• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN

6.1 Struktur Kepemilikan Lahan sebelum Program Reforma Agraria

Menurut penjelasan beberapa tokoh Desa Pamagersari, dahulu lahan eks-HGU merupakan perkebunan karet milik pemerintah Kolonial Belanda. Perkebunan ini bernama PT. Perkebunan Jasinga. Menurut SKM (62 tahun), perkebunan Jasinga merupakan bagian dari Perkebunan London Sumatera, yang terletak di Sumatera Utara. Seperti halnya perkebunan lain, para pekerja perkebunan merupakan masyarakat pribumi, dalam hal ini masyarakat Jasinga.

Ketika Jepang berkuasa pada awal tahun 1940, perkebunan-perkebunan diambil alih oleh Jepang. Menurut keterangan AMM (75 tahun), bagian perkebunan yang tidak ditanami karet diberikan kepada masyarakat Jasinga untuk digarap. Bagian itu dibatasi oleh parit yang digunakan sebagai daerah resapan air.

“Menurut cerita yang Aki ketahui, pada masa penguasaan Jepang yaitu pada awal tahun 1940-an masyarakat diberikan lahan garapan yang dulunya dikuasai oleh perkebunan Belanda, pada saat itu disebut sebagai tanah Ondernemeng, tapi tanah Ondernemeng yang diberikan kepada aki adalah tanah yang tidak digarap (tidak dijadikan perkebunan) yang berupa hutan belantara. Pada masa Belanda setiap ada perkebunan di sekitarnya harus ada lahan yang dibiarkan, biasanya digunakan sebagai lahan gembala, yaitu berupa semak belukar yang sengaja dibiarkan sebagai daerah resapa air”. (AMM, 75 tahun)

Setelah Indonesia merdeka perkebunan dikuasai oleh Dwikora (TNI) dan selanjutnya diinstruksikan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sejak saat itu banyak warga yang menggarap lahan perkebunan dan menentukan batas-batas garapannya sendiri.

Sejak masa HGU PT. Perkebunan Jasinga habis, pemerintah melakukan penebangan pohon karet yang sudah tidak produktif. Setelah penebangan lahan dibiarkan kosong begitu saja, sehingga menjadi “lahan tidur”. Melihat kondisi ini

(2)

masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan tersebut. Salah satu warga yang mengawali penggarapan lahan tersebut adalah ADR (77 tahun). Sebelum menggarap lahan ADR (77 tahun) meminta izin terlebih dahulu kepada pihak yang menjabat sebagai petugas pertanahan di Kecamatan Jasinga. Setelah mendapat izin, ADR (77 tahun) mulai menggarap lahan. Ketika panen ADR (77 tahun) membagi hasil panennya kepada petugas yang memberinya izin, hal ini dilakukan sebagai tanda terima kasih.

Selain itu, ADR (77 tahun) juga memilki buku catatan yang berisi daftar warga-warga yang menggarap lahan eks-HGU terutama yang berada di Blok Citeureup.

“Setiap tanah yang digarap oleh warga ada dalam buku catatan Abah, ada sekitar 97 orang yang tercatat menggarap lahan eks-HGU yang ada di Desa Pamagersari ini, sehingga Abah kenal dengan orang-orang yang menggarap lahan tersebut. Sebelum masyaraat menggarap lahan mereka meminta izin dulu kepada saya dan kemudian saya catat agar diketahui oleh ASP (pejabat pertanahan pada saat itu yang telah memberikan wewenang kepada ADR). Misalanya seseorang ingin meminta lahan garapan, maka saya katakan silahkan menggarap lahan ini dengan batas dari sini hingga daerah itu (ditentukan sekehendak ADR). Jadi yang ingin berkebun daftar dulu kepada saya. Di dalam buku catatan saya ada yang menggarap lahan dengan luas 500 m2, 300 m2,250 m2, dan 100 m2.”

Selain itu, ada juga warga yang mendapatkan lahan eks-HGU sebagai warisan dari orang tuanya. Salah satunya adalah SKM (62 tahun), beliau mendapatkan lahan dari orang tuanya yang dulu bekerja sebagai pegawai perkebunan Jasinga.

“Bapak memiliki lahan eks-HGU yang luasnya skitar 1,5 hektar. lahan tersebut Bapak dapatkan dari orang tua bapak yang dulu pernah bekerja di perkebunan pada masa Belanda. Sekitar awal tahun 80-an orang tua bapak dipersilahkan mengelola lahan HGU oleh lurah Jasinga pada saat itu (sebelum pemekaran desa). Lahan yang diberikan kepada oarang tua bapak adalah lahan HGU diluar area perkebunan. Pada masa Belanda lahan perkebunan itu terbagi dua, yaitu lahan yang benar-benar ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan yang dibiarkan berupa hutan belantara. Perkebuan karet dan hutan belantara itu dibatasi oleh parit besar yang lebarnya mencapai 2 meter yang sengaja dibuat untuk resapan air”.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui gambaran struktur pemilikan lahan eks-HGU sebelum adanya program reforma agraria. Jika dikaji lebih dalam, proses pemilikan hak garap lahan eks-HGU sebelum adanya program reforma agraria cukup sederhana. Ketika masyarakat merasa tertarik untuk menggarap, masyarakat

(3)

cukup menentukan lahan garapan sesuai keinginannya. Selain itu, terdapat mekanisme perizinan dalam memeperoleh hak garapan lahan eks-HGU, mekanisme ini juga sangat sederhana. Warga yang ingin menggarap lahan eks-HGU cukup meminta izin kepada pejabat pertanahan di Kecamatan Jasinga atau kepada lurah (kepala desa) yang menjabat, sebagai balasannya pada saat panen si penggarap memberi bagian hasil panennya kepada pihak yang memberinya izin.

Walaupun proses perizinan mendapatkan hak garapan lahan eks-HGU cukup mudah, namun warga yang menggarap tetap merasa tidak tenang. Hal ini dikarenakan mereka menyadari bahwa secara hukum legal formal lahan tersebut memang bukan milik mereka sehingga mereka merasa khawatir jika suatu saat pihak yang lebih berhak akan mengambil lahan garapannya.

6.2 Struktur Kepemilikan Lahan Setelah Sertifikasi

Program reforma agraria dilaksanakan untuk menata ulang struktur kepemilikan lahan yang timpang dan merugikan rakyat miskin sehingga terbentuk struktur kepemilikan lahan yang lebih adil dan merata. Sasaran program adalah penduduk termiskin yang tidak memiliki lahan dan diutamakan yang belum memiliki pekerjaan.

Pelaksanaan program sertifikasi di Desa Pamagersari juga didasarkan atas azas keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan pemerintah, pembagian sertifikat pun berhasil dilaksanakan di Desa Pamagersari. Agar pembagian sertifikat lebih merata, maka panggarap asal bersepakat untuk memberikan sebagian lahannya kepada warga yang belum memilki lahan garapan. Hal ini merupakan hasil musyawarah antara pemerintah desa dengan para penggarap asal.

Melalui mekanisme sertifikasi lahan yang diberikan oleh pemerintah, hak kepemilikan lahan eks-HGU menjadi jelas karena telah memiliki kekuatan hukum berupa sertifikat tanah. Akan tetapi setelah melakukan peninjauan lebih jauh mengenai pembagian sertifikat lahan ini, terdapat beberapa hal yang mengindikasikan adanya

(4)

ketidaktepatan dalam penentuan sasaran penerima sertifikat. Hal ini dijelaskan pada sub bab berikutnya yang membahas adanya indikasi ketimpangan dalam pemilikan lahan.

6.2.1 Indikasi Ketimpangan dalam Kepemilikan Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan beberapa responden dan informan, peneliti menduga adanya ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan eks-HGU. Hal ini dapat dilihat dari tiga pokok permasalahan yang bisa dijadikan indikator adanya ketimpangan itu, antara lain:

1. Akumulasi kepemilikan lahan oleh pihak tertentu.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa petani, didapatkan informasi yang menunjukkan adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk mengakumulasi kepemilikan lahan dalam jumlah besar dengan cara membelinya. Hal ini seperti diutarakan oleh SKM (62 tahun).

“Ada hal lain yang terjadi dalam masalah sertifikasi ini, menurut bapak sekarang cukup banyak warga (yang mendapatkan lahan) yang telah menjual lahannya karena membutuhkan uang, ironisnya yang sering membeli lahan itu adalah mantan lurah (AFF, 55 tahun) yang sebenarnya juga sudah mendapat jatah lahan dari program setifikasi tersebut.”

Hal ini juga diakui oleh Ibu CH (53 tahun), salah seorang penggarap yang pernah menjual sebagian lahannya kepada AFF (55 tahun).

“sebagian lahan ibu telah dijual kepada Lurah AFF tapi masih digarap oleh Saya. Sebenarnya sih ibu juga sayang, tapi bagaimana lagi…”

Mengenai fakta jual-beli lahan eks-HGU ini juga diakui sendiri oleh AFF(55tahun) sebagai pihak yang pernah membeli beberapa lahan eks-HGU setelah program sertifikasi.

“Bapak juga pernah membeli lahan eks-HGU, tapi itu bapak lakukan justru untuk menyelamatkan lahan tersebut. Sebelumnya bapak mendengar kabar bahwa ada orang Jakarta yang ingin membeli lahan-lahan eks-HGU tersebut. Bapak sempat marah kepada warga yang akan menjual lahannya.”

(5)

“Ngeunah wae sia rek ngajual kana urang laen, aing mah hese-hese ngajuangkeunana. Dieu jual ka Aing wae.”

“Enak saja kamu mau menjualnya kepada orang lain, saya sudah susah-susah memperjuangkannya. Sini jual kepada saya!!”

Selain keterangan dari beberapa subjek program sertifikasi, ada juga keterangan yang diutarakan oleh pihak yang tidak termasuk dalam subjek program. Salah satunya adalah NR ( 40 tahun) yang sekarang menjabat sebagai Kepala Desa Pamagersari.

“Saya juga pernah mendengar kabar ada warga yang menjual lahan eks-HGU yang diberikan kepadanya. Tapi saya tidak tahu persis siapa orangnya dan berapa banyak lahan yang sudah dijual, karena tidak ada bukti atau laporan tertulis yang masuk ke kantor desa. Biasanya jika ada transaksi jual-beli tanah tercatat di kantor desa, kerana yang bersangkutan memang seharusnya melapor. “

Seorang pegawai BPN Kabupaten Bogor juga memberi keterangan yang serupa, walaupun ZN bukan pegawai yang berwenang dalam pembagian sertifikat lahan di Desa Pamagersari namun beliau pernah mendengar kabar mengenai jual-beli lahan eks-HGU setelah program sertifikasi dilaksanakan.

“…..sekarang memang segala sesuatu digembor-gemborkan atas nama rakyat, tapi ujungnya untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Program reforma agraria di Kecamatan Jasinga merupakan pilot project, tapi saya dengar-dengar sekarang banyak warga yang sudah ngejual lahannya. Itulah mereka, dikasih bantuan tapi dijual. Akhirnya pemerintah juga nanti yang ditempuhin…”

2. Musyawarah membagi lahan untuk warga yang tidak memilik lahan dan belum bekerja.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebelum pelaksanaan sertifikasi pemerintah desa melakukan musyawarah dengan para penggarap asal untuk membagi lahan garapan mereka. Hal ini merupakan langkah yang positif sebagai upaya pemerataan hak agar lebih adil. Namun, dalam pelaksanaannya tidak jelas siapa yang dimaksud dengan “warga yang tidak memiliki lahan dan belum bekerja”, karena pihak yang bukan

(6)

penggarap asal namun mendapatkan sertifikat lahan sebagian besar adalah aparat desa (yang menjabat sejak masa lurah AFF) dan ketua RT/RW di Desa Pamagersari. Rata-rata mereka mendapat lahan garapan seluas 100 m2 sampai dengan 200 m2.

Musyawarah ini bukan sesuatu yang pantas dipermasalahkan seandainya pembagian lahan ini sesuai dengan keinginan dan kesungguhan mereka untuk memanfaatkan lahan secara optimal. Namun, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Beberapa ketua RT yang ditemui, tiga orang di antaranya telah menjual lahan eks-HGU tanpa pernah menggarapnya.

3. Kurang tepatnya sasaran/subjek program

Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional telah menetapkan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Untuk memastikan bahwa subjek reforma agraria memenuhi ketentuan, diperlukan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Penentuan subjek didasarkan hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kriteria yang ditetapkan. Proses penentuan subjek reforma agraria ini perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai berikut (BPN, 2007):

g. Berasaskan keadilan

h. Tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan gender, suku, ras, agama, golongan, dan lain-lain.

i. Penentuannya melibatkan partisipasi civil society

j. Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan masyarakat. k. Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecil/terdekat

l. Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.

(7)

Jika ditampilkan dalam bentuk matriks, maka dapat diketahui ketentuan-ketentuan penentuan subjek reforma agraria yang telah dilakukan di Desa Pamagersari, antara lain sebagai berikut:

Tabel 15: Ketentuan-ketentuan Penentuan Subjek Reforma Agraria yang Telah Dilakukan.

No Ketentuan yang berlaku Keterangan

1 Berasaskan keadilan 

2 Tidak bersifat diskriminatif 

3 Penentuannya melibatkan partisipasi civil society  4 Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan

masyarakat

 5 Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi

terkecil/terdekat

(melalui paguyuban kepala desa dan pemerintah desa) 6 Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran,

sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.

(belum)

Menurut peneliti penentuan subjek reforma agraria di Desa Pamagersari kurang memperhatikan faktor ketepatan dan efektivitas subjek sasaran. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan subjek yang terkesan kurang menganggap penting lahan yang didapatkannya. Hal ini seperti pernyataan CP (43 tahun).

“….sebelumnya saya gak tau apa-apa, saya dikasih tau sama tetangga. Katanya saya dapet jatah buat RT. Yah saya sih syukur aja kalo dikasih mah, kalo nggak dikasih juga saya ga maksa. Tapi saya ngga ada waktu buat ke kebon, abis saya sibuk di pasar. Saya juga ngga ahli sih kalo disuruh bertani mah….”

“….akhirnya ada tetangga saya yang ingin menggarapnya, saya sih silahkan saja. Eh…beberapa bulan kemudian dia bilang kalo tanah saya udah dijual ke orang. Yah…tadinya itu ya, saya mah ngga mau ambil pusing. Yaudah lah kalo sudah dijual mah, mau gimana lagi... Saya dikasih uang 300 rebu, yang 100 rebu saya kasihin ke yang ngejual.”

Rendahnya rasa memiliki ini dipengaruhi oleh jenis usaha atau kemampuan dasar (SDM) yang dimiliki oleh subjek. Selain CP (43 tahun), penjualan lahan eks-HGU juga dilakukan oleh BD (45 tahun) dan SHD (46 tahun), keduanya adalah ketua RT di

(8)

Desa Pamagersari. Selain ketiga warga tersebut ada juga AGK (40 tahun) yang mengaku belum sempat mengarap lahan karena beliau sudah memiliki pekerjaan, namun AGK tidak menjual lahannya. Rencananya jika nanti memiliki waktu luang dan cukup modal, lahan yang dimilikinya akan ditanami Jengjeng (Sengon).

Reandahnya rasa memiliki diduga sebagai salah satu penyebab dijualnya lahan eks-HGU yang telah diberikan pemerintah. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang memang ingin membeli lahan eks-HGU tersebut dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan program reforma agraria di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Secara garis besar Bidang P2P Dinas Kesehatan Provinsi Lampung telah berhasil melaksanakan tugas pokok, fungsi dan misi yang diembannya dalam pencapaian

[r]

T ext mining juga dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk menemukan suatu informasi atau tren baru yang sebelumnya tidak terungkap dengan memroses dan

Dalam penelitian ini dirancang suatu prototype sistem pengukuran lendutan vertikal pada jembatan secara nirkabel dengan menggunakan sensor accelerometer MMA7361 dengan

www.banksoalanspm.com.. Huraian sangat jelas dan matang. Bahasa - lancar, terdapat kepelbagaian jenis ayat, terdapat keindahan bahasa, wacana lengkap, kosa kata sangat

Sulaeman (Kepala Divisi SDM & Umum), Dasar-Dasar Asuransi , Disampaikan Dalam Employee Development Program PT.. yang benar-benar diderita oleh tertanggung. Kemudian

• Proposal disusun sesuai panduan, namun ada beberapa hal yang perlu dilengkapi: Rencana Target Capaian artikel ilmiah dimuat di Jurnal Internasional Terindeks

(7) Bentuk dan isi slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari