• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerbitan Penetapan Sementara Dalam Sengketa Merek Dagang Terdaftar di Pengadilan Niaga Pasca Keluarnya Perma Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerbitan Penetapan Sementara Dalam Sengketa Merek Dagang Terdaftar di Pengadilan Niaga Pasca Keluarnya Perma Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan internasional penting bagi negara-negara dunia karena secara realita perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.1 Globalisasi juga mendorong masuknya barang/jasa dari negara lain dan membanjiri pasar domestik. Pelaku usaha domestik kini harus berhadapan dengan pelaku usaha dari berbagai negara, dalam suasana persaingan tidak sempurna.2

Terkait dengan upaya menghadapi pasar global yang semakin kompetitif, diperlukan peningkatan kemampuan bersaing untuk menguasai bisnis pasar nasional maupun internasional yang dimaksudkan dapat meningkatkan kapasitas pelaku ekspor, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan daya saing ekspor. Daya saing di bidang perdagangan suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas produk barang dan jasa yang diperdagangkan secara global.

Salah satu aspek penentu kualitas produk adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI)3, karena HKI diyakini akan menambah nilai produk yang diperdagangkan. Oleh karena itu penting bagi eksportir untuk mempersiapkan produknya terkait

1

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 2.

2

Ningrum Natasya Sirait, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Indonesia: ROV Creative Media (Published and Printed with Support of Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH), 2009), hlm. ix.

3

(2)

dengan HKI sebelum melakukan ekspor agar produknya tersebut memiliki pelindungan hukum.4 Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah-langkah guna meningkatkan pelindungan hukum dan pembinaan di bidang HKI.5

Sebagai upaya untuk mendorong peningkatan daya saing produk Indonesia, Kementerian Perdagangan secara regular memberikan sosialisasi mengenai HKI kepada masyarakat dan pelaku usaha melalui berbagai kegiatan di pusat dan daerah sekaligus fasilitas pendaftaran HKI kepada pengusaha Indonesia. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seminar, workshop, dan stand informasi HKI pada berbagai pameran di dalam negeri.6

HKI juga melindungi merek (sebagai contoh nama dan/ atau simbol yang digunakan oleh sebuah perusahaan), yang telah dikembangkan oleh perusahaan untuk melambangkan reputasi mereka dan menempatkannya dalam pasar.7 Suatu merek dagang atau jasa sebagai bagian dari apa yang dinamakan HKI berperan besar dalam dunia bisnis pada dewasa ini. HKI adalah suatu sistem yang sekarang ini melekat pada tata kehidupan modern.8

Secara sederhana HKI adalah suatu hak yang timbul dari hasil pemikiran yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. HKI juga bisa diartikan sebagai hak bagi seseorang karena ia telah membuat sesuatu yang

4

Kementerian Perdagangan RI, “Hak Kekayaan Intelektual”, http://djpen.kemendag. go.id/app_frontend/contents/99-hak-kekayaan-intelektual, 28 Mei 2013.

5

Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 25.

6

Kementerian Perdagangan RI, Laporan Akhir Tahun Kementerian Perdagangan Tahun 2011, (Jakarta: Kementerian Perdagangan RI, 2011), hlm.19.

7

Eddy Damian dkk, Hak kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 2.

8

(3)

berguna bagi orang lain.9 Secara substantif, pada hakikatnya pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak–hak atas harta kekayaan yang merupakan produk hasil olah pikir manusia atau kemampuan intelektual manusia. Dengan perkataan lain, HKI adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia. Kekayaan semacam ini bersifat pribadi.10 HKI tidak semata–mata berkaitan dengan hukum saja melainkan erat hubungan dengan masalah perdagangan, ekonomi dan pengembangan teknologi serta menjadi landasan usaha untuk memajukan sosio kultural bangsa dan masyarakat pada umumnya.11

Sebagai salah satu hak yang termasuk dalam HKI, merek dagang (trademarks) memiliki usia yang sama dengan perdagangan itu sendiri.12 Merek telah digunakan dalam bentuk cap pada hewan sejak tahun 5000 SM. Oleh raja-raja Mesir, merek telah digunakan sebagai lambang keraja-rajaan, cap dari perdagangan budak-budak belian dan juga merek dagang. Bangsa Romawi kemudian mengikuti penggunaan tanda tersebut.13 Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan seringkali merek-lah yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan lebih bernilai dibandingkan dengan perusahaan tersebut.14

9

Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk beluknya (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 2.

10

Eddy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 34. 11

Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), hlm. 10.

12

Erman Rajagukguk dalam “Kata Pengantar” pada disertasi H.D. Effendi Hasibuan,

Pelindungan Merek: Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, (Jakarta: Program Pacsasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. xi.

13

Frank H. Foster dan Robert L. Shook, Patents, Copyrights and Trademarks: The Total Guide to Protecting The Rights to Your Invention, Product, or Trademark. Now Better Than Ever, Second Ed., (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1993), hlm. 19.

14

(4)

Pengakuan atau syarat timbulnya hak atas merek bagi pemilik merek menurut sistem konstitutif adalah mendaftarkan mereknya pada Direktorat Jenderal HKI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Dengan demikian pendaftaran merek sekaligus menjadi faktor penting dalam rangka pelindungan hukum yaitu tahap awal suatu pelindungan yang bersifat preventif dan dasar berpijak yang kuat bagi upaya pelindungan merek selanjutnya. Pada prinsipnya menurut Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, permohonan pendaftaran merek tidak dapat diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik dan selanjutnya Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek berpegang pada prinsip bahwa merek boleh didaftarkan sama dengan merek orang lain asalkan tidak untuk barang dan/jasa yang sejenis. Prinsip ini banyak dianut oleh negara-negara di dunia sebagai prinsip yang bersifat universal.15

Fungsi utama dari sebuah merek adalah agar konsumen dapat mencirikan suatu produk (baik itu barang maupun jasa) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau yang mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pemakai harus mampu

15

(5)

membedakan dengan mudah antara produk yang asli dengan produk-produk yang identik atau yang mirip.16

Terhadap suatu produk yang mempunyai merek dan telah berhasil menembus pasar dengan sukses, biasanya perusahaan pesaing akan mencoba untuk membuat copy produk sejenis, baik dengan cara mengubah nama yang sedikit berbeda atau kemasan yang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan pesaing ini dimaksudkan untuk menembus pasar. Dasar pertimbangannya, jika perusahaan ingin membuat produk yang sama dengan yang sebelumnya telah beredar di masyarakat, meski dengan kualitas produk yang sama prima, namun bila dilakukan dengan menggunakan bentuk baru, masyarakat konsumen sama sekali belum mengenalnya.

Masalah mengenai merek di Indonesia semakin marak antara lain, praktik peniruan merek yang berupa upaya-upaya menggunakan merek yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah ada untuk menimbulkan kesan seakan-akan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk yang sudah ada tersebut. Masalah lainnya adalah praktik pemalsuan merek dalam hal persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya, selain itu masalah lainnya adalah perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek, hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah

16

(6)

suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu.17

Maraknya pelanggaran merek mengakibatkan kerugian negara di sektor perekonomian dan perdagangan, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sejak berdirinya Direktorat Penyidikan pada Direktorat Jenderal HKI, pada bulan Maret 2011 hingga bulan September 2012, Direktorat Penyidikan telah menerima pengaduan mengenai pelanggaran merek sebanyak 55 kasus.18 Pelanggaran dan pemalsuan merek sudah semakin membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup. Misalnya pelanggaran merek di bidang obat-obatan, oli dan pelumas, suku cadang, kosmetik serta pupuk tanaman yang terjadi sangat merugikan kesehatan dan membahayakan keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup. Dalam laporan temuan BPOM, jenis obat palsu19 di tahun 2012 dengan temuan enam jenis obat palsu. Lalu kemudian naik drastis hingga 13 jenis di 2013 dan tahun 2014 BPOM menemukan 14 jenis obat palsu beredar di masyarakat.20

Upaya-upaya penegakan hukum yang terkoordinasi sangat penting dan dengan telah dibentuknya Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak

17

Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia, Makalah, Jakarta, 1990, hlm. 16.

18

Laporan dari Drs. Mohammad Adri, SH, Direktur Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Lihat juga Fathlurachman “Penegakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual.” Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.1., Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Penyidikan, Seminar Nasional Pelindungan dan Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, 5Desember 2011, hlm. 25.

19

Menurut PerMenkes No. 949/MENKES/PER/VI/2000 yang di sebut obat palsu adalah obat yang tidak diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar.

20

(7)

Kekayaan Intelektual (TimNas PPHKI)21 di bawah pimpinan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, diharapkan pelanggaran terhadap HKI semakin berkurang. Adapun latar belakang pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI, yaitu: pembajakan HKI di Indonesia sudah pada tingkat yang membahayakan terhadap perekonomian dan perdagangan nasional maupun internasional, penegakan hukum di bidang HKI membutuhkan koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan strategis. Ketentuan-ketentuan tentang upaya bagaimana mencegah barang-barang tiruan merupakan hal penting sehubungan dengan penegakan hukum di bidang Merek.

Ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 88 UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek menyebutkan berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan Surat Penetapan Sementara tentang pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran merek dan penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek. Ketentuan merek sebagaimana tersebut di atas hanya mensyaratkan permohonan penetapan sementara secara tertulis harus disertai bukti kepemilikan merek, bukti awal adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran merek, keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian. Selain itu, di syaratkan pula adanya kekhawatiran bahwa pihak yang

21

(8)

diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti. Pemohon juga diwajibkan untuk membayar uang jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank. Namun demikian, bagaimana cara mengajukan permohonan Penetapan Sementara tersebut tidak jelas disebutkan.22

Pada tanggal 30 Juli 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) yaitu PERMA Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perintah Penangguhan Sementara dan PERMA Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara. Kedua PERMA ini terbit karena banyaknya pelanggaran terhadap HKI salah satunya hak merek. Sudah seharusnya MA mengeluarkan peraturan terkait dengan hukum acara mengenai penetapan sementara ini, apalagi sebenarnya ketentuan penetapan sementara sudah ada dalam UU merek sejak 2001. Dengan adanya penetapan sementara itu, seharusnya penanganan pelanggaran merek di Tanah Air akan lebih efektif dan efisien, serta lebih diarahkan pada penyelesaian secara perdata.

Terkait dengan PERMA tersebut di atas, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam

22

(9)

Peraturan Perundang-undangan.23 Dari pengertian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi.24

Penelitian ini ingin mencarikan jawaban mengenai penetapan sementara di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 5 Tahun 2012. Sebagaimana diketahui bahwa PERMA diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai suatu badan tertentu. MA menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama.25

Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan apa saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, jenis dan hirarkinya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat:

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang: d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Untuk melihat kedudukan PERMA yang diterbitkan Mahkamah Agung, perlulah dicermati ketentuan Pasal 8 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011 yang menyebutkan; ;

“Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang.

23

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, 24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97. 25

(10)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota. Kepala Desa atau yang setingkat".

Apabila dilihat sekilas bunyi penjelasan tersebut dan dikaitkan dengan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan organ negara lainnya secara hierarkis berada di bawah Peraturan Daerah. Akan tetapi apabila dicermati bunyi ketentuan Pasal 8 ayat (1) akan terlihat bahwa peraturan yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal itu bergantung kepada diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang mana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tersebut, maka PERMA diakui keberadaannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh undang-undang yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Hukum acara yang kodratnya selalu mengabdi kepada hukum materil,

seharusnya mengikuti sifat, perkembangan, keunikan, dan keanekaragaman hukum

materil untuk menjaga keseimbangan keadilan hukum yang dipikul oleh SEMA dan

PERMA. Dalam konteks ini keberadaan kedua lembaga tersebut pada praktik hukum

acara perdata di Indonesia memiliki peran yang urgen bagi hakim di seluruh

Indonesia sebagai pembaruan pedoman untuk menjalankan tugas pokok peradilan.26

26

(11)

Pasal 4 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Lebih tegas lagi diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu berupa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Banyaknya kritik yang muncul terhadap lembaga peradilan bukan merupakan gejala yang tumbuh di Indonesia saja, melainkan terjadi di seluruh dunia. Pada negara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat pencari keadilan, terutama dari kalangan ekonomi jauh lebih gencar. Kalangan ekonomi Amerika menuduh bahwa hancurnya perkenomian nasional diakibatkan oleh mahalnya biaya peradilan.27 Dengan berbagai kelemahan yang melekat pada sistem peradilan formal itu sendiri, telah menyebabkan masyarakat pencari keadilan semakin menghindar dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan (dari litigasi ke non-litigasi), kondisi ini tidak hanya melanda pengadilan di Indonesia saja, tetapi melanda hampir seluruh negara didunia, baik negara-negara Barat maupun Timur.28

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan nasional suatu negara secara umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara bisa terjadi dalam praktek. Penangguhan bisa terjadi karena berbagai sebab. Belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang telah ada yang

27

Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 3.

28

(12)

harus diselesaikan).29 Hal ini berarti tertunda-tundanya putusan30 yang hendak dikeluarkan. Dengan dikeluarkannya putusan pun, bukan berarti putusannya final dan mengikat, karena umumnya sistem hukum nasional umumnya memberi pintu kepada para pihak untuk mengajukan banding. Sifat lama untuk keluarnya putusan tidak kondusif bagi para pengusaha atau pedagang. Di mata mereka, waktu sangatlah penting. Berlambat-lambat dalam usaha berarti kerugian secara finansial, terutama apabila mereka memiliki kewajiban finansial kepada pihak debitor (bank atau lembaga keuangan lainnya).31 Hal tersebut dapat dimaklumi karena masyarakat menginginkan agar lembaga peradilan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat.32

Kondisi Indonesia yang sebagian besar masih memakai hukum kolonial, diperlukan keseriusan di dalam pembentukan hukum.33 Pilihan terhadap kebijakan dan keputusan administrasi tentu dipengaruhi budaya, perilaku, serta nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat suatu negara.34 Para ahli sudah sepakat bahwa elemen-elemen yang membentuk isi hukum nasional adalah hukum

29

R. Soebekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Binacipta, 1981), hlm. 4. 30

Menurut Sudikno Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak (Sudino Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 174). Putusan hakim harus memuat pertimbangan hukum yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar (Firdaus Syafaat, Misbruik Van Omstandigheden Dalam Perjanjian, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm 151.

31

Huala Adolf, Dasar - dasar, Prinsip dan Filosofi Arbitrase (Bandung: Keni Media, 2013), hlm. 32.

32

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 180.

33

Suhaidi, Makalah Kuliah Umum Penegakan Hukum dalam Melindungi Kepentingan Masyarakat dengan Melihat Nilai – nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat (Makalah disampaikan pada kuliah umum di Universitas Islam Tamiang), Kuala Simpang, Aceh, 04 Maret 2013.

34

(13)

adat, hukum Islam, hukum Eropa Continental dan hukum Anglo Saxon.35 Sistem hukum Indonesia dibangun dengan pilihan paradigma yang disebut dengan ”The Personality Law” yaitu membangun sistem hukum berdasarkan kepribadian

Bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma yang berasal dari kultur masyarakat Indonesia dengan tetap menyesuaikan diri dengan dinamika dunia luar.36

Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The Word Trade Organization (WTO Agreement) pada tangal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko

yang selanjutnya disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The Word Trade Organization (WTO Agreement) pada tanggal 2 Nopember 1994, yang memuat Lampiran

Agreement On Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights (perjanjian TRIPS). Tujuan Perjanjian TRIPS adalah untuk memberikan pelindungan HKI. Perjanjian TRIPS mengatur norma-norma standar yang berlaku secara internasional tentang HKI dan obyek HKI secara luas,37 yaitu Hak Cipta dan Hak Terkait (Copyright and Related Rights), Merek (Trademarks), Indikasi Geografi (Geographical Indications), Desain Industri (Industrial Designs), Paten (Patents),

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout-Designs (Topographies) of Integrated

35

Tan Kamelo, Problematika Penegakan Hukum Islam di Aceh Ditinjau dari Hukum Nasional, (makalah disampaikan dalam seminar Internasional di Universitas Islam Tamiang), Kuala Simpang, Aceh, 23 Desember 2012.

36

Tan Kamello, “Memperkenalkan Model Sistem Pembangunan Hukum Di Indonesia”, dalam Pemikiran Guru Besar USU Dalam Pembangunan nasional, Dewan Guru Besar USU, (Medan : USU Press, 2012), hlm. 95-96

37

(14)

Circuits), Rahasia Dagang (Protection of Undisclosed Information) dan Larangan

Praktek Persaingan Curang dan Perjanjian Lisensi (Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licenses). HKI adalah hak eksklusif yang diberikan

sebagai hasil yang diperoleh dari kegiatan intelektual manusia dan sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis, termasuk ke dalam hak berwujud yang memiliki nilai ekonomis.

Dengan menjadi negara pihak dalam WTO Agreement, Indonesia juga sekaligus merupakan negara pihak Perjanjian TRIPS. Dengan menjadi negara pihak Perjanjian TRIPS, Indonesia terikat oleh kaidah-kaidah hukum dalam Perjanjian TRIPS. Sebagai bagian dari usaha untuk mengimplementasikan secara efektif kewajiban-kewajiban internasionalnya yang lahir dari Perjanjian TRIPS, Indonesia telah melakukan langkah-langkah hukum cukup berarti, diantaranya yaitu melakukan perubahan-perubahan terhadap produk-produk aturan hukum yang ada yang mengatur tentang merek. Ini dilakukan dalam rangka harmonisasi supaya aturan hukum nasional Indonesia tentang merek juga selaras dengan asas-asas dan kaidah-kaidah dalam Perjanjian TRIPS. Isu harmonisasi lahir, supaya Indonesia dapat mengimplementasikan secara efektif kewajiban-kewajiban internasionalnya di bidang merek.38

Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPS, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi konvensi atau traktat-traktat internasional di bidang merek, yaitu:

38

(15)

1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization39;

2. The Trademark Law Treaty40

Ratifikasi beberapa konvensi internasional di bidang merek merupakan kesadaran Indonesia untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia. Ratifikasi tersebut diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada umumnya, karena penerapan sistem merek tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata, tetapi juga kepentingan ekonomi nasional.

Dalam rangka upaya harmonisasi tersebut, yang secara khusus mengalami perkembangan cukup signifikan dalam hal legislasi ialah pengaturan tentang merek. Indonesia telah beberapa kali mengubah aturan hukumnya tentang merek. Secara kronologis produk undang-undang tentang merek yang dimiliki Indonesia yaitu: UU No. 21 Tahun 1961, UU No. 19 Tahun 1992, UU No. 14 Tahun 1997; dan terakhir UU No. 15 Tahun 2001. Perubahan yang secara khusus dimaksudkan untuk menjawab isu harmonisasi dalam rangka keikutsertaan dalam Perjanjian TRIPS yaitu UU No. 14 Tahun 1997 dan UU No. 15 Tahun 2001.

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga merupakan hal yang baru dalam sistem hukum merek Indonesia. Berdasarkan Pasal 85 UU Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek,36 yang memuat ketentuan Penetapan Sementara disebutkan

39

Diratifikasi pada tanggal 7 Mei 1997 dengan Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997.

40

Diratifikasi pada tanggal 7 Mei 1997 dengan Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997.

36

(16)

bahwa Penetapan Sementara ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar. Untuk keperluan ini Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar merek.

Mahkamah Agung Rl mengeluarkan PERMA Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara. Latar belakang dikeluarkannya PERMA tersebut karena UU tentang HKI khususnya merek belum mengatur dengan jelas dan rinci tentang syarat-syarat dan proses pengajuan Permohonan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.

(17)

Dalam pengembangan kompetensi Pengadilan Niaga selanjutnya, dibahas pula mengenai kewenangan Pengadilan Niaga. Terkait dengan Pengadilan Niaga sebagai lembaga pemutus perkara yang berhubungan dengan hukum perniagaan, yaitu bahwa Pengadilan Niaga dapat memutus dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu pemeriksaan perkara yang masuk ke dalam perluasan kewenangan Pengadilan Niaga, diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Akibat dari adanya jangka waktu yang ditentukan, maka penanganan perkaranya dituntut harus lebih sistematis. Hukum Acara yang digunakan oleh Pengadilan Niaga selain Hukum Acara Perdata yang biasa digunakan di Pengadilan Negeri, dalam hal-hal tertentu digunakan Hukum Acara Khusus.

Dalam sengketa merek di Pengadilan Niaga digunakan Hukum Acara Khusus, berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001. Penyelesaian sengketa merek berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2001 tenggang waktu pemeriksaan perkara dibatasi mulai dari Pengadilan Niaga sampai dengan Pengadilan Tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

(18)

order prompt and effective provisional measures) yang terdiri dari

tindakan-tindakan berupa pencegahan informasi produk-produk bermuatan kekayaan intelektual ke dalam jalur perdagangan diwilayah negara anggota dan mengamankan bukti-bukti yang berhubungan dengan HKI yang dilanggar.41

Penetapan Sementara adalah istilah provisional measures dari Pasal 50 (1) TRlPS. Penetapan Sementara Pengadilan adalah suatu bentuk upaya hukum yang bersifat sementara yang dapat dimohonkan dalam suatu perselisihan/ permasalahan mengenai HKI (khusus terhadap desain industry, paten, merek dan hak cipta) oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dengan tujuan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar.42

Dalam konteks merek, adanya pelindungan hukum atas merek terdaftar bagi pemilik merek selama 10 tahun yang diatur dalam Pasal 28 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, bahwa merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu pelindungan itu dapat diperpanjang merupakan bentuk insentif yang diberikan oleh pemerintah. Pemilik merek memiliki hak untuk memberikan lisensi atau ijin kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya dengan ketentuan dan syarat-syarat tertentu sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian lisensi, sehingga pemilik merek dapat menikmati manfaat ekonomi berupa royalti. Ketentuan mengenai sanksi pidana yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2001 dirasakan masih belum membuat pelaku pelanggaran jera dalam melakukan

41

Marni Emmy Mustafa, Prinsip – prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO,(Bandung; PT. Alumni, 2007), hlm. 144.

42

(19)

pelanggaran atau pemalsuan merek yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup. Dengan maraknya pelanggaran dan pemalsuan merek yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup, misalnya pelanggaran merek di bidang obat-obatan, oli dan pelumas, suku cadang, kosmetik serta pupuk tanaman yang sangat merugikan, maka ketentuan mengenai sanksi pidana baik hukuman denda maupun hukuman badan yang diberlakukan terhadap pihak pelanggar yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 harus diperbarui lagi.

Penetapan Sementara Pengadilan Niaga merupakan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Suatu Penetapan Sementara Pengadilan Niaga yang telah ditentukan sebagaimana diatur oleh UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan PERMA No. 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara tetapi sampai sekarang kenapa belum tidak dipergunakan dalam sengketa merek terdaftar. sehingga menarik untuk diteliti dan dianalisis yang selanjutnya disusun dalam bentuk disertasi.

B. Identifikasi Masalah

Dalam mengindentifikasi43 permasalahan hukum dalam penelitian ini sesuai dengan latar belakang masalah, perlu dipertanyakan hal apa yang akan menjadi pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut sehingga ditemukan suatu pemecahan terhadap beberapa masalah yang telah diidentifikasikan tersebut.

43

(20)

Melakukan identifikasi masalah yang dikemukakan itu harus diselaraskan dengan karakter atau model penelitian, atau dengan hakikat dari persoalan yang dikaji.44

Pokok permasalahan yang akan diteliti terkait adalah sebagai berikut: 1. Faktor – faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa merek

dagang terdaftar di Indonesia?

2. Bagaimana penerbitan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga pasca keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan penerbitan Penetapan

Sementara dalam sengketa merek dagang terdaftar di Pengadilan Niaga?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa merek dagang terdaftar di Indonesia.

2. Menganalisis penerbitan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga pasca keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penerbitan

Penetapan Sementara dalam sengketa merek dagang terdaftar di Pengadilan Niaga.

44

(21)

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan adanya dua macam manfaat yaitu : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum dengan memakai hasil penelitian ini sebagai kerangka dasar penelitian lebih lanjut terutama untuk menentukan arah pembentukan undang – undang merek dan hukum acara di Pengadilan Niaga. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan yang dirasakan masih minim di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara secara khusus serta dapat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian dalam bidang hukum merek dan hukum acara untuk selanjutnya.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi praktisi HKI khususnya bidang hukum merek sehingga dapat memperbaiki sistem hukum yang telah ada guna lebih memberikan pelindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar. Bagi hakim penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai paradigma berfikir guna mengambil langkah praktis dalam rangka penerapan hukum.

E. Keaslian Penelitian

(22)

1. Disertasi Hatta Ali (2011), dengan judul “Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dihubungkan dengan Keadilan Restoratif dalam

Lingkup Peradilan Umum di Indonesia”, Universitas Padjadjaran

(UNPAD)- Bandung;

2. Disertasi Djamal (2008), dengan judul “Penetapan Sementara Pengadilan (pada Hak Kekayaan Intelektual) dan asas mendengar kedua belah pihak

(Audi Et Alteram Partem) dalam kerangka Sistem Peradilan Umum di

Indonesia”, Universitas Katholik Parahyangan (UNPAR)- Bandung;

3. Disertasi HJ. Marni Emmy Mustafa (2006), dengan judul “Prinsip – prinsip beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikatkan

dengan TRIPS-WTO”, Universitas Padjadjaran (UNPAD)- Bandung;

4. Disertasi Mohammad Saleh (2006), dengan judul “Kajian Atas Eksekusi Putusan Perkara Perdata Dihubungkan Dengan Asas Peradilan

Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan Sebagai Upaya Pembangunan

Negara Hukum”, Universitas Padjadjaran (UNPAD)- Bandung;

5. Disertasi Effendi Hasibuan (2003), dengan judul “Pelindungan Merek dagang (trademark) terhadap persaingan curang; studi perbandingan

putusan pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat”, Universitas

Indonesia (UI)- Jakarta;

(23)

keaslian penelitian disertasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi secara konstruktif.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori45 merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu sengketa atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis.46 Kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dengan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.47

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.48 Teori merupakan suatu generalisasi yang dicapai, setelah mengadakan pengujian, dan hasilnya menyangkut ruang lingkup

45

Fungsi kerangka teori. Pertama, kerangka teori menguraikan variabel-variabel yang diperhitungkan atau yang dijadikan sebagai objek yang diusulkan dalam suatu penelitian dan darinya memberi hasil bagi pemecahan masalah. Kedua, memberikan batasan-batasan kepada penyelidikan yang diajukan dengan menyarankan variabel-variabel mana yang harus dipandang sebagai tidak relevan dan karena itu harus diabaikan. Ketiga, kerangka teori merupakan struktur yang memberikan arti kepada hasil-hasil penelitian. Bagaimanapun juga arti hasil-hasil penelitian yang diperoleh melalui analisis data adalah dengan mengacu kepada kerangka teori. Keempat, kerangka teori memberikan premis-premis dari mana peneliti dapat mendeduksikan obyektif-objektif penelitian. Lihat dalam Uber Silalahi, Metode dan Metodologi Penelitian (Bandung : Bina Budaya, 1999), hlm. 69.

46

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

47

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19. 48

(24)

fakta yang sangat luas. Kadang orang mengatakan teori merupakan "an elaborate hypotesis", suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan telah

diterima dalam kalangan ilmuwan, sebagai suatu yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu.49 Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.50 Teori akan memberikan sebuah sarana penjelasan yang bermanfaat dan akan membantu untuk memperbandingkan teori-teori itu dan menilai manfaat teori-teori tersebut.51

Untuk mendukung penelitian ini, penulis akan mencoba untuk menggunakan teori sebagai pisau analisa, dimana teori tersebut ditujukan untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya yang akan dikaitkan dengan permasalah yang diangkat.52

Ada beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

F.1.1. Grand Theory

Teori filsafat sebagai fundamental teori hukum dari disertasi ini adalah “Azas Keadilan dan Kepastian Hukum” yang mendasari dalam suatu penyelesaian hukum terhadap sengketa merek termasuk dengan penerbitan Penetapan Sementara Pengadilan Niaga. Kepastian hukum maksudnya adalah hukum

49

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm. 126. 50

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder) (Semarang : Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 15 Desember 2000), hlm. 8.

51

Tom Campbell, Seven Theories of Human Society, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 29.

(25)

dijalankan sesuai das sollen atau keinginan dan tujuan bersama. Radbruch menyatakan tentang kepastian hukum guna mewujudkan legal order sebagai: “The existence of a legal orders is more important than it’s justice and expediency, which constitute the second great task of the law, while the first, equally approved by all, is legal certaintly, that is order or peace”. (Eksistensi suatu legal order adalah lebih penting daripada keadilan dan kelayakan itu sendiri, yang menetapkan tugas besar kedua dari hukum, sementara yang pertama sama-sama diakui oleh seluruhnya adalah kepastian hukum, yakni ketertiban atau ketentraman).53

Selanjutnya Radbruch menyatakan bahwa:

“Legal certaintly not only requires the validity of legal rules laid down by power, it also makes demands on their contents, it demands that the law be capable of being administered with certaintly, that it be practicable.” (Kepastian hukum tidak hanya mensyaratkan keabsahan peraturan hukum yang dibuat melalui kekuasaan, melainkan juga menuntut pada seluruh isinya, dapat di administrasikan dengan pasti sehingga dapat dilaksanakan).54

Kepastian hukum memerlukan hukum positif yang ditetapkan melalui kekuasaan Pemerintah dan aparatnya, untuk selanjutnya dilaksanakan sesuai isinya. Keadilan dan kepastian hukum menjadi dasar dan tujuan akhir bagi Pengadilan dalam memutus suatu perkara Merek. Pengadilan merupakan instansi terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk memecahkan masalah hukum yang mereka hadapi, kecuali bagi para pihak yang menyerahkan sengketa/konflik mereka kepada badan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ataupun melalui Lembaga Arbitrase.

Keadilan dan kepastian hukum menjadi recht idee dalam penyelesaian hukum terhadap sengketa merek. Keseimbangan kepentingan antara para pihak

53

Lihat Radbruch, “Legal Philosophy” dalam Wilk, Kurt, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, Harvard University Press, USA, 1950-dikutip dalam Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights Kajian Hukum Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 206.

(26)

dapat dicapai melalui penentuan scope of claims (ruang lingkup pengadilan) secara seimbang pula, yang dilalukan oleh Hakim dalam Pengadilan. Radbruch menilai sebagai:

“By justice we would test whether a precept is cast in the form of law at all, whether it may at all be brought within the concept of law; by expediency we would determine whether it’s contents are rights; and by legal certainty it affords we would judge whether to ascribe to it validity.” (Dengan keadilan kita bisa menguji apakah suatu ajaran ataupun aturan adalah masuk kedalam bentuk hukum seluruhnya, apakah mungkin keseluruhannya tercakup dalam concept of laws; dengan kelayakan kita dapat menentukan apakah keseluruhan isinya adalah benar dan dengan kepastian hukum membuka kita untuk menilai dan menganggap ke absahannya).55

Dengan kata lain berdasarkan keputusan pengadilan serta pendapat ataupun ajaran hukum, maka azas keadilan dan kepastian hukum harus mendasari setiap penyelesaian hukum sengketa merek termasuk penerbitan Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.

F.1.2. Middle range Theory

Pada tataran Middle range Theory digunakan teori “sistem hukum” yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang menyatakan hukum mencakup komponen yang terdiri dari:

1. Struktur Hukum (Legal Structure) yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan Undang-undang. Struktur hukum adalah bagian-bagian yang bergerak di

55Ibid

(27)

dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya lembaga-lembaga dan institusi ekonomi, pemerintahan, pengadilan, kejaksaan dan lain-lain.

2. Substansi Hukum (Legal substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum. Substansi hukum sebagai suatu aspek dari sistem hukum, merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu konsep legal substance juga meliputi apa yang

dihasilkan masyarakat.

(28)

Menurut Award, sistem56 diartikan sebagai hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur (system is an organized,

functioning relationship among units or components).57 Selanjutnya Mariam

Darus menegaskan bahwa suatu sistem adalah kumpulan azas-azas yang terpadu, yang merupakan landasan diatas mana dibangun tertib hukum.58Keberadaan merek sebagai bagian dari HKI merupakan salah satu bagian dari suatu sistem hukum dalam kerangka hukum Indonesia.

F.1.3. Supporting Theory atau Applied Theory

Pada tataran Supporting Theory atau Applied Theory teori yang digunakan adalah teori Pembangunan untuk mengkaji peranan hukum, arah dan bentuk pembaharuan yang diperlukan agar dapat meningkatkan pelayanan guna mewujudkan kepentingan masyarakat pencari keadilan. Pembangunan di Indonesia harus dilaksanakan secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan bangsa dengan saling menunjang antara pembangunan disektor yang satu dengan pembangunan sektor yang lainnya. Semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur, karena tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban yang merupakan syarat pokok bagi adanya

56

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian “Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts), lihat William A. Shrode and Dan Voich, Organization and Management; Basic System Concepts, Irwin Book Co.,Malaysia, 1974, hlm. 115, dikutip dalam Otje Salman S., Anthon F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 87.

57

Award, Elis M, dikutip dalam OK. Saidin, Op.Cit., hlm.19. 58

(29)

suatu masyarakat yang teratur. Selain itu bertujuan untuk tercapai keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.59 Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang amat membutuhkan hukum yang harus dapat membantu proses perubahan yang terjadi di masyarakat.60 Mochtar Kusumaatmadja menyatakan:

“hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena disini pun ada hasil – hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan”.61

Salah satu tujuan pokok pembinaan peradilan ialah terselenggaranya proses peradilan yang cepat, dengan biaya ringan, dan memenuhi rasa keadilan bagi semua warga masyarakat, sehingga hakim memiliki kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat, dengan demikian maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi

59

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung; Binacipta, 1986) hlm. 3.

60

Ranti Fauza Mayana, Pelindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas,(Jakarta; Grasindo, 2004) hlm. 27.

61

(30)

sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.62

Hak atas Kekayaan Intelektual atau yang sebelumnya dikenal dengan Hak Milik Intelektual63 merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra. Pemilikan terhadap hak milik yang dimaksud bukan terletak pada barang, melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia, yaitu diantaranya berupa ide.

Dalam masyarakat beradab, suatu hak milik yang timbul dari karya, karsa cipta manusia atau dapat pula disebut sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena atau lahir dari kemampuan intelektualitas manusia, diakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya termasuk juga milik yang tak berwujud.64

Oleh karena hukum merek merupakan bagian dari hukum harta benda, maka pada prinsipnya pemilik merek adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan

62

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia

(Bandung; Binacipta, 1976) hlm. 319. 63

lstilah Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan langsung dari intellectual property. Selain istilah intellectual property, juga dikenal dengan istilah

“intangible property”, “creative property” dan “incorporeal property”. Di Perancis orang menyatakannya sebagai “propriete intelectulle” dan “propriete industrielle”. Di Belanda biasa disebut sebagai hak milik intelektuil dan milik perindustrian. World Intellectual Property Organization (WIPO) menggunakan istilah intellectual propety yang mempunyai pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusastraan, artistik maupun ilmu pengetahuan, pertunjukan oleh para artis, kaset dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial

(commercial names and designation), dan pelindungan terhadap persaingan curang. Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 159-160.

64

(31)

hukumnya. Salah satu sifat yang dimiliki oleh hak merek adalah eksklusif dan mutlak. Artinya bahwa pemilik merek dapat mempertahankan hak yang dimilikinya tersebut terhadap siapa pun. Pemilik merek dapat menuntut terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun. Pemilik atau pemegang hak merek mempunyai suatu hak monopoli atas karya intelektual yang dimaksud. Dengan hak monopoli itu pemilik dapat melarang siapa pun yang tanpa persetujuannya membuat ciptaan/ penemuan ataupun menggunakannya.65

Pada tingkatan yang paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh, dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pelindungan hukum adalah untuk kepentingan si pemilik, baik pribadi maupun kelompok yang merupakan subjek hukum. Guna membatasi penonjolan kepentingan dan perorangan maka hukum pula memberikan jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem HKI antara lain,66 pertama prinsip keadilan (the principle of natural justice). Setiap orang yang menciptakan sebuah karya sebagai hasil dari kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun non-materi seperti rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan pelindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya. Inilah yang disebut hak.

65

Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 23.

66Ibid.

(32)

Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Dalam hak milik intelektual, peristiwa yang menjadi alasan melekatnya adalah penciptaan yang didasarkan atas kemampuan intelektualnya. Pelindungan terhadap pencipta ini tidak hanya terbatas dalam negeri di pencipta, akan tetapi dapat juga meliputi pelindungan di luar batas negaranya. Hak ini disebabkan karena hak yang ada pada pencipta tersebut mewajibkan pihak lain untuk melakukan perbuatan (comission) atau tidak melakukan (omission) suatu perbuatan. Kedua Prinsip

Ekonomi (the economic argument), hak merek ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia. Dengan kata lain bahwa kepemilikan itu adalah wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal tersebut menjadi suatu keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat. Karena itu merek merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dan kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty.

Doktrin awal tentang merek yaitu tentang persamaan secara menyeluruh atau entire similiarity theory. Doktrin ini menganggap suatu merek sama dengan merek orang lain jika suatu merek meniru atau mengkopi dan adanya persamaan jenis barang dan adanya persamaan jalur pemasaran.67 Makna persamaan yang menyeluruh menurut entire similiarity theory ini harus meliputi semua faktor yang

67

(33)

relevan. Patokan untuk menentukan kualifikasi adanya persamaan secara menyeluruh berdasarkan asas perbandingan secara menyeluruh (compared in their entities).

Confusion theory menganalisa pelanggaran merek dengan bertitik tolak

dari akibat yang ditimbulkan, yaitu dengan adanya pelanggaran ataupun pemalsuan merek dapat menimbulkan kebingungan konsumen atau tidak, termasuk didalamnya identical with/ nearly resembles theory.68

Oleh karena itu suatu merek dianggap sama dengan merek orang lain jika:69

1. Suatu merek merupakan peniruan dari merek lain dengan cara mengcopy atau mereproduksi dari aslinya yang disebut “in imitation of genuine one” 2. Persamaan jenis barang

3. Persamaan jalur pemasaran yaitu meliputi wilayah pasar yang sama dan konsumen yang sama

Selanjutnya dalam perkara-perkara merek, dilution theory perlu dikaji untuk memberikan pelindungan terhadap merek-merek terkenal yang digunakan bukan oleh pemiliknya untuk memasarkan barang-barang dan jasa yang tidak sejenis, yang tidak berkompetisi secara langsung dengan produk dan jasa dari pemilik merek sesungguhnya. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan:

“Dilution Doctrine. A trademark doctrine protecting strong marks agains use by other parties even where there is no competition or likehood of

68

Teori nearly resambles/identical with, yaitu teori yang digunakan untuk menentukan apabila ada dua merek yang dimiliki oleh orang yang berbeda terdapat unsur identik atau sangat mirip. Hal ini tentu saja membingungkan konsuman. Jika terjadi hal demikian, maka kedua merek tersebut dianggap mengandung persaman.

69

(34)

confusion. Concept is most applicable where subsequent user used trademark of prior user for a product so dissimilar from the product of the prior user and there is no likehood of confusion of the products or sources, but where the use of the trademark by subsequent user will lessen uniqueness of the prior user’s mark with the possible future result thet a

strong mark may become a weak mark70

Dilution doctrine secara tegas melindungi merek dari penggunaan pihak

lain yang tidak berhak meskipun hal tersebut tidak membingungan konsumen.71 Inti dari dillution theory yang pertama kali dikemukakan oleh Frank I. Schechter adalah kekuatan menjual barang.72 Barang yang berbeda kelas dan tidak berkompetisi namun menggunakan merek yang sama, terutama merek terkenal dapat dikaji dengan dillution theory.73

Goodfaith theory atau adanya itikad baik merupakan faktor yang sangat

penting dan paling menentukan dalam merek terkenal. Dalam lingkup merek, juga dikenal teori itikad baik. Dalam bahasa Belanda itikad baik disebut goeder trow dan dalam bahasa Inggris disebut goodfaith. Sebagai istilah, itikad baik memiliki arti konotatif dan denotatif (lugas). Arti denotatif itikad baik adalah niat, maksud atau motivasi yang baik. Secara konotatif, arti itikad baik dapat berarti kejujuran, ketidaktahuan, kekhilafan, sikap tulus, sikap patut, sikap hati-hati dan dapat memiliki arti lain yang disesuaikan dengan konteks kalimat. Secara sederhana, itikad baik berarti moral objektif yang kriterianya berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi objektif yang berkaitan dengan perkara-perkara yang

70

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary 6th edition (St. Paul: West Publishing, ), hlm. 214.

71

Ibid., hlm. 314. Lihat juga Ginsburg, Litman, Goldberg dan Greenbauin, Trade Mark and Unfair Competition Law Cases and Materials, 2nd edition (Virginia: Michle Law Publishers, 1996), hlm. 57.

72

Jane C. Ginsburg et.al., Trade Mark and Unfair Competition Law, Cases and Material,

second edition (Virginia: Michie Law Publishers, 1991), hlm. 736. 73

(35)

bersangkutan, berdasarkan nilai-nilai tata susila masyarakat, kelaziman dan kebiasaan setempat.74 Mengenai itikad tidak baik ini dalam Paris Convention pasal 6 bis (3) disebutkan bahwa permohonan pembatalan atas suatu merek karena adanya itikad tidak baik boleh diajukan kapan saja.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran seperti diuraikan di atas secara teoritik dapatlah disusun 3 (tiga) jenis teori yang dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang akan dilakukan. Teori-teori dimaksud terdiri dari teori “Azas Keadilan dan Kepastian Hukum” sebagai grand theory. Kemudian middle range theory, yang dipakai sebagai landasan adalah teori “sistem hukum” yang

dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman. Teori terakhir yang dipakai sebagai penelitian adalah Applied Theory yaitu Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja yang didukung teori-teori tentang HKI dan teori asas-asas hukum perdata.

74

(36)

Teori yang dipergunakan dalam bentuk skema sebagai berikut:

Grand Theory

Teori Keadilan dan Kepastian Hukum

Middle Range Theory

Teori Sistem Hukum (L

Applied Theory

teori Hukum Pembangunan

Applied Theory

- Teori asas hukum Perdata - Teori Hak

(37)

2. Kerangka Konsep

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.75 Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan realitas.76

Kerangka konsep pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.77 Pentingnya definisi operasional ini bertujuan untuk menghindarkan perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.78

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian disertasi ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variable dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut.

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf – huruf, angka – angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur – unsur tersebut yang

75

Sumadi Suryabarata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 28.

76

Masri Singarimbun, Op. Cit., hlm. 34. 77

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 133. 78

(38)

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.79

Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.80

Penetapan Sementara adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan berupa perintah yang harus ditaati semua pihak terkait berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon terhadap pelanggaran hak atas Desain Industri, Paten, Merek dan Hak Cipta, untuk: a. Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Hak atas Kekayaan intelektual dalam jalur perdagangan, b. Mengamankan dan mencegah penghilangan barang bukti oleh Pelanggar, c. Menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang Iebih besar. 81

Pemohon Penetapan Sementara adalah pemilik atau pemegang hak atas Desain Industri, Paten, Merek dan Hak Cipta yang memiliki bukti yang cukup terkait dengan dugaan terjadinya pelanggaran haknya.82

Termohon Penetapan Sementara adalah orang yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga melanggar hak atau yang menguasai barang bukti yang berkaitan dengan Desain Industri, Paten, Merek dan Hak Cipta.83

79

Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2001. 80

Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2001. 81

Pasal 1 angka 1 PERMA No. 5 Tahun 2012. 82

Pasal 1 angka 3 PERMA No. 5 Tahun 2012. 83

(39)

G. Metode Penelitian

Menurut Van Peursen84 menjelaskan bahwa metode mengandung pengertian bahwa suatu penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu.

Penelitian hukum menurut Morris L. Cohen adalah85 :

Legal research, in a nutshells the process of finding the law that governs activities in human society. It involves locating both the rules are enforced by the state and commentaries which explain or analyse these rules.(Penelitian hukum, sebagai proses penemuan hukum singkat yang mengatur kegiatan dalam sosial masyarakat. Hal ini meliputi aturan yang diterapkan oleh negara dan komentar yang menjelaskan atau menganalisis undang-undang)

Cohen hanya melihat penelitian hukum sebagai proses penemuan hukum dalam arti undang-undang yang diterapkan oleh negara.86

Menurut Soetandyo Wigyosubroto, penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) menganalisis norma-norma hukum yang bersumber pada hukum

sebagaimana yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan atau dalam konvensi-konvensi internasional (law as it is written in the books) maupun hukum sebagaimana yang diputuskan oleh hukum melalui proses peradilan (law as it is decided by the judge through judicial process).87

1. Spesifikasi Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, penelitian mana dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder

84

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hlm. 4.

85

Morris L. Cohen & Kent C.Olson, Legal Research, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1992), hlm. 1.

86

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 29. 87

(40)

yang mencakup asas-asas hukum sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.88 Penelitian hukum normatif menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif kualitatif.89

b. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, eksplanatif, dan preskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengungkapkan dan melukiskan tentang hal tertentu, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori hukum yang menjadi obyek penelitian.90 Penelitian ekplanatif merupakan suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesis terhadap hasil-hasil penelitian yang ada.91 Penelitian bersifat preskriptif menawarkan konsep untuk pemecahan sesuatu masalah (problem solving) dan tidak sekedar deskriptif (just to describe something as it is).92

c. Metode Pendekatan

Penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam metode pendekatan yuridis normatif yang dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach), pendekatan analistis (analytical approach),

88

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo persada, 1995), hlm.15.

89

Ronny Hanityo Sukamto, Methodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 35

90

H. Salim HS & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 9

91Ibid. 92

(41)

pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan

pendekatan sengketa (case approach).93 Pendekatan yuridis normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasinya dalam hukum perjanjian dan peraturan perundang-undangan terkait.94

2. Sumber Data

Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian hukum dikenal data primer dan data sekunder.95 Sumber data dalam penelitian yuridis normatif ini adalah berasal dari data sekunder yang terdiri dari:96

a. Bahan hukum Primer terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan Peraturan Organ Lainnya seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

b. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dengan cara mendapatkan data melalui buku, literatur, hasil penelitian, dan makalah yang terkait dengan masalah hukum perdata khususnya tentang merek dan Penetapan Sementara.

93

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Huku m Normatif, (Malang :Bayumedia, 2011), hlm. 300.

94

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 140.

95

Diparafrasekan dari Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 51.

96

(42)

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain - lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka (library research) terhadap bahan-bahan hukum97 dan studi lapangan (field research) untuk memperoleh informasi dari informan yaitu pelaku usaha, hakim dan pengacara terkait dalam penelitian ini untuk membantu memberi petunjuk dalam rangka pemecahan permasalahan penelitian.

4. Analisis data

Analisis data merupakan hal yang penting dalam penelitian guna memberi jawaban terhadap masalah yang diteliti. Pada penelitian ini dilakukan secara yuridis kualitatif yaitu suatu analisis dengan cara menganalisis bahan – bahan hukum secara runut hingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis sesuai dengan pemikiran normatif,98 sehingga dapat menyimpulkan pemecahan permasalahan yang diperoleh tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku baik secara deduktif, induktif maupun komparatif. Analisis bahan hukum dilakukan dengan memberikan kritik,

97

Bahan hukum yang diperoleh dari studi pustaka, peraturan perundang - undangan, catatan hukum dan putusan hakim, dikumpulkan dan diklasifikasikan guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah. (Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 125).

98

(43)

dukungan, penolakan ataupun komentar dan selanjutnya membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian99.

Pengolahan data dan bahan hukum dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui pelaksanaan Penetapan Sementara di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 5 Tahun 2012. Sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam penyusunan pengaturan Penetapan Sementara di pengadilan niaga secara tepat.

H. Asumsi

Dalam penelitian kualitatif, jarang sekali digunakan hipotesis tetapi sebagai penggantinya dipakai istilah asumsi atau postulat yang dirumuskan secara deskriptif, tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa asumsi sebenarnya hipotesis yang dibuatkan berdasarkan asumsi-asumsi.100

Secara umum. asumsi (anggapan dasar/postulat) didefinisikan sebagai hasil abstraksi pemikiran yang oleh peneliti dianggap benar dan dijadikannya sebagai pijakan untuk mengkaji satu atau beberapa gejala.101 Asumsi menunjuk pada kebenaran asumtif berkenan dengan satu atau beberapa variabel, melalui asumsi itu menjadi tidak perlu diteliti lagi bagaimana sesungguhnya

99

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, (Yogakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 183.

100

Taliziduhu Ndraha, Research: Teori Metodologi Administrasi, (Jakarta : Bina Aksara 1985), hlm. 52.

101

(44)

variabel dimaksud, serta segenap kemungkinan pengaruhnya terhadap variabel tergantung.102

Untuk memberikan arahan dalam penelitian ini maka berdasarkan permasalahan yang diajukan yang sesuai dengan kerangka teori dan konsepsi, mencakup beberapa hal, maka perlu diketengahkan asumsi sebagai berikut:

1. Faktor – faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa merek terdaftar dikarenakan adanya suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu telah dilanggar dengan suatu itikad yang tidak baik dengan bentuk peniruan atau penjiplakan, adanya suatu merek yang tidak terdaftar di Kantor Merek Ditjen HKI di Indonesia sehingga berpeluang didaftarkan oleh orang/pihak lain atau badan hukum lain yang didasarkan atas itikad yang tidak baik dan ketidak telitian dari badan pemeriksa merek.

2. Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga pasca keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara dalam sengketa merek terdaftar dapat terlaksana karena ketentuan yang mengatur tentang Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga terdapat dalam UU Merek dan PERMA tentang Penetapan Sementara

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Penetapan Sementara dalam sengketa merek di Pengadilan Niaga bisa dilihat dari faktor struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.

102

(45)

I. Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini direncanakan terdiri dari lima bab. Untuk mempermudah dalam penulisan dan pembahasannya, maka disertasi ini akan disusun dengan mengupayakan terjalinnya hubungan satu sama lain untuk setiap bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka konsep, metode penelitian asumsi, sistematika penulisan.

Bab II membahas faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa merek dagang terdaftar termasuk beberapa masalah yang berhubungan dengan merek dagang terdaftar diantaranya merek yang belum terdaftar masih banyak, hukum merek masih kurang memasyarakat, logo perusahaan sekaligus sebagai merek, proses pendaftaran tergolong relatif lama, biaya pendaftaran cukup mahal, tempat pendaftaran tergolong relatif jauh, penggantian undang-undang merek tidak banyak mempengaruhi pelanggaran merek. Dibahas juga pelindungan merek dagang terdaftar berdasarkan ketentuan undang-undang di Indonesia dalam bentuk pelindungan hukum preventif, pelindungan hukum represif, kewenangan instansi bea cukai, penetapan sementara pengadilan niaga dan berdasarkan konvensi-konvensi internasional.

(46)

penetapan sementara, dasar hukum penetapan sementara di Indonesia, deskripsi perkara merek yang didahului dengan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.

Bab IV menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penetapan sementara dalam sengketa merek terdaftar, termasuk uraian tentang Penetapan Sementara dalam sudut pandang perdata permohonan

(Voluntair) dan perdata gugatan (Contentious), perbandingan Penetapan

Sementara dengan Putusan Provisi, upaya hukum dalam Penetapan Sementara, pihak-pihak yang terlibat dalam Penetapan Sementara. Faktor struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang mempengaruhi pelaksanaan Penetapan Sementara dalam sengketa merek terdaftar di Pengadilan Niaga.

Referensi

Dokumen terkait

Menyebutkan semua unsur dalam tindak pidana kekerasan pada anak, eksploitasi anak, penelantaran anak dan perlakuan salah pada anak; (3) Mempertimbangkan untuk dimasukkannya

Hasil ini diperoleh dengan memisahkan beberapa komponen yang ada, sehingga hasil persentase benih murni dan kemurnian benihnya dapat dihitung, hal ini sesuai

Perbedaan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dengan NHT pada Siswa Kelas VII MTsN Tulungagung Tulungagung: Skripsi

Putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan..

perencanaan yang memiliki usaha yang baik dan sesuai dengan sasaran. Sedangkan peran upaya guru dalam proses pembelajaran Al-Qur an. sangat diperlukan, hal ini

Dari pekerja yang didiagnosis akne, diklasifikasikan menurut tingkat keparahan akne dan diperoleh bahwa 31% didiagnosis dengan akne berat, 31%lainnya didiagnosis

Sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor 28 Tahun 2014, tentang organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maka

pada permukaan tubuh benih ikan gurami disebabkan karena lendir merupakan bagian yang paling luas dibandingkan organ tubuh lainnya dan memiliki kemungkinan terinfeksi