• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peruntukan Kawasan Berdasarkan RTRW

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2000,

peruntukan lahan di Kabupaten Bogor dibagi kedalam dua kategori peruntukan

yakni peruntukan untuk kawasan lindung dan peruntukan untuk kawasan

budidaya.

Kawasan Lindung

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,

sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan

pembanguna n berkelanjutan (Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur,

Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) telah dibuat ketentuan-ketentuan teknis

kawasan lindung yang berpedoman kepada: Keppres No.32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung dan SK Gubernur Jawa Barat No.

413.21/SK.222-HUK/91 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan

Puncak.

Cakupan kawasan lindung antara lain (Bapped Kab. Bogor, 2000):

1.

Kawasan hutan lindung

2.

Kawasan lindung di luar kawasan hutan

3.

Kawasan yang merupakan resapan air

4.

Kawasan suaka alam/cagar alam/suaka marga satwa, kawasan pelestarian

alam, taman nasional/taman hutan raya/taman wisata alam

5.

Jalur pengamanan aliran sungai (sempadan sunga i)

6.

Kawasan sekitar mata air, danau/waduk

Karakteristik kawasan lindung adalah (Bappeda Kab. Bogor, 2000) :

1.

Kemiringan lereng diatas 40 %

2.

Untuk jenis tanah peka terhadap erosi, yaitu jenis Regosol, Litosol, Orgosol

dan Renzina, kemiringan lereng di atas 15 %

(2)

4.

Merupakan kawasan hutan yang kompak atau hutan produksi dengan luas

minimum 2500 m

2

atau yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan

Ketentuan teknis untuk penataan kawasan yang berfungsi lindung adalah

sebagai berikut (Bappeda Kab. Bogor, 2000):

1.

Fungsi hutan lindung sebagai reservoir alami perlu tetap dipertahankan

keberadaannya, bersifat mutlak, tidak boleh dikonversikan atau diubah untuk

kepentingan lain. Fungsi hidrologis dan ekologis hutan lindung perlu

dipertahankan kelestariannya

2.

Dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya budidaya, termasuk

mendirikan bangunan, kecuali bangunan untuk menunjang fungsi hutan

lindung

3.

Pembangunan jaringan transmisi dan infrastruktur yang menunjang kegiatan

pariwisata seperti pos pengamat kebakaran, pos jaga, papan petunjuk, patok

triangulasi, tugu, tiang listrik, menara TV, jalan setapak, dapat dibangun di

kawasan lindung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan

4.

Untuk pengamatan wilayah aliran sunga i dan menjaga kelestarian mata air,

maka kawasan tersebut harus ditanami tanaman keras dengan ketentuan :

a.

Perlindungan tebing-tebing atau bantaran sungai yang potensial terhadap

bahaya erosi dan longsor.

Untuk lebar sungai kurang dari 2.5 m, areal penanaman berjarak

minimal 10 m dari bibir sungai

Untuk sungai dengan lebar 2.5 – 10 m, areal penanaman berjarak

minimal 50 m dari bibir sungai

Untuk lebar sungai >10 m, areal penanaman berjarak minimum 100

m dari bibir sungai

b. Untuk perlindungan sumber mata air, areal tersebut harus ditanami dengan

tanaman keras, minimum sampai radius 50 m dan penutupan dengan

vegetasi tertentu pada ruas-ruas tertentu disekeliling mata air

c. Dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius 200 m dari mata air,

tepi jurang, kolam/situ, sungai dan anak sungai.

(3)

Kawasan Budidaya

Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber

daya manusia dan sumber daya buatan (UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan

Ruang). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah

Kabupaten Bogor (2000) yang termasuk kawasan budidaya adalah: kawasan

budidaya pertanian dan kawasan permukiman. Dalam Keppres No.114 tahun 1999

tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dijelaskan lebih detail

tentang kedua kawasan tersebut, yaitu sebagai berikut :

1.

Kawasan budidaya pertanian adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,

terutama pertanian. Kawasan budidaya dibagi menjadi :

a.

Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya

pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air

secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan

tanama n utama padi.

b.

Kawasan budidaya pertanian tanaman lahan kering adalah areal lahan

kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal

pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama

pertanian tanaman pangan dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan

tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.

c.

Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah

kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai

tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana

sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air.

Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun

hutan produksi.

2.

Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan

lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan

yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

(4)

Gambar 4. Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor

Tahun 2000

9267000 711000 714000 717000 708000 9264000 9267000 9264000 708000 711000 714000 717000

(5)

41

Hasil Pengolahan Citra Satelit Ikonos

Menur ut Lillesand & Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan istilah yang

berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Ditambahkan lagi

oleh Burley (1961)

dalam

Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan

konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut

seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.

Citra satelit Ikonos dapat digunakan untuk mendeteksi pola penggunaan lahan

dengan baik dikarenakan resolusinya yang tinggi sehingga objek pada permukaan

bumi lebih mudah untuk dikenali. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan, di Sub DAS

Ciesek terdapat berbagai pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat.

Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pada penelitian ini pola penutupan lahan

secara garis besar terbagi dalam 9 tipe penutupan lahan antara lain :

1.

Hutan

Fungsi hutan yang ada di hulu Sub DAS Ciesek mempunyai fungsi utama

sebagai kawasan lindung. Vegetasi yang mendominasi kawasan hutan lindung

merupakan hasil suksesi alami, dengan kerapatan yang makin lama makin

berkurang dan penyebaran vegetasi tidak merata sehingga terdapat kawasan

hutan yang tidak memiliki penutupan vegetasi (terbuka) sehingga perlu

diupayakan kegiatan rehabilitasi dalam bentuk reboisasi. Dalam penelitian ini,

hutan diklasifikasikan menjadi dua yakni hutan berkerapatan vegetasi tinggi dan

hutan berkerapatan vegetasi rendah.

2.

Pertanian Lahan Kering

Umumnya menempati daerah yang agak tinggi dan sulit dijangkau pengairan.

Tanaman yang umum diusahakan adalah: pisang, singkong, jagung, ubi jalar,

kacang tanah, kedelai, atau tanaman sayuran (kubis, wortel, kentang, bawang

daun, tomat dan cabe). Lahan biasanya diolah petani dua kali dalam setahun,

setelah itu diberakan (antara Juni-Agustus).

3.

Pertanian Lahan Basah (Sawah)

Tipe penggunaan lahan ini penyebarannya banyak bercampur dengan kawasan

pemukiman. Sistem pertanian sawah ini pada umumnya menggunakan sistem

(6)

pengairan teknis dan sederhana. Disamping tanaman padi sebagai komoditi

utama, sebagian masyarakat juga menanami sebagian lahan sawah mereka dengan

beberapa komoditi sayuran seperti ketimun, ubi jala r, kacang tanah, kacang

panjang.

4.

Kebun Campuran

Tipe penggunaan lahan ini merupakan kawasan budidaya pertanian yang

dilakukan oleh masyarakat dimana komoditi pertanian yang di tanam seperti

sayuran dan palawija dikombinasikan dengan tanaman keras seperti buah-buahan

dan tanaman keras. Di dalamnya termasuk tanaman tahunan, pekarangan,

taman-taman dalam penelitian ini juga di kelompokan ke dalam kebun campuran.

5.

Semak belukar

Tipe penutupan lahan ini merupakan kawasan kehutanan yang ditumbuhi

rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman paku-pakuan.

6.

Pemukiman

Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan dan jasa.

Umumnya pemukiman menyebar dikawasan budidaya, namun ada sebagian kecil

yang berada di kawasan lindung. Dalam penelitian ini, pemukiman

diidentifikasikan dalam bentuk bangunan rumah.

7.

Tanah Kosong

Tanah kosong merupakan kawasan terbuka tanpa penutup vegetasi. Letak tanah

kosong menyebar baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.

8.

Badan air

Badan air dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni sungai dan badan air

seperti kolam ikan, empang. kolam renang.

9.

Jalan raya utama

Jalan raya utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan raya Bogor

Puncak yang terdapat di Sub DAS Ciesek.

(7)

43

Tabel 5 berikut ini menunjukan tampilan

image

berbagai pola penutupan

lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003 yang ada di Sub DAS Ciesek.

Tabel 5. Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan

Metode

On

Screen

di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit

Ikonos Tahun 2003

No

Tampilan Image pada Citra

Satelit Ikonos Tahun 2003

Hasil

Intepretasi

1

Hutan Kerapatan Tinggi

2

Hutan Kerapatan Rendah

3

Semak Belukar

4

Pertanian Lahan Basah

(8)

No

Tampilan Image pada Citra

Satelit Ikonos Tahun 2003

Hasil

Intepretasi

6

Kebun Campuran

7

Bangunan Pemukiman

8

Sungai

9

Jalan Raya

10

Tanah Kosong

Sumber analisis data primer, 2005

Berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 yang telah

dilakukan, didapatkan pola penutupan lahan masyarakat yang tinggal di Sub DAS

Ciesek seperti yang tetera pada Tabel 6 di bawah ini.

(9)

45

Tabel 6. Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan Peruntukan

Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 di Sub DAS Ciesek

No Arahan Penggunaan Umum RTRW Arahan Penggunaan Khusus RTRW Luas Berdasarkan RTRW (Ha) % Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 Luas Berdasarkan Ikonos (Ha) % 1 Kawasan Kawasan 1.041,10 39,24 Hutan kerapatan tinggi 521,48 50,09

Lindung Hutan Lindung Hutan kerapatan rendah 133,25 12,80 Kebun campuran 35,72 3,43 Bangunan rumah 2,06 0,20 Pertanian lahan kering 144,70 13,90 Semak belukar 200,42 19,25 Sungai 0,69 0,07 Tanah kosong 2,79 0,27 Total a 1.041,10 100,00 2 Kawasan Kawasan 539,87 20,35 Pertanian lahan kering 269,88 49,99

Budidaya Pertanian Badan air / kolam 0,51 0,09

Pertanian Lahan Kering Hutan kerapatan tinggi 5,32 0,99 Hutan kerapatan rendah 1,68 0,31 Kebun campuran 109,53 20,29 Bangunan rumah 38,81 7,19 Sawah 103,04 19,09 Sungai 8,20 1,52 Tanah kosong 2,91 0,54 Total b 539,87 100,00 Kawasan 127,75 4,81 Sawah 56,63 44,33

Pertanian Kebun campuran 41,82 32,74

Lahan Basah Bangunan rumah 24,94 19,52

Sungai 2,52 1,97 Tanah kosong 1,83 1,43 Total c 127,75 100,00 Kawasan 261,84 9,87 Kebun campuran 72,92 27,85 Perkebunan Pertanian lahan kering 82,74 31,60 Hutan kerapatan tinggi 7,00 2,67 Hutan kerapatan rendah 54,26 20,72 Bangunan rumah 17,91 6,84 Sawah 22,74 8,68 Semak belukar 1,99 0,76 Sungai 1,05 0,40 Tanah kosong 1,23 0,47 Total d 261,84 100,00 Kawasan 265,57 10,01 Kebun campuran 71,52 26,93 Tanaman Pertanian lahan kering 99,34 37,41

Tahunan Sawah 54,21 20,41 Bangunan rumah 5,97 2,25 Semak belukar 31,10 11,71 Sungai 2,42 0,91 Tanah kosong 1,01 0,38 Total e 265,57 100,00 Kawasan Kawasan 417,15 15,72 Bangunan rumah 127,49 30,56

Pemukiman Pedesaan Jalan raya utama 3,47 0,83

Tanah kosong 4,23 1,01 Sungai 6,34 1,52 Badan air / kolam 0,45 0,11 Kebun campuran 150,43 36,06 Pertanian lahan kering 60,40 14,48 Sawah 64,35 15,43 Total f 417,15 100,00

TOTAL 2.653,27 2.653,27

(10)

Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat peruntukan lahan untuk kawasan

lindung (hutan lindung) sesuai dengan RTRW Kabupaten Bo gor tahun 2000 sebesar

1.041,10 ha atau 39,24 % dari luas total Sub DAS Cie sek. Tetapi dari 39,24 % luas

total Sub DAS Ciesek yang diperuntukan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal

24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi

hutan. Dari 1.041,10 ha areal yang diperuntukan sebagai kawasan hutan lindung, saat

ini tinggal 654,73 ha atau 62,89 % kawasan yang masih berhutan, sedangkan sisanya

seluas 30,53 % telah berubah fungsi menjadi penggunaan lainnya. Diantara

perubahan pola penutupan lahan itu antara lain menjadi semak belukar 200,42 ha

(19,25 %), pertanian lahan kering 144,69 ha (13,90 %), kebun campuran 35,72 ha

(3,43 %), tanah kosong 2,79 ha (0,27 %), dan bangunan rumah 2,06 ha (0,20 %).

Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000, arahan penggunaan lahan

untuk kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek mencakup areal wilayah seluas

417,15 ha atau 15,72 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek. Luas total

bangunan rumah di Sub DAS Ciesek berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos

tahun 2003 seluas 217,17 ha atau 8,14 % dari luas total kawasan Sub DAS Ciesek.

Letak bangunan rumah ini menyebar di kawasan pemukiman (pedesaan) seluas

127,49 ha, di kawasan budidaya pertanian seluas 87,62 ha dan di kawasan lindung

seluas 2,06 ha. Dari 417,15 ha kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan

pemukiman dalam RTRW kabupaten Bogor, berdasarkan hasil intrepretasi citra

satelit Ikonos tahun 2003 luas bangunan rumah yang ada di dalam kawasan

pemukiman (pedesaan) hanya 127,49 ha atau 30,56 %. Hal ini wajar, mengingat

arahan penggunaan lahan kawasan pemukiman (pedesaan) berdasarkan RTRW

termasuk juga di dalamnya lahan pekarangan, sementara intrepretasi berdasarkan

citra satelit Ikonos hanya luas bangunan rumahnya saja.

Arahan penggunaan lahan untuk kawasan budidaya pertanian berdasarkan

RTRW terdiri dari areal pertanian lahan kering seluas 539,87 ha atau 20,35 %,

pertanian lahan basah seluas 127,75 ha atau 4,81 %, kawasan perkebunan seluas

261,84 ha atau 9,87 % dan kawasan tanaman tahunan seluas 265,57 ha atau 10,01 %

dari luas total Sub DAS Ciesek. Jika dilihat dari masing- masing peruntukan lahan

(11)

47

untuk kawasan budidaya pertanian, penggunaan lahan yang ada sekarang juga banyak

yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini bisa dilihat pada pola penggunaan

lahan berdasarkan citra satelit Ikonos dimana penggunaan lahan yang sesuai untuk

masing-masing peruntukan lahan kawasan budidaya pertanian adalah ; untuk

pertanian lahan kering hanya 49,99 %, untuk pertanian lahan basah hanya 44,33 %,

untuk tanaman tahunan hanya 26,93 % saja yang sesuai, sisanya menyebar pada

peruntukan penggunaan lainnya. Sedangkan peruntukan lahan untuk perkebunan

(kebun teh), berdasarkan survey lapangan di Sub DAS Ciesek tidak ditemukan

adanya kebun teh, tetapi pada peruntukan lahan ini didominasi oleh penggunaan

lahan pertanian lahan kering yakni sebesar 31,60 %.

Total luas penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering di Sub DAS Ciesek

mencapai 657,04 ha atau 24,76 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam

RTRW yang cuma 539,87 ha. Total penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah

mencapai 300,97 ha atau 11,34 % lebih besar jika dibandingkan peruntukannya dalam

RTRW yang cuma seluas 127,75 ha. Demikian juga dengan total penggunaan lahan

untuk kebun campuran yang mencapai 481,94 ha atau 18,16 % lebih besar jika

dibandingkan peruntukannya dalam RTRW dimana peruntukan untuk tanaman

tahunan hanya seluas 265,57 ha saja.

Lebih besarnya luas kawasan budidaya pertanian saat ini dibandingkan

dengan peruntukannya menyebabkan luas kawasan lindung di bagian hulu Sub DAS

Ciesek menjadi semakin berkurang. Luas kawasan lindung juga mengalami

penurunan luas akibat maraknya pembangunan villa di daerah kawasan lindung.

Dengan alasan kondisi lingkungan yang lebih baik dan pemandangan yang lebih

indah, menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan lindung banyak digunakan

sebagai kawasan pembangunan villa- villa yang banyak terdapat di Sub DAS Ciesek.

Pembangunan kawasan pemukiman di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat

terutama bangunan villa, sehingga seringkali tidak sesuai dengan arahan penggunaan

lahan yang telah disusun dalam RTRW Kabupaten Bogor. Hal ini tentunya dapat

menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat terutama yang tinggal di

daerah hilir.

(12)

Gambar 5. Peta Penutupan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003

708000 711000 714000 717000 9264000 9267000 9267000 9264000 717000 714000 711000 708000

(13)

49

Nilai Ekonomi Kawasan Lindung

Penilaian manfaat ekonomi kawasan lindung (hutan) dilakukan dengan

menghitung nilai ekonomi total (

Total Economic Value

) yang terdiri dari :

1. Nilai Guna

Nilai Guna Langsung

Nilai Ekonomi Kayu Bakar

Pemanfaatan kayu bakar masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di

sekitar hutan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di Kampung Pasaban, Kampung

Citamiyang, Kampung Jawa, Kampung Sirimpak (Desa Megamendung) dan

Kampung Bungur (Desa Cilember). Masyarakat menggunakan kayu bakar sebagai

bahan bakar pengganti minyak tanah untuk memasak sehari- hari.

Penilaian ekonomi manfaat hutan sebagai penghasil kayu bakar per tahun

dilakukan dengan metode biaya pengganti yakni dengan cara menghitung besarnya

waktu yang dikorbankan dalam satu tahun untuk mengambil kayu bakar dengan

besarnya upah kerja yang seharusnya mereka terima. Pengambilan sampel responden

dilakukan dengan mewancarai 17 orang responden yang terdiri dari 8 orang dari

kampung Pasaban dan 6 orang dari Kampung Jawa (Desa Megamendung) serta 3

orang dari kampung Bungur (Desa Cilember). Adapun populasi pengumpul kayu

bakar yang ada di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara

karakteristik sosial ekonomi pengumpul kayu bakar responden dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 7. Populasi Pengumpul Kayu Bakar di Sub DAS Ciesek

Kampung

Desa

Jumlah KK

Jumlah Pengumpul

Kayu Bakar (KK)

Pasaban

Megamendung

59

59

Citamiyang

Megamendung

35

28

Sirimpak

Megamendung

36

18

Kampung Jawa

Megamendung

28

14

Kampung Bungur

cilember

38

30

Total

196

150

(14)

Tabel 8. Karakteristik Sosial Ekonomi Pengumpul Kayu Bakar

Uraian

Satuan

Ra-rata

Konsumsi kayu bakar

ikat/orang/th

93,18

Lamanya Waktu Pengambilan KB

jam/th

214,59

Jumlah Anggota KK

orang

4,41

Jarak Ke Hutan

km

2,64

Frekuensi Pengambilan KB

per minggu

1,06

Pendapatan

Rp/bln

364.706

Tingkat Pendidikan

Skoring

SMP*

Sumber : olahan data primer, 2005 * modus

Hasil penelitian menunjukan rata-rata pengambilan kayu bakar yang

dilakukan oleh masyarakat adalah satu kali dalam seminggu dengan korbanan waktu

yang diperlukan 4,3 jam sekali pengambilan. Adapun besarnya rata-rata upah kerja

masyarakat di daerah ini adalah Rp.15.000/hari untuk 8 jam kerja atau Rp.1.875/jam.

Besarnya nilai ekonomi hutan sebagai penghasil kayu bakar bagi masyarakat sekitar

hutan adalah Rp.60.352.941,18/tahun atau Rp.92.179,75/ha/tahun, perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Nilai Ekonomi Wisata

Kawasan hutan lindung yang berada di hulu Sub DAS Ciesek selain

mempunyai peran sebagai kawasan lindung juga mempunyai keindahan alam, salah

satunya dengan adanya lokasi wisata alam Curug Panjang. Perum Perhutani KPH

Bogor bersama masyarakat Desa Megamendung telah mengelola kawasan wisata

alam dalam bentuk pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang. Kawasan wisata ini

mulai dikelola sejak tahun 2000 oleh Perum Perhutani. Keindahan alam terutama

jurug (air terjun) menjadi daya tarik utama kawasan wisata ini. Dengan sistem

pengelolaan yang terus diperbaiki oleh Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar,

membuat tingkat kunjungan ke kawasan wisata ini dari tahun ke tahun semakin

meningkat. Pada hari sabtu dan minggu tempat wisata alam ini ramai dikunjungi oleh

pengunjung dari kota Bogor dan sekitarnya.

(15)

51

Penelitian dilakukan dengan cara mewawancarai 44 pengunjung kawasan

wisata alam tentang besarnya biaya perjalanan yang dikeluarkan, karakteristik

pengunjung, dan presepsi atau penilaian terhadap kawasan wisata alam. Informasi

mengenai karakteristik dan presepsi pengunjung terhadap kawasan wisata alam Curug

Panjang dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9.

Karakteristik dan Persepsi Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug

Panjang

No

Keterangan

Jumlah

Prosentase (%)

1

Jenis Pekerjaan

Pelajar/mahasiswa

34

77,27

Swasta

10

22,73

2

Kelompok Umur

12 - 20

22

50,00

20 - 30

20

45,45

30 tahun keatas

2

4,54

3

Pendapatan

< Rp.500 rb

36

81,81

Rp. 500 rb – 1 juta

6

13,63

Rp. > 1 juta

2

4,54

4

Motivasi Kunjungan

wisata

26

59,09

outbound

12

27,27

lainnya

6

13,64

5

Intensitas Kunjungan

kurang dari 3 x

30

68,18

lebih dari 3 x

14

31,82

6

Cara Melakukan Kunjungan

sendiri

5

11,36

berkelompok

39

88,64

7

Lamanya Kunjungan

Pulang-pergi

16

36,36

menginap

28

63,64

8

Tanggapan terhadap Fasilitas

Wisata

baik

4

9,09

kurang

40

90,91

(16)

Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pengunjung kawasan

wisata alam Curug Panjang adalah pelajar/mahasiswa (77,27 %) kemudian diikuti

oleh swasta (22,73 %) dimana kelompok umur pengunjung terbesar adalah kelompok

umur 12 – 20 th (50 %), diikuti kelompok umur 20 – 30 th (45,45 %) dan 30 tahun ke

atas (4,54 %). Sebagian besar pengunjung kawasan wisata alam Curug Panjang

berpendapatan kurang dari Rp. 500.000 (81,81 %) hal ini bisa dimaklumi karena

sebagian besar adalah pelajar/mahasiswa yang belum punya penghasilan.

Motivasi kunjungan para pengunjung selain wisata (59,09 %), adalah

outbound

(27,27 %) dan sisanya motivasi la innya (13,64 %). Lokasi kawasan wisata Curug

Panjang memang suda h lama dimanfaatkan sebagai kawasan

outbound

, kondisi

alamnya yang indah serta kondisi jurug yang cukup menantang membuat kawasan ini

sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan petualangan alam. Para

pengunjung datang ke kawasan ini dengan cara berkelompok (88,64 %) sedangkan

sisanya sendiri (11,36 %). Sebagian besar responden (31,82 %) mengatakan pernah

datang lebih dari 3 kali ke kawasan wisata alam ini, sedangkan sisanya (68,18 %)

menyatakan kurang dari 3 kali. Pengunjung yang datang lebih dari 3 kali sebagian

besar adalah dari wilayah bogor sedangkan pengunjung dari luar bogor sebagian

besar baru datang satu kali. Kawasan wisata alam ini hanya ramai pengunjung pada

hari sabtu- minggu saja, sedangkan hari lain relatif sepi. Biasanya para pengunjung

yang mempunyai motivasi

outbound

akan menginap (63,64 %) di kawasan wisata

alam ini, sedangkan sisanya pulang pergi (36,36 %) yang kebanyakan merupakan

pengunjung yang mempunyai motivasi berwisata.

Persepsi para pengunjung terhadap kelengkapan fasilitas umum yang ada

sebagian besar memberikan penilaian kurang memuaskan (90,91 %) sedangkan

sisanya menyatakan sudah baik (9,09 %). Sebagian besar pengunjung menyarankan

perlunya dibagun shelter-shelter untuk tempat peristirahatan, fasilitas toilet dan

tempat ganti pakaian diperbaiki, papan-papan peringatan, lokasi camping ground

yang lebih diperluas serta penambahan sarana-sarana

outbound

.

Berdasarkan data dari Perum Perhutani jumlah pengunjung kawasan wisata

alam Curug Panjang pada tahun 2000 berjumlah 3.800 dan tahun 2001 sebesar 4.037

(17)

53

atau mengalami peningkatan sebesar 237 orang, dengan asumsi peningkatan jumlah

pengunjung tiap tahunnya sama maka pada tahun 2005 terdapat 4.985 pengunjung.

Berdasarkan data jumlah pengunjung dan data sampel responden maka didapatkan

tingkat kunjungan pengunjung seperti yang tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Tingkat Kunjungan di Kawasan Wisata Alam Curug Panjang Berdasarkan

Biaya Perjalanan

No Daerah Asal Pengunjung Jumlah Sampel Pengunjung (orang) Prosentase Pengunjung (%) Jumlah Populasi Daerah Pengunjung (orang) * Jumlah Pengunjung (orang) Laju Kunjungan per 1000 orang Biaya Perjalanan Rata-rata (Rp) 1 Bogor 16 36,36 820.707 1.813 3 19.109 2 Jakarta 22 50,00 8.792.000 2.493 1 63.659 3 Bekasi 6 13,64 1.877.414 680 1 52.500 Total 44 4.985

Sumber analisis data primer, 2005 Keterangan : * Data BPPS tahun 2003

Penentuan besarnya nilai manfaat ekonomi kawasan wisata alam ini dilakukan

dengan menghitung besarnya biaya perjalanan (

travel cost method

) yang dikeluarkan

oleh setiap pengunjung dari berbagai daerah asal. Sedangkan besarnya biaya

perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung di Kawasan Wisata Curug Panjang

dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Besarnya Biaya Perjalanan Pengunjung Kawasan Wisata Alam Curug

Panjang

No

Jenis Pengeluaran

Biaya

Prosentase (%)

1

Transportasi

17.320

36,66

2

Konsumsi

16.066

34,01

3

Tiket Masuk

3.000

6,35

4

Penginapan

3.286

6,96

5

lain-lain

7.571

16,03

Jumlah

47.242

(18)

Kurva permintaan manfaat rekreasi kawasan wisata alam Curug Panjang

berdasarkan biaya perjalanan dibuat untuk melihat hubungan jumlah pengunjung

pada berbaga i tingkat harga tiket masuk kawasan wisata. Hasil penelitian

menunjukan semakin tinggi harga tiket masuk kawasan wisata maka semakin sedikit

jumlah pengunjung kawasan wisata tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kurva Permintaan Manfaat Wisata Alam Curug Panjang

Pada harga tiket masuk yang dip erlakukan sekarang ini yakni Rp.3.000/orang,

diperkirakan jumlah pengunjung akan mencapai 10.233 orang/tahun dengan

keuntungan yang akan didapatkan pihak pengelola sebesar Rp.30.700.070/tahun,

kesediaan membayar pengunjung atau manfaat rekreasi sebesar Rp.

164.062.827 atau

Rp.16.032/orang, sementara surplus konsumen yang dirasakan oleh pengunjung

mencapai Rp.133.362.757/tahun atau Rp.13.033/orang. Hasil perhitungan juga

menunjukan bahwa penerimaan pihak pengelola akan maksimum pada saat harga

tiket masuk sebesar Rp.12.000/orang dengan perkiraan jumlah pengunjung mencapai

5.270 orang/tahun. Pada kondisi ini pihak pengelola akan mendapatkan keuntungan

sebesar Rp.63.235.494. Besarnya nilai manfaat rekreasi adalah Rp.126.834.835

atau

rata-rata kesediaan membayar setiap pengunjung mencapai Rp.24.069/orang,

sedangkan surplus konsumen mencapai Rp.63.599.342

atau Rp.12.069/orang. Harga

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000

Jumlah Pengunjung (orang)

(19)

55

tiket masuk pengunjung sebesar Rp .12.000/orang dirasakan masih wajar karena harga

ini masih dibawah rata-rata kesediaan membayar pengunjung yang sebesar

Rp.24.069/orang. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Hasil perhitungan manfaat nilai ekonomi dari jasa wisata di Curug Panjang pada

tingkat harga karcis yang sekarang berlaku (Rp.3000) dapat dilihat pada Tabel 12

berikut ini.

Tabel 12. Nilai Ekonomi Wisata Curug Panjang pada Tingkat Harga yang Sekarang

Berlaku

Jumlah

Nilai Total

Nilai sampel

(Rp/orang)

pengunjung

(Rp/tahun)

Kesediaan berkorban

16.032

10.233

164.062.827

Nilai yang dikorbankan

3.000

10.233

30.700.070

Surplus Konsumen

13.033

10.233

133.362.757

Sumber analisis data primer, 2005

Gambar 7. Salah Satu Aktivitas

Outbound

yang dilakukan Pengunjung di Kawasan

Wisata Alam Curug Panjang

(20)

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Rumah Tangga

Secara tidak langsung keberadaan kawasan hutan di Sub DAS Ciesek juga ikut

menjamin siklus hidrologis kawasan tersebut. Dengan cara me nahan curah hujan

yang tinggi dan meresapkannya ke dalam tanah, dan selanjutnya dilepas secara teratur

ke dalam berbagai aliran air permukaan dan bawah permukaan, sehingga

distribusinya lebih baik bagi berbagai kepentingan salah satunya untuk kebutuhan air

rumah tangga.

Masyarakat yang tinggal di kawasan ini sebagian besar memakai air yang

bersumber dari mata air dan sumur. Dari 69 responden masyarakat yang

menggunakan air yang bersumber dari mata air sebesar 79,71 % sedangkan sisanya

20,29 % dari sumur. Sebagian besar masyarakat menggunakan mata air yang banyak

terdapat di daerah penelitian untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti mencuci,

mandi dan kakus. Dari sumber air biasanya masyarakat membuat bak-bak

penampungan dari bangunan semen dan kemudian mengalirkannya sampai ke rumah

dengan pipa pralon. Tidak jarang untuk lebih memperlancar penyaluran air terutama

pada musim kemarau baik dari sumur maupun mata air, masyarakat memanfaatkan

mesin pemompa air. Mesin pompa air ini banyak dimiliki oleh pemilik-pemilik villa

yang banyak terdapat di daerah Sub DAS Ciesek. Karakteristik sosial ekonomi

masyarakat pengguna air untuk kebutuhan rumah tangga di daerah Sub DAS Ciesek

dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pengguna Air untuk Kebutuhan

Rumah Tangga

Uraian

Satuan

Rata-rata

Konsumsi Air

m

3

/orang/tahun

167,42

Biaya Pengadaan

Rp/m

3

408,01

Pendapatan Kepala Keluarga

Rp/bulan

3.052.608,70

Jumlah Anggota Keluarga

Orang

5

Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga

Skoring

S1

Jarak ke Sumber Air

meter

60,22

(21)

57

Dari Tabel 13 di atas bisa dilihat bahwa rata-rata pemakaian air mencapai

167,42 m3/orang/tahun, angka ini cukup tinggi jika dibandingkan penelitian yang

dilakukan oleh Kurniasih (2002) di Hutan Pendidikan Gunung Walat yang hanya

berkisar 28,33 m3/orang/tahun. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar pemakaian

air masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek berasal dari sumber mata air yang dialirkan

ke rumah dan dibiarkan mengalir terus setiap hari. Demikian juga dengan biaya

pengadaan yang cukup tinggi yakni mencapai Rp 408,01 /m3 dikarenakan komponen

biaya yang cukup besar seperti pralon dan bak penampungan dari semen yang hampir

semua masyarakat di daerah Sub DAS Ciesek menggunakannya serta mesin

pemompa air (sanyo) yang banyak digunakan untuk membantu menyedot air yang

banyak digunakan di villa-villa yang banyak terdapat di daerah penelitian.

Penentuan manfaat ekonomi penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan metode biaya pengadaan yakni dengan

menghitung besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk

mengkonsumsi air. Variabel- variabel yang diduga mempengaruhi tingkat konsumsi

air untuk kebutuhan rumah tangga (Y) antara lain biaya pengadaan (X1), tingkat

pendapatan kepala keluarga (X2), jumlah anggota keluarga (X3), tingkat pendidikan

kepala keluarga (X4) dan jarak ke sumber mata air (X5).

Dari pengolahan regresi dengan metode

stepwise

yang dilakukan terhadap 69

responden terpilih, model kurva permintaan air untuk konsumsi rumah tangga

masyarakat di Sub DAS Ciesek adalah Y = 134,628 - 0,0708 X1 + 8,995 X3 + 0,045

X5. Model tersebut nyata (P=0,000), dengan koefisisen determinasi (R

2

) 48,7% yang

berarti 48,7 % kera gaman yang terjadi pada konsumsi air rumah tangga disebabkan

oleh biaya pengadaan, jumlah anggota keluarga dan jarak ke sumber air. Dari ketiga

variabel yang mempengaruhi tingkat konsumsi air untuk rumah tangga, variabel yang

paling berpengaruh berturut-turut adalah biaya pengadaan (P = 0,000), jarak ke

sumber air (P = 0,000), dan jumlah anggota keluarga (P = 0,009).

Dari model kurva permintaan air untuk rumah tangga juga dapat dilihat bahwa

biaya pengadaan berkorelasi negatif dengan tingkat konsumsi air, ini artinya semakin

besar tingkat konsumsi air untuk rumah tangga maka semakin kecil biaya pengadaan.

(22)

Sedangkan untuk jumlah anggota keluarga dan jarak dari sumber air berkorelasi

positif dengan tingkat konsumsi air yang berarti semakin banyak jumlah anggota

keluarga dan semakin jauh jarak dari sumber air maka tingkat konsumsi air akan

semakin tinggi. Semakin jauh jarak dari sumber air, maka peluang untuk

mendapatkan sumber air yang besar dengan kualitas air lebih baik semakin besar.

Sumber-sumber air yang lebih besar dan jernih di daerah Sub DAS Ciesek banyak

terdapat di daerah hulu, yang berada jauh dari daerah pemukiman yang banyak

terdapat di daerah hilir. Dengan demikian kegiatan perlindungan kawasan di daerah

hulu Sub DAS Ciesek mutlak harus dilakukan, mengingat banyaknya masyarakat

yang memanfaatkan daerah ini sebagai tempat mengambil sumber air untuk

keperluan rumah tangga.

Hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air untuk konsumsi rumah tangga di

Sub DAS Ciesek berdasarkan model persamaan permintaan air untuk konsumsi

rumah tangga yang telah di dapat yakni sebesar Rp.2.116.630.677,85/tahun atau

Rp.237.556,75/KK/tahun. Dengan nilai yang dikorbankan oleh masyarakat sebesar

Rp.352.126.318,50/tahun atau Rp.39.520,35/KK/tahun, masyarakat mendapatkan

surplus konsumen sebesar Rp.1.764.504.359,35/tahun atau Rp. 198.036,40/KK/tahun.

Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Untuk lebih jelasnya rekapitulasi hasil perhitungan besarnya nilai ekonomi air

untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 14 di

bawah ini.

Tabel 14. Nilai Ekonomi Air untuk Konsumsi Rumah Tangga

Nilai sampel

(Rp/KK/tahun)

Populasi KK

Nilai Total

(Rp/tahun)

Kesediaan berkorban

237.556,75

8.910

2.116.630.677,85

Nilai yang dikorbankan

39.520,35

8.910

352.126.318,50

Surplus Konsumen

198.036,40

8.910

1.764.504.359,35

(23)

59

Gambar 9. Bangunan Bak Penampungan Mata Air yang dijadikan sebagai Sumbe r

Air untuk Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga

Gambar 8. Saluran Air Berupa Peralon yang digunakan Mayarakat untuk

Menga mbil Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga

(24)

Nilai Ekonomi Penyedia Kebutuhan Air untuk Pertanian

Disamping sebagai penyedia air untuk keperluan rumah tangga. keberadaan

hutan di Sub DAS Ciesek juga berperan sebagai penyedia air untuk kebutuhan

pertanian, khususnya pertanian sawah yang membutuhkan pengairan secara terus

menerus. Penilaian dilakukan pada petani yang mengusahakan lahan pertaniannya

dengan sistim irigasi, dimana lahan persawahannya dialiri air sepanjang hari. Asumsi

yang dibangun adalah bahwa sumber air yang digunakan untuk mengaliri sawah para

petani bersumber dari mata air-mata air yang berada dari kawasan lindung di Sub

DAS Ciesek.

Penilaian manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk sektor pertanian dalam

penelitian ini menggunakan

Contingent Valuation Method

(CVM), yakni dengan cara

menanyakan kepada petani yang menjadi responden tentang kesediaan membayar

(

Willingness to pay

) akan air untuk mengairi sawah mereka per sekali panen.

Pendekatan ini dilakukan mengingat susahnya mendapatkan informasi yang akurat

tentang besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan oleh petani untuk mengairi

sawah mereka.

Jumlah petani yang menjadi responden berjumlah 22 orang petani, sama dengan

responden yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi produk tivitas pertanian

lahan basah. Kondisi karaketristik sosial ekonomi responden dapat dilihat pada Tabel

21 dan Tabel 22. Dari hasil perhitungan didapatkan informasi bahwa rata-rata

kesediaan membayar petani di Sub DAS Ciesek sebesar Rp.15.773/orang/panen atau

Rp.31.546

/orang/th sehingga nilai manfaat ekonomi sebagai penyedia air untuk

sektor pertanian sebesar Rp.29.274.181,82/th atau Rp.44.711,77/ha/th. Hasil

perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Nilai Ekonomi Pengendali Banjir dan Erosi

Adanya vegetasi hutan dapat mencegah bahaya banjir dan erosi, demikian

pula keberadaan hutan di Sub DAS Ciesek juga dapat berfungsi sebagai pengendali

banjir dan erosi bagi daerah-daerah yang berada di bawahnya. Manfaat hutan sebagai

pengendali banjir dan erosi ini sangat terkait dengan fungsi hutan lindung yang

(25)

61

berada di bagian hulu Sub DAS Ciesek yakni sebagai pengatur

hidroorologi

kawasan

disekitarnya.

Kerusakan ekosistem hutan di hulu Sub DAS Ciesek secara langsung

akan berdampak pada meningkatnya erosi dan banjir serta terjadinya sedimentasi di

daerah aliran sungai yang lebih rendah dan pada akhirnya akan berdampak pada

kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.

Dalam penelitian ini masyarakat yang menjadi responden untuk menentukan

besarnya nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pengendali banjir dan erosi

berjumlah 69 orang. Untuk lebih jelasnya tentang kondisi sosial ekonomi responden

dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16 berikut ini.

Tabel 15. Rata-rata Pendapatan dan Jumlah Anggota Keluarga Responden untuk

Menentukan Nilai Ekonomi

Uraian

Satuan

Ra-rata

Jumlah Anggota KK

orang

5

Pendapatan

Rp/bln

3.030.145

Sumber : olahan data primer, 2005

Tabel 16. Distribusi Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Responden untuk

Menentukan Nilai Ekonomi

Uraian

Jumlah

Persentase (%)

Tingkat Pendidikan

SD

14

20,29

SMP

14

20,29

SMA

16

23,19

S1

24

34,78

S2

1

1,45

Total

69

100,00

Jenis Pekerjaan

Petani

9

13,04

Buruh

7

10,14

Penjaga Villa

12

17,39

Swasta

17

24,64

PNS

8

11,59

Wiraswasta

16

23,19

Total

69

100,00

(26)

Dari Tabel 15 dan 16 tersebut di atas dapat dilihat bahwasannya sebagian

besar responden berpendidikan S1 (34,78 %), kemudian berturut-turut diikuti oleh

SMA (23,19 %), SD (20,29 %), SMP (20,29%) dan S2 (1,45 %). Sedangkan jika

dilihat dari jenis pekerjaannya berturut-turut adalah swasta (24,64 %), wiraswasta

(23,19 %), penjaga villa (17,39 %), petani (13,04 %), PNS (11,59 %) dan buruh

(10,14 %). Banyaknya responden yang berprofesi di swasta dan wiraswasta dan

sebagian dari mereka adalah pemilik villa-villa yang ada di daerah penelitian

menyebabkan rata-rata tingkat pendapatan responden menjadi relatif tinggi, yakni

sebesar Rp.3.030.145/bulan.

Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai pengenda li banjir dan erosi dalam

penelitian ini menggunakan

Contingent Valuation Method

(CVM), yakni dengan cara

menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan

membayar (

Willingness to pay

) akan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan

erosi. Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk

membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai pengendali

banjir dan erosi dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.183.826/orang/tahun. Jika

digandakan dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek

sebesar 8.910 KK, maka besarnya nilai ekonomi sebagai pengendali banjir dan erosi

sebesar Rp.1.637.890.434,78/tahun atau Rp .2.501.623,47/hektar/tahun. Hasil

perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

2. Nilai Bukan Guna

Nilai Pilihan (

Option Value

)

Nilai Hutan sebagai Penyerap Karbon

Keberadaan hutan tropis sangat penting karena diyakini sebagai paru-paru

dunia yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim global dunia. Hutan diyakini oleh

sebagian besar para ahli lingkungan dapat menurunkan emisi CO

2

di atmosfer melalui

kemampuannya dalam menyerap gas berbahaya tersebut sehingga hutan disebut

sebagai rosot karbon atau

carbon sink

karena fungsinya dalam menyerap dan

menyimpan karbon.

(27)

63

Kehutanan menjadi isu yang kontroversial sejak diadopsi ke dalam Kyoto

Protocol terutama berkaitan dengan tiga program dalam Kyoto Protocol yakni Joint

Implementation

(JI), Clean Devolopment Mechanism (CDM) dan Emission Trading

(ET) yang merupakan

market based instruments

dalam upaya penurunan emisi gas

rumah kaca. Dalam CDM besarnya kemampuan dalam menyerap karbon dihargai

dengan nilai US$ 10/ton karbon. Berdasarkan studi inventarisasi Gas Rumah Kaca

tahun 1994 (Ridwan

et al

., 2001) menyebutkan bahwa hutan mampu menyerap CO

2

sebesar 404 metrik ton. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Brown (1997) untuk hutan tropis di Indonesia rata-rata 210 – 226 ton C/ha.

Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan

menggunakan metode pendekatan harga pasar dimana pada saat ini harga karbon

yang berlaku di pasaran dunia sebesar US$ 10/ton atau bila dikurskan dengan nilai

rupiah sekarang adalah sebesar Rp.93.000/ton. Besarnya potensi hutan dalam

menyerap karbon didekati dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997),

dimana hutan tropis di Indonesia bisa menyerap karbon rata-rata 210 – 226 ton C/ha.

Berdasarkan hasil penafsiran citra Ikonos tahun 2003 besarnya luasan hutan di

Sub DAS Ciesek sebesar 654,73 ha yang terdiri dari hutan dengan kerapatan vegetasi

tinggi sebesar 521,48 ha dan hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 133,25

ha. Dengan mengasumsikan besarnya besarnya karbon yang dapat diserap seperti

pada hasil penelitian Brown (1997) maka besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi

tinggi sebesar 226 ton C/ha dan besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi rendah

sebesar 210 ton C/ha. Dalam penelitian ini jangka waktu pengelolaan hutan

diasumsikan sama dengan pengelolaan hutan alam yakni selama 35 tahun. Dengan

mengalikan besarnya potensi karbon yang dapat diserap dengan harga karbon yang

berlaku di pasaran dunia maka nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek adalah

sebesar Rp.387.510.290,23/tahun atau Rp.591.861,83/ha/tahun. Hasil perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

(28)

Nilai Keberadaan

Nilai Ekonomi Sebagai Habitat Flora dan Fauna

Hutan dengan segala keunikan ekosistemnya merupakan habitat yang baik

untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai flora dan fauna yang ada di dalamnya.

Hal ini menyebabkan keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna mempunyai

nilai dalam menjaga kelestarian flora dan fauna yang hidup dan berkembang

didalamnya.

Jumlah masyarakat yang menjadi responden dalam menentukan nilai

keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna ini berjumlah 69 orang. Adapun

karakteristik sosial dan ekonomi responden dapat dilihat seperti pada Tabel 15 dan

Tabel 16 di atas. Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai habitat satwa liar dalam

penelitian ini menggunakan

Contingent Valuation Method

(CVM), yakni dengan cara

menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan

membayar (

Willingness to pay

) akan fungsi hutan sebagai habitat flora dan fauna.

Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk

membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai habitat satwa

liar dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.77.333/orang/tahun. Jika digandakan

dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek sebesar 8.910 KK.

maka besarnya nilai ekonomi hutan sebagai habitat flora dan fauna sebesar

Rp.689.040.000/tahun atau Rp .1.052.401,67/hektar/tahun.

Hasil perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung

Besarnya nilai ekonomi kawasan lindung dalam penelitian ini dihitung

menggunakan konsep nilai ekonomi total atau

Total Economic Value

(TEV) dimana

nilai ekonomi total kawasan lindung merupakan hasil penjumlahan nilai guna dan

nilai bukan guna manfaat ekonomi dari hutan. Hasil rekapitulasi perhitungan nilai

ekonomi total hutan lindung dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 17 di bawah ini.

(29)

65

Tabel 17. Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan sebagai Kawasan

Lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu

Nilai Ekonomi

Nilai Ekonomi per hektar (Rp/ha)

Nilai Ekonomi Total (Rp/th) Nilai Guna

a Nilai Guna Langsung

Nilai Ekonomi Kayu Bakar 92.179,75 60.352.941,18 1,19

Wisata Alam 250.580,51 164.062.827,17 3,23

Total Nilai Guna langsung 342.760,26 224.415.768,35 4,41

b Nilai Guna Tidak Langsung

Penyedia Kebutuhan Air untuk

Rumah Tangga 3.232.824,90 2.116.630.677,85 41,63

Penyedia Kebutuhan Air untuk

Pertanian 44.711,77 29.274.181,82 0,58

Pengendali Banjir dan Erosi 2.501.623,47 1.637.890.434,78 32,21

Total Nilai Guna tidak langsung 5.779.160,14 3.783.795.294,45 74,41

Total Nilai Guna 6.121.920,40 4.008.211.062,81 78,83

Nilai Bukan Guna

a Nilai Pilihan

Penyerap Karbon 591.861,83 387.510.290,23 7,62

Total Nilai Pilihan 591.861,83 387.510.290,23 7,62

b Nilai Keberadaan

Habitat Flora Fauna 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55

Total Nilai Keberadaan 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55

Total Nilai Bukan Guna 1.644.263,51 1.076.550.290,23 21,17 Total Nilai Ekonomi 7.766.183,90 5.084.761.353,04 100 100 100

2. No

Persentase Terhadap Nilai Total (%) 1.

Sumber analisis data primer, 2005

Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat nilai guna memberikan manfaat sebesar

Rp.4.008.211.062,81

atau Rp.6.121.920,40/ha nilai ini memberikan kontribusi

sebesar 78,83 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Nila i ini terdiri dari nilai

guna langsung sebesar Rp.224.415.768,35 atau Rp.342.760,26/ha (4,41 %) dan nilai

guna tidak langsung sebesar Rp.3.783.795.294,45 atau Rp.5.779.160,14/ha (74,41%).

Sementara sisanya sebesar 21,17 % merupakan kontribusi dari nilai bukan guna yang

memberikan manfaat sebesar Rp.1.076.550.290,23 atau Rp1.644.263,51/ha. Nilai ini

terdiri dari nilai pilihan sebesar Rp

.

387.510.290,23 atau Rp

.

591.861,83/ha (7,62 %)

dan nilai keberadaan sebesar Rp.689.040.000,00 atau Rp.

1.052.401,67 (13,55 %).

(30)

Kecilnya nilai guna langsung yang cuma 4,41 % dari nilai ekonomi total

kawasan hutan me nunjukan masih kecilnya manfaat ekonomi kawasan hutan yang

langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Manfaat yang langsung dirasakan

oleh masyarakat dengan adanya keberadaan hutan adalah sebagai penyedia kayu

bakar dan sebagai lokasi wisata yakni dengan adanya pengelolaan kawasan wisata

Curug Panjang yang dikelola oleh masyarakat bersama Perhutani.

Jika dilihat masing-masing jenis pembentuk nilai ekonomi total kawasan

lindung, nilai terbesar berasal dari nilai penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga

sebesar Rp.2.116.630.677,85 atau Rp.3.232.824,90/ha, nilai ini memberikan

kontribusi sebesar 41,63 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Hal ini

menunjukan betapa pentingnya kawasan hutan sebagai pensuplai kebutuhan air untuk

keperluan rumah tangga masyarakat di Sub DAS Ciesek. Sedangkan penyumbang

nilai ekonomi terkecil berasal dari nilai ekonomi penyedia air untuk kebutuhan

pertanian sawah sebesar Rp.29.274.181,82 atau Rp.44.711,77/ha, nilai ini

memberikan kontribusi sebesar 0,58 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung.

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000

Kayu BakarWisata Alam

Air RT Air Pertanian

Penggendali Banjir dan Erosi

Penyerap Karbon

Habitat Flora Fauna

Jenis Nilai

Nilai Ekonomi (Rp/ha/th)

Gambar 10. Komponen Pembentuk Nilai Ekonomi Total Kawasan

Lindung Per Hektar Per Tahun

(31)

67

Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya

Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Basah

Hasil intrepretasi dari citra satelit Ikonos tahun 2003 didapatkan informasi

bahwa luas lahan pertanian sawah seluas 300,97 ha atau 11,35 % dari luas Sub DAS

Ciesek. Distribusi luas sawah dan jumlah petani untuk tiap-tiap desa di daerah

penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Luas Pertanian Sawah dan Jumlah Petani di Sub DAS Ciesek

Desa

Luas

(ha)

1

Luas

Pertanian

(ha)

1

prosentase

(%)

Jumlah

KK

2

Jumlah

Petani

2

Desa Cipayung

438,44

86,96

28,89

4.597

93

Desa Cipayung Girang

193,75

32,06

10,65

1.691

230

Desa Megamendung

1724,22

51,36

17,06

1.325

106

Desa Cilember

296,86

138,48

46,01

1.297

499

Total

2653,27

300,97

100,00

4.597

928

1

sumber Ikonos tahun 2003

2 sumber Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003

Adapun distribusi dan rata-rata lahan garapan petani yang menjadi responden

dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19.

Distribusi dan Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Responden di Sub

DAS Ciesek

Desa

Jumlah Responden

Rata-rata lahan garapan

(ha)

Desa Cipayung

5

0,042

Desa Cipayung Girang

5

0,096

Desa Megamendung

4

0,045

Desa Clember

8

0,109

Total

22

Sumber analisis data primer, 2005

Berdasarkan wawancara dengan 22 orang petani responden, rata-rata lahan

yang menjadi garapan sawah seluas 790 m

2

per orang. Perlu untuk diketahui bahwa

(32)

petani yang mengusahakan sawah di Sub DAS Ciesek ini bukan seluruhnya

masyarakat yag tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek tetapi banyak juga

diantaranya petani yang berasal dari desa-desa di luar Sub DAS Ciesek. Karakteristik

sosial ekonomi responden untuk menentukan nilai ekonomi pertanian lahan basah di

daerah Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21 berikut ini.

Tabel 20. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Basah

Uraian

Satuan

Rata-rata

Pendapatan

Rp/bln

411.364

Luas Garapan

ha

0,079

Jumlah Anggota KK

orang

5,00

Konsumsi Air Pertanian

hari

sepanjang hari

Sumber : olahan data primer, 2005

Tabel 21. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani

Pertanian Lahan Basah

Uraian

Jumlah

Persentase (%)

Tingkat Pendidikan

SD

11

50,00

SMP

7

31,82

SMA

4

18,18

Total

22

100,00

Status Kepemilikan Lahan

Sendiri

3

13,64

Sewa

0

0,00

Penggarap

19

86,36

22

100,00

Sumber : olahan data primer, 2005

Sebagian besar responden yang menjadi petani sawah berpendidikan SD

(50%) dengan rata-rata tingkat pendapatan sebesar Rp.411.364/bulan. Dari hasil

wawancara juga didapatkan informasi bahwa 86,36% rata-rata lahan garapan para

petani adalah tanah bukan milik para petani itu sendiri, melainkan tanah milik

orang-orang kota terutama orang-orang dari Jakarta. Para petani tersebut hanya sebagai petani

penggarap dengan sistem bagi hasil. Akan tetapi banyak juga para petani yang

menggarap lahan orang-orang Jakarta dengan perjanjian seluruh hasil dari pertanian

(33)

69

sawah untuk para petani, sementara kewajiban mereka adalah menjaga keamanan

lahan-lahan orang-orang Jakarta dan bersedia menghentikan kegiatan pertanian jika

lahan tersebut akan dipergunakan oleh pemilik sah lahan garapan pertanian mereka.

Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi lahan pertanian lahan

basah dapat ditentukan. Dengan rata-rata luas garapan sebesar 0,079 ha tiap petani

mampu menghasilkan padi rata-rata sebesar 2,51 kuintal tiap kali panen. Jika dalam

satu tahun terdapat dua kali panen maka petani bisa mendapatakan 5,2 kuintal per

tahun. Besarnya nilai produktivitas lahan pertanian lahan basah untuk rata-rata seluas

satu hektar dalam penelitian ini sebesar Rp.3.729.747/ha/tahun. Hasil perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Sebagian besar dari petani pertanian lahan basah yang ada di daerah pene litian

bersifat subsisten, artinya hasil padi mereka tidak dikomersilkan, melainkan hanya

untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar sistim pertanian yang dilakukan

kurang intensif, petani hanya melakukan pekerjaan pertanian lahan basah ini hanya

bersifat sebagi sambilan. Banyak diantara mereka mempunyai pekerjaan lain seperti

sebagai penjaga villa, buruh dan wiraswasta.

Gambar 11.

Sistim Pertanian Lahan Basah (Sawah) yang Diusahakan oleh

Masyarakat di Sub DAS Ciesek

(34)

Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Kering

Pola pertanian lahan kering yang bayak dilakukan oleh masyarakat di Sub

DAS Ciesek merupakan pola pertanian lahan kering dataran tinggi, dimana komoditi

pertanian yang ditanam didominasi oleh pisang dan singkong. Jenis komoditi

pertanian lahan kering lainnya yang juga banyak ditanam adalah sayuran seperti

tomat, kubis, cabe, mentimun, sesin, buncis serta berbagai komoditi bunga potong.

Seperti pertanian lahan basah, sistim pertanian lahan kering yang dilakukan oleh

masyarakat pada umumnya masih kurang intensif, sehingga hasil yang didapatkan

belum begitu menggembirakan.

Karakteristik responden petani pertanian lahan kering di dalam penelitian ini

bisa dilihat pada Tabel 22 berikut ini.

Tabel 22. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Kering

Uraian

Satuan

Rata-rata

Luas Garapan

ha

0,76

Jumlah Anggota KK

orang

5,00

Pendapatan

Rp/bln

869.091

Sumber : olahan data primer, 2005

Tabel 23. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani

Pertanian Lahan Kering

Uraian

Jumlah

Persentase (%)

Tingkat Pendidikan

SD

4

28,57

SMP

3

21,43

SMA

4

28,57

S1

3

21,43

Total

14

100,00

Status Kepemilikan Lahan

Sendiri

4

28,57

Sewa

2

14,29

Penggarap

8

57,14

14

100,00

(35)

71

Berdasarkan Tabel 22 dan 23 di atas, dapat dilihat rata-rata luas garapan petani

lahan kering di daerah penelitian adalah 760 m

2

, dengan status kepemilikan lahan

adalah sebagai penggarap (57,14 %), serta status pendidikan terbesar adalah SD dan

SMA (28,57 %). Seperti petani pertanian lahan basah, di daerah Sub DAS Ciesek

memang kebanyakan lahan yang ada adalah milik dari orang Jakarta, sementara

masyarakat setempat hanya sebagai penggarap saja.

Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi pertanian lahan kering

yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.7.905.698,23/ha /th (Hasil

perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai ini lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pendapatan petani lahan basah yang hanya

Rp.3.729.747/ha /tahun, hal ini dikarenakan ada sebagian masyarakat yang

mengusahakan sistim penggarapan pertanian lahan kering dengan sistim yang lebih

intensif sehingga nilai rata-ratanya menjadi tinggi, seperti pola pertanian yang

dikelola oleh PUSKOPAL (Pusat Koperasi Angkatan Laut) dan usaha budidaya

bunga potong. Namun sebagian besar pertanian lahan kering yang ada di daerah

penelitian belum digarap dengan intensif, seperti pola pertanian laha n kering yang

sangat mendominasi pemanfaatan lahan yang ada yakni pertania n lahan kering

dengan komoditas utama tanaman singkong dan pisang.

Gambar 12.

Sistim Pertanian Lahan Kering yang Diusahakan oleh Masyarakat di

Sub DAS Ciesek

(36)

Penggunaan Lahan untuk Kebun Campuran

Dalam penelitian ini yang digolongkan kedalam kebun campuran merupakan

pertanian lahan kering dengan melibatkan tanaman tahunan seperti buah-buahan dan

tanaman keras seperti sengon. Karakteristik responden masyarakat yang

mengusahakan penggunaan lahan dengan sistim kebun campuran di dalam penelitian

ini bisa dilihat pada Tabel 24 berikut ini.

Tabel 24. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Kebun Campuran

Uraian

Satuan

Rata-rata

Luas Garapan

ha

0,441

Jumlah Anggota KK

orang

5,00

Pendapatan

Rp/bulan

622.500

Sumber : olahan data primer, 2005

Tabel 25.

Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani

Kebun Campuran

Uraian

Jumlah

Persentase (%)

Tingkat Pendidikan

SD

4

33,33

SMP

4

33,33

SMA

4

33,33

Total

12

100,00

Status Kepemilikan Lahan

Sendiri

5

41,67

Sewa

0

0,00

Penggarap

7

58,33

Total

12

100,00

Sumber : olahan data primer, 2005

Dari Tabel 24 dan 25 tersebut di atas dapat dilihat rata-rata luas garapan kebun

campuran yang diusahakan oleh masyarakat adalah 441 m

2

dengan status kepemilkan

lahan adalah penggarap (58,33%), serta tingkat pendidikan responden SD, SMP dan

SMA yang merata (33,33%). Berdasarkan pengamatan, sebagian besar pola kebun

campuran yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tidak intensif, dimana

kebun-kebun campuran yang dikelola masyarakat terbagi atas petak-petak tanah yang tidak

(37)

73

begitu luas, bahkan banyak diantaranya merupakan pekarangan rumah. Masyarakat

hanya sekedar memanfaatkan lahan yang ada baik yang merupakan kepunyaan

sendiri atau hanya sekedar memanfaatkan lahan tidur kepunyaan orang-orang Jakarta.

Sementara masyarakat yang benar-benar serius mengusahakan pola kebun campuran

ini tidak dijumpai, hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya masyarakat yang dengan

sengaja menyewa lahan (0,00%) untuk dikelola dengan sistim kebun campuran.

Dengan tidak dikelola dengan baiknya sistim kebun campuran di daerah Sub

DAS Ciesek, menyebabkan tingkat produktivitas yang dihasilkan per hektarnya

relatif kecil bila dibandingkan dengan sistim pertanian lahan basah dan sistim

pertanian lahan kering. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi kebun

campuran yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.3.435.982,91 /ha/th.

Hasil perhitungan nilai ekonomi kebun campuran selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 10.

Gambar 13.

Sistim Kebun Campuran yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub

DAS Ciesek

(38)

Penggunaan Lahan untuk Pemukiman

Kondisi udara pegunungan yang sejuk dengan pemandangan yang indah,

menyebabkan penggunaan lahan untuk pemukiman terutama pembangunan villa-villa

di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat. Pembangunan villa yang

bertambah terus dari tahun ke tahun menyebabkan permasalahan tersendiri bagi tata

ruang kawasan puncak karena seringkali pembangunan villa-villa ini kurang

mengindahkan aspek lingkungan dan peruntukan lahan seperti yang telah disusun

dalam RTRW. Besarnya jumlah villa dan jumlah rumah yang ada di Sub DAS

Ciesek dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Jumlah Rumah dan Villa yang Terdapat di Sub DAS Ciesek

Desa

Luas (ha)

Jumlah

Rumah

1

Jumah

Villa

Persentase

Jumlah Villa

(%)

Desa Cipayung

438,44

4597

60

1,31

Desa Cipayung Girang

193,75

1691

106

6,27

Desa Megamendung

1.724,22

1325

370

27,93

Desa Cilember

296,86

1297

100

7,71

Total

2.653,27

8910

636

7,14

Sumber Monografi Desa, 2004

Keterangan : 1 asumsi jumlah rumah sama dengan jumlah KK

Dari Tabel 26 di atas dapat dilihat jumlah persentase villa terbesar berada di

Desa Megamendung yakni mencapai 370 buah villa atau 27,93 % dari jumlah rumah

yang ada di Desa Megamendung. Hal ini bisa dimaklumi mengingat panorama alam

Desa Megamendung yang relatif indah dibandingkan ketiga desa yang ada di Sub

DAS Ciesek. Desa Megamendung merupakan desa dengan topografi ketinggian

paling tinggi sehingga tingkat kesejukan udara relatif lebih sejuk. Jumlah villa

dengan persentase terkecil berada di Desa Cipayung dengan persentase 1,31 %

dengan jumlah villa sebanyak 60 unit. Desa Cipayung merupakan desa dengan

topografi ketinggian paling rendah dibandingkan dengan ketiga desa lainnya,

sehingga tingkat kesejukan udara relatif kurang jika dibandingkan dengan desa

Referensi

Dokumen terkait

Pola pertanian campuran lahan kering atau Kaliwu yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Yawila merupakan inisiatif masyarakat

Melalui pendekatan diatas, maka hasil studi yang didapat dalam penelitian ini yaitu distribusi perubahan penggunaan lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di Kawasan

Berdasarkan hasil skor kawasan pembibitan untuk lahan menunjukkan nilai tertinggi (47.5-50), artinya bahwa lahan usaha sepenuhnya di kuasai oleh peternak. Secara keselurahan

Ketidaksesuaian pengalokasian penggunaan lahan denagn RTRW Kabupaten Sleman yang terjadi pada sawah irigasi yang belum beralih fungsi menjadi lahan perkotaan

Dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, diketahui bahwa masyarakat di sekitar Kawasan Lindung Sungai Lesan maupun yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan memiliki sikap

Kawasan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya dikelola dalam bentuk perhutanan sosial, yaitu sistem empang parit yang pengelolaannya diberikan pada masyarakat dan terikat

Secara garis besar penggunaan lahan di Provinsi Jawa Timur dibagi Kawasan lindung yang terdiri dari kawasan suaka alam, pelestarian alam dan perlindungan bawaan serta kawasan

Dengan melihat nilai manfaat ekonomi yang diperoleh, maka mengkonservasi lahan tersebut dan membuat tetap menjadi tempat wisata berbasis alam dapat memberikan nilai tambah bagi kawasan,