• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan lnternasional

Fenomena transaksi antar negara atau perdagangan internasional terjadi karena adanya dua motif yaitu (1) perbedaan sumberdaya dan teknologi tiap negara, dan (2) untuk mencapai skala ekonomis, yang mengarah pada tujuan untuk mendapatkan manfaat perdagangan atau gain from trade (Krugman dan Obstfeld, 2000). Kenyataan yang terjadi bahwa pola perdagangan internasional mencerminkan interaksi dari kedua motif tersebut menjadi awal bagi David Ricardo (abad 19) mengembangkan model perdagangan internasional yang dikenal dengan Model Ricardian.

Konsep penting dalam model Ricardian adalah perbedaan sumberdaya dan teknologi yang dimiliki oleh tiap negara menciptakan keunggulan bagi negara tersebut (comparative advantage). Atas dasar keunggulan komparatif maka berkembang suatu fenomena yang kemudian disebut spesialisasi yaitu setiap negara memproduksi sesuatu yang paling dikuasainya. Suatu negara dikatakan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu komoditi jika biaya oportunitas (opportunity cost) karena memproduksi komoditi tersebut dibandingkan komoditi lain lebih rendah di negara tersebut. Perdagangan antar dua negara akan memberikan keuntungan jika tiap negara mengekspor komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Model Ricardian mengasumsikan bahwa kemungkinan produksi ditentukan oleh alokasi dari satu sumberdaya yaitu tenaga kerja antar sektor sehingga biaya oportunitas diukur dari produktivitas tenaga kerja yang dicurahkan pada tiap sektor. Tenaga kerja tersebut diasumsikan dapat ditransfer dari sektor yang relatif tidak efisien kepada sektor yang relatif lebih efisien. Asumsi pada model ini mengimplikasikan bahwa tidak hanya semua

(2)

negara yang terlibat mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional akan tetapi setiap individu di dalamnya menjadi lebih baik (better off) karena

perdagangan dianggap tidak mempengaruhi distribusi pendapatan.

Kenyataan bahwa perdagangan memiliki efek substansial yaitu distribusi pendapatan pada negara yang berdagang mengkoreksi asumsi model Ricardian. Ada dua alasan mengapa perdagangan internasional memiliki efek kuat pada distribusi pendapatan yaitu (1) sumberdaya tidak dapat dipindahkan dengan cepat dan tanpa biaya dari satu sektor ke sektor lain, dan (2) tiap sektor berbeda dalam permintaan faktor-faktor produksi : pergeseran produksi barang suatu negara akan menurunkan permintaan untuk beberapa faktor produksi namun meningkatkan permintaan untuk faktor produksi lain. Alasan tersebut menyebabkan perdagangan dapat memberi manfaat bagi negara secara keseluruhan namun merugikan bagi pihak tertentu di dalam negara, setidaknya dalam jangka pendek (Krugman dan Obstfeld, 2000).

Penggunaan model efek distribusi pendapatan dari perdagangan internasional adalah Model Faktor Spesifik. Model ini dikembangkan oleh Paul Samuelson dan Ronald Jones yang mengasumsikan suatu perekonomian yang memproduksi dua barang dan mengalokasikan penawaran tenaga kerja antara dua sektor tersebut. Model faktor spesifik juga mengasumsikan adanya faktor produksi lain disamping tenaga kerja yang merupakan faktor produksi spesifik sektor yang hanya dapat digunakan untuk memproduksi barang tertentu.

Misalnya dalam suatu perekonomian memproduksi dua barang yaitu manufaktur dan pangan, dengan tiga faktor produksi yaitu tenaga kerja, modal dan lahan. Manufaktur menggunakan faktor produksi modal dan tenaga kerja (tanpa lahan) sementara sektor pangan memproduksi dengan menggunakan faktor produksi lahan dan tenaga kerja (tanpa modal). Pada kasus tersebut,

(3)

tenaga kerja disebut mobile factor yang dapat digunakan di tiap sektor sementara modal dan lahan disebut specific factor yang dapat digunakan untuk memproduksi barang tertentu. Perbedaan antara tujuan penggunaan faktor-faktor yang dapat berpindah antar sektor dan faktor spesifik untuk penggunaan tertentu atau perbedaan sumberdaya inilah yang menyebabkan tiap negara memiliki kurva penawaran yang berbeda sehingga terjadi perdagangan internasional. Dalam model faktor spesifik, faktor spesifik pada sektor-sektor ekspor di tiap negara mendapat manfaat dari perdagangan internasional sementara faktor spesifik pada sektor-sektor impor dirugikan, dilain pihak untuk faktor mobile yang dapat berpindah pada tiap sektor memiliki dua kemungkinan yaitu untung atau rugi (ambiguous).

Teori perdagangan internasional lain yang melengkapi teori perdagangan sebelumnya adalah Model Heckscher-Ohlin yang dikembangkan oleh Eli Heckscher dan Bertil Ohlin. Model ini menjelaskan bahwa dalam kenyataannya perdagangan tidak hanya menunjukkan perbedaan produktivitas tenaga kerja namun juga mencerminkan perbedaan sumberdaya di tiap negara. Model ini menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi oleh interaksi antara sumberdaya negara (faktor produksi yang relatif melimpah) dan teknologi produksi (yang mempengaruhi intensitas faktor produksi) berbeda jika digunakan untuk memproduksi barang yang berbeda. Dengan kata lain, suatu negara sebaiknya mengekspor barang yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor barang yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya. Namun ekspor ,dan lmpor untuk komoditi tersebut hanya dapat dilakukan bila penggunaan faktor produksi telah dilakukan secara intensif (Krugman dan Obstfeld, 2000).

(4)

2.2. Perdagangan lnternasional dalam Konteks Permintaan dan Penawaran Teori perdagangan internasional menunjukkan bahwa tiap negara rnemiliki perbedaan sumberdaya dalarn rnemproduksi suatu barang sehingga menciptakan keunggulan kornparatif dan spesialisasi pada tiap negara yang berirnplikasi pada perbedaan harga untuk komoditi yang sama. Perbedaan harga menjadi dasar terjadinya arus perdagangan antar negara yang secara grafis dijelaskan Gambar 1.

(a) (b) (c)

Eksportir Dunia lmportir

Garnbar 1 Proses Perdagangan Dua Negara (Sumber : Krugrnan dan Obstfeld, 2000)

Gambar tersebut mengasumsikan hanya ada dua negara yaitu negara

eksportir dan importir. Keduanya mengkonsurnsi dan rnernproduksi komoditi yang sama. Proses perdagangan antar negara terjadi jika ada perbedaan harga jika kondisi autarki. Misalnya harga di negara eksportir adalah Px jika memproduksi sebesar q (tanpa melakukan perdagangan dengan negara lain) dan harga di negara importir adalah Pm dengan produksi sebesar Q. Harga di negara eksportir lebih rendah dibandingkan dengan harga di negara impotir

(5)

karena keunggulan komparatif dalam penggunaan sumberdaya. Gambar l a memperlihatkan kondisi keseimbangan penawaran dan permintaan pada harga Px, jika harga dinaikkan menjadi Px' maka terjadi kelebihan penawaran sebesar qs

-

qd yang membentuk kurva penawaran ekspor (XS). Demikian seterusnya apabila harga terus meningkat maka jumlah penawaran ekspor juga meningkat.

Gambar 1 c menjelaskan kondisi keseimbangan harga di negara importir dimana harga keseimbangan adalah Pm, jika harga diturunkan pada Pm' maka permintaan domestik meningkat sementara penawaran domestik berkurang. Konsekuensinya adalah kelebihan permintaan sebesar Qd 4 s yang menjadi awal terbentuknya kurva permintaan impor (MD). Sebaliknya jika harga naik maka jumlah permintaan impor turun.

Harga dunia dan jumlah barang yang diperdagangkan ditentukan oleh kurva penawaran ekspor dan kurva permintaan impor. Selama harga dunia yang terbentuk lebih tinggi dari harga domestik eksportir maka jumlah ekspor adalah kelebihan penawaran yang terjadi. Semakin tinggi harga dunia dengan asumsi tidak ada disorsi perdagangan maka volume ekspor makin banyak, ha1 ini menunjukkan slope positif kurva penawaran ekspor (XS).

Sebaliknya, selama harga dunia lebih rendah dari harga domestik importir maka volume impor ditunjukkan oleh kelebihan permintaan yang terjadi, makin rendah harga dunia dengan asumsi tidak ada distorsi perdagangan maka makin banyak volume impor artinya kurva permintaan impor (MD) memiliki slope negatif. Harga dunia terjadi pada perpotongan kurva penawaran ekspor (XS) dan kurva permintaan impor (MD) yaitu Pw, sedangkan volume perdagangan (Qw) sama dengan kelebihan penawaran eksportir dan atau kelebihan permintaan importir sehingga Qw

=

qs-qd

=

Qd-Qs (Krugman dan Obstfeld, 2000).

(6)

2.3. Distorsi Perdagangan lnternasional

Efek substansial perdagangan internasional berupa distribusi pendapatan menyebabkan tidak semua pihak yang terlibat di dalam perdagangan mendapat manfaat perdagangan. Adanya pihak-pihak yang dirugikan dari perdagangan menjadi alasan munculnya intervensi dalam proses perdagangan. lntervensi ini menyebabkan distorsi pada pembentukan harga baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Distorsi perdagangan dilakukan dari dua sisi yaitu dari sisi eksportir dan sisi importir.

lntervensi pemerintah pada perdagangan produk pertanian dilakukan untuk mencapai tujuan yang bervariasi dan terkadang timbul konflik tujuan, adapun tujuan tersebut misalnya : harga bahan baku dan pangan yang rnurah untuk promosi industri, pendapatan pemerintah yang lebih besar, akumulasi pendapatan nilai tukar, kestabilan harga, pendapatan sektor pertanian yang tinggi (Niemi, 2003).

Setiap instrumen yang digunakan mempunyai efek yang berbeda baik pada harga dan jumlah komoditi yang diperdagangkan maupun terhadap kesejahteraan. Keduanya dapat terjadi di negara yang menerapkan kebijakan maupun terhadap negara lain yang dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis kebijakan perdagangan adalah model keseirnbangan parsial. Pada model ini analisis dibatasi pada sektor spesifik dari perekonomian domestik dan internasional, dengan asumsi ha1 lain konstan. Analisis pada sektor spesifik lebih ditekankan pada harga, produksi, pendapatan dan efek-efek dari kebijakan perdagangan yang dilakukan. Kelebihan model ini adalah sederhana untuk dipahami dan dapat menunjukkan perbedaan penting dalam setiap aplikasi instrumen kebijakan.

(7)

2.3.1. Proteksi oleh importir Tarif impor

Tarif irnpor rnerupakan pola proteksi yang transparan oleh negara importir. Pada prinsipnya pemberlakuan tarif impor terhadap suatu kornoditi akan rnenguntungkan produsen dornestik karena harga produk impor menjadi relatif lebih rnahal dibandingkan dengan kornoditi dornestik sejenis, akibatnya adalah volume impor berkurang. Pernbelakuan tarif impor tidak hanya berdarnpak di negara importir namun juga di negara eksportir komoditi karena kebijakan tarif rnernpengaruhi sinyal pasar yang terbentuk di pasar dunia. Dampak pernberlakuan tarif impor dapat dijelaskan dengan asumsi-asurnsi (1) ada dua negara yaitu negara eksportir dan irnportir, (2) tarif irnpor adalah tarif spesifik, dan (3) negara irnportir adalah negara besar dalarn perdagangan artinya volume irnpor dapat rnempengaruhi harga. Secara grafis efek ekonomi tarif impor dapat dijelaskan pada Gambar 2.

Eksportir Dunia lmportir

Gambar 2. Efek Ekonomi Kebijakan Tarif lrnpor (Sumber: Tweeten, 1992)

(8)

Pemberlakuan tarif impor spesifik menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi sehingga pada Gambar 2b kurva permintaan impor (MD) bergeser paralel ke bawah dengan jarak vertikal sebesar tarif. Harga dunia yang terbentuk adalah Pw' (mengalami penurunan). Pada sisi importir (Gambar 2c) harga yang diterima konsumen setelah tarif adalah Pwl+t, peningkatan harga konsumen domestik importir menyebabkan volume impor turun menjadi Qd'-Qs'. Pada sisi eksportir (Gambar 2a), turunnya harga dunia menyebabkan penawaran ekspor turun yang digambarkan dengan pergerakan sepanjang kurva XS sehingga volume ekspor turun menjadi qs'-qd'

Gambar 2 secara keseluruhan menjelaskan bahwa kebijakan tarif impor terhadap suatu komoditi menyebabkan kenaikan harga di negara importir, menjadi insentif produksi dan penurunan konsumsi sehingga volume impor berkurang, demikian pula halnya volu~ne ekspor di negara eksportir turun karena harga dunia direspon dengan pengurangan produksi dan meningkatnya konsumsi domestik. Efek lain kebijakan tarif impor adalah adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif.

Dampak kesejahteraan dari kebijakan tarif impor dapat dijelaskan melalui perubahan surplus konsumen dan surplus produsen serta penerimaan pemerintah berikut ini :

Tabel 5. Dampak Tarif lmpor Terhadap Kesejahteraan

Perubahan lmportir Eksportir

Surplus Konsumen -(a+b+c+d) 1

Surplus Produsen (a) -(1+2+3+4)

Penerimaan Pemerintah (c+e)

Kesejahteraan Nasional (e-b-d) -(2+3+4)

Kesejahteraan Dunia b-d-2-4

Sumber: Tweeten, 1992

Secara keseluruhan tarif impor akan menurunkan kesejahteraan dunia, kesejahteraan nasional di negara eksportir turun sebesar daerah (2+3+4),

(9)

sedangkan di negara irnportir kesejahteran nasional ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspor (XS), jika XS elastis rnaka daerah (b+d) rnakin besar dari (e) sehingga negara irnportir akan dirugikan dengan pernberlakuan tarif irnpor. Pembatasan impor

Prinsip pembatasan impor adalah restriksi langsung pada kornoditi yang diirnpor yang didesign untuk rnernbantu produsen di negara irnportir. Kebijakan ini biasanya dilakukan untuk rnernberikan insentif produksi bagi produsen dalarn rnengernbangkan industrinya, ha1 ini hanya bermanfaat untuk tujuan jangka pendek karena berdampak pada inefisiensi penggunaan surnber daya. Darnpak pernbatasan irnpor dengan asurnsi (1) ada dua negara yaitu negara eksportir dan negara importer, dan (2) negara irnportir adalah negara besar, dapat diilustrasikan rnelalui Garnbar 3.

E ksportir Dunia lrnportir

Garnbar 3. Efek Ekonorni Kebijakan Pernbatasan lrnpor

(10)

Pernbatasan irnpor oleh negara irnportir sebesar Qw' rnenyebabkan kurva perrnintaan impor (MD) rnenjadi kurva patah (MD') sehingga harga dunia yang terbentuk adalah Pw', pada harga tersebut, volume penawaran ekspor berkurang rnenjadi qs'-qd' (Garnbar 3a). Narnun pada sisi irnportir (3c) kekurangan kornoditi akibat pernbatasan impor ditutupi dengan rnenambah produksi dornestik sehingga rnenggeser kurva penawaran negara importir sebesar pernbatasan impor (Qw').

Darnpak kesejahteraan dari kebijakan pernbatasan impor dapat dijelaskan rnelalui perubahan surplus konsurnen dan surplus produsen pada Tabel 6. Pada sisi importir, jika daerah (e) lebih dari (c+d) maka importir akan mendapatkan rnanfaat dari perdagangan. Narnun pada sisi eksportir, produsen rnerupakan pihak yang paling dirugikan dengan penurunan kesejahteraan sebesar

Tabel 6. Darnpak Pernbatasan lrnpor Terhadap Kesejahteraan

Peru ba han lmportir Eksportir

Surplus Konsumen -(a+b+c+d) 1

Surplus Produsen (a) -(1+2+3+4)

Penerimaan Pemerintah

Kesejahteraan Nasional (e-c-d) -(2+3+4)

Keseiahteraan Dunia -(c+d+2+4)

Sumber : Tweeten. 1992

Secara urnum terjadi penurunan kesejahteraan dunia jika manfaat (b+e) lebih kecil dari kerugian (2+3+4) artinya rnanfaat yang diterima importir tidak bisa rnengkornpensasi kerugian di negara eksportir

2.3.2. Proteksi oleh eksportir Pembatasan ekspor

Esensi pernbatasan ekspor adalah untuk rnenjarnin ketersediaan kornoditi di dalarn negeri disarnping untuk mencapai stabilitas harga di dalarn negeri. Darnpak ekonorni pernbatasan ekspor dijelaskan dengan asumsi-asumsi (1)

(11)

terdapat dua negara yaitu eksportir dan importir, dan (2) negara eksportir adalah negara besar dalam perdagangan, secara grafis dijelaskan melalui Gambar 4.

(b) (c)

Eksportir Dunia lmportir

Gambar 4. Efek Ekonomi Pembatasan Ekspor (Sumber: Tweeten, 1992)

Pembatasan ekspor oleh eksportir sebesar Qw' maka kurva penawaran ekspor menjadi kurva patah sehingga harga dunia yang terbentuk adalah Pw'. Pada harga Pw' di negara eksportir terjadi kelebihan penawaran. Penyerapan kelebihan penawaran tersebut rnenyebabkan pergeseran kurva permintaan domestik menjadi D' dengan jarak horizontal sebesar kuota sehingga kebutuhan domestik dapat dipenuhi dengan harga yang lebih rendah.

Dampak pembatasan ekspor terhadap kesejahteraan dapat dilihat dari perubahan surplus konsumen dan surplus produsen pada Gambar 4 yang dijelaskan lebih rinci dengan Tabel 7

Tabel 7. Dampak Pembatasan Ekspor Terhadap Kesejahteraan

Peru bahan Eksportir lmportir

Surplus Konsumen (a+b) -(1+2+3+4)

Surplus Produsen -(a+ b+c+d) 1

Penerimaan Pemerintah (c+e)

.

,

Kesejahteraan Nasional -d+e -(2+3+4)

Kesejahteraan Dunia -d-2-4

(12)

Pada sisi eksportir, jika daerah (e) lebih besar dari daerah (d) rnaka eksportir akan rnendapat rnanfaat dari pernbatasan ekspor dirnana konsurnen dan pernegang kuota akan rnendapat keuntungan dari perdagangan. Pada sisi irnportir terjadi penurunan kesejahteraan nasional (2+3+4) yang tidak terkornpensasi oleh rnanfaat yang diterirna eksportir sehingga secara keseluruhan pernbatasan eksportir akan rnenurunkan kesejahteraan dunia. Pajak ekspor

Pajak ekspor yang diberlakukan terhadap suatu kornoditi pada prinsipnya akan rneningkatkan biaya ekspor sehingga kornoditi yang diekspor berkurang. Hal ini rnenyebabkan harga yang diterirna produsen dornestik rnenjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang ditetapkan (Grennes, 1984).

Analisis berikut juga rnerupakan kasus untuk negara besar dalarn perdagangan artinya volume ekspor rnernpengaruhi harga dunia. Jika pajak ekspor yang ditetapkan adalah pajak spesifik rnaka dampak ekonornisnya dapat dijelaskan dengan Garnbar 5.

Pajak ekspor spesifik (t) rnenyebabkan pergeseran kurva penawaran ekspor sejajar ke kiri atas (berkurang) sebesar pajak, akibatnya adalah harga dunia rneningkat rnenjadi Pw' (Gambar 5b). Peningkatan harga dunia pada sisi irnportir direspon dengan rnengurangi perrnintaan dornestik dan rnenjadi insentif untuk berproduksi (Gambar 5c) sehingga kurva perrnintaan irnpor bergerak sepanjang kurva ke kiri atas artinya terjadi pengurangan volume irnpor rnenjadi Qd'-Qs'.

Penurunan volume perdagangan sama artinya dengan penurunan volume ekspor sehingga pada sisi eksportir harga yang diterirna produsen domestik setelah pajak adalah pw'-t yaitu lebih rendah dari harga dunia sehingga produsen

(13)

menurunkan jumlah produksi pada qs' dan permintaan domestik meningkat menjadi qd' maka kelebihan penawaran adalah qs'-qd'.

Eksportir Dunia lmportir

Gambar 5. Efek Ekonomi Pajak Ekspor (Sumber: Tweeten, 1992)

Secara keseluruhan Garnbar 5 menjelaskan bahwa pajak ekspor memberi keuntungan bagi konsumen domestik di negara eksportir namun merugikan produsen domestik. Dampak pajak ekspor terhadap perubahan kesejahteraan dapat dijelaskan dengan Tabel 8.

Tabel 8. Dampak Pajak Ekspor Terhadap Kesejahteraan

Peru bahan Eksportir lmportir

Surplus Konsumen (a+b) -(1+2+3+4)

Surplus Produsen

Penerimaan Pemerintah

.

,

Kesejahteraan Nasional -c-e+f -(2+3+4)

Keseiahteraan Dunia -c-e+2-4 - ~

Sumber : Tweeten, 1992.

Secara umum pajak ekspor menurunkan kesejahteraan dunia demikian pula di negara importir, kesejahteraan nasional menurun sebesar daerah (2+3+4) sementara di negara eksportir kesejahteraan nasional ditentukan oleh elastisitas

(14)

permintaan dan penawaran. Untuk tingkat pajak tertentu, jika f lebih besar dari (c+e) maka terjadi peningkatan kesejahteraan nasional.

2.4. Kointegrasi dan Error Correction Model 2.4.1. Data Stasioner dan Unit Root

Jenis data time series merupakan data yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian empiris. Analisis ekonometrika klasik yang menggunakan data time series mengasurnsikan bahwa data yang digunakan adalah stasioner untuk memenuhi kriteria statistik pada uji t, nilai DW dan nilai R* (Seddighi, 2000). Suatu data time series dikatakan stasioner apabila memenuhi kriteria : 1. Nilai harapan konstan : E(Xt)

=

Konstan untuk semua t

2. Varian konstan : Var (Xt)

=

Konstan untuk semua t

3. Covarian konstan : Cov (Xt, Xt+k) = Konstan untuk semua t, dan k #

0

Kondisi yang memenuhi ketiga kriteria tersebut disebut juga "weak stationary" (Thomas, 1997). Data time series dikatakan nonstasioner apabila gagal rnemenuhi salah satu atau lebih kriteria tersebut. Konsekuensi dari meregresi data nonstasioner pada variabel in level adalah adanya permasalahan spurious correlation/regression yaitu trend stokastik pada variabel bebas dan variabel terikat yang menyebabkan korelasi yang tinggi antara keduanya meskipun secara aktuai keduanya tidak berkaitan.

Asumsi data stasioner dalam ekonometrika klasik mengharuskan ketelitian dalam analisis regresi karena hampir selalu studi-studi empiris ekonomi memuat variabel nonstasioner (trending variable) seperti pendapatan, konsumsi, permintaan uang, tingkat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar. Data time series ekonomi cenderung menunjukkan proses stokastik (random walk)

(15)

nonstasioner dengan bentuk autoregressive AR(1) yaitu regresi dengan variabel itu sendiri (lag 1).

Yt =

&

+ cYt-l + ut ... (2.1) dimana :

Ci

= Konstan drift

<

= I

ut = error

Suatu variabel (Yt) dikatakan memiliki unit root jika koefisien

<

= 1, lebih jelasnya Yt yang dicirikan dengan memiliki unit root dan drifi (random walk with drift) adalah variabel nonstasioner. Meskipun dari hasil regresi variabel-variabel ekonomi menunjukkan signifikasi tinggi koefisien regresi dan nilai koefisien determinasi (R*) yang tinggi namun hanya karena adanya trend, sementara variabel tersebut samasekali tidak terkait sehingga hasil yang didapat tidak memiliki arti (meaningless) dalam interpretasi ekonomi. Jadi level stasioner data time series dapat dideteksi apabila data tersebut mengandung unit root. Uji Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey Fuller (ADF) dapat digunakan untuk tujuan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan spurious correlation pada analisis data time series stokastik salah satunya dengan menstasionerkan data tersebut dengan menarik first Difference (transformasi matematis). Thomas (1997) menjeiaskan proses kerja first Difference melalui contoh yang diformulasikan sebagai berikut :

Yt =

p1

+ p2xt + Et ... (2.2) Jika X dan Y adalah variabel trend yang tidak dapat diestimasi langsung untuk variabel in level karena masalah spurious sehingga perlu lag satu periode menjadi

(16)

y,,

=

pl

+

... (2.3)

Persamaan (2.2) dan (2.3) disubstraksi sehingga didapat persamaan first Difference yang bebas dari masalah spurious yaitu :

AYt = P2AX1

+

vt . . . , . . . (2.4)

dimana

Vt = Et

-

Et.1

Solusi first Difference mampu mengatasi permasalahan nonstasioner walaupun muncul kesulitan pada sisi interpretasi, namun permasalahan yang krusial pada solusi ini adalah (1) terjadi autokorelasi pada error vt

=

&t

-

&,.I

sehingga sulit dalam proses estimasi (2) mengabaikan informasi jangka panjang (hubungan antar variabel in level hilang). Solusi ini menjadi tidak relevan untuk tujuan perencanaan kebijakan dan peramalan perdagangan komoditi pertanian dimana kriteria jangka panjang dari model selalu diperhitungkan. Sementara itu bahwa teori perdagangan internasional ditetapkan sebagai suatu hubungan jangka panjang antar variabel in level. Untuk itu solusi first difference diabaikan untuk menganalisis isu-isu jangka panjang dan solusi Error Correction menjadi piiihan yang dianggap bisa mengkoreksi permasalahan solusi first difference. Namun solusi Error Correction menghendaki beberapa persyaratan untuk variabelnya agar analisanya menjadi valid.

2.4.2. Error Correction Model

Error Correction Model ( E C M ) merupakan solusi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan first Difference yang menggunakan pendekatan "general to specific" yaitu dari reduced form yang bersifat umum ke persamaan struktural (Siregar, 2004). Spesifikasi ECM diturunkan dari reparameterisasi sederhana sebagai berikut :

(17)

Perrnasalahan utarna dalarn rnengestirnasi parameter pada persarnaan (2.5) adalah kernungkinan nonstasioner pada variabel levels, sehingga spesifikasi ARDL (1,l) tersebut direpararneterisasi sehingga diperoleh bentuk ECM.

AYt = blAXt - h(Yt-i

- Po

-

P1Xt-1) + E~ ...

(2.6)

dimana :

A = ? - p

Po

=

bdh

P1

=

(bl + b2)lh

Parameter yang rnuncul dalarn ECM rnerniliki interpretasi yang jelas dirnana h rnerupakan parameter kecepatan rnenyesuaikan (adjustment) untuk rnencapai keseirnbangan, bi adalah hubungan jangka pendek yang rnencerminkan respon segera (immediate) dari variabel Y, terhadap perubahan variabel Xt sehingga disebut juga elastisitas jangka pendek. Sernentara Podan

P1

rnenunjukkan hubungan jangka panjang variabel Yt dan X,.

Selain syarat data nonstasioner pada data time series, persarnaan ECM juga rnensyaratkan adanya variabel yang terkointegrasi. Pada model ECM terdapat kornbinasi linear variabel yang nonstasioner yaitu (Yt-l

-

PO

-

PIXt-l)

-

l(0). Kombinasi linear ini disebut kointegrasi. Konsep kointegrasi pertama kali dikernbangkan oleh Engle dan Granger yang rnenyernpurnakan penggunaan ECM. Kointegrasi berarti bahwa meskipun suatu variabel yang secara individu nonstasioner namun kombinasi linear antara dua atau lebih variabel tersebut rnenjadi stasioner. Kornbinasi linear itu disebut error yang bersarna h (parameter error) rnernbentuk mekanisrne rnengkoreksi kesalahan untuk rnencapai keseimbangan, sernakin kecil nilai parameter error sernakin lama koreksi

(18)

kesalahan dilakukan pada model tersebut. Kornbinasi linear dalarn ECM harus terintegrasi dalam order yang sarna, rnisalnya :

Yt-1 = Po + PI&-1 Keseirnbangan

Y,, <

po

+ PIXt-l error <O dikoreksi oleh

(-A)

sehingga naik rnenuju keseirnbangan

Yt-l >

Po

+ PIXt-l error

>O

dikoreksi oleh

(-A)

sehingga turun rnenuju keseirnbangan.

lnterpretasi parameter ECM secara jelas rnernbedakan antara efek jangka panjang dan efek jangka pendek, ha1 ini sesuai untuk rnernperkirakan validitas suatu hipotesis. Selain itu secara urnurn

ECM

merepresentasikan ketidakseirnbangan hubungan akan rnengurangi perrnasalahan multicollinearity pada data time series (Thomas, 1997).

2.5. Tinjauan Kebijakan Minyak Sawit lndonesia

Kebijakan

-

kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi narnun yang lebih kornpleks pada sisi pengaturan tataniaga rninyak sawit. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 1978 (Larnpiran 1). Berbagai instrurnen kebijakan telah diaplikasikan untuk rnencapai beberapa tujuan yaitu (1) pengendalian laju inflasi dan rnencegah penurunan pendapatan riil rnasyarakat, dan (2) pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk rnenjaga kestabilan harga rninyak goreng (Zulkifli, 2000).

Beberapa instrurnen kebijakan pernerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pajak ekspor, (2) penetapan alokasi kebutuhan dalarn negeri berupa pernbatasan ekspor, (3) pernupukan cadangan penyangga rninyak sawit kasar, dan (4) pelarangan ekspor. lnstrumen

(19)

kebijakan yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak- pihak yang berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export ban).

Pada awal tahun 1998 melalui Surat Keputusan Dirjen Perdagangan dalam Negeri No.420/DJPDN/X1/97, pemerintah lndonesia melarang ekspor minyak sawit kasar selama empat bulan. Hal ini disebabkan selama tahun 1997 sebagian besar perusahaan-perusahaan minyak sawit kasar mengekspor sebanyak mungkin minyak sawit produksinya sebagai respon dari devaluasi nilai rupiah dan tingginya harga minyak sawit kasar di pasar dunia. lmplikasinya adalah kurangnya pasokan dalam negeri diiringi dengan peningkatan harga di pasar domestik. Untuk itu, pada April 1998 melalui SK Menperindag No.181/MPP/Keptl4/1998 dan juga sesuai dengan isi memorandum tambahan yang dicapai pemerintah lndonesia dengan Dana Moneter lnternasional (IMF) maka pelarangan ekspor diganti dengan pajak ekspor sebesar 40 persen sebagai usaha untuk menormalkan harga domestik. Pajak ekspor ditetapkan dari selisih antara target harga yang ditentukan pemerintah dengan harga ekspor aktual. Sejak April 1998, pajak ekspor meningkat dan secara beransur-ansur diturunkan seperti yang ditunjukkan Tabel 9.

Tabel 9. Pelarangan Ekspor dan Pajak Ekspor Minyak Sawit lndonesia

Mulai Sampai Pajak Ekspor (%)

Desember 1997 5

Desember 1997 Januari 1998 30

Januari 1998 April 1998 Export Ban

April 1998 Juli 1998 40 Juli 1998 Februari 1999 60 Februari 1999 Juni 1999 40 Juni 1999 Juli 1999 30 Juli 1999 September 2000 10 September 2000 Februari 2001 5 Februari 2001 - 3 Sumber : http://w.d~rin.com

(20)

2.6. Tinjauan Studi Terdahuiu

2.6.1. Studi Mengenai Perdagangan Minyak Sawit

Studi-studi rnengenai perdagangan rninyak sawit telah banyak dilakukan dan sebagian besar dianalisis secara rnenyeluruh dalam integrasinya secara vertikal maupun horizontal dalarn suatu industri, rnisalnya studi yang dilakukan oleh Djaenudin (2000) dan Zulkifli (2000) menganalisa rninyak sawit kasar dalam integrasinya secara vertikal dengan subindustri perkebunan kelapa sawit dan subindustri rninyak goreng sawit. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Purwanto (2002) rnenganalisa rninyak sawit kasar sebagai bagian horizontal dari rninyak nabati. Selain itu studi rnengenai permintaan dan penawaran pasar rninyak sawit juga dilakukan oleh Suryana (1986), Susilowati (1989) serta Manurung (1 993).

Suryana (1986) rnenggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan periode analisis 1964-1983 rnenyirnpulkan bahwa perrnintaan rninyak sawit bersifat inelastis terhadap harga di pasar Jepang, Indonesia, Masyarakat Ekonorni Eropa (MEE) dan Malaysia namun elastis untuk pasar Arnerika. Analisis perrnintaan dalam perdagangan dilakukan dengan rnenggunakan rnodel Armington yaitu teori permintaan untuk kornoditi-kornoditi yang dibedakan rnenurut negara asalnya. Model ini rnernperlihatkan bahwa untuk produk yang sarna yang dihasilkan oleh negara-negara eksportir rnerniliki pangsa tersendiri dalam perdagangan karena adanya perbedaan karakteristik produk. Meskipun harga yang ditawarkan produk suatu negara lebih rendah, tidak akan merebut pangsa ekspor produk negara lain. Berdasarkan hasil pengujian sifat homogenitas maka perrnintaan rninyak sawit di pasar Jepang dan MEE dibedakan rnenurut negara asalnya namun tidak berlaku untuk rninyak sawit produksi malaysia dan Indonesia artinya terdapat daya substitusi untuk produk dua negara tersebut. Perrnintaan minyak sawit untuk pasar Arnerika tidak

(21)

membedakan produk menurut asalnya sehingga daya saing menjadi penting untuk merebut pangsa untuk pasar Amerika.

Susilowati (1 989) menjelaskan integrasi pasar minyak sawit dunia dengan pasar minyak sawit Indonesia. Studi ini mendisagregasi konsumen utama minyak sawit yaitu Amerika Serikat, MEE dan Jepang, sedangkan produsen utama adalah Malaysia dan Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan permintaan impor konsumen utama dan penawaran ekspor produsen utama. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa permintaan impor minyak sawit Amerika, Jepang dan MEE bersifat inelastis, sementara perubahan harga minyak sawit Malaysia berpengaruh kuat pada penawaran ekspor minyak sawit Indonesia.

Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993) lebih terfokus pada dampak kebijakan-kebijakan pemerintah dan faktor ekonomi eksternal dalam perdagangan minyak sawit terhadap perubahan kesejahteraan. Sistem persamaan simultan dengan metode estimasi L3SLS mampu menyimpulkan bahwa penawaran ekspor minyak sawit ke Eropa dan Amerika dalam jangka pendek inelastis terhadap harga. Sedangkan dalam jangka panjang bersifat elastis untuk Amerika dan lnelastis untuk Eropa. Pada sisi kebijakan diketahui bahwa impor minyak sawit Eropa dan Amerika responsif terhadap kebijakan pembatasan impor negara tersebut. Kebijakan pembatasan ekspor sendiri tidak efektif jika harga di pasar internasional lebih tinggi dari pasar domestik, demikian pula dengan penetapan pajak ekspor 5 persen hanya akan mengurangi devisa.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli (2000) membahas secara komprehensif industri kelapa sawit dengan penekanan pada dampak liberalisasi perdagangan. Minyak sawit kasar merupakan subindustri yang terintegrasi secara vertikal dengan subindustri perkebunan kelapa sawit dan

(22)

subindustri rninyak goreng sawit. Dengan rnenggunakan analisis ekonornetrika, model persamaan sirnultan, penelitian tersebut menghasilkan beberapa kesirnpulan. Diantara kesimpulan tersebut yang berkaitan dengan ekspor rninyak sawit kasar lndonesia adalah: (1) penurunan atau penghapusan pajak ekspor, rnernacu ekspor minyak sawit lndonesia dan rnemperkuat persaingan rninyak sawit lndonesia di pasar dunia serta rnernperbesar insentif produksi pada perkebunan kelapa sawit, (2) penerapan liberalisasi perdagangan memberikan dampak positif terhadap ekspor rninyak sawit kasar Indonesia, dibandingkan Malaysia sebagai negara pesaing utarna dan negara-negara eksportir lainnya, lndonesia paling diuntungkan bila penurunan restriksi perdagangan dilakukan oleh sernua negara secara bertahap narnun sebaliknya lndonesia dirugikan jika liberalisasi hanya dilakukan oleh negar-negara eksportir pesaing Indonesia, (3) peningkatan ekspor rninyak sawit lndonesia akibat liberalisasi perdagangan diikuti pula oleh peningkatan irnpor oleh negara-negara irnportir yang tetap potensial sebagai pasar minyak sawit kasar pada era liberalisasi perdagangan adalah Belanda, Jepang , Jerrnan, Cina dan Mesir, dan (4) meskipun pangsa ekspor rninyak sawit lndonesia di pasar dunia rneningkat yang sekaligus rnemberikan peningkatan devisa yang cukup besar, penerapan liberalisasi di lndonesia rnengorbankan konsurnen rninyak goreng sawit dornestik.

Djaenudin (2000) lebih spesifik melakukan penelitian pada pasar minyak goreng domestik dengan menganalisis darnpak kebijakan pernerintah dan liberalisasi perdagangan. Narnun penelitian ini juga rnenganalisis pasar rninyak sawit kasar sebagai bahan baku rninyak goreng sawit. Dengan rnenggunakan sistem persarnaan simultan dan rnetode pendugaan 2SLS, penelitian ini rnenjelaskan bahwa (1) permintaan rninyak sawit kasar oleh industri rninyak goreng sawit bersifat kurang responsif dalarn jangka pendek terhadap harga

(23)

minyak goreng sawit rnaupun harga rninyak sawit kasar, (2) ekspor rninyak sawit kasar tidak responsif terhadap harga ekspor minyak sawit kasar, harga minyak goreng sawit dan nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang narnun respon terhadap produksi rninyak sawit kasar, dan (3) harga ekspor rninyak sawit kasar respon terhadap harga dunia rninyak sawit dalam jangka panjang dan tidak respon terhadap pajak ekspor rninyak sawit.

Studi yang rnenyeluruh rnengenai minyak nabati dilakukan oleh Purwanto (2002), rnasih dengan rnenggunakan analisis ekonornetrika sistem persarnaan sirnultan, model yang dibangun marnpu rnenjelaskan diantaranya mengenai perilaku ekspor rninyak sawit yaitu : (1) perilaku ekspor minyak sawit kasar Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi dan pajak ekspor, ha1 ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Djaenudin (2000), (2) perilaku ekspor rninyak sawit Malaysia dipengaruhi oleh produksi dan stok minyak sawit, lag harga dan lag nilai tukar sangat rnernpengaruhi ekspor pada tahun berjalan karena Malaysia melakukan Forward Trading, (3) perilaku impor rninyak sawit di China, Pakistan dan Jepang elastis terhadap konsurnsi dan inelastis terhadap harga dunia, perilaku konsurnsinya rnenunjukkan respon positif terhadap kenaikan pendapatan, dan (4) perilaku harga rninyak sawit dunia menunjukkan respon negatif terhadap kenaikan ekspor dan positif terhadap impor.

Kajian-kajian tersebut di atas sudah mengkaji industri minyak sawit secara kompleks, narnun yang masih perlu dilakukan adalah memperhatikan properti data time series yang digunakan terutama untuk data-data perdagangan dan beberapa variabel rnakro yang cenderung merupakan variabel trend. Penelitian-penelitian sebelumnya tidak mernperhatikan stasionaritas dari variabel-variabel yang rnembangun model perdagangan rninyak sawit sehingga rnernungkinkan terjadinya hubungan sernu antar variabel. Penelitian ini dilakukan

(24)

dengan memperhatikan karakteristik data time series melalui beberapa uji prasarat terhadap terhadap data sehingga 1010s uji untuk suatu model perdagangan minyak sawit Indonesia. Selain itu sebagian besar penelitian yang telah dilakukan lebih menekankan pada produk minyak sawit kasar sehingga model yang digunakan tidak menangkap adanya pergeseran orientasi ekspor minyak sawit Indonesia.

2.6.2. Studi Mengenai Permodelan dalam analisis Trade Flow

Model-model empiris perdagangan internasional telah banyak digunakan sebagai alat untuk peramalan dan analisis kebijakan pada berbagai pasar komoditi pertanian. Pendekatan yang dilakukan untuk analisis tersebut adalah model keseimbangan parsial, dalam model ini analisis dibatasi pada spesifik sektor dari perekonomian domestik dan internasional dengan mengasumsikan kondisi lainnya konstan. Model keseimbangan parsial mampu menjelaskan perbedaan antara jenis kebijakan perdagangan yang berbeda.

Model ekonometrik adalah model yang efektif dalam memahami hubungan perilaku pada berbagai pasar produk pertanian. Model ini dapat mengestimasi parameter dan menguji hipotesis sehingga parameter tersebut relevan dengan kriteria ekonomi disamping dapat digunakan untuk validasi dan simulasi instrument kebijakan. Model ekonometrika yang umum dan banyak digunakan untuk menganalisis arus perdagangan komoditi pertanian adalah sistem persamaan simultan yang statis, namun pada kenyataannya model ini cenderung mengabaikan proses adjustmen yang terjadi dalam permintaan dan penawaran produk pertanian disamping permasalahan non stasioner data time series. Studi yang berkembang menunjukkan bahwa model yang sesuai untuk menganalisis struktur dan parameter dari hubungan perilaku jangka panjang dalam pasar komoditi pertanian adalah spesifikasi dinamis error correction model

(25)

(ECM). Aplikasi ECM dan kointegrasi terhadap perdagangan komoditi pertanian dilakukan oleh Niemi (2003), Tambi (1999) dan Siregar (2003).

Niemi (2003), secara spesifik studi ini membangun model ekonometrika dinamis yang mampu menangkap efek jangka pendek dan jangka panjang perubahan harga dan pendapatan yang dapat digunakan untuk memprediksi dan simulasi kebijakan. Model yang dibangun adalah untuk tujuh komoditi pertanian yang diekspor dari negara-negara ASEAN ke Uni Eropa. Hasil studi menjelaskan bahwa konsep kointegrasi dan ECM sesuai untuk studi mengenai trade flow komoditi pertanian, ECM mampu merepresentasikan proses menghasilkan data (data generating process) untuk arus komoditi pertanian dari negara-negara ASEAN ke Uni Eropa. Selanjutnya studi ini juga menunjukkan pentingnya inspeksi pada properti data time series. Aplikasi ECM juga dilakukan dalam studi Siregar (2003) yang secara khusus membahas pangsa sektor pertanian jangka panjang dan dinamika ekspor pertanian untuk kasus komoditi pertanian Indonesia. Studi yang juga mengaplikasikan kointegrasi dan ECM dalam arus perdagangan yaitu studi yang dilakukan oleh Tambi (1999), studi ini menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi coklat, kopi dan kapas di Cameroon. Hasil studi ini bahwa ekspor coklat dan kopi ditentukan secara endonegus di dalam sistem dan tidak terkait dengan ekspor kapas.

Dari beberapa contoh penelitian empiris tersebut menunjukkan bahwa model ECM sesuai untuk menangkap efek jangka panjang dan juga efek jangka pendek sehingga mampu digunakan untuk memprediksi dan simulasi kebijakan. Untuk itu kombinasi model mengenai struktur perdagangan minyak sawit dengan model ekonometrika ECM lebih lanjut akan diaplikasikan dalam penelitian yang mengkaji dinamika ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara importir utama.

Gambar

Gambar  tersebut  mengasumsikan hanya  ada  dua  negara  yaitu  negara  eksportir  dan  importir
Gambar  2.  Efek Ekonomi Kebijakan Tarif lrnpor  (Sumber:  Tweeten, 1992)
Gambar  4.  Efek Ekonomi Pembatasan Ekspor  (Sumber: Tweeten, 1992)
Gambar 5. Efek Ekonomi Pajak Ekspor  (Sumber: Tweeten,  1992)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit, minyak kelapa dan produk turunannya sebagaimana dimaksud dalam kolom 2 Lampiran Keputusan ini dikenakan Pajak Ekspor yang

Penurunan perpindahan panas akibat fouling, penghapusan penukar panas dari jaringan, perubahan dalam suhu inlet atau laju alir massa pada aliran proses antara

Metil ester dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, atau lemak hewan dengan

Skripsi yang mengambil judul “Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia” sebagai salah satu syarat dalam

Bahan baku pembuatan metil ester antara lain minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, minyak kedelai, dan lainnya.Minyak dengan asam lemak bebas tinggi akan

PERUBAHAN MUTU MINYAK SAWIT SELAMA PENYIMPANAN CODEX Alimentarius Comission (CAC) (2005) dalam panduan penyimpanan dan transportasi lemak dan minyak pada skala besar

Biodiesel dihasilkan dengan mereaksikan minyak tanaman (kelapa sawit, jarak pagar, minyak jelantah) dengan alkohol menggunakan katalis pada suhu dan konsentrasi

Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional