• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah teori gender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah teori gender"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

SEJARAH DAN LATAR BELAKANG

Berbicara tentang teori gender, tentu tidak lepas dari diskusi tentang paham feminisme. Ada perbedaan yang mendasar antara paham feminisme dan teori gender. Penganut paham feminisme meyakini bahwa keluarga adalah perangkap yang membuat para perempuan menjadi budak, gerakan feminisme bertujuan untuk mendobrak nilai-nilai lama (patriarki) yang selalu dilindungi oleh kokohnya teori struktural fungsional. Kaum feminis menganggap perempuan selalu dijadikan sebagai golongan tertindas (Puspitawati, 2012).

Sedangkan teori gender meyakini bahwa perlu ada kesetaraan dan keadilan gender antara kaum pria dan perempuan, tanpa perlu adanya pemisahan atau pembubaran lembaga keluarga. Sistem patriarki membantu mengatur dan menjelaskan mengenai struktur keluarga, sehingga tidak perlu dihilangkan hanya perlu disesuaikan dengan peran dan fungsi dari kesetaraan gender.

Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandasi awal mulainya perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Seiring dengan era globalisasi total, maka isu kesetaraan gender menjadi isu global yang sangat relevan meyangkut keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan perempuan (Puspitawati, 2009).

Pada tahun 1995, konsep kesetaraan gender dimasukkan kedalam salah satu aspek dari alat pengukuran penilaian keberhasilan pembangunan suatu negara yang digunakan oleh UNDP (United Nations Development Program). Ukuran pengukuran tersebut pada awalnya hanya diukur dengan pertumbuhan GDP (Growth Domestic Product), kemudian pada tahun 1990 dimasukkan indikator penilaian baru selain GDP, yaitu HDI (Human Development Index), yang terdiri dari aspek usia harapan hidup (Life Expectancy), angka kematian bayi (Infant Mortality Rate) dan kecukupan pangan (Food Security), salah satu aspek berikutnya yang dimasukkan ke dalam indikator HDI adalah aspek kesetaraan gender (Megawangi, 1999).

Gender seperti feminin dan maskulin, mendefinisikan identitas sosial seseorang dalam suatu budaya yang kemudian menentukan fungsi, status dan nilai-nilai yang dihubungkan dengan gender menurut ideologi yang dominan.

(2)

disebutkan hanyalah maskulin. Namun Rosalind Miles (1989) telah menceritakan kembali kisah-kisah sejarah dunia yang memasukkan keberadaan kaum feminin. Ia memperkenalkan banyak contoh wanita peradaban masa lalu yang memainkan peran sosial yang dominan dan memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Kekuasaan ini berhubungan dengan kemampuan wanita yang unik dalam reproduksi dan melahirkan- peristiwa yang misterius dan gaib.

Bagamanapun juga, kekuasaan ini dikurangi karena bertambahnya pengetahuan mengenai fisiologi dan datangnya nilai-nilai keagaaman yang menekankan superioritas pria. Pergantian paradigma ini mengambil alih status kaum wanita, yang setelah itu mengalami kemunduran.

Gender diekspresikan dalam norma-norma perilaku, penampilan dan etika sosial, yang ditanamkan dalam budaya. Secara tradisional,”kaum wanita” diidentikkan dengan ciri-ciri kelemahan fisik, kelabilan emosi, pasif dan cenderung terlalu mempedulikan orang lain. peran yang sesuai dengan profil ini adalah sikap melayani yang tidak dapat dihindarkan- yaitu menjadi ibu, mengerjakan pekerjaan rumah dan memberi dukungan fisik dan emosional bagi orang lain. Sebaliknya ciri-ciri maskulin terdiri dari kekuatan fisik, proaktif, pembuat keputusan dan diekspresikan sebagai peran otoriter yang lebih dominan dalam keluarga, bertanggung jawab menyediakan materi tetapi keterlibatannya dalam kegiatan rumah tangga atau aktivitas perawatan anak hanya sedikit (Oakley dalam Henderson, 2005).

DEFINISI Definisi Gender

Dalam memahami konsep gender, harus dibedakan dengan konsep seks. Konsep seks mengacu pada pengidentifikasian perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi atau aspek biologi seseorang, misalnya perbedaaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya (Sudarma, 2008). Mansour Fakih (dalam Widyatama, 2006) menjelaskan bahwa konsep seks didasarkan pada fisik, sedangkan konsep gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural manusia.

Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran,, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Puspitawati, 2012). Gender merupakan konsep sosial. Istilah “feminitas” atau “maskulinitas” yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan pula dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang kompleks, yang telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya (Sadli, 2010).

(3)

Menurut Judith Waters dan George Ellis (dalam Widyatama, 2006) gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan dan aktivitas seperti “maskulinitas” atau “feminitas”.

Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Gender bukanlah perempuan atau laki-laki. Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Gender juga bisa berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya (William-de Vries, 2006).

Definisi Peran Gender

Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Peran gender dalam kehidupan sehari-hari secara harmonis dapat membangun masyarakat yang lebih terbuka dan maju, karena semua orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama, sat mereka memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki dan perempuan tidak dibatasi ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya semaksimal mungkin di bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan demikian peran gender yang seimbang memicu semakin banyak sumber daya manusia produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama (William-de Vries, 2006).

Umumnya pada budaya patriarki ada pembagian peran gender yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan dengan derajat dari mulai pembagian peran yang sangat kaku sampai dengan sangat fleksibel. Pembagian peran ini bertujuan untuk mendistribusikan tugas dalam rangka menjaga efisiensi dan keseimbangan sistem keluarga dan masyarakat. Umumnya masyarakat membagi peran berdasarkan tradisi pada leluhur yang sudah dibakukan dalam internalisasi dan sosialisasi norma masyarakat (Puspitawati, 2012).

Peran gender tidak akan mengubah kodrat manusia, tidak mengubah jenis kelamin, tidak mengubah fungsi-fungsi biologis dalam diri perempuan menjadi laki-laki dan tidak juga dimaksudkan untuk mendorong perempuan mengubah dirinya menjadi seorang laki-laki,

(4)

ataupun sebaliknya (William-de Vries, 2006).

ASUMSI DASAR

Teori gender memperjuangkan tentang 2 (dua) hal yakni kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal (Puspitawati, 2012).

Kesetaraan gender ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Inti dari kesetaraan gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar (equlity), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mereka berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya (William-de Vries, 2006).

Menurut Puspitawati (2009) kesetaraan gender adalah kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Sedangkan, keadilan gender adalah suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.

Inti dari kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan didalam memperoleh manfaat dari lingkungan (Willliam-de Vries, 2006).

Ketidakadilan gender adalah suatu kondisi dimana seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan gender. Ketidakadilan gender bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Namun, pada kebanyakan kasus, ketidakadilan gender lebih banyak terjadi

(5)

pada perempuan (William-de Vries, 2006). Secara garis besar bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi (terutama pada perempua) adalah sebagai berikut (Puspitawati, 2009):

1. Penomorduaan (Subordinasi). Penomorduaan pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Proses subordinasi adalah suatu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya, sehingga ada jenis jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengar suaranya, bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya

2. Pelabelan negatif pada perempuan (Stereotype). Stereotype adalah suatu pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Kondisi demikian selalu melahirkan ketidakdilan dan diskriminasi yang bersumber dari pandangan gender.

3. Peminggiran (Marginalisasi). Proses peminggiran atau marginalisasi merupakan proses, sikap, perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang berakibat pada penyisihan/pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Peminggiran merupakan akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol-kontrol –seperti laki-laki- dalam penguasan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi, mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan atau termarjinalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut (William-de Vries, 2006).

4. Beban kerja berlebih (Multi-burdened). Beban kerja adalah peran dan tanggung jawab seseorang dalam melakukan berbagai jenis kegiatan sehari-hari. Beban kerja ganda yang sangat memberatkan seseorang adalah sebagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Beban kerja ini seringkali dipandang dari sudut budaya sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan yang mulia (altruism) yang nanti di akhirat mendapatkan balasan yang setimpal.

5. Kekerasan (Violence). Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan, sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. Berbagai kekerasan terhadap

(6)

perempuan terjadi sebagai akibat dari perbedaan peran gender yang tidak seimbang.

Stereotip Gender

Dalam dunia psikologi, gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan wanita, sering disebut stereotip gender. Istilah stereotip gender digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kultural dari peran maskulin versus peran feminin. Peran gender (gender role) sebagaimana telah dibahas sebelumnya, adalah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang pada suatu budaya atau kultur tertentu ini adalah stereotip gender. Jika stereotip gender terdiri atas keyakinan tentang ciri sifat dan karakteristik psikologis yang tepat untuk laki-laki dan wanita, maka peran gender didefinisikan sebagai perilaku yang akan terekspresi dalam peran sosial yang dimainkannya. Stereotip gender pribadi seseorang bisa berbeda dari stereotip kebanyakan orang dalam budayanya (Murniati, 2004).

Analisis Gender

Analisis gender muncul pada waktu kaum feminis sosialis menanggapi pandangan masyarakat, ketika muncul pandangan dari kaum feminis radikal. Feminisme radikal mengangkat permasalahan ketidakadilan terhadap perempuan dari aspek budaya yang dikuasai kaum laki-laki. Usaha kaum feminis sebelumnya yakni feminisme liberal, menganggap permasalahan perempuan dapat diselesaikan dari aspek hukum, ternyata belum berhasil. Demikian pula usaha kaum feminis marxis yang berusaha menganalis permasalahan perempuan dari aspek ekonomi. Gerakan feminisme radikal ini menjadi heboh, karena dianggap melawan kaum laki-laki. Situasi pertentangan ini yang ingin dikurangi oleh kaum feminis sosialis dengan memperkenalkan analis gender. Istilah gender digunakan oleh Ann Oakley dan teman-temannya pada tahun 1970-an, untuk menggambarkan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh konstruksi sosial (Murniati, 2004).

PERSPEKTIF GENDER

Berikut ini adalah pendapat dari UNIFEM (The United Nations Development Fund for Women) mengenai perspektif gender:

(7)

1. Membedakan antara istilah “seks” yaitu perbedaan biologis dan kodrati antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender yaitu pembedaan peran, atribut dan sikap tindak dan perilaku, yang dianggap masyarakat pantas untuk laki-laki dan perempuan. Jadi membedakan laki-laki dan perempuan menurut seksnya, adalah pembedaan secara biologis dan kodrati, seperti perempuan mengalami haid, mempunyai rahim dan payudara serta perempuan mengandung, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki mempunyai penis dan sperma. Membedakan gender laki-laki dan gender perempuan bukan kodrati, melainkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, seperti laki-laki itu perkasa, bekerja di ranah publik, sebaliknya perempuan itu lemah lembut, bekerja mengurus rumah tangga. Dikatakan bukan kodrati, karena ada perempuan yang juga dapat perkasa, bekerja di ranah publik, demikian pula laki-lakipun dapat lemah lembut, bekerja mengurus rumah tangga, dan sebagainya.

2. Mengacu dan merujuk pada status dan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta ketidaksetaraan yang merugikan perempuan dalam kebanyakan masyarakat, dan bahwa kenyataan ini bukan hanya ditentukan secara biologis tetapi secara sosial.

3. Mengakui bahwa penilaian rendah atau kurang terhadap peran-peran perempuan, memarginalisasi perempuan dari hak memiliki, mengakses, menikmati dan mengontrol atas harta keluarga atau harta benda perkawinan seperti tanah, rumah dan penghasilan, serta sumber non-material seperti waktu untuk mengembangkan diri sendiri, partisipasi dalam bidang politik.

4. Mempertimbangkan interaksi antargender dan kategori sosial lain, seperti kelas, suku. Ada ungkapan bahwa istri dari buruh yang hidup dibawah upah minimum, adalah budak dari seorang budak.

5. Meyakini bahwa karena ketidaksetaraan gender terkondisi secara sosial, oleha karena itu tidak dapat diubah baik dalam tingkat individual maupun dalam tingkat sosial, kearah keadilan, kesebandingan atau kepatutan (equity) dan kemitraan antara laki-laki dan perempuan.

BAB II

(8)

ARTIKEL KE-1

More Than a Billion Women Face “Gender Based Violence” Where Are Most Victims?

John Simister ABSTRAKSI

Gender Based Violence (GBV) atau Kekerasan Berbasis Perempuan adalah masalah yang terjadi di seluruh dunia. Beberapa penelitian rumah tangga di akhir dekade ini, cenderung menemukan banyak kasus GBV. Ada banyak masalah dalam membandingkan data dari survei yang berbeda, beberapa diantaranya akan didiskusikan dalam artikel ini. Artikel ini mencoba meneliti beberapa hasil survei untuk menemukan mana diantara Negara-negara di dunia yang paling banyak terjadi kasus GBV. Selain itu artikel ini juga bertujuan untuk menguji beberapa teori mengenai penyebab GBV, salah satunya faktor budaya. Tampaknya, kasus GBV lebih sering terjadi di beberapa wilayah tertentu dibanding wilayah lainnya, tapi penyebab dari pola geografi ini belumlah jelas.

PENDAHULUAN

Gender Based Violence (GBV) adalah kekerasan dari pasangan dekat yang terkait dengan perilaku superior laki-laki terhadap perempuan. GBV banyak terjadi di beberapa Negara di dunia, dan semakin lama jumlah korbannya semakin bertambah. Namun, belum ditemukan solusi terbaik untuk masalah ini, sebagian besar disebabkan keengganan pihak korban (perempuan) untuk melapor kepada petugas berwenang, mereka mengalami kesulitan untuk menceritakan kondisi kekerasan domestik dalam rumahnya. Kekerasan GBV mempunyai beberapa bentuk/wujud, yaitu kekerasan emosi, kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Artikel ini fokus kepada kekerasan bentuk fisik. Artikel ini bertujuan untuk meneliti di Negara atau bagian dunia mana yang menduduki peringkat teratas jumlah kasus GBV.

Artikel ini menggunakan data dari “Demographic and Health Survey” terhadap semua Negara dimana GBV ditemukan terjadi pada saat artikel ini dibuat (Maret 2012). Sumber data lainnya adalah dari “ Work, Attitudes and Spending”.

GBV atau kekerasan domestik dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan pertanyaan sebagai berikut:

Apakah suami anda pernah melakukan beberapa hal dibawah ini terhadap anda: 1. Menampar anda?

(9)

2. Memelintir tangan anda atau menarik rambut anda?

3. Mendorong anda, mengguncang anda, atau melempar anda dengan sesuatu? 4. Meninju anda dengan tinjunya atau dengan sesuatu yang dapat melukai anda? 5. Menendang, menyeret atau memukul anda?

6. Mencoba mencekik anda?

7. Menyerang anda dengan pisau, pistol atau senjata lainnya?

8. Memaksa anda secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dengan dia meski saat anda tidak mau melakukan hubungan seksual tersebut?

9. Memaksa anda untuk menunjukkan perilaku seksual yang tidak anda inginkan? HASIL PENELITIAN

Artikel ini mencoba untuk menjawab pertanyaan dimana ada korban GBV? Jawabannya adalah “di semua tempat/dimana-mana”. Hasil penelitian adalah satu dari tiga perempuan diseluruh dunia mengalami GBV. Dari sekitar 7 milyar manusia di dunia, sekitar setengahnya adalah perempuan, diperkirakan sekitar 30 % dari mereka adalah korban kekerasan terhadap perempuan (termasuk anak perempuan yang mungkin mengalami kekerasaan saat mereka dewasa, berdasarkan kondisi keluarga mereka saat ini yang berpotensi baginya untuk menjadi korban GBV).

Sumber Gambar (Simister, 2012)

ANALISA (KAITAN DENGAN TEORI GENDER)

Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis gender (gender based violence). Perempuan dan laki-laki secara kodrati oleh Tuhan diciptakan berbeda, perempuan

(10)

dapat hamil dan melahirkan sementara laki-laki dapat menghamili. Dalam sejarah umat manusia lahir budaya patriarki ketika perempuan (karena kodratnya melahirkan) dianggap hanya mampu berperan di sektor domestic (sekitar rumah), sementara laki-laki didorong untuk menguasai sektor publik (di luar rumah) yang kenyataannya menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh. Akibat pandangan ini laki-laki yang bekerja mencari nafkah menguasai uang dan kekuasaan dan pengaruh sedangkan perempuan tidak. Perempuan mengalami diskriminasi, subordinasi (dianggap sebagai warga kelas dua), marginalisasi (perempuan), stereotype (pelabelan) serta over burden (kelebihan beban) dan kekerasan. Dalam keluarga suami dan istri mengalami kesenjangan, ketika laki-laki semakin memiliki akses terhadap uang, kekuasaan dan pengaruh sedangkan perempuan tidak. Semakin lama laki-laki semakin merasa berkuasa dalam rumah, istri dianggap sebagai asetnya sehingga dapat diperlakukan sesukanya (dipukul, dikata-katai, disakiti,dll.). Kekerasan terhadap perempuan dapat berlangsung dalam rumah, di sekolah bahkan dalam pekerjaan (Lapian, 2006).

Menurut Pasal I Deklarasi tentang Eliminasi Kekerasan terhadap Wanita (PBB, 1993), kekerasan terhadap wanita didefinisikan sebagai segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan, atau penderitaan wanita secara fisik, seksual, mental, atau psikologis; termasuk ancaman dari tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Ulasan-ulasan umum mengenai kekerasan berbasis gender (PBB, 1990). Definisi diskriminasi termasuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan langsung terhadap seorang perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari Konvensi HAM PBB, walaupun ketentuan itu tidak menyatakan secara spesifik tentang kekerasan (Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, 2007).

Permasalahan kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah interdisipliner, baik politik, sosial, budaya, ekonomis, maupun aspek-aspek sosial lainnya. Atas dasar kajian-kajian lintas kultural dapat diprediksi bahwa kekerasan akan banyak terjadi dimana ada kesenjangan ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan, dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang

(11)

berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, dalam kondisi-kondisi dimana perempuan mempunyai kekuasaan diluar rumah, intervensi masyarakat secara aktif dan berkembangnya perlindungan sosial, keluarga dan kawan terhadap kekerasan (Widyastuti, 2009).

Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence= GBV) merupakan suatu ciri umum dalam banyak keadaan darurat dan juga banyak bencana alam. GBV mencakup pelanggaran seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi seksual, kawin paksa, pelacuran paksa, perdagangan manusia dan penculikan. Pencegahan dan manajemen GBV membutuhkan kerjasama dan koordinasi antar anggota masyarakat dan antar lembaga-lembaga. Pelayanan kesehatan harus memasukkan penanganan medis untuk mereka yang selamat dari penyerangan seksual, konseling rahasia dan rujuan untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai. Tata letak pemukiman, pembagian bahan mendasar, dan akses terhadap pelayanan kesehatan dan program lain harus dirancang untuk mengurangi potensi kekerasan berbasis gender (The Sphere Project, 2006).

Tantangan dalam mengembangkan mekanisme hukum yang menyediakan keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender (GBV):

1. Mengingat stereotip gender adalah konstruksi sosial yang lekat dipengaruhi struktur-struktur kekuasaan, ditambah lagi dengan bias-bias yang ada terkait dengan pemahaman mengenai seksualitas perempuan, kesadaran dan pengakuan mengenai gender sebagai konstruksi sosial dan adanya bias-bias pemahaman tentang seksualitas perempuan menjadi hal mutlak yang pertama dan utama

2. Telah banyak pengamatan dan refleksi terhadap proses pendampingan dan pemeriksaan psikologis dilakukan, yang berkesimpulan bahwa dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender, apalagi yang melibatkan pelaku-pelaku yang posisi tawarnya jauh melampaui korban, korban (dan orang-orang dekatnya) justru cenderung enggan, gamang dan mungkin menutup kejadian-karena berbagai alasannya seperti rasa malu akan aib sendiri, takut dan terancam- sehingga juga menjadi kurang terbuka, kurang “vokal” dan secara objektif “kurang meyakinkan” dalam membeberkan fakta, daripada pelaku atau tersangka pelaku.

3. Dengan kesadaran diatas, dan dengan kesadaran mengenai pola-pola berpikir alamiah manusia yang didalamnya juga terkandung bias-bias, kita tertantang untuk terus mengembangkan telaah-telaah mendalam dari sisi konseptual, dengan tujuan mengembangkan strategi-strategi untuk meminimalkan bias di lapangan

4. Prinsip-prinsip positivistik yang menjadi prasyarat pengambilan keputusan hukum, seperti kejadian harus dapat secara positif dibuktikan, tampaknya perlu dimaknai secara

(12)

lebih utuh sebagai dapat dijelaskan secara rinci tahapan demi tahapan. Prinsip-prinsip positivistik yang berpatokan pada objektivitas dan netralitas semata perlu disikapi secara kritis, mengingat kepedulian juga menjadi prasyarat pengungkapan pengetahuan tentang kebenaran khususnya dalam kasus-kasus yang kuat mengandung bias-bias pemahaman seperti kasus kekerasan berbasis gender, kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan domestik, kasus-kasus yang kuat diduga memperlihatkan posisi tawar, atau kasus-kasus lain yang kuat melibatkan prasangka antar kelompok.

Upaya pencegahan terjadinya kekerasan berbasis gender dilakukan dalam bentuk: (1) menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan berbasis gender, (2) sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender (Wicaksana, 2008).

Strategi penanggulangan kekerasan terhadap perempuan (Widyastuti, 2009):

1. Peningkatan kesadaran perempuan terhadap hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan. Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan perempuan dilakukan dalam tema yang universal

2. Peningkatan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik dalam konteks individual, sosial maupun institusional

3. Mengingat masalah kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan isu global, maka perlu koordinasi antar Negara untuk melakukan kerjasama penanggulangan

4. Meningkatkan kesadaran para penegak hukum, agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan, dalam satu spirit bahwa masalahnya telah bergeser menjadi masalah global

5. Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan

6. Peningkatan kesadaran masyarakat secara nasional dengan kampanye yang sistematis didukung jaringan yang mantap

7. Meningkatkan peranan mass media

8. Perbaikan sistem peradilan pidana, dimulai dari pembaharuan hukum yang kondusif terhadap terjadinya kekerasan

9. Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan

(13)

Siklus Kekerasan Terhadap Perempuan (Sumber Gambar: Bekti, 2010)

Ada beberapa cara (solusi perspektif gender) yang dapat dilakukan untuk mengakhiri budaya kekerasan terhadap perempuan ( Hasbianto, 1999):

a. Memberikan tafsir ayat-ayat dalam kitab suci yang berbias gender dengan perspektif gender

b. Meluruskan mitos-mitos mengenai superioritas laki-laki dan mempopulerkan fakta-faktanya

c. Mensosialisasikan prinsip kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam konteks hubungan sosial dan keluarga

d. Penyadaran terhadap masyarakat juga dapat dilakukan dengan mensosialisasikan delik hukum yang berkaitan dengan KDRT

e. Pembentukan lembaga-lembaga yang peduli atas persoalan ini.

ARTIKEL KE-2

Views of Male University Student about Social Gender Roles an Example from East of Turkey

(14)

Filiz Adana, Hulya Arslantas, Filiz Ergin, Necla Bicer, Nilufer Kiransal, Sultan Sahin ABSTRAKSI

Peran sosial gender biasanya dikaitkan dengan peran yang secara tradisional diasosiasikan kepada laki-laki atau perempuan. Peran sosial gender mencakup atribut dan perilaku seseorang, yang secara budaya ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Studi ini bertujuan untuk meneliti pandangan mahasiswa laki-laki terhadap peran sosial gender pada pekerjaan/tempat bekerja, kehidupan sosial, perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Studi ini dilakukan terhadap 116 mahasiswa laki-laki yang kuliah di Kars Health School, Nursing and Health Officers Department pada tahun akademik 2007-2008.

Para mahasiswa diberikan 24 pertanyaan terkait pekerjaan, kehidupan sosial, perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30,2 % mahasiswa menyatakan wanita boleh bekerja sebagai pegawai, 56,9 % mahasiswa percaya pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, 44,8 % mahasiswa mendukung honor killing, 40,5 % mengatakan anak perempuan harus mendapatkan akes pendidikan sejauh yang mereka mampu, 54,3 % menyatakan bahwa peran perempuan adalah “menyediakan dukunga moral untuk suami dan anak mereka”, 37,1 % menyatakan bahwa suami boleh memukul istri mereka pada beberapa kondisi tertentu, 52,6 % mengatakan bahwa mereka pernah menyaksikan kekerasan dalam keluarga mereka pada beberapa masa dalam kehidupan mereka, 57,1 % mengatakan lingkungan perempuan harus diputuskan bersama pasangan, 25 % mengatakan perempuan harus mau berhubungan seksual dengan pasangan mereka bahkan jika mereka tidak menginginkannya.

Laki-laki yang berpikir bahwa peran perempuan adalah untuk melakukan pekerjaan rumah/ melahirkan anak/ merawat orangtua, dan yang mendukung honor killing serta tidak mendukung pekerjaan pasangan mereka, dan yang tidak percaya pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dinyatakan bahwa mereka mendukung kekerasan dari pihak laki-laki-laki-laki kepada pihak perempuan. Lebih jauh lagi, mahasiswa yang pernah melihat kekerasan dalam keluarga mereka juga mendukung pandangan ini.

ASUMSI DASAR

Gender adalah hasil dari interaksi yang rumit antara karakteristik biologi dan sosial, budaya, politik, ideologi dan struktur ekonomi yang menghasilkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Belakangan ini, ada beberapa nilai ketidaksetaraan nilai antara laki-laki dan

(15)

perempuan pada wilayah kehidupan sosial. Ketidaksetaraan ini khususnya tampak dominan pada aspek pekerjaan, kehidupan sosial, pernikahan dan keluarga. Para perempuan yang mengalami ketidakadilan gender harus menghadapi ketidaksetaraan dalam berpolitik, hukum, sosial, dan hak ekonomi dalam memperjuangkan hak mereka atas kepemilikan harta benda seperti tanah dan bangunan.

Sosial gender adalah konsep yang terkait dengan bagaimana kita menganggap, merasakan, mempertimbangkan dan apa yang kita harapkan untuk dilakukan sebagai laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari lingkungan sosial. Peran sosial gender merujuk pada peran yang secara tradisional diasosiasikan dengan laki-laki dan perempuan. Peran sosial gender termasuk atribut pribadi dan (peran) perilaku yang secara budaya ditugaskan kepada laki-laki dan perempuan.

Pada beberapa studi sebelumnya tentang peran sosial gender ditemukan bahwa ada beberapa perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, khususnya di bidang pekerjaan, sosial, perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Refleksi tentang peran sosial gender di bidang keluarga, mencakup keterlibatan perempuan dalam pekerjaan dengan gaji dan status yang lebih rendah, dan kewajiban untuk meminta izin dari suami untuk diperbolehkan bekerja. Seperti halnya untuk kehidupan sosial, ada beberapa pandangan, seperti perempuan tidak diperbolehkan untuk keluar sendirian pada malam hari, dan tidak boleh hidup atau tinggal sendirian. Dalam konteks kehidupan berkeluarga, perempuan diharapkan untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan bahwa mereka harus melibatkan diri dalam pekerjaan rumah, membesarkan anak, dan membersihkan rumah. Dalam perkawinan, perempuan diharapkan untuk tidak terlibat dalam hubungan seksual sebelum perkawinan dan meningkatkan status mereka dengan melahirkan anak laki. Sedangkan hasil penelitian terkait peran sosial gender pada laki-laki, adalah kebalikan dari peran sosial perempuan. Akibatnya, pekerjaan publik dan politik umumnya diasosiasikan kepada laki-laki, dan pekerjaan rumah dan urusan keluarga diasosiasikan kepada perempuan.

Diskriminasi itu memberikan efek negatif pada kehidupan sosial perempuan. Lebih jauh lagi, perempuan tidak dapat meraih status yang mereka inginkan diantara masyarakat; kebanyakan dari mereka berada tetap berada di belakang laki-laki/suami, yang pada akhirnya melahirkan ketidaksetaran gender.

Peningkatan level pendidikan pada pihak perempuan menghasilkan sudut pandang yang modern tentang peran sosial gender dan menjadi faktor penentu pada kesetaraan peran sosial gender dan keadilan untuk mendukung perempuan.

(16)

DISKUSI

Pandangan Mahasiswa terhadap Pernyataan tentang “Pekerjaan dan Kehidupan Sosial Perempuan”

Terlihat jelas dari hasil penelitian ini bahwa mahasiswa mendukung prasangka sebelumnya tentang peran sosial gender tentang partisipasi perempuan dalam dunia pekerjaan. Alasan dibalik itu adalah bahwa budaya mendukung dominasi laki-laki dalam dunia pekerjaan. Di Turki, meskipun terdapat upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia pekerjaan, status sosial dari perempuan tidak meningkat seperti yang diharapkan.

Terkait kehidupan sosial kaum perempuan, studi ini menunjukkan bahwa laki-laki memiliki pandangan tradisional tentang diskusi ini. Dua dari tiga laki-laki (62,1 %) berpikir bahwa harus laki-laki yang memutuskan apakah perempuan boleh pergi keluar di malam hari. Sayangnya, hampir setengah dari mahasiswa ini mendukung honor killing (44,8 %). Laki-laki diharapkan untuk melakukan kewajiban untuk melindungi kehormatan keluarga, sementara perempuan diharapkan untuk menjaga keperawanan mereka dan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak. Pada studi ini, terungkap pula bahwa mahasiswa pada umumnya setuju bahwa anak perempuan setidaknya harus menerima pendidikan dasar.

Pandangan Mahasiswa tentang Pernyataan terkait Kehidupan Berkeluarga dan Perkawinan”

Setengah dari mahasiswa memiliki pandangan yang sama tentang pernyataan terkait kehidupan berkeluarga dan perkawinan. Satu dari empat mahasiswa berpikir bahwa perempuan harus melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka, meskipun mereka tidak mau melakukannya. Tiga dari empat mahasiswa memiliki pandangan yang sama tentang pembagian tugas rumah tangga dalam kehidupan perkawinan, dan setengah dari mahasiswa tersebut mengatakan bahwa laki-laki adalah pengambil keputusan terkait pengeluaran uang dan siapa yang diperbolehkan untuk ditemui oleh istri mereka. Hasil studi ini sangat menyedihkan, karena partisipan adalah mahasiswa yang menerima pendidikan akademik. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat dari jenis struktur keluarga dan kehidupan di Turki.

Faktor yang Menyebabkan Kekerasan kepada Perempuan

(17)

berkeluarga, kehidupan sosial dan pekerjaan dan mereka yang pernah melihat tindak kekerasan dalam keluarga, mendukung pandangan bahwa kekerasan boleh dilakukan terhadap perempuan. Toleransi terhadap tindak kekerasan ini adalah penghalang yang paling penting terhadap upaya menaikkan status sosial perempuan. Studi tentang kekerasan rumah tangga di Turki menyatakan bahwa mayoritas perempuan yang mengalami kekerasan, cenderung untuk “menormalisasi” kekerasan sebagai sebuah konsep.

ANALISA (KAITAN DENGAN TEORI GENDER)

Permasalahan gender yang mencuat dari jurnal ini adalah tentang ketidakadilan dan diskriminasi gender, telah disebutkan pada bab 1 bahwa terdapat 5(lima) bentuk ketidakadilan dan diskriminasi gender, bentuk-bentuk tersebut dapat kita lihat pada situasi di atas sebagai berikut:

1. Marjinalisasi atau peminggiran perempuan

Marjinalisasi pada kaum perempuan dalam studi ini tergambar melalui pandangan mahasiswa bahwa perempuan hanya boleh bekerja jika mendapat izin dari suami

2. Sub-ordinasi

Bentuk sub-ordinasi terlihat dari rendahnya posisi status dan gaji perempuan dalam dunia kerja, dibandingkan dengan status dan gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki.

3. Pandangan stereotype

Pandangan bahwa perempuan harus mengabdikan diri dalam pekerjaan rumah, membesarkan anak, dan membersihkan rumah adalah stereotype yang muncul dari studi ini.

4. Kekerasan

Di Turki, kekerasan terhadap perempuan dalam konteks kehidupan perkawinan adalah merupakan bagian dari konsep budaya dan merupakan hasil dari struktur keluarga patriarki. Alasan terjadinya tindak kekerasan fisik terhadap perempuan adalah karena perempuan tidak taat terhadap nilai-nilai etika (24,1 %), ketidakpatuhan perempuan kepada laki-laki, perempuan menunjukkan perilaku tidak pantas kepada suami dan keluarga mereka (3,4 %).

5. Beban kerja

Beban kerja perempuan yang terungkap dalam studi ini, adalah selain sebagai pendukung moral untuk suami, mereka juga harus mengerjakan sebagian besar pekerjaan rumah tangga, membesarkan anak dan merawat/ membersihkan rumah.

(18)

Ketidakadilan dan diskriminasi gender lahir karena adanya perbedaan peran dan kedudukan antara wanita dan pria, baik secara langsung maupun tidak langsung didasari oleh berlakunya suatu undang-undang atau kebijakan sehingga menimbulkan berbagai ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, adat, norma atau struktur masyarakat. Ketidakadilan ini karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang tidak hanya menimpa kaum wanita saja, tapi juga kaum pria. Hanya saja, ketidakadilan gender lebih banyak menimpa kaum wanita dalam berbagai kehidupan (Noorkasiani, 2007).

Studi ini berlatar belakang kehidupan rumah tangga di Turki, sedangkan di Indonesia bentuk ketidakadilan dan diskriminasi gender dalam keluarga dipaparkan sebagai berikut (Murniati, 2004):

1. Marjinalisasi dalam keluarga

Perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami, sekalipun suami tidak bisa memimpin. Walaupun yang menyediakan makan (memasak) adalah ibu, tetapi bapak dan anak laki-laki yang didahulukan untuk makan. Ibu dan anak perempuan juga yang kemudian membereskan semuanya, seperti mencuci piring, merapikan meja makan, dan lain sebagainya. Apabila keuangan terbatas, pilihan yang harus sekolah adalah anak laki-laki, walaupun anak perempuannya lebih pandai. Istri dinyatakan “berdosa”, apabila tidak bersedia melayani kebutuhan seks suaminya, walaupun ia sangat lelah/ penat karena bekerja, dan lain sebagainya.

2. Stereotip dalam keluarga

Urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak perempuan. Pendidikan anak-anak dibebankan sebagai tanggung jawab ibu. Pendidikan anak-anak dibenbankan sebagai tanggung jawab ibu. Pemulihan energi suami yang bekerja untuk majikannya, diserahkan kepada istrinya, dan tanpa upah.

3. Subordinasi dalam keluarga

Ibu, istri dan anak perempuan sering dipandang sebagai anggota keluarga yang lemah dan kurang mampu, sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah. Pandangan ini bagi perempuan dalam keluarga menyebabkan mereka sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok bayangan, dan tidak berarni memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi.

4. Beban kerja dalam keluarga

Pekerjaan yang diberikan terhadap ibu/istri seringkali melampaui kemampuan dan daya tahan mereka. Istri diharapkan untuk mengurus segala kebutuhan rumah tangga, memperhatikan kesejahteraan fisik mereka, merapikan rumah, memasak dan lain

(19)

sebagainya. Perempuan juga diharapkan mengerjakan peran sosial dalam lingkungan mereka, seperti menghadiri arisan RT, mengikuti pengajian, dan lain sebagainya.

5. Kekerasan dalam keluarga

Suami dianggap memiliki kekuasaan atas diri istri. Kekuasaan ini terungkap dalam wujud kekerasan fisik, psikis, baik verbal maupun nonverbal.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender terhadap perempuan disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil, yang telah diciptakan oleh laki-laki. Laki-laki telah menciptakan masyarakat patriarki. Budaya patriarki mengajarkan bahwa garis keturunan anak ditentukan oleh garis dari ayah, maka semua pranata sosial tentang kehidupan dilatarbelakangi oleh pandangan patriarki. Ayah menjadi penentu keturunan, maka dalam proses kehidupan kaum laki-laki menjadi kelompok yang berkuasa. Akibatnya, kekuasaan kaum laki-laki menjadi sebuah sistem dan dianggap benar. Kekuasaan ini dibangun atas dasar pandangan pasangan (biner) laki-laki dan subordin bagi perempuan (Kwi, 2007).

Ada bermacam-macam teori tentang sebab musabab semula atas ketidakadilan dalam segala hal yang dialami perempuan-perempuan di seluruh dunia. Teori-toeri biologis, hormonal, dan evolusioner sangat tidak meyakinkan, karena semua peran sosial, ekonomis dan politis kaum pria juga dilakukan oleh perempuan-perempuan dalam pelbagai macam kebudayaan, maka sangat mungkin bahwa kebudayaan dan sosialisasi adalah penyebab utama perbedaaan-perbedaan itu. Berikut beberapa asumsi dari kaum feminis mengenai penyebab timbulnya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam lingkungan sosial (Muslikhati, 2004):

1. Golongan feminisme liberal. Kehidupan modern menuntut karakter manusia yang ekspresif yaitu rasional, kompetitif dan mampu mengubah keadaan dan lingkungannya. Sementra kehidupan tradisional ditandai dengan karakter yang sebaliknya. Penyebab perempuan mengalami ketidakadilan gender, adalah karena salah perempuan sendiri, yaitu karena kebodohan dan sikap irasional mereka dalam berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional (agama, tradisi dan budaya yang mengukung perempuan dalam dunia domestik yang statis tidak produktif). Nilai-nilai tradisional inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa bersaing secara adil dengan laki-laki, karena potensi perempuan dibatasi dari dunia publik yang senantiasa produktif dan dinamis.

2. Kaum feminis Marxis. Dalam sebuah keluarga, suami adalah cerminan kaum borjuis, karena dialah yang menguasai basis material keluarga (nafkah), sehingga dia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala keluarga). Sementara istri dan anak-anak

(20)

adalah kaum proletar yang tertindas. Di era kapitalisme modern, penindasan perempuan diperlukan karena menguntungkan kapitalisme. Bentuk penindasan ini bermacam-macam. Pertama, eksploitasi pulang ke rumah. Dalam analisis ini perempuan diletakkan sebagai buruh yang dieksploitasi laki-laki di rumah tangga. Eksploitasi ini akan membuat buruh laki-laki di pabrik bekerja lebih produktif, kondisi yang menguntungkan kapitalisme. Kedua, perempuan juga berperan dalam reproduksi buruh murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja juga murah, yang akhirnya menguntungkan kapitalisme. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh, dengan upah yang lebih rendah, menciptakan “buruh cadangan”, yang makin memperkuat posisi tawar menawar kaum kapitalis dan mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuanya itu mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis. Kaum feminis Marxis selalu meletakkan isu perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan menganggap penyebab penindasan perempuan lebih bersifat struktural (akumulasi kapital dan divisi kerja internasional). 3. Kaum feminis radikal. Kaum ini menganggap keluarga sebagai institusi yang

melegitimasi dominasi laki-laki (sistem patriarki), dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Mereka mereduksi hubungan gender pada perbedaan natural dan biologi. Adanya perbedaan ini dianggap menimbulkan ketimpangan hubungan dan sub-ordinasi terhadap perempuan.

4. Kaum feminis sosialis. Sub-ordinasi perempuan hanya bisa dijelaskan dalam uraian yang kompleks (dan membingungkan). Bagi mereka, penindasan perempuan ada di kelas manapun. Ada ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan untuk menjaga integritas materialism Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production.

Salah satu masalah yang mengemuka dalam studi ini adalah terbatasnya akses perempuan untuk bekerja dan memiliki kehidupan sosial. Perempuan ingin bekerja di sektor publik karena sebagai pribadi manusia mereka membutuhkan aktualisasi diri. Di samping itu, perempuan juga sebenarnya merupakan tenaga kerja yang produktif (Murniati, 2004).

Kendala yang umumnya dihadapi oleh perempuan dalam upaya akualisasi diri di ranah publik, selain sulitnya mendapatkan izin dari suami, juga ada faktor minimnya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan, sehingga mereka dipandang “sebelah mata” dan hanya menjadi “bayang-bayang” suami. Permasalahan ini disikapi dengan munculnya strategi perempuan dalam pembangunan yang dinamakan Women in Development (WID). Dalam strategi ini, perempuan sebenarnya juga masih dipandang menjadi masalah, karena kurang

(21)

mampu bersaing dengan potensi kaum laki-laki. Oleh karena itu, pendidikan merupakan program utama bagi perempuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Namun hasilnya, kemampuan tersebut justru dimanfaatkan untuk menghemat biaya pembangunan, karena posisi perempuan tetap masih subordinat.

Muncul strategi berikutnya, yaitu Gender and Development (GAD) yang lahir pada tahun 1980-an. GAD melihat perempuan lebih sebagai pribadi atau kelompok pembuat perubahan sosial, dan bukan hanya sebagai pribadi atau kelompok penerima bantuan pembangunan saja. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan perempuan untuk mengorganisasi diri, sehingga memiliki suara politik, mutlak perlu didahulukan dalam pembangunan (Murniati, 2004).

Upaya peningkatan peran perempuan di sektor publik (dalam kehidupan bermasyarakat) tercermin dalam upaya melibatkan perempuan secara aktif dalam arus besar pembangunan (Muslikhati, 2004). Kebijakan pembangunan daerah telah menempatkan kaum perempuan sebagai target pemberdayaan sehingga memiliki kontribusi dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Dalam dokumen Program Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2001-2005 disebutkan bahwa arah dari salah satu kebijakan pembangunan bidang kesejahteraan adalah mengembangkan kemampuan perempuan, meningkatkan kesejahteraan, ketrampilan dan produktivitas perempuan, serta perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan tenaga kerja perempuan. Adapun program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada aspek pemberian: (1) Pendidikan dan pelatihan ketrampilan perempuan, (2) perlindungan tenaga kerja perempuan, (3) pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan. Program ini memberikan konstribusi terhadap upaya menyiapkan kemampuan perempuan memasuki sektor publik (Kusnadi, 2006).

Kedudukan atau status seorang perempuan berkaitan erat dengan derajat otoritas dan atau kekuasaan yang dimilikinya di ranah domestik dan publik. Untuk memahami status perempuan di dalam atau diluar rumah tangga, harus terlebih dahulu mengidentifikasi distribusi dan alokasi keuangan, serta sistem pembagian kerja yang berlaku di dalamnya. Kekuasaan dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan suatu kelaurga dan dapat tersebar dengan nilai yang sama (equlity) atau tidak sama nilainya (inequality), khususnya antara suami dan istri. Sementara itu, pembagian kerja menunjuk pada pola peranan yang ada dalam keluarga, yaitu-khususnya suami dan istri- melakukan pekerjaan yang berbeda-beda. Kombinasi kedua hal tersebut, yakni kekuasaan dan pembagian kerja adalah hal yang paling mendasar dalam keluarga. Kombinasi itu

(22)

dipengaruhi pula oleh posisi keluarga dalam lingkungan masyarakat (Kusnadi, 2006).

Diperlukan perencanaan dalam rumah tangga yang berwawasan gender, dengan adanya keseimbangan dalam hal:

1. Pengambilan keputusan antara perempuan dan laki-laki dalam keuangan rumah tangga, pendidikan anak, Keluarga Berencana, dan berbagai aspek kehidupan.

2. Partisipasi perempuan dan laki-laki dalam memelihara kesehatan anak, mengusahakan kebutuhan pokok keluarga, mencari penghasilan keluarga.

3. Kegiatan dalam masyarakat, seperti pertanian, urusan kebersihan dan kelestarian lingkungan, pendidikan dan sekolah anak dan aturan yang berasal dalam masyarakat.

Solusi umum yang diperlukan untuk menyelesaikan fenomena ketidakadilan gender ini adalah kesamaan mengenai kesetaraan gender yang diikuti dengan keadilan. Berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai macam kegiatan dengan diiringi proses dan perlakuan adil terhadap kedua gender tersebut (RISTEK, 2009).

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Gender secara umum dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Konsep gender dapat berubah dari masa

(23)

ke masa. Teori gender memperjuangkan 2(dua) hal yakni, keadilan dan kesetaraan gender. Terdapat beberapa bentuk diskriminasi gender, yang umumnya terjadi pada perempuan.

Jurnal pertama dalam makalah ini adalah tentang Gender Based Violence (GBV), atau kekerasan berbasis gender, yang lagi-lagi seringkali dialamatkan kepada perempuan, dalam hal ini perempuanlah yang menjadi korban. GBV merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender, dimana laki-laki merasa lebih superior dibanding perempuan. Solusi dengan perspektif gender dibutuhkan sebagai alternatif penanganan kekerasan terhadap perempuan.

Jurnal kedua dalam makalah ini adalah tentang pandangan mahasiswa laki-laki terhadap peran sosial kaum perempuan. Hasil jurnal ini kental sekali dengan nuansa diskriminasi terhadap perempuan, dimana di dalamnya terdapat pandangan umum mahasiswa mengenai Marjinalisasi atau peminggiran perempuan, sub-ordinasi, pandangan stereotype, kekerasan terhadap perempuan dan beban kerja berlebih. Diperlukan perencanaan berwawasan gender agar dapat terwujud keseimbangan dalam rumah tangga/perkawinan.

SARAN

Permasalahan terkait diskriminasi gender, ketidakadilan gender adalah permasalahan umum yang terjadi di beberapa Negara di dunia. Penyebab utama seringkali adalah sudut pandang masyarakat mengenai peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang masih menyiratkan diskriminasi. Saran terkait permasalahan ini adalah tingkatkan kesadaran mengenai kesetaraan gender, dan hilangkan budaya yang masih memandang perempuan sebagai “warga Negara kelas dua”, karena perempuan pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hak yang sama seperti halnya kaum laki-laki untuk meraih penghidupan yang layak dan berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Bekti, Veralia M. 2010. Persepsi Istri terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Semarang

(24)

Tersembunyi. Bandung:Mizan

Henderson, Christine. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Kusnadi. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Kwi, Komkat. 2007. Pendidikan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Lapian, Ghandi L.M. 2006. Trafiking Perempuan dan Anak. Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: PT Mizan Pustaka

Murniati, A.Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM. Magelang: Yayasan Indonesia Tera

Muslikhati, Siti, 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Pers

Noorkasiani. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Puspitawati, Herien. 2009. Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Berkeluarga. Bahan Ajar Mata Kuliah Pengantar Ilmu Keluarga. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Puspitawati, Herien. 2012. Gender dan Keluarga, Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: PT Penerbit IPB Press

Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. 2007. Hak Asasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ristek. 2009. Sains & Teknologi 2. Jakarta: PT Gramedia Utama

Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Salemba Medika Surbakti, EB. 2008. Sudah Siapkah Menikah? Panduan bagi siapa saja yang sedang dalam proses menentukan hal penting dalam hidup. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

The Sphere Project. 2006. Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana, Edisi 2006. Jakarta: P.T. Grasindo

Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo

(25)

Widyastuti, Reni A. 2009. Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi. Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2. Juni 2009, Halaman 203-408

Wicaksana, Inu. 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa. Refleksi Kasus-kasus Psikiatri dan Problematika Kesehatan Jiwa di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

William-de Vries, Dede. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah selesai mengerjakan, dilanjutkan dengan membahas soal-soal perkalian yang terdapat pada LKS. Selama membahas persoalan anak didik tidak mau kalah dengan temannya,

Konsep tingkat pelayanan transportasi perikanan laut, (3). Konsep pengoptimuman layanan transportasi perikanan tangkap di PPN Ambon. Setelah itu mencari tahu faktor-faktor

Hasil dari penelitian ini adalah Peran Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto dalam menata pedagang kaki lima yang menempati kawasan yang dilarang untuk

Dengan nilai signifikansi dibawah 0,05 menunjukkan bahwa secara bersama-sama ease of use , design web, customization, responsiveness , assurance , dan kepuasan

Ada beberapa maxim yang dianalisis dalam prinsip kesantunan yaitu tact maxim, generosity maxim, approbation maxim, modesty maxim, agreement maxim, dan simpathy

[r]

[r]

Jika umur David saat ini adalah 14 tahun, atau sama dengan ½ dari jumlah umur Alex dan Cheryl, maka jumlah umur mereka berempat pada 5 tahun yang.. akan datang adalah