Oseana, Volume XXI, Nomor 1, 1996: 13-18
ISSN 0216-1877
PELLET KERAPU
oleh
Resmayeti Purba
1)
ABSTRACT
PELLETED FORMULATED FEED FOR GROUPER. Groupers
(Epinephelus spp.) are among the most demanded fishes either in local or
international markets. Grouper that was fed with artificial feed grew faster and
showed lower food conversion ratio than the one fed with trash fish. Domestic
soybean meals derived from expeller is less expensive than fish meal and to some
extent, expeted would serve as source of protein required by the fish. The
substitution of fish meal with other sources of protein is suggested to improve the
quality as well as to lower the price of the feed.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu (Epinephelus spp.)
merupakan salah satu jenis ikan laut yang
populer di pasaran dan memiliki nilai
ekonomis penting (TAN & TAN 1974,
PURBA & AHMAD 1989). Di Indonesia,
hampir semua jenis ikan kerapu baik yang
dipasarkan dalam negeri maupun untuk
komoditi ekspor dalam bentuk hidup, adalah
merupakan tangkapan dari alam (AHMAD
1990). Budidaya kerapu saat ini cukup
berkembang, khususnya berupa pembesaran
benih-benih kerapu dari alam dalam keramba
jaring apung. Penelitian pembesaran kerapu
dengan pemberian pakan rucah telah dilakukan
di Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai, yang sekarang menjadi Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknoogi
PertanianBojonegoro Serang (IMANTO 1986,
SUGAMA 1986, PURBA & BASYARIE
1992). Namun dalam penyelidikan ikan rucah
ditemui beberapa kendala antara lain
ketersediaan yang tergantung musim sehingga
harganya tidak stabil. Ikan rucah yang
disimpan dalam ruangan pendingin mengalami
penurunan mutu. baik bau dan warna.
maupaun rasa pada saat diberikan (PURBA
& AHMAD 1989). Salah satu alternatif
pemecahan kendala tersebut adalah
penggunaan pakan buatan berbentuk pellet
sebagai pengganti ikan rucah.
PAKAN BUATAN
Pakan atau diet berfomula bisanya
disediakan dalam bentuk kering dan biasanya
dikenal sebagai pellet, kemudian secara umum
atau dalam dunia perdagangan dikenal dengan
nama "pellet". Pellet dibuat dengan dasar
pertimbangan lebih praktis dan lebih ekonomis dalam penggunaannya, apabila dibanding dengan penyediaan pakan basah seperti cacahan daging ikan. Dalam pembuatan pellet kerapu, keseimbangan susunan dietnya harus diperhatikan sehingga pellet tersebut dapat berfungsi sebagai makanan pengganti yang berperan dalam memacu perkembangan dan pertumbuhan kerapu, serta mencegah penyakit kekurangan gizi. Pellet tersebut juga berfungsi menyeimbangkan dan menjaga ketahanan tubuh terhadap infeksi dari berbagai penyakit dan mencegah terjadinya gejala-gejala sampingan yang antara lain berupa kanibalisme dan dapat menekan angka kematian. Sasaran utama dalam membuat pellet kerapu adalah memberikan suatu diet berformula yang dapat memacu perkembangan kerapu dalam waktu yang relatif pendek dengan menggunakan biaya yang paling murah. Pellet untuk kerapu sedikit berbeda dengan pellet yang diberikan pada udang. Pellet untuk kerapu diberikan dalam bentuk pasta atau pellet basah ("Moist Pellet) sedang pellet udang dalam bentuk kering. Keadaan ini disebabkan sifat dan cara makan kerapu dan udang yang berbeda. Udang cenderung menangkap mangsanya dengan capit, kemudian makanan itu dipegang di depan mulut untuk selanjutnya digigit sedikit demi sedikit. Sedangkan ikan kerapu, cara makannya dengan "mencaplok" satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar, dan tidak akan memakan pakan yang telah jatuh di dasar wadah pemeliharaan dan tidak memakan makanan yang mengambang di permukaan air (PURBA 1990). Pemberian pellet kerapu sebaiknya d i b e r i ka n s e d i k i t d e m i s e d i k i t d e n g a n membentuk lempengan atau bundaran kecil. diberikan 3 -5 butir sekaligus untuk mengurangi persaingan yang tidak seimbang antara sesama ikan. Pellet kerapu sebaiknya
tidak mudah hancur dalam air dan tidak cepat tenggelam. Kualitas pellet pada umumnya dilihat dari komposisi zat gizinya seperti kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (DJAJASEWAKA 1985). Sejalan dengan pentingnya penggunaan pellet untuk pembesaran kerapu, maka formulasI pakan dan nilai gizinya yang sesuai untuk memperoleh pertumbuhan yang tinggi sangat diperlukan. Salah satu komponen gizi penyusun pellet adalah protein. Protein dalam pellet sangat diperlukan terutama untuk pertumbuhan disamping untuk pemeliharaan d a n j u g a s e b a g a i s u m b e r e n e r g i (WATANABE et al. 1988). KOMPIANG & ILYAS (1988), menambahkan bahwa nilai gizi suatu protein ditentukan oleh kandungan asam-asam amino esensial yang tersedia (tercerna dan terserap) oleh ikan yang bersangkutan. Apabila suatu protein pakan makin mendekati pola komposisi asam amino esensial dari tubuh ikan tersebut. maka makin tinggi nilai gizi dan kebutuhan asam amino esensial akan mendekati pola asam amino daging hewan yang dibudidayakan. Kebutuhan protein ikan selalu dihubungkan dengan tingkat protein optimum. Tingkat protein optimum pakan yang dibutuhkan untuk ikan adalah 2 - 3 kali lebih tinggi dari pada hewan berdarah panas, sehingga protein merupakan sumber energi utama bagi semua jenis ikan (ZONNEVELD et al 1991).
PELLET KERAPU
Laju pertumbuhan ikan kerapu dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan dalam bentuk pellet yang mengandung nilai nutrisi yang seimbang (CHUA & TENG 1980). Ikan kerapu yang diberi makan pellet tumbuh lebih cepat dan memperlihatkan rasio konversi pakan yang lebih rendah dibanding yang diberi pakan ikan rucah (CHOW & WONG
1985. PURBA & AHMAD 1990, AHMAD et al. 1991, d an AHMAD et al. 199 2). Pertumbuhan bobot harian per ekor kerapu yang diberi pakan pellet mencapai 1,21 gram, sedangkan yang diberi ikan rucah adalah 0,63 gram. Pertumbuhan ikan kerapu yang diberi pellet basah memperlihatkan respon pertumbuhan yang terbaik dibandingkan yang diberi pellet kering (TACON et al 1989). Serangkaian penelitian tentang pengaruh pakan buatan berbentuk pellet, baik pellet yang dibuat sendiri maupun yang dibeli di pasaran terhadap kerapu telah dicobakan di Sub Balitkandita, Serang. Penelitian pendahuluan diawali dengan pemberian makan kerapu dengan pellet yang dijual dipasaran, dengan merek dagang "Sea Lion". Pellet ini mempunyai kandungan protein sekitar 35 %. Pellet tersebut berwarna hijau, baunya khas ikan. berbentuk bulat dan ukurannya kira-kira sebesar kacang hijau. Dalam pemberian, pellet ini harus direndam terlebih dahulu sehingga menjadi pellet basah, dibentuk bulatan atau lempengan baru diberikan pada ikan kerapu yang berukuran 10 gram sampai dengan 20 gram. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ikan kerapu memberikan tanggapan yang baik terhadap pakan pellet tersebut, dimana
ikan kerapu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan kerapu yang diberi pakan ikan rucah (PURBA & AHMAD. 1989). Namun harga pellet ini sangat mahal dan susah diperoleh dipasaran, penyusunan ransum dan pembuatan pellet sendiri perlu dilakukan untuk memperoleh nilai ekonomis.
Jumlah kadar protein dalam pellet kerapu yang tepat, serta dapat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu perlu diketahui. Perlu dipikirkan upaya untuk dapat menekan biaya produksi pembuatan pellet karena protein merupakan salah satu komponen pellet yang paling mahal. Penelitian penentuan kadar protein dalam pellet kerapu telah dicoba di Sub Balitkandita Serang, hasil penelitian menunjukkan pellet dengan kandungan protein 50,38 % memberikan pertumbuhan kerapu lebih baik. Formulasi pellet kerapu dengan kadar protein 50.30 % tercantum pada Tabel 1 dan hasil analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 2
Ikan kerapu yang diberi pakan berkadar protein 50 % mengkonversikan pakan yang diberikan lebih baik. berarti menghasilkan konversi pakan paling efisien untuk peningkatan biomassa. TENG ( 1 9 7 9 ) . SUKHAWONGS et al. (1978) dan TENG et Tabel 1. Formulasi pellet kerapu dengan kandungan protein 50,30 % (AHMAD 1992a).
Tabel 2. Kandungan nutrea (% berat kering) dalam pellet (AHMAD et al 1992a).
al (1978). melaporkan bahwa kadar protein terbaik dalam pakan bagi pertumbuhan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung adalah berkisar 40 % - 50 %. Harga produksi pellet dengan kandungan protein 50,38 % ini relatif masih tinggi, karena harga tepung ikan yang dipergunakan sebagai sumber protein relatif mahal. Cara untuk mengurangi biaya produksi dari pembuatan pellet ini adalah dengan mensubtitusikan sumber protein yang berasal dari tepung ikan dengan tepung kedelai yang kandungan proteinnya cukup tinggi (WEE 1988). Berdasarkan hasil penelitian WEE (1988), tingkat substitusi tepung ikan dengan tepung kedelai adalah terbatas. dan bila dipakai dalam jumlah yang tinggi akan terjadi penurunan effisiensi pakan dan pertumbuhan. Penggunaan tepung kedelai
sebagai bahan pembuat pellet kerapu, sebaiknya dipanaskan terlebih dahulu dengan cara pengukusan selama 30 menit untuk mengurangi pengaruh "trysin inhibitor" (VOHRA & KRATZER 1991 dalam AHMAD 1992b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tepung kedelai sebesar 18 % dapat digunakan untuk mengurangi pemakaian tepung ikan dari 60 % menjadi 51 % (AHMAD et al. 1992b). Untuk pembuatan pellet yang mengandung sumber protein dari 18 % tepung kedelai ditambah 51 % tepung ikan diperlukan biaya Rp. 8349,0 untuk menghasilkan 1 kg. daging kerapu, sedang bila digunakan pellet yang mengandung tepung ikan tanpa kedelai diperlukan biaya sekitar Rp. 1068,9 untuk memperoduksi berat daging yang sama (Tabel 3)
Tabel 3. Harga pellet dan biaya yang diperlukan untuk memproduksi 1 Kg daging Kerapu (AHMAD et al. 1992b)
DAFTAR PUSTAKA
AHMAD. T. 1990. Status budidaya kerapu di
Indonesia. Sub Balai Penelitian
Budidaya Perikanan Pantai : 8 pp
(tidak diterbitkan).
AHMAD, T., M. ALAUDIN, dan M.
MUSLIKH 1991. Tanggapan kerapu
macan
Epinephelus fuscoguttatus
terhadap pakan buatan. J. Penel
Budidaya Pantai 7 (2) : 81-90.
AHMAD. T.. M. ARDIANSYAH dan D.
ISMUNANDAR 1992a. Pengaruh
pemberian pakan berkadar protein
berbeda terhadap pertumbuhan kerapu
lumpur, Epinephelus suillus. J. penel
budidaya Pantai 8 (2) : 71 - 80.
AHMAD, T.. A. BASYARIE dan P.
SUNYOTO 1992. The application of
artificial feed to support the growth of
grouper Epinephelus suillus. Bulll.
Penel. Perik. 1:63-71.
AHMAD, T.. A. DEWIANA dan SURYADI
1992b. Pengaruh substitusi tepung ikan
dalam pakan terhadap pertumbuhan
kerapu lumpur, Epinephelus suillus. J.
Penel. Budidaya Pantai 8 (4) : 71-80.
CHUA, T.E. and S.K TENG 1980.
Eco-nomic production of estuary grouper,
Epinephelus suillus reared in floating
net-cages. Aquaculture 14 : 13-47.
CHOW, R. and F.J. WONG 1985.
Prelimi-nary observation on the growth and
dietary performance of grouper,
Epinephelus tauvina in floating
net-cages and fed dry pelleted diet from
autofeeders. Singapore. J.Pri. Ind. 13
(2) : 84-91.
DJAJASEWAKA. H. 1985. Pakan Ikan
(Makanan Ikan). CV Yasaguna,
Jakarta: 47 pp.
IMANTO, P.T. 1986. Pengamatan pada
pertumbuhan ikan kerapu lumpur
Epinephelus tauvina dan Epinephelus
fuscoguttatus dalam kurung apung. In:
Scientific report of mariculture
re-search and development project
ATA-192 in Indonesia : 400-409.
KOMPIANG, P.I. and S. ILYAS 1988. Nutrisi
ikan/udang relevansi untuk larva/induk.
Prosidmg Seminar nasional Perbenihan
Ikan dan Udang. Prosiding
Puslitbangkan No. 13. Kerjasama
badan Litbang Pertanian dengan
Universitas Padjajaran. bandung:
248-290.
PURBA, R. 1990. Biologi ikan kerapu
Epinephelus tauvina (Forskal) dan
catatan penyebab kematiannya.
OSEANA XV ( 1 ) : 29-42.
PURBA. R. dan A. BASYARIE 1992
Pengaruh padat penebaran terhadap
kelangsungan hidup dan biomassa ikan
kerapu lumpur Epinephelus suillus di
tambak. J. Penel Budidaya Pantai 8 (5) :
51-56.
PURBA. R. dan T. AHMAD 1989. Studi
pendahuluan tanggapan ikan kerapu
lumpur, Epinephelus suillus terhadap
pakan buatan. J. Penel. Budidaya Pantai
5 (2) : 72-75.
SUGAMA. K. 1986. Studi kebiasaan makanan
dan pertumbuhan benih ikan kerapu.
Epinephelus fuscoguttatus di Teluk
Banten. In : Scientific report of
mari-culture research and development
project ATA-192 in Indonesia :
143-155.
SUKHAWONG. S.. N. TANAKUMCHEEP and S. CHUNGYAMPIN 1978. Feeding experiment on artificial diet for greasy grouper, Epinephelus tauvina in nylon cages. Annu. Rep. Songkhla Fish. Stn. Dep. Fish : 103 - 1 1 7 .
TACON. A.G.J., N. RAUSIN, M. KADARI, N . R U N T U B O Y , A S T U T I , W A R S O N O . S U Y A N T O . B . PURWANTO and SUNARYAT 1989. The food and feeding of seabass, Lates calcarifer, grouper, Epinephelus fuscoguttatus and rabbit fish, Siganus canalicatus in floating net-cages at the National Sea-Farming Development Center Lampung. Indonesia. INS/81/ 008 Technical Paper/13 : 70-130.
TAN, S.M. and K.S. TAN 1974. Biology of the tropical grouper. Epinephelus tauvina (Forskal). Singapore J. Pri ind. 2 (2) : 123-133.
TENG. S.K. 1979. Studies on the culture of the estuary grouper. Epinephelus salmoides (Maxwell) in floating
net-cages. Ph.D. Dissertation. School of Biological Sciences, University Sains, Malaysia: 423 pp.
TENG. S.K., T.E. CHUA. and P.E. LIM 1978. Preliminary observation on the dietary protein requirement of estuary grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) cultured in floating netcages. Aquacul-ture 15 : 257-271.
WATANABE. T. 1988. Fish nutrion and mariculture. JICA TEXBOOK. The general aquaculture course. Kanagawa International Fisheries Training Center japan. International Cooperation Agency : 233 pp.
WEE. M.B. 1988. Feed and feeding of fish and shrimp : a manual on the presentation of compound feeds for shrimp and fish in aquculture. UNDP. FAO, Rome : 1 - 27.
ZONNEVELD. N.. E.A. HUISMAN. and J.H.BOON 1 9 9 1 . Pnnsip-prinsip budidaya ikan. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta . 3 1 8 pp.