• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saintifikasi Jamu Kelompok 1.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Saintifikasi Jamu Kelompok 1.doc"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

“KEBIJAKAN NASIONAL DAN REGULASI TERKAIT SAINTIFIKASI JAMU”

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Saintifikasi Jamu

Oleh: 1. (1522111010) 2. (1522111010) 3. (1522111010) 4. (1522111010) 5. (1522111010) 6. (1522111010) 7. (1522111010) 8. (1522111010) 9. (1522111010) 10. (1522111010) 11. (1522111010) 12. (1522111010) 13. (1522111010) 14. (1522111010) 15. (1522111010) 16. (1522111010)

PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER

(2)

A. Latar Belakang Saintifikasi Jamu

Indonesia merupakan negara tropis dengan potensi tanaman yang secara turun temurun digunakan sebagai obat tradisional. Jamu, yang merupakan obat tradisional Indonesia, telah menjadi budaya masyarakat Indonesia sejak berabad silam sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan, menambah kebugaran, dan merawat kecantikan. Industri, usaha dan sub sektor jamu dan obat tradisional serta kosmetik di Indonesia semakin berkembang sejak tahun 2008 melalui kegiatan ”Jamu Brand Indonesia” yang dicanangkan oleh Presiden RI 2009-2014 Susilo Bambang Yudoyono pada Gelar Kebangkitan Jamu Indonesia.

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki banyak keanekaragaman hayati. Sumber daya alam bahan obat dan obat tradisional merupakan aset nasional yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya sehingga bisa memiliki nilai keunggulan komparatif dan menjadi komoditi yang kompetitif. Penggunaan tanaman obat di Indonesia sebagai mega-senter tanaman obat di dunia, merupakan bagian dari budaya masyarakat. Indonesia memiliki sekitar 400 suku bangsa (etnis dan sub etnis), masing-masing memiliki berbagai pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi, di antaranya pengetahuan tradisional di bidang pengobatan dan obat-obatan. Bukti penggunaan obat tradisional sejak berabad-abad yang lalu di Indonesia antara lain terlihat dari relief yang terdapat pada candi Prambanan dan Candi Borobudur, tertulis dalam daun lontar, serta peninggalan dan budaya di keraton-keraton sampai saat ini.

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun 2005, terdapat 75-80% dari seluruh penduduk dunia pernah menjalani pengobatan non-konvensional. WHO juga merekomendasikan penggunaan obat tradisional, termasuk herbal, dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit terutama penyakit kronis dan penyakit degeneratif, di samping mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional. Jamu sudah digunakan secara turun temurun dan diterima sebagai budaya oleh bangsa

(3)

Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh (49,53%) penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menggunakan jamu, namun belum ada pencatatan efikasi dan keamanannya secara ilmiah, sehingga diperlukan penelitian berbasis pelayanan dalam rangka pengembangan jamu.

Menteri Kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.381/MENKES/SK/III/2007 menetapkan kebijakan obat tradisional nasional (Kotranas) yang antara lain bertujuan untuk mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan. Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut Menteri Kesehatan membuat Peraturan Menteri Kesehatan No.003/MENKES/PER/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Menurut peraturan tersebut pada pasal 1 diterangkan bahwa saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, sedangkan jamu diartikan sebagai obat tradisional Indonesia. Sementara itu obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang ada.

Dalam UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 48 dinyatakan bahwa “pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian dari penyelenggaraan upaya kesehatan”. Artinya, pengobatan tradisional (indigenous health system) diakui sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan (health care system). Untuk itu, perlu “sinkronisasi / harmonisasi” antara sistem pelayanan kesehatan formal dan sistem pelayanan kesehatan tradisional. Berdasarkan pasal 101 dalam UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa sumber obat tradisional yang terbukti berkhasiat dan aman, harus dijaga kelestariannya.

Untuk menjamin tersedianya Jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu, Pemerintah Indonesia melakukan langkah dan upaya untuk menjamin keamanan

(4)

Jamu. Untuk memperkuat data dan informasi ilmiah tentang Jamu -utamanya formula Jamu-. Pemerintah Indonesia melaksanakan Program Saintifikasi Jamu atau Scientific Based Jamu Development, yaitu penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik, meliputi tahap-tahap :

1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional.

2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/ komplementer. 3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.

4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.

Jamu saintifik yang dihasilkan dari program digunakan untuk terapi komplementer di fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat jika mereka menginginkan untuk mengonsumsi Jamu saja sebagai subyek dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif.

Pengembangan Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik.

1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional.

2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/ komplementer. 3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.

Dengan demikian, maka pembuktian empiris terkait khasiat dan keamanan obat tradisional (jamu) menjadi hal penting dalam menjadikan jamu sebagai komponen penting dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan kata lain, litbang di bidang jamu merupakan salah satu “upaya penting” dalam mengangkat jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berdasarkan beberapa hal tersebut maka perlu dilakukan regulasi terhadap jamu atau obat tradisional seperti halnya melalui proses saintifikasi jamu, sehingga masyarakat Indonesia dapat meningkatkan kepercayaan penggunaan jamu sebagai obat tradisional yang aman dan berkhasiat.

(5)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Menurut Surat Keputusan Kepala BPPOM-RI No.Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia tertanggal 2 Maret 2005 adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: Jamu, Obat ekstrak alam (herbal terstandar) dan Fitofarmaka.

1. Jamu (Empirical based herbal medicine)

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 - 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.

Jamu harus memenuhi kriteria:

 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.  Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.

(6)

 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan:

 Harus sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat umum dan medium.

 Harus diawali dengan kata-kata: “Secara tradisional digunakan untuk…” atau sesaui dengan yang disetujui pada pendaftaran.

2. Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine)

Obat Herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan tehnologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis. Jenis klaim penggunaan harus sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.

Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria:  Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.  Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik.

(7)

 Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. 3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)

Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilimiah. Jenis klaim penggunaan harus sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.

Fitofarmaka harus memenuhi kriteria:  Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.  Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik.

 Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi

 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

B. Kebijakan Nasional dan Regulasi Pendukung Program Saintifikasi Jamu Pada dasarnya hingga saat ini sistem pengobatan di Indonesia didasarkan pada sistem pengobatan konvensional menggunakan produk-produk terapi berbasis bahan kimia tunggal. Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap

(8)

pengobatan tradisional, dimana di dalamnya melibatkan penggunaan obat tradisional, baik ramuan tradisional (jamu) maupun formula modern dalam bentuk obat tradisional, pemerintah telah memberikan perhatian yang sangat besar baik dari segi pelayanan maupun regulasi yang menyangkut produk obat tradisional tersebut. Berbagai peraturan telah diterbitkan terkait dengan pemberi layanan pengobatan tradisional, kesehatan tradisional, klasifikasi, registrasi dan pengawasan produk obat tradisional. Upaya ini merupakan bagian dari keinginan pemerintah untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati Indonesia dan kekayaan kesehatan tradisional agar dapat terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan formal.

Upaya terakhir yang signifikan adalah diterbitkannya Farmakope Herbal Indonesia dan Program Saintifikasi Jamu, yang memfokuskan diri pada penelitian berbasis pelayanan untuk mendapatkan bukti manfaat jamu (evidence-based jamu). Program Saintifikasi Jamu melakukan pengembangan sumber daya manusia dengan mendidik para dokter dan apoteker yang akan melaksanakan penelitian berbasis pelayanan tersebutdi rumah sakit dan puskesmas, membangun infrastruktur layanan kesehatan tradisonal dan menerbitkan Vademekum Tanaman Obat.

Pengembangan jamu dalam program saintifikasi jamu, didukung oleh kebijakan dan regulasi pemerintahan. Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan dan regulasi mengenai pengobatan tradisional yang mendukung saintifikasi jamu yaitu :

Kemenkes nomor 1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional

Berdasarkan Kemenkes ini, dinyatakan bahwa Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, ketrampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangan Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Dan jamu termasuk dalam pengobatan tradisional. Dalam peraturan ini juga

(9)

dijelaskan dalam klasifikasi dan jenis pengobatan tradisional (battra). Pada battra ramuan, jamu merupakan klasifikasi pertama dan disebut sebagai battra ramuan Indonesia. Battra Ramuan Indonesia (Jamu) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dll baik diramu sendiri, maupun obat jadi tradisional Indonesia.

Permenkes RI nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam ketentuan umum BAB I dikemukakan bahwa Pengobatan komplementer alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehtan masyarakat meliputi promotif, kuratif, dan rehabilitative yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas,keamanan dan efektifitas yang tinggi yang berdasarkan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konventional. Dan jamu merupakan salah satunya. Sehingga jamu dapat dikategorikan dalam salah satu fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan peraturan diatas didapatkan bahwa pengobatan komplementer-alternatif merupakan awal terbentuknya suatu landasan hukum bagi pengguna obat tradisional dengan dukungan ilmu pengetahuan yang meliputi:

1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan ekonomi.

2. Menjamin obat tradisional yang aman, bermutu dan bermanfaat serta melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang tidak tepat.

3. Tersedianya obat tradisional yang memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal.

(10)

4. Mendorong perkembangan dunia usaha di bidang obat tradisional yang bertanggung jawab agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan diterima di negara lain.

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Amanat UU No. 36 Tahun 2009 1. Pasal 47: Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan

pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.

2. Pasal 48 ayat 1 butir b: Upaya Kesehatan melalui pelayanan kesehatan tradisional. 3. Integrasi pelayanan kesehatan tradisional dalam pelayanan kesehatan formal

merupakan suatu program pemerintah utamanya Kementerian Kesehatan.

 Pasal 48: Pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian integral dari penyelenggaraan upaya kesehatan.

 Pasal 100 ayat 1: Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

 Pasal 100 ayat 2: Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.

Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia

No.003/MENKES/PER/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan, bertujuan mendapatkan evidence base penggunaan jamu terkait manfaat dan keamanan jamu.

Dalam BAB I permenkes diatas disebutkan bahwa saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang secara turun-temurun digunakan untuk pengobatan oleh masyarakat. Pada masa kini, jamu mulai distandarisasi dengan harapan dapat masuk dalam standard pelayanan kesehatan. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif

(11)

maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sehingga diperlukan saintifikasi jamu. Pada permenkes ini juga dikatakan bahwa tujuan dari saintifikasi jamu adalah:

1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

2. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.

3. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.

4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam pasal 3 dengan peraturan yang sama ruang lingkup saintifikasi jamu meliputi : 1. Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif,

rehabilitatif dan paliatif.

2. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer-alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.

Dari ketiga peraturan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dari dulu pemerintah sangat mendukung untuk penggunaan jamu sebagai pengobatan tradisional. Dan dengan seiringnya waktu pemerintah menentapkan kebijakan saintifikasi jamu dengan harapan kualitas jamu dapat terstandarisasi, sehingga pelanggan (pasien) yang mengkonsumsi jamu dapat lebih percaya pada mutu dan kualitas jamu. Serta menjaga tradisi luhur para pendahulu.

Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia

No.006/MENKES/PER/I/2012 tentang industri dan usaha obat tradisional Menyatakan bahwa Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industri yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional. Industri Ekstrak Bahan Alam yang selanjutnya disebut IEBA adalah industri yang khusus membuat

(12)

sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai produk akhir. Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen. Usaha Mikro Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Usaha Jamu Racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Usaha Jamu Gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Pada peraturan ini juga menjelaskan bentuk dari industri dan usaha obat tradisional, juga perizinannya, tata cara penyelenggaraan dan perubahan status dari usaha kecil obat tradisional menjadi industri obat tradisional.

Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia

No.007/MENKES/PER/I/2012 tentang registrasi obat tradisional

Menyatakan bahwa izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat tradisional untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia. Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat tradisional untuk mendapatkan izin edar. Importir adalah badan hukum yang bergerak di bidang perdagangan obat tradisional yang memiliki izin importir sesuai peraturan perundangundangan. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOTB adalah seluruh aspek kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industri yang dapat membuat semua bentuk sediaan obat tradisional. Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha yang

(13)

dapat membuat semua bentuk sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen.

Usaha Mikro Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Usaha jamu gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 600°C. Sediaan galenik adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Obat tradisional produksi dalam negeri adalah obat tradisional yang dibuat dan/atau dikemas di dalam negeri. Obat tradisional kontrak adalah obat tradisional yang seluruh atau sebagian tahapan pembuatan dilimpahkan kepada industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional berdasarkan kontrak. Obat tradisional lisensi adalah obat tradisional yang seluruh tahapan pembuatan dilakukan oleh industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional di dalam negeri atas dasar lisensi. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang seluruh proses pembuatan atau sebagian tahapan pembuatan sampai dengan pengemasan primer dilakukan oleh industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia. Pemberi kontrak adalah industri obat tradisional, usaha kecil obat tradisional, atau usaha mikro obat tradisional yang melimpahkan pekerjaan pembuatan obat tradisional berdasarkan kontrak. Penerima kontrak adalah industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional yang menerima pekerjaan pembuatan obat tradisional berdasarkan kontrak. Sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (Sertifikat CPOTB) adalah bukti tertulis atas pemenuhan Cara

(14)

Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Pada peraturan ini juga menjelaskan izin edar, persyaratan-persyaratan registrasi, tata cara registrasi, evaluasi dan sanksi-sanksi apabila terjadi ketidak sesuaian.

WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023 Goals

1. To support Member States in harnessing the potential contribution of T&CM to health, wellness and peoplecentred health care.

2. To promote the safe and effective use of T&CM through the regulation and product, practice and practitioners.

Strategy:

a. Building the knowledgebase and formulating national policies. b. Strengthening safety, quality and effectiveness through regulation.

c. Promoting universal coverage by integrating T&CM services and self-health care into national health system.

Selain itu, juga terdapat sistem / kebijakan lain, seperti:

• ASEAN, dalam bentuk Asean Task Force on Traditional Medicine.

• APEC, dengan dokumen The Role of Traditional Medicine for Strengthening Primary Health Care.

• Di tingkat Nasional, Indonesia memiliki Kotranas (Kebijakan Obat Tradisional Nasional) dan dibentuknya Direktorat di Kementerian Kesehatan yang mengurus kesehatan tradisional dan komplementer.

C. Tata Laksana Program Saintifikasi Jamu

Jamu harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan yang khusus, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada dan memenuhi persyaratan mutu yang khusus. Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

(15)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 003/Menkes/Per/I/2010, saintifkasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta.

Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu meliputi klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Klinik Jamu, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T), Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM), rumah sakit yang ditetapkan. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu Tipe A.

Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu meliputi proses Pembuatan/penyediaan simplisia dan penyimpanan, pelayanan resep mencakup skrining resep, penyiapanobat, peracikan, pemberian etiket, pemberian kemasan obat, penyerahan obat dan informasi obat dan konseling, monitoring penggunaan obat, promosi dan edukasi, penyuluhan pelayanan residensial (Home Care) serta pencatatan dan pelaporannya.

Langkah pertama yang dilakukan departemen kesehatan dalam hal saintifikasi jamu adalah dengan memberikan pelatihan khusus kepada dokter yang nantinya akan disapa dengan sebutan dokter jamu. Dokter-dokter ini telah

(16)

mendapatkan sertifikat, dan juga ditempatkan di puskesmas-puskemas Indonesia. Dalam melakukan pelayanan, dokter jamu juga tidak boleh memberikan saran penggunaan jamu, yang belum terbukti khasiatnya secara riset penelitian ilmiah. Dokter harus mengikuti perkembangan penelitian ilmiah tentang jamu, sebagai acuandalammemberikanterapi.

Beberapa tanaman yang dianggap telah lolos uji saintifikasi jamu sendiri antara lain misal untuk pelangsing tubuh daun jati belanda, penurun kolesterol ada kunyit, temulawak, meniran, untuk diabetes ada sambiloto dicampur brotowali, temulawak, kunyit dan meniran yang formula dan takarannya sudah melalui riset terstandar (Permenkes RI No. 003/Menkes/Per/I/2010).

(17)

Orientasi jamu yang dilaksanakan oleh suatu komunitas (generik) melakukan uji deskriptif terhadap tanaman yang akan dibuat menjadi jamu yang meliputi studi ethnomedicine, studi epidemiologi, dan health services research.Untuktanaman yang telah digunakan secara turun-temurun dilakukan uji keamanan dan kemanfaatan melalui studi klinik fase dua dan fase tiga. Sedangkan untuk jamu yang merupakan formula baru perlu dilakukan studi pre-klinik, studi klinik fase satu, fase dua, dan fase tiga. Setelah lolos uji, jamu dengan formula baik secara turun-temurun maupun formula baru dilakukan pengembangan fitofarmaka agar menghasilkan jamu yang berorientasi terhadap produk dan bersifat komersial. Pengembangan fitofarmaka ini meliputi uji pre-klinik, uji klinik fase satu, fase dua, dn fase tiga.

D. Implementasi Kebijakan Nasional dan Regulasi Program Saintifikasi Jamu 1. Sudah beredar lima jamu saintifik yaitu jamu untuk hemorhoid (wasir), dispepsia

(nyeri lambung), hipertensi ringan dan hiperurisemia (kadar asam urat tinggi) yang bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan UU Kesehatan No.36/2009 dan PP No.103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional (Novy, 2015).

2. Departemen Kesehatan Indonesia sedang menggalakkan saintifikasi jamu dan budidaya tanaman obat keluarga dan jamu-jamuan. Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan No.03 tahun 2010 yang mengatur penyediaan data dan informasi tentang jamu dan tanaman obat keluarga (Jairus dan Maria, 2007). 3. Kebijakan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka

mengakomodasi tuntutan masyarakat agar tersedia obat alternatif disamping obat-obat konvensional, yang berasal dari obat-obat tradisional yang telah teruji secara praklinis dan klinis sehingga terjamin aman, berkhasiat dan bermutu. Kebijakan ini ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Rachmi, 2010).

4. Kebijakan dari Menteri Kesehatan terkait penggunaan ekstrak terstandar untuk saintifikasi jamu meliputi sambiloto dan brotowali untuk antidiabetes; kepel, tempuyung dan secang untuk antihiperurisemia; seledri, pegagan dan kumis

(18)

kucing untuk antihipertensi; jati belanda, kemuning, kelembak untuk jamu antikolesterol (Anonim, 2014).

5. Peraturan Menteri Kesehatan No.03 tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan (Tjandra, 2014).

6. Terbitnya Roadmap Pengembangan Jamu 2011-2015 (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI)

7. Terbitnya PP Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer no. 103 tahun 2014, tentang pelayanan kesehatan tradisional (Dir. Bina Kestradkom, Kemkes) 8. Draft Permenkes tentang Peraturan Menteri Kesehatan RI, tentang Pelayanan

Kesehatan Tradisional Empirik (Dir. Bina Kestradkom, Kemkes)

9. Terbentuknya Komisi Saintifikasi Jamu Tingkat Daerah: Sumsel, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, sebagai perwakilan komisi SJ Nasional untuk pengembangan di wilayahnya.

10. Terdaftarnya paten ramuan hiperurisemia dan hipertensi ringan di Dirjen HKI.

E. Pengembangan Kebijakan Nasional dan Regulasi Program Saintifikasi Jamu Berbagai langkah pengembangan yang dilakukan untuk membangun dan memperkuat kebijakan nasional dan regulasi terkait saintifikasi jamu meliputi

1. Mengusulkan kerangka regulasi (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan).

2. Mengusulkan kerangka regulasi untuk mengatur dan mengangkat jamu sebagai brand Indonesia dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, PerMenkes, dan KepMenkes.

3. Mensinergiskan pengobatan tradisional (jamu) dengan sistem pelayanan kesehatan nasional

a. Terkoordinasinya jejaring Dokter Praktik Jamu di Indonesia, terdokumentasinya (database) pengobatan jamu di seluruh Indonesia

b. Memberikan perlindungan medikolegal tenaga kesehatan formal yang menggunakan jamu (jamu dalam formal health system) (sistem pelayanan kesehatan berbasis herbal di Faskes)

c. Pelatihan dokter dan apoteker Saintifikasi Jamu

d. Pencatatan penggunaan jamu yang digunakan dalam pelayanan kesehatan melalui website Pusat Registri (Jamu Registri)

(19)

e. Upaya memasukkan pelayanan jamu, dengan melakukan kajian jamu masuk dalam jaminan BPJS

4. Mengembangkan kebijakan untuk perlindungan tanaman obat asli Indonesia 5. Mengembangkan kebijakan untuk perlindungan HaKI formula jamu Indonesia 6. Mengembangkan kurikulum pendidikan tentang Pengobatan Tradisional

Indonesia (PTI)

7. Mengembangkan S1 Kedokteran Tradisional Indonesia bersama-sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, untuk gelar sarjana kesehatan tradisional (Kestrindo)

a. Terbitnya buku Body of Knowledge Kesehatan Tradisional Indonesia. b. Tersusunnya kurikulum pendidikan Kestrindo

c. Inisiasi pembentukkan vokasi D4 atau S1 Kesehatan Tradisional Indonesia (Kestrindo) kepada Perguruan Tinggi.

8. Mengembangkan pola pembinaan penggunaan jamu di tingkat rumah tangga

F. Saran untuk Perkembangan Saintifikasi Jamu

1. Diharapkan kedepan akan dihasilkan lebih banyak lagi jamu saintifikasi baik sebagai obat, pemeliharaan kesehatan (suplemen), kosmetika dan lain sebagainya.

2. Kebutuhan masyarakat akan obat herbal harus diakomidir dengan memperbanyak klinik herbal terstandar/bersertifikat serta memperbanyak promosi agar masyrakat mendapatkan terapi di tempat yang benar.

3. Agar ketersediaan jamu saintifikasi dapat terpenuhi maka perlu memperbanyak lahan budidaya tanaman obat untuk mempermudah mendapatkan bahan baku jamu saintifikasi.

4. Upaya peningkatan kualitas jamu saintifikasi secara terus-menerus perlu dilakukan sehingga perlu adanya standarisasi pengolahan dan penelitian yang terus berkembang.

(20)

5. Perlu adanya penambahan wadah bagi para tenaga yang terkait dengan saintifikasi jamu (Dokter, apoteker, asisten apoteker, magister herbal dll) untuk berorganisasi dan mengimplementasikan pengetahuannya tentang obat herba. 6. Pemerintah perlu melibatkan berbagai kementerian seruntuk mendukung

program saintifikasi jamu.

7. Menurut Tjandra Yoga Aditama (2014) perlu diwujudkan pula pelayanan kesehatanyang patient centered dan mampu menyembuhkan secaraholistik -body-mind-spirit - untuk mencapai kualitas hidupyang lebih baik.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., 2014. Jamu & Kesehatan, Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes (LPB).

Anonim. 2014. Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun 2015-2019. Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi.

Jairus, Maria. 2007. Perancangan Kampanye Sosial Pengenalan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), Manfaat dan Potensinya Kepada Anak Usia SMP. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Novy H. 2015. Berita dan Informasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Majalah Bulanan Edisi 04. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Rachmi S. 2010. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Jamu Menjadi Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka di Provinsi DKI Jakarta tahun 2010. Tesis. Universitas Indonesia.

Tjandra YA. 2014. Rencana Aksi Program Badan Litbangkes 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 003/Menkes/PER/I/2010

tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kemenkes no.1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional Permenkes RI no.1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan

komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Amanat UU No. 36 Tahun 2009.

Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No.006/MENKES/PER/I/2012 tentang industri dan usaha obat tradisional.

Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No.007/MENKES/PER/I/2012 tentang registrasi obat tradisional.

(22)

Surat Keputusan Kepala BPPOM-RI No.Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dikatakan dalam 2 Timotius 2:10, "Karena itu, aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam

Sebagai sebuah karya kontemporer, This Marriage memiliki unsur-unsur musikal sebagai berikut; Pola melodi yang terdapat pada lagu ini bergerak dalam interval yang

Perangkat yang digunakan untuk melakukan serangan DoS pada tugas akhir ini hanya dapat melakukan serangan sampai dengan 200 message, dan jika count yang digunakan adalah 250

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Dumai (2009), cakupan keluarga yang menggunakan sumur gali sebagai akses air bersih yaitu 47,52% termasuk didalamnya pesantren, dan dari 8

Adapun teknik pengumpulan data dari penelitian ini berupa pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder, pengumpulan data primer meliputi (1) observasi yaitu

Alat diagnostik ini baru-baru ini juga diteliti oleh Van Gorp et al., pada tahun 2010 digunakan sebagai alat skrining pada tumor ovarium epitel, hasilnya ROMA mempunyai

Penerapan Sistem Akuntansi Pembayaran klaim Pada BPJS Ketenagakerjaan Cabang Makassar sudah baik, hal ini dibuktikan dengan sistem akuntansi pembayaran jaminan

Pada hasil penelitian dari 92 siswi bahwa tipe pola asuh orang tua yang paling banyak dipersepsikan oleh responden adalah demokratis 64,1% yang sebagian besar 71,2% memiliki