• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa di dunia beserta dengan keunikannya masing-masing merupakan fenomena yang sangat menarik bagi para ahli bahasa untuk diteliti sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu kebahasaan itu sendiri.

Salah satu objek penelitian bahasa yang menarik adalah pembentukan kata atau word formation karena hal itu mutlak terjadi dalam suatu bahasa dan disebut sebagai proses morfologi. Morfologi termasuk salah satu studi kebahasaan (linguistik) yang mengkaji struktur internal kata atau leksikon suatu bahasa. Kata dalam hal ini dipandang sebagai satuan-satuan padu bentuk dan makna yang memperlihatkan aspek valensi sintaksis, yakni kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki kata untuk berkombinasi dengan kata-kata lain dalam kelompok kata (Uhlenbeck dalam Ekowardono,1982:54).

Pada tingkat gramatikal, kata secara tradisional dipahami sebagai unsur terkecil bahasa yang diidentifikasikan asal dan bentuknya dalam suatu paradigma. Setiap bahasa tentunya dapat dijabarkan ihwal kata itu dan properti-properti morfosintaksisnya (Matthews, 1974:136). Pada abad ke-19, istilah morfologi sebagai bidang linguistik dipahami sebagai studi tentang perubahan-perubahan

(2)

2

secara sistematis tentang bentuk kata yang dihubungkan dengan maknanya (Bauer, 1988:4). Hal itu dapat diambil contoh pasangan kata sebagai berikut:

Verba Nomina

to design ‘menggambar’  designer ‘perancang’ to fight ‘berjuang’  fighter ‘pejuang/petinju’ to write ‘menulis’  writer ‘penulis’

Kata-kata tersebut tidak hanya dikaji bentuk katanya, tetapi juga dikaji fungsi unit-unit lain dalam mengubah bentuk katanya. Dengan begitu, kajian morfologi berkaitan dengan proses infleksi dan derivasi (Katamba; 1993:206). Dengan demikian, dalam proses pembentukan kata terdapat dua jenis afiks, yaitu afiks-afiks infleksional dan afiks-afiks derivasional. Afiks infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk-bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang menghasilkan leksem baru dari leksem dasar. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa morfologi infleksional atau infleksi berkaitan dengan proses afiksasi yang ditentukan secara sintaksis, sedangkan morfologi derivasional atau derivasi digunakan untuk membentuk leksikal baru (Bauer, 1988:80).

Kedua proses morfologis itu menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena proses pembentukan kata ini pasti terjadi di semua bahasa dan tiap-tiap bahasa menunjukkan proses yang berbeda. Dalam penelitian ini dibahas tentang salah satu proses derivasi, yaitu nominalisasi. Istilah ini mengacu pada proses pembentukan nomina (kata benda) dari kelas kata yang lain (verba, adjektiva, adverbial) melalui penambahan afiks derivasional (Kridalaksana, 1984 :132).

(3)

3

Topik ini menarik untuk dibahas karena nominalisasi merupakan bagian yang penting dalam penggunaan bahasa, baik nominalisasi verba maupun adjektiva. Dalam penelitian ini secara khusus dibahas tentang nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis. Bahasa Perancis sebagai salah satu bahasa internasional tidak hanya digunakan sebagai bahasa resmi oleh 24 negara, namun juga sebagai bahasa ibu oleh lebih dari 77 juta penduduk di dunia, sebagai bahasa kedua oleh 12 juta jiwa lainnya, serta digunakan sebagai bahasa resmi pada komunitas dan organisasi dunia, seperti Uni Eropa, IOC, PBB, dan FIFA.Bahasa Perancis memiliki keunikan dari segi pelafalan, kosakata, dan tata bahasanya. Salah satu bagian yang cukup unik dan menarik untuk dikaji dan dipahami adalah adjektiva dalam bahasa tersebut. Adjektiva bahasa Perancis sendiri memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Ada dua hal yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan adjektiva bahasa Perancis, yaitu gender (maskulin/feminin) serta number (tunggal atau jamak) dari nomina yang diterangkannya. Sebagai contoh, adjektiva grand ‘besar’ akan memiliki bentuk-bentuk sebagai berikut.

grand batiment (n.m.sg) ‘gedung besar’, grands batiments (n.m.pl) ‘gedung-gedung besar’ grande maison (n.f.sg) ‘rumah besar’,

grandes maison (n.f.pl) ‘rumah-rumah besar.

Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa ada empat bentuk untuk adjektiva grand ‘besar’, yaitu grand, grand

s

,

grand

e

, dan grand

es

. Proses seperti ini termasuk dalam proses infleksi karena tidak menghasilkan kata yang baru, artinya

(4)

4

keempat bentuk tersebut memiliki fungsi dan kategori kata yang sama. Dapat dilihat bahwa tiga bentuk terakhir mendapat sufiks -e, -s, dan –es (dalam bahasa Perancis disebut accord). Sufiks –e bersifat inflektif, yaitu sebagai penanda gender feminin, sedangkan sufiks –s sebagai penanda jamak, dan –es merupakan penanda gender feminin jamak. Perubahan ini mengikuti aturan-aturan morfologi tertentu (adjective agreement) karena ada adjektiva yang mengalami perubahan yang teratur (regulier) dan tidak teratur (irregulier).

Secara praktis, adjektiva bahasa Perancis dapat diubah menjadi nomina, baik dengan proses derivasi yang memerlukan derivational affiks maupun nominalisasi dengan zero derivation. Menurut Mattews (1974:65), proses yang terakhir ini disebut konversi (conversion), yaitu perubahan kelas kata tanpa penambahan afiks atau proses derivasi dengan penambahan zero morfem. Dalam bahasa Perancis hal ini juga dikenal dengan istilah derivation impropre, yaitu perubahan kategori gramatikal sebuah kata yang disebabkan oleh fungsinya dalam ujaran (Gardes-Tamine, 2001 :43). Biasanya, kategori sebuah kata dapat kita pastikan dalam kamus, namun dalam percakapan sehari-hari akan cukup sulit untuk menentukan kategori kata. Sering terjadi kategori sebuah kata berubah sesuai dengan fungsinya dalam kalimat. Hal ini dapat kita lihat pada contoh berikut.

a. Tous les hommes sont charmé par sa beauté semua DEF.pl N.m.laki-laki PAS.terpukau oleh POSS.3sg. N.f.sdkecantikan Semua lelaki terpukau pada kecantikannya.

b. Le beau de cette image est sa simplicité DEF.m.sg ADJ.cantik PART DEM.f.ini gambar adalah POSS3.sg N.f.kesederhanaan (sesuatu) Yang indah dari gambar ini adalah kesederhanaannya.

(5)

5

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa bentuk dasar adjektiva beau ‘cantik/indah’ dapat mengalami kedua tipe nominalisasi, yaitu :

1. [beauadj + -té]  beauté N ‘keindahan’

2. [beauadj + ø]  beau N ‘indahnya’

Untuk tipe kedua, adjektiva beau berubah kelas katanya menjadi nomina dengan tanpa adanya afiksasi, namun kelas katanya telah berubah menjadi nomina yang dibuktikan dengan adanya artikel definit le. Perlu diketahui bahwa setiap nomina dalam bahasa Perancis harus didahului oleh determinan (penanda nomina), seperti artikel definit/indefinit, artikel partitif, demonstratif, penanda possesif, dan sebagainya (Hutagalung, 2003:30). Dengan demikian, kata beau di atas dapat dipastikan berubah kelas katanya menjadi nomina karena ada artikel definit (le) sebagai penanda nomina masculin di depan kata beau tersebut. Perubahan seperti ini sering disebut dengan zero-derivation atau conversion karena tidak adanya penambahan afiks untuk mengubah kelas kata. Karakteristik dari konversi ini adalah bentuk dasar dan bentuk derivasi yang dihasilkan sama persis, yang membedakan adalah makna semantik dan kategori morfosintaksisnya. Kedua tipe nominalisasi ini sangat umum digunakan dalam bahasa Prancis sehingga menarik untuk diulas karena memperlihatkan dua bentuk nomina yang berbeda dari satu bentuk dasar adjektiva yang sama.

Jika dilihat dari struktur morfologinya, bahasa Perancis merupakan tipe bahasa fleksi karena perubahan internal cenderung terjadi dalam akar kata itu sendiri. Namun, pembubuhan afiks juga dapat dilakukan dalam membentuk suatu leksikal baru dan mengekspresikan makna gramatikalnya. Akan tetapi,

(6)

6

penggunaannya tidak sesering seperti dalam bahasa aglutinasi. Karena penggunaannya yang khusus tersebut, nominalisasi adjektiva yang termasuk dalam proses derivasi menjadi menarik untuk diteliti sehingga dapat diketahui leksikal baru apa saja yang dapat dibentuk oleh afiks-afiks derivasional yang terdapat dalam bahasa Perancis.

Penelitian tentang proses pembentukan kata khususnya tentang nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis telah dilakukan oleh beberapa peneliti luar, di antaranya adalah Nominalizations and the Structure of Adjectives oleh Roy (2007). Pada penelitian ini, nominalisasi adjektiva hanya dibahas secara umum, tidak diuraikan kaidah pembentukan nomina dari dasar adjektiva. Selain itu, penelitian ini lebih cenderung membahas struktur adjektiva dengan menguraikan fungsinya dalam frasa. Kemudian penelitian yang kedua The Nominalization of Adjectives in French: From Morphological Conversion to Categorial Mismatch” oleh Lauwers (2008) yang membahas nominalisasi adjektiva dengan cara konversi (tanpa afiksasi) beserta struktur frasa dan makna yang dihasilkan dari proses tersebut. Kedua penelitian yang telah dilakukan tersebut sama-sama membahas nominalisasi, namun ada perbedaan, baik dalam hal bidang yang dikaji maupun teori yang digunakan. Begitu pula dengan buku-buku tata bahasa Perancis, pembahasan tentang hal ini hanya bersifat struktural, tidak disertai dengan kaidah-kaidah pembentukan kata.

Penelitian mengenai nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis masih perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam, baik tentang proses afiksasi maupun konversi di dalamnya. Penelitian ini berbeda

(7)

7

dengan penelitian sebelumnya, terutama dalam teori yang digunakan, yaitu teori Morfologi Generatif ditambah pula kajian bentuk dan makna gramatikal dari kedua proses nominalisasi tersebut. Penerapan teori ini diharapkan dapat menjelaskan dengan baik tentang proses pembentukan kata, temasuk pembentukan kata-kata potensial dan kaidah penyesuaian yang terjadi dalam proses afiksasi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Di dalam penelitian ini dibahas tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut. 1. Afiks-afiks apa sajakah yang dapat membentuk nomina dari dasar

adjektiva dalam bahasa Perancis?

2. Bagaimanakah proses atau kaidah pembentukan kata dalam nominalisasi adjektiva bahasa Perancis, baik dengan afiksasi maupun konversi berdasarkan teori morfologi generatif?

3. Apakah fungsi dan makna gramatikal yang terbentuk dari kedua proses nominalisasi adjektiva tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena kebahasaan terutama mengenai proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa

(8)

8

Perancis dari sudut pandang Teori Morfologi Generatif. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif pada tata bahasa Perancis terutama dalam pemahaman pembentukan nomina dari bentuk dasar adjektiva.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu :

1. mengidentifikasi afiks-afiks pembentuk nomina dari dasar adjektiva dalam bahasa Perancis;

2. menjelaskan proses pembentukan kata dalam nominalisasi adjektiva bahasa Perancis dengan menggunakan teori Morfologi Generatif; 3. menemukan makna gramatikal yang terbentuk dari proses nominalisasi

tersebut.

1.4 Jangkauan penelitian

Jangkauan penulisan dalam penelitian ini adalah proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, baik dengan penambahan afiks derivasional maupun dengan konversi. Permasalahan yang dibahas mencakup pengidentifikasian afiks-afiks pembentuk nomina dari dasar adjektiva, kemudian bagaimana proses pembentukannya, dan makna gramatikal yang terbentuk dari proses tersebut. Data yang diteliti adalah nomina yang berasal dari bentuk dasar adjektiva kualifikatif, yaitu adjektiva yang mendeskripsikan nominanya, seperti bentuk, warna, ukuran, sifat, dan lain-lain.

(9)

9

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis . Kedua manfaat yang diharapkan itu diuraikan berikut ini.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan di bidang linguistik terutama kajian Morfologi Generatif. Di samping itu, data dan informasi dalam penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman proses derivasi khususnya nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi khususnya tentang proses nominalisasi bagi para peneliti lain ataupun pengguna bahasa Perancis di Indonesia. Di samping itu, penjelasan tentang proses morfologis di dalamnya diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang Teori Morfologi Generatif serta dapat menunjang pengajaran bahasa Perancis tentang penggunaan afiks derivasional pada adjektiva dalam membentuk nomina.

(10)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian dalam bidang morfologi sudah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain dapat membuka wawasan tentang topik yang sama dan mengetahui sampai sejauh mana topik ini sudah diteliti. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hasil penelitian yang berkaitan dengan morfologi bahasa Perancis khususnya masalah nominalisasi dengan menggunakan Teori Morfologi Generatif belum ada. Oleh sebab itu, dianggap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas masalah morfologi bahasa Perancis dan sejumlah penelitian Morfologi Generatif di luar bahasa Perancis. Jadi, pada bagian ini diuraikan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Morfologi Generatif terutama dalam derivasi ataupun afiksasi. Dalam uraian berikut terkandung cakupan penelitian, teori yang digunakan, proses analisisnya, dan hasil yang diperoleh.

Pramesti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Adjektiva Derivational dalam Bahasa Jepang : Sebuah Kajian Morfologi Generatif” mengkaji aturan dan proses pembentukan adjektiva dalam bahasa Jepang dengan afiks derivasional, termasuk menganalisis fungsi dan makna, serta mengidentifikasi perbedaan antara adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan dilihat dari distribusinya dalam kalimat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adjektiva derivasional

(11)

11

dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan menggunakan prefiks {fu-, ko-, dan ka-} dan sufiks {-(i)ta, -rashi, -ppo, dan –teki}. Adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan berbeda kontribusinya dalam kalimat. Adjektiva turunan hanya dapat muncul satu kali dalam sebuah kalimat, sedangkan adjektiva bukan turunan dapat muncul dan menduduki lebih dari satu fungsi sintaksis. Walupun tulisan ini membahas adjektiva bahasa Jepang, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang proses derivasi dengan menggunakan teori morfologi generatif sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini.

Simpen (2008) menulis sebuah artikel pada Jurnal Linguistika berjudul “Afiksasi Bahasa Bali : Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. Kajian ini berangkat dari fenomena kebahasaan, khususnya bahasa Bali dalam bidang morfologi, di mana sebagian besar kajian morfologi menggunakan Teori Struktural yang dirasa kurang relevan untuk diterapkan dalam proses pembentukan kata. Misalnya untuk bentuk mebisan ‘berbus’ dan niyuk ‘menggunakan alat dengan tiyuk/ pisau’ tidak pernah digunakan dalam percakapan, sedangkan bentuk medokaran ‘berdelman’, mesepedaan ‘bersepeda’, numbeg ‘mencangkul’ sangat biasa digunakan dalam bahasa Bali. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan Teori Morfologi Generatif, yaitu teori baru yang dianggap mampu memberikan penjelasan (explanation adequacy) terhadap fenomena yang ada. Dengan cara ini diharapkan tidak ada bias dalam proses afiksasi. Prinsip dasar dalam Morfologi Generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, dan pemblokan.

(12)

12

Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh sejenis niyuk; nyilet, memotlot, memensil. Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperanan dalam pemahaman teori morfologi generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia. Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek penelitian dalam dua penelitian di atas tidak serumpun dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis, penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberi banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan proses afiksasi dengan menggunakan teori Morfologi Generatif dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah proses nominalisasi adjektiva dengan menggunakan teori tersebut.

Dubois dan Langane (1973: 120) dalam bukunya La Nouvelle Grammaire du Franᯀais mengemukakan bahwa kata yang diperoleh setelah penambahan sufiks dan setelah melalui suatu proses transformasi kalimat disebut kata derivasional (mots dérivés). Mereka juga membahas sufiks yang digunakan dalam transformasi suatu bentuk dasar menjadi grup nomina dapat dibagi menjadi dua kelompok tergantung dari bentuk dasarnya apakah merupakan bentuk dasar adjektiva atau participe (suatu bentuk dalam sistem kata kerja bahasa Perancis).

(13)

13

Sufikssufiks yang ditambahkan pada bentuk adjektiva, antara lain {at, -ce, -erie, -esse, -eur, -ie, -ise, -ité, -itude, -isme}, sedangkan sufiks-sufiks yang digunakan pada bentuk participe atau kata kerja adalah {-age, -e, -ment, -tion, -ure}. Di dalam buku ini, sama sekali tidak dibahas tentang bagaimana proses pembentukan kata derivasional dengan menggunakan sufiks-sufiks tersebut, demikian pula dengan makna yang dihasilkan dari proses derivasi tersebut. Selain itu, juga tidak disinggung mengenai bentuk derivasi melalui proses konversi. Namun, buku ini telah memberikan kontribusi yang berarti dalam penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam transformasi kalimat dan menentukan sufiks-sufiks pembentuk nomina.

Kajian berikutnya adalah sebuah artikel pada jurnal Folia Linguistika dengan judul “The Nominalization of Adjectives in French: From Morphological Conversion to Categorial Mismatch” oleh Lauwers (2008). Penelitian ini membahas nominalisasi adjektiva yang terfokus hanya pada nominalisasi dengan zero derivation atau dengan tanpa penambahan afiks pada bentuk dasarnya. Contoh lebavard ‘si cerewet (orang)’, l’aveugle ‘si buta (orang), le faux ‘yang salah’, le vrai ‘kebenaran’. Hal seperti ini juga sering disebut dengan proses konversi, yaitu perubahan kelas kata tanpa pembubuhan afiks. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara sintaksis dan dianalisis berdasarkan distorsi kategorial (distortion categorielle). Jadi, dalam penelitian ini tidak diuraikan mengenai proses nominalisasi adjektiva dengan menggunakan afiksasi. Kontribusinya dalam penulisan penelitian ini adalah tentang bentuk-bentuk

(14)

14

konversi adjektiva menjadi nomina dan makna yang terbentuk dari proses tersebut sesuai dengan konteks dalam kalimat.

Kajian yang terakhir adalah “Nominalizations and the Structure of Adjectives” oleh Roy (2007). Dalam artikel ini dipaparkan mengenai struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi adjektiva. Ada dua sumber jenis adjektiva, yaitu predikatif dan atributif. Adjektiva predikatif adalah adjektiva yang dalam kalimat memerlukan kata kerja keadaan sebagai penghubung, sedangkan adjektiva atributif adalah adjektiva yang muncul sebagai modifier dari nomina yang diterangkannya, seperti diungkapkan pada contoh berikut.

a. She is a beautiful dancer Adj.atributif

‘Dia adalah seorang penari cantik’ b. The dancer is beautiful

Adj.predikatif ‘Penari itu cantik’

Selanjutnya dikatakan bahwa hanya struktur adjektiva predikatif yang dapat mengalami nominalisasi. Kemudian dipaparkan mengenai struktur sintaksis kedua tipe adjektiva tersebut. Setelah itu disebutkan bahwa ada dua kelas nomina yang dibentuk dari dasar adjektiva, yaitu sebagai berikut.

1. Nomina keadaan (State-nominals)

La popularité de ses chansons m’impressionné DEF.f.sg popularitas PREP POSS.2pl. N.f.pl.lagu ku.memukau ‘Kepopuleran lagu-lagunya memukauku’

Nomina ini mendeskripsikan suatu keadaan dan memerlukan struktur argumen serta hanya dapat diderivasikan dari adjektiva predikatif.

(15)

15

2. Nomina kualitas (quality-nominals) La fierté l’ aveugle DEF.f.sg kebanggan COD-dia buta ‘Kebanggaan membutakan dia’

Sebaliknya, nomina kualitas tidak memerlukan struktur argumen dan menggambarkan suatu kualitas.

Secara umum penelitian ini cukup menarik terutama tentang struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi, sedangkan kelemahannya adalah penjelasan mengenai bagaimana proses pembentukan nomina dari adjektiva masih sangat kurang.

Berdasarkan kajian-kajian di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai derivasi dalam bahasa Perancis, terutama tentang nominalisasi adjektiva masih perlu dilakukan untuk menambah keragaman penelitian tentang kajian morfologi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam dua penelitian pertama, objek bahasanya jelas berbeda (bahasa Jepang dan bahasa Bali), namun sama-sama menggunakan Teori Morfologi Generatif untuk menggambarkan proses afiksasi sehingga dapat dijadikan acuan untuk menganalisis data pada penelitian ini. Pada tiga kajian berikutnya yang juga membahas proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, sejauh ini hanya sebatas mendeskripsikan jenis-jenis afiks derivasional dan proses derivasi adjektiva menjadi nomina hanya digambarkan secara struktural. Di samping itu, teori Morfologi Generatif belum pernah diterapkan dalam proses analisis nominalisasi adjektiva oleh para linguis Perancis.

(16)

16

2.2 Konsep

Sebelum pemaparan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, disampaikan juga konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan berikut ini.

2.2.1 Leksem dan Kata

Mengutip pendapat Lyon, Kridalaksana (1996) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah yang merupakan “bahan dasar” yang telah mengalami “pengolahan gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika.

Lyons (1977:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem WALK ‘berjalan’ akan dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked, walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena kata-kata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem WALK. Huruf capital kecil digunakan untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3). Jadi, kita harus membedakan leksem dengan kata, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan unit konkret yang digunakan dalam

(17)

17

kalimat (Matthews, 1974:22). Kata sebagai satuan yang memiliki makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih.

2.2.2 Infleksi dan Derivasi

Menurut Bauer (1988:80), dalam buku Introducing Linguistic Morphology, morfologi dipilah atas morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Infleksi merupakan bagian dalam sintaksis karena bersifat melengkapi bentuk-bentuk leksem dan derivasi menjadi bagian dari leksis karena menyediakan leksem-leksem baru. Morfologi leksikal mengkaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda (beridentitas baru) dari kata yang menjadi dasarnya. Hal ini berbeda dengan morfologi infleksional yang mengkaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal dari leksem yang sama.

Mathews (1974: 38) membedakan antara proses infleksi dengan proses pembentukan kata (word formation) yang mencakup derivasi dan komposisi Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata- kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan, sedangkan pembentukan infleksi bersifat teramalkan (predictable). Misalnya, verba work ’bekerja’ otomatis akan dikenali works, worked, working (bentukan infleksional yang teramalkan); berbeda dengan contoh derivasi work ’bekerja’  worker ’pekerja’, apakah agree ’setuju’  agreer?

(18)

18

Sehubungan dengan derivasi dan infleksi, Booij (1988:39) juga menyatakan bahwa afiks-afiks derivasional merupakan morfem terikat yang digabungkan dengan base untuk mengubah kelas katanya (part of speech). Misalnya, kata-kata teach ’mengajar’, build ’membangun’, dan sweep ’menyapu’ adalah verba, tetapi jika ditambahkan afiks derivasional -er, akan menjadi nomina teacher ’pengajar’, builder pembangun’, dan sweeper ’tukang sapu’. Jika ditambahkan sufiks -ly pada adjektiva happy ’senang’, loud ’keras’, smooth ’lembut’, akan didapatkan adverbia happily ’dengan gembira’, loudly ’dengan keras (suara)’, smothly ’dengan lembut’.

Haspelmath (2002:60--83) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai infleksi dan derivasi dengan para pendahulunya, yaitu morfologi menggunakan terminologi yang berbeda untuk membicarakan infleksi dan derivasi. Dalam bukunya Understanding Morphology dipaparkan bahwa makna infleksi pada bahasa ditemukan sangat terbatas, banyak di antaranya muncul dari kata-kata inti yang umum dari nomor, kasus, aspek, mood, dan agreement ‘persetujuan’, sedangkan makna derivasi lebih bervariasi.

Samsuri (1982: 198) di dalam buku Analisis Bahasa mengungkapkan pendapatnya tentang derivasi dan infleksi, yaitu bahwa derivasi ialah konstruksi yang berbeda distribusinya daripada dasarnya, sedangkan infleksi adalah konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menyatakan bahwa di dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris, pengertian derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Misalnya: books (dari book), stop, stopped, stopping (stop); prettier, prettiest (pretty); sebagai contoh

(19)

19

infleksi. Sebaliknya, derivasi dicontohkan: runner (run), beautify (beauty). Semua bentuk, seperti book jika mendapat sufiks -s (plural), merupakan infleksi, seperti car-cars, table-tables, dsb. Namun, di dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian karena sistem afiks bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, masih merupakan persoalan, apakah pengertian infleksi dan derivasi dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia. Lessard (1996) dalam Introduction à la Linguistique Franᯀaise juga membagi proses morfologi ke dalam dua jenis, yaitu la morphologie derivationnelle di mana proses tersebut menghasilkan suatu jenis kata yang baru (dengan menambahkan afiks) dan la morphologie flexionnelle yang tidak menghasilkan suatu kata yang baru (seperti penambahan penanda jamak dan penambahan akhiran dalam konjugasi verba). Dalam hal ini, afiks infleksional cenderung diletakkan setelah afiks derivasional, misalnya kata tristesses ‘kesedihan-kesedihan’. Pada kata itu terdapat tiga morfem, yaitu triste ‘sedih’, sufiks -esse yang memberi makna keadaan/kualitas seperti yang disebutkan pada bentuk dasar, dan –s yang merupakan penanda jamak.

[triste] A + [-esse]  [tristesse] N.sg (1)

[tristesse] N + [-s]  [tristesses] N.pl (2)

Proses (1), akhiran –esse (afiks derivasional) dilekatkan terlebih dahulu untuk mengubah bentuk dasar adjektiva ‘triste’ menjadi sebuah nomina abstrak tunggal tristesse ‘kesedihan’. Setelah itu, baru mendapat akhiran –s untuk membuat nomina dalam bentuk jamak (afiks infleksional).

(20)

20

2.2.3 Bentuk Dasar (Base)

Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159), contoh : kata berlayar terdiri atas morfem ber- dan layar, maka layar adalah bentuk dasar dari kata berlayar itu. Bentuk dasar dapat dibedakan menjadi bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat. Ciri-ciri bentuk dasar adalah: (1) satuan bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah kosakata, (2) satuan yang berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3) merupakan bahan baku dalam bahan morfologis, (4) sebagai unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis.

Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat (Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya morfem terikat adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat

(21)

21

muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis (BP) berikut : tables ‘meja’, grandes ‘besar’, maisons ‘rumah’, vendeur ‘penjual’, incomplete ‘tidak lengkap’. Bentuk-bentuk dalam tulisan cetak miring merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sebaliknya, bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna gramatikal.

2.2.4 Nominalisasi

Sebelum beranjak pada istilah nominalisasi, ada baiknya dibahas tentang apa itu nomina. Dalam tata bahasa Indonesia, kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan, yang menurut wujudnya dibagi atas kata benda konkret dan kata benda abstrak (Keraf, 1984: 63). Dalam bahasa Perancis, kata benda adalah bagian yang paling penting dalam suatu grup nomina, yang dibentuk dengan didahului oleh suatu determinan. Kata benda dapat berupa makhluk hidup (manusia, anjing, nama diri) ataupun benda-benda (mobil, rumah, buku, dll.). Selain itu, juga dapat bermakna suatu kualitas (kecantikan, kekuatan) ataupun suatu aksi (pembersihan, keberangkatan, dan sebagainya). Namun, yang paling penting dalam menentukan kelas nomina adalah melalui fungsi sintaksisnya dalam kalimat (Dubois, 1973: 39).

Samsuri (1981 :87) mendeskripsikan nominalisasi secara terperinci berdasarkan kajian transformasi generatif bahwa nominalisasi adalah proses atau

(22)

22

hasil perubahan bentuk kata menjadi bentuk-bentuk baru yang mempunyai distribusi seperti nomina. Kridalaksana (1984:132) mengatakan “Nominalisasi itu adalah proses atau hasil membentuk nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks tertentu”. Dari pendapat para ahli bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa istilah nominalisasi adalah penggunaan verba, ajektiva, ataupun adverbial sebagai bentuk dasar dalam pembentukan nomina, baik dengan maupun tanpa adanya tranformasi secara morfologi.

Ada dua tipe nominalisasi dalam bahasa Perancis yang hampir sama dengan yang ada dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah nominalisasi yang memerlukan derivational afiks untuk membentuk nomina, seperti beau (ADJ.indah, tampan/cantik) + {-té} => la beauté (N.f. keindahan, kecantikan). Adjektiva beau berubah menjadi nomina dengan penambahan suffiks -té. Tipe yang kedua adalah nominalisasi dengan zero morfem. Proses ini juga dikenal dengan istilah konversi. Hal yang dimaksud adalah beberapa verba atau adjektiva dapat langsung digunakan sebagai nomina tanpa penambahan sufiks derivasional.

2.2.5 Adjektiva

Kejelasan kriteria mengenai adjektiva beserta ciri-cirinya sangat penting diketahui untuk memahaminya dengan baik dan benar. Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi (2003: 171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat.

(23)

23

Pendapat lain yang hampir sama menyatakan bahwa adjektiva atau kata sifat adalah kata yang melekat pada kata benda untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kualitas kata benda tersebut seperti bentuk, warna, ukuran, tampilan, dan lain-lain (Dubois, 1973 : 105).

Adjektiva bahasa Perancis memiliki keunikan yang berbeda dengan adjektiva bahasa Inggris, terutama dalam dua hal berikut :

1. Adjektiva bahasa Perancis harus sesuai dengan nomina yang dimodifikasi sehingga suatu adjektiva akan mempunyai sampai dengan empat bentuk adjektiva yang sesuai dengan gender dan number, misalnya untuk kata petit ’kecil’ akan mempunyai bentuk petit (untuk menerangkan nomina maskulin tunggal), petite (feminin tunggal), petits (maskulin jamak), petites (feminin jamak). Namun, ada pula yang mempunyai dua bentuk saja, seperti kata pauvre ’miskin’. Perubahan bentuknya hanya pauvre (maskulin/feminin tunggal) dan pauvres (maskulin/feminin jamak). 2. Adjektiva bahasa Perancis tidak seperti adjektiva bahasa Inggris yang

posisi adjektivanya berada sebelum nomina. Namun, adjektiva bahasa Perancis dapat berada sebelum atau sesudah nomina yang diterangkan, tergantung dari jenis dan maknanya.

2.2.6 Morfologi Generatif

Prinsip dasar dalam morfologi generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Teori ini

(24)

24

memiliki perangkat kaidah untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi.

Bentuk potensial dalam kajian ini mengacu pada pendapat Halle, Aronoff, Scalise, dan Dardjowidjojo, yaitu bentuk yang secara gramatikal atau morfologis berterima, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan secara empiris. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, pemblokan, dan penyesuaian. Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh yang tidak lazim ditemukan dalam tuturan sehari-hari.

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mengacu pada teori Morfologi Generatif. Pemilihan teori ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) teori Morfologi Generatif belum pernah digunakan dalam penelitian morfologi bahasa Perancis; (2) bertolak dari hasil penelitian yang telah ada, sebagian besar dari penelitian tersebut bersifat deskriptif murni sehingga tidak mampu menjelaskan kendala-kendala yang ditemukan. Dari beberapa penulis yang disebutkan di atas, Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperan dalam pemahaman teori Morfologi Generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia.

(25)

25

2.3.1 Teori Morfologi Generatif

Tulisan pertama Halle tentang Morfologi Generatif berjudul Morphology in Generative Grammar (1972), kemudian mengalami perubahan judul menjadi Prolegomena to a Theory of Word Formation pada tahun 1973. Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya, tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah sebagai berikut.

(1) List of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM)

(2) Word formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK atau KPK)

(3) Filter (saringan, penapis, tapis) (Halle,1973:3--8)

Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik afiks derivasional maupun infleksional. Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159). Bentuk dasar ini sering kali berupa morfem bebas, yaitu kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia.

(26)

26

Anggota kedua dari DM adalah afiks. Afiks ini merupakan morfem terikat, yaitu bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis berikut : tables ’meja’, grandes ’besar’, maison ’rumah’, vendeur ’penjual’, incomplete ’tidak penuh’. Bentuk-bentuk dalam tulisan italique merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sementara itu bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna leksikal.

Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan. Komponen kedua adalah APK / KPK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu belum lazim digunakan.

Komponen ketiga, yaitu komponen saringan berfungsi menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan memberikan beberapa idiosinkresi, seperti idiosinkresi fonologis, idiosinkresi leksikal, atau idiosinkresi semantik.

(27)

27

Idiosinkresi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap ‘aneh’. Idiosinkresi fonologis misalnya pada kata mempunyai, menurut kaidah bahasa Indonesia konsonan /p/ di awal kata mendapat prefiks {mN-}, maka konsonan /p/ akan luluh. Bandingkan dengan kata memukul dan meminjam, berasal dari kata dasar pukul dan pinjam. Idiosinkresi semantik dapat dicontohkan pada kata perjuangan memiliki makna kegiatan yang bertarap nasional. Demikian juga kata wafat, gugur, mangkat, berpulang dalam bahasa Indonesia. Idiosinkresi leksikal adalah kata-kata bentukan melalui KPK tidak menyalahi kaidah namun dalam kenyataan tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut dimasukkan ke dalam kata-kata potensial seperti kata *mencantik, *tanyaan, *serahan, dan *memperbetuli.

Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

Diagram I Pandangan Morfologi Halle

Syntax Phonology Output Dictionary of Word Filter List of Morphemes Word Formation Rules

(28)

28

Sesungguhnya KPK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai bentuk minimal yang digunakan sebagai landasan penurunan kata sehingga sering disebut morpheme based approach. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle (1973:3), kata transformational dianggap terdiri atas lima morfem, yaitu trans-form-at-ion-al. Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Selain itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Hal ini selaras dengan saran Dardjowidjojo (1988:57). Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan ke kamus dan tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung.

Saringan atau penapis dengan beberapa idionsinkresi dapat memberikan informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak. Hal itu merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Meskipun pandangan Halle memiliki kelemahan, seperti apa yang telah dipaparkan di depan, Dardjowidjojo berpendapat bahwa model Halle lebih mudah diterapkan.

Aronoff (1976) juga membicarakan morfologi generatif. Pendapatnya tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Word Formation in Generatif Grammar”. Pendapat Aronoff berbeda dengan Halle, terutama dalam KPK (Kaidah Pembentukan Kata). Menurut Halle seperti yang telah disebutkan di depan, morfem sebagai bentuk minimal dan sebagai penurunan pembentukan kata,

(29)

29

sehingga dikenal dengan istilah morpheme based approach. Sementara itu, Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud harus diartikan leksem, sehingga teori Aronoff dikenal dengan lexem based approach karena leksem merupakan bentuk dasar dalam penurunan kata.

Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan bahwa kata sebagai unit minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi persyaratan (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang benar-benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial, (3) aturan pembentukan kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal dan bukan kata kompleks atau lebih kecil daripada kata (bentuk terikat), (4) baik masukan maupun keluaran dari (WFR’s) harus termasuk dalam kategori sintaksis yang utama (Aronoff, 1976:40).

Pembentukan kata dalam teori Morfologi Generatif model Aronoff dilakukan dengan memanfaatkan leksikon yang ada dalam komponen kamus dengan komponen Kaidah Pembentukan Kata. Komponen kamus memuat leksikon yang memiliki informasi kategorial (nomina, verba, ajektiva, dan lain-lain). Sementara itu, Kaidah Pembentukan Kata memuat afiks yang memiliki informasi relasional. Maksudnya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung dengan bentuk tertentu dalam proses pembentukan kata baru atau kata turunan (Aronoff ,1976:40).

(30)

30

Dictionary

WFR’s

Kaidah Pembentukan Kata oleh Aronoff sangat peka, baik terhadap ciri sintaksis maupun pembatasan seleksional. Aronoff (1976:65) memberikan contoh: pembubuhan sufiks {-ness} hanya dapat dilakukan pada adjektiva, seperti redness ‘merah’, porousness ‘keropos’, sedangkan sufiks {-ee} hanya dapat diletakkan pada verba transitif, seperti employee ’memperkerjakan’, paye ’membayarkan’. Selanjutnya, Aronoff mengajukan konsep blocking ‘perlindungan’ dengan tujuan untuk membendung munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang mewakilinya (Aronoff, 1976:43). Dalam bahasa Perancis dapat dilihat dalam pembubuhan sufiks {-âtre} yang hanya dapat dilakukan pada adjektiva kualifikatif yang menyatakan warna, seperti rougeâtre ‘kemerah-merahan’, blancheâtre ‘keputih-putihan’.

Pada mulanya analisis Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Aronoff tidak disertai diagram. Selanjutnya, Scalise (1984:43) menggambarkannya seperti diagram berikut ini.

Lexical Component

(31)

31

Berikutnya, Aronoff juga mengajukan aturan atau kaidah yang kemudian diberi nama Adjusment Rules ‘Kaidah Penyesuaian’ yang disingkat menjadi AP (Aronoff, 1976:105--132). Dalam pembentukan kata tidak semua kata dapat secara langsung masuk ke komponen kamus. Menurut Aronoff, pembubuhan afiks, baik prefiks, sufiks, maupun konfiks, memerlukan adanya perubahan bentuk, baik bentuk dasar maupun bentuk afiks itu sendiri. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris sufiks {-ee} memenggal morfem dari kata dasar, nominate ‘nominasi’ menjadi nominee ‘nominator’, evacuate ‘evakuasi’ menjadi evacuee ‘evakuator’. Dari kedua data di atas terjadi kaidah pemenggalan atau Truncation Rules. Di samping itu, ada juga kaidah alomorfi atau Allomorphy Rules (1974:116--118). Sebagai contoh, penambahan sufiks {-ation} dalam bahasa Inggris memiliki empat atau lima bentuk, yaitu {-a tion}, {-i tion}, {-u tion}, {ion}, {-tion}. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh data berikut.

fascinate fascination

realize realization *relazion *realization

educate *educatation education *educatition

resolve *resolvation *resolvion resolution AP seperti yang dikemukakan oleh Aronoff tersebut juga dapat dilihat dalam bahasa Perancis, misalnya sufiks {-ence} memenggal leksem dari dasar adjektiva patient ‘sabar’ menjadi patience ‘kesabaran’, puissant ’kuat’ menjadi puissance ‘kekuatan’. Dari contoh tersebut dapat dilihat kaidah pemenggalan atau Trancation Rules. Sementara itu Allomorphy Rules ‘Kaidah Alomorfi’ dapat

(32)

32

Dictionary

WFR’s

RR’s (TR’s, AR’s)

dilihat pada sufiks {-ité} memiliki tiga bentuk, yaitu {-ité}, {-eté}, dan {-té} yang mengubah adjektiva menjadi nomina, seperti pada daftar leksem berikut.

BRUTAL brutalité

SÛR *sûrité sûreté

MAJESTUEUX *majestité *majesteté majesté

Dengan adanya AP, Scalise (1984:168) menggambarkan proses APK sampai kepada AP seperti berikut ini.

Lexical Component

OUTPUT

Diagram III Organisasi dari Komponen Leksikal II

Teori Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Halle perlu disesuaikan untuk menelaah proses derivasi dalam bahasa Perancis. Hal itu disesuaikan dengan pendapat Dardjowidjojo bahwa diagram yang diajukan oleh Scalise, ternyata masih belum sempurna. Oleh karena itu, Dardjowidjojo merombak diagram itu menjadi diagram seperti berikut ini.

(33)

33 DM a f i k s Terikat Bebas Kata Dasar KPK a b c d e i f c c

Diagram IV Model Pembentukan Kata Menurut Dardjowidjojo (1988:57)

Dengan merombak diagram Scalise, Dardjowidjojo mengemukakan adanya empat komponen integral dalam teori morfologi generatif. Keempat komponen tersebut adalah DM, KPK, Saringan, dan Kamus. Dalam komponen DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas dan bentuk terikat, tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat seperti morfem prakategorial. Penerapan model ini merupakan bentuk bebas yang ada dalam komponen DM, seperti baju, makan, dan minum dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada

KAMUS SARINGAN g h j k

(34)

34

komponen saringan. Pada jalur (b), bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi andaikata tidak mengalami idionsinkresi, maka langsung dapat masuk ke komponen kamus dan kalau dikenai idionsinkresi, bentuk itu akan melalui jalur (c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian bahasa sehari-hari, akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam komponen kamus dengan memberikan tanda asterik (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti *berjalani, melalui jalur (d) dan (h) dan tidak bisa masuk komponen kamus, tetapi tertahan pada komponen saringan. Jalur (f) pecah menjadi jalur (j) untuk bentuk yang tidak mendapatkan idionsinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang mengalami idionsinkresi.

Berangkat dari pemahaman terhadap teori Morfologi Generatif di atas, dalam penelitian ini digunakan komponen dalam teori model Halle yang disempurnakan dengan teori morfologi generatif model Aronoff. Dalam penelitian ini kata dijadikan bentuk minimal atau dasar yang dijadikan landasan dalam pembentukan kata baru. Selain itu, dengan adanya kaidah penyesuaian, baik Kaidah Pemenggalan maupun Kaidah Alomorfi dalam pembentukan kata baru sangat tepat dibahas dalam transformasi adjektiva menjadi nomina dalam bahasa Perancis.

Dalam proses pembentukan kata, biasanya tidak bisa lepas dari perubahan makna. Sebuah kata dapat mempunyai makan leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal dikatakan sebagai makna yang tertera dalam kamus, sedangkan makna gramatikal makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat (Pateda, 1989:58--59). Misalnya leksem MATA yang

(35)

35

bermakna leksikal ‘indra’ yang terdapat pada tubuh dan berfungsi untuk ‘melihat’ bila ditempatkan dalam sebuah kalimat “Hei mana matamu”, maka tidak lagi menunjuk pada indra mata, tetapi menunjuk pada makna penglihatan, cara melihat, mencari, dan mengerjakan.

Pandangan Fries yang dikutip Lyons (1995:427--428) membedakan adanya makna leksikal dan makna struktural. Makna leksikal terkait dengan kelas-kelas utama, sedangkan makna struktural terkait dengan pembedaan antara subjek dan objek kalimat, oposisi-oposisi ketertentuan, kala dan jumlah, dan pertanyaan serta perintah.

Chaer (2002:62) mengemukakan pandangan senada dengan Lyons bahwa ia mempertentangkan atau mengoposisikan antara makna gramatikal dan makna leksikal. Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi. Di sisi lain, makna leksikal dinyatakan berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referensinya.

Berikut contoh makna gramatikal dari proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, baik melalui proses afiksasi maupun konversi.

a. Tous les hommes sont charmé par sa beauté semua DEF.pl N.m.laki-laki PAS.terpukau oleh POSS3.sg. N.f. kecantikan ‘Semua lelaki terpukau pada kecantikannya’.

b. Le beau de cette image est sa simplicité DEF.m.sg ADJ.cantik PART DEM.f.ini N.f.gambar adalah POSS3.sg N.f.kesederhanaan ‘Indahnya gambar ini adalah kesederhanaannya’.

(36)

36

Dari contoh di atas, diketahui bahwa sufiks {té} yang ditambahkan pada adjektiva beau ‘cantik/indah’ akan membentuk kelas kata nomina beauté ‘kecantikan’ dengan mengandung makna mempunyai kualitas seperti yang disebutkan dalam kata dasarnya. Sebaliknya, makna gramatikal dari nominalisasi adjektiva dalam bentuk konversi dengan kata dasar adjektiva yang sama yaitu beau menjadi nomina le beau akan memiliki makna sesuatu yang indah.

Uraian yang disampaikan Chaer di atas memberikan inspirasi terhadap tulisan ini. Dengan demikian, pandangan-pandangan di atas, yang telah diformulasikan oleh Chaer ke dalam suatu pandangan bahwa makna gramatikal tidak hanya terbatas pada struktur sintaksis, tetapi juga struktur morfologis, dijadikan acuan dalam analisis makna pada tulisan ini.

2.4. Model Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan kaidah-kaidah dalam proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis serta makna gramatikal yang terbentuk dari proses tersebut. Analisis terhadap data menggunakan teori Morfologi Generatif sehingga dapat menjelaskan proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis. Adapun model penelitian ini adalah sebagai berikut.

(37)

37

Diagram V Model Penelitian Bahasa Perancis Data Nominalisasi adjektiva Afiksasi Konversi Analisis Morfologi Generatif - afiks pembentuk - kaidah nominalisasi adjektiva

- fungsi dan makna

(38)

38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena menggunakan kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur yang logis, untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu sama lain (Danandjaja, 1990: 96). Dalam konteks penelitian ini penerapan metode kualitatif dilakukan secara deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisis berbentuk deskripsi fenomena, tetapi tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antarvariabel (Aminuddin, 1990:16). Data dikumpulkan berdasarkan pengamatan pada sumber teks tulis dan informan untuk menemukan bentuk-bentuk nominalisasi adjektiva, kemudian ditelusuri kaidah proses pembentukannya serta maknanya.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikaji di sini adalah data primer yang diambil dari bahan tertulis, yaitu sebuah roman Perancis dengan judul La Curée karya Emil Zola. Roman dapat dijadikan sumber dalam memperoleh bentuk-bentuk derivasi termasuk nominalisasi adjektiva karena dalam sebuah karya sastra biasanya pengarangnya sering menggunakan bentuk-bentuk kata baru. Selain itu, terdapat juga data sekunder yang diambil dari Kamus Perancis-Indonesia oleh Arifin dan Soemargono yang digunakan untuk memverifikasi, baik makna adjektiva maupun

(39)

39

bentuk turunannya, serta untuk mendapatkan contoh-contoh kalimat yang menggunakan kata-kata tersebut.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku catatan dan alat tulis untuk mencatat bentuk-bentuk nominalisasi adjektiva yang ditemukan pada sumber data.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sudaryanto (1993:132), metode pemerolehan data ada dua macam, yaitu metode simak dan metode cakap. Dari kedua metode yang ada, dalam penelitian ini digunakan metode simak (penyimakan) yaitu dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa yang dalam hal ini merupakan sumber tertulis dengan menggunakan teknik pencatatan. Adapun tahapan-tahapan pengumpulan data adalah sebagai berikut.

a. Sumber data diamati dan disimak guna mencari bentuk nomina yang mempunyai bentuk dasar adjektiva di dalam kalimatnya-kalimatnya. Kata-kata itu, seperti la beauté ‘kecantikan’, la solitude ‘kesendirian’, la richesse ‘kekayaan’, le froid ‘dinginnya’, dan lain-lain.

b. Data tersebut kemudian dicatat dan diklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenis derivasi, apakah termasuk derivasi dengan afiks derivasional ataupun derivasi dengan zero morfem (conversion). Setelah itu dikelompokkan lagi

(40)

40

berdasarkan afiks derivasional yang membentuknya. Misalnya, kelompok data dengan sufiks derivasional {-ité}, antara lain brutalité ‘kebrutalan’, tranquilité ‘ketenangan’, dan beauté ‘keindahan’, atau dalam kelompok lain berisikan bentuk nominalisasi adjektiva dengan menggunakan zero morfem, seperti le beau ‘(sesuatu) yang indah’, la malade ‘(orang) yang sakit’, le froid ‘udara dingin, dinginnya’, dan sebagainya.

c. Data dianalisis dengan menggunakan teori morfologi generatif model Aronoff untuk menemukan kaidah pembentukan katanya.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Data berupa satuan lingual yang di dalamnya berisi nomina derivasi dari dasar adjektiva bahasa Perancis, selanjutnya dianalisis. Metode analisis yang digunakan adalah metode agih (Sudaryanto, 1993:13--16). Metode agih terutama digunakan dalam mengklasifikasikan data berupa nomina yang berasal dari bentuk dasar adjektiva. Metode ini memudahkan penulis karena yang dianalisis adalah bagian atau unsur dari bahasa itu sendiri, seperti kata (preposisi, nomina, adverbial, dsb), fungsi sintaksis, klausa, silabe kata, titinada, dan sebagainya. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik bagi unsur langsung (Sudaryanto, 1993: 31--63). Teknik bagi unsur langsung dalam hal ini digunakan untuk menganalisis bentuk dan kaidah pembentukan nomina dari dasar adjektiva dalam bahasa Perancis dengan cara menguraikan unsur-unsur pembentukan kata yang termuat dalam daftar morfem. Teknik bagi unsur langsung sebagai teknik dasar akan menggunakan teknik lanjutan berupa teknik

(41)

41

lesap (delesi), teknik ganti (substitusi), teknik perluas (ekspansi), teknik sisip (interupsi), teknik ubah ujud (parafrasa), dan teknik ulang (repetisi) (Sudaryanto, 1993: 36).

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Penyajian hasil analisis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode formal dan informal. Metode informal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda atau lambang-lambang tertentu, seperti tanda panah, tanda bintang, tanda kurung kurawal, lambang huruf sebagai singkatan, dan berbagai diagram (Sudaryanto, 1993: 145).

(42)

42

BAB IV

NOMINA DAN ADJEKTIVA DALAM BAHASA PERANCIS

4.1 Nomina

Nomina adalah kata yang merepresentasikan manusia, tempat, atau sesuatu, baik yang konkret (kursi, anjing) maupun yang abstrak (ide, kebahagiaan). Nomina dalam bahasa Perancis memiliki kekhasan karena mengenal gender dan number. Keunikan nomina bahasa Perancis ini dijelaskan dengan uraian berikut.

(1) Gender

Dalam bahasa Perancis, semua nomina mempunyai gender. Gender merupakan sebuah karakter morfologi yang melekat pada nomina, baik itu maskulin atau feminin. Bentuk dan makna nomina itu sendiri tidak dapat menunjukkan dengan tepat gender apa yang dimilikinya. Gender dari beberapa nomina dapat diterka terutama biasanya yang berhubungan dengan nomina [+human], misalnya père ‘ayah’ merupakan nomina maskulin, femme ‘wanita’ adalah nomina feminin. Namun, tidak semuanya berlaku seperti itu karena selalu ada pengecualian, seperti personne ‘orang/seseorang’ dan victime ‘tersangka’ selalu merupakan gender feminin walaupun orang atau tersangka tersebut adalah seorang laki-laki.

Kebanyakan nomina yang digunakan untuk menunjukkan makhluk hidup (manusia atau binatang) atau yang dalam bahasa Perancis disebut nom-animés

(43)

43

(Dubois, 1973:42) mempunyai dua bentuk: masculin dan feminin yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan, seperti kata benda profesi, kebangsaan, dan beberapa binatang pada umumnya mempunyai dua bentuk seperti :

un chanteur – une chanteuse ‘penyanyi laki-laki, penyanyi perempuan’ un technicien – une technicienne ‘teknisi laki-laki, teknisi perempuan’ un chat – une chatte ‘kucing jantan, kucing betina’

Dalam beberapa kasus, nomina yang sama dapat digunakan untuk kedua bentuk feminin dan maskulin, seperti un gendarme – une gendarme ‘polisi laki-laki, perempuan’, un élève – une élève ‘murid laki-laki-laki, perempuan’.

Untuk nomina yang menunjukkan suatu benda, baik konkret maupun sesuatu yang abstrak (non-animés), gender-nya terkadang dapat ditentukan melalui akhiran katanya. Beberapa akhiran cenderung menunjukkan nomina maskulin dan akhiran lain lebih sering digunakan untuk nomina feminin, seperti contoh berikut :

Akhiran yang (biasanya) menunjukkan nomina maskulin : -age : le garage ‘garasi’, le village ‘desa’

Kecuali : l’image ‘gambar’, la plage ‘pantai’ -ble : le sable ‘pasir’, le diable ‘iblis’

Kecuali : la table ‘meja’, la fable ‘dongeng’ -eau : le bateau ‘perahu’, le ciseau ‘gunting’ Kecuali : l’eau ‘air’, la peau ‘kulit’

(44)

44

Akhiran yang menunjukkan nomina feminin :

-té : la beauté ‘keindahan’, la gaieté ‘kegembiraan’ -ion : la maison ‘rumah’, la natation ‘renang’ Kecuali : l’avion ‘pesawat’, le lion ‘singa’

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa akhiran kata tidak dapat sepenuhnya dijadikan kunci utama dalam penentuan gender karena selalu ada pengecualian. Hal itu berarti bahwa, tidak ada jawaban yang sesuai dengan logika untuk mengetahui gender nomina dalam bahasa Perancis. Oleh karena itu, cara yang paling tepat untuk mengetahuinya adalah dengan mempelajari sekaligus mengingat gender yang dimiliki untuk setiap nomina.

(2) Number

Ciri khas lainnya dari nomina bahasa Perancis adalah mengenal adanya number yang menyangkut tentang jumlah nomina, baik berupa nomina tunggal (singular) maupun jamak (plural). Penanda jamak untuk nomina bahasa Perancis biasanya ditandai dengan –s, seperti pada homme ‘(seorang) laki-laki’  hommes beberapa laki-laki’, tracteur ‘(sebuah) traktor’  tracteurs ‘(beberapa) traktor’. Penanda jamak –s ini tidak dilafalkan dalam ucapan.

Namun, tidak semua pola penjamakan nomina dilakukan dengan penambahan –s pada akhir kata. Ada beberapa kasus yang menggunakan akhiran lain sebagai penanda jamak seperti di bawah ini.

- Untuk nomina yang diakhiri dengan –al atau –ail, penanda jamaknya adalah –aux. Contoh : cheval  chevaux ‘kuda’, journal  journaux.

(45)

45

- Untuk nomina yang diakhiri dengan –ou maka penanda jamaknya adalah –x, contoh : bijou  bijoux ‘permata’, genou  genoux ‘lutut’. - Nomina yang diakhiri dengan –s atau –x tidak mengalami perubahan

dalam bentuk jamak, seperti un tapis  des tapis ‘karpet’, un époux  des époux ‘suami istri’

Satu hal lagi yang dapat menunjukkan kejamakan suatu nomina adalah determinan yang digunakan di depan nomina tersebut. Determinan dalam bahasa Perancis juga mempunyai bentuk tunggal dan jamak, seperti des (artikel indefinit), les (artikel definit), ces (demontratif), mes (posesif), dll.

(3) Determinan

Nomina dalam bahasa Perancis biasanya tidak dapat berdiri sendiri. Semua nomina, kecuali proper noun (nama diri), baik menempati posisi sebagai subjek maupun objek dalam kalimat, harus didahului oleh sebuah determinan yang disesuaikan dengan gender dan number dari nominanya. Menurut Dubois & Langane (1973, 1973:50), determinan adalah sebuah elemen yang ada pada suatu grup nomina. Berdasarkan fungsi sintaksisnya, determinan dibagi menjadi enam kelas, yaitu sebagai berikut.

 Article : defini et indefini Article defini(Artikel Definit)

Artikel ini mempunyai tiga bentuk, yaitu le (nomina maskulin singular), la (nomina feminin singular), dan les (nomina mask/fem plural). Artikel ini digunakan untuk menunjukkan benda tertentu, baik pembicara maupun

(46)

46

pendengarnya, sudah sama-sama mengetahui benda yang dimaksud (‘the’ dalam bahasa Inggris). Contoh :

La voiture avance très vite. DEF.f.sg N.f.mobil V.melaju ADV.sangat ADJ. Cepat Mobil itu melaju sangat cepat.

Pada contoh di atas, ‘mobil’ yang dimaksud adalah mobil tertentu yang sudah diketahui oleh mereka yang terlibat dalam percakapan walaupun tidak disertai dengan ciri-ciri spesifik dari mobil tersebut.

Article indefini (Artikel Indefinit)

Artikel ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak tentu atau belum diketahui dengan pasti oleh pembicara dan pendengar (sama dengan a/an dalam bahasa Inggris). Artikel indefinit bahasa Perancis memiliki tiga bentuk yang penggunaannya ditentukan oleh gender dan number, yaitu un (nomina maskulin singular), une (nomina feminin singular), dan des (nomina mask/fem plural), seperti pada contoh berikut.

Elle achete un sac et des chaussures PRO3.sg.f V.membeli IND.m.sg N.m.tas KONJ.dan IND.pl.N.m.pl.sepatu ‘Dia membeli sepatu dan tas’.

 Possesif

Determinan posesif digunakan untuk menunjukkan kepunyaan atau kepemilikan.

Ce sont mon fils et ma fille.

Ini adalah POSS.m.sg.ku N.m.anak laki-laki dan POSS.f.sg.ku N.f.anak perempuan. Ini adalah anak laki-laki dan anak perempuanku.

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa penggunaan adjektif posesif juga ditentukan oleh gender dan number dari nomina yang dimiliki. Walaupun

Gambar

Diagram I Pandangan Morfologi Halle
Diagram II Organisasi dari Komponen Leksikal
Diagram III Organisasi dari Komponen Leksikal II
Diagram IV Model Pembentukan Kata Menurut Dardjowidjojo (1988:57)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini pun diperkuat oleh pendapat Syah (1997: 132) yang mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab prestasi belajar siswa rendah, yaitu faktor: (1)

Kombinasi afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang dilekatkan pada dasar kata, oleh karena verba bahasa Jepang adalah polimorfemik, maka proses afiksasi dengan

predikat guru kelas enam SD berkelas kata yang sama, yaitu nomina. Dari kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan untuk sementara bahwa masih banyak masalah tentang nomina yang

Untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam pembelajaran membaca pemahaman teks bahasa Jepang (dokkai) sebelum dan sesudah pengajaran dengan menggunakan metode

Nomina majemuk atau dalam bahasa Jepang disebut dengan fukogoumeishi merupakan penggabungan dari dua buah kata atau lebih yang akan membentuk makna nomina yang baru..

Selain itu juga berfungsi sebagai pembentuk kata kerja transitif (dibentuk melalui penggabungan morfem dasar IBA yang berkelas kata verba, adverbia, adjektiva, nomina,

Menurut pendapat ahli Jepang tersebut derivasi merupakan proses afiksasi yang dapat mengubah makna sebuah kata dan kelas kata, morfem derivasional tersebut

Hal ini sejalan dengan pendapat dari (Mapiare,1984:24) yang mengatakan bahwa bimbingan adalah sebagai suatu layanan yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai