• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM FILM ALICE IN WONDERLAND DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM FILM ALICE IN WONDERLAND DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN TESIS"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN TINDAK TUTUR

DIREKTIF DALAM FILM ALICE IN WONDERLAND DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Penerjemahan

Oleh Ari Wahyuni

S131008002

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

(2)

ii   

(3)

iii   

(4)

iv   

(5)

v   

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

D Papa, Mama, dan adik saya tercinta

Terimakasih atas doa yang tak pernah putus, atas semua dukungan & cintanya selama ini.

I love you more, and much more everyday. D My future husband and children

(6)

vi   

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Al Inshira 94: 6)

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang- orang yang khusyu’. (Al

Baqarah: 45)

Bersabarlah kepada setiap orang, tetapi lebih bersabarlah kepada dirimu sendiri. Janganlah gelisah karena ketidaksempurnaanmu, dan bangunlah selalu dengan

perkasa dari suatu kejatuhan. (NN)

(7)

vii   

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah berupa kesehatan, kekuatan, dan kemampuan, serta senantiasa memberikan petunjuk dan perlindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah menjadi tuntunan dan panutan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Linguistik Minat Utama Penerjemahan, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak dalam penyusunan tesis ini. Dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana UNS, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan di Program Pascasarjana UNS.

2. Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik UNS dan Pembimbing I, yang memberi bimbingan, waktu, tenaga bagi penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

3. Dra. Diah Kristina, M.A., Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik UNS, atas bimbingan dan arahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Sri Marmanto, M.Hum. selaku Pembimbing II, yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penulis selama menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh Dosen Program Studi Linguistik Pascasarjana UNS yang telah memberi ilmu dan cakrawala berpikir yang luas kepada penulis, sehingga penulis dapat meraih gelar sarjana S2.

6. Para informan penelitian: Bapak Herianto Nababan dan Prof Dr. Djatmika, M.A. yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk menyediakan data sebagai bagian bahan kajian dalam penelitian ini.

(8)

viii   

7. Keluargaku tersayang: Papa, Mama, dan adikku Rizky yang tak henti- hentinya memberikan cinta, doa, dan segala macam bentuk dukungan pada penulis sepanjang hidup.

8. Sahabat-sahabatku tersayang: Mbak Irma, Arum, Retno dan Nurul, terimakasih atas segala support, doa, perhatian, dan bantuannya yang tak pernah putus selama ini. Sahabat- sahabatku di Salita: Lelya, Alfi, Antin, Dina, Nisa, Ratna, Yunis, Nila, Nita, Ifa, dll yang tidak sempat saya sebut satu- persatu yang selalu membantu dan menemani. Terimakasih untuk Bob “the flying partner”, teman seperjuangan dan rekan terbaik selama detik- detik terakhir penyusunan tesis ini. Yetty, Fera, Mbak Retno, Bu Indah, Mas Singgih, Shafa, Sari, serta seluruh rekan mahasiswa program studi linguistik penerjemahan angkatan 2010, 2011, 2012, dan semua orang yang pernah memberikan keceriaan, dukungan, dan bantuan sehingga penulis tetap bersemangat dalam menjalani perkuliahan dan dalam penyusunan tesis ini.

Semoga Allah membalas semua kebaikan pihak-pihak di atas dengan memberikan kesehatan, kesabaran, dan kekuatan untuk meraih mimpi dan kebahagiaan masing- masing. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis akan selalu menerima saran, masukan, maupun kritikan yang bersifat membangun dari para pembaca.

Surakarta, 7 Agustus 2014

Penulis

Ari Wahyuni

commit to user

(9)

ix   

DAFTAR ISI

Persetujuan Pembimbing ... ii

Pengesahan Tim Penguji ... iii

Pernyataan ... iv

Persembahan ... v

Motto ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Lampiran ... xiv

Daftar Singkatan ... xv

Abstrak ... xvi

Abstract ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori 1. Definisi Penerjemahan ... 10

2. Makna dalam Penerjemahan ... 11

a. Propositional Meaning ... 11

b. Expressive Meaning ... 12

c. Presupposed Meaning ... 12

d. Evoked Meaning ... 13

commit to user

(10)

x   

3. Definisi Metode, Strategi, dan Teknik Penerjemahan ... 14

4. Teknik Penerjemahan ... 15

5. Penilaian Kualitas Terjemahan ... 20

1. Keakuratan ... 20

2. Keberterimaan ... 21

3. Keterbacaan ... 22

6. Pragmatik ... 23

7. Tindak Tutur (Speech Act) ... 23

8. Tindak Tutur Direktif ... 25

1. Klasifikasi menurut Holmes ... 26

2. Klasifikasi menurut Allan ... 26

B. Kerangka Pikir ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29

B. Lokasi Penelitian ... 30

C. Data dan Sumber Data ... 31

D. Teknik Pengumpulan Data ... 32

E. Validitas Data ... 34

F. Sampel dan Teknik Sampel ... 35

G. Teknik Analisis Data ... 36

H. Prosedur Penelitian ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pendahuluan ... 40

B. Hasil Penelitian ... 40

1. Deskripsi Data Berdasarkan Bentuk dan Fungsi Direktif ... 40

2. Teknik Penerjemahan ... 60

3. Penilaian Kualitas Terjemahan ... 80

C. Pembahasan ... 89

1. Bentuk tindak tutur direktif dan teknik penerjemahan ... 93

2. Dampak Teknik Penerjemahan terhadap Kualitas Terjemahan ... 101

commit to user

(11)

xi   

3. Analisis Tema Kultural ... ...116

BAB V Simpulan Dan Saran A. Simpulan... 120

B. Saran ... 121

Daftar Pustaka ... 123

Lampiran ... 126

(12)

xii   

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Skala Keakuratan ... 20

Tabel 2.2. Skala Keberterimaan ... 21

Tabel 2.3. Skala Keterbacaan ... 22

Tabel 3.1 Skala Penilaian Keakuratan. ... 32

Tabel 3.2. Skala Penilaian Keberterimaan ... 33

Tabel 3.3 Contoh Data ... 36

Tabel 3.4 Contoh Bukan Data ... 36

Tabel 3.5. Contoh Analisis Taksonomik ... 37

Tabel 3.6. Contoh Analisis Komponensial ... 37

Tabel 4.1. Bentuk Direktif dan Persentasenya ... 41

Tabel 4.2. Teknik Penerjemahan Tunggal ... 60

Tabel 4.3. Teknik Penerjemahan Ganda ... 73

Tabel 4.4. Persentase Data Akurat ... 81

Tabel 4.5. Persentase Data Kurang Akurat ... 83

Tabel 4.6. Presentase Data Tidak Akurat ... 84

Tabel 4.7. Presentase Data Berterima ... 85

Tabel 4.8. Presentase Data Kurang Berterima ... 87

Tabel 4.9. Presentase Data Tidak Berterima ... 88

Tabel 4.10.Tabel Komponensial ... 91

Tabel 4.11. Frekuensi Penggunaan Teknik Penerjemahan ... 97

Tabel 4.12. Bentuk Direktif dan Teknik Penerjemahan ... 100

Tabel 4.13. Kualitas Terjemahan Varian Tunggal ... 103

Tabel 4.14. Kualitas Terjemahan Varian Kuplet ... 111

(13)

xiii   

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Pikir ... 28

Gambar 3.1. Trianggulasi Sumber Data ... 34

Gambar 3.2. Trianggulasi Metode ... 35

Gambar 3.3. Skema Analisis Spradley ... 36

(14)

xiv   

DAFTAR LAMPIRAN

L-1 Lembar Kuesioner ... 127

L-1 Hasil Penilaian Tingkat Keakuratan ... 168

L-2 Hasil Penilaian Tingkat Keberterimaan ... 174

L-3 Konteks Situasi ... 179

(15)

xv   

DAFTAR SINGKATAN

BSu : Bahasa Sumber BSa : Bahasa Sasaran

(16)

xvi   

Ari Wahyuni. S131008002. 2014. Analisis Teknik Penerjemahan Tindak Tutur Direktif dalam Film Alice in Wonderland dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Terjemahan. Tesis. Pembimbing I: Prof. Dr. M. Nababan, M.Ed, M.A, Ph.D., Pembimbing II: Dr. Sri Marmanto, M.Hum. Minat Utama Linguistik Penerjemahan, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan kajian di bidang penerjemahan yang bertujuan untuk (1) menentukan bentuk tindak tutur direktif yang digunakan dalam film Alice in Wonderland, (2) mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan tindak tutur direktif, dan (3) mendeskripsikan dampak teknik penerjemahan tindak tutur direktif dalam film Alice in Wonderland terhadap kualitas penerjemahan yang mencakup keakuratan dan keberterimaan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang bersifat terpancang pada kasus tunggal. Sumber data penelitian ini adalah dokumen berupa naskah asli film Alice in Wonderland beserta terjemahannya dan 3 orang rater yang bertugas untuk menilai keakuratan dan keberterimaan hasil terjemahan. Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari tindak tutur direktif beserta terjemahannya dan hasil dari kuesioner sekaligus wawancara mendalam rater mengenai tingkat keakuratan dan keberterimaan terjemahan. Data sekunder didapat dari internet yang berupa artikel sinopsis film Alice in Wonderland dan review penonton. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen, kuesioner, dan wawancara mendalam. Pemilihan sampel data dilakukan dengan teknik purposif sampling.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terdapat 6 bentuk tindak tutur direktif yaitu requestive 13,99%, question 13,99%, requirement 53,89%, prohibitive 3,63%, advice 5,70%, dan warning 8,81%. (2) Dari 193 data temuan pada penelitian ini, ditemukan sebanyak 12 macam teknik penerjemahan yaitu teknik harfiah 39,62%, kesepadanan lazim 23,11%, reduksi 13,21%, modulasi 6,60%, amplifikasi linguistik 3,77%, borrowing 3,77%, transposisi 2,83%, adaptasi 2,36%, generalisasi 2,36%, kreasi diskursif 0,94%, partikularisasi 0,94%, dan deletion 0,47%. (3) Terjemahan tindak tutur direktif pada penelitian ini memiliki tingkat keakuratan dan keberterimaan yang cenderung tinggi. Penilaian tingkat keakuratan menunjukkan nilai sebesar 91, 71% sedangkan penilaian tungkat keberterimaan menunjukkan nilai 90, 16%.

Terdapat dua data yang mengalami pergeseran bentuk direktif. Meskipun demikian, dampak penggunaan teknik terhadap kualitas terjemahan menunjukkan sebagian besar makna direktif dapat menghasilkan terjemahan yang akurat dan berterima.

Kata kunci: teknik penerjemahan, tindak tutur direktif, keakuratan, keberterimaan.

 

(17)

xvii   

Ari Wahyuni. S131008002. 2014. An Analysis of Translation techniques of Directives in the Film entitled Alice in Wonderland and the Effects towards Translation Quality. 1st Supervisor: Prof. Dr. M. Nababan, M.Ed, M.A, Ph.D.. 2nd Supervisor: Dr. Sri Marmanto, M.Hum. Linguistics Graduate Program, Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research is the study of translation that aims to: (1) determine type of directives used in the film Alice in Wonderland, (2) describe translation techniques used by the translator to translate the directives into target text, (3) describe the effects of translation techniques of directives in the film Alice in Wonderland towards translation quality which includes accuracy and acceptability.

This research is qualitative descriptive and focuses on single case study. The source of data of this research is a document in the form of film entitled Alice in Wonderland as well as the transcript and the subtitle and the 3 raters who give rates to the accuracy and acceptability of the translation product. Data of this research consist of two kinds data which are primary and secondary data. Primary data consist of directives with the subtitle and the result of questionnaire and deep interview with the raters regarding accuracy and acceptability levels of the translation. Secondary data were obtained from internet which include the synopsis of the film Alice in Wonderland along with some reviews from viewers. The data collection was carried out through document analysis, questionnaire, and deep interview. The data were taken by using purposive sampling technique.

The results are as follows: (1) There are 6 kinds of directives which are requestive 13,99%, question 13,99%, requirement 53,89%, prohibitive 3,63%, advice 5,70%, and warning 8,81%. (2) From 193 data found in this research, there are 12 translation techniques. They are literal 39,62%, establish equivalence 23,11%, reduction 13,21%, modulation 6,60%, linguistic amplification 3,77%, borrowing 3,77%, transposition 2,83%, adaptation 2,36%, generalisation 2,36%, discursive creation 0,94%, particularization 0,94%, and deletion 0,47%. (3) translation quality assesment of directive in this research shows high result. The accuracy levels shows 91, 71% while acceptability shows 90, 16%.

There are two data shift in the form of directives. However, the influence of technique used towards translation quality shows that most of the meaning of directives in the source text is translated accurately in the target text and the result of its translation is grammatically accepted.

Keywords: translation technique, directives, accuracy, acceptability.

 

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga banyak kita jumpai di berbagai bidang kehidupan di negara kita. Mulai dari bidang pendidikan, sosial budaya, pariwisata, hingga dunia hiburan tidak dapat dilepaskan dari ilmu penerjemahan. Berbagai macam hasil dari penerjemahan dapat kita temui dengan mudah saat ini, baik itu bersumber dari media tulis maupun media elektronik, maupun media online. Sebagai contoh, di media tulis banyak terdapat terjemahan novel- novel asing, terjemahan buku- buku ilmu pengetahuan berbahasa Inggris, majalah anak- anak bilingual, majalah pariwisata bilingual dan masih banyak lagi. Di media elektronik seperti televisi, banyak dijumpai iklan komersial dari luar negeri. Begitu juga dengan film anak- anak hingga dewasa berkategori box office yang pasti memiliki fasilitas bilingual. Tak ketinggalan media online yang saat ini menyediakan berbagai bentuk informasi baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri. Semua itu merupakan produk dari penerjemahan.

Dari fenomena tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa ilmu penerjemahan memainkan peranan penting dalam setiap segi kehidupan di era modern ini. Hal ini karena penerjemahan dapat menjembatani perbedaan antara dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Keduanya memiliki aturan- aturan kebahasaan yang berbeda. Seperti diungkapkan oleh Larson (1998: 3) yang menyatakan bahwa menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain. ‘bentuk’ yang dimaksudkan adalah bahasa baik verbal maupun non-verbal. Dengan kata lain, ilmu penerjemahan pada dasarnya mengatasi perbedaan yang ada antara bentuk bahasa satu dengan bahasa lainnya.

Definisi penerjemahan lainnya yang dinyatakan oleh Nida dan Taber (1982: 12) menerangkan bahwa penerjemahan menciptakan kembali makna dalam bahasa sasaran suatu padanan alami yang paling mendekati pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam makna dan kedua dalam gaya. Sedangkan menurut Catford (1978: 20), penerjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan

(19)

bahwa penerjemahan sesungguhnya merupakan pemindahan makna yang terkandung pada suatu bentuk bahasa ke dalam bentuk bahasa lain secara padan dan alami.

Salah satu lahan produktif dari penerjemahan yang banyak kita jumpai di dunia hiburan saat ini adalah film. Film, terutama film asing telah menjadi sarana hiburan yang sangat menarik sekaligus dapat menjadi wahana edukasi bagi sebagian besar masyarakat kita. Selain merupakan suatu bentuk karya seni yang menghibur, film juga sangat bermanfaat karena dapat memberikan informasi, pengetahuan, pembelajaran dari seluruh penjuru dunia. Keberadaannya sangat ditunjang dengan adanya penerjemahan. Penerjemahan film biasanya terdiri atas dua jenis, yaitu dengan dubbing (sulih suara) dan dengan subtitle (pengalihan pesan dalam bentuk teks). Jenis penerjemahan film dengan dubbing biasanya digunakan bila hasil akhir yang dikehendaki berupa lisan sama seperti film produksi aslinya. Namun, apabila hasil akhir yang dikehendaki berupa teks tertulis, maka jenis subtitle yang akan digunakan. Meskipun demikian, berbagai faktor lain juga mempengaruhi pemilihan ini. Banyaknya film- film asing yang masuk ke negara kita dalam selang waktu yang relatif singkat memungkinkan subtitle sebagai sarana yang tepat dalam penerjemahan film. Hal ini disebabkan jenis dubbing (sulih suara) membutuhkan biaya, dan waktu yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan subtitle. Selain itu, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam membuat suatu terjemahan film. Hal tersebut adalah audience atau penonton film. Bila audience-nya balita hingga anak- anak biasanya akan menggunakan teknik penerjemahan dubbing karena akan lebih memudahkan mereka dalam mengikuti jalan cerita film tanpa harus membaca teks subtitle. Hal ini disebabkan oleh tingkat kecepatan membaca audience balita hingga anak- anak yang masih rendah. Sedangkan bila penontonnya adalah orang dewasa maka biasanya menggunakan teknik subtitle karena orang dewasa memiliki tingkat kecepatan membaca jauh lebih baik daripada anak- anak.

Sehubungan dengan dua jenis teknik penerjemahan pada film tersebut, penulis tertarik untuk menjadikan subtitle pada film sebagai objek penelitian dalam tesis ini. Salah satu aspek yang menarik untuk dijadikan bahan kajian dalam penerjemahan subtitle film adalah bentuk- bentuk tindak tutur atau yang dikenal sebagai speech act. Tindak tutur (speech act) merupakan salah satu bagian ilmu Pragmatik yang menarik untuk dikaji keterkaitannya dengan penerjemahan subtitle film. Tindak tutur membahas tentang makna tuturan atau intention (maksud) yang terkandung dalam suatu tuturan.

(20)

Dengan kata lain, dalam suatu tindak tutur pembicara tidak hanya memberi informasi, ide, atau gagasan melainkan juga melakukan sesuatu, seperti diungkapkan oleh Yule (1996: 47):

“Actions performed through utterances are called speech acts”

Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak tutur (speech acts) merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan seseorang, atau tuturan yang dimaksudkan agar pendengar melakukan sesuatu. Lebih lanjut menurut Searle, dalam komunikasi terdapat beberapa macam tindak tutur yang memiliki fungsi masing- masing, antara lain yaitu: meminta, menyuruh, berterima kasih, mengeluh, meminta maaaf, dan lain- lain (1976: 17).

Salah satu kategori tindak tutur yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah direktif. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh pembicara agar si pendengar melakukan sesuatu (Searle dalam Levinson, 1983: 240). Direktif dapat berupa memerintah, memohon, dan memberi saran. Direktif dipilih karena film yang yang akan diteliti sebagian besar menceritakan tentang kehidupan kerajaan dengan ratu sebagai pemimpinnya, sehingga mengusung konsep Ratu sebagai atasan dan pelayan sebagai bawahannya. Dalam menjalankan kekuasaannya sang Ratu jahat banyak menggunakan tindak tutur direktif kepada siapa saja, mulai dari pelayan hingga musuh besarnya yang bernama Alice. Selain itu banyak pula ditemukan direktif tokoh- tokoh lainnya yang bermain di dalam film ini.

Dalam penerjemahan film, tentu ada pengalihan pesan dari Bahasa Sumber (Bsu) ke Bahasa Sasaran (Bsa). Terkait dengan tindak tutur tentu saja pesan yang dialihkan ke dalam Bsa haruslah sama dengan pesan yang terkandung dalam Bsu yaitu intention (maksud) dari pembicara. Artinya, dalam menerjemahkan tindak tutur tertentu, intention (maksud) yang terkandung dalam BSu tidak boleh berubah jenis maupun fungsinya setelah menjadi BSa. Sehingga, bukan hanya bentuk tindak tuturnya yang dialihkan tapi juga makna yang terkandung dari tindak tutur tersebut. Seorang penerjemah harus bisa memperhatikan hal tersebut sehingga ia bisa menjembatani perbedaan antara kedua bahasa dengan menghasilkan terjemahan yang berkualitas tanpa mengubah pesan yang terkandung dalam Bsu.

Sehubungan dengan makna yang terkandung dalam terjemahan tindak tutur, penggunaan teknik penerjemahan sangatlah penting. Teknik penerjemahan adalah suatu

(21)

cara yang digunakan oleh penerjemah untuk dapat menghasilkan terjemahan yang sesuai dengan bahasa sumbernya. Teknik penerjemahan adalah keputusan yang diambil oleh penerjemah dalam proses menerjemahkan suatu teks. Menurut Molina dan Albir (2002: 509), teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik sebagai berikut:

1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan

2. Teknik penerjemahan diklasifikasikan dengan cara membandingkan antara teks bahasa sumber (BSu) dengan bahasa sasaran (BSa)

3. Teknik penerjemahan mempengaruhi tataran mikro teks 4. Teknik penerjemahan bersifat diskursif dan kontekstual 5. Teknik penerjemahan bersifat fungsional

Terkait dengan hasil terjemahan yang berkualitas atau tidak, ada suatu hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang penilaian mutu/ kualitas terjemahan. Dalam penilaian kualitas terjemahan ada beberapa aspek yang perlu ditinjau, yaitu aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Ketiga aspek ini sangat penting dalam menentukan apakah suatu produk terjemahan dapat menjalankan dengan baik fungsinya sebagai alat komunikasi. Aspek keakuratan berhubungan dengan akurat atau tidaknya pengalihan pesan teks dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Keberterimaan berhubungan dengan masalah terjemahan tersebut sesuai atau tidak dengan kaidah dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran. Sedangkan aspek keterbacaaan menyangkut masalah terjemahan tersebut dapat dipahami dengan mudah atau tidak oleh pembaca sasaran. Aspek kualitas terjemahan inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini lebih lanjut yaitu tentang bagaimanakah kualitas terjemahan tindak tutur direktif dalam film yang berjudul Alice in Wonderland.

Berikut adalah contoh tindak tutur direktif dan analisis terjemahannya dalam film: (1) Bsu : Off with his head!

Bsa : Potong kepalanya!

Tuturan tersebut adalah tindak tutur direktif yang dilakukan oleh Red Queen. Red Queen mendapati salah satu pelayannya telah mencuri kue tart miliknya. Ia kemudian memerintahkan prajuritnya untuk memenggal kepala si pelayan. Pada hasil terjemahan Bsu Off with his head! diterjemahkan menjadi Potong kepalanya!. Pada terjemahan di atas, penerjemah menggunakan teknik kesepadanan lazim. Teknik ini menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim seperti terdapat pada kamus

(22)

Inggris- Indonesia dimana frase off with berarti lepas (dari). Seperti nampak pada Potong kepalanya! kata potong sudah lazim digunakan dalam bahasa Indonesia walaupun dari segi keberterimaan kata potong tersebut masih terkesan kasar .

Data diatas merupakan salah satu data yang memiliki penilaian akurat dan berterima dari rater. Walaupun dari segi keberterimaan kata potong terkesan kasar pada suatu percakapan, namun dilihat dari konteksnya, dimana kedudukan penutur adalah seorang ratu jahat, maka pilihan kata tersebut menjadi berterima dalam kaidah bahasa sasaran. Contoh terjemahan tersebut merupakan suatu fenomena terjemahan yang menarik yang akan dibahas lebih lanjut.

(2) Bsu : Go to his house and collect the little ones. BSa : Pergi ke rumahnya dan ambil anak- anaknya.

Tuturan tersebut lanjutan dari tindak tutur direktif pada contoh pertama di atas yang dilakukan oleh Red Queen setelah dia mengetahui siapa yang telah mencuri kue tartnya. Dia memerintahkan prajuritnya untuk mengambil anak- anak pelayan yang telah mencuri tersebut untuk dijadikan kecebong panggang. Klausa go to his house pada BSu diartikan menjadi pergi ke rumahnya dan klausa collect the little ones menjadi ambil anak- anaknya pada BSa. Pada tuturan ini penerjemah menggunakan teknik harfiah. Teknik ini menerjemahkan kata demi kata.

Data tersebut diatas memiliki penilaian akurat dan berterima dari ketiga rater. Penggunaan teknik harfiah dan pilihan kata- kata pada tuturan tersebut menghasilkan terjemahan yang baik karena memiliki kualitas yang tinggi. Walaupun menggunakan teknik penerjemahan sederhana yaitu harfiah, namun tetap menghasilkan kualitas baik dimana pesan tetap tersampaikan dan sesuai dengan kaidah bahasa sasaran.Hal ini merupakan suatu fenomena penerjemahan yang menarik.

(3) Bsu : I think you’ll do best to keep your visions to yourself.

Bsa : Kurasa sebaiknya kau tak beri tahu bayanganmu ke siapapun. Tuturan tersebut dilakukan oleh Hamish kepada Alice saat mereka sedang berdansa di halaman pada acara keluarga Hamish. Saat itu Alice asyik melihat burung yang sedang terbang sehingga tidak sengaja menabrak pasangan lain yang sedang berdansa. Alice mengatakan bahwa dia sedang berkhayal membayangkan seandainya bisa terbang. Hamish lalu menasehatinya. Pada tuturan BSu Hamish menasehati Alice agar menjaga bayangannya untuk disimpan sendiri seperti berikut “..keep your visions

(23)

to yourself” Pada BSa, penerjemah mengubahnya menjadi “kau tak beri tahu bayanganmu ke siapapun.” Pada tuturan ini penerjemah menggunakan teknik modulasi. Dapat dilihat bahwa terjadi pengubahan sudut pandang pada BSa.

Data tersebut memiliki penilaian akurat, namun kurang berterima dari dua orang rater. Dilihat dari pemilihan katanya, kata “visions” menjadi kurang berterima ketika diterjemahkan menjadi “bayanganmu”. Kata “khayalanmu” dirasa lebih tepat untuk menggantikannya. Sedangkan pemilihan teknik modulasi yang digunakan penerjemah dirasa sudah tepat untuk menerjemahkan BSu ke dalam BSa.

Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini sebelumnya dilakukan oleh Adventina Putranti (2007) dalam tesis berjudul “Kajian Terjemahan Tindak Ilokusi Ekspresif dalam Teks Terjemahan Film American Beauty”. Penelitian ini meneliti salah satu tindak ilokusi yaitu ekspresif dan bagaimana kaitannya dengan penerjemahan. Penelitian kedua yang merupakan research gap adalah penelitian yang dilakukan oleh Ardianna Nuraeni (2008) dalam tesis berjudul “Perbandingan Terjemahan Tindak Tutur Mengeluh dalam Film Bad Boys II yang ditayangkan di Stasiun Televisi dan di VCD”. Penelitian ini meneliti salah satu tindak tutur yang tergolong dalam ekspresif yaitu tindak tutur mengeluh dan bagaimana kualitas terjemahan dari dua sumber tersebut. Penelitian yang ketiga berjudul “Analisis Terjemahan Tuturan Karakter Spongebob dalam komik Amazing Journey dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia” oleh Rahmat Wisudawanto (2012). Penelitian ini meneliti beberapa jenis tindak tutur ilokusi yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif serta bagaimana kualitas terjemahannya. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Singgih Daru Kuncara (2012) yang menulis penelitian berjudul “Analisis Terjemahan Tindak tutur Direktif pada Novel The Godfather karya Mario Puzo dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian ini mengkaji tentang penerapan fungsi ilokusi tindak tutur direktif dalam novel The Godfather, penggunaan teknik penerjemahan, dan dampaknya terhadap kualitas hasil terjemahannya. Dari hasil penelitiannya, ditemukan delapan fungsi ilokusi direktif.

Fungsi tersebut antara lain memerintah, menyarankan, meminta, memohon, melarang, menasihati, membujuk, dan menyilakan. Selain itu, ditemukan sebanyak 12 teknik penerjemahan.

Terkait beberapa penelitian di atas, penulis masih memiliki kesempatan untuk melengkapi penelitian yang berkaitan tentang tindak tutur. Oleh karena penelitian yang

(24)

sebelumnya belum meneliti tentang tindak tutur direktif pada subtitle film, penelitian ini akan berfokus pada tindak tutur direktif pada subtitle film yang berjudul Alice in Wonderland. Selain itu, klasifikasi direktif yang digunakan akan difokuskan pada teori dan klasifikasi yang lebih sistematis dimana penelitian sebelumnya belum menggunakan teori dan klasifikasi tersebut. Tindak tutur direktif tersebut akan dikaitkan dengan penerapan teknik penerjemahan, kemudian dianalisis bagaimana kualitas terjemahannya yang meliputi keakuratan dan keberterimaan.

B. Batasan Masalah

Agar penelitian ini menjadi fokus dan tidak melebar maka penulis perlu melakukan pembatasan permasalahan. Menurut jenisnya, tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Sehubungan dengan klasifikasi tersebut, penelitan ini hanya akan mengkaji terjemahan tindak tutur berjenis direktif pada tuturan tokoh- tokoh di dalam film “Alice in Wonderland” pada versi VCD. Selanjutnya penelitian ini akan membahas teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah, dan kualitas terjemahannya. Sedangkan analisis kualitas dibatasi hanya pada keakuratan dan keberterimaan saja. Keterbacaan tidak disertakan karena data- datanya hanya berupa ujaran pendek yang tatarannya lebih kecil daripada paragraf. Selain itu, lokasi penelitian dibatasi pada film berjudul “Alice in Wonderland” versi VCD. Penelitian sebelumnya yang mengkaji tindak tutur direktif adalah “Analisis Terjemahan Tindak tutur Direktif pada Novel The Godfather karya Mario Puzo dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian ini mengkaji penerapan fungsi ilokusi tindak tutur direktif. Fungsi tersebut antara lain memerintah, menyarankan, meminta, memohon, melarang, menasihati, membujuk, dan menyilakan. Sehubungan dengan penelitian yang mengkaji tindak tutur direktif,

penelitian pada Novel The Godfather tersebut berfungsi sebagai pendukung pada

penelitian ini. Selanjutnya penelitian tindak tutur direktif dalam film “Alice in Wonderland” ini akan membahas bentuk- bentuk direktif yang berbeda dengan fungsi ilokusi tindak tutur direktif pada Novel The Godfather tersebut.

(25)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bentuk tindak tutur direktif apa sajakah yang digunakan tokoh-tokoh dalam film berjudul “Alice in Wonderland”?

2. Apa sajakah teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan tindak tutur direktif tokoh- tokoh dalam film “Alice in Wonderland”?

3. Bagaimana dampak teknik penerjemahan tindak tutur direktif tokoh-tokoh dalam film “Alice in Wonderland” terhadap kualitas penerjemahannya yang mencakup keakuratan dan keberterimaan?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menentukan bentuk tindak tutur direktif yang digunakan tokoh-tokoh dalam film berjudul “Alice in Wonderland”.

2. Mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan tindak tutur direktif tokoh- tokoh dalam film “Alice in Wonderland”.

3. Mendeskripsikan dampak teknik penerjemahan tindak tutur direktif tokoh- tokoh dalam film “Alice in Wonderland” terhadap kualitas penerjemahannya yang mencakup keakuratan dan keberterimaan.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan research gap yang telah disebutkan di atas, dimana penelitian pada

Novel The Godfather mengkaji penerapan fungsi ilokusi tindak tutur direktif dengan

temuan fungsi memerintah, menyarankan, meminta, memohon, melarang, menasihati,

membujuk, dan menyilakan. Sementara itu penelitian tindak tutur direktif dalam film

“Alice in Wonderland” ini terfokus pada bentuk- bentuk direktif dan penggunaan teori direktif yang berbeda dengan penelitian direktif pada Novel The Godfather, maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapi dan mendukung penelitian sebelumnya tentang bentuk- bentuk tindak tutur direktif dan teknik penerjemahannya. Selanjutnya

(26)

penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi yang mendalam tentang analisis tindak tutur direktif yang terdapat pada subtitle film animasi 3D berjudul “Alice in Wonderland”. Yang ketiga, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan secara lengkap dampak teknik penerjemahan yang digunakan pada tindak tutur direktif terhadap kualitas terjemahan. Yang terakhir, penelitian ini diharapkan dapat membantu para penerjemah film khususnya untuk dapat menghasilkan terjemahan film yang berkualitas, yang tidak mengubah bentuk dan makna suatu tindak tutur dari bahasa sumber ke bahasa sasaran sehingga dapat dipahami maknanya dengan mudah oleh para konsumen film. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada para konsumen film pada umumnya, tentang bagaimana bentuk terjemahan film yang baik dan mana yang tidak.

(27)

10 BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

Sub bab ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Definisi Penerjemahan, Makna dalam Penerjemahan, Definisi Metode, Strategi, dan Teknik Penerjemahan, Jenis- Jenis Teknik Penerjemahan, Penilaian Kualitas Terjemahan, Teori Pragmatik, Tindak Tutur dan Tindak Tutur Direktif.

1. Definisi Penerjemahan

Penerjemahan merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang merupakan proses pengalihan bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Seperti menurut Catford, “translation is an operation performed on a language: a process of substituting a text in one language for a text in another” (1978). Dengan kata lain menurut definisi tersebut penerjemahan adalah suatu proses mengalihkan suatu teks dari bahasa satu ke bahasa yang lain.

Larson mengungkapkan bahwa penerjemahan adalah proses perubahan bentuk, “translation is basically a change of form. When we speak the form of a language, we are referring to the actual words, phrases, clauses, sentences, paragraphs, etc., which are spoken or written…In translation the form of the source language is replaced by the form of the receptor (target) language” (1998: 3). Definisi tersebut menyatakan bahwa dalam penerjemahan, bentuk atau struktur teks dari bahasa sumber dapat berubah setelah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Hal ini tidak dapat dihindari karena baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran memiliki struktur kebahasaan yang berbeda.

Di lain pihak Newmark mengungkapkan bahwa penejemahan merupakan proses memindah makna suatu teks ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah maksud dari si penulis teks tersebut, “...it is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (1988: 5).

Dalam definisi yang lain Catford (1965) dalam Machali (2000: 5) mengungkapkan bahwa penerjemahan adalah pemindahan materi tekstual secara sepadan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, “the replacement of textual

(28)

material in one language (SL) by equivalent textual material inanother language (TL)”.

Sedangkan menurut Nida dan Taber, penerjemahan adalah menentukan kesepadanan bahasa sasaran sealamiah mungkin dengan bahasa sumber, “translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source-language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style”. (1982: 12). Kesepadanan yang dimaksud bukan hanya pada makna dan pesan yang terkandung melainkan juga pada gaya dan bentuknya. Dari dua definisi terakhir, dapat ditarik definisi secara umum bahwa penerjemahan tidak hanya tentang pengalihan materi suatu teks baik dari segi bentuk maupun makna ke dalam bahasa sasaran, tetapi juga mencakup masalah kesepadanan. Kesepadanan dalam bahasa sasaran juga menjadi aspek penting yang menentukan kealamiahan suatu teks terjemahan.

2. Makna dalam Penerjemahan

Makna memainkan peranan penting dalam penerjemahan karena selain sebagai komponen utama dalam suatu teks yang harus ditransfer ke dalam bahasa saasaran, juga terkait erat dengan masalah kesepadanan. Menurut Larson, untuk menghasilkan terjemahan teks yang baik, makna dalam bahasa sumber harus dapat ditransfer ke bentuk bahasa sasaran sesuai makna yang dimaksud secara alamiah (1998: 6).

Menurut Cruse dalam Baker (1992: 13-17), makna terbagi menjadi 4: a. Propositioal Meaning

“The propositional meaning of a word or an utterance arises from the relation between it and what it refers to or describes in a real or imaginary world, as conceived by the speakers of the particular language to which the word or utterance belongs. It is the type of meaning which provides the basis on which we can judge an utterance as true or false.”

Menurut definisi diatas, propositional meaning merupakan makna yang merujuk pada arti yang sesungguhnya yang dapat kita jumpai dalam kamus pada umumnya. Sebagai contoh dalam kamus Inggris- Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily (1996) kata sword berarti ‘pedang’. Kata ini tidak seharusnya digunakan untuk menyebut kata ‘pisau’.

(29)

b. Expressive Meaning

“Expressive meaning cannot be judged as true or false. This is because it relates to the speaker’s feelings or attitude rather than to what words and utterances refer to.”

Menurut Cruse, Expressive meaning tidak terletak pada arti yang terdapat di dalam kamus, melainkan tergantung pada apa yang dirasakan saat membaca atau mendengar kata itu. Sehingga dua atau lebih kata bisa memiliki proportional meaning yang sama tetapi berbeda expressive meaning-nya. Seperti pada kata- kata kill, murder, slay yang memiliki arti sama yaitu membunuh. Ketiga kata tersebut pada dasarnya sama namun bila digunakan dalam konteks yang berbeda maka akan memiliki expressive meaning yang berbeda pula. Kata kill bisa digunakan pada objek manusia atau hewan. Murder biasanya hanya digunakan pada manusia, sedangkan kata slay dalam The American Heritage Dictionary of English Language (2011) bermakna mebunuh secara kejam. Seperti contoh kata slay dalam kalimat ”The brave man slay a dragon”

c. Presupposed Meaning

“Presupposed meaning arises from co-occurrence restrictions, i.e. restrictions on what other words or expression we expect to see before or after a particular lexical unit.”

Menurut Cruse, Presupposed meaning muncul karena adanya batasan- batasan yang ada. Ada dua macam batasan:

a) Selectional restriction

Selectional restriction adalah fungsi dari propositional meaning sebuah kata. Seperti diungkapkan Cruse, “Selectional restirctions are deliberately violated in the case of figurative language but are otherwise strictly observes”. (ibid: 14). Menurutnya, selectional restriction biasanya dilanggar pada bahasa kiasan atau metafora.

b) Collocational restriction

Collocational restriction pada dasarnya adalah batasan yang acak dan subyektif. Seperti diungkapkan Cruse, “These are semantically arbitrary restrictions which do not follow logically from the propositional meaning

(30)

of a word”. Sebagai contoh, “teeth are brushed” dalam Bahasa Inggris, tetapi dalam Bahasa Jerman dan Italia, brushed diganti dengan polished. (ibid:14-15).

d. Evoked Meaning

Menurut Cruse, evoked meaning timbul dari adanya keberagaman dialek dan register. “A dialect is a variety of language which has currency within a specific community or group of speakers”. Menurutnya, dialek dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu secara geographical, temporal, dan social.

Sedangkan register adalah “a variety of language that a language user considers appropriate to a specific situation”. Macam register sendiri dibedakan menjadi tiga:

a) Field of discourse:

“This is an abstract term for ‘what is going on’ that is relevant to the speaker’s choice of linguistic items. Different linguistic choices are made by different speakers depending on what kind of action other than the immediate action of speaking they see themselves as participating in.” Menurut Cruse, field berarti keadaan yang sedang terjadi yang melatar belakangi si penutur menggunakan variasi bahasa. Sebagai contoh, tindak tutur direktif tidak hanya digunakan untuk menyuruh seseorang melakukan sesuatu, tetapi juga berfungsi untuk melarang, memberi nasihat, atau menegur.

b) Tenor of discourse

“Tenor of discourse is an abstract term for the relationships between the people taking part in the discourse. The language people use varies depending on such interpersonal relationship as mother/ child, doctor/ patient, or superior/ inferior in status.”

Cruse menyatakan bahwa tenor of discourse adalah hubungan antar pelaku percakapan. Hubungan itu bisa berupa hubungan keluarga, kekerabatan, hubungan antara atasan dan bawahan, maupun hubungan antara orang berstatus sosial tinggi dengan yang rendah.

(31)

c) Mode of discourse

“Mode of discourse is an abstract term for the role that the language is playing (speech, essay, lecture, instructions) and for its medium of transmission (spoken or written).”

Mode of discourse menurut definisi diatas adalah fungsi dari bahasa yang digunakan (seperti dalam pidato, karangan, kuliah, atau instruksi) dan media transmisi (baik secara lisan maupun tulisan).

Berbagai macam makna yang telah disebutkan diatas merupakan bagian dari makna leksikal. Menurut Baker “lexical meaning of a word or lexical unit may be thought of as the spesific value it has in a particular linguistic system and the ‘personality’ it acquires through usage within that system” (1992: 12). Dengan kata lain, makna leksikal sebuah kata merupakan makna yang terdapat dalam kata tersebut, yang mengacu pada kekhususan komponen linguistiknya.

3. Definisi Metode, Strategi, dan Teknik Penerjemahan

Teknik menurut Machali meliputi dua hal penting, yaitu hal yang bersifat praktis dan diberlakukan terhadap tugas tertentu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teknik penerjemahan berkaitan dengan permasalahan praktis penerjemahan dan pemecahannya (2000:77). Sedangkan Molina Albir (2002: 506) mengungkapkan bahwa diantara para ahli penerjemahan terdapat definisi dan klasifikasi yang tumpang- tindih antara teknik dengan metode dan strategi penerjemahan.

“Terminological diversity and the overlapping of terms make it difficult to use these terms and to be understood. The same concept is expressed with different names and the classifications vary, covering different areas of problem. In one classification one term may over-lap another in different system of classification.”

Perbedaan terminologi, dan klasifikasi yang tumpang tindih ini coba diatasi Molina Albir dengan membuat konsep tersendiri. Menurutnya, metode yang merupakan bagian dari proses penerjemahan, adalah pemilihan cara menerjemahkan secara garis besar yang mempengaruhi keseluruhan terjemahan, “translation method refers to the way a particular translation process is carried out in terms of the translator objective. i.e., a global option that affects the whole text” (ibid: 507).

(32)

Sedangkan teknik menggambarkan hasil akhir dan hanya mempengaruhi sebagian kecil dari terjemahan.

Lebih lanjut, menurut Molina dan Albir (ibid: 508) metode akan mempengaruhi bagaimana cara suatu teks pada tataran mikro diterjemahkan (teknik penerjemahan), “the translation method affects the way micro units of the text are translated: the translation techniques”. Sebagai contoh, jika tujuan dari sebuah metode penerjemahan adalah menghasilkan metode foreignisasi, maka borrowing akan menjadi teknik penerjemahan yang akan sering dipakai.

Dalam melakukan proses menerjemahkan, selain metode, penerjemah juga akan menggunakan strategi. Albir (dalam Molina dan Albir, 2002:508) menjelaskan bahwa strategi diperlukan untuk mengatasi masalah dalam proses penerjemahan, “strategies are the procedures (conscious or unconscious, verbal or nonverbal) used by the translator to solve problems that emerge when carrying out the translation process with a particular objective in mind”.

Selanjutnya Molina dan Albir mengungkapkan bahwa strategi membuka jalan untuk menemukan pemecahan masalah yang tepat yang disebut juga sebagai teknik penerjemahan. Definisi teknik penerjemahan itu sendiri diuntarakan oleh Molina dan Albir (ibid: 509) sebagai berikut:

“A technique is the result of a choice made by a translator, its validity will depend on various questions related to the context, the purpose of the translation, audience expectation, etc.”

Menurut definisi tersebut, teknik penerjemahan merupakan hasil akhir dari proses menerjemahkan yang dilakukan oleh seorang penerjemah. Teknik meliputi sebagian kecil dari proses menerjemahkan dan hanya mempengaruhi bagian- bagian tertentu dari keseluruhan terjemahan.

Dari ketiga konsep diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam proses penerjemahan ketiga konsep yang meliputi metode, strategi, dan teknik memiliki peranan yang penting dan saling berkaitan satu sama lain.

4. Teknik Penerjemahan

Teknik penerjemahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Molina dan Albir sebelumnya, adalah hasil akhir dari proses menerjemahkan yang mempengaruhi bagian- bagian tertentu dari keseluruhan terjemahan. Teknik

(33)

penerjemahan merupakan suatu cara untuk menganalisis dan mengklasifikasi bagaimana suatu terjemahan dapat sepadan dengan teks sumbernya. Teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik sebagai berikut:

1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan

2. Teknik penerjemahan diklasifikasikan dengan cara membandingkan antara teks bahasa sumber (BSu) dengan bahasa sasaran (BSa)

3. Teknik penerjemahan mempengaruhi tataran mikro teks 4. Teknik penerjemahan bersifat diskursif dan kontekstual 5. Teknik penerjemahan bersifat fungsional

(Molina dan Albir, 2002: 509) Berikut adalah 18 jenis teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina Albir (2002: 509- 511):

1. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara mengganti unsur budaya pada BSu dengan unsur budaya pada BSa yang memiliki kesamaan dan atau akrab bagi pembaca sasaran. Sebagai contoh, istilah winter dalam Bahasa Inggris apabila diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dapat digantikan dengan istilah musim penghujan.

2. Amplifikasi (amplification)

Teknik ini dilakukan penerjemah dengan cara mengeksplisitkan atau memparafrase suatu istilah atau informasi yang implisit dalam BSu. Teknik ini mirip dengan teknik penambahan atau gain. Sebagai contoh istilah Haloween dapat diparafrase menjadi haloween, perayaan tahunan di Amerika setiap tanggal 28 Oktober untuk mengusir roh- roh jahat.

3. Peminjaman (borrowing)

Teknik ini dilakukan penerjemah dengan cara meminjam istilah atau kata dalam BSu. Peminjaman ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu peminjaman murni (pure borrowing) dan peminjaman yang dinaturalisasi (naturalized borrowing). Contoh dari pure borrowing adalah kata mouse yaitu alat bantu pada

(34)

komputer yang diterjemahkan menjadi mouse. Sedangkan contoh dari naturalized borrowing misalnya kata television yang diterjemahkan menjadi televisi.

4. Kalke (calque)

Teknik penerjemahan ini dilakukan penerjemah dengan cara menerjemahkan kata atau frase BSu secara literal. Sebagai contoh frase interest rate yang diterjemahkan menjadi tingkat suku bunga.

5. Kompensasi (compensation)

Teknik ini dilakukan penerjemahan dengan cara memperkenalkan unsur-unsur informasi atau pengaruh stilistik teks Bsu di tempat lain dalam teks Bsa. Hal ini dilakukan karena pengaruh stilistik (gaya) BSu tidak dapat diterapkan pada BSa. Contoh dari teknik kompensasi adalah a pair of trousers yang diterjemahkan menjadi sebuah celana panjang.

6. Deskripsi (description)

Teknik deskripsi merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Sebagai contoh, istilah panettone yang diterjemahkan menjadi ‘kue tradisional Italia yang dimakan pada saat Tahun Baru’.

7. Kreasi diskursif (discursive creation)

Teknik penerjemahan ini biasanya menampilkan kepadananan sementara dalam BSa yang terkadang keluar dari konteks. Teknik ini dilakukan penerjemah untuk menarik pembaca sasaran. Biasanya teknik ini digunakan untuk menerjemahkan judul film atau judul buku. Sebagai contoh judul film Harry Potter and the Sorcerer’s Stone yang diterjemahkan menjadi Harry Potter dan Batu Bertuah.

8. Padanan lazim (establish equivalence)

Teknik penerjemahan ini merupakan teknik untuk menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari).

(35)

Contoh teknik padanan lazim misalnya kata introduction yang berarti pendahuluan.

9. Generalisasi (generalization)

Teknik penerjemahan ini menggunakan istilah yang lebih umum atau lebih netral pada BSa (subordinat) daripada BSu yang bersifat spesifik (superordinat). Sebagai contoh istilah penthouse yang diterjemahkan menjadi tempat tinggal.

10. Amplifikasi linguistik (linguistic amplification)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara dengan menambah unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa. Teknik ini lazim diterapkan dalam pengalih bahasaan secara konsekutif atau dalam sulih suara (dubbing). Contoh dari teknik ini misalnya pada kalimat Don’t do that yang diterjemahkan menjadi Jangan lakukan hal bodoh itu.

11. Kompresi linguistik (linguistic compression)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa. Teknik ini biasa diterapkan penerjemah dalam pengalihbahasaan simultan atau dalam penerjemahan teks film. Contoh teknik ini misalnya pada klausa go away! yang diterjemahkan menjadi pergilah!.

12. Penerjemahan harfiah (literal translation)

Teknik ini adalah teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan cara menerjemahkan ungkapan kata demi kata. Sebagai contoh ungkapan Killing two birds with one stone yang diterjemahkan ke dalam BSa menjadi Membunuh dua burung dengan satu batu.

13. Modulasi (modulation)

Teknik penerjemahan ini dilakukan penerjemah dengan cara mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan teks sumber. Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau struktural. Sebagai

(36)

contoh, kalimat i cut my finger diterjemahkan ke dalam BSa menjadi jariku teriris, bukan aku memotong jariku.

14. Partikularisasi (particularization)

Teknik ini dilakukan penerjemah dengan cara menggunakan istilah yang lebih konkret atau presisi, dari superordinat ke subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. Contoh teknik ini misalnya frase air transportation yang diterjemahkan menjadi pesawat terbang.

15. Reduksi (reduction)

Teknik reduksi dilakukan penerjemah dengan cara memadatkan informasi teks Bsu dalam Bsa. Teknik ini menjadikan informasi yang eksplisit dalam BSu menjadi implisit dalam BSa. Sebagai contoh kalimat The month of fasting yang diterjemahkan menjadi Ramadhan.

16. Subtitusi (subtitution)

Teknik subtitusi merupakan suatu teknik penerjemahan yang merujuk pada pengubahan unsur-unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat). Sebagai contoh bahasa isyarat dalam bahasa Arab, yaitu dengan menaruh tangan di dada diterjemahkan menjadi ‘terima kasih’.

17. Transposisi (transposition)

Teknik transposisi dilakukan dengan cara merubah kategori gramatikal. Teknik ini merupakan teknik pergeseran kategori, struktur dan unit. Sebagai contoh, kata kerja dalam teks Bsu diubah menjadi kata benda dalam teks Bsa, misalnya kalimat He gives me a kiss yang diterjemahkan menjadi Dia menciumku.

18. Variasi (variation)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah unsur-unsur linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik: perubahan tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialek geografis. Teknik ini lazim diterapkan dalam menerjemahkan naskah drama.

(37)

5. Penilaian Kualitas Terjemahan

Suatu hasil terjemahan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik bila dapat menyampaikan pesan sesuai dengan yang terkandung dalam bahasa sumbernya. Untuk mengetahui kualitas suatu terjemahan maka diperlukan suatu penilaian. Penilaian mutu atau kualitas terjemahan ini meliputi tiga tingkat, yaitu tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Semakin tinggi tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan suatu terjemahan, maka semakin sempurna teks tersebut.

Penilaian kualitas terjemahan menurut Newmark sangatlah penting peranannya dalam proses penerjemahan. Hal ini karena penilaian kualitas terjemahan menjadi penentu antara teori dan praktek penerjemahan, apakah si penerjemah bisa mengaplikasikan teori ke daam teks dengan baik. Seperti diungkapkannya, “Translation quality assessment is a very important in the process of translation and it becomes a significant link between translation theory and its practice” (1988: 184).

1. Keakuratan

Keakuratan terjemahan merujuk pada masalah kesepadanan. Nida (1982: 12) menyatakan “Translation consists in reproducing the receptor language the closest natural equivalence of the source language message, first in terms of meaning and secondly in term of style”. Dengan kata lain masalah kesepadanan dalam penerjemahan adalah mencari padanan teks bahasa sumber dari segi bentuk, makna, dan pesan untuk diterjemahkan secara alamiah ke dalam BSa. Suatu hasil terjemahan yang baik, pasti memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Dilihat dari isinya, terjemahan tersebut dapat menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber dengan baik. Dengan kata lain, tidak ada pesan atau makna yang terlewatkan.

Selain masalah ketepatan makna, Machali menambahkan bahwa keakuratan juga meliputi ketepatan aspek linguistik, semantik, dan pragmatik (2000: 110)

Menurut Nababan (2012: 50) instrumen penilaian keakuratan terjemahan memiliki tiga bagian: kategori terjemahan, skor atau angka dengan skala 1-3, dan parameter kualitatif masing- masing kategori. Berikut selengkapnya disajikan dalam tabel:

Tabel 2.1. Skala Keakuratan

Kategori Skala Penjelasan

Akurat 3 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau

commit to user

(38)

teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi makna. Kurang

Akurat

2 Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Namun, masih terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.

Tidak Akurat

1 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).

2. Keberterimaan

Keberterimaan adalah kesesuaian atau kewajaran suatu hasil terjemahan terhadap norma- norma atau kaidah- kaidah serta budaya yang berlaku pada bahasa sasaran. Seperti dinyatakan oleh Toury (dalam Shuttleworth and Cowie, 1997: 17) “Translation which lean towards acceptability can thus be thought of as fulfilling the requirement of ‘reading as an original’ written in the target language rather than that of ‘reading as the original’, and consequently generally have a more natural ‘feel’”. Menurutnya, suatu teks terjemahan yang memiliki tingkat keberterimaan yang tinggi apabila dibaca oleh pembaca sasaran maka akan terasa seperti membaca teks asli bahasa sasaran dan bukan hasil terjemahan.

Berikut adalah instrumen penilaian keberterimaan yang dikemukakan oleh Nababan (2012: 51):

Tabel 2.2. Skala Keberterimaan

Kategori Skala Penjelasan

Berterima 3 Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang digunakan dan akrab bagi pembaca; frasa, klausa dan kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah- kaidah bahasa Indonesia.

Kurang Berterima

2 Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah

(39)

teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal. Tidak

Berterima

1 Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa dan kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah- kaidah bahasa Indonesia.

3. Keterbacaan

Keterbacaan adalah derajat kemudahan suatu teks terjemahan untuk dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca sasaran. Suatu hasil terjemahan biasanya diperuntukkan bagi pembaca sasaran yang tidak mengetahui teks bahasa sumbernya. Oleh karena itu, seorang penerjemah yang baik seharusnya membuat hasil terjemahan yang selain memiliki keakuratan dan keberterimaan tinggi juga dapat dipahami dengan mudah oleh pembacanya. Hornby (1995: 35) menyatakan “Readability, or ease of reading and understanding determined by linguistic difficulty, is one aspect of comprehensibility. Presently the concept is also understood to cover speakability.”

Nababan (2012: 51) mengemukakan bahwa instrumen penilaian keterbacaan juga didasarkan pada skala 1-3. Berikut disajikan dalam tabel:

Tabel 2.3. Skala Keterbacaan

Kategori Skala Penjelasan

Tingkat keterbacaan

tinggi

3 Kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca

Tingkat keterbacaan

sedang

2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus dibaca lebih dari satu kali untuk memahami terjemahan. Tingkat

keterbacaan rendah

1 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca.

(40)

6. Pragmatik

Pragmatik adalah salah satu cabang dari linguistik. Levinson (1983:9) mengatakan, “Pragmatics is the study of the relation between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Jadi menurutnya, pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan konteksnya.

Yule (1996:3) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari makna kontekstual. Menurutnya, pragmatik meliputi maksud, tujuan, dan asumsi dibalik ujaran atau tuturan seseorang. Artinya bahwa ilmu pragmatik mempelajari maksud atau makna dibalik ujaran seseorang di suatu konteks tertentu. Kajian pragmatik tidak terbatas pada makna dibalik ujaran atau tuturan saja, akan tetapi juga pada pelaku tuturan, mitra tutur, dan konteks situasi yang melatar belakangi tuturan.

7. Tindak Tutur (Speech Act)

Seseorang dalam melakukan komunikasi dengan lawan bicaranya pasti memiliki tujuan atau maksud. Tujuan itu bisa berupa memberi informasi, bertanya, bertukar pikiran, dan lain- lain. Namun dalam suatu ujaran atau tuturan terkadang seseorang tidak sekedar melakukan tuturan saja, namun juga melakukan tindakan. Ujaran seperti inilah yang disebut tindak tutur. Menurut Yule, “actions performed through utterances are generally called speech acts” (1996:47). Speech act atau biasa disebut tindak tutur mengandung kata “action” atau “tindakan” yang bisa berupa meminta, bertanya, atau menunjukkan sesuatu.

Seorang filosof Inggris, John L. Austin menyatakan bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu, ia juga sedang melakukan suatu tindakan. Ada tiga macam aspek tindakan pada tuturan yang dikemukakannya:

1. Lokusi : semata- mata ujaran, yaitu tindak mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan makna harfiahnya.

2. Ilokusi : tindak melakukan sesuatu, yaitu maksud suatu ujaran 3. Perlokusi : efek dari ujaran pada mitra tutur.

Austin (dalam Thomas 1995: 49)

commit to user

(41)

Sebagai contoh, berikut adalah sebuah ujaran yang diambil dari Thomas (1995: 49) untuk memperjelas tiga aspek diatas:

“It’s hot here.”

Tindak lokusi dari ujaran tersebut adalah ujaran itu sendiri, tindak ilokusinya adalah bahwa si penutur ingin mengatakan “aku ingin udara segar!”, dan tindak perlokusinya adalah kemungkinan adanya seseorang yang membukakan jendela.

Searle (dalam Trosborg, 1995: 14-16) mengklasifikasikan lima jenis tindak ilokusi sebagai berikut:

1. Representatives (representatif)

Tindak tutur yang dilakukan oleh si penutur berdasarkan keyakinannya, untuk mengungkapakan fakta, kesimpulan, atau penegasan.

Contoh :

BSu : The sun arises at the east. BSa : Matahari terbit dari timur 2. Directives (direktif)

Tindak tutur yang dilakukan oleh si penutur yang dimaksudkan agar mitra tuturnya melakukan suatu tindakan (baik itu verbal atau non- verbal) seperti meminta, menyuruh, memberi saran, dan lain sebagainya.

Contoh :

BSu : Bring me a cup of coffee. BSa : Buatkan aku secangkir kopi 3. Commisives (Komisif)

Tindak tutur yang dilakukan penutur untuk mengikat diri sendiri terhadap tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini dapat berupa janji, tawaran, ancaman, penolakan.

Contoh :

(42)

BSu : I’ll give it to you tomorrow. BSa : Akan aku berikan padamu besok

4. Expressives (ekspresif)

Tindak tutur yang dilakukan penutur untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya berdasarkan kondisi psikologisnya, atau reaksinya atas suatu tindakan atau kejadian. Tindak tutur ini meliputi ucapan terima kasih, meminta maaf, mengeluh, marah, sedih, dan lain sebagainya.

Contoh :

BSu : Please forgive me? BSa : Maafkan aku ya? 5. Declarations (deklarasi)

Tindak tutur ini memiliki pengaruh yang besar setelah si penutur mengutarakannya, yaitu membawa perubahan yang nyata. Biasanya, si penutur memiliki kekuasaan yang lebih, atau berada dalam suatu institusi tertentu. Sebagai contoh seorang pendeta yang menikahkan sepasang kekasih, seorang hakim yang menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

Contoh :

BSu : I pronounce you a husband and wife.

BSa : Aku nikahkan kalian menjadi sepasang suami istri.

8. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif adalah salah satu tindak tutur yang berfungsi untuk mempengaruhi petutur atau mitra tutur agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur. Menurut Searle (dalam Trosborg, 1995: 15) direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh si penutur yang dimaksudkan agar mitra tuturnya melakukan suatu tindakan (baik itu verbal atau non- verbal). Sebagian fungsi direktif meliputi menyuruh, meminta, memohon, menyarankan dan

(43)

tindakan-tindakan lain yang diungkapkan oleh si penutur dalam bentuk frase, klausa, atau kalimat.

Klasifikasi direktif dikemukakan oleh beberapa orang ahli linguistik diantaranya sebagai berikut:

1. Klasifikasi direktif menurut Holmes

Holmes (1992) mengkategorikan direktif menjadi tiga bentuk utama: a. Imperative (kalimat perintah)

Imperatives sering muncul dalam ilokusi direktif karena bentuk tersebut terlihat secara eksplisit.

- Base form of verb, misalnya: speak up! - You + imperative, misalnya: you look here! - Present participle form, misalnya: listening! - Verb-ellipsis, misalnya: hands up!

- Imperative + modifier, misalnya: children looking this way please - Let + kata ganti orang pertama atau ketiga, misalnya: let’s try b. Interrogatives (kalimat tanya)

- Modals, misalnya: would you clean the floor? - Non-modal, misalnya: have you learned it? c. Deklarative (kalimat pernyataan)

- Embedded Agent, misalnya: I’d like everyone sitting on the melt - Hints, misalnya: Bryan’s hand is up

2. Klasifikasi direktif menurut Allan

Allan (dalam Thomas, 1995: 64) mengklasifikasikan direktif menjadi empat, yakni

a. Requestives. Kelompok ini meliputi meminta sesuatu, memohon, mendesak, mengundang. Misalnya: Saya mohon kamu mau datang ke rumah nanti malam.

b. Question. Kelompok ini meliputi menanyakan sesuatu, menguji dengan pertanyaan. Misalnya: Haruskah kita pergi kesana, bu?

(44)

c. Requirement. Kelompok ini meliputi memerintah, memesan, meminta. Misalnya: Pergilah ke rumahnya dan jemput anak- anaknya!

d. Prohibitives. Kelompok ini meliputi melarang. Misalnya: Jangan makan banyak- banyak nanti perutmu sakit!

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah alur runtut penulis dalam melakukan penelitian mulai dari awal hingga akhir. Pertama- tama penulis mengelompokkan tindak tutur direktif yang ada dalam film kemudian menentukan teknik penerjemahannya. Setelah menentukan teknik, penulis mengkaji kualitas terjemahan yang didapat dari nilai terjemahan yang ditentukan oleh rater. Rater terlebih dahulu menilai kualitas terjemahan yang meliputi aspek keakuratan dan keberterimaan. Selanjutnya, penulis akan menganalisis hubungan antara pemilihan teknik penerjemahan dengan kualitas terjemahannya. Untuk lebih jelasnya, langkah- langkah tersebut disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

(45)

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Teks BSu

Dialog film Alice in Wonderland

Teks BSa Subtitle film Alice

in Wonderland

Tindak tutur direktif

Teknik Penerjemahan

Penilaian Kualitas Terjemahan

Jenis dan Fungsi tindak tutur

Keberterimaan Keakuratan

Rater

Kesimpulan

Hubungan antara teknik penerjemahan dan kualitas

terjemahan Penulis Mengkaji penilaian kualitas terjemahan (crosscheck)

commit to user

(46)

29 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dasar di bidang penerjemahan, berjenis deskriptif kualitatif, terpancang, studi kasus tunggal, dengan pendekatan linguistik penerjemahan. Disebut penelitian kualitatif karena menitik beratkan pada data yang berupa kata- kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (Sutopo, 2002:35). Data dalam penelitian ini akan diambil dari dialog para tokoh dalam berinteraksi satu sama lain di dalam film, sehingga datanya akan berbentuk kata, frasa, klausa, atau kalimat. Walaupun demikian perhitungan menggunakan angka juga akan dilakukan lebih lanjut dalam penelitian ini untuk menentukan kualitas terjemahannya. Disebut penelitian deskriptif karena penelitian ini tidak sebatas pada pengumpulan dan penyusunan data saja tetapi juga meliputi mulai dari mengumpulkan, mengelompokkan, menganalisa, dan menginterpretasikan data penelitian (Surakhmad, 1994)

Penelitian ini berupa studi kasus tunggal karena mengambil subjek atau sasaran yang memiliki karakteristik yang sama, yaitu tindak tutur direktif film Alice in Wonderland dan terjemahannya. Penelitian berjenis ini dikemukakan Neubert (2004: 10) sebagai limited case study atau case studies focusing on particular aspects of ST and TT. Jenis penelitian dengan studi kasus tunggal hanya dilakukan di satu lokasi saja seperti diutarakan Sutopo ( 2002: 102). Penelitian ini dibatasi hanya pada satu lokasi yaitu versi VCD. Selain itu penelitian ini juga dikategorikan sebagai studi kasus terpancang karena peneliti telah menentukan pokok permasalahan dan fokus penelitian sebelumnya.

Selanjutnya, dilihat dari segi orientasi penelitian ini merupakan penelitian dasar bidang penerjemahan yang berorientasi pada produk (product- oriented) karena berfokus pada teks BSu (yang berupa dialog dari film) dan teks BSa (terjemahan dialog) yang sudah ada, dan menggunakan kedua teks yang berbeda tersebut selama proses analisisnya (Bell dalam Mona Baker, 2001: 189).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penerjemahan. Teori yang akan digunakan adalah tentang teknik dan kualitas

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Teks BSu
Tabel 3.2. Skala Penilaian Keberterimaan (Dikutip dari Nababan, 2012)
Gambar 3.1 Trianggulasi Sumber Data
Gambar 3.2 Trianggulasi Metode
+7

Referensi

Dokumen terkait