• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario Kasus BBDM 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skenario Kasus BBDM 3"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS BBDM MODUL 6.2 TUGAS BBDM MODUL 6.2

SKENARIO 3 SKENARIO 3 Pertusis pada anak Pertusis pada anak

KELOMPOK 3 KELOMPOK 3 1.

1. Shaura Shaura Ladayna Ladayna 2201011412002222010114120022 2.

2. Irwandi Irwandi Samosir Samosir 2201011412002322010114120023 3.

3. RamadhaRamadhania nia Diba Diba 2201011412002422010114120024 4.

4. Theresia Theresia Monica Monica 2201011412002522010114120025 5.

5. Clara Clara Vica Vica Tarigan Tarigan 2201011412002622010114120026 6.

6. Riyan Riyan 2201011412002722010114120027 7.

7. Ulfa Ulfa Trimonika Trimonika 2201011412002822010114120028 8.

8.  Nina Kristiani  Nina Kristiani 2201011412002922010114120029 9.

9. Yanuarius Yanuarius Alvin Alvin 2201011412003022010114120030 10.

10. Qashda Qashda Naila Naila 2201011422010114120031120031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017 2017

(2)

SKENARIO SKENARIO

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 Kg datang ke p

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 Kg datang ke p uskesmas dengan keluhan batuk danuskesmas dengan keluhan batuk dan sesak nafas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek, sesak nafas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek, kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan nafas yang berbunyi , saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam(+) naik turun nafas yang berbunyi , saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam(+) naik turun sejak 2 minggu y

sejak 2 minggu yang lalu. 3 hari terakhir demam ang lalu. 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. tinggi terus menerus. Anak tidak mau makanAnak tidak mau makan dan minum. Riwayat tersendak di sangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena

dan minum. Riwayat tersendak di sangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu bekerjaibu bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok. Ibu pasien mempunyai riwayat alergi sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok. Ibu pasien mempunyai riwayat alergi debu. Riwayat imunisasi hepatitis B 2X , BCG satu kali. Pada PF didapatkan apatis, tampak debu. Riwayat imunisasi hepatitis B 2X , BCG satu kali. Pada PF didapatkan apatis, tampak sesak dan sianosis.

sesak dan sianosis. Tanda vital laju jantung Tanda vital laju jantung 130x/menit, isi tegang130x/menit, isi tegangan cukup, frekuensi nafasan cukup, frekuensi nafas 58x/menit, suhu 39c, SaO2 84% hidung nafas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat 58x/menit, suhu 39c, SaO2 84% hidung nafas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort disertai dengan retraksi subcosta, auskultasi paru SD bronkial diseluruh inspiratory effort disertai dengan retraksi subcosta, auskultasi paru SD bronkial diseluruh lapangan paru, S

lapangan paru, ST rhonki kasar (+), ekT rhonki kasar (+), ekstermitas atas dan bawah sianosis (+). stermitas atas dan bawah sianosis (+). Pemeriksaa labPemeriksaa lab didapatkan Hb 9,6 gr%, Ht 32%, leukosit 24.000/mmk, trombosit 556.000/mmk. Diffcount didapatkan Hb 9,6 gr%, Ht 32%, leukosit 24.000/mmk, trombosit 556.000/mmk. Diffcount 2/0/0/4/16/70/8. X foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat dipara hiler.

2/0/0/4/16/70/8. X foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat dipara hiler.

KATA SULIT KATA SULIT

1.

1. Inspiratory effortInspiratory effort

Peningkatan usaha nafas karena ada gangguan dalam ventilasi oksigen. Peningkatan usaha nafas karena ada gangguan dalam ventilasi oksigen. 2.

2. DiffcountDiffcount

 Nama lainnya hitung jenis leukosit. Untuk meng

 Nama lainnya hitung jenis leukosit. Untuk mengatahui jumlah leukosit.atahui jumlah leukosit.

2/0/0/4/16/70/8 : basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan 2/0/0/4/16/70/8 : basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan monosit

monosit 3.

3. Infiltrat dipara hilerInfiltrat dipara hiler

Gambaran densitas paru yg abnormal yg berbentuk bercak atau titik kecil dengan batas Gambaran densitas paru yg abnormal yg berbentuk bercak atau titik kecil dengan batas tdk tegas.

tdk tegas.

Parahiler berarti di parahilus paru Parahiler berarti di parahilus paru

(3)

RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa saat batuk kaki dan tangan biru?

2. Apa diagnosis? Dan apakah ada hubungan dengan tidak memberikan asi dan alergi? 3. Hasil PP?

4. Hubungan imunisasi lain yg belum diberikan dg kasus? 5. Apakah termasuk kegawat daruratan atau tidak?

6. Apakah kasus berhubungan dg bapak yang merokok?

7. Sianosis perifer dan sentral termasuk kegawatan atau tidak ? mana yang berat? Muncul disaturasi oksigen yg berapa?

PENYELESAIAN

1. Gejala : batuk khas pada pertusis. Yg disebabkan b.pertusis yg meninfeksi saluran nafas sehingga merusak silia saluran nafas sehigga terbentuk eksudat menyebabkan obstruksi saluran nafas jadi pernafarasan tidak lancar, sehingga menimbulkan gejala yg ada dikasus.

2. Ada stadium pertusis : kataralis, paroksisimal, konvalesen.

 Kataralis : 1-2 mingg  Paroksisimal : 2-6 mnggu  Konvalesen : 6-10 minggu

Asi mengandung kekebalan untuk bayinya. Karena tidak diberi maka mudah terserang  penyakit.di susu formula lebih besar molekul dari pada asi. Lebih baik diberi asi karena

mudah diserap.

Alergi tidak ada hub dengan pertusis. Untuk mengetahui alergi cek dengan IgE, eusinofil. Tidak bisa dilihat dari manifestasi klinis saja. Pada anak yg tidak diberi asi< 6  bulan maka bisa menimbulkan gangguan alergi dan asma pada umur 6 tahun.

3. Hasil Pemeriksaan penunjang

Leukosit meningkat, limfosit meningkat ( khas pada DPT), belum mendapat vaksin DPT. Foto thoraks ada infiltrat, atelektesis, dan empiema. Leukosit meningkat 15.000  –  100.000 /mmk dg limfositosis absolut.

(4)

4. Imunisasi lengkap ada DPT yang diberi 2, 4, 6 bulan. Seharusnya anak dikasus diberi imunisasi DPT. Tujuan imunisasi untuk memberi level protektif yg maksimal untuk anak yg di hasilkan jika diberikan imunisasi 3x.

5. Ada keluhan batuk yg menyebabkan biru , pada bayi <6 bulan indikasi dirawat jika ada gejala penumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, kebiruan setelah batuk.

6. Tidak ada hubungan dengan bapak yg merokok karena disebabkan dari bakteri. Tapi efek asap rokok dapat menimbulkan ggn saluran nafas.

Asap rokok memicu batuk yg dapat memperparah gejala batuk yg ada.

7. Sianosis sentral selalu diikuti perifer. Kemungkinan yang berat itu sianosis sentral. Saturasi oksigen yg sampai 80% bisa sianosis.

SKEMA

SASARAN BELAJAR

1. Etiologi dan faktor risiko 2. Patofisiologi dan patogenesis 3. Anamnesis, PF dan PP

4. Diagnosis banding 5. Komplikasi

6. Tatalaksana secara komperensif 7. KIE

Pertusis

Etiologi Pemeriksaan penunjang terapi Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Diagnosis banding Patogenesis

(5)

Etiologi dan faktor resiko

Pertusis

(whooping cough)

merupakan suatu penyakit infeksi traktus respiratorius yang secara klasik disebabkan oleh

Bordetella pertussis

, namun walaupun jarang dapat pula disebabkan oleh

Bordetella parapertussis

. Mukosa traktus respiratorius manusia merupakan habitat natural dari Bordetella pertussis dan parapertussis. Bordetella pertussis, bisa dikultur dengan media Bordet-Gengou. Pertama diisolasi tahun 1906 oleh Bordet dan Gengou.

Bordetella pertussis merupakan bakteri gram negatif yang dapat menghasilkan:

• Filamentous hemagglutinin (FHA) • Pertussis toxin

• Agglutinogens • Adenylate cyclase • Pertactin

(6)

Faktor resiko

• Tidak atau belum vaksin secara lengkap

• Riwayat kontak dengan penyakit (biasanya berjarak 3m) • Bayi atau anak-anak dibawah 5 tahun

• Sedang mengidap penyakit saluran pernafasan, misal asma. • Status Immunocompromised .

(7)

Bordetella pertussis

  is a Gram-negative, aerobic, pathogenic, encapsulated

coccobacillus of the genus Bordetella, and the causative agent of pertussis or whooping cough. Unlike B. bronchiseptica, B. pertussis is not motile. Its virulence factors include  pertussis toxin, filamentous hæmagglutinin, pertactin, fimbria, and tracheal cytotoxin.

• Humans are the sole reservoir for B pertussis and B parapertussis. B pertussis, a

gram-negative pleomorphic bacillus, is the main causative organism for pertussis. ( B  parapertussis is less common than  B pertussis and produces a clinical illness that is similar to, but milder than, that produced by  B pertussis.)  B pertussis  spreads via aerosolized droplets produced by the cough of infected individuals, attaching to and damaging ciliated respiratory epithelium. B pertussis also multiplies on the respiratory epithelium, starting in the nasopharynx and ending primarily in the bronchi and  bronchioles.

Pathogenesis of Pertusis :

• Exposure/Inoculation

• Tissue Tropism/Attachment

• Proliferation/Production of Virulence Factors • Evasion/Modulation of Host Defenses

• Local Cell and Tissue Dysfunction and Damage • Chronic Infection

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian melekat  pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan  pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan  protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi  perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

(8)

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B se lanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan li mfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (ters ering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat  pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses  penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan,

karena tidak menghasilkan toksin pertusis. Cara penularan pertusis, melalui:

Droplet infection

Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi

Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.

Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.

Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai

(9)

Keluhan

Perjalanan klinis pertusis yang dibagi menjadi 3 stadium yaitu: 1. Stadium Kataralis (stadium prodormal)

Lamanya 1-2 minggu. Gejalanya berupa : infeksi saluran pernafasan atas ringan, panas ringan, malaise, batuk, lacrimasi, tidak nafsu makan dan kongesti nasalis.

2. Stadium Akut paroksismal (stadium spasmodik)

Lamanya 2-4 minggu atau lebih. Gejalanya berupa : batuk sering 5-10 kali, selama batuk  pada anak tidak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk pasien menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar yang berbunyi melengking (whoop), dan diakhiri dengan muntah.

3. Stadium konvalesen

Ditandai dengan berhentinya whoop  dan muntah. Batuk biasanya menetap untuk  beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu.

Faktor Risiko

1. Siapa saja dapat terkena pertusis.

2. Orang yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis.

3. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi kembali dapat terjadi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana

(Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tanda Patognomonis

1. Batuk berat yang berlangsung lama 2. Batuk disertai bunyi “whoop‟ 3. Muntah

(10)
(11)

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada  bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga

terjadi pada infeksi lain.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya infeksi  pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer  baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling

sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis.

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.

(12)

Diagnosis Banding

Komplikasi

 Pneumonia.

Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder  bakteri atau akibat aspirasi muntahan.

(13)

Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode  batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.

Tatalaksana pneumonia: lihat bab tatalaksana pneumonia

 Kejang.

Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.

Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri antikonvulsan

 Gizi kurang.

Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh ber kurangnya asupan makanan dan sering muntah.

 Perdarahan dan hernia

Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus.

Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

Tatalaksana

Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan  perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan  pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.

Antibiotik

Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan  periode infeksius.

(14)

Oksigen

Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk  paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada  posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas

Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam  posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode sianotik, isa p lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Perawatan penunjang

Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT. Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

Pemantauan

Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat

(15)

dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.

 Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)

 Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia

 Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai  pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak  berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5

 Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis.

 Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia dan/ atau dehidrasi.

Terapi antibiotik

Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi. Penyulit o Pneumonia o Kejang o Atelektasis o Ruptur alveoli o Emfisema

o Tanda perdarahan, berupa: Epistaksis, melena, perdarahan subkonjungtiva, hematom

epidural, perdarahan intrakranial

o Bronkiektasi

o Meningoensefalitis, ensefalopati, koma o Pneumotoraks

o Dehidrasi dan gangguan nutrisi o Ruptur diafragma

o Hernia umbilikalis/inguinalis, prolaps rekti

Indikasi Rawat

 Pertusis pada bayi usia < 6 bulan

 Pertusis dengan penyulit, termasuk apnea dan spel sianotik

(16)

Pemantauan

 Monitor kemungkinan gangguan respirasi, kesadaran, dehidrasi, serta anoreksia pada kasus yang memerlukan tindakan rawat di Rumah Sakit

 Amati apakah demam tidak membaik atau bahkan bertambah buruk setelah terapi hari ke-3, karena mungkin terjadi infeksi sekunder

 Isolasi terhadap kasus sampai hari ke-5 pemberian antibiotik

 Pemberian antibiotik profilaksis kepada kontak erat Konsultasi

Bedah Saraf, Bedah Toraks dan Vaskular, serta Bedah Anak bila terj adi komplikasi Pencegahan

1. Kewaspadaan penularan melalui droplet:

 Sampai hari ke-5 pemberian antibiotik yang efektif

 Sampai minggu ke-3 setelah timbul batuk paroksismal, apabila tidak diberikan antibiotik

2. Imunisasi:

Terdapat 2 tipe vaksin pertusis, yaitu: 1) vaksin whole-cell (wP) dengan basis B. pertussis yang dimatikan dan 2) vaksin acellular (aP) dengan komponen organisme highly purified. Prognosis

 Mortalitas terutama oleh karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia, dan  penyulit paru lain

 Pada anak besar --> prognosisnya baik

 Dapat timbul sekuele berupa wheezing pada saat dewasa

(17)

CDC merekomendasikan post exposure antibiotic pada orang  –  orang yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami pertusis berat dan orang yang akan memiliki kontak dengan orang yang memiliki resiko tinggi mengalami pertusis berat.

Pemberian post exposure profilaksis pada semua rumah tangga yang memiliki kontak dengan  pasien pertussis. Pemberian profilaksis dilakukan selama 21 hari onset batuk pasien pada

anggota keluarga yang asimptomatik.

Pemberian post exposure antibiotik selama 21 hari pada orang  –  orang yang memiliki resiko tinggi :

a) Anak –  anak dan wanita hamil pada trimester 3.

Pertusis pada golongan ini dapat bermanifestasi berat dan kadang  –   kadang fatal, terutama karena komplikasi pertusisnya ( pada anak usia <12 bulan, khususnya anak  berusia <4 bulan ). Wanita hamil trimester 3 yang terkena pertusis dapat menjadi

sumber pertusis untuk anak yang baru lahir

 b) Pasien dengan kondisi kesehatan tertentu yang dapat diperparah dengan infeksi  pertusis, misalnya pasien dengan asthma sedang dan berat

c) Pada orang –  orang yang memiliki kontak dekat dengan anak berusia < 12 bulan, wanita hamil, atau individu yang memiliki sakit berat

(18)
(19)

DAFTAR PUSTAKA

1.  Nelson Textbook of Pediatrics 20th Edition

2. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit  –  WHO 2009

3. Pudjiadi AH, Hegar B, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Edisi II. Ikatan dokter anak indonesia. 2011.

4. Arif. M. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius. FK UI. 2008.

(20)
(21)

Referensi

Dokumen terkait

kelemahan umum yang terjadi secara akut yang disertai dengan menurunnya kadar kalium dalam darah &lt; 3.0 mmol per liter atau kurang.. • Pencetus: pemberian insulin, konsumsi

Keefektifan Portal Rumah Belajar sebagai Sarana Pembelajaran Matematika secara Daring di Sekolah Dasar: Skripsi, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu peningkatan kadar bioetanol dengan penambahan zeolit dengan ukuran partikel yang berbeda diperoleh hasil peningkatan kadar

Hasil ini dapat diartikan bahwa besarnya pertumbuhan laba pada perusahaan prospector mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap abnormal return dibanding

modes of thought have been fostered by say French and Latin of various epochs and not (in Joyce's case emphatically NOT) by the sort of sloppy writing that

Whewell mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu; mengklarifikasi; menarik kesimpulan secara induksi; pembuktian kebenaran (verifikasi). Hal ini disebabkan karena

Sehingga dapat disimpulkan bahwa H 0 ditolak, yang artinya secara simultan perubahan laba bersih, perubahan arus kas operasi, perubahan arus kas investasi, perubahan