HASIL DAN PEMBAHASAN
Peruntukan Kawasan Berdasarkan RTRW
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2000,
peruntukan lahan di Kabupaten Bogor dibagi kedalam dua kategori peruntukan
yakni peruntukan untuk kawasan lindung dan peruntukan untuk kawasan
budidaya.
Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan
pembanguna n berkelanjutan (Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur,
Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) telah dibuat ketentuan-ketentuan teknis
kawasan lindung yang berpedoman kepada: Keppres No.32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung dan SK Gubernur Jawa Barat No.
413.21/SK.222-HUK/91 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan
Puncak.
Cakupan kawasan lindung antara lain (Bapped Kab. Bogor, 2000):
1.
Kawasan hutan lindung
2.
Kawasan lindung di luar kawasan hutan
3.
Kawasan yang merupakan resapan air
4.
Kawasan suaka alam/cagar alam/suaka marga satwa, kawasan pelestarian
alam, taman nasional/taman hutan raya/taman wisata alam
5.
Jalur pengamanan aliran sungai (sempadan sunga i)
6.
Kawasan sekitar mata air, danau/waduk
Karakteristik kawasan lindung adalah (Bappeda Kab. Bogor, 2000) :
1.
Kemiringan lereng diatas 40 %
2.
Untuk jenis tanah peka terhadap erosi, yaitu jenis Regosol, Litosol, Orgosol
dan Renzina, kemiringan lereng di atas 15 %
4.
Merupakan kawasan hutan yang kompak atau hutan produksi dengan luas
minimum 2500 m
2atau yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
Ketentuan teknis untuk penataan kawasan yang berfungsi lindung adalah
sebagai berikut (Bappeda Kab. Bogor, 2000):
1.
Fungsi hutan lindung sebagai reservoir alami perlu tetap dipertahankan
keberadaannya, bersifat mutlak, tidak boleh dikonversikan atau diubah untuk
kepentingan lain. Fungsi hidrologis dan ekologis hutan lindung perlu
dipertahankan kelestariannya
2.
Dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya budidaya, termasuk
mendirikan bangunan, kecuali bangunan untuk menunjang fungsi hutan
lindung
3.
Pembangunan jaringan transmisi dan infrastruktur yang menunjang kegiatan
pariwisata seperti pos pengamat kebakaran, pos jaga, papan petunjuk, patok
triangulasi, tugu, tiang listrik, menara TV, jalan setapak, dapat dibangun di
kawasan lindung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan
4.
Untuk pengamatan wilayah aliran sunga i dan menjaga kelestarian mata air,
maka kawasan tersebut harus ditanami tanaman keras dengan ketentuan :
a.
Perlindungan tebing-tebing atau bantaran sungai yang potensial terhadap
bahaya erosi dan longsor.
•
Untuk lebar sungai kurang dari 2.5 m, areal penanaman berjarak
minimal 10 m dari bibir sungai
•
Untuk sungai dengan lebar 2.5 – 10 m, areal penanaman berjarak
minimal 50 m dari bibir sungai
•
Untuk lebar sungai >10 m, areal penanaman berjarak minimum 100
m dari bibir sungai
b. Untuk perlindungan sumber mata air, areal tersebut harus ditanami dengan
tanaman keras, minimum sampai radius 50 m dan penutupan dengan
vegetasi tertentu pada ruas-ruas tertentu disekeliling mata air
c. Dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius 200 m dari mata air,
tepi jurang, kolam/situ, sungai dan anak sungai.
Kawasan Budidaya
Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia dan sumber daya buatan (UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah
Kabupaten Bogor (2000) yang termasuk kawasan budidaya adalah: kawasan
budidaya pertanian dan kawasan permukiman. Dalam Keppres No.114 tahun 1999
tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dijelaskan lebih detail
tentang kedua kawasan tersebut, yaitu sebagai berikut :
1.
Kawasan budidaya pertanian adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
terutama pertanian. Kawasan budidaya dibagi menjadi :
a.
Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya
pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air
secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan
tanama n utama padi.
b.
Kawasan budidaya pertanian tanaman lahan kering adalah areal lahan
kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal
pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama
pertanian tanaman pangan dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan
tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.
c.
Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah
kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai
tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana
sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air.
Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun
hutan produksi.
2.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Gambar 4. Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor
Tahun 2000
9267000 711000 714000 717000 708000 9264000 9267000 9264000 708000 711000 714000 71700041
Hasil Pengolahan Citra Satelit Ikonos
Menur ut Lillesand & Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan istilah yang
berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Ditambahkan lagi
oleh Burley (1961)
dalam
Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan
konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut
seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.
Citra satelit Ikonos dapat digunakan untuk mendeteksi pola penggunaan lahan
dengan baik dikarenakan resolusinya yang tinggi sehingga objek pada permukaan
bumi lebih mudah untuk dikenali. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan, di Sub DAS
Ciesek terdapat berbagai pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat.
Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pada penelitian ini pola penutupan lahan
secara garis besar terbagi dalam 9 tipe penutupan lahan antara lain :
1.
Hutan
Fungsi hutan yang ada di hulu Sub DAS Ciesek mempunyai fungsi utama
sebagai kawasan lindung. Vegetasi yang mendominasi kawasan hutan lindung
merupakan hasil suksesi alami, dengan kerapatan yang makin lama makin
berkurang dan penyebaran vegetasi tidak merata sehingga terdapat kawasan
hutan yang tidak memiliki penutupan vegetasi (terbuka) sehingga perlu
diupayakan kegiatan rehabilitasi dalam bentuk reboisasi. Dalam penelitian ini,
hutan diklasifikasikan menjadi dua yakni hutan berkerapatan vegetasi tinggi dan
hutan berkerapatan vegetasi rendah.
2.
Pertanian Lahan Kering
Umumnya menempati daerah yang agak tinggi dan sulit dijangkau pengairan.
Tanaman yang umum diusahakan adalah: pisang, singkong, jagung, ubi jalar,
kacang tanah, kedelai, atau tanaman sayuran (kubis, wortel, kentang, bawang
daun, tomat dan cabe). Lahan biasanya diolah petani dua kali dalam setahun,
setelah itu diberakan (antara Juni-Agustus).
3.
Pertanian Lahan Basah (Sawah)
Tipe penggunaan lahan ini penyebarannya banyak bercampur dengan kawasan
pemukiman. Sistem pertanian sawah ini pada umumnya menggunakan sistem
pengairan teknis dan sederhana. Disamping tanaman padi sebagai komoditi
utama, sebagian masyarakat juga menanami sebagian lahan sawah mereka dengan
beberapa komoditi sayuran seperti ketimun, ubi jala r, kacang tanah, kacang
panjang.
4.
Kebun Campuran
Tipe penggunaan lahan ini merupakan kawasan budidaya pertanian yang
dilakukan oleh masyarakat dimana komoditi pertanian yang di tanam seperti
sayuran dan palawija dikombinasikan dengan tanaman keras seperti buah-buahan
dan tanaman keras. Di dalamnya termasuk tanaman tahunan, pekarangan,
taman-taman dalam penelitian ini juga di kelompokan ke dalam kebun campuran.
5.
Semak belukar
Tipe penutupan lahan ini merupakan kawasan kehutanan yang ditumbuhi
rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman paku-pakuan.
6.
Pemukiman
Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan dan jasa.
Umumnya pemukiman menyebar dikawasan budidaya, namun ada sebagian kecil
yang berada di kawasan lindung. Dalam penelitian ini, pemukiman
diidentifikasikan dalam bentuk bangunan rumah.
7.
Tanah Kosong
Tanah kosong merupakan kawasan terbuka tanpa penutup vegetasi. Letak tanah
kosong menyebar baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.
8.
Badan air
Badan air dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni sungai dan badan air
seperti kolam ikan, empang. kolam renang.
9.
Jalan raya utama
Jalan raya utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan raya Bogor
Puncak yang terdapat di Sub DAS Ciesek.
43
Tabel 5 berikut ini menunjukan tampilan
image
berbagai pola penutupan
lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003 yang ada di Sub DAS Ciesek.
Tabel 5. Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan
Metode
On
Screen
di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit
Ikonos Tahun 2003
No
Tampilan Image pada Citra
Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil
Intepretasi
1
Hutan Kerapatan Tinggi
2
Hutan Kerapatan Rendah
3
Semak Belukar
4
Pertanian Lahan Basah
No
Tampilan Image pada Citra
Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil
Intepretasi
6
Kebun Campuran
7
Bangunan Pemukiman
8
Sungai
9
Jalan Raya
10
Tanah Kosong
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 yang telah
dilakukan, didapatkan pola penutupan lahan masyarakat yang tinggal di Sub DAS
Ciesek seperti yang tetera pada Tabel 6 di bawah ini.
45
Tabel 6. Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan Peruntukan
Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 di Sub DAS Ciesek
No Arahan Penggunaan Umum RTRW Arahan Penggunaan Khusus RTRW Luas Berdasarkan RTRW (Ha) % Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 Luas Berdasarkan Ikonos (Ha) % 1 Kawasan Kawasan 1.041,10 39,24 Hutan kerapatan tinggi 521,48 50,09
Lindung Hutan Lindung Hutan kerapatan rendah 133,25 12,80 Kebun campuran 35,72 3,43 Bangunan rumah 2,06 0,20 Pertanian lahan kering 144,70 13,90 Semak belukar 200,42 19,25 Sungai 0,69 0,07 Tanah kosong 2,79 0,27 Total a 1.041,10 100,00 2 Kawasan Kawasan 539,87 20,35 Pertanian lahan kering 269,88 49,99
Budidaya Pertanian Badan air / kolam 0,51 0,09
Pertanian Lahan Kering Hutan kerapatan tinggi 5,32 0,99 Hutan kerapatan rendah 1,68 0,31 Kebun campuran 109,53 20,29 Bangunan rumah 38,81 7,19 Sawah 103,04 19,09 Sungai 8,20 1,52 Tanah kosong 2,91 0,54 Total b 539,87 100,00 Kawasan 127,75 4,81 Sawah 56,63 44,33
Pertanian Kebun campuran 41,82 32,74
Lahan Basah Bangunan rumah 24,94 19,52
Sungai 2,52 1,97 Tanah kosong 1,83 1,43 Total c 127,75 100,00 Kawasan 261,84 9,87 Kebun campuran 72,92 27,85 Perkebunan Pertanian lahan kering 82,74 31,60 Hutan kerapatan tinggi 7,00 2,67 Hutan kerapatan rendah 54,26 20,72 Bangunan rumah 17,91 6,84 Sawah 22,74 8,68 Semak belukar 1,99 0,76 Sungai 1,05 0,40 Tanah kosong 1,23 0,47 Total d 261,84 100,00 Kawasan 265,57 10,01 Kebun campuran 71,52 26,93 Tanaman Pertanian lahan kering 99,34 37,41
Tahunan Sawah 54,21 20,41 Bangunan rumah 5,97 2,25 Semak belukar 31,10 11,71 Sungai 2,42 0,91 Tanah kosong 1,01 0,38 Total e 265,57 100,00 Kawasan Kawasan 417,15 15,72 Bangunan rumah 127,49 30,56
Pemukiman Pedesaan Jalan raya utama 3,47 0,83
Tanah kosong 4,23 1,01 Sungai 6,34 1,52 Badan air / kolam 0,45 0,11 Kebun campuran 150,43 36,06 Pertanian lahan kering 60,40 14,48 Sawah 64,35 15,43 Total f 417,15 100,00
TOTAL 2.653,27 2.653,27
Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat peruntukan lahan untuk kawasan
lindung (hutan lindung) sesuai dengan RTRW Kabupaten Bo gor tahun 2000 sebesar
1.041,10 ha atau 39,24 % dari luas total Sub DAS Cie sek. Tetapi dari 39,24 % luas
total Sub DAS Ciesek yang diperuntukan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal
24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi
hutan. Dari 1.041,10 ha areal yang diperuntukan sebagai kawasan hutan lindung, saat
ini tinggal 654,73 ha atau 62,89 % kawasan yang masih berhutan, sedangkan sisanya
seluas 30,53 % telah berubah fungsi menjadi penggunaan lainnya. Diantara
perubahan pola penutupan lahan itu antara lain menjadi semak belukar 200,42 ha
(19,25 %), pertanian lahan kering 144,69 ha (13,90 %), kebun campuran 35,72 ha
(3,43 %), tanah kosong 2,79 ha (0,27 %), dan bangunan rumah 2,06 ha (0,20 %).
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000, arahan penggunaan lahan
untuk kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek mencakup areal wilayah seluas
417,15 ha atau 15,72 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek. Luas total
bangunan rumah di Sub DAS Ciesek berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos
tahun 2003 seluas 217,17 ha atau 8,14 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek.
Letak bangunan rumah ini menyebar di kawasan pemukiman (pedesaan) seluas
127,49 ha, di kawasan budidaya pertanian seluas 87,62 ha dan di kawasan lindung
seluas 2,06 ha. Dari 417,15 ha kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan
pemukiman dalam RTRW kabupaten Bogor, berdasarkan hasil intrepretasi citra
satelit Ikonos tahun 2003 luas bangunan rumah yang ada di dalam kawasan
pemukiman (pedesaan) hanya 127,49 ha atau 30,56 %. Hal ini wajar, mengingat
arahan penggunaan lahan kawasan pemukiman (pedesaan) berdasarkan RTRW
termasuk juga di dalamnya lahan pekarangan, sementara intrepretasi berdasarkan
citra satelit Ikonos hanya luas bangunan rumahnya saja.
Arahan penggunaan lahan untuk kawasan budidaya pertanian berdasarkan
RTRW terdiri dari areal pertanian lahan kering seluas 539,87 ha atau 20,35 %,
pertanian lahan basah seluas 127,75 ha atau 4,81 %, kawasan perkebunan seluas
261,84 ha atau 9,87 % dan kawasan tanaman tahunan seluas 265,57 ha atau 10,01 %
dari luas total Sub DAS Ciesek. Jika dilihat dari masing- masing peruntukan lahan
47
untuk kawasan budidaya pertanian, penggunaan lahan yang ada sekarang juga banyak
yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini bisa dilihat pada pola penggunaan
lahan berdasarkan citra satelit Ikonos dimana penggunaan lahan yang sesuai untuk
masing-masing peruntukan lahan kawasan budidaya pertanian adalah ; untuk
pertanian lahan kering hanya 49,99 %, untuk pertanian lahan basah hanya 44,33 %,
untuk tanaman tahunan hanya 26,93 % saja yang sesuai, sisanya menyebar pada
peruntukan penggunaan lainnya. Sedangkan peruntukan lahan untuk perkebunan
(kebun teh), berdasarkan survey lapangan di Sub DAS Ciesek tidak ditemukan
adanya kebun teh, tetapi pada peruntukan lahan ini didominasi oleh penggunaan
lahan pertanian lahan kering yakni sebesar 31,60 %.
Total luas penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering di Sub DAS Ciesek
mencapai 657,04 ha atau 24,76 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam
RTRW yang cuma 539,87 ha. Total penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah
mencapai 300,97 ha atau 11,34 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam
RTRW yang cuma seluas 127,75 ha. Demikian juga dengan total penggunaan lahan
untuk kebun campuran yang mencapai 481,94 ha atau 18,16 % lebih besar jika
dibandingkan peruntukannya dalam RTRW dimana peruntukan untuk tanaman
tahunan hanya seluas 265,57 ha saja.
Lebih besarnya luas kawasan budidaya pertanian saat ini dibandingkan
dengan peruntukannya menyebabkan luas kawasan lindung di bagian hulu Sub DAS
Ciesek menjadi semakin berkurang. Luas kawasan lindung juga mengalami
penurunan luas akibat maraknya pembangunan villa di daerah kawasan lindung.
Dengan alasan kondisi lingkungan yang lebih baik dan pemandangan yang lebih
indah, menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan lindung banyak digunakan
sebagai kawasan pembangunan villa- villa yang banyak terdapat di Sub DAS Ciesek.
Pembangunan kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat
terutama bangunan villa, sehingga seringkali tidak sesuai dengan arahan penggunaan
lahan yang telah disusun dalam RTRW Kabupaten Bogor. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat terutama yang tinggal di
daerah hilir.
Gambar 5. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
708000 711000 714000 717000 9264000 9267000 9267000 9264000 717000 714000 711000 70800049
Nilai Ekonomi Kawasan Lindung
Penilaian manfaat ekonomi kawasan lindung (hutan) dilakukan dengan
menghitung nilai ekonomi total (
Total Economic Value
) yang terdiri dari :
1. Nilai Guna
Nilai Guna Langsung
Nilai Ekonomi Kayu Bakar
Pemanfaatan kayu bakar masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di Kampung Pasaban, Kampung
Citamiyang, Kampung Jawa, Kampung Sirimpak (Desa Megamendung) dan
Kampung Bungur (Desa Cilember). Masyarakat menggunakan kayu bakar sebagai
bahan bakar pengganti minyak tanah untuk memasak sehari- hari.
Penilaian ekonomi manfaat hutan sebagai penghasil kayu bakar per tahun
dilakukan dengan metode biaya pengganti yakni dengan cara menghitung besarnya
waktu yang dikorbankan dalam satu tahun untuk mengambil kayu bakar dengan
besarnya upah kerja yang seharusnya mereka terima. Pengambilan sampel responden
dilakukan dengan mewancarai 17 orang responden yang terdiri dari 8 orang dari
kampung Pasaban dan 6 orang dari Kampung Jawa (Desa Megamendung) serta 3
orang dari kampung Bungur (Desa Cilember). Adapun populasi pengumpul kayu
bakar yang ada di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara
karakteristik sosial ekonomi pengumpul kayu bakar responden dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 7. Populasi Pengumpul Kayu Bakar di Sub DAS Ciesek
Kampung
Desa
Jumlah KK
Jumlah Pengumpul
Kayu Bakar (KK)
Pasaban
Megamendung
59
59
Citamiyang
Megamendung
35
28
Sirimpak
Megamendung
36
18
Kampung Jawa
Megamendung
28
14
Kampung Bungur
cilember
38
30
Total
196
150
Tabel 8. Karakteristik Sosial Ekonomi Pengumpul Kayu Bakar
Uraian
Satuan
Ra-rata
Konsumsi kayu bakar
ikat/orang/th
93,18
Lamanya Waktu Pengambilan KB
jam/th
214,59
Jumlah Anggota KK
orang
4,41
Jarak Ke Hutan
km
2,64
Frekuensi Pengambilan KB
per minggu
1,06
Pendapatan
Rp/bln
364.706
Tingkat Pendidikan
Skoring
SMP*
Sumber : olahan data primer, 2005 * modus
Hasil penelitian menunjukan rata-rata pengambilan kayu bakar yang
dilakukan oleh masyarakat adalah satu kali dalam seminggu dengan korbanan waktu
yang diperlukan 4,3 jam sekali pengambilan. Adapun besarnya rata-rata upah kerja
masyarakat di daerah ini adalah Rp.15.000/hari untuk 8 jam kerja atau Rp.1.875/jam.
Besarnya nilai ekonomi hutan sebagai penghasil kayu bakar bagi masyarakat sekitar
hutan adalah Rp.60.352.941,18/tahun atau Rp.92.179,75/ha/tahun, perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Nilai Ekonomi Wisata
Kawasan hutan lindung yang berada di hulu Sub DAS Ciesek selain
mempunyai peran sebagai kawasan lindung juga mempunyai keindahan alam, salah
satunya dengan adanya lokasi wisata alam Curug Panjang. Perum Perhutani KPH
Bogor bersama masyarakat Desa Megamendung telah mengelola kawasan wisata
alam dalam bentuk pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang. Kawasan wisata ini
mulai dikelola sejak tahun 2000 oleh Perum Perhutani. Keindahan alam terutama
jurug (air terjun) menjadi daya tarik utama kawasan wisata ini. Dengan sistem
pengelolaan yang terus diperbaiki oleh Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar,
membuat tingkat kunjungan ke kawasan wisata ini dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Pada hari sabtu dan minggu tempat wisata alam ini ramai dikunjungi oleh
pengunjung dari kota Bogor dan sekitarnya.
51
Penelitian dilakukan dengan cara mewawancarai 44 pengunjung kawasan
wisata alam tentang besarnya biaya perjalanan yang dikeluarkan, karakteristik
pengunjung, dan presepsi atau penilaian terhadap kawasan wisata alam. Informasi
mengenai karakteristik dan presepsi pengunjung terhadap kawasan wisata alam Curug
Panjang dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9.
Karakteristik dan Persepsi Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug
Panjang
No
Keterangan
Jumlah
Prosentase (%)
1
Jenis Pekerjaan
•
Pelajar/mahasiswa
34
77,27
•
Swasta
10
22,73
2
Kelompok Umur
•
12 - 20
22
50,00
•
20 - 30
20
45,45
•
30 tahun keatas
2
4,54
3
Pendapatan
•
< Rp.500 rb
36
81,81
•
Rp. 500 rb – 1 juta
6
13,63
•
Rp. > 1 juta
2
4,54
4
Motivasi Kunjungan
•
wisata
26
59,09
•
outbound
12
27,27
•
lainnya
6
13,64
5
Intensitas Kunjungan
•
kurang dari 3 x
30
68,18
•
lebih dari 3 x
14
31,82
6
Cara Melakukan Kunjungan
•
sendiri
5
11,36
•
berkelompok
39
88,64
7
Lamanya Kunjungan
•
Pulang-pergi
16
36,36
•
menginap
28
63,64
8
Tanggapan terhadap Fasilitas
Wisata
•
baik
4
9,09
•
kurang
40
90,91
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pengunjung kawasan
wisata alam Curug Panjang adalah pelajar/mahasiswa (77,27 %) kemudian diikuti
oleh swasta (22,73 %) dimana kelompok umur pengunjung terbesar adalah kelompok
umur 12 – 20 th (50 %), diikuti kelompok umur 20 – 30 th (45,45 %) dan 30 tahun ke
atas (4,54 %). Sebagian besar pengunjung kawasan wisata alam Curug Panjang
berpendapatan kurang dari Rp. 500.000 (81,81 %) hal ini bisa dimaklumi karena
sebagian besar adalah pelajar/mahasiswa yang belum punya penghasilan.
Motivasi kunjungan para pengunjung selain wisata (59,09 %), adalah
outbound
(27,27 %) dan sisanya motivasi la innya (13,64 %). Lokasi kawasan wisata Curug
Panjang memang suda h lama dimanfaatkan sebagai kawasan
outbound
, kondisi
alamnya yang indah serta kondisi jurug yang cukup menantang membuat kawasan ini
sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan petualangan alam. Para
pengunjung datang ke kawasan ini dengan cara berkelompok (88,64 %) sedangkan
sisanya sendiri (11,36 %). Sebagian besar responden (31,82 %) mengatakan pernah
datang lebih dari 3 kali ke kawasan wisata alam ini, sedangkan sisanya (68,18 %)
menyatakan kurang dari 3 kali. Pengunjung yang datang lebih dari 3 kali sebagian
besar adalah dari wilayah bogor sedangkan pengunjung dari luar bogor sebagian
besar baru datang satu kali. Kawasan wisata alam ini hanya ramai pengunjung pada
hari sabtu- minggu saja, sedangkan hari lain relatif sepi. Biasanya para pengunjung
yang mempunyai motivasi
outbound
akan menginap (63,64 %) di kawasan wisata
alam ini, sedangkan sisanya pulang pergi (36,36 %) yang kebanyakan merupakan
pengunjung yang mempunyai motivasi berwisata.
Persepsi para pengunjung terhadap kelengkapan fasilitas umum yang ada
sebagian besar memberikan penilaian kurang memuaskan (90,91 %) sedangkan
sisanya menyatakan sudah baik (9,09 %). Sebagian besar pengunjung menyarankan
perlunya dibagun shelter-shelter untuk tempat peristirahatan, fasilitas toilet dan
tempat ganti pakaian diperbaiki, papan-papan peringatan, lokasi camping ground
yang lebih diperluas serta penambahan sarana-sarana
outbound
.
Berdasarkan data dari Perum Perhutani jumlah pengunjung kawasan wisata
alam Curug Panjang pada tahun 2000 berjumlah 3.800 dan tahun 2001 sebesar 4.037
53
atau mengalami peningkatan sebesar 237 orang, dengan asumsi peningkatan jumlah
pengunjung tiap tahunnya sama maka pada tahun 2005 terdapat 4.985 pengunjung.
Berdasarkan data jumlah pengunjung dan data sampel responden maka didapatkan
tingkat kunjungan pengunjung seperti yang tersaji pada Tabel 10.
Tabel 10. Tingkat Kunjungan di Kawasan Wisata Alam Curug Panjang Berdasarkan
Biaya Perjalanan
No Daerah Asal Pengunjung Jumlah Sampel Pengunjung (orang) Prosentase Pengunjung (%) Jumlah Populasi Daerah Pengunjung (orang) * Jumlah Pengunjung (orang) Laju Kunjungan per 1000 orang Biaya Perjalanan Rata-rata (Rp) 1 Bogor 16 36,36 820.707 1.813 3 19.109 2 Jakarta 22 50,00 8.792.000 2.493 1 63.659 3 Bekasi 6 13,64 1.877.414 680 1 52.500 Total 44 4.985Sumber analisis data primer, 2005 Keterangan : * Data BPPS tahun 2003
Penentuan besarnya nilai manfaat ekonomi kawasan wisata alam ini dilakukan
dengan menghitung besarnya biaya perjalanan (
travel cost method
) yang dikeluarkan
oleh setiap pengunjung dari berbagai daerah asal. Sedangkan besarnya biaya
perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung di Kawasan Wisata Curug Panjang
dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Besarnya Biaya Perjalanan Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug
Panjang
No
Jenis Pengeluaran
Biaya
Prosentase (%)
1
Transportasi
17.320
36,66
2
Konsumsi
16.066
34,01
3
Tiket Masuk
3.000
6,35
4
Penginapan
3.286
6,96
5
lain-lain
7.571
16,03
Jumlah
47.242
Kurva permintaan manfaat rekreasi kawasan wisata alam Curug Panjang
berdasarkan biaya perjalanan dibuat untuk melihat hubungan jumlah pengunjung
pada berbaga i tingkat harga tiket masuk kawasan wisata. Hasil penelitian
menunjukan semakin tinggi harga tiket masuk kawasan wisata maka semakin sedikit
jumlah pengunjung kawasan wisata tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurva Permintaan Manfaat Wisata Alam Curug Panjang
Pada harga tiket masuk yang dip erlakukan sekarang ini yakni Rp.3.000/orang,
diperkirakan jumlah pengunjung akan mencapai 10.233 orang/tahun dengan
keuntungan yang akan didapatkan pihak pengelola sebesar Rp.30.700.070/tahun,
kesediaan membayar pengunjung atau manfaat rekreasi sebesar Rp.
164.062.827 atau
Rp.16.032/orang, sementara surplus konsumen yang dirasakan oleh pengunjung
mencapai Rp.133.362.757/tahun atau Rp.13.033/orang. Hasil perhitungan juga
menunjukan bahwa penerimaan pihak pengelola akan maksimum pada saat harga
tiket masuk sebesar Rp.12.000/orang dengan perkiraan jumlah pengunjung mencapai
5.270 orang/tahun. Pada kondisi ini pihak pengelola akan mendapatkan keuntungan
sebesar Rp.63.235.494. Besarnya nilai manfaat rekreasi adalah Rp.126.834.835
atau
rata-rata kesediaan membayar setiap pengunjung mencapai Rp.24.069/orang,
sedangkan surplus konsumen mencapai Rp.63.599.342
atau Rp.12.069/orang. Harga
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000
Jumlah Pengunjung (orang)
55
tiket masuk pengunjung sebesar Rp .12.000/orang dirasakan masih wajar karena harga
ini masih dibawah rata-rata kesediaan membayar pengunjung yang sebesar
Rp.24.069/orang. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hasil perhitungan manfaat nilai ekonomi dari jasa wisata di Curug Panjang pada
tingkat harga karcis yang sekarang berlaku (Rp.3000) dapat dilihat pada Tabel 12
berikut ini.
Tabel 12. Nilai Ekonomi Wisata Curug Panjang pada Tingkat Harga yang Sekarang
Berlaku
Jumlah
Nilai Total
Nilai sampel
(Rp/orang)
pengunjung
(Rp/tahun)
Kesediaan berkorban
16.032
10.233
164.062.827
Nilai yang dikorbankan
3.000
10.233
30.700.070
Surplus Konsumen
13.033
10.233
133.362.757
Sumber analisis data primer, 2005
Gambar 7. Salah Satu Aktivitas
Outbound
yang dilakukan Pengunjung di Kawasan
Wisata Alam Curug Panjang
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Rumah Tangga
Secara tidak langsung keberadaan kawasan hutan di Sub DAS Ciesek juga ikut
menjamin siklus hidrologis kawasan tersebut. Dengan cara me nahan curah hujan
yang tinggi dan meresapkannya ke dalam tanah, dan selanjutnya dilepas secara teratur
ke dalam berbagai aliran air permukaan dan bawah permukaan, sehingga
distribusinya lebih baik bagi berbagai kepentingan salah satunya untuk kebutuhan air
rumah tangga.
Masyarakat yang tinggal di kawasan ini sebagian besar memakai air yang
bersumber dari mata air dan sumur. Dari 69 responden masyarakat yang
menggunakan air yang bersumber dari mata air sebesar 79,71 % sedangkan sisanya
20,29 % dari sumur. Sebagian besar masyarakat menggunakan mata air yang banyak
terdapat di daerah penelitian untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti mencuci,
mandi dan kakus. Dari sumber air biasanya masyarakat membuat bak-bak
penampungan dari bangunan semen dan kemudian mengalirkannya sampai ke rumah
dengan pipa pralon. Tidak jarang untuk lebih memperlancar penyaluran air terutama
pada musim kemarau baik dari sumur maupun mata air, masyarakat memanfaatkan
mesin pemompa air. Mesin pompa air ini banyak dimiliki oleh pemilik-pemilik villa
yang banyak terdapat di daerah Sub DAS Ciesek. Karakteristik sosial ekonomi
masyarakat pengguna air untuk kebutuhan rumah tangga di daerah Sub DAS Ciesek
dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pengguna Air untuk Kebutuhan
Rumah Tangga
Uraian
Satuan
Rata-rata
Konsumsi Air
m
3/orang/tahun
167,42
Biaya Pengadaan
Rp/m
3408,01
Pendapatan Kepala Keluarga
Rp/bulan
3.052.608,70
Jumlah Anggota Keluarga
Orang
5
Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
Skoring
S1
Jarak ke Sumber Air
meter
60,22
57
Dari Tabel 13 di atas bisa dilihat bahwa rata-rata pemakaian air mencapai
167,42 m3/orang/tahun, angka ini cukup tinggi jika dibandingkan penelitian yang
dilakukan oleh Kurniasih (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat yang hanya
berkisar 28,33 m3/orang/tahun. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar pemakaian
air masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek berasal dari sumber mata air yang dialirkan
ke rumah dan dibiarkan mengalir terus setiap hari. Demikian juga dengan biaya
pengadaan yang cukup tinggi yakni mencapai Rp 408,01 /m3 dikarenakan komponen
biaya yang cukup besar seperti pralon dan bak penampungan dari semen yang hampir
semua masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek menggunakannya serta mesin
pemompa air (sanyo) yang banyak digunakan untuk membantu menyedot air yang
banyak digunakan di villa-villa yang banyak terdapat di daerah penelitian.
Penentuan manfaat ekonomi penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan metode biaya pengadaan yakni dengan
menghitung besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk
mengkonsumsi air. Variabel- variabel yang diduga mempengaruhi tingkat konsumsi
air untuk kebutuhan rumah tangga (Y) antara lain biaya pengadaan (X1), tingkat
pendapatan kepala keluarga (X2), jumlah anggota keluarga (X3), tingkat pendidikan
kepala keluarga (X4) dan jarak ke sumber mata air (X5).
Dari pengolahan regresi dengan metode
stepwise
yang dilakukan terhadap 69
responden terpilih, model kurva permintaan air untuk konsumsi rumah tangga
masyarakat di Sub DAS Ciesek adalah Y = 134,628 - 0,0708 X1 + 8,995 X3 + 0,045
X5. Model tersebut nyata (P=0,000), dengan koefisisen determinasi (R
2) 48,7% yang
berarti 48,7 % kera gaman yang terjadi pada konsumsi air rumah tangga disebabkan
oleh biaya pengadaan, jumlah anggota keluarga dan jarak ke sumber air. Dari ketiga
variabel yang mempengaruhi tingkat konsumsi air untuk rumah tangga, variabel yang
paling berpengaruh berturut-turut adalah biaya pengadaan (P = 0,000), jarak ke
sumber air (P = 0,000), dan jumlah anggota keluarga (P = 0,009).
Dari model kurva permintaan air untuk rumah tangga juga dapat dilihat bahwa
biaya pengadaan berkorelasi negatif dengan tingkat konsumsi air, ini artinya semakin
besar tingkat konsumsi air untuk rumah tangga maka semakin kecil biaya pengadaan.
Sedangkan untuk jumlah anggota keluarga dan jarak dari sumber air berkorelasi
positif dengan tingkat konsumsi air yang berarti semakin banyak jumlah anggota
keluarga dan semakin jauh jarak dari sumber air maka tingkat konsumsi air akan
semakin tinggi. Semakin jauh jarak dari sumber air, maka peluang untuk
mendapatkan sumber air yang besar dengan kualitas air lebih baik semakin besar.
Sumber-sumber air yang lebih besar dan jernih di daerah Sub DAS Ciesek banyak
terdapat di daerah hulu, yang berada jauh dari daerah pemukiman yang banyak
terdapat di daerah hilir. Dengan demikian kegiatan perlindungan kawasan di daerah
hulu Sub DAS Ciesek mutlak harus dilakukan, mengingat banyaknya masyarakat
yang memanfaatkan daerah ini sebagai tempat mengambil sumber air untuk
keperluan rumah tangga.
Hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air untuk konsumsi rumah tangga di
Sub DAS Ciesek berdasarkan model persamaan permintaan air untuk konsumsi
rumah tangga yang telah di dapat yakni sebesar Rp.2.116.630.677,85/tahun atau
Rp.237.556,75/KK/tahun. Dengan nilai yang dikorbankan oleh masyarakat sebesar
Rp.352.126.318,50/tahun atau Rp.39.520,35/KK/tahun, masyarakat mendapatkan
surplus konsumen sebesar Rp.1.764.504.359,35/tahun atau Rp. 198.036,40/KK/tahun.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Untuk lebih jelasnya rekapitulasi hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air
untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 14 di
bawah ini.
Tabel 14. Nilai Ekonomi Air untuk Konsumsi Rumah Tangga
Nilai sampel
(Rp/KK/tahun)
Populasi KK
Nilai Total
(Rp/tahun)
Kesediaan berkorban
237.556,75
8.910
2.116.630.677,85
Nilai yang dikorbankan
39.520,35
8.910
352.126.318,50
Surplus Konsumen
198.036,40
8.910
1.764.504.359,35
59
Gambar 9. Bangunan Bak Penampungan Mata Air yang dijadikan sebagai Sumbe r
Air untuk Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga
Gambar 8. Saluran Air Berupa Peralon yang digunakan Mayarakat untuk
Menga mbil Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Pertanian
Disamping sebagai penyedia air untuk keperluan rumah tangga. keberadaan
hutan di Sub DAS Ciesek juga berperan sebagai penyedia air untuk kebutuhan
pertanian, khususnya pertanian sawah yang membutuhkan pengairan secara terus
menerus. Penilaian dilakukan pada petani yang mengusahakan lahan pertaniannya
dengan sistim irigasi, dimana lahan persawahannya dialiri air sepanjang hari. Asumsi
yang dibangun adalah bahwa sumber air yang digunakan untuk mengaliri sawah para
petani bersumber dari mata air-mata air yang berada dari kawasan lindung di Sub
DAS Ciesek.
Penilaian manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk sektor pertanian dalam
penelitian ini menggunakan
Contingent Valuation Method
(CVM), yakni dengan cara
menanyakan kepada petani yang menjadi responden tentang kesediaan membayar
(
Willingness to pay
) akan air untuk mengairi sawah mereka per sekali panen.
Pendekatan ini dilakukan mengingat susahnya mendapatkan informasi yang akurat
tentang besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh petani untuk mengairi
sawah mereka.
Jumlah petani yang menjadi responden berjumlah 22 orang petani, sama dengan
responden yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi produk tivitas pertanian
lahan basah. Kondisi karaketristik sosial ekonomi responden dapat dilihat pada Tabel
21 dan Tabel 22. Dari hasil perhitungan didapatkan informasi bahwa rata-rata
kesediaan membayar petani di Sub DAS Ciesek sebesar Rp.15.773/orang/panen atau
Rp.31.546
/orang/th sehingga nilai manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk
sektor pertanian sebesar Rp.29.274.181,82/th atau Rp.44.711,77/ha/th. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.
Nilai Ekonomi Pengendali Banjir dan Erosi
Adanya vegetasi hutan dapat mencegah bahaya banjir dan erosi, demikian
pula keberadaan hutan di Sub DAS Ciesek juga dapat berfungsi sebagai pengendali
banjir dan erosi bagi daerah-daerah yang berada di bawahnya. Manfaat hutan sebagai
pengendali banjir dan erosi ini sangat terkait dengan fungsi hutan lindung yang
61
berada di bagian hulu Sub DAS Ciesek yakni sebagai pengatur
hidroorologi
kawasan
disekitarnya.
Kerusakan ekosistem hutan di hulu Sub DAS Ciesek secara langsung
akan berdampak pada meningkatnya erosi dan banjir serta terjadinya sedimentasi di
daerah aliran sungai yang lebih rendah dan pada akhirnya akan berdampak pada
kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
Dalam penelitian ini masyarakat yang menjadi responden untuk menentukan
besarnya nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pengendali banjir dan erosi
berjumlah 69 orang. Untuk lebih jelasnya tentang kondisi sosial ekonomi responden
dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16 berikut ini.
Tabel 15. Rata-rata Pendapatan dan Jumlah Anggota Keluarga Responden untuk
Menentukan Nilai Ekonomi
Uraian
Satuan
Ra-rata
Jumlah Anggota KK
orang
5
Pendapatan
Rp/bln
3.030.145
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 16. Distribusi Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Responden untuk
Menentukan Nilai Ekonomi
Uraian
Jumlah
Persentase (%)
Tingkat Pendidikan
SD
14
20,29
SMP
14
20,29
SMA
16
23,19
S1
24
34,78
S2
1
1,45
Total
69
100,00
Jenis Pekerjaan
Petani
9
13,04
Buruh
7
10,14
Penjaga Villa
12
17,39
Swasta
17
24,64
PNS
8
11,59
Wiraswasta
16
23,19
Total
69
100,00
Dari Tabel 15 dan 16 tersebut di atas dapat dilihat bahwasannya sebagian
besar responden berpendidikan S1 (34,78 %), kemudian berturut-turut diikuti oleh
SMA (23,19 %), SD (20,29 %), SMP (20,29%) dan S2 (1,45 %). Sedangkan jika
dilihat dari jenis pekerjaannya berturut-turut adalah swasta (24,64 %), wiraswasta
(23,19 %), penjaga villa (17,39 %), petani (13,04 %), PNS (11,59 %) dan buruh
(10,14 %). Banyaknya responden yang berprofesi di swasta dan wiraswasta dan
sebagian dari mereka adalah pemilik villa-villa yang ada di daerah penelitian
menyebabkan rata-rata tingkat pendapatan responden menjadi relatif tinggi, yakni
sebesar Rp.3.030.145/bulan.
Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai pengenda li banjir dan erosi dalam
penelitian ini menggunakan
Contingent Valuation Method
(CVM), yakni dengan cara
menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan
membayar (
Willingness to pay
) akan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan
erosi. Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk
membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai pengendali
banjir dan erosi dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.183.826/orang/tahun. Jika
digandakan dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek
sebesar 8.910 KK, maka besarnya nilai ekonomi sebagai pengendali banjir dan erosi
sebesar Rp.1.637.890.434,78/tahun atau Rp .2.501.623,47/hektar/tahun. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
2. Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan (
Option Value
)
Nilai Hutan sebagai Penyerap Karbon
Keberadaan hutan tropis sangat penting karena diyakini sebagai paru-paru
dunia yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim global dunia. Hutan diyakini oleh
sebagian besar para ahli lingkungan dapat menurunkan emisi CO
2di atmosfer melalui
kemampuannya dalam menyerap gas berbahaya tersebut sehingga hutan disebut
sebagai rosot karbon atau
carbon sink
karena fungsinya dalam menyerap dan
menyimpan karbon.
63
Kehutanan menjadi isu yang kontroversial sejak diadopsi ke dalam Kyoto
Protocol terutama berkaitan dengan tiga program dalam Kyoto Protocol yakni Joint
Implementation
(JI), Clean Devolopment Mechanism (CDM) dan Emission Trading
(ET) yang merupakan
market based instruments
dalam upaya penurunan emisi gas
rumah kaca. Dalam CDM besarnya kemampuan dalam menyerap karbon dihargai
dengan nilai US$ 10/ton karbon. Berdasarkan studi inventarisasi Gas Rumah Kaca
tahun 1994 (Ridwan
et al
., 2001) menyebutkan bahwa hutan mampu menyerap CO
2sebesar 404 metrik ton. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Brown (1997) untuk hutan tropis di Indonesia rata-rata 210 – 226 ton C/ha.
Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan
menggunakan metode pendekatan harga pasar dimana pada saat ini harga karbon
yang berlaku di pasaran dunia sebesar US$ 10/ton atau bila dikurskan dengan nilai
rupiah sekarang adalah sebesar Rp.93.000/ton. Besarnya potensi hutan dalam
menyerap karbon didekati dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997),
dimana hutan tropis di Indonesia bisa menyerap karbon rata-rata 210 – 226 ton C/ha.
Berdasarkan hasil penafsiran citra Ikonos tahun 2003 besarnya luasan hutan di
Sub DAS Ciesek sebesar 654,73 ha yang terdiri dari hutan dengan kerapatan vegetasi
tinggi sebesar 521,48 ha dan hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 133,25
ha. Dengan mengasumsikan besarnya besarnya karbon yang dapat diserap seperti
pada hasil penelitian Brown (1997) maka besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi
tinggi sebesar 226 ton C/ha dan besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi rendah
sebesar 210 ton C/ha. Dalam penelitian ini jangka waktu pengelolaan hutan
diasumsikan sama dengan pengelolaan hutan alam yakni selama 35 tahun. Dengan
mengalikan besarnya potensi karbon yang dapat diserap dengan harga karbon yang
berlaku di pasaran dunia maka nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek adalah
sebesar Rp.387.510.290,23/tahun atau Rp.591.861,83/ha/tahun. Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Nilai Keberadaan
Nilai Ekonomi Sebagai Habitat Flora dan Fauna
Hutan dengan segala keunikan ekosistemnya merupakan habitat yang baik
untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai flora dan fauna yang ada di dalamnya.
Hal ini menyebabkan keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna mempunyai
nilai dalam menjaga kelestarian flora dan fauna yang hidup dan berkembang
didalamnya.
Jumlah masyarakat yang menjadi responden dalam menentukan nilai
keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna ini berjumlah 69 orang. Adapun
karakteristik sosial dan ekonomi responden dapat dilihat seperti pada Tabel 15 dan
Tabel 16 di atas. Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai habitat satwa liar dalam
penelitian ini menggunakan
Contingent Valuation Method
(CVM), yakni dengan cara
menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan
membayar (
Willingness to pay
) akan fungsi hutan sebagai habitat flora dan fauna.
Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk
membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai habitat satwa
liar dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.77.333/orang/tahun. Jika digandakan
dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek sebesar 8.910 KK.
maka besarnya nilai ekonomi hutan sebagai habitat flora dan fauna sebesar
Rp.689.040.000/tahun atau Rp .1.052.401,67/hektar/tahun.
Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung
Besarnya nilai ekonomi kawasan lindung dalam penelitian ini dihitung
menggunakan konsep nilai ekonomi total atau
Total Economic Value
(TEV) dimana
nilai ekonomi total kawasan lindung merupakan hasil penjumlahan nilai guna dan
nilai bukan guna manfaat ekonomi dari hutan. Hasil rekapitulasi perhitungan nilai
ekonomi total hutan lindung dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 17 di bawah ini.
65
Tabel 17. Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan sebagai Kawasan
Lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu
Nilai Ekonomi
Nilai Ekonomi per hektar (Rp/ha)
Nilai Ekonomi Total (Rp/th) Nilai Guna
a Nilai Guna Langsung
Nilai Ekonomi Kayu Bakar 92.179,75 60.352.941,18 1,19
Wisata Alam 250.580,51 164.062.827,17 3,23
Total Nilai Guna langsung 342.760,26 224.415.768,35 4,41
b Nilai Guna Tidak Langsung
Penyedia Kebutuhan Air untuk
Rumah Tangga 3.232.824,90 2.116.630.677,85 41,63
Penyedia Kebutuhan Air untuk
Pertanian 44.711,77 29.274.181,82 0,58
Pengendali Banjir dan Erosi 2.501.623,47 1.637.890.434,78 32,21
Total Nilai Guna tidak langsung 5.779.160,14 3.783.795.294,45 74,41
Total Nilai Guna 6.121.920,40 4.008.211.062,81 78,83
Nilai Bukan Guna
a Nilai Pilihan
Penyerap Karbon 591.861,83 387.510.290,23 7,62
Total Nilai Pilihan 591.861,83 387.510.290,23 7,62
b Nilai Keberadaan
Habitat Flora Fauna 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55
Total Nilai Keberadaan 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55
Total Nilai Bukan Guna 1.644.263,51 1.076.550.290,23 21,17 Total Nilai Ekonomi 7.766.183,90 5.084.761.353,04 100 100 100
2. No
Persentase Terhadap Nilai Total (%) 1.
Sumber analisis data primer, 2005
Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat nilai guna memberikan manfaat sebesar
Rp.4.008.211.062,81
atau Rp.6.121.920,40/ha nilai ini memberikan kontribusi
sebesar 78,83 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Nila i ini terdiri dari nilai
guna langsung sebesar Rp.224.415.768,35 atau Rp.342.760,26/ha (4,41 %) dan nilai
guna tidak langsung sebesar Rp.3.783.795.294,45 atau Rp.5.779.160,14/ha (74,41%).
Sementara sisanya sebesar 21,17 % merupakan kontribusi dari nilai bukan guna yang
memberikan manfaat sebesar Rp.1.076.550.290,23 atau Rp1.644.263,51/ha. Nilai ini
terdiri dari nilai pilihan sebesar Rp
.
387.510.290,23 atau Rp
.
591.861,83/ha (7,62 %)
dan nilai keberadaan sebesar Rp.689.040.000,00 atau Rp.
1.052.401,67 (13,55 %).
Kecilnya nilai guna langsung yang cuma 4,41 % dari nilai ekonomi total
kawasan hutan me nunjukan masih kecilnya manfaat ekonomi kawasan hutan yang
langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Manfaat yang langsung dirasakan
oleh masyarakat dengan adanya keberadaan hutan adalah sebagai penyedia kayu
bakar dan sebagai lokasi wisata yakni dengan adanya pengelolaan kawasan wisata
Curug Panjang yang dikelola oleh masyarakat bersama Perhutani.
Jika dilihat masing-masing jenis pembentuk nilai ekonomi total kawasan
lindung, nilai terbesar berasal dari nilai penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga
sebesar Rp.2.116.630.677,85 atau Rp.3.232.824,90/ha, nilai ini memberikan
kontribusi sebesar 41,63 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Hal ini
menunjukan betapa pentingnya kawasan hutan sebagai pensuplai kebutuhan air untuk
keperluan rumah tangga masyarakat di Sub DAS Ciesek. Sedangkan penyumbang
nilai ekonomi terkecil berasal dari nilai ekonomi penyedia air untuk kebutuhan
pertanian sawah sebesar Rp.29.274.181,82 atau Rp.44.711,77/ha, nilai ini
memberikan kontribusi sebesar 0,58 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung.
0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000
Kayu BakarWisata Alam
Air RT Air Pertanian
Penggendali Banjir dan Erosi
Penyerap Karbon
Habitat Flora Fauna
Jenis Nilai
Nilai Ekonomi (Rp/ha/th)
Gambar 10. Komponen Pembentuk Nilai Ekonomi Total Kawasan
Lindung Per Hektar Per Tahun
67
Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya
Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Basah
Hasil intrepretasi dari citra satelit Ikonos tahun 2003 didapatkan informasi
bahwa luas lahan pertanian sawah seluas 300,97 ha atau 11,35 % dari luas Sub DAS
Ciesek. Distribusi luas sawah dan jumlah petani untuk tiap-tiap desa di daerah
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Luas Pertanian Sawah dan Jumlah Petani di Sub DAS Ciesek
Desa
Luas
(ha)
1Luas
Pertanian
(ha)
1prosentase
(%)
Jumlah
KK
2Jumlah
Petani
2Desa Cipayung
438,44
86,96
28,89
4.597
93
Desa Cipayung Girang
193,75
32,06
10,65
1.691
230
Desa Megamendung
1724,22
51,36
17,06
1.325
106
Desa Cilember
296,86
138,48
46,01
1.297
499
Total
2653,27
300,97
100,00
4.597
928
1
sumber Ikonos tahun 2003
2 sumber Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003
Adapun distribusi dan rata-rata lahan garapan petani yang menjadi responden
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19.
Distribusi dan Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Responden di Sub
DAS Ciesek
Desa
Jumlah Responden
Rata-rata lahan garapan
(ha)
Desa Cipayung
5
0,042
Desa Cipayung Girang
5
0,096
Desa Megamendung
4
0,045
Desa Clember
8
0,109
Total
22
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan wawancara dengan 22 orang petani responden, rata-rata lahan
yang menjadi garapan sawah seluas 790 m
2per orang. Perlu untuk diketahui bahwa
petani yang mengusahakan sawah di Sub DAS Ciesek ini bukan seluruhnya
masyarakat yag tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek tetapi banyak juga
diantaranya petani yang berasal dari desa-desa di luar Sub DAS Ciesek. Karakteristik
sosial ekonomi responden untuk menentukan nilai ekonomi pertanian lahan basah di
daerah Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21 berikut ini.
Tabel 20. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Basah
Uraian
Satuan
Rata-rata
Pendapatan
Rp/bln
411.364
Luas Garapan
ha
0,079
Jumlah Anggota KK
orang
5,00
Konsumsi Air Pertanian
hari
sepanjang hari
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 21. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani
Pertanian Lahan Basah
Uraian
Jumlah
Persentase (%)
Tingkat Pendidikan
SD
11
50,00
SMP
7
31,82
SMA
4
18,18
Total
22
100,00
Status Kepemilikan Lahan
Sendiri
3
13,64
Sewa
0
0,00
Penggarap
19
86,36
22
100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Sebagian besar responden yang menjadi petani sawah berpendidikan SD
(50%) dengan rata-rata tingkat pendapatan sebesar Rp.411.364/bulan. Dari hasil
wawancara juga didapatkan informasi bahwa 86,36% rata-rata lahan garapan para
petani adalah tanah bukan milik para petani itu sendiri, melainkan tanah milik
orang-orang kota terutama orang-orang dari Jakarta. Para petani tersebut hanya sebagai petani
penggarap dengan sistem bagi hasil. Akan tetapi banyak juga para petani yang
menggarap lahan orang-orang Jakarta dengan perjanjian seluruh hasil dari pertanian
69
sawah untuk para petani, sementara kewajiban mereka adalah menjaga keamanan
lahan-lahan orang-orang Jakarta dan bersedia menghentikan kegiatan pertanian jika
lahan tersebut akan dipergunakan oleh pemilik sah lahan garapan pertanian mereka.
Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi lahan pertanian lahan
basah dapat ditentukan. Dengan rata-rata luas garapan sebesar 0,079 ha tiap petani
mampu menghasilkan padi rata-rata sebesar 2,51 kuintal tiap kali panen. Jika dalam
satu tahun terdapat dua kali panen maka petani bisa mendapatakan 5,2 kuintal per
tahun. Besarnya nilai produktivitas lahan pertanian lahan basah untuk rata-rata seluas
satu hektar dalam penelitian ini sebesar Rp.3.729.747/ha/tahun. Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Sebagian besar dari petani pertanian lahan basah yang ada di daerah pene litian
bersifat subsisten, artinya hasil padi mereka tidak dikomersilkan, melainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar sistim pertanian yang dilakukan
kurang intensif, petani hanya melakukan pekerjaan pertanian lahan basah ini hanya
bersifat sebagi sambilan. Banyak diantara mereka mempunyai pekerjaan lain seperti
sebagai penjaga villa, buruh dan wiraswasta.
Gambar 11.
Sistim Pertanian Lahan Basah (Sawah) yang Diusahakan oleh
Masyarakat di Sub DAS Ciesek
Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
Pola pertanian lahan kering yang bayak dilakukan oleh masyarakat di Sub
DAS Ciesek merupakan pola pertanian lahan kering dataran tinggi, dimana komoditi
pertanian yang ditanam didominasi oleh pisang dan singkong. Jenis komoditi
pertanian lahan kering lainnya yang juga banyak ditanam adalah sayuran seperti
tomat, kubis, cabe, mentimun, sesin, buncis serta berbagai komoditi bunga potong.
Seperti pertanian lahan basah, sistim pertanian lahan kering yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya masih kurang intensif, sehingga hasil yang didapatkan
belum begitu menggembirakan.
Karakteristik responden petani pertanian lahan kering di dalam penelitian ini
bisa dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Kering
Uraian
Satuan
Rata-rata
Luas Garapan
ha
0,76
Jumlah Anggota KK
orang
5,00
Pendapatan
Rp/bln
869.091
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 23. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani
Pertanian Lahan Kering
Uraian
Jumlah
Persentase (%)
Tingkat Pendidikan
SD
4
28,57
SMP
3
21,43
SMA
4
28,57
S1
3
21,43
Total
14
100,00
Status Kepemilikan Lahan
Sendiri
4
28,57
Sewa
2
14,29
Penggarap
8
57,14
14
100,00
71
Berdasarkan Tabel 22 dan 23 di atas, dapat dilihat rata-rata luas garapan petani
lahan kering di daerah penelitian adalah 760 m
2, dengan status kepemilikan lahan
adalah sebagai penggarap (57,14 %), serta status pendidikan terbesar adalah SD dan
SMA (28,57 %). Seperti petani pertanian lahan basah, di daerah Sub DAS Ciesek
memang kebanyakan lahan yang ada adalah milik dari orang Jakarta, sementara
masyarakat setempat hanya sebagai penggarap saja.
Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi pertanian lahan kering
yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.7.905.698,23/ha /th (Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pendapatan petani lahan basah yang hanya
Rp.3.729.747/ha /tahun, hal ini dikarenakan ada sebagian masyarakat yang
mengusahakan sistim penggarapan pertanian lahan kering dengan sistim yang lebih
intensif sehingga nilai rata-ratanya menjadi tinggi, seperti pola pertanian yang
dikelola oleh PUSKOPAL (Pusat Koperasi Angkatan Laut) dan usaha budidaya
bunga potong. Namun sebagian besar pertanian lahan kering yang ada di daerah
penelitian belum digarap dengan intensif, seperti pola pertanian laha n kering yang
sangat mendominasi pemanfaatan lahan yang ada yakni pertania n lahan kering
dengan komoditas utama tanaman singkong dan pisang.
Gambar 12.
Sistim Pertanian Lahan Kering yang Diusahakan oleh Masyarakat di
Sub DAS Ciesek
Penggunaan Lahan untuk Kebun Campuran
Dalam penelitian ini yang digolongkan kedalam kebun campuran merupakan
pertanian lahan kering dengan melibatkan tanaman tahunan seperti buah-buahan dan
tanaman keras seperti sengon. Karakteristik responden masyarakat yang
mengusahakan penggunaan lahan dengan sistim kebun campuran di dalam penelitian
ini bisa dilihat pada Tabel 24 berikut ini.
Tabel 24. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Kebun Campuran
Uraian
Satuan
Rata-rata
Luas Garapan
ha
0,441
Jumlah Anggota KK
orang
5,00
Pendapatan
Rp/bulan
622.500
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 25.
Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani
Kebun Campuran
Uraian
Jumlah
Persentase (%)
Tingkat Pendidikan
SD
4
33,33
SMP
4
33,33
SMA
4
33,33
Total
12
100,00
Status Kepemilikan Lahan
Sendiri
5
41,67
Sewa
0
0,00
Penggarap
7
58,33
Total
12
100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Dari Tabel 24 dan 25 tersebut di atas dapat dilihat rata-rata luas garapan kebun
campuran yang diusahakan oleh masyarakat adalah 441 m
2dengan status kepemilkan
lahan adalah penggarap (58,33%), serta tingkat pendidikan responden SD, SMP dan
SMA yang merata (33,33%). Berdasarkan pengamatan, sebagian besar pola kebun
campuran yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tidak intensif, dimana
kebun-kebun campuran yang dikelola masyarakat terbagi atas petak-petak tanah yang tidak
73
begitu luas, bahkan banyak diantaranya merupakan pekarangan rumah. Masyarakat
hanya sekedar memanfaatkan lahan yang ada baik yang merupakan kepunyaan
sendiri atau hanya sekedar memanfaatkan lahan tidur kepunyaan orang-orang Jakarta.
Sementara masyarakat yang benar-benar serius mengusahakan pola kebun campuran
ini tidak dijumpai, hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya masyarakat yang dengan
sengaja menyewa lahan (0,00%) untuk dikelola dengan sistim kebun campuran.
Dengan tidak dikelola dengan baiknya sistim kebun campuran di daerah Sub
DAS Ciesek, menyebabkan tingkat produktivitas yang dihasilkan per hektarnya
relatif kecil bila dibandingkan dengan sistim pertanian lahan basah dan sistim
pertanian lahan kering. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi kebun
campuran yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.3.435.982,91 /ha/th.
Hasil perhitungan nilai ekonomi kebun campuran selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 10.
Gambar 13.
Sistim Kebun Campuran yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub
DAS Ciesek
Penggunaan Lahan untuk Pemukiman
Kondisi udara pegunungan yang sejuk dengan pemandangan yang indah,
menyebabkan penggunaan lahan untuk pemukiman terutama pembangunan villa-villa
di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat. Pembangunan villa yang
bertambah terus dari tahun ke tahun menyebabkan permasalahan tersendiri bagi tata
ruang kawasan puncak karena seringkali pembangunan villa-villa ini kurang
mengindahkan aspek lingkungan dan peruntukan lahan seperti yang telah disusun
dalam RTRW. Besarnya jumlah villa dan jumlah rumah yang ada di Sub DAS
Ciesek dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Jumlah Rumah dan Villa yang Terdapat di Sub DAS Ciesek
Desa
Luas (ha)
Jumlah
Rumah
1Jumah
Villa
Persentase
Jumlah Villa
(%)
Desa Cipayung
438,44
4597
60
1,31
Desa Cipayung Girang
193,75
1691
106
6,27
Desa Megamendung
1.724,22
1325
370
27,93
Desa Cilember
296,86
1297
100
7,71
Total
2.653,27
8910
636
7,14
Sumber Monografi Desa, 2004
Keterangan : 1 asumsi jumlah rumah sama dengan jumlah KK