh karena itu, kedua macam jiwa tersebut tidak akan sempurna menjalankan profesinya tanpa diberi sarana yaitu alat bada-ni yang terdapat dalam tubuh manusia, dengan begitu ia mebada-nilai bah-wa manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani yang mana antara keduanya saling berhubungan.

Selain membahas konsep manusia, ia juga membahas konsep akh-lak sebagai salah satu yang mendasari pemikirannya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Seperti halnya Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof muslim seperti al-Kindi dan Ibn Sina juga

memiliki paham demikian.11

Secara umum ia memberi pengertian jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau po-sisi tengah antara dua popo-sisi yang ekstrim. Namun tampaknya ia lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa yang dimiliki manusia. Dengan begi-tu kelihatan bahwa Ibn Miskawaih lebih menitikberatkan pada pem-bentukan pribadi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga, yaitu jiwa bâhimiyyah, sabû'iyyah dan

al-nâthiqah. Posisi tengah yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih di sini

ada-lah ‘iffah jika dalam jiwa bâhimiyah, dan syajâ'ah dalam jiwa

al-ghadabiyah. Sedangkan posisi tengah dari jiwa nâthiqah adalah

al-hikmah (kebijaksanaan). Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah

tersebut ‘adalah (keadilan atau keseimbangan).12

10Ibn Miskawaih, al-Fauz al-Ashghâr dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 27.

11Abd al-Halim Mahmud, Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani,

1982), hlm. 323-325.

(6)

Dan keempat akhlak tersebut merupakan induk akhlak mulia yang melahirkan berbagai macam akhlak-akhlak mulia lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, pribadi yang diidealkan oleh Ibn Miska-waih ialah pribadi yang mampu memposisikan dirinya secara propor-sional dan profepropor-sional dalam rangka keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah di antara ekstrimitas kehidupan. Selain itu juga harus memiliki kepekaan intelektual (intelectual ability) dan ke-pedulian emosional (emotional majority) terhadap kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Konsep jalan tengah tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang diredaksikan dalam al-Qur'an bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam membelanjakan hartanya dan tidak pula kikir.13 Doktrin jalan tengah di sini bisa dipahami sebagai doktrin yang memberikan nuansa dinamika. Sebagai makhluk sosial maka manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman seiring dengan berkembang-nya ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ukuranberkembang-nya bisa ber-ubah-berubah/fleksibel) tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak itu sendiri. Jadi dengan menggunakan dok-trin jalan tengah tersebut, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.

Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Tampaknya ia memiliki concern yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral. Pendidikan diorientasikan kepada pembentukan pribadi manusia yang memiliki etika dan moral. Ibn Miskawaih berpandangan bahwa pendidikan merupakan media bagi potensi yang dimiliki manusia seperti yang telah dijelaskan sebe-lumnya, ada jiwa al-bâhimiyyah, al-sabû'iyyah dan al-nâthiqah. Sehingga ia merumuskan beberapa konsep pendidikannya seperti berikut :

Tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih sebagai mana yang termaktub dalam kitab al-sa'âdah-nya adalah untuk me-wujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik agar memperoleh

(7)

kebahagiaan yang sejati dan sempurna.14 Dengan alasan tersebut maka

Ahmad Abd. Al-Hamid as-Sya'ir15 dan Muhammad Yusuf Musa16

menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermadzhab

al-sa'âdah di bidang akhlak. Hal itu memang dipandang sebagai hal yang

paling mendasar bagi hidup manusia begitu juga bagi pendidikan akhlak. Makna al-sa'âdah sebagaimana dinyatakan M. Abdul Haq Ansari tidak bisa dicari sinonimnya dalam bahasa Inggris walaupun

secara umum diartikan dengan happiness.17

Menurutnya, al-sa'âdah merupakan konsep yang komprehensif. Di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), dan keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection),

kese-nangan (blessedness) dan kecantikan (beauty).18 Jadi, tujuan pendidikan

yang ingin dicapai Ibn Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni menca-kup kebahagiaan hidup manusia dalam konteks umum, karena menu-rutnya kebahagiaan itu meliputi dua unsur yaitu jiwa dan badan.19 Dari uraian tersebut berarti dia tetap berpijak kepada dasar teorinya bahwa hal-hal yang dilakukan dalam pendidikan tujuannya adalah untuk mengkombinasikan keinginan manusia dengan keinginan Tu-hannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Ibn Miskawaih menjelaskan ada beberapa hal yang harus di tempuh dan perlu dipelajari. Yaitu hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal-hal yang wajib bagi jiwa dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya atau berinteraksi de-ngan sesamanya.20 Ketiga materi tersebut secara garis besar dapat diperoleh dari dua jenis ilmu yang dijelaskan dalam kitab Tahdzîb

al-Akhlâk, yakni ulûm fikriyyah (ilmu-ilmu penalaran) dan ulûm

14Ibn Miskawaih, Kitab al-Sa'âdah.

15Ahmad Abd. al-Hamid as-Sya'ir, Manâhij al-Bahts al-Khuluqi fî al-Fikr al-Islâmi, cet. I

(Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyat, 1979), hlm. 216.

16Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâk Fi al-Islâm (Kairo: Muassasat al-Kanji,

1963), hlm. 111. Di samping tergolong madzhab as-sa'adat, Ibn Miskawaih juga digo-longkan Sebagai Madzhab al-Fadilah. Lihat ibid, hlm. 319.

17M. Abdul Haq Ansari, “Miskawaih's Conception of Sa'adat”, dalam Islamic Studies,

No. II/3, 1963, hlm. 319.

18Ibid., hlm. 320.

Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâq, hlm. 93.

(8)

hissiyyah (ilmu-ilmu inderawi).21 Hal tersebut berbeda dengan al-Ghazali yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya.

Tampaknya Ibn Miskawaih di sini tidak memperinci materi pen-didikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas memang agak ganjil. Untuk materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutu-han manusia disebutnya adalah shalat, puasa dan sa'i.22 Di sini dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai contoh tersebut. Ada kemungkinan ia mengira kita sudah bisa memahami maksudnya. Se-lanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan jiwa dicontohkan dengan pembahasan tentang akidah yang benar, meng-esakan Allah SWT dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan kebutuhan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan dan lain-lain.23

Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan hubungan pengabdiannya kepada Tuhan, maka apapun materi yang ada dalam suatu ilmu yang ada asalkan tidak lepas dari tujuan peng-abdian kepada Tuhan nampaknya dia menyetujuinya. Selain dari ma-teri yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibn Miskawaih juga mengajarkan seseorang agar mempelajari buku-buku yang membahas tentang akhlak agar bisa memotivasi untuk berakhlak yang baik.

Apabila dianalisa secara seksama dari berbagai materi yang di-ajarkan tidak semata-mata karena ilmu itu sendiri tapi karena ada tujuan yang substansial, pokok dan hakiki, yakni akhlak yang mulia. Dengan begitu diharapkan integritas keilmuan seseorang sejalan de-ngan integritas keimanan dan akhlaknya.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diidealkan oleh Ibn Miskawaih tersebut tentunya tidak bisa lepas dari metodologi yang digunakan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka tentunya metode yang digunakan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitannya

21Ibid., hlm. 81, Lihat juga Ibn Miskawaih, Kitâb as-Sa'âdat, hlm. 54.

22Ibid., hlm. 116.

(9)

ngan hal ini dia berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukan-lah bawaan, karena jika keadaannya begitu maka keberadaan pendi-dikan sudah tidak dibutuhkan lagi. Menurutnya untuk mengubah akhlak menjadi baik maka dalam pendidikannya ia menawarkan me-tode yang efektif yang terfokus pada dua pendekatan yaitu melalui

pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan peniruan.24

Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama keluarga seperti sholat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya. Pene-ladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap seba-gai panutan baik orang tuanya sendiri, guru-gurunya ataupun tokoh lain yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter seperti itulah sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa di-abaikan begitu saja.

Metode-metode tersebut ditawarkan oleh Ibn Miskawaih karena dia memandang seorang pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam kegiatan pem-belajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Posisinya sama dengan posisi kedua orang tuanya yang melahirkan dan mendidiknya sejak kecil. Bahkan Ibn Miskawaih meletakkan cinta murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang

tua dan kecintaan terhadap Tuhan.25 Dengan begitu diharapkan

kegi-atan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendi-dikan.

Selain metode, diperlukan pula lingkungan yang kondusif demi terciptanya proses pendidikan yang optimal. Tapi tampaknya Ibn Mis-kawaih secara ekspisit tidak membicarakan hal itu. Dia membahas lingkungan pendidikan secara umum yakni lingkungan masyarakat pada umumnya mulai dari lingkungan sekolah, pemerintahan dan ru-mah tangga dan sebagainya. Semua lingkungan itu secara akumulatif sangat mempengaruhi terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.

24Ibid., hlm. 65-66.

(10)

Relevansi dengan Konteks Pendidikan Mutakhir

Pendidikan akhlak yang diintrodusir pertama kali oleh Ibn Mis-kawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam memben-tuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak. Sebagaimana juga dikatakan oleh Syauqi Baiq dalam kata-kata hihmahnya: “Sesungguhnya mati dan hi-dup bangsa itu sangat bergantung pada akhlaknya, jika baik, maka akan kuat bangsa itu, dan jika rusak maka hancurlah bangsa itu."26

Menurut penulis cukup beralasan jika ibn Miskawaih menekan-kan pendidimenekan-kan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding lurus dengan ke-nikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukan-lah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan pe-nyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuh-nya akan tetapi menghubungkansepenuh-nya dengan kenikmatan spiritual de-ngan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidu-pan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus meng-kombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar se-gala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.

Nilai-nilai pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini. Karena hal itu tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi merupakan suatu kewajiban untuk menga-jarkan dasar-dasar pengetahuan dan etika pergaulan dalam proses pembelajaran dan pendidikan.

Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu me-lalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu

(11)

adanya upaya dari para pendidik baik orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta didiknya. Karena peran yang mulai itulah agama menempatkan orang tua sebagai manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya. Selain orang tua yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya sebagai wakil dari orang tuanya. Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah se-hingga anak-anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu juga ia harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi anak didiknya. Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajar-kannya, menurut Ibn Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan. Namun eksis-tensinya tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang diguna-kannya dalam pendidikan.

Tampaknya teori pendidikan Ibn Miskawaih didasarkan pada teori pendidikan Aristoteles yang menekankan pada segi intelektual, kejiwaan dan pendidikan moral yang diarahkan pada upaya mela-hirkan manusia yang baik menurut pandangan masyarakat serta un-tuk mencapai kebahagiaan hidup yang abadi dan mengamalkan da-lam kehidupannya. Seperti halnya Plato dan Aristoteles, Ibn Miska-waih percaya bahwa pendidikan harus berkaitan dengan keahliannya. Karena menurutnya tujuan pendidikan adalah mengkombinasikan ke-inginan manusia dengan keke-inginan Tuhan.

Jika penulis amati, perspektif pendekatannya lebih mengarah ke-pada kecakapan hidup (life skill), baik secara personal maupun sosial, yang kompetensi-kompetensi tersebut tercakup ke dalam desain Kuri-kulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan di seko-lah/madrasah saat ini. Karena itu, sebelum melaksanakan pendidikan seorang pendidik harus melakukan identifikasi kompetensi dengan menetapkan dan mendeskripsikan ciri-ciri, jenis dan mutu kompe-tensi. Hal itu dilakukan agar pendidikan kita tepat sasaran dan sesuai dengan karakter peserta didik.

(12)

Penutup

Dasar pemikiran Ibn Miskawaih adalah membangun konsep pen-didikan yang bertumpu pada penpen-didikan akhlak. Tujuan penpen-didikan yang dirumuskan adalah untuk mewujudkan sikap batin yang mam-pu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, karena sejatinya pendidikan itu adalah mem-bangun karakter atau watak peserta didik. Dengan begitu diharapkan integritas keilmuan seseorang sejalan dengan integritas keimanan dan akhlaknya.

Selanjutnya guru dituntut untuk profesional di bidangnya, harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi peserta didiknya. Ada dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miska-waih untuk mencapai pendidikan akhlak yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya termasuk guru. Karena guru merupakan

centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses

pendi-dikan. Namun eksistensi guru tidak bertumpu pada ilmu yang dimi-likinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan. Wa Allâh a’lam bi

al-Shawâb.*

Daftar Pustaka

al-Qur’an al-Karim.

Ansari, M. Abdul Haq. Miskawaih's Conception Of Sa'adat, dalam

Islamic Studies. t.t.: t.p.,1963.

Alavi, Ziauddin. Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan

Pertengahan, Bandung: Angkasa, 1963.

Hasan, Muhammad Thalhah. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan

Islam, Jakarta: Lantabora Press, 2006.

(13)

Ibn Miskawaih. Tahdzîb al-Akhlâk, Beirut: Mansyurat Dar Maktobat Al-Hayat, 1398 H.

Khursyid, Ibrahim Zaky. Dâirah Ma'ârif Islâmiyah Vol.1. Kairo: al-Sya'ab, tt.

Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhlâk fi al-Islâm. Kairo: Muassasat al-Kanji, 1963.

Mahmud, Abd al-Halim. Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani, 1982.

Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

al-Sya'ir, Ahmad Abd. al-Hamid. Manâhij al-Bahts al-Khuluqi fî al-Fikr

al-Islamî. Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyat, 1979.

Tholhah, Imam, et.al. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor

Seksi Tata Pemerintahan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagai fungsi Kecamatan di bidang tata pemerintahan yaitu:.. Penyusunan rencana dan program kerja Seksi

Sasaran strategis untuk mencapai tujuan ketiga (tercapainya pelayanan prima yang memenuhi standar pelayanan minimum) adalah:.. 90% unit pelayanan di perpustakaan sudah

Dari pengujian permeabilitas untuk tanah lempung (Batutegi) nilai koefisien permeabilitas mengalami kenaikan dan tanah lanau-pasir (Rajabasa) nilai koefisien

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada materi sifat komoditas sayur dan buah menggunakan model pembelajaran

Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Din-KP) Kabupaten Subang (25 Agustus 2010), diketahui bahwa pihak Din-KP Kabupaten Subang pada prinsipnya

Inti dari dua strategi diatas apabila strategi 1 dan 2 dapat dilaksanakan dengan baik diharapkan menghasilkan output yang baik bagi strategi no 3, dikarenakan untuk

Hasil Penjualan Rumah Tipe 187 Berdasarkan analisis tersebut, diketahui bahwa prediksi penjualan rumah tipe 187 di Citraland City Samarinda pada tahun 2015 semester I atau