PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit di Indonesia pertama kali diusahakan sebagai tanaman
perkebunan komersial pada tahun 1911 yang didirikan di Sumatera, oleh Adrien
Hallet yang berkebangsaan Belgia (Murdoch, 2009). Di wilayah kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, pembukaan perkebunan kelapa sawit diawali dengan
pembukaan kebun Pulo Raja pada tahun 1911 (PASPI, 2016), disusul dengan
perkebunan lainnya seperti perusahaan Socfin SA yang membuka Perkebunan
Padang Pulo di tahun 1923 dan Perkebunan Aek Loba tahun 1924 (Socfin Medan
SA, 1948). Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90 ribu hektar
perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah perkebunan cukup pesat, dari hanya
10 perkebunan pada tahun 1925 menjadi 64 perkebunan pada tahun 1940 (Pahan,
2006). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan
sudah mencapai 11.444.808 Ha (BPS, 2014).
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia yang meningkat pesat
dari tahun 1990 hingga 2010 (dari 1.126.677 Ha menjadi 8.548.828 Ha) atau
meningkat hampir 7 kali lipat, sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan
atau alih fungsi hutan. Gunarso et al (2013) yang telah meneliti perubahan status
lahan perkebunan kelapa sawit dari tahun 1990 hingga tahun 2010, melaporkan
bahwa perkebunan kelapa sawit mayoritas berasal dari: ex. ladang (kebun
rumput, semak dan lahan marginal = 32,3% , sekitar 27,4% berasal dari hutan
sekunder dan sisanya sekitar 6,2% berasal dari ex. hutan primer. Tutupan lahan
dianalisa dengan cara remote sensing menggunakan citra satelit landsat 7 ETM
dan Landsat 5 TM multi year pada periode 1990 - 2000, 2000 - 2005 dan 2005 -
2010.
Perkebunan Aek Loba yang sebagian besar merupakan eks ladang rakyat
dan eks hutan sekunder. Luas Kebun Aek Loba tahun 2016 = 8.611,35 Ha yang
sudah mengalami beberapa kali peremajaan tanaman (replanting) dengan luas
areal Generasi tanam pertama (G1) = 52,43 Ha (0,6%); Generasi Tanam II (G2) =
4.540,48 Ha (52,7%); Generasi Tanam III (G3) = 2.581,30 Ha dan Generasi
Tanam IV (G4) = 1.437,04 (Socfindo, 2016).
Menurut Oldeman (1994) ada lima faktor penyebab degradasi lahan akibat
campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing (padang
penggembalaan), aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri
/ bio industri. Selanjutnya, Lal (1986) juga mengemukakan hal yang sama di mana
faktor penyebab degradasi tanah dan rendahnya produktivitas lahan, antara lain:
deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia
pertanian dan penanaman secara monokultur.
Utami dkk (2013) mengungkapkan bahwa alih fungsi hutan menjadi
tanaman karet dan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya degradasi sifat fisik dan
kimia tanah. Bobot isi tanah pada lahan karet dan kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan hutan, terutama pada lapisan atas. Hal ini karena
sawit. Kadar air volumetrik hutan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
kebun karet, dan kelapa sawit. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pergerakan
air di lahan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lain baik
karena diserap akar, evapotranspirasi, maupun perkolasi. Hutan mempunyai pori
makro yang paling tinggi namun ketersediaan air paling rendah dibandingkan
dengan 3 penggunaan lahan yang lain. Pada lahan sawit dan karet memiliki pH
tanah yang lebih masam dibandingkan dengan hutan.
Menurut Kallarackal et al. (2004) perkebunan kelapa sawit sangat
mengganggu persediaan air tanah untuk tanaman lain di luar kebun kelapa sawit.
Pengurasan air tanah per batang pohon kelapa sawit dilaporkan memerlukan 20
sampai 40 liter air dalam sehari dan dapat menyerap air sampai kedalaman 5,2
meter.
Perkebunan Aek Loba yang 47% arealnya sudah mengalami lebih dari 2
kali peremajaan (3 - 4 generasi tanam), diduga telah menyebabkan perubahan
karakteristik tanah yang berdampak pada degradasi tanah atau penurunan kualitas
tanah. Menurunnya kualitas tanah akan berpengaruh pada kesuburan tanah dan
pada efektifitas pemupukan sehingga berdampak pada penurunan produktivitas
tanaman jika tidak ada upaya-upaya lain yang dilakukan.
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit PT Socfindo di kebun Aek Loba
yang sudah ditanam kelapa sawit lebih dari 92 tahun (hingga saat ini sudah 4
generasi tanam), tetap menghasilkan produktivitas yang tinggi pada setiap
Perumusan Masalah
Semenjak Indonesia menjadi produsen utama kelapa sawit (CPO) dunia di
tahun 2006 yang lalu, permintaan produk olahan kelapa sawit Indonesia terus
meningkat. Menanggapi permintaan pasar CPO yang sangat besar memunculkan
kampanye negatif yang menuduh bahwa kelapa sawit adalah biang keladi
terjadinya perubahan iklim, menurunkan kualitas tanah, merusak lingkungan,
menyerap banyak air, merusak hutan, penyebab pemanasan global dan juga
merusak lahan gambut serta minyaknya yang tinggi mengandung lemak jenuh.
Perubahan kualitas tanah ini seharusnya dilihat secara cermat dan bijak.
Produksi perkebunan Aek Loba, PT Socfindo di Kabupaten Asahan Sumatera
Utara, pada 4 generasi tanam yang berbeda ternyata menunjukkan tingkat
produktivitas tinggi dan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang perubahan karakteristik tanah pada lahan yang telah
dibudidayakan kelapa sawit selama 4 generasi tanam secara terus menerus.
Penelitian ini dilakukan pada tanaman Generasi I (G1), Generasi II (G2),
Generasi III (G3), dan Generasi IV (G4) yang dibandingkan dengan areal tanah
yang sama sekali tidak ditanam kelapa sawit di desa Aek Korsik (G0). Adapun
rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah telah terjadi perubahan karakteristik tanah yaitu perubahan sifat
fisika, kimia tanah dan biologi tanah yang signifikan setelah dilakukan
2. Apakah sistem manajemen perkebunan yang saat ini diterapkan oleh PT
Socfindo di Perkebunan Aek Loba terbukti mampu mempertahankan
kualitas tanah di lahan tersebut?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi pengaruh beberapa generasi
tanam Kelapa Sawit (Generasi 1 s.d 4) terhadap perubahan karakteristik tanah
pada jenis tanah Typic hapludults di Perkebunan Aek Loba, Kabupaten Asahan.
Hipotesa Penelitian
Budidaya kelapa sawit pada beberapa generasi tanam di Perkebunan Aek
Loba, PT.Socfindo pada jenis tanah Typic hapludults secara terus menerus
menyebabkan perubahan karakteristik tanah secara tidak signifikan.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh bukti bahwa
budidaya kelapa sawit yang dilakukan secara berkelanjutan mampu
mempertahankan karakteristik tanah Typic hapludults, dan tetap dapat
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Tanaman Kelapa Sawit
Divisi : Tracheophyita
Sub Divisi : Pteropsida
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Cocoideae
Famili : Palmae
Sub Famili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Sumber : Lubis (2008)
Kata Elaeis berasal dari kata Elaion (Yunani) yang berarti ‘minyak’. Kata
guineensis berasal dari kata Guinea (Pantai Barat Afrika), sedangkan ‘Jacq’
adalah seorang botanis Amerika yang memberi nama kelapa sawit tersebut yang
umum dikenal sampai sekarang (Mangoensoekarjo, 2007). Genus Elaeis terdiri
atas dua species yaitu E. guineensis Jacq. yang dikenal sebagai kelapa sawit dari
Afrika dan E. oleifera Cortez. yang dikenal juga dengan kelapa sawit asal
Amerika Latin (Hartley, 1988; Rival et al, 1998; Pamin, 1998).
Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan (perennial). Batangnya tumbuh
lurus dan umumnya tidak bercabang dan tidak berkambium. Tanaman monokotil
ini berumah satu (monoecious). Bunga kelapa sawit dapat menyerbuk sendiri atau
Ekofisiologi Kelapa Sawit
Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kelapa sawit terjadi melalui proses fisiologi. Pada kondisi ketersediaan air yang
cukup tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal,
namun hal tersebut dapat terganggu jika tanaman berada pada kondisi tercekam
atau ketersediaan air tidak mencukupi untuk menjalankan proses metabolismenya.
Habitat asli kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat
tumbuh baik di daerah tropis (4° LU - 4° LS), ketinggian 0-500 m dari permukaan
laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit memerlukan iklim dengan distribusi
curah hujan merata sepanjang tahun dengan total 2000 - 3000 mm per tahun,
yakni daerah yang tidak tergenang air pada waktu hujan serta tak kekeringan
waktu kemarau. Pola curah hujan tahunan dapat mengubah tingkah laku
pembungaan serta produksi buah sawit (Mangoensoekarjo, 2007).
Tanaman kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman xerophyte yang dapat
beradaptasi dengan kondisi air yang kurang, walaupun demikian tanaman tetap
akan mengalami gejala stres air pada saat musim kemarau yang berkepanjangan
(Mahamooth et al, 2008). Kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit pada
dasarnya berbeda dalam setiap fase pertumbuhannya (Turner dan Gillbanks,
2003). Tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman yang rakus air seperti yang sering
dikampanyekan secara negatif oleh beberapa pihak. Doonrebos dan Pruitt (1977)
melaporkan kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang dibandingkan dengan
tanaman perkebunan lain.
Tabel 1. Kebutuhan air pada beberapa tanaman
Kebutuhan Air Tanaman
mm/hari mm/bulan mm/tahun
Kelapa sawit 4,10-4,65 123-139,5 1476-1674
Kakao 2,22-3,33 66,6-99,9 800-1200
Kopi 2,22-3,33 66,6-99,9 800-1200
Deciduous trees 1,94-2,91 58,2-87,3 700-1050
Tebu 2,77-4,16 83,1-124,8 1000-1500
Alfalfa 1,66-4,16 49,8-124,8 600-1500
Alpukat 1,80-2,77 54-83,1 650-1000
Pisang 1,94-4,72 58,2-141,6 700-1700
Padi 4,16-7,91 124-237,3 1500-2850*
Jagung 3,33-6,25 99,9-188,7 1200-2250*
Kedelai 3,75-6,87 112,5-206,1 1350-2475*
Sumber :diolah dari Doonrebosand Pruitt (1977) *) dalam tiga musim tanam
Pada kondisi air yang kurang, rasio akar-batang (root/shoot) cenderung
menjadi lebih besar. Pertambahan tinggi cenderung berkurang namun
perkembangan akar makin tinggi seperti yang dikemukakan oleh Sun et al. (2011)
bahwa stress air mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap rasio akar-batang
dibanding stres yang diakibatkan oleh nutrisi. Menurut Kirkham (1990) dalam
Thoruan-Mathius et al. (2001) pengaruh fisiologis cekaman kekeringan pada
tanaman adalah terjadinya perubahan potensial air, potensial osmotik dan
potensial turgor sel yang dapat mempengaruhi perilaku stomata. Perubahan ini
mempengaruhi absorpsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis dan
translokasi fotosintesis. Akibat lanjut yang ditimbulkan adalah menurunnya laju
fotosintesis dan organ fotosintesis mengalami penuaan dini sehingga
diungkapkan oleh Cha-um (2010) bahwa kandungan klorofil di daun akan
mengalami penurunan secara drastis ketika tanaman mengalami stress air, Cha-um
(2010) menyimpulkan bahwa potensi osmotik pada bibit tanaman kelapa sawit
yang mengalami defisit air menurun pada jaringan daun maupun pada jaringan
akar, sehingga memacu kerusakan pigmen fotosintesis (klorofil) dan memperkecil
kemampuan fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Pengaruh cekaman air terhadap produksi ditandai dengan terjadinya aborsi
infloresensi betina (tandan buah) dan menurunnya seks rasio sehingga
menyebabkan produksi bunga betina menurun dan berdampak pada penurunan
produksi TBS secara bertahap seiring dengan makin tingginya tingkat defisit air.
Penurunan produksi tertinggi mencapai lebih dari 40% terjadi pada kondisi
cekaman air akibat defisit air antara 400-500 mm/tahun.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur
tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah
lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi
struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat,
sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan
asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan
membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan
ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau
kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang
semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah,
dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan organik
ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes.
Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan
actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi
lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara
bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil)
senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia
butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung
dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organic berantai panjang dengan
perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara
kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam
lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik
berantai panjang (polimer) (Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang
Tabel 2. Parameter kuantitatif dari jenis akar yang berbeda di kelapa sawit (dewasa) tahap budidaya lapangan
Fase
sumber : Jourdan and Rey,1997
Tabel 3. Rata-rata panjang (m) zona percabangan apikal dengan distribusi untuk berbagai tipe akar pada umur kelapa sawit 10 tahun.
Length Unbranched Apical Zone (LUAZ) (cm)
Mean (m) Tipe
Akar
Minimum (d) ± standard deviation (σ) Maximum (n)
Probability (p)
RI H 4.0 12.0 ± 2.3 18.0 0.57
RI VD 3.0 10.0 ± 2.5 16.0 0.54
RII H 1.0 3.0 ± 1.8 6.0 0.46
RII VU 1.0 3.5 ± 1.5 7.0 0.47
RII VD 1.0 3.1 ± 1.9 7.0 0.37
sRIII 0.5 1.6 ± 0.6 4.0 0.35
dRIII 0.5 1.5 ± 0.5 4.0 0.30
RIV Tidak
bercabang
sumber : Jourdan and Rey,1997
RI VD : akar vertikal utama
RI H : akar horizontal utama
RII H : akar horizontal sekunder
RII VU : akar vertikal sekunder tumbuh ke atas
RII VD : akar vertikal sekunder yang tumbuh ke bawah
sRIII : akar dangkal
dRIII : akar dalam
Profil Tanah
Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar
permukaan planet bumi yang mampu menumbuhkan tumbuhan, dan memiliki
sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan
induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu (Darmawidjaya,
1997).
Tanah menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2014) adalah tubuh alam
bebas yang terdiri atas bahan padat (bahan mineral dan bahan organik), air dan
udara yang ditemukan di permukaan bumi, yang dicirikan oleh salah satu atau
kedua sifat berikut: (a) mempunyai horizon-horizon atau lapisan tanah sebagai
hasil dari proses penambahan, pengurangan, pemindahan dan juga perubahan
bahan dan energi dan/atau (b) mempunyai kemampuan menopang pertumbuhan
dan perakaran tanaman dalam lingkungan alami.
Profil tanah merupakan irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga
ke bebatuan induk tanah, yang biasanya terdiri atas horizon-horison
O-A-E-B-C-R. Empat lapisan teratas yang masih dipengaruhi cuaca disebut solum tanah,
horison O-A disebut lapisan tanah atas dan horison E-B disebut lapisan tanah
bawah (Hanafiah, 2005).
Dalam proses pembentukan tanah akan membentuk horizon-horizon tanah,
di antaranya horizon O yaitu merupakan organik yang terbentuk di atas lapisan
tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horizon O merupakan horizon utama pada
tanah gambut (Histosol). Horizon Oi bentuk asli sisa-sisa tanaman masih terlihat.
sisa tanaman tidak terlihat lagi. Horizon A di permukaan tanah yang terdiri atas
campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap dari pada
horizon di bawahnya. Horizon E terjadi pencucian maksimum terhadap liat, Fe,
Al, dan bahan organik. Horizon B tempat terakumulasinya bahan-bahan yang
tercuci dari harison diatasnya. Horizon C yaitu suatu bahan induk sedikit terlapuk,
sehingga lunak dapat ditembus akar tanaman. Horizon R suatu batuan keras yang
belum lapuk, tidak dapat di tembus akar tanaman (Hardjowigeno, 2001)
Karakteristik Fisik Tanah Solum Tanah
Solum tanah adalah tanah yang berkembang secara genetis oleh gaya genesa tanah
artinya lapisan tanah mineral dari atas sampai sedikit dibawah batas horizon C
(Darmawidjaya, 1997). Solum tanah ini berperan penting dalam usaha pertanian
jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Lapisan olah yakni
pada ketebalan 0-30 cm mempunyai arti yang sangat penting, karena mengandung
berbagai bahan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti
bahan-bahan organic (humus) dan berbagai zat hara mineral. Selain itu, pada lapisan
tanah tersebut hidup mikroflora dan mikrofauna atau jasad renik biologis (seperti
bakteri, cacing tanah, berbagai serangga tanah) yang masing-masing dapat
menguntungkan dan menyuburkan tanah (Kartasapoetra, 1990).
Struktur tanah
Struktur tanah dapat dibagi dalam struktur makro dan mikro.Yang
dimaksud dengan struktur makro/struktur lapisan bawah tanah yaitu penyusunan
penyusunan butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk/agregat-
agregat yang satu sama lainya dibatasi oleh bidang-bidang belah alami. Yang
termasuk struktur mikro yaitu :
Kondisi remah-lepas, terlihat dengan jelas (tanpa alat bantu) keadaannya
tampak cerai berai, mudah digusur, didorong ke tempat yang dikehendaki.
Kondisi remah-sedang, tanah yang demikian kondisinya cenderung tampak
agak bergumpal, susunan lapisan-lapisan tanah tampak ada yang dalam
keadaan agregasi atau bergumpal dan terdapat pula porus yang
berlubang-lubang, memudahkan aliran air menerobos menyerap ke dalam
lapisan-lapisan tanah sebelah bawah. Keadaan yang demikian tidak begitu
menyulitkan bagi pengolahan tanah untuk kepentingan usahatani ataupun
bagi pekerjaan pemindahan tanah (Kartasapoetra, dkk, 1987)
Beberapa hal yang menentukan sifat fisik tanah adalah tekstur, struktur,
konsistensi, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah dan kedalaman permukaan air
tanah. Secara ideal tanaman kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur,
mempunyai solum yang dalam tanpa lapisan padat, tekstur mengandung liat dan
debu 25-30%, serta berdrainase baik (Setyamidjaja, 1992).
Sesungguhnya pada susunan remah terdapat pori-pori makro non kapiler
yang tidak menampung air yang biasanya diisi udara tanah. Struktur remah ini
adalah keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian karena pada
struktur ini terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk
pernafasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara
Tekstur tanah
Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (2 mm - 50),
debu (50-2) dan liat (<2) di dalam tanah.
Tabel 4. Deskrispsi kelas tekstur tanah
No Kelas Tekstur Sifat Tanah
1. Pasir (S) Sangat kasar sekali, tidak membentuk gulungan,
serta tidak melekat.
2. Pasir berlempung
(LS)
Sangat kasar, membentuk bola yang mudah sekali hancur, serta agak melekat.
3. Lempung berpasir (SL)
Agak kasar, membentuk bola yang mudah sekali
hancur,serta agak melekat.
4. Lempung (L) Rasa tidak kasar dan tidak licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, dan melekat.
5. Lempung berdebu (SiL)
Licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, serta agak melekat.
6. Debu (Si) Rasa licin sekali, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, serta agak melekat.
7. Lempung berliat (CL) Rasa agak kasar, membentuk bola agak teguh (lembab), membentuk gulungan tapi mudah hancur, serta agak melekat.
8. Lempung liat berpasir (SCL)
Rasa kasar agak jelas, membentuk bola agak teguh (lembab), membentuk gulungan tetapi mudah hancur, serta melekat.
9. Lempung liat berdebu (SiCL)
Rasa licin jelas, membentuk bola teguh, gulungan mengkilat, melekat.
10. Liat berpasir (SC) Rasa licin agak kasar, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipilin, mudah digulung, serta melekat.
11. Liat berdebu (SiC) Rasa agak licin, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipilin, mudah digulung, serta melekat.
12. Liat (C) Rasa berat, membentuk bola sempurna, bila kering sangat keras, basah sangat melekat.
Di dalam segitiga tekstur terdapat 12 kelas tekstur didalamnya yaitu pasir,
pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung
liat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu, dan
liat. Apabila di samping kelas tekstur tersebut tanah mengandung kerikil (>2mm)
sebanyak 20-50% maka tanah disebut berkerikil, dan sebagainya. Bila kandungan
kerikil lebih dari 50% disebut sangat berkerikil (Hardjowigeno, 1993). Secara
ideal tanaman kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, mempunyai
solum yang dalam tanpa lapisan padat, tekstur liat dan debu 25-30 %, serta
berdrainase baik (Setyamidjaja, 1992).
Konsistensi tanah
Menunjukan kekuatan daya kohesi butir tanah atau daya adhesi
butir-butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukan oleh daya tahan tanah terhadap
gaya dari luar. Penyifatan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kandungan
air dari tanah yaitu apakah tanah dalam keadaan basah, lembab atau kering
(Hardjowigeno, 1993).
Kadar Air
Air dapat meresap atau ditahan oleh tanah karena adanya gaya kohesi,
adhesi dan gravitasi (Hardjowigeno, 1995). Dalam menentukan jumlah air yang
tersedia bagi tanaman terdapat beberapa istilah antara lain : kadar air kapasitas
lapang yaitu, keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air
yang ditahan oleh tanah lebih besar dari gaya gravitasi sehingga air dapat diserap
akar tanaman. Kadar air titik layu permanen yaitu, kandungan air dalam yang
adhesi. Kadar air tersedia yaitu, selisih kadar air pada kapasitas lapang dengan
kadar air pada titik layu permanen.
Bobot Isi (Bulk Density)
Bulk density adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan volume
tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Satuan bulk density dinyatakan dalam
gr.cm-3. Makin tinggi bobot isi, makin padat tanah dan makin sulit meneruskan air
atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno, 1995).
Karakteristik Kimia Tanah
Kapasitas tukar kation (KTK)
KTK didefenisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan
mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekivalen per 100
gram tanah. Kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda
untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara
dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalent biasanya diikat lebih kuat dari pada ion-
ion monovalen, sehingga sulit untuk dipertukarkan (Tan, 1998).
pH tanah
Kemasaman tanah berakibat langsung terhadap tanaman karena
meningkatnya kadar ion-ion hydrogen bebas. Tanaman akan tumbuh dan
berkembang dengan baik pada pH optimum yang dikehendakinya. Apabila pH
jenis tanaman itu tidak sesuai dengan persyaratan fisiologinya, pertumbuhan
tanaman akan terhambat. Kemasaman tanah berakibat pula terhadap baik atau
sekitar 6,5 tersedianya unsur hara dinyatakan paling baik. Pada pH dibawah 6,0
unsur P, Ca, Mg, Mo ketersediaannya kurang, pada pH dibawah 4,0 ketersediaan
unsur makro dan Mo dinyatakan buruk sekali, pada pH rendah ketersediaan Al,
Fe, Mn, Bo akan meningkat, yang dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman
(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991).
Tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki
kemasaman (pH) 5-6 tidak lebih tinggi dari 7 serta tidak lebih rendah dari 4,
paling tidak pada kedalaman 1 meter. Hal itu disebabkan terbatasnya ketersediaan
hara ada pH tinggi dan efek racun dari Mn dan Fe pada pH rendah. Pada
umumnya hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena
pada pH tersebut kebanyakan hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam P
tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah
alkalis P juga tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Ca.
(Hardjowigeno, 1995).
Setiap proses yang akan meningkatkan atau mempertahankan basa tertukar
seperti Ca, Mg, K dan Na akan menunjang penurunan keasaman dan
meningkatkan kebasaan. Proses pelapukan sangat dipengaruhi karena
membebaskan kation tertukar dari mineral sehingga menjadi tersedia untuk di
adsorbsi. Penambahan yang mengandung basa, misalnya batu kapur merupakan
cara yang sering dipakai untuk menambah kation logam sebagai tambahan yang
Penilaian Sifat Kimia Tanah
Untuk penilaian sifat kimia tanah dapat mengacu pada Tabel 5.
Tabel 5. Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sangat
Sifat Tanah Sangat
Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat
Kejenuhan basa menunjukan perbandingan antara jumlah kation-kation
basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat
dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah
menunjukan besamya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.
Damanik, dkk (2010) menyatakan kejenuhan basa merupakan salah satu
ciri tanah yang cukup penting. Kejenuhan basa adalah perbandingan antara kation
basa (Ca, Mg, K dan Na) dengan nilai tukar total (KTK) dan dinyatakan persen,
Kation-kation basa umumnya merupakan hara yang diperlukan tanaman.
Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga dengan kejenuhan
basa tinggi menunjukan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami
pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 1993).
Terdapat korelasi positif antara persen kejenuhan basa dan pH tanah.
Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena
itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa
yang rendah berarti terdapat banyak ion H+ (Tan, 1998). Hanafiah (2005)
menyatakan bahwa pengapuran karbonat (CaCO3) menghasilkan ion-ion hidroksil
yang mengikat kation-kation asam (H dan Al) pada koloid tanah menjadi inaktif,
sehingga pH naik. Situs muatan negatif koloid digantikan oleh kation basa (Ca),
sehingga kejenuhan basa meningkat pula.
C-Organik
Kandungan C organik dalam tanah dapat ditentukan dengan metoda
pembakaran kering atau pembakaran basah. Pembakaran kering dilakukan dengan
membakar contoh tanah, kemudian mengukur CO2 yang dilepaskan. Hasilnya
secara kuantitatif lebih tepat daripada pembakaran basah. Pembakaran basah
dilakukan dengan mengoksidasi dengan asam khromat dengan jumlah berlebihan,
Black). Hasilnya lebih bersifat semi-kuantitatif, tetapi dapat dilakukan lebih cepat
dan sederhana (Hardjowigeno, 1993).
Kandungan hara
Tanaman mengabsorpsi unsur hara dalam bentuk ion yang terdapat di
sekitar daerah perakaran. Unsur-unsur ini harus berada dalam bentuk tersedia dan
dalam konsentrasi optimum bagi pertumbuhan. Selanjutnya unsur-unsur tersebut
harus berada dalam suatu keseimbangan. Hingga sekarang telah dikenal 16
macam unsur hara esensial bagi tanaman. Suatu unsur hara dikatakan esensial bila
kekurangan unsur tersebut dapat menghambat dan mengganggu pertumbuhan baik
vegetatif maupun generatif, kekurangan unsur tersebut tidak dapat diganti oleh
unsur lain dan unsur tesebut harus secara lansung terlibat dalam hara tanaman.
Berdasarkan kebutuhannya bagi tanaman maka ke enam belas unsur hara
esensial tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok unsur hara
makro dan kelompok unsur hara mikro. Unsur hara makro relatif lebih banyak
digunakan/ dibutuhkan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 kg untuk setiap
hektar. Sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit
(Hakim, dkk, 1986).
Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang
istimewa sebab kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan.
Pemupukan dengan dosis yang tepat sesuai kebutuhan tanaman sangat membantu
pertumbuhan tanaman kelapa sawit sehingga akan meningkatkan produksinya.
Walaupun begitu, tanah yang mengandung faktor hara dalam jumlah besar sangat
ketersediaan dan keseimbangan faktor unsur hara didalam tanah. Kelapa sawit
dapat tumbuh pada pH antara 4.0 - 6.5, sedangkan pH optimum adalah 5.0 - 5.5
menurut Setyamidjaja (1992) atau 5 - 6 menurut Hardjowigeno, et al (2001).
Kejenuhan Al
Al dalam bentuk dapat ditukarkan (Al-dd) umumnya terdapat pada
tanah-tanah yang bersifat masam dengan pH < 5,0. Aluminium ini sangat aktif karena
berbentuk Al3+ monomer yang sangat merugikan dengan meracuni tanaman atau
mengikat fosfor. Oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana pengaruh Al ini
perlu ditetapkan kejenuhannya. Semakin tinggi kejenuhan aluminium, akan
semakin besar bahaya meracun terhadap tanaman.
Kandungan aluminium dapat tukar (Al3+) mempengaruhi jumlah bahan
kapur yang diperlukan untuk meningkatkan kemasaman tanah dan produktivitas
tanah. Kadar aluminium sangat berhubungan dengan pH tanah. Semakin rendah
pH tanah, maka semakin tinggi aluminium yang dapat dipertukarkan dan
sebaliknya. Disamping kadar aluminium yang dapat dipertukarkan, pengaruh jelek
aluminium diukur dengan derajat penjenuhan aluminium yang dinyatakan dengan:
Bila kejenuhan aluminium > 60%, tanah tersebut sering dikatakan tidak
layak untuk tanah pertanian sebelum direklamasi atau ameliorasi terlebih dahulu.
Oleh karena kejenuhan aluminium dipengaruhi oleh KTK dan juga dipengaruhi
oleh tekstur, maka semakin kasar tekstur tingkat kebahayaan aluminium semakin
keracunan aluminium menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer,
serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. Apabila pertumbuhan
akar terganggu, serapan hara dan pembentukan senyawa organik tersebut akan
terganggu. Sistem perakaran yang terganggu akan mengakibatkan tidak efisiennya
akar menyerap unsur hara.
Jenis Tanah Typic Hapludult
Typic hapludult merupakan sub grup pada ordo ultisol. Tanah ultisol
mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan
Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang
tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang
penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia Hampir semua
jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala
oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada
horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara
makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga
sangat masam, serta kejenuhan Al yang tinggi merupakan sifat tanah Ultisol yang
sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik
yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro
serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya erosi tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Menurut laporan soil
survey perkebunan Aek Loba (Paramananthan, 2004) lokasi penelitan berada pada
Order (Ultisols)
Suborder (Udults)
Great Group (Hapludults)
Subgroup (Typic Hapludults)
Family (Clayey, Kaolinitic)
Series (Ala2 dan Ksk2 Series)
Typic Hapludults adalah Sub Grup Typic dari Hapludults, yakni ditetapkan
pada tanah kering angin yang cukup dalam atau lebih dalam untuk hard rock,
memiliki epipedon okrik yang tidak tebal dan tidak berpasir (bukan pasir atau liat
berpasir), berbentuk liat atau lempung ukuran partikel kelas di argillic horizon,
tetapi tidak memiliki celah-celah dalam di tahun normal. Air tanah pada
kedalaman sedang, depletions redoks dengan chroma rendah pada kedalaman
dangkal dan tingkat berfluktuasi air tanah di zona besi habis yang sifat berbagi
dengan Aquults dan menentukan Oxyaquic dan Aquic sub kelompok. Lapisan
pasir yang tebal, mulai dari permukaan tanah mineral, mendefinisikan Arsenik
dan Grossart sub kelompok. Kontak litik dangkal mendefinisikan sub kelompok
litik. Sebuah berwarna, relatif tebal epipedon ochric gelap atau epipedon umbrik
dianggap abnormal dan menunjukkan intergrade untuk Humults. Sebuah
cakrawala argilik sangat tipis juga dianggap abnormal dan digunakan untuk
menentukan sub kelompok Inceptic. Sebuah partikel ukuran kelas berpasir dan
lamellae di ufuk argilik menunjukkan perkembangan yang lebih lemah dari
normal dan menentukan Psammentic dan Lamellic sub kelompok. Sebuah partikel
dan menentukan sub kelompok Vertic. Typic Hapludults adalah dari batas yang
sangat besar di Timur dan Tenggara Amerika Serikat. Vegetasi alami terdiri atas
tanaman hutan. Lereng berkisar dari tingkat hampir curam. Dimana lereng cocok,
banyak dari tanah ini digunakan sebagai lahan pertanian. Banyak dari tanah,
terutama mereka yang curam, digunakan sebagai hutan. Beberapa digunakan
sebagai padang rumput atau homesites (Soil Survey Staff, 2014). Typic Hapludults
adalah Hapludults lain, dimana:
1. Tidak memiliki, di subhorizon apapun dalam 60 cm atas horison argilik,
redoks depletions dengan nilai warna, lembab, 4 atau lebih dan chroma dari 2
atau kurang, disertai dengan konsentrasi redoks dan dengan kondisi aquic;
2. Dalam tahun normal tidak jenuh dengan air di setiap lapisan dalam 100 cm
dari permukaan tanah mineral untuk salah satu atau kedua:
a. Sebuah. 20 hari atau lebih berturut-turut; atau
b. 30 hari atau lebih kumulatif;
3. Tidak memiliki berpasir atau pasir-skeletal partikel-ukuran kelas di seluruh
lapisan memanjang dari permukaan tanah mineral ke atas cakrawala argilik
pada kedalaman 50 cm atau lebih;
4. Punya horizon argilik tebal lebih dari 25 cm;
5. Memiliki nilai warna, lembab, 4 atau lebih atau nilai, kering, dari 6 atau lebih,
bila diremas dan merapikan, dalam Ap cakrawala 18 cm atau lebih tebal dan
di setiap lapisan permukaan setelah pencampuran dari 18 cm atas ;
6. Tidak memiliki kontak litik dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral di
7. Punya horizon argilik yang lebih halus daripada berpasir partikel-ukuran
kelas di beberapa bagian dari 75 cm atas jika horizon argilik tebal lebih dari
75 cm atau sebagian saja jika horizon argilik tebal kurang dari 75 cm;
8. Tidak memiliki baik:
a. Celah dalam 125 cm dari permukaan tanah mineral yang 5 mm atau lebih
luas melalui ketebalan 30 cm atau lebih untuk beberapa waktu di tahun
normal, dan slickensides atau agregat berbentuk baji di lapisan 15 cm
atau lebih tebal yang memiliki nya atas batas dalam 125 cm dari
permukaan tanah mineral; atau
b. Sebuah diperpanjang linear dari 6,0 cm atau lebih antara permukaan
tanah mineral dan baik kedalaman 100 cm atau densic, litik, atau kontak
paralithic, mana yang dangkal;
9. Punya horizon argilik yang memenuhi satu pun dari hal-hal berikut:
a. Seluruhnya terdiri atas lamellae; atau
b. Adalah kombinasi dari dua atau lebih lamellae dan satu atau lebih
subhorizons dengan ketebalan 7,5 sampai 20 cm, setiap lapisan dengan
horizon eluvial atasnya; atau
c. Terdiri atas satu atau lebih sub horizon yang lebih dari 20 cm tebal,
masing-masing dengan horizon eluvial atasnya, dan di atas cakrawala ini
ada baik:
i. Dua atau lebih lamellae dengan ketebalan gabungan dari 5 cm atau
lebih (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi bagian dari horizon
ii. Kombinasi lamellae (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi
bagian dari horizon argilik) dan satu atau lebih bagian dari cakrawala
argilik tebal 7,5-20 cm, masing-masing dengan horizon eluvial
atasnya; dan
10. Memiliki sifat-sifat tanah fragic:
a. Dalam waktu kurang dari 30 persen dari volume semua lapisan 15 cm
atau lebih tebal yang memiliki batas atas dalam 100 cm dari permukaan
tanah mineral; dan
b. Dalam waktu kurang dari 60 persen dari volume semua lapisan 15 cm
atau lebih tebal.
Total mikrobia tanah
Pengamatan dan perhitungan mikrobia dapat dilakukan secara individual
maupun secara kelompok dalam bentuk koloni. Bila mikrobia yang ditumbuhkan
dalam medium yang tidak cair, maka akan terjadi suatu kelompok yang
dinamakan koloni. Bentuk koloni berbeda-beda untuk setiap spesies, dan bentuk
tersebut merupakan cirri khas bagi suatu spesies tertentu. Prinsip dari metode
hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikrobia yang masih hidup pada media
agar, sehingga sel mikrobia tersebut akan berkembang biak dan membentuk
koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop
(Waluyo, 2007).
Dalam perhitungan jumlah mikroorganisme ini seringkali digunakan
pengenceran. Pada pengenceran dengan menggunakan botol cairan terlebih dahulu
membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah mikrobia tanah yang benar.
Namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar
dengan jumlah koloni yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990).
Pengenceran dilakukan agar setelah inkubasi, koloni mikrobia yang
terbentuk pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung. Dimana jumlah
terbaik adalah antara 30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm
permukaan (Fardiaz, 1992). Prinsip pengenceran adalah menurunkan jumlah
koloni mikrobia, sehingga makin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan,
makin sedikit jumlah koloni mikrobia yang dihitung (Waluyo, 2007). Untuk
perhitungan jumlah total populasi mikrobia tanah digunakan satuan CFU (Colony
Forming Unit).
CFU = jumlah koloni x faktor pengenceran.
Jumlah total mikrobia yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai
indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur
mengandung banyak mikrobia tanah karena populasi yang tinggi menggambarkan
adanya suplai makanan dan energy yang cukup, serta kondisi ekologi lain yang
mendukung perkembangan mikroorganisme tanah tersebut. Dengan kata lain,
untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dapat dilakukan dengan melihat jumlah
populasi mikrobia tanah yang ada.
Bahan Induk Tanah
Bahan induk adalah bahan pemula tanah, yang tersusun dari bahan organik
dari tempat lain sebagai akibat proses transportasi oleh angin dan air. Menurut
Jenny (1994) bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari
proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan berubah menjadi
bahan induk, dan dengan adanya proses pelapukan lebih lanjut serta proses-proses
pembentukan tanah lain, bahan induk berubah menjadi tanah dalam waktu yang
lama.
Bahan induk merupakan bahan geologi yang mendasari (umumnya batuan
dasar atau deposito atau drift dangkal) di mana tanah cakrawala bentuk. Tanah
biasanya mewarisi banyak struktur dan mineral dari bahan induk mereka, dan,
dengan demikian, seringkali digolongkan berdasarkan isi bahan mineral
konsolidasi atau tidak dikonsolidasi yang telah mengalami tingkat pelapukan fisik
atau kimia dan mode dimana bahan yang paling baru diangkut.
Pengaruh bahan induk terhadap pembentukan tanah ditentukan oleh:
a. Sifat kristalin (beku, sedimen, malihan)
b. Tekstur (kasar, sedang, halus)
c. Komposisi mineral
d. Tingkat kemantapan
Dalam proses pembentukan tanah terdapat bahan induk yang menyusun
pembentukan tanah. Jenis-jenis bahan induk tersebut adalah sebagai berikut:
Batuan
Batuan dapat didefinisikan sebagai bahan padat yang terjadi didalam
atau lebih. Berdasarkan cara terbentuknya batuan dapat dibedakan menjadi 3
jenis batuan, yaitu beku, batuan endapan dan batuan malihan.
Batuan Beku
Batuan beku atau batuan vulkanik terbentuk oleh magma yang berasal
dari letusan gunung berapi, batuan beku atau batuan vulkanik terdiri
atas mineral yang tinggi dan banyak mengandung unsur hara tanaman.
Di Indonesia batuan vulkanik memegang peranan yang lebih penting,
hal ini di sebabkan karena gunung berapi tersebar dimana-mana, dan
karena letusan gunung berapi yang menghasilkan batuan vulkanik
yang menyebabkan kesuburan tanah. Selain atas dasar terjadinya
batuan vulkanik juga dapat dibagi atas dasar kandungan kadar
SiO2 nya menjadi tiga golongan, yaitu, batuan asam yang berkadar
SiO2 lebih dari 65%, batuan intermedier yang kadar SiO2 antar 52% -
65% dan batuan basis yang berkadar SiO2 < 52%.
Batuan Sedimen
Batuan endapan terjadi karena proses pengendapan bahan yang
diangkut oleh air atau udara dalam waktu yang lama. Ciri untuk
membedakan batuan endapan dan batuan lainnya yaitu, batuan
endapan biasanya berlapis, mengandung jasad (fosil) atau
bekas-bekasnya dan adanya keseragaman yangnyata dari bagian-bagian
Batuan Malihan
Batuan malihan terbentuk dari batuan beku atau batuan endapan atau
juga dapat terbentuk dari batuan malihan lainnya yang mengalami
proses perubahan susunan dan bentuknya yang akibatkan oleh
pengaruh panas, tekanan atau gaya kimia. Batuan malihan adalah
batuan yang memiliki sifat-sifat akibat telah malihnya batuan semula
baik batuan beku maupun endapan. Yang dinamakan proses malihan
adalah jumlah proses yang bekerja dalam zone pelapukan dan
menyebabkan pengkristalan kembali bahan induk.
Toba Tuff (Tufa Toba)
Chesner (1998) melakukan studi mendalam perihal bahan induk Tufa Toba
sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Van
Bemmelen (1949), dan Aldiss dan Ghazali (1984). Disebutkan dalam Chesner
(1998) bahwa wilayah Kaldera terdapat 4 kali erupsi tufa sejak 1.2 juta tahun yang
lalu, dimana yang termuda disebut young toba tuffs (YTT).
Tabel 6. Karakteristik empat tufa toba
Note : Qz, quartz; PI, plagioclase; Sa, sanidine; Mg, magnetite; II, ilmenite; Ap, apatite; Am, amphibole; Bi, biotite; Zi, zircon; Al, allanite; Fa, fayalite; Opx, orthopyroxene; Cpx, clinopyroxene. N, normal; R, reversed.
Sumber : Chesner, 1998.
Bahan induk Tufa Toba merupakan jenis batuan induk berasal dari batuan
beku yang berasal letusan gunung berapi Toba yang terjadi pada 74.000 tahun
yang lalu (Chesner, 1998). Batuan ini mengalami erupsi asam yang umumnya
terdiri atas kwarsa-trachytes, kwarsa-trachytes-andasitik, rhyolite dan tufa liparit.
Tufa toba muda menutupi wilayah seluas kira-kira 25.000 km2 termasuk dataran
tinggi seluas 10.000 km2 dan ketebalan mencapai beratus meter dibeberapa tempat
(< 400 m) dengan volume mencapai 2.800 km3.
Faktor-Faktor Degradasi Lahan
Faktor degradasi lahan umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami
penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak
atau curah hujan yang intensif. Faktor degradasi lahan akibat campur tangan
manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan
dengan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk,
kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan
kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan
pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima
faktor penyebab degradasi lahan akibat campur tangan manusia secara langsung,
yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan
aktivitas industri serta bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal
(1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya
produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usaha tani, kebakaran,
penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur.
Faktor-faktor tersebut di Indonesia terjadi secara simultan. Deforestasi adalah langkah
permulaan pada proses degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas
berikutnya apakah ditelantarkan atau digunakan masyarakat sebagai ladang.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan
agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan
permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan
kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan
mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut
selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau
(soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau
partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga
menyebabkan penyumbatan pori tanah. Pada saat hujan turun kerak yang
terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat
proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah, distribusi pori tanah, dan
kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan
permukaan akan meningkat (Suprayogo et al.,2001).
Secara umum, telah disepakati bahwa faktor penyebab degradasi lahan
baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan
menurunnya produktivitas lahan. Pada kasus tanah subur di Datah Bilang
Kabupaten Kutai, Kalimantan. Lahjie (1989) menyimpulkan bahwa kondisi tanah
menentukan lamanya masa bera, seperti pada jekau betiq muda (vegetasi tumbuh
ø 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti
di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Von Vexkul
(1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak
kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan
masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah,
pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan dengan
tanah ladang tidak subur. Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah
ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan
produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat
kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah terjadi penurunan
yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun
sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan
persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun pembakaran. Tanah
menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman dan tingginya
konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong
penurunan produksi tanaman.
Angka deforestrasi rata-rata tahunan periode 2006-2009 di Indonesia
mencapai 0,83 juta hektar per tahun. Deforestrasi ini terjadi di dalam dan di luar
kawasan hutan. Deforestrasi terbesar terjadi di kawasan hutan (73,4 %),
sedangkan di luar kawasan hutan, deforestrasi terjadi sebesar 26,6 %. Sementara
itu, angka degradasi hutan Indonesia pada periode tahun yang sama mencapai
446,9 ribu hektar per tahun (Pusat Data dan Informasi KLH dan Kehutanan,
2015). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah. Handayani (1999)
menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N
tersedia (amonium dan nitrat) menurun. Tanah hutan mampu melepas N tersedia
30 mg N kg-1 tanah dalam 7 hari, sedangkan pada hutan yang telah ditebang 6
bulan sebesar 26,5 mg N kg-1 tanah, dan apabila digunakan untuk pertanian maka
N tersedia yang dapat dilepas tinggal 20 mg N kg-1 tanah. Degradasi lahan akibat
land clearing dan penggunaan untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17
tahun memicu hilangnya biota tanah dan memburuknya sifat-sifat fisik dan kimia
tanah. Dibandingkan dengan tanah non terdegradasi, maka tanah terdegradasi
56% lebih rendah biomass mikrobia, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda,
sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH tanah non
terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi.
Proses Degradasi Lahan
Lima proses utama yang terjadi timbulnya lahan terdegradasi, yaitu:
menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian
unsur hara (Lal, 1986). Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga
proses penting terjadinya degradasi lahan, yaitu:
1) Degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah
sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan
erosi dipercepat
2) Degradasi kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan
unsur lainnya
3) Degradasi biologi berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas
bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah.
Best Management PracticePT Socfin Indonesia
Best management practice (BMP) di PT Socfin Indonesia sesuai dengan
Prosedur Sistem Manajemen (PSM) Budidaya Kelapa Sawit Revisi 02 Tahun
Tanaman Ulangan/ Peremajaan (replanting)
Penumbangan Pohon
Dengan menggunakan excavator pohon kelapa sawit ditumbang sekaligus
dengan membongkar bonggol akar (ball tissue), kemudian batang kelapa
sawit dicincang (chipped) dengan ketebalan maksimal 10 cm. Ex. chipping
diserak secara merata, sehingga dipastikan tidak akan menjadi breeding
site untuk hama Oryctes rhinoceros.
Semua pekerjaan mengikuti prinsip Zero Burning.
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dengan melakukan Ripping dan Subsoiling.
Ripping dilakukan dengan kedalaman 60-65 cm dan Subsoiling kedalaman
23-28 cm.
Pekerjaan ripping dilakukan menggunakan buldozer yang dilengkapi
dengan garpu khusus (3 garpu yang masing-masing berjarak 100 cm
dengan panjang 90-100 cm) pada saat sebelum/sesudah pembongkaran
pohon kelapa sawit tua dilakukan menyerong 2 arah mata lima. Setelah
riping dilakukan subsoling menggunakan mata cangkul dilakukan serong
Pembuatan Teras Bersambung
Merencanakan dan menentukan jumlah fisik teras, panjang dan mutu teras
di lokasi yang membutuhkan teras bersambung pada areal yang
bergelombang/perengan dengan kemiringan > 8%.
Melakukan pemancangan rencana teras bersambung berdasarkan contour
lapangan, dan menentukan posisi memulai pekerjaan serta mengarahkan
pekerjaan di lapangan.
Melakukan pembuatan teras bersambung secara manual atau mekanis
dengan excavator atau buldozer sesuai dengan rencana dan standard mutu
yang telah ditentukan.
Memancang Tanaman dan Pembuatan Lobang Tanaman
Menentukan titik awal pancang dan titik pancang per barisan tanam.
Pemasangan pancang lubang tanam dilakukan mengikuti pola segitiga
sama sisi dengan jarak antar titik tanam 9 m.
Menentukan posisi memulai pekerjaan pembuatan lobang tanam yang
mengikuti pancang lubang tanam.
Melakukan pembuatan lobang tanaman berukuran diameter 60 cm dan
kedalaman 60 cm pada lokasi titik tanam dengan menggunakan alat “hole
digger” dengan wheel tractor. Pada lokasi yang sulit dijangkau oleh wheel
tractor (seperti pada areal rendahan) maka lobang tanaman dibuat secara
Penanaman Kacangan Penutup Tanah
Seluruh areal peremajaan atau konversi harus ditutup dengan tanaman
penutup tanah (legume cover crop) secara murni (pure) dengan spesies
Mucuna bracteata, atau dapat juga menggunakan jenis Colopogonium
caeruleum (CC) atau kombinasi Pueraria javanica (PJ) + Colopogonium
mucunoides (CM). Walaupun ada beberapa jenis tanaman kacangan,
namun prioritas utamanya adalah Mucuna bracteata (MB) karena
biomassa lebih tinggi, lebih tahan kering, relatif tidak ada hama penyakit,
dan tidak disukai ternak.
Kebutuhan MB = 700 stek.ha-1 sudah termasuk untuk sisipan.
Pekerjaan meliputi menentukan kebutuhan bibit kacangan yang akan
ditanam, jadwal pembibitan dan penanaman, serta kebutuhan tenaga kerja.
Melakukan penanaman tanaman kacangan di lapangan. Pekerjaan
penanaman kacangan meliputi pemancangan, membuat lobang tanam,
menanam bibit kacangan, mulching dan penyiraman bila perlu.
Pemupukan setiap stek kacangan sebanyak 10 gr atau 7 kg.ha-1.
Penanaman Kelapa Sawit
Merencanakan dan menentukan jadwal penanaman (dilakukan pada Mei –
Juli), transportasi bibit ke lapangan, dan kebutuhan tenaga kerja.
Disamping itu ditentukan juga lokasi penanaman per jenis persilangan atau
per-progeny tanaman.
Melakukan penanaman bibit kelapa sawit di lapangan sesuai dengan posisi
mengecer/distribusi bibit ke lobang tanam, memberikan pupuk Rock
Posfat 0.5 kg.pohon-1 pada lobang tanam, menanam bibit serta menimbun
lobang tanam dan memadatkan tanah timbunan lobang dengan
menginjak-injak mengunakan tumit.
Pemeliharaan Tanaman
Pengendalian Gulma di Piringan dan Gawangan
Merencanakan jadwal pengendalian gulma baik secara manual maupun
kimia sesuai dengan kondisi gulma di lapangan dan menentukan keperluan
tenaga kerja dan bahan kimia.
Melakukan penyiangan gulma secara manual baik yang terdapat dipiringan
maupun di sekeliling tanaman kacangan penutup tanah. Penyiangan
dilakukan dengan pusingan 1 x dalam 2 minggu selama 12 bulan.
Disamping itu dilakukan kombinasi penyemprotan dengan herbisida untuk
gulma diantara tanaman kacangan, dengan pusingan 2 x sebulan selama 4
bulan pertama, dan selanjutnya 1 x sebulan.
Pemupukan Tanaman Belum Menghasilkan
Melaksanakan aplikasi pemupukan sesuai dengan petunjuk pada Booklet
Pemupukan, dan merencanakan kebutuhan alat transport serta kebutuhan
tenaga kerja pemupukan.
Melaksanakan aplikasi pupuk di lapangan sesuai jadwal dan standard mutu
Tabel 7. Rekomendasi pemupukan pada TBM dan TM (umur 3 – 5 tahun)
Umur (bulan) N.P.K.Mg
15-15-15 Urea R.p TSP KCl Dolomite Kieserite Borax
Kacangan (LCC) 10 gr/stek (7 kg/ha) Tanaman Baru (N0)
Lubang Tanam 500
1 200
3 300 10
Total 300 200 500 10
Tanaman Belum Menghasilkan / TBM (N1)
6 300(3) 450 20
9 1000 30
12 400(3) 50
13
15 1500 50
Total 2500 700 450 150
Tanaman Belum Menghasilkan / TBM (N2)
18 500 500 75
21 1000 1250
24 1000 500 1500 700 100
Total 2500 1000 2750 700 175
Tanaman Menghasilkan / TM (N3)
Apli. I 1300 2000 1500 700 100
Apli. II 1500 1500 100
Total 2800 2000 3000 700 200
Tanaman Menghasilkan / TM (N4)
Apli. I 1500 2000 1500 750 100
Apli. II 1250 1500
Total 2750 2000 3000 750 100
Tanaman Menghasilkan / TM (N5)
Apli. I 1500 1250 1500 1250 100
Apli. II 1250 1500
Total 2750 1250 3000 1250 100
Sumber : Socfin Indonesia, 2015
Pemupukan di Tanaman Menghasilkan:
Menentukan jenis pupuk, dosis, cara dan waktu aplikasi pupuk sebagai
pedoman pada Booklet Pemupukan, kebutuhan alat transport serta
kebutuhan tenaga kerja pemupukan.
Dosis pupuk/pohon ditentukan berdasarkan hasil analisa sampel daun
Pada blok-blok dengan kondisi tanah marginal, seperti: berpasir, berbatu
atau yang memiliki kadar liat tinggi diberikan pupuk organik berupa
janjang kosong dan solid ex decanter pabrik (solid). Pada tahun pertama,
aplikasi janjang kosong dengan dosis 45 Ton.Ha-1, dan pada tahun kedua
diaplikasi solid dengan dosis 45 Ton.Ha-1.
Pada TM kelapa sawit Generasi 3 dan Generasi 4 agar diaplikasikan