• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun Kota Medan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak

2.1.1 Pengertian Anak

Menurut peraturan Perundang-Undangan tentang perlindungan dan

Kesejahteraan Anak dalam BAB I bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi Hak Anak (KHA)

mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umumnya belum

mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang

berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan sosial.

Sedangkan menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seorang yang berusia 15 Tahun kebawah. Sebaliknya,

dalam Convention on the right child tahun 1989, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui keppres Nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah

mereka yang berusia 18 tahun kebawah (Huraerah, 2006:19)

Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan

anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ini merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah

dan Negara yang dirumuskan kedalam pengertian bahwa usaha mensejahterakan

anak didahulukan dari kebijaksanaan kesejahteraan masyarakat lain. Pengertian anak

menurut UUD 1945 memiliki makna bahwa hak-hak yang harus diperoleh anak dari

masyarakat bangsa dan Negara harus diperioritaskan karena

kepentingan-kepentingan pembangunan bangsa dan Negara harus mendasarkan anak sebagai

sumber aspirasi untuk lahirnya generasi-generasi baru pewaris bangsa yang besar

(2)

Indonesia. Kedudukan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengandung ke khususan bahwa

pengelompkan anak-anak yang terkategori sebagai anak terlantar dan kemudian

dijadikan objek pembagunan, pembinaan, pemeliharaan, dengan tujuan anak-anak

Indonesia akan dapat menjalani kehidupan layak yang penuh dengan kesejahteraan

(Wadong,2000:18).

2.1.2 Hak dan Kewajiban Anak

Dalam UUD RI No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hak Anak

adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi

oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Dalam hak asasi

tersebut disebutkan tetang berbagai hal antara lain:

Hak Anak yaitu:

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan

orang tua atau wali.

4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena sebab orang tuanya tidak dapat

menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka

anak tersebut berhak diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai dengan

(3)

5. Setiap anak berhak memproleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

6. Setiap anak berhak memproleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat

dan bakat.

7. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan disuatu pendidikan dari

kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga

kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

8. Anak penyandang disabilitas berhak memproleh pendidikan luar biasa dan

anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan

kepatutan.

10.Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan sesuai dengan

minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

11.Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana

pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak medapat perlindungan

dari perlakuan:

a. Diskriminasi

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

c. Penelantaran

d. Ketidak adilan

(4)

f. Perlakuan salah lainnya

12.Setiap anak penyandang disabilitas berhak memproleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial

13.Setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan

dan atau aturan hukum yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam

hal ini anak tetap berhak:

a. Bertemu langsung dan berhungan pribadi secara tetap dengan

kedua orang tuanya.

b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan

perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang

tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tua

d. Memproleh hak anak lainnya

14.Setiap anak berhak memproleh perlindungan dari

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

d. Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

e. Pelibatan dalam perperangan

f. Kejahatan seksual.

15.Setiap anak berhak memproleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(5)

17.Pengakuan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apa

bila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.

18.Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak untuk:

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatanya

dipisahkan dari orang dewasa.

b. Memproleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

c. Membela diri dan memproleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk

umum.

19.Setiap anak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

20.Setiap anak menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan

bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Kewajiban Anak yaitu:

1. Menghormati orang tua, wali dan guru

2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman

3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara

4. Menunaikan ibadah sesuai ajaran agamanya.

2.1.3 Perlindungan Hukum Anak

Anak sebagai manusia dan sebagai warga Negara pada hakekatnya harus

memiliki perlindungan hukum yang dapat menjamin kehidupan mereka, dalam pasal

(6)

“penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di

Indonesia”. Negara memberikan perlindungan kepada anak jalanan yang tertuang

dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu

”fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Kemudian pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 dinyatakan bahwa:

a. Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.

b. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan

wajib membiayainya.

c. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta

akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur

dengan undang-undang.

d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua

puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari

anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggara pendidikan nasioal.

e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Perlindungan hukum juga tertuang dalam Undang-Undang perlindungan anak

yaitu:

a. Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, Orang tua berkewajiban

dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak

(7)

b. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan

anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam

penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25)

c. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan

anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga (pasal 55).

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi hak-hak anak agar tetap hidup, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2.1.4 Kesejahteraan Anak

Terdapat berbagai penjelasan mengenai kesejahteraan anak, menurut Paulus

Hadisuprapto, 1996 (dalam Windari 2010:35), kesejateraan anak merupakan

orientasi utama dari perlindungan hukum secara umum, kesejahteraan anak tersebut

adalah suatu tata kehidupan dan pengidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan

dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Berdasarkan prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak

setiap anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak, baik anak dalam

kedaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas

yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan

tersebut (Windari, 2010:36)

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita

perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan

nasional. Disebutkan dalam pasal 34 ayat (1) Undang-undang 1945 bahwa fakir

(8)

sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung

jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat diartikan

bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara

rohani, jasmani, maupun sosial. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang

dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan

jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari

gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri.

Kesejahteraan anak menurut ketentuan pasal 1 butir 1 Undang-Undang

Nomor 4 tahun 1979 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat

menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,

jasmani maupun sosial. Dari definisi-definisi tentang kesejahteraan anak tersebut

dapat ditarik pengertian bahwa kesejahteraan anak merupakan hak asasi bagi

masing-masing anak dan pengadaan kesejahteraan anak merupakan kewajiban setiap anggota

masyarakat dan Negara.

2.1.5 Pelayanan Sosial Kesejahteraan Bagi Anak

Model kesejahteraan sosial bagi anak secara umum meliputi tiga bagian:

mikro, messo, dan makro, pada model pelayanan mikro anak dijadikan sasaran utama pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisikis segera diberikan

pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam

keadaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga dan lingkungan

(9)

Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada mikro, messo, dan makro, dapat berbentuk pelayanan kelembagaan dimana anak mengalami masalah ditempatkan

dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial

diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non

kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas

dimana anak menetap.

Belakangan ini sangat popular sistem pelayanan semi panti yang lebih

terbuka dan tidak kaku. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan,

pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah, seperti: rumah terbuka

untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan, rumah keluarga

pengganti, atau tempat anak mengembangkan sub kultur tertentu. Selain itu, untuk

anak jalanan dan pekerja anak terdapat sistem pelayanan yang dikenal dengan nama

locational based service. Pekerja sosial mendatangi pabrik atau lokasi dimana anak berada dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai media dan sarana

pertolongannya. Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak,

yaitu:

1. Child Based Service

Strategi ini menepatkan anak sebagai basis penerimaan pelayanan.

Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisikis perlu segera

diberikan pertolongan bersifat, baik perawatan medis, konseling, atau

dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang

mengencam kehidupannya.

2. Institusional Based Service

Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti.

(10)

pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan

keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.

3. Family Based Services.

Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan

ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar

memiliki kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam

menumbuh kembangkan anak, sehingga mampu memecahkan

masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan

dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat

secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak.

4. Community Based Service.

Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penaganan ini

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab

masyarakat agar ikut aktif dalam menagani permasalah anak. Para

pekerja sosial datang secara priodik ke masyarakat untuk merancang

dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan

dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta

peneyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.

5. Location Based Services.

Pelayanan yang diberikan dilokasi anak mengalami masalah. Strategi

ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja

dijalanan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik

atau tempat-tempat diamana anak berada, dan memanfaatkan sarana

(11)

anak jalanan dan anak yang bekerja di jalanan, strategi ini sering

disebut street based service (pelayanan berbasiskan jalanan). 6. Half Way House Services.

Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan

tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka

untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak

dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak

yang mengembangkan struktur tertentu. Para pekerja sosial

menetukan program kegaiatan, pendampingan, dan berbagai

pelayanan dalam rumah singgah.

7. State Based Services.

Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung

(macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha

kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan

sosial dan perangkat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk

program dalam strategi ini.

2.2 Anak Jalanan

2.2.1 Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan atau sering disingkat dengan Anjal adalah sebuah istilah umum

yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan, namun

masih memiliki hubugan dengan keluarganya.

(12)

Banyak terdapat penjelelasan yang menjelaskan mengenai pengertian anak

jalanan, istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau

Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan yang

umunya sudah tidak memiliki hubungan dengan keluarganya (PKPA, 2011:4).

Dalam mendefinisikan anak jalanan UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu: Street child are those who have abandoned their homes, school and a nomadic street life, yang artinya banyak anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah

dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang

berpindah-pindah dijalan raya. Sedangkan pengertian yang dirumuskan dalam Lokakarya

Kemiskinan dan Anak Jalanan yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial pada

tanggal 25 dan 26 oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan

sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan dan

tempat-tempat umum lainnya. Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Ferry Johanes

pada seminar tentang pemberdayaan anak jalanan di STKS Bandung pada oktober

1996 yang menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan

waktunya dijalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak

yang mempunyai hubungan keluarga ataupun putus hubungannya degan keluarga,

dan anak mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua/keluarga (Huraerah,

2006:80).

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

bekerja sama dengan Balitbangsos Departemen Sosial RI, mendeskripsikan anak

jalanan sebagai anak yang sebagian besar waktunya berada dijalanan atau

ditempat-tempat umum yang memiliki ciri-ciri yakni berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,

(13)

kusam dan tidak terurus, serta mobilitasnya tinggi.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anak jalanan adalah anak yang

menghabiskan sebagian waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas

lain. Anak jalanan tinggal dijalanan karena dicampakkan atau tercampak dari

keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran

keluarganya.

Dalam buku “intervensi Psikososial”, anak jalana adalah anak yang sebagian

besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan atau

tempat-tempat umum lainnya. Definisi tersebut memberikan empat faktor penting

yang saling terkait, yaitu:

a. Anak-anak

b. Menghabiskan sebagian waktunya

c. Mencari nafkah atau berkeliaran

d. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya (Astuti, 2004:15)

2.2.2 Kategori Anak Jalanan

Terdapat berbagai penjelasan yang menjelaskan mengenai kategori anak

jalanan. Himpunan Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota (HIMMATA).

Mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan

anak jalanan murni. Anak semi jalanan di istilahkan untuk anak-anak yang hidup dan

mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan denga keluarga.

Sedangkan anak jalanan murni distilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mejalani

(14)

Dalam (PKPA, 2011:5). Pada mulanya terdapat dua kategori anak jalanan,

yaitu children on the street dan children of the street. Namun pada perkembangannya ada penambahan kartegori, yaitu children from families of the street.

1. Children on the steet (Anak Jalanan yang bekerja dijalanan) yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak dijalanan, namun

masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Fungsi

anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat ekonomi

keluarganya karena beban atau kemiskinan yang mesti di tanggung tidak

dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tua.

2. Children of the street (Anak Jalanan yang hidup dijalanan) yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan baik secara sosial maupun ekonomi.

Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya,

tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka

adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada kategori ini sangat rawan

terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik ataupun seksual.

3. Children from families of the street yaitu anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah

pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih

dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dapat dengan mudah ditemukan

seperti di kolong jembatan, rumah liar disepanjang rel kereta api dan

sebagainya, walau secara kuantitatif belum diketahui berapa jumlahnya

(Bagong,1999:41-42)

Kemudian, Yayasan Anak Kesejahteraan Indonesia 1999 (dalam Siregar,

(15)

1. Anak-anak yang tidak lagi berhubungan denan orang tua (children of the street) mereka ini telah mempergunakan fasilitas jalanan sebagai ruang lingkupnya. Hubungan dengan keluarga telah terputus. Kelompok ini

disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami

kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya

mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan anak jalanan dan solidaritas

sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.

2. Anak-anak yang berhungan tidak teratur dengan orang tuanya. Mereka adalah

anak yang bekerja di jalanan (chidrenon the street). Mereka sering kali di identifikasikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur pada

orang tuanya dikampung. Pada umunya mereka bekerja dari pagi sampai sore

hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung,

dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka dilingkungan kumuh bersama

dengan saudara atau teman-teman senasib.

3. Anak-anak yang berhubungan langsung dengan orang tua. Mereka tinggal

dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan karena ajakan dari teman,

belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh oleh orang tua. Aktifitas

mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.

4. Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada dijalanan

untuk mencari kerja. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang lulus

SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua

maupun saudara) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir

sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,

(16)

Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Lembaga

Pengkajian Sosial (YLPS) HUMANA tahun 2004, mengenai anak jalanan di

Indonesia, pengkategorian anak jalanan juga didasari oleh interaksi anak di ruang

publik perkotaan, sebagai tempat hidup atau sekedar untuk bekerja (kegiatan

produktif). Interaksi anak diruang publik perkotaan ada yang dilakukan sendiri juga

ada yang dilakukan bersama keluarga.

Anak yang memperlakukan ruang publik sebagai tempat hidup melahirkan

kategori sebagai berikut:

a. Anak dalam keluarga gelandangan.

b. Anak yang hidup sendiri di jalanan

Sementara, mereka yang menganggap jalanan hanya sekedar tempat mencari

uang melahirkan kategori:

a. Anak jalanan pulang berkala

b. Anak jalanan pulang setiap hari atau anak kerja dijalanan (YLPS HUMANA,

2004:11-12).

2.2.3 Kriteria Anak Jalanan

Berdasarkan data yang dihasilkan melalui survei oleh berbagai lembaga anak

diperoleh bahwa anak jalanan memiliki kreteria sebagai berikut:

1. Usia berkisar antara 6-18 tahun.

2. Intensitas hubungan dengan keluarga.

a. Masih berhubungan maksimal sekali seminggu.

b. Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga.

3. Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam sehari.

4. Tempat tinggal.

(17)

b. Tinggal berkelompok dengan teman-temanya.

c. Tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.

5. Tempat anak jalanan sering dijumpai.

a. Pasar.

b. Terminal bus/angkot.

c. Stasiun kereta api.

d. Taman-taman kota.

e. Perempatan jalan atau dijalan raya.

f. Pusat pembelanjaan atau mall.

g. Kendaraan umum (ngamen).

h. Tempat pembuangan sampah.

6. Aktifitas anak jalanan:

a. Menyemir sepatu.

b. Mengasong.

c. Menjadi calo secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari.

d. Menjajakan majalah/Koran.

e. Mengelap mobil.

f. Mencuci kendaraan.

g. Menjadi pemulung.

h. Menjadi kuli angkot.

i. Menyewakan payung.

j. Mengamen.

(18)

7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan.

a. Modal sendiri.

b. Modal kelompok.

c. Modal majikan/patron.

d. Simulasi/bantuan.

8. Permasalahan anak jalanan:

a. Korban eksploitasi pekerjaan dan seks.

b. Rawan kecelakaan lalu lintas.

c. Ditangkap petugas.

d. Konflik dengan anak lain.

e. Terlibat tindakan kriminal.

f. Ditolak masyarakat dilingkungannya.

9. Kebutuhan anak jalanan:

a. Aman dalam keluarga.

b. Bantuan usaha.

c. Pendidikan bimbingan keluarga.

d. Gizi dan kesehatan.

e. Hubungan harmonis dengan orang tua, keluarga dan masyarakat

(Nurdin:1989)

Untuk mempermudah pemahaman atas konsep anak jalanan, berikut tabel

(19)

Tabel 2.1

Karakteristik Anak Jalanan Faktor

Pembeda

Hidup Dijalanan Bekerja Dijalanan Rentan Menjadi

Putus Hubungan Tidak tertur pulang

ke rumah

Masih tinggal

bersama orang

tua

Tempat Tinggal Di jalanan Mengontrak

(bersama-sama)

Bersama

keluaga

Pendidikan Tidak Sekolah Tidak sekolah Masih sekolah

2.2.4 Faktor Penybab Anak Menjadi Anak Jalanan

Terdapat berbagai faktor penyebab anak menjadi anak jalanan, seperti

tekanan kemiskinan yang mengharuskan anak-anak mereka turun kejalanan. Anak

anak menyadari kondisi keluarga dalam keadaan miskin, mendapatkan kekerasan

dari orang tua, maupun faktor lingkungan sosial si anak, seperti ajakan atau

mengikuti teman sebayanya. Kondisi tersebut mendorong munculnya fenomena anak

jalanan dilingkunga perkotaan (YLPS Humana, 2006:14).

Lubis dkk, 2006: 47 kemudian menjelaskan beberapa faktor berpengaruh

(20)

1. Faktor Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak ke

jalanan. Hal tersebut terjadi karena adanya keluarga anak jalanan yang merasa tidak

mampu memberikan hak dasar untuk tumbuh kembang anak. Alasan –alasan tersebut

antara lain.

a. Jumlah anggota beban keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan

pendapatan orang tua.

b. Ketidak mampuan keluarga mengelola keuangan untuk melihat prioritas

pengeluaran rumah tangga.

c. Urbanisasi, yaitu kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga

bermasalah, baik masalah ekonomi, sosial dan pedidikan rendah membuat

sebagian anak-anak mereka terjun kejalanan.

2. Faktor Sosial

Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi anak turun kejalana antara lain:

a. Adanya pembiaran dari orang tua terhadap anak yang meninggalkan

sekolah dan menikmati kehidupan jalanan. Orang tua berfikir pragmatis ,

ketika anak mampu mecari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

maka hal tersebut dirasa sangat menguntungkan, apalagi anak bisa

memberikan setoran kepada orang tua maka pujianpun akan diberikan.

b. Anak-anak sejak usia dini telah diperkenalkan dengan kehidupan jalanan,

kondisi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan fisik, psikologis

dan prilaku anak.

c. Anak tidak menemukan tempat yang menyenangkan untuk bermain,

(21)

dengan kehidupan keluarga dan sekolah yang tidak mejawab kepentingan

dan kebutuhan anak.

d. Anak-anak tidak mendapat perhatian, kasih sayang dan perlindungan dari

tindak eksploitasi serta kekerasan didalam rumah tangga. Kemudian anak

memilih jalan pintas lari dari rumah meski tanpa tempat tujuan yang pasti

(PKPA, 2011:26).

Selanjutnya oleh Sri Sanituti (1999:5), mengelompokan menjadi empat

penyebab pokok menjadi anak jalanan:

1. Kesulitan ekonomi keluarga yang menepatkan seorang anak harus membantu

keluarganya mencari uang dengan kegiatan-kegiatan dijalan

2. Ketidak harmonisan rumah tangga atau keluarga, baik hubungan antara bapak

dan ibu, maupun orang tua dan anak.

3. Suasana lingkungan yang kurang mendukung untuk anak-anak menikmati

kehidupan masa kanak-kanaknya termasuk suasana perselingkungan yang

kadang-kadang dianggap mereka sangat menonton dan membelenggu

kehidupanya.

4. Rayuan kenikmatan kebebasan mengatur hidup sendiri dan menikmati

kehidupan lainnya yang diharapkan diperoleh sebagai anak jalanan.

Selain faktor ekonomi, juga banyak penyebab turunya anak ke jalan

meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti: kemiskinan, pengangguran,

perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat dari

memburuknya kondisi ekonomi dan kondisi politik di Indonesia membuat keluarga

tidak memiliki lagi keberdayaan dalam melindungi anggota keluarganya. Hal ini

diperkuat lagi dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang kurang

(22)

masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah

atau rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan”.

Pada awal kajian tentang anak jalanan, persoalan kemiskinan ekonomi

keluarga sering disebut sebagai penyebab utama munculnya anak jalanan.

Belakangan statmen ini mulai diperdebatkan, karena tidak semua keluarga miskin

menghasilkan anak jalanan. Kemiskinan kemudian dipandang salah satu faktor

beresiko yang memunculkan anak jalanan tapi bukan satu satunya. Ada variabel lain

yang saling merajut, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perpecahan dalam

rumah tangga, atau pengaruh lingkungan (YLPS HUMANA, 2004:14)

Hubungan kemiskinan dengan faktor-faktor lain yang membuat anak-anak

beresiko turun kejalan dapat dijelaskan sebagai berikut: tekanan ekonomi akibat

kemiskinan membuat orang tua mengharuskan anak-anak mereka turut menanggung

beban keluarga. Atau, anak-anak yang menyadari kondisi sosial Keluarganya miskin,

kemudian ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara berkerja, baik

dijalanan maupun ditempat lainnya. Ada pula anak-anak dari keluarga miskin

tersebut yang turun kejalan setelah mendapat kekerasan dari orang tua atau karena

masalah lain seperti perceraian orang tua. Selain itu, faktor-faktor yang membuat

anak beresiko menjadi anak jalanan antara lain: faktor-faktor keluarga dan faktor

lingkungan yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor Keluarga.

Keluarga adalah faktor primer yang paling penting dalam masyarakat. Keluarga

merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita,

perhubungan dimana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan

(23)

kesatuan sosial yang terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum dewasa

(Hartono dan Aziz,2008:79).Dalam faktor keluarga dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Persoalan ekonomi keluarga.

Kondisi ekonomi keluarga yang miskin sering kali dipahami sebagai faktor

utama yang memaksa anak turun ke jalan. Akibat kemiskinan atau faktor

ekonomi tersebut, anak terpaksa mencari nafkah untuk membantu memenuhi

kebutuhan hidup keluarganya atau untuk kebutuhan pribadinya, sehingga banyak

anak yang putus sekolah dan turun kejalan untuk bekerja sebagai pengamen,

pengemis dan lain-lain.

b. Kekerasan dalam Keluarga.

Kekerasan dalam keluarga adalah salah satu faktor yang mendorong anak lari

dari rumah dan pergi ke jalan. Tindak kekerasan yang dilakukan anggota

keluarga terhadap anak memang dapat terjadi disemua lapisan sosial masyarakat.

Namun, pada lapisan bawah, kemungkinan terjadinya kekerasan lebih besar

dengan tipe yang lebih beragam.

Kekerasan terhadap anak dapat terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini bisa

terjadi ketika sebuah keluarga bisa mengalami berbagai masalah akibat beban

ekonomi yang tidak tertahankan. Sebagian atau seluruh masalah keluarga itu

kemudian terpaksa dibebankan pada anak-anak mereka. Bentuk pelimpahan

beban itu bukan saja memaksa anak bekerja, tetapi bisa juga menjadikan anak

sebagai sasaran kekesalan terhadap keadaan. Ketika si anak sudah menjadi

sasaran kekesalan, maka tindak kekerasan sangat mungkin akan dilakukan orang

tua terhadap anak-anak mereka.

Menurut Gunarsa (dalam Zulfadi, 2004:8), keluarga sebagai landasan bagi

(24)

1. Didalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak

akan memproleh latihan-latihan dasar dalam mengemban sikap sosial

yang baik dan kebiasaan berprilaku. Misalnya anak belajar melakukan

tugas-tugas tertentu dan mengikuti tata cara keluarganya, belajar disiplin

diri dan disiplin waktu agar kelak kebiasaan disiplin terbentuk dan

memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial dengan

teman-teman, serta mendukung kelancaran perkembangan kongkrit dan prestasi.

2. Didalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga

membentuk pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan

interksi yang lebih luas. Anak akan belajar dari latihan-latihan dasar

mengembangkan sikap-sikap sosial yang baik. Kebiasaan-kebiasaan

bertingkah laku yang memudahkan terbentuknya prilaku tanpa

keragu-raguan, tanpa pertarungan motif dan konflik yang terlalu lama.

3. Didalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan

memproleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang

diharapkan. Dalam keluarga anak juga bisa belajar mengenai kewibawaan

dan sikap otoriter dari yang lebih tua, anak belajar memematuhi peraturan

tata cara keluarga.

4. Didalam keluarga anak akan mengalami peristiwa yang menyenangkan,

menyedihkan, penolakan, belas kasih dan frustasi. Keluarga sangat

penting bagi pemebentukan pribadi anak. Suasana keluarga

mempengaruhi perkembangan emosi, respon, kepercayaan anak, remaja,

(25)

Menurut BKKBN (2011), terdapat fungsi-fungsi yang seharusnya berjalan

didalam kehidupan keluarga. Fungsi yang dimaksud tersebut dikenal sebagai

“Delapan Fungsi Keluarga”, yaitu:

1. Fungsi Agama.

Fugsi Agama yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana

pembinaan kehidupan ber agama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuahan

Yang Maha Esa. Setiap langkah yang dialakukan oleh setiap anggota

keluarga hendaknya selalu berpijak pada tuntunan agama yang dianutnya.

Dalam penerapan fungsi agama, yang tidak boleh diabaikan salah satunya

dalah toleransi ber-agama, mengingat kita hidup dinegara yang terdiri dari

berbagai suku bangsa dan mempunyai kepercayaan dan agama sangat

beragam.

2. Fungsi Sosial Budaya.

Fungsi Sosial Budaya mempunyai makna bahwa keluarga adalah

menjadi wahana pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur budaya yang

selama ini menjadi panutan dalam tata kehidupan mereka. Sehingga nilai

luhur yang selama ini sudah menjadi panutan dalam kehidupan bangsa tetap

dapat dipertahankan dan dipelihara.

3. Fungsi Cinta Kasih

Fungsi Cinta Kasih mempunyai makna bahwa keluarga harus menjadi

tempat untuk meciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan

keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan

berkeluarga cinta kasih dan sayang antara anggota keluarga akan dapat

menumbuhkan rasa bertanggung jawab yang besar terhadap keharmoisan

(26)

komitmen yang telah dibuat bersama, demikian juga dalam kehidupan

bermasyarakat, dengan fungsi ini akan menumbuhkan keharmonisan dalam

bertetangga dan bermasyarakat.

4. Fungsi Perlindungan

Fungsi Perlindungan mempunyai makna bahwa keluaraga itu

merupakan wahana terciptanya suasana aman, nyaman, damai dan adil bagi

seluruh anggota keluarganya. Sehingga setiap anggota keluarga akan selalu

merasa bahwa tempat yang paling baik dan pantas adalah didalam lingkungan

keluarganya sendiri, dan ini tentu sangat membantu dalam menghadapi segala

tantangan yang muncul dalam kehidupannya.

5. Fungsi Reproduksi.

Fungsi Reproduksi yang mempunyai makna bahwa didalam keluarga

tempat diterapkannya cara hidup sehat, khusunya dalam kehidupan

reproduksi. Diharapkan setiap anggota keluarga harus memahami cara hidup

sehat dan mengerti tentang kesehatan reproduksinya. Oleh sebab itu

pemahaman dan pengetahuan tentang alat kontasepsi, alat kontasepsi

rasional, pengetahuan lain tentang penyiapan kehidupan berkeluarga bagi

remaja, tentang ketahanan keluarga melalui pembianaan tertentu yang wajib

harus dimiliki.

6. Fungsi Pendidikan.

Fungsi Pendidikan yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah

wahana terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi anak-anaknya.

Pendidikan dalam keluarga ini sebetulnya adalah pendidikan inti yang

(27)

diperoleh dari sekolah maupun dari lingkungan sebetulnya hanya merupakan

sebagian dari pendidikan yang diperlukan.

7. Fungsi Ekonomi.

Fungsi Ekonomi yang mempunyai makna, bahwa keluarga tempat

pembinaan kualitas kehidupan ekonomi, dan kesejahteraan keluarga. Setiap

anggota keluarga punya kewajiban yang sama untuk melakukan kegiatan

yang akan menambah kesejahteraan keluarga. Ini mempunyai makna bahwa

seluruh anggota keluarga dapat bersikap ekonomis, realistis dan mau

berjuang untuk peningkatan kesejahteraan keluarga.

8. Fungsi Lingkungan.

Fungsi Lingkungan yang mepunyai makna, bahwa keluarga adalah

wahana untuk meciptakan keluarganya yang mampu hidup harmonis dengan

lingkunagn masyarakat sekitar dan alam, dalam bentuk keharmonisan antar

anggota keluarga, keharmonisan dengan tetangga serta keharmonisan

terhadap alam sekitarnya

11:44 WIB.

2. Faktor Lingkungan.

13 Maret 2016).

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor pendorong anak turun ke

jalan. Adakalanya sebelum terpengaruh oleh faktor lingkungan, seorang anak

memang berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga faktor lingkungan, seperti

diajak teman atau bermasalah disekolah, menjadi penguat alasan anak turun ke

jalanan. Namun demikian, banyak ditemukan kasus anak jalanan yang bukan berasal

(28)

justru terpengaruh oleh lingkungan sehingga anak mejadi anak jalanan. Hal tersebut

terakhir ini umunya identik dengan soal gaya hidup dan kehendak si anak sendiri

untuk mencari kebebasan (YLPS HUMANA, 2004:14).

Selajudnya menurut Surjana (dalam siregar, dkk., 2006:26) menyebutkan

bahwa faktor penyebab anak yang turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan,

1. Tingkat Mikro (immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasi dari anak adalah

lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua

yang terbiasa dengan mengunakan kekerasan, seperti sering menampar,

memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui

batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari rumah dan

hidup di jalanan), disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau

disuruh putus sekolah, dalam rangka berpetualang, bermain-main atau

diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah terlantar,

ketidak mampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, salah

perawatan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child

abuse) kesulitan berhubungan dengn keluarga karena terpisah dari orang

tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul dari anak maupun dari

keluarga ini selain terkait satu sama lain.

2. Tingkat Messo (underlying cause), yaitu anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor di masyarakat seperti kebiasaan mengajarkan untuk

bekerja sehingga sautu saat menjadi keharusan kemudian meninggalkan

sekolah. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi ialah pada komunitas

(29)

meningkatkan ekonomi keluarga. Menurut Suparlan, 1993 (dalam

Pramuchtia, 2008:11), sekali kebudayaan kemiskinan tersebut tumbuh, ia

cenderung melenggangkan dirinya dari generasi ke generasi melalui

pengaruhnya terhadap anak-anak. Ketika anak-anak berada dibawah

Sebelum berumur enam, atau tujuh tahun, mereka biasanya menyerap

nilai-nilai dasar dan sikap-sikap dari sub-kebudayaan mereka dan secara

kejiwaan anak sanggup memanfaatkan kondisi-kondisi perubahan dan

memberikan kesempatan-kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup

mereka. Hal ini terlihat dari penelitian Handoyo dkk, 2004 (dalam

Pramuchtia, 2008:11), bahwa anak jalanan yang turun kejalan pada usia

dini (3 sampai 10 tahun) adalah mereka yang mengikuti aktivitas orang

mencari nafkah.

3. Tingkat Makro (basic cause), memberikan penjelaskan seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal

dan keahlian besar, urbanisasi, biaya pendidikan yang tinggi, dan belum

adanya kesamaan presepsi intansi pemerintah terhadap anak jalanan. Oleh

karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya tidak

memerlukan keahlian besar.

2.2.5 Proses Terjadinya Anak Jalanan

Tjuk Kasturi Sukiadi (dalam Sri Sanituti & Suyanto 1999: 10) diungkapkan,

bahwa proses terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa tahapan:

Tahap I : Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan

Ada kebiasaan semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan.

(30)

disepakati bersama. Diperjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan sedang

bekerja. Sampai disini masih sebatas melihat dan sebagai pengetahuan mereka,

bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan anak

seusia mereka. Pada tahap ini masih tergantung pada masing-masing anak, seberapa

besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Namun dalam tahap ini

tidak membuat anak langsung turun ke jalan, melainkan bergantung pada stimulus

berikutnya (ada fasilitas)

Tahap II : Ketertarikan Sampai Keinginan

Dalam tahap ini merupakan tahap ketertarikan yang telah mendapat

“fasilitas” atau faktor pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan

hubungan orang tua. Fasilitas tersebut, akan semakin memperkuat keinginan anak

untuk terjun ke jalan.

Tahap III : Pelaksanaan

Si anak mulai melaksanakan niatan dengan mendatangi tempat operasi. Bila

disini mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera

terealisasi meski agak malu-malu.

Tahap IV : Mulai Memasuki Kehidupan Anak Jalanan.

Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan.

Namun demikian hal ini juga tergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang

membawanya. Bila dalam perkembangan si anak merasa bahwa mencari nafkah

dijalanan semakin sulit, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bertahan

dengan tetap memegang norma kemasyarakatan atau keluar dari komunitas jalanan.

Kemungkinan kedua, bila menerima stimulus baik dari kawan maupun pihak lain

untuk berbuat negatif, maka sianak sudah masuk dalam kategori anak jalanan bebas

(31)

kecenderungan prilaku menyimpang terjadi seperti, judi, seks bebas, atau tindakan

kriminal lainnya.

2.2.6 Resiko Anak Jalanan

Menjadi anak jalanan selalu penuh denga resiko. Resiko tersebut ada yang

ditimbulkan oleh relasi anak dengan lingkungan fisik (spasial), relasi anak dengan

lingkungan sosial budaya, atau relasi anak dengan struktur atau aparatur kekuasaan.

Dengan demikian ruang-ruang publik perkotaan dengan segala macam interaksi yang

terjadi didalamnya selalau berpotensi mengencam keselamatan anak-anak yang

banyak menghabiskan waktu didalamnya. Sejauh ini ada beberapa macam resiko

yang dialami anak jalanan. Anatara lain: korban operasi tertib sosial, korban

kekerasan orang dewasa, kehilangan pengasuhan, resiko penyakit, kehilangan

kesemptan pendidikan, eksploitasi seksual dan berkonflik dengan hukum (YPLPS

HUMANA, 2004:24)

Darmansyah (2012), menyebutkan akibat yang ditimbulkan bagi sang anak di

jalanan adalah:

1. Perkembangan dan pembentukan kepribadian anak tidak berjalan dengan baik

karena secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu

belum mempunyai bentukan mental emusional yang kokoh, sementara pada

saat yang sama meraka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras,

sehingga hal ini akan berpengaruh negative terhadap perkembangan dan

perbentukan kepribadian sang anak.

2. Anak-anak jalanan pada umunya menjadi pribadi yang introvert (tidak

(32)

3. Bagi anak jalanan perempuan sering kali mereka dijadika sebagai tempat

pelampiasan kebutuhan seksual preman (lelaki dewasa yang sama –sama

tinggal di jalanan), atau bahkan mereka dijual sebagai pelacur.

4. Menjadi subjek dan objek kriminalitas. Seorang anak jalanan sering kali

dimanfaatkan oleh para preman untuk mencari uang sebanyak-banyaknya

dengan cara yang tidak benar seperti mencuri dan merampas. Dan

kadang-kadang anak jalanan yang tidak patuh dengan orang yang menyuruhnya bisa

menerima perlakuan kriminal seperti dipukul dan dianiaya atau bahkan

diperkosa bagi anak jalanan perempuan.

5. Kehidupan masa depan sang anak tidak terjamin karena tidak dibekali oleh

pengetahuan dan keterampilan yang cukup ketika masih kecil. Bahkan dapat

dikatakan anak-anak jalanan itu tidak mempunyai masa depan. Selamanya

mereka akan berada di jalanan dan akan sulit sekali bagi mereka untuk keluar

dari kehidupan jalanan.

6. Pendidikan formal sang anak tidak maksimal karena mereka mungkin lebih

memilih untuk berada dijalanan dari pada disekolah dengan berbagai alasan.

2.3 Pendekatan Penyelesaian Anak Jalanan

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha mengatasi anak

jalanan diperkotaan dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur yang terkait baik

intansi pemerintah, International Laour Organization (ILO) maupun organisasi masyarkat non pemerintah (NGO) yang fokus dalam upaya pendampingan dan

(33)

Sementara itu Twikromo 1999 (dalam Jauchar, 2008:155), melihat bahwa

setidaknya ada dua pendekatan yang lazim digunakan dalam menaggulangi masalah

anak jalanan yaitu:

1. Penanggulangan Preventif. Biasanya dibawa kesituasi formal, cara

semacam ini cenderung dilaksanakan didalam kelas dengan jumlah

peserta yang cukup besar, seperti situasi formal yang mana bimbingan,

latihan dan pendekatan bisa diselenggarakan secara individual di

jalan-jalan

2. Penaggulangan Represif. Dilakukan secara teroganisir dan intansi

pemerintah untuk mengurangi atau mencegah meluasnya pengaruh

masalah anak jalanan seperti razia. Uapaya penaggulangan secara represif

biasanya dilaksanakan oleh pemerintah kota ketika melihat aktifitas anak

jalanan telah menggangu ketertiban umum/perkotaan.

Menurut Jauchar (2008: 161-163), guna mengatasi permasalahan anak

jalanan, terdapat tiga strategi penanggulangan anak jalanan melalui identifikasi dan

pengembangan kelompok sasaran yang diharapkan mampu mengakomodir berbagai

segmen usia yang ada dalam anak jalanan. Ketiga strategi itu adalah:

1. Pengembangan pendidikan formal/non formal

Pada strategi ini lebih diajukan kepada anak-anak jalanan usia

sekolah (5-9 tahun dan 10-14 tahun) yaitu agar mereka tetap dapat

melanjudkan sekolahnya dan berada dalam lingkungan sekolah dan

keluarga. Dalam startegi ini instansi terkait tidak hanya bekerja sendiri,

akan tetapi juga menjalin kerja sama dengan lemabaga swadaya

masyarakat yang fokus dalam bidang pendampingan dan perlindungan

(34)

2. Pengembangan kemapuan permodalan.

Pada strategi ini terkait dengan kemampuan permodalan yang

ditunjukan pada anak-anak jalanan yang sudah drop out dari sekolah dan

usia sudah tidak memungkinkan untuk melanjudkan sekolah. Melalui

strategi ini anak-anak jalanan diberi pelatiahan keterampilan dan

permodalan baik secara kelompok maupun perorangan. upaya

pengembangan strategi ini dilaksanakan dengan pola kemitraan dengan

lembaga-lembaga terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha

tertentu. Usia anak jalanan yang mendapat program ini terutama bagi

mereka yang berusia 16-19 tahun. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi

bahwa mereka akan segera memasuki masa remaja yang berarti pola pikir

mereka diharapkan dapat berkembang untuk beralih berwirausaha dan

tidak lagi berada di jalanan.

3. Permodalan kelembagaan ekonomi kemasyarakatan.

Pada strategi ketiga ini adalah perkembangan kelembagaan

ekonomi kerakyatan. Anak-anak jalanan yang semula berusaha secara

individu, didorong agar mau berusaha secara berkelompok maupun

perorangan. Pembentukan kelompok maupun jenis usaha yang akan

dilaksanakan hendaknya mucul dari aspirasi mereka sendiri. Peran

institusi pemerintah maupun lembaga-lembaga pemberdayaan

dilaksanakan terbatas pada upaya pendampingan dan monitoring saja. Hal

ini dimaksudkan untuk tidak memberikan penekanan kepada anak

bimbingan sehingga keterlibatan mereka dalam kelompok murni karena

kesan visi dan misi dengan terjalin suasana kondusif dan melaksanakn

(35)

2.4 Kerangka Pemikiran

banyak orang yang mengira bahwa faktor utama yang menybabkan anak yang

turun ke jalan untuk bekerja dan hidup dijalanan adalah karena faktor kemiskinan.

Namun data dari literatur yang ada menunjukan bahwa kemiskinan bukanlah

satu-satunya faktor penyebab anak turuk ke jalan. Kemiskinan kemudian dipandang salah

satu faktor beresiko yang memunculkan anak jalanan tapi bukan satu satunya. Ada

variabel lain yang saling merajut, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perpecahan

dalam rumah tangga, atau pengaruh lingkungan Berikut adalah ada tiga tingkatan

penyebab keberadaan anak dijalanan.

A. Tingkat mikro memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh

1. anak itu sendiri, yaitu seperti lari dari rumah (sebagai contoh anak yang

selalu hidup dengan orang tua yang terbiasa dengan menggunakan

kekerasan, seperti sering menampar, memukul menganiaya karena

kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak

cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh

bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah,

berpetualang, atau bermain-main.

2. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah penelantaran, ketidak

mampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari

orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse), serta kesulitan berhubungan dengan keluarga karena berpisah dari orang tua.

Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun

(36)

B. Tingkat messo memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor masyarakat (lingkungan sosial), sebagai contoh: Pada

masyarakat miskin, anak-anak adala aset untuk membantu peningkatan keluarga.

Anak-anak diajarkan bekerja yang berakibatkan drop out dari sekolah. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan

itu. Serta Penolakan Masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.

C. Tingkat yang terakhir, yaitu tingkat makro memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh

1. peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan

modal dan keahlian mereka harus lama dijalanan dan minggalkan bangku

sekolah

2. biaya pendidikan yang tinggi dan prilaku guru yang diskriminatif, dan

ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.

4. belum beragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan sebagai

kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan

pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau

pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan).

Oleh karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya

(37)

Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, peneliti membuat bagan yang

menggunakan kerangka pemikiran tersebut sebagai berikut.

Bagan Alur Pikir

Anak

Faktor penyebab

Tingkat Mikro :

1. Anak

2. Keluarga

Tingkat Meso :

1. Lingkungan

Sosial

Tingkat Makro :

1. Peluang pekerjaan

2. Pendidikan, dan

3. Pemerintah

(38)

2.5 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya

menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang dikaji. Setidaknya ada dua sifat

konsep dalam ilmu-ilmu sosial. Konsep itu sangat luas cakupanya. Akibatnya, kajian

akan konsep itu dapat dilakukan secara multi demensi atau dapat dikaji dari berbagai

aspek (Siagian, 2011:136).

Jika dikaitkan dengan realitas sosial, maka konsep-konsep yang ada dalam

ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu:

1. Konsep-konsep yang secara eksplisit menunjukkan hubungannya dengan

realitas sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

2. Konsep-konsep yang menunjukkan hubunganya secara implisit dengan

realitas sosial. Dengan demikian sifat hubungan itu kabur dan abstrak.

Bahkan tidak mudah mengetahui hubungan konsep-konsep tersebut dengan

fenomena sosial yang diwakili dan dideskripsikan.

Agar menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan

objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna

konsep-konsep yang akan diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan

makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara

sederhana definisi konsep disini diartikan sebagai batasan arti.

Hal ini menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas

konsep yang diteliti, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai

berikut

a. Faktor adalah sesuatu yang mempengaruhi suatu hal tertentu.

b. Faktor penyebab dalam penelitian ini adalah sesuatu yang lebih

(39)

c. Anak jalanan adalah anak yang berusia 6-18 tahun yang menghabiskan

seluruh ataupun sebagian besar waktunya di jalanan untuk bermain

maupun bekerja, yang tinggal bersama orang tuanya ataupun yang tinggal

terpisah dari orang tuanya.

d. Faktor-faktor menjadi anak jalanan adalah sesuatu hal yang

mempengaruhi seseorang anak dengan umur 6-18 tahun dalam

mengahabiskan seluruh ataupun sebagian besar waktunya di jalanan

untuk bermain ataupun bekerja, yang tinggal bersama ataupun terpisah

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Anak Jalanan

Referensi

Dokumen terkait

Di kota Bukittinggi pada bulan Agustus 2014 6 (enam) kelompok pengeluaran memberikan andil/sumbangan inflasi antara lain: kelompok bahan makanan sebesar 0,78

Meningkatnya nilai It diakibatkan oleh menaiknya nilai It pada empat subsektor, yaitu Subsektor Tanaman Pangan sebesar 1,79 persen, Subsektor Hortikultura sebesar

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya. Deputi Sekretaris Kabinet

Rata-rata lama menginap tamu (RLMT) Asing dan Indonesia pada hotel berbintang di Sumatera Barat bulan Juli 2014 selama 1,62 hari, naik 0,03 hari bila dibandingkan

PREFEITURA MUNICIPAL DE PORTEIRINHA/MG - Aviso de Revogação de Licitação - Pregão Presencial nº.. Silvanei Batista Santos –

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI

In the mentioned software's, Windows Server 2008 is the operating system, Internet Information Services (IIS ) is the web server come application server, PostGIS is a

[r]