• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu mencapai kemajuan yang membanggakan dalam proses pembangunan ekonomi. Negara ini berhasil melakukan tranformasi dengan cara membangun industri manufaktur. Seiring dengan perkembangan yang telah diraih, Korea Selatan kemudian disebut telah melewati tahapan sebagai negara industri baru atau Newly Industrialising Country (NIC). Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang menyatakan bahwa Korea Selatan telah berhasil mencapai tahapan negara industri maju. Menurut data Bank Dunia, sejak tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi negara ekonomi terbesar kelima belas di dunia dengan GNI atau Gross National Income per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014).

Atas prestasi dan keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle on the han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya proses industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan. Berbagai pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut. Hal ini menandakan bahwa pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan yang mengiringi berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang menjadi negara maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas.

Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangunan lima tahun yang

(2)

merupakan katalisator transformasi perekonomiannya, pada tahun 1970an negara ini telah mampu meraih status sebagai NIC. Dengan capaian tersebut, Korea Selatan berhasil melewati Malaysia dan negara-negara Amerika Latin seperti Brasil, Argentina, dan Meksiko yang sebelumnya diyakini akan muncul sebagai negara industri baru (Song, 1980: 12) Dalam proses pembangunan tersebut lahir kebijakan-kebijakan strategis seperti Export Oriented Industrialization atau EOI dan Heavy and Chemical Industries atau HCI, serta lembaga atau institusi penunjang pembangunan seperti Economic Planning Board atau EPB dan Korean Central Intelligence Agency atau KCIA yang merupakan beberapa faktor penting di dalam proses transformasi ekonomi di Korea Selatan.

Kebijakan HCI sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama yang membentuk karakteristik perekonomian Korea Selatan seperti sekarang. Dari kebijakan tersebut, Korea Selatan yang pada awalnya merupakan negara agraris berubah bentuk menjadi negara industri manufaktur. Kebijakan yang mengarahkan pembangunan pada sektor industri berat ini akhirnya melahirkan industri-industri unggulan seperti baja, kapal, semi konduktor, dan salah satunya yang akan menjadi fokus utama di dalam tulisan ini adalah industri otomobil.

Industri otomobil merupakan salah satu industri strategis yang memberikan kontribusi cukup besar bagi proses perkembangan ekonomi global. Industri ini terkait dengan berbagai industri lainnya, sehingga Peter Dicken (2011) menyebutnya sebagai “the key manufacturing industry”. Industri ini mampu menyerap sekitar 8 juta orang pekerja dalam proses produksi kendaraan. Jika ditambahkan dengan pekerja yang terlibat dalam pemasaran, penjualan, dan

(3)

servis, secara keseluruhan jumlah individu yang dipekerjakan tidak kurang dari 20 juta orang (Dicken, 2011: 278).

Tidak hanya itu, industri otomobil mampu memproduksi sekitar 60 juta kendaraan dalam setahun, menyumbang hampir separuh dari keseluruhan konsumsi minyak dunia. Kemudian pembuatannya menggunakan sekitar setengah dari hasil karet, 25 persen kaca, dan 15 persen produksi baja dunia setiap tahunnya (The Economist, 2004). Sedangkan dalam lingkup domestik, menurut

Korean Automobile Manufacturers Association pada laporan tahunannya, industri otomobil berada pada peringkat pertama dari segi penyerapan tenaga kerja, produksi, dan nilai tambah, jika dibandingkan dengan industri manufaktur lain di Korea Selatan (KAMA, 2011: 6). Dikarenakan skalanya yang besar dan memiliki keterkaitan dengan banyak industri lainnya industri otomobil menjadi salah satu industri prioritas bagi banyak negara di dunia, termasuk bagi Korea Selatan.

Dibawah kepemimpinan Park Chung-hee yang memiliki visi untuk menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, industri otomobil mulai dibangun. Saat mulai memimpin pemerintahan pada tahun 1963, Park memutuskan bahwa negaranya akan menjadi salah satu produsen otomobil dunia (Kim dan Jaffe, 2010: 101). Park beranggapan bahwa kontribusi industri ini dalam proses pembangunan, akan mampu menjadi katalisator bagi peningkatan status ekonomi Korea Selatan dari negara berkembang menjadi negara industri maju.

Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan selama dan setelah perang Korea, ditandai dengan berdirinya pabrik perakitan

(4)

kendaraan pertama pada tahun 1955. Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun dan kebijakan EOI yang ditetapkan oleh pemerintah pasca kepemimpinan Park Chung-hee, mendorong industri ini untuk terus berkembang. Melalui kerjasama teknik atau joint venture dengan perusahaan asing khususnya dari Jepang, beberapa perusahaan perakitan mobil dalam negeri lahir. Beberapa diantaranya, Saenara Motor Company yang bekerjasama dengan Nissan, Shinjin Motor Company dengan Toyota, Kia Motor, Asia Motor, Hadonghwan Motor dan Hyundai Motor, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi konglomerasi bisnis yang disebut sebagai chaebol1.

Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1974 industri otomobil Korea Selatan telah mampu menciptakan mobil sendiri. Kia Motor memproduksi mobil pertama produk nasional negara tersebut yang diberi nama the Brisa.

Kemudian setahun setelahnya, Hyundai memperkenalkan mobil dengan sebutan

Pony yang kemudian lebih terkenal dan merupakan mobil domestik pertama yang diekspor oleh Korea Selatan ke luar negeri (Kai-Sun, et al, 2001: 188). Dalam rentang waktu 5 tahun, industri otomobil Korea Selatan mengalami peningkatan produksi sebanyak 10 kali lipat dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1979. Hal ini menandakan bahwa industri otomobil mengalami perkembangan pesat dalam waktu yang relatif singkat.

Perkembangan tersebut mendorong industri otomobil Korea Selatan untuk melakukan ekspansi. Pada pertengahan tahun 1980an, Korea Selatan mulai memasuki tahapan globalisasi industri. Hal ini dilakukan untuk memperbesar

1 Raksasa bisnis atau konglomerasi yang dibina oleh pemerintah yang kemudian menjadi

penggerak roda perekonomian disana seperti Daewoo, Kia, dan Hyundai. Pola ini meniru struktur

(5)

pangsa pasar industri otomobil domestik ke pasar internasional. Pada tahun 1985, Hyundai mendirikan pabrik pertamanya di luar negeri. Pabrik yang dibangun di Canada ini, memiliki kapasitas produksi sebanyak 100 ribu unit per tahun.

Beberapa tahun kemudian Industri otomobil Korea Selatan berhasil menembus pasar Amerika. Ekspor Hyundai ke negara tersebut pada tahun 1987 mencapai sekitar 350 ribu unit. Dengan capaian tersebut, Hyundai berhasil memecahkan rekor penjualan mobil impor terbanyak di pasar Amerika dalam setahun (Green, 1992: 411). Kesuksesan Hyundai ini, menjadikan industri otomobil Korea Selatan sebagai eksportir mobil terbesar di antara negara-negara berkembang yang sebelumnya sekitar tahun 1970an didominasi oleh negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Meksiko dan Argentina.

Pasca keberhasilan melakukan ekspansi ke pasar Amerika, industri otomobil Korea Selatan terus mengalami kemajuan dengan membangun pusat produksi dan melakukan perluasan pasar ke negara-negara di Eropa seperti Jerman, Polandia, dan Rumania. Pada tahun 1995, Korea Selatan telah berhasil menjadi pelaku industri otomobil dengan kapasitas produksi terbesar kelima di dunia, berada dibawah negara-negara industri maju seperti Amerika, Jepang, Jerman dan Prancis. Produksi Industri otomobil Korea Selatan saat itu mencapai sekitar 2,5 juta unit (McDermott, 1996: 37).

Ditengah perkembangan industri otomobil yang terjadi secara signifikan, krisis Asia pada tahun 1997 membawa perubahan mendasar bagi konstruksi ekonomi Korea Selatan. Industri otomobil Korea Selatan menyisakan Hyundai sebagai pemain utama yang pada tahun 1998 melakukan akusisi terhadap Kia.

(6)

Selepas krisis tersebut, industri otomobil Korea Selatan terus mengalami perkembangan dan kemajuan dengan mengandalkan keberhasilan Hyundai yang pada tahun 2003 berhasil masuk ke dalam jajaran lima besar produsen otomobil dunia berdasarkan tingkat produksi (Lihat Gambar 1).

Gambar 1.

Perusahaan Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi

Sumber: Dicken (2011).

Prestasi ini menunjukan bahwa industri otomobil Korea Selatan khususnya Hyundai, telah mampu memiliki kapasitas produksi yang kurang lebih sama dengan pelaku industri otomobil yang lebih maju dari Jepang dan Amerika, seperti General Motor, Ford, dan Toyota. Menegaskan prestasi tersebut, Hyundai terus mengalami peningkatan produksi dari tahun 2009 sampai dengan 2011. Tercatat produksi mobil Hyundai pada tahun 2009 mencapai sekitar 1,6 juta unit, pada tahun 2010 berada di angka sekitar 1,75 juta unit, dan tahun 2012 produksi Hyundai menembus angka 1,9 juta unit kendaraan.

(7)

Selain terus meningkatkan kuantitas produksi, industri otomobil Korea Selatan juga melakukan peningkatan kualitas. Hyundai yang pada awalnya masuk pasar Amerika sebagai mobil murah dengan kualitas rendah, melakukan transformasi dan upgrading2 dengan masuk ke pasar mobil premium. Dimana pada tahun 2008, salah satu produk Hyundai yaitu Genesis meraih penghargaan paling bergengsi yang dianugerahkan kepada produsen otomobil di pasar Amerika yaitu, North American Car of The Year. Kemudian bentuk keberhasilan

upgrading Hyundailainnya adalah, kemampuan pelaku industri otomobil terbesar di Korea Selatan ini membangun kendaraan berkonsep green car dengan memproduksi kendaraan elektrik dan hibrida yang merupakan “masa depan” industri otomobil dunia.

Selama beberapa dekade terakhir industri otomobil Korea Selatan telah mengalami perkembangan pesat, dari yang tadinya hanya merupakan industri kecil dibawah kontrol pemerintah menjadi pemain penting di dalam pasar global (Lee, 2011: 428). Negara ini mampu menjadi yang paling berhasil dalam pembangunan industri otomobil domestik di antara negara-negara berkembang lainnya yang memulai proses industrialisasi dalam waktu relatif hampir bersamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa Korea Selatan telah jauh melewati Brazil yang lebih dulu memulai proses pembangunan industri ini (Mukherjee dan Sastry, 1996: 75).

2 Usaha untuk melakukan optimalisasi pembelajaran dan penciptaan nilai guna meningkatkan

kapabilitas pelaku industri dengan tujuan agar dapat menghasilkan produk yang lebih baik, lebih efisien, dan mampu melakukan aktifitas produksi yang lebih tinggi dalam rantai produksi (Gerefi dan Fernandez-Stark, 2011:12).

(8)

B. Rumusan Permasalahan

Keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan dan pengembangan industri otomobil dalam negeri yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, memunculkan pertanyaan sebagai berikut: Mengapa industri otomobil Korea Selatan berhasil mencapai kemajuan sehingga mampu melakukan transformasi, dari yang tadinya merupakan industri kecil dibawah kontrol pemerintah, menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar di dunia?

C. Tinjauan Pustaka

Berbagai pandangan mengenai keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan dan industrialisasi, telah memberikan kontribusi bagi pemahaman mengenai kemajuan yang telah dicapai oleh negara tersebut. Pandangan tersebut antara lain datang dari Alice H. Amsden yang pada salah satu bagian dalam tulisannya Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization, membahas tentang industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi di Korean Selatan disebabkan oleh peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang terintegrasi untuk mendukung kemajuan proses industrialisasi.

Hal tersebut dilakukan dalam bentuk dukungan dana yang besar kepada industri, mengarahkan fokus kegiatan industri, serta melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar (Amsden, 1989). Pemerintah dengan kapasitas keuangan yang dimiliki dapat mengalokasikan dana yang besar untuk kemajuan industri dan mendukung pelaku usaha lokal dalam hal permodalan sehingga dapat

(9)

mengembangkan usahanya. Dalam mendukung perkembangan industri, Korea Selatan membentuk lembaga finansial dibawah kendali pemerintah untuk menjamin akses terhadap modal bagi para pengusaha.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan kebijakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, pelaku industri dapat melaksanakan program dengan fokus, sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar target yang ingin dicapai, dapat terealisasi dengan baik. Lembaga-lembaga seperti EPB dan KCIA dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan koordinasi dan kooperasi dalam menjalankan program pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan.

Pemerintah juga dapat melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar dalam konteks melindungi industri lokal dari persaingan langsung dengan kompetitor luar yang lebih maju. Pada awal kemunculan industri otomobil di Korea Selatan, Pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor mobil dalam bentuk jadi dari luar negeri. Akan tetapi pemerintah kemudian memperbolehkan impor suku cadang kendaraan yang bertujuan untuk meningkatkan minat pelaku industri otomobil yang merupakan industri perakitan untuk dapat terus tumbuh dan berkembang dalam proses industrialisasi dalam negeri.

Sejalan Dengan pandangan Amsden, Nae-Young Lee (2011) di dalam tulisannya The Automobile Industry yang merupakan bagian dari buku The Park Chung Hee Era: The Transformation of Korea, berpandangan bahwa peran pemerintah terutama pada masa rezim Park Chung-hee menentukan kemajuan industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, pemerintah memberikan segala

(10)

sesuatu yang dibutuhkan oleh industri otomobil untuk terus dapat meningkatkan produktifitas, sehingga mempermudah para pelaku industri dalam negeri untuk terus berkembang. Selain itu, pemerimtah memberikan kemudahan modal dan subsidi untuk memasuki lini produksi yang baru, menghadapi situasi krisis, dan mencegah pelaku usaha mendapatkan kerugian.

Andrew E. Green (1992) dalam tulisannya, South Korea’s Automobile Industry: Development and Prospect juga menekankan peran negara dalam pembangunan industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, negara dapat membantu pengembangan industri untuk mencapai kemajuan teknologi dan efisiensi sehingga mampu menghasilkan produk yang lebih kompetitif daripada hanya dengan mengandalkan kemampuan sektor privat saja (Green, 1992: 412). Green juga menambahkan bahwa industri otomobil Korea Selatan tidak akan dapat mencapai kemajuan teknologi dan daya saing tanpa intervensi atau peran aktif dari pemerintah.

Selain tulisan-tulisan yang memandang bahwa peran negara merupakan faktor penentu keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan, terdapat pandangan lainnya yang lebih melihat kekuatan pasar sebagai faktor penentu dibalik kesuksesan negara tersebut. Menurut Bella Balassa dalam tulisannya Outward versus Inward Orientation Once dan Korea’s Development Strategy, keberhasilan Korea Selatan dihasilkan dari strategi kebijakan outward looking. Balassa beranggapan bahwa strategi ini menjadi faktor penentu yang membawa Korea Selatan keluar menjadi negara dengan capaian industri dan perekonomian yang jauh lebih baik, dibandingkan negara-negara di Amerika

(11)

Selatan dan negara lainnya yang pada saat bersamaan menempuh kebijakan

Import Substitution Industry. Strategi outward looking yang dijalankan di Korea selatan menjadikan perekonomian dan industri disana lebih terintegrasi dengan pasar yang merupakan kunci keberhasilan ekonomi menurut pandangan liberal (Balassa, 1983; Balassa, 1990).

Kebijakan outward looking yang diterapkan melalui kebijakan industri berorientasi ekspor membuka peluang bagi Korea Selatan untuk memanfaatkan pasar yang tersedia diluar sehingga dapat memperbesar skala ekonomi, mengembangkan atau membangun teknologi baru, dan menambah kapabilitas industri nasional. Selain itu, kebijakan EOI juga berkontribusi meningkatkan jumlah ekspor dengan memaksimalkan potensi sumber daya dan teknologi berdasarkan comparative advantage yang dimiliki oleh Korea Selatan.

Selain itu, strategi outward looking dengan menekankan industri berorientasi ekspor menghasilkan industri-industri yang efisien dan pada akhirnya mampu bersaing secara internasional dan global, sehingga industri (otomobil) di Korea Selatan dapat memberikan kontribusi cukup besar terhadap pembangunan ekonomi. Selain itu, Balassa juga melihat bahwa dalam menjamin keberhasilan perekonomian, peran terbesar harus dialamatkan kepada swasta atau privat, sehingga Industri yang dijalankan oleh Chaebol di Korea Selatan memberikan dukungan terhadap argumen neoklasik atau liberal mengenai penjelasan tentang keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korea Selatan.

Mendukung argumen yang telah disampaikan oleh Bella Balassa, Siem Pichnorak (2013) dalam tulisannya The Roles of Export-led Policies in

(12)

Developing Automobile Industry in South Korea, memiliki pandangan bahwa kemajuan industri otomobil Korea Selatan disebabkan oleh kebijakan industri berorientasi ekspor. Kebijakan ini memberikan ruang kepada pelaku industri otomobil Korea Selatan untuk memperbesar skala ekonomi yang tidak mungkin diraih apabila hanya mengandalkan pasar domestik. Lebih jauh lagi menurut Pichnorak, persaingan internasional akibat kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor, memberikan pengalaman bagi pelaku industri otomobil Korea Selatan, sekaligus mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi agar dapat bertahan dalam persaingan tersebut (Pichnorak 2013: 18). Dengan demikian industri otomobil Korea Selatan pada akhirnya dapat berada sejajar dengan pelaku-pelaku industri otomobil dari negara maju dikarenakan daya saing dan pangsa pasar yang tinggi.

Pandangan lainnya yang melihat tentang keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korea Selatan datang dari perspektif dependensi. Pandangan ini berangkat dari konsep strukturalis yang melihat keberhasilan Korea Selatan dalam kemajuan industri dan pembangunan ekonomi disebabkan oleh faktor ketergantungan Korea Selatan terhadap teknologi dan kapital serta perdagangan luar negeri yang didukung oleh Jepang. Robert Castley dalam tulisannya Korea’s Economic Miracle: The Crucial Role of Japan, melihat bahwa Jepang memegang peranan penting dalam proses pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan. Transfer teknologi dari Jepang sangat berperan dalam membantu kemajuan industri negara tersebut. Bentuk-bentuk transfer teknologi

(13)

dilakukan melalui berbagai program kerjasama antara lain seperti joint venture

dan lisensi teknologi (Castley, 1997).

Struktur internasional yang terbentuk dari interaksi sosial dan ekonomi membentuk suatu pengelompokan yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang yang biasa disebut sebagai negara core dan periphery. Negara maju digambarkan sebagai negara yang mengusai modal, faktor-faktor produksi, dan penghasil barang-barang industri, sedangkan negara berkembang merupakan penghasil kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan-bahan mentah untuk kepentingan industri.

Pada masa awal berdirinya industri otomobil Korea Selatan, struktur internasional menempatkan Jepang sebagai negara maju dan tentu saja Korea Selatan sebagai negara berkembang di dalam kawasan regional Asia (Timur). Sebagai negara berkembang yang baru saja memulai proses industrialisasi, Korea Selatan memiliki banyak keterbatasan dalam hal modal dan teknologi. Untuk mengembangkan industri dalam negeri, Korea Selatan bergantung kepada modal dan teknologi yang dimiliki oleh negara maju, dalam hal ini Jepang. Sehingga kemudian dilakukan kerjasama ekonomi antara kedua negara dalam proses industrialisasi. Ketergantungan dan proses kerjasama tersebut menggambarkan peran Jepang dalam perkembangan dan kemajuan industri di Korea Selatan.

Ketika pertama kali membangun pabrik baja, Korea Selatan sama sekali tidak memiliki kemampuan dan pengalaman, sehingga hal ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai proyek ambisius pemerintahan saat itu. Pembangunan pabrik baja yang diberi nama POSCO ini dilakukan dengan cara belajar dari

(14)

Jepang dan mendatangkan tenaga ahli dari sana, yang pada saat itu diakui sebagai salah satu penghasil baja terbaik di dunia. Sedangkan dalam membangun industri otomobil, pada awalnya perusahaan otomobil Korea Selatan melakukan pekerjaan perakitan dari pabrikan utama Jepang dan Amerika. Kerjasama yang dilakukan pada saat itu melibatkan Hyundai yang merupakan subkontrak dari Ford dan Daewoo yang merupakan subkontrak dari Mitsubishi.

Dari literatur-literatur sebelumnya yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat bahwa mekanisme pasar, peran negara, dan ketergantungan terhadap modal dan teknologi yang menghasilkan kerjasama internasional, merupakan faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea Selatan. Konsep-konsep yang menjelaskan tentang keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea Selatan dalam literatur tersebut akan menjadi pijakan bagi tulisan ini untuk melihat dan menjelaskan kemajuan industri otomobil Korea Selatan, terlebih lagi dalam melihat peran pemerintah dan Jepang dalam membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas domestik.

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai kemajuan industri otomobil Korea Selatan dengan menggunakan konsep Economic Backwardness,

intervensi selektif, upgrading dan sinergi, serta menjadikan literatur-literatur terdahulu yang telah dipaparkan diatas sebagai acuan. Lalu kemudian, melihat relevansi konsep-konsep yang ada di dalam literatur tersebut untuk digunakan dalam membantu menjelaskan permasalahan yang akan dibahas di bagian-bagian berikutnya pada tulisan ini.

(15)

D. Kerangka Pemikiran

Secara umum seperti yang ditunjukan pada bagian tinjauan pustaka, berbagai pandangan yang telah berusaha menjelaskan tentang kemajuan Korea Selatan dalam proses pembangunan dan industrialisasi digambarkan sebagai pertarungan antara peran negara (Amsden, 1989; Lee, 2011; Green 1992) dengan peran pasar (Balassa, 1983; Pichnorak, 2013). Penelitian ini tidak bertujuan untuk melanjutkan atau turut mengambil bagian dalam perdebatan tersebut. Menurut berbagai studi dan literatur, baik negara maupun pasar sama-sama memilki kontribusi terhadap kemajuan ekonomi suatu negara 3 . Terlebih lagi perkembangan globalisasi dewasa ini membawa keterbukaan ekonomi yang sangat luas, sehingga dibutuhkan kombinasi keduanya untuk dapat menghasilkan lebih banyak dari integrasi ekonomi global.

Tulisan ini melihat bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh industri otomobil Korea Selatan, disebabkan oleh keberhasilan negara tersebut dalam membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri dalam negeri. Dengan daya saing dan kapabilitas domestik yang dimiliki, Korea Selatan dapat memanfaatkan peluang yang disediakan oleh pasar bagi kemajuan industri otomobil dalam negeri. Sehingga, negara yang termasuk ke dalam kategori

latecomer ini, mampu berada sejajar dengan negara maju dan jauh meninggalkan negara berkembang lainnya yang masuk ke dalam proses industrialisasi dalam rentang waktu relatif bersamaan.

3 Lihat Castley (1997), Hobday (1995) dan tulisan tokoh-tokoh pendukung ide strukturalis

(reformis) seperti Mahbul ul Haq, Gunnar Myrdal, serta Raul Prebisch.

(16)

Status Korea Selatan sebagai latecomer dalam proses industrialisasi (otomobil), berimplikasi pada seberapa besar peran negara dalam membangun daya saing. Menurut pandangan Alexander Gerschenkron (1962) dalam konsep

economic backwardness, semakin belakangan suatu negara melakukan proses industrialisasi maka semakin besar intervensi pemerintah yang diperlukan untuk dapat bersaing. Peran pemerintah diperlukan karena negara yang datang belakangan dalam proses industrialisasi akan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Sehingga, modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing dengan kompetitor-kompetitor dari luar juga semakin tinggi.

Dalam “mengejar ketertinggalan”, pemerintah merupakan institusi yang dapat memenuhi kebutuhan industri akan kapital dengan jumlah besar dan menyediakan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun industri. Penyediaan dan pengembangan teknologi guna menghasilkan inovasi yang dibutuhkan untuk menopang proses kegiatan industrialisasi membutuhkan investasi R&D yang juga memerlukan alokasi dana dalam jumlah besar.

Dengan didasari oleh argumen Gerschenkron tersebut, tulisan ini berpandangan bahwa peran pemerintah merupakan suatu keniscayaan dalam membangun dan meningkatkan daya saing, terutama dengan semakin ketatnya persaingan industri ditengah-tengah meluasnya globalisasi atau keterbukaan ekonomi belakangan ini. Menurut Peter Dicken (2011) dan Sanjaya Lall (2003), proses globalisasi atau liberalisasi ekonomi tidak serta merta mengeliminasi peran negara dalam perekonomian seperti pandangan pemikiran neoklasik. Justru

(17)

sebaliknya, peran pemerintah diperlukan untuk menstimulasi potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari proses integrasi ke dalam pasar internasional.

Peran pemerintah dalam pembangunan industri otomobil Korea Selatan telah terlihat sejak industri ini dibangun. Hal ini ditunjukan oleh kebijakan the Automotive Industry Promotion Law yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong lahirnya pelaku-pelaku industri otomobil dalam negeri. Melalui kebijakan ini, pemerintah melakukan promosi industri otomobil dengan memberikan berbagai kemudahan dan menentukan pelaku industri yang memiliki kapabilitas untuk menjadi pemain dalam proses pembangunan industri ini yang diatur oleh Ministry of Commerce and Industry atau MCI.

Berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung pelaku industri otomobil, antara lain berupa proteksi pasar domestik dengan melarang impor kendaraan dalam bentuk jadi, menyediakan pinjaman modal bersubsidi dan insentif pajak investasi. Dengan berbagai kemudahan tersebut industri otomobil Korea Selatan tumbuh dan berkembang. Lahir pelaku-pelaku indutri otomobil dalam negeri seperti Saenara Motor, Shinjin Motor, Daewoo, Kia dan Hyundai.

Sebagai industri yang masih baru, industri otomobil Korea Selatan memiliki berbagai keterbatasan dan kekurangan, terutama terkait dengan kualitas kendaraan yang dihasilkan. Sehingga, untuk masuk ke pasar internasional sebagai upaya untuk merespon kebijakan industri berorientasi ekspor atau EOI, para pelaku industri otomobil Korea Selatan mengandalkan harga murah sebagai faktor

(18)

utama untuk dapat bersaing. Kendaraan asal negara inipun dikenal sebagai kendaraan murah dengan kualitas rendah.

Seiring dengan perkembangannya, para pelaku industri otomobil Korea Selatan melakukan diversifikasi produk. Industri ini memproduksi kendaraan dengan spesifikasi dan kualitas yang lebih baik, untuk dapat bersaing pada segmentasi pasar yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hyundai misalnya, pada tahun 1970an hanya memproduksi Pony dengan kapasitas 1400cc, namun kemudian pada tahun 1980an Hyundai mulai memproduksi varian lainnya dengan spesifikasi lebih tinggi, seperti Elantra 1800cc dan Sonata 2000cc.

Memasuki segementasi pasar yang lebih tinggi, daya saing industri otomobil Korea Selatan bergerak dari yang tadinya hanya mengandalkan faktor harga, kemudian mulai bersaing dengan mengedepankan kualitas. Keberhasilan Industri otomobil Korea Selatan meningkatkan daya saing di pasar internasional ditandai dengan penghargaan yang diraih oleh beberapa varian kendaraan yang dipasarkan di luar negeri, seperti Kia Cee’d di Inggris tahun 2008 dan Hyundai

Genesis di Amerika Serikat pada tahun tahun yang sama.

Untuk meningkatkan daya saing yang menekankan pada faktor kualitas, Korea Selatan melakukannya dengan cara membangun kapabilitas industri dalam negeri. Menurut Sanjaya Lall (2000), kapabilitas industri berkaitan dengan penguasaan teknologi yang dimiliki oleh suatu negara dalam menjalankan proses industrialisasi. Lall berargumen bahwa pengembangan kapabilitas industri yang dilakukan oleh suatu industri khususnya yang datang dari negara berkembang, membutuhkan intervensi selektif dari pemerintah (Lall, 2000; Lall 2003).

(19)

Intervensi pemerintah dibutuhkan agar proses penyerapan teknologi yang dilakukan pelaku industri dalam negeri dapat berlangsung efektif dan efisien.

Intervensi selektif yang dimaksud oleh Lall adalah kebijakan pemerintah ditujukan langsung pada kegiatan industri yang bersifat spesifik (Lall, 2000: 3). Pandangan ini didasari atas pemikiran bahwa setiap industri memiliki kebutuhan yang berbeda-beda untuk membangun dan meningkatkan kapabilitasnya sehingga dibutuhkan intervensi yang sesuai dan tepat untuk menyasar kebutuhan tersebut. Berbeda dengan proteksi pemerintah dalam pemahaman developmental state yang bersifat statis seperti kebijakan Import Substitution Industry atau ISI, intervensi selektif lebih bersifat fleksibel dan dinamis. Misalnya, proteksi dilakukan hanya pada industri-industri tertentu yang memerlukan perlindungan dalam persaingan internasional, kemudian secara bersamaan juga membuka diri terhadap investasi asing untuk menyediakan teknologi yang dibutuhkan bagi industri tertentu.

Dalam pembangunan industri otomobil, pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan selektif dengan cara melakukan proteksi sebelum para pelaku industri domestik mencapai tahapan yang sudah matang atau mampu bersaing. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan pelaku industri otomobil lokal akan teknologi, pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk melakukan proses kerjasama dengan pelaku industri otomobil dari luar terutama Jepang melalui joint venture, lisensi teknologi, pengurangan pajak impor barang produksi dan lain sebagainya. Pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan yang sangat ketat dalam membatasi investasi asing atau FDI untuk menjaga kepemilikan mayoritas dan monopoli pelaku industri otomobil lokal terhadap

(20)

pasar domestik. Dengan kebijakan ini, industri otomobil Korea Selatan dapat melahirkan pelaku industri besar seperti Kia dan Hyundai.

Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan R&D. Selain melakukan kerjasama dengan pelaku industri otomobil domestik dalam bentuk koalisi public-private R&D, pemerintah juga menerapkan kebijakan yang mendukung pengembangan R&D nasional, seperti melakukan investasi melalui institusi riset publik maupun lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Melalui institusi riset publik seperti KAIST atau Korea Advanced Institute of Science and Technology yang didirikan pada tahun 1981, pemerintah membantu pelaku industri otomobil domestik untuk memperoleh teknologi dari luar negeri, melakukan difusi teknologi melalui

reverse engineering, dan menyediakan peneliti-peneliti berkompeten serta berpengalaman. Melalui lembaga pendidikan tinggi atau universitas, pemerintah membangun Graduate School of Automotive Technology di wilayah pusat industri Ulsan yang bertujuan untuk mendukung pengembangan teknologi industri otomobil dalam negeri.

Pengembangan R&D yang berkontribusi terhadap peningkatan kapabilitas teknologi industri domestik, memungkinkan pelaku industri otomobil domestik untuk dapat bersaing dalam merespon kebutuhan atau keinginan pasar internasional yang dinamis dan terus bergerak maju. Hal ini ditunjukan dengan pengembangan kendaraan hibrida oleh Hyundai yang menggunakan konsumsi bahan bakar fosil konvensional dan energi listrik. Pengembangan kendaraan dengan teknologi tinggi dan terbaru ini menunjukan bahwa Korea Selatan berhasil

(21)

membangun dan meningkatkan kapabilitas (teknologi) industri otomobil domestik melalui intervensi kebijakan selektif dari pemerintah.

Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa, salah satu bentuk kebijakan selektif pemerintah untuk memenuhi kebutuhan teknologi industri otomobil domestik adalah dengan mendorong terciptanya kerjasama dengan pelaku industri dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang. Negara maju khususnya Jepang, memiliki kontribusi terhadap pengembangan industri otomobil domestik di Korea Selatan dalam menyediakan kebutuhan industri seperti teknologi (awal), bahan produksi atau modal, dan lain sebagainya.

Mengenai peran negara maju dalam pembangunan industri domestik negara berkembang, Sanjaya Lall (2000) berpandangan bahwa pengetahuan dan informasi dari luar merupakan sumber utama bagi pengembangan kapabilitas domestik. Sumber pengetahuan dan informasi ini, tersedia dalam berbagai macam bentuk (Lall, 2000: 8). Mundukung argumentasi Lall, Mike Hobday (1995) berpandangan bahwa sebagai negara berkembang dalam menjalankan proses industrialisasi, Korea Selatan sangat bergantung dari sumber pengetahuan dan teknologi dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang.

Sekilas kedua pandangan ini sejalan dengan pemikiran tradisional neoklasik yang berpandangan bahwa dengan cara membuka diri, pasar akan memberikan keuntungan komparatif kepada ekonomi suatu negara yang minim campur tangan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah bersifat pasif dalam keterbukaan ekonomi yang dijalankan dimana Sanjaya Lall berbeda pandangan mengenai hal ini. Menurut Lall (2003), peran pemerintah sangat dibutuhkan

(22)

dalam membantu pelaku industri domestik untuk dapat menyerap informasi yang disediakan oleh pasar. Sebagai contoh, kerjasama antara pelaku industri domestik Korea Selatan dengan Jepang akan sulit terlaksana apabila pemerintah tidak memberikan berbagai insentif seperti pembukaan free export processing zone,

kemudahan pemberian izin lisensi kerjasama, dan lain sebagainya. Argumentasi Lall ini juga didukung oleh pandangan Dieter Ernst (2000) yang melihat bahwa dalam memastikan keberhasilan proses industrialisasi, pemerintah berperan dalam menyediakan kebutuhan penting bagi proses penyerapan pengetahuan dan modal seperti informasi, pelatihan, biaya serta dukungan lainnya (Ernst, 2000: 5).

Melalui berbagai kerjasama yang didorong oleh pemerintah, kemajuan industri otomobil Korea Selatan tidak lepas dari pengaruh Jepang. Dengan kata lain, Jepang berperan dalam upaya Korea Selatan membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri otomobil domestik. Peran Jepang antara lain, sebagai rekan kerjasama sebagian besar pelaku industri otomobil Korea Selatan pada saat pertama kali masuk ke dalam industri otomobil seperti kerjasama Nissan dengan Saenara Motor dan Toyota dengan Shinjin Motor. Kemudian Mitsubishi yang melakukan kerjasama dengan Hyundai Motor Company dalam rentang waktu yang cukup panjang untuk membangun mobil pertama produksi pelaku industri otomobil terbesar di Korea Selatan tersebut, Hyundai Pony.

Selain melalui kerjasama teknik, Jepang juga berperan menyediakan barang produksi atau barang modal yang dibutuhkan oleh industri otomobil Korea Selatan, untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan global. Industri otomobil Korea Selatan juga mengadopsi sistem kerja yang digunakan Jepang

(23)

dalam proses produksi kendaraan. Sistem produksi JIT atau Just In Time yang diprakarsai oleh Toyota ini, digunakan oleh para pelaku industri otomobil Korea Selatan seperti Hyundai agar dapat mencapai tingkat efisiensi produksi yang lebih tinggi, setelah sebelumnya menerapkan sistem produksi masal. Bersamaan dengan meningkatnya daya saing, efisiensi produksi juga memberikan tambahan keuntungan bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan yang mengadopsi sistem JIT tersebut.

Peran pemerintah melalui intervensi kebijakan selektif dan Jepang dalam membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri juga memberikan insentif bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan untuk dapat melakukan upgrading. Hyundai misalnya, telah berhasil melakukan

upgrading dari yang tadinya merupakan bagian dari rantai produksi Ford, sebagai perakit mobil asal Amerika, bertransformasi menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar dunia dan mampu memproduksi kendaraan-kendaraan dengan spesifikasi dan teknologi tinggi. Keberhasilan upgrading ini juga didukung oleh sinergi antara pemerintah dengan pelaku industri.

E. Argumen Utama

Berdasarkan pada uraian yang telah dijelaskan dalam bagian kerangka pemikiran, tulisan ini berargumen bahwa kemajuan industri otomobil Korea Selatan disebabkan oleh peran pemerintah melalui penerapan intervensi berbentuk kebijakan selektif dan peran Jepang menyediakan berbagai input yang dibutuhkan

(24)

oleh Korea Selatan dalam upaya membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri dalam negeri.

Intervensi selektif yang dilakukan oleh pemerintah dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi langsung pada pengembangan industri otomobil Korea Selatan. Sehingga intervesi pemerintah menjadi lebih fokus dan memberikan hasil yang lebih efektif bagi kemajuan industri. Selain itu intervensi selektif juga langsung menyasar pada kebutuhan utama pengembangan industri otomobil di Korea Selatan, seperti pembangunan Graduate School of Automotive Technology di Ulsan.

Selain intervensi selektif dari pemerintah, kemajuan industri otomobil Korea Selatan juga didukung oleh peran Jepang yang menyediakan berbagai kebutuhan untuk membangun basis dan kapabilitas industri serta meningkatkan daya saing. Tanpa input dari Jepang berupa barang produksi, sumber informasi dan pengetahuan serta teknologi, Korea Selatan akan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk dapat bersaing dengan industri otomobil dari negara maju. Dengan mengandalkan input dari Jepang, Korea Selatan dapat mencapai tahapan lebih tinggi dalam proses pengembangan industri otomobil dalam waktu yang lebih singkat.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada pendekatan saintifik, dimana menurut Dickinson Mcgaw dan George Watson (1976), merupakan metode analisa yang objektif, logis, dan sistematis untuk

(25)

mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena yang akan diamati. Berdasarkan pandangan Mohtar Mas’oed (1990), mendeskripsikan fenomena yang diamati adalah upaya untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan menjelaskan fenomena yang terkait dengan pertanyaan “mengapa” di dalam sebuah penelitan.

Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan melalui proses mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang diamati dengan mengacu kepada fakta atau data empiris, disertai argumentasi secara logis berdasarkan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian didapatkan proposisi atas konsep-konsep yang digunakan untuk menguji posisi argumen utama yang telah diajukan.

Penelitian ini ditunjang dengan pengumpulan data melalui studi pustaka,

data-data yang digunakan bersumber dari berbagai literatur, buku-buku yang membahas tentang perkembangan ekonomi dan industri di Korea Selatan, jurnal-jurnal yang berhubungan dengan industri otomobil, data statistik dari Korean Trade-Investment Promotion Agency atau KOTRA dan Korea Automobile Manufacturers Association atau KAMA, serta data-data lainnya termasuk data dari internet, yang memiliki relevansi dengan objek yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Bab pertama merupakan pendahuluan dari tulisan ini, terdiri dari latar belakang masalah yang menunjukan mengapa isu yang diangkat ini merupakan permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti, lalu kemudian perumusan

(26)

masalah, kerangka pemikiran, argumen utama, tinjauan pustaka, metode peneltian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menggambarkan tentang perkembangan industri otomobil di Korea Selatan dari awal terbentuk hingga mencapai keberhasilan yang signifikan dengan melihat dinamika dalam pembangunan industri tersebut yang pada akhirnya melahirkan Hyundai sebagai ”national champion”.

Bab ketiga menjelaskan tentang peran pemerintah dan Jepang dalam kemajuan industri otomobil Korea Seleatan. Peran pemerintah dimanifestasikan melalui kebijakan selektif yang bersifat spesifik dan kontribusi dalam pengembangan R&D. Sedangkan Jepang berkontribusi dalam membantu industri otomobil Korea Selatan membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri.

Bab keempat membahas tentang studi kasus upgrading yang dilakukan oleh Hyundai Motor Company, yang berhasil membangun kendaraan dengan konsep green car. Keberhasilan Hyundai ini tidak lepas dari peran pemerintah melakukan sinergi dalam proses pengembangan industri.

Bab kelima berisi pokok-pokok kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi teoritis terhadap konsep-konsep yang digunakan di dalam tulisan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini memiliki beberapa tahapan analisis, yaitu identifikasi aktivitas pasangan suami istri di Kecamatan Pedurungan, identifikasi pola pergerakan

Provinsi Bali perlu dibuatkan sebuah bangunan pusat pelayanan desain yang berfungsi sebagai tempat informasi desain arsitektur dan interior, tempat kerjasama diantara

Universitas Kristen Petra Berdasarkan nilai rata – rata pada dimensi strength of brand associations, nilai mean tertinggi adalah indikator dominasi warna merah pada Air Asia dengan

Para sa mga mag-aaral na kumukuha sa kursong Hospitality Management, dapat pag-aralang mabuti ang kursong ito upang magampanan ng maayos ang uri ng trabaho na mapasukan. b.Para

Adapun skripsi yang peneliti buat berjudul GERAKAN FAJAR NUSANTARA DALAM BINGKAI MEDIA (Analisis Framing Robert N. Entman Terhadap Pemberitaan Organisasi Gafatar di

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya.... Stabilitas

Fakta di atas mengungkapkan bahwa pekerjaan normalisasi sungai untuk kepentingan permukiman dengan tujuan mempercepat arus dari hulu ke hilir sungai telah

Pada siang hari, Kamis (15/12), di waktu yang sama tim dokter yang menangani operasi Tutik dan Direktur Rumah Sakit Pendidikan UNAIR Prof.. Nasronudin, dr.,