V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Kondisi Habitat Orangutan Sumatera Rehabilitan
Secara umum lokasi penelitian merupakan wilayah hutan tropis dengan topografi perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian berkisar antara 40 meter hingga 800 meter di atas permukaan laut. Namun karena sebelumnya kawasan ini merupakan bekas lahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maka membuat sebagian besar kawasan ini menjadi areal bekas tebangan dan areal bekas ladang yang dibuka oleh masyarakat. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut maka dalam penelitian ini, pada lokasi pengamatannya dibedakan berdasarkan tipe penutupan lahannya.
Tipe vegetasi yang ada dalam lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe yaitu hutan alam primer, hutan sekunder bekas tebangan, dan hutan sekunder bekas ladang (semak belukar). Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan perbedaan struktur tegakan dan komposisi jenisnya, dimana tipe hutan alam primer adalah hutan hujan tropis yang masih belum terganggu oleh aktivitas pembalakan kayu, jenis yang dominan umumnya berasal dari suku Dipterocarpaceae; untuk tipe hutan sekunder bekas tebangan adalah kawasan hutan yang telah mengalami penebangan, yang umumnya didominasi oleh jenis-jenis dari suku Euphorbiaceae; dan untuk hutan sekunder bekas ladang adalah kawasan yang telah dibuka untuk perladangan kemudian ditinggalkan pada periode berikutnya, jenis yang mendominasi umumnya berasal dari jenis-jenis pionir seperti dari genus Macaranga.
5.1.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi a. Vegetasi Hutan Alam Primer
Hutan alam primer pada plot contoh analisis vegetasi terletak sekitar 6 km dari stasiun reintroduksi orangutan sumatera Sungai Pengian dan berada dalam kawasan TNBT. Hutan alam primer memiliki vegetasi yang rapat dan beragam dengan didominasi oleh pohon – pohon berdiameter besar. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada petak contoh vegetasi hutan alam primer
didapatkan jumlah jenis untuk tingkat pohon sebanyak 38 jenis, tingkat tiang sebanyak 12 jenis, tingkat pancang sebanyak 21 jenis dan pada tingkat semai sebanyak 25 jenis.
Gambar 5. Vegetasi pohon di hutan alam primer
Pada tingkat pohon didapatkan jenis pohon yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah tapus (Elateriospermum tapos) INP-nya 28,72 kemudian sihancing (Santiria rubiginosa) nilai INP-nya 28,0 selanjutnya meranti bunga (Shorea leprosula) INP-nya 23,07 dan kasai (Pometia pinnata) nilai INP-nya 18,91. Tingkat tiang nilai INP tertinggi pada lepang kayu (INP 40,3) kemudian kuduk biawak (Santiria incurvata) INP-nya 38,78 berikutnya tapus (INP 36,43) dan kulalui (Baringtonia scortechinii) INP-nya 35,09. Tingkat pancang yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah karau (Canangium liporta) dengan INP 48,6 berikutnya kayu lintah (Ilex pletio brachieta) INP-nya 35,06 kemudian kayu minyak (Cinnamomum costata) INP-nya 24,96 dan kuduk biawak (INP 13,64). Tingkat semai dengan nilai INP tertinggi adalah karau dengan INP 42,92 selanjutanya kayu lintah INP-nya 24,1 kemudian kelumpang (Sterculia cordata) INP-nya 22,26 dan kayu minyak dengan INP 13,69. Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
b. Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Tebangan
Hutan sekunder bekas tebangan di lokasi penelitian merupakan kawasan hutan bekas HPH dengan luasan yang paling tinggi di bandingkan dengan hutan alam primer dan hutan sekunder bekas ladang. Pada vegetasi hutan bekas tebangan masih banyak juga ditemukan pohon komersial dengan diameter yang cukup besar seperti jenis meranti, jelutung, dan kempas. Akan tetapi pada bekas jalan logging yang mendominasi adalah jenis pionir dari genus Macaranga. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan pada plot contoh vegetasi hutan sekunder bekas tebangan didapatkan jumlah jenis pada tingkat pohon sebanyak 34 jenis, tingkat tiang sebanyak 19 jenis, tingkat pancang sebanyak 35 jenis dan tingkat semai sebanyak 30 jenis.
Gambar 6. Vegetasi pohon di hutan sekunder bekas tebangan
Pada tingkat pohon didapatkan jenis pohon yang mempunyai nilai INP tertinggi dengan nilai 28,59 adalah meranti bunga (Shorea leprosula), selanjutnya balam (Palagium oxelanum) INP-nya 28,53 kemudian ptaling (Ochanotachys amantaceae) INP-nya 19,75 dan tapus (Elateriospermum tapos) dengan INP 19,45. Pada tingkat tiang dengan INP tertinggi adalah karau (Canangium liporta) INP-nya 35,16 berikutnya siluk (Gironniera nervosa) dengan INP 34,68 untuk selanjutnya subilurah (Aporusa elmerii) INP-nya 25,04 dan meranti batu (Parashorea lucida) INP-nya 21,86. Pada tingkat pancang yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah sebekal (Fordia johorensis) INP-nya 16,61 berikunya karau (INP 15,27) selanjutnya subilurah (INP 13,94) dan jenis lepang kayu dengan INP
10,3. Pada tingkat pertumbuhan semai yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah karau dengan INP 27,49 selanjutnya jenis jirak (Adina minutiflora) dan rambutan pacat masing – masing dengan INP 15,34 serta berikutnya kepialan ayam (INP 13,45). Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
c. Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Ladang
Habitat hutan sekunder bekas ladang dilokasi penelitian merupakan kawasan hutan yang telah ditebang sebelumnya kemudian oleh masyarakat dibuka untuk dijadikan ladang dan juga untuk ditanami karet sehingga sebagian sisa tanaman tersebut masih dapat dijumpai pada kawasan hutan ini. Hutan sekunder bekas ladang ini juga berbatasan langsung dengan ladang masyarakat yang membudidayakan tanaman seperti ketela pohon, karet, pisang. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan, didapatkan jumlah jenis pada tingkat pohon sebesar 17 jenis, tingkat tiang sebanyak 14 jenis, tingkat pancang sebanyak 20 jenis dan tingkat semai sebanyak 13 jenis.
Gambar 7. Vegetasi pohon di hutan sekunder bekas ladang
Pada tingkat pertumbuhan pohon didapatkan nilai INP tertinggi adalah mahang (Macaranga hypoleuca) INP-nya 108,15 kemudian genditi (INP 28,65) selanjutnya arou (Ficus drupace) INP-nya 21,58 dan medang (Litsea odorifera) dengan INP 19,41. Pada tingkat tiang dengan INP tertinggi adalah jenis mahang (INP 50,9) berikutnya gawal – gawal (Dillenia Albiflos) INP-nya 33,28 kemudian
sulai (Canarium rostata) INP-nya 32,01 dan jengkol dengan INP 19,16. Pada tingkat pancang didapatkan nilai INP tertinggi pada sebekal (Fordia johorensis) INP-nya 43,1 kemudian deransi dengan INP 24,49 selanjutnya karau (Canangium liporta) INP-nya 22,67 dan siluk (Gironniera nervosa) dengan INP 17,91. Pada tingkat semai yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah sebekal (INP 44,57) kemudian medang INP-nya 27,9 selanjutnya karau dengan INP 23,9 dan deranti (INP 17,52). Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
5.1.1.2 Cover
Hasil analisis cover pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa strata tajuk pada vegetasi hutan alam primer dan hutan sekunder bekas tebangan memiliki strata tajuk yang lengkap dan beragam dengan kanopi yang mencapai ketinggian diatas 30 m, sedangkan pada hutan sekunder bekas ladang tidak memiliki strata tajuk yang lengkap dengan ketinggian kanopi di bawah 25 m, karena pada hutan sekunder bekas ladang tingkat kerusakan habitatnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan sekunder bekas tebangan yang disebabkan oleh pembukaan ladang.
Keterangan :
1. Lepang Kayu 7. Neoseortechinia kengii 13. Parashorea lucida
2. Santiria rubiginosa 8. Hopea Mongrawan 14. Agrostistachys leptostachya 3. Shorea leprosula 9. Octomeles sumatrana 15. Anisoptera marginata 4. Diallium platysepalum 10. Mangu 16. Myristica maxima 5. Juhur 11. Elateriospermum tapos 17. Dyera costulata
6. Canangium liporta 12. Gironniera nervosa
Gambar 9. Profil arsitektur pohon (40 x 20 m) vegetasi hutan bekas tebangan
Keterangan :
1. Mangu 6. Palaquium gutta 11. Eugenia griffithii 2. Santiria costata 7. Shorea acuminata 12. Sindora walichianus 3. Ochanotachys amantaceae 8. Kaki Nyamuk 13. Dipterocarpus gracilis 4. Dactylocladus pinnata 9. Sopat 14. Elateriospermum tapos
Gambar 10. Profil arsitektur pohon (40 x 20 m) vegetasi hutan bekas ladang
Keterangan :
1. Alstonia scholaris 5. Stijrax benzoin 2. Metrosideros petiolata 6. Arthocarpus elastica
3. Eugenia cimini 7. Ficus drupace
4. Macaranga hypoleuca
5.1.1.3 Ketersediaan Pakan Orangutan Sumatera Rehabilitan
Persentase aktifitas orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47% untuk makan, 40% untuk beristirahat, 12% untuk menjelajah, dan sisanya untuk melakukan interaksi sosial. Untuk memperoleh makanannya orangutan mencari apa saja makanan yang bisa dimakannya, karena orangutan termasuk satwa yang oportunis. Menurut Meijaard et al, (2001) dalam melakukan aktifitas makannya, orangutan umumnya memilih jenis pakan yang paling disukainya. Pada saat musim buah orangutan dapat memilih makanan yang paling disukainya untuk dimakan, tetapi pada saat tidak musim buah orangutan memakan apa saja yang dijumpainya. Makanan pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, komposisi persentase jenis makanan orangutan adalah buah (60%), daun (25%), kulit batang (15%), serangga (10%) dan lain-lain (2%). Untuk mengetahui mengenai jenis pakan orangutan sumatera dilakukan dengan mengamati perilaku makan orangutan di dalam hutan yaitu dengan mencatat jenis tumbuhan yang dimakan dan bagian yang dimakan oleh
orangutan dan dilakukan juga dengan wawancara kepada staf pusat reintroduksi orangutan sumatera. Berdasarkan hasil tersebut jenis – jenis pakan orangutan sumatera rehabilitan adalah seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis tumbuhan pakan orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian
No Nama lokal Spesies Famili
Bagian tumbuhan yang dimakan Buah Daun Kulit
kayu Stem/ umbut Bunga 1 Bacang Hutan Mangifera foetida Anacardiaceae *
2 Tayas/ Pauh Mangifera gracilipes Anacardiaceae * 3 Kemang Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae * 4 Karau Canarium odoratum Annonaceae *
5 Rotan manau Calamus manan Arecaceae * * * 6 Rotan Daemonorops angustifolia Arecaceae * * * 7 Susuh sawah Pothos oxyphyllus Arecaceae * *
8 Aren Arenga pinnata Arecaceae * *
9 Durian Durio zibetinus Bombacaceae * 10 Durian Hutan Durio graviolens Bombacaceae * 11 Durian burung Durio carinatus Bombacaceae * 12 Biluluk kayu Santiria rostata Burseraceae * 13 Kedondong Santiria costata Burseraceae * 14 Kuduk Biawak Santiria incurvata Burseraceae * 15 Asam Keranji Diallium platysepalum Caesalpiniaceae * 16 Keranji Siphonodon celastrinus Celastraceae * 17 Bayo Terminalia myriocarpa Combretaceae * 18 Ludai Sapium bacatum Euphorbiaceae * 19 Tampui Baccaurea bracteata Euphorbiaceae * 20 Tampui Kura-kura Baccaurea parviflora Euphorbiaceae * 21 Silima tahun Baccaurea stipulata Euphorbiaceae * 22 Rambai utan Baccaurea macrocarpa Euphorbiaceae * 23 Tapus Elatateriospermum tapos Euphorbiaceae * 24 Mempening Lithocarpus ewiychii Fagaceae * 25 Kandis Garcinia mangostacarpa Guttiferae * 26 Medang Phoebe lanceolata Lauraceae * 27 Kulalui Baringtonia scortechinii Lecythidaceae * 28 Liana kupu-kupu Sphatolobus ferrugenius Leguminosae * 29 Duku Hutan Lansium argentea Meliaceae * 30 Langsat rimba Dysoxylum lanrinum Meliaceae * 31 Bekang Dysoxylum cauliflorum Meliaceae * 32 Jengkol Archidendron pauciflorum Mimosaceae * 33 Kabau Archidendron bubalinum Mimosaceae *
34 Petai Parkia singolaris Mimosaceae * *
No Nama lokal Spesies Famili
Bagian tumbuhan yang dimakan Buah Daun Kulit
kayu Stem/ umbut Bunga 36 Ipuh Antiaris toxicaria Moraceae * *
37 Cempedak hutan Arthocarpus kemando Moraceae *
38 Terap Arthocarpus elastica Moraceae * * 39 Grupel Arthocarpus gomezianus Moraceae * * 40 Aro Semantung Ficus oblongifolia Moraceae * 41 Arou Ficus drupace Moraceae * 42 Akar aro pencekik Ficus deltoidea Moraceae * 43 Ficus Ficus obscura Moraceae * 44 Ficus Ficus sundaica Moraceae * 45 Ficus Ficus altissima Moraceae *
46 Kepinis Sloetia elongata Moraceae * 47 Kulim Scorodocarpus borneensis Olacaceae *
48 Akar Keketen Drymoglossolum piloselloides Polypodiaceae * 49 Jirak Adina minutiflora Rubiaceae * * 50 Kelampayan Anthocephalus cadamba Rubiaceae * 51 Silanglungka Anthocepalus chinensis Rubiaceae * 52 Bidaro Dimocarpus longan Sapindaceae * 53 Kasai Pometia pinnata Sapindaceae * 54 Rambutan Nephellium lappaceum Sapindaceae * 55 Rambutan Hutan Nephellium junglandifolium Sapindaceae * 56 Poru Sandoricum spp Sapindaceae * 57 Bayur Pterospermum macrophylla Sterculiaceae *
58 Jelatang Laportea sinuata Urticaceae *
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar orangutan memakan bagian tumbuhan yang berupa buah. Jenis yang paling banyak dimakan adalah tumbuhan dari famili Moraceae dan Sapindaceae, hal ini karena pohon dari famili Moraceae dan Sapindaceae menghasilkan buah dengan rasa yang manis sehingga disukai oleh orangutan. Selain hal tersebut juga pohon jenis ficus dari famili Moraceae adalah jenis pohon yang berbuah hampir sepanjang tahun. Selain memakan tumbuhan, pada saat pengamatan juga dijumpai orangutan memakan madu dengan cara merusak sarang lebah yang menempel pada pohon kemudian mengambil madunya.
5.1.2 Kepadatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada 12 jalur pengamatan sepanjang 19,5 km yang mewakili areal seluas 41,04 ha pada tiga tipe vegetasi
yang berbeda ditemukan sebanyak 102 sarang orangutan rehabilitan. Pada jalur X yaitu pada tipe vegetasi hutan sekunder bekas tebangan ditemukan jumlah sarang paling tinggi yaitu 37 sarang, sedangkan pada jalur RK-AN dan Jalur AS pada tipe vegetasi hutan alam primer tidak ditemukan sarang orangutan. Untuk kepadatan sarang orangutan per jalur, kepadatan tertinggi terdapat pada jalur Ld yaitu masing-masing nilainya adalah kepadatan sarang rata-rata sebesar 15,2 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum sebesar 6,7 sarang per hektar.
Tabel 3. Kepadatan sarang orangutan rehabilitan pada jalur pengamatan
Nama Jalur Tipe vegetasi Rata-rata jarak sarang (m) Maksimum jarak sarang (m) Jumlah sarang Panjang jalur (m)
Luas Jalur (ha)
Kepadatan sarang (sarang/ha) Rata-rata Maks Rata-rata Maks S. Pao Pao HSBT 10,89 18 9 2000 4,36 7,20 2,1 1,3 Jalur H-KL2 HSBT 10,13 16 8 1600 3,24 5,12 2,5 1,6 Jalur R HSBT 16,50 18 2 1400 4,62 5,04 0,4 0,4 Jalur M HSBT 20,00 20 1 2000 8,00 8,00 0,1 0,1 Jalur KL1 HSBT 8,00 10 3 2000 3,20 4,00 0,9 0,8 S. Blantik HSBT 6,00 20 5 2250 2,70 9,00 1,9 0,6 Jalur X HSBT 10,05 30 37 1800 3,62 10,80 10,2 3,4 Jalur SL HSBL 5,26 17 19 1850 1,95 6,29 9,8 3,0 Jalur Ld HSBL 6,56 15 16 800 1,05 2,40 15,2 6,7 Jalur YT HAP 12,00 20 2 650 1,56 2,60 1,3 0,8 Jalur RK-AN HAP 10,54 18,4 0 1600 3,37 5,89 0,0 0,0 Jalur AS HAP 10,54 18,4 0 1600 3,37 5,89 0,0 0,0
Jumlah 102 19550 41,04 72,23 2,5 1,4
Keterangan :
HSBT : Hutan sekunder bekas tebangan HSBL : Hutan sekunder bekas ladang HAP : Hutan alam primer
Untuk Kepadatan sarang orangutan per tipe vegetasi didapatkan hasil yaitu dengan kepadatan tertinggi terdapat pada hutan sekunder bekas ladang masing-masing nilainya adalah kepadatan sarang rata-rata sebesar 25 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum adalah 9,7 sarang per hektar sedangkan kepadatan sarang terendah terdapat pada vegetasi hutan alam primer yaitu kepadatan sarang rata-rata sebesar 1,3 sarang per hektar dan kepadatan sarang maksimum adalah 0,8 sarang per hektar.
Hutan sekunder bekas ladang; 34,3% Hutan sekunder bekas tebangan; 63,7% Hutan alam primer; 2%
Persentase distribusi sarang
Tabel 4. Kepadatan sarang orangutan rehabilitan berdasarkan tipe vegetasinya
Tipe Vegetasi Jumlah sarang
Panjang Jalur (m)
Luas Jalur (ha) Kepadatan sarang (sarang/ha) Rata-rata Maks Rata-rata Maks Hutan sekunder bekas tebangan 65 13050 29,74 49,16 18,1 8,1 Hutan sekunder bekas ladang 35 2650 3,00 8,69 25 9,7 Hutan alam primer 2 3850 8,31 14,38 1,3 0,8
Distribusi sarang orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian sebagian besar terdapat hutan sekunder bekas tebangan dan hutan sekunder bekas ladang, sedangkan di hutan alam primer terdapat sedikit penyebaran sarang orangutan. Sarang orangutan yang berada di hutan alam primer sudah masuk ke dalam kawasan TNBT, tetapi sebagian besar berada diluar kawasan taman nasional.
Gambar 12. Peta distribusi sarang orangutan sumatera rehabilitan
5.1.2.1 Kelas Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Sarang orangutan memilki durasi ketahanan sarang yang didasarkan atas umur sarang yang dibagi menjadi empat kelas sarang, mulai dari kelas satu yaitu sarang yang umurnya paling baru sampai kelas empat yaitu sarang yang memilki umur paling lama. Berdasarkan hasil pengamatan sarang orangutan yang ditemukan maka yang memiliki persentase paling tinggi adalah kelas sarang dua
16,7 52,9 24,5 5,9 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 % K e la s sa ra n g o ra n g u ta n Kelas Sarang 1 Kelas Sarang 2 Kelas Sarang 3 Kelas Sarang 4
dengan nilai sebesar 52,9% dan persentase terendah terdapat pada kelas sarang empat yaitu dengan nilai 5,9%.
Gambar 13. Persentase kelas sarang orangutan
5.1.2.2 Posisi Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Pada umumnya posisi sarang orangutan dekat dengan puncak pohon seperti pada Gambar 9. dapat dilihat pada hasil pengamatan bahwa orangutan membangun sarang sekitar empat meter dibawah puncak pohon dan biasanya dibangun pada beberapa posisi yang berbeda pada pohon. Bentuk dasar utama sarang orangutan ini diklasifikasikan dalam empat posisi. Pada pengamatan sarang orangutan yang dilakukan didapatkan bahwa posisi sarang dua memiliki persentase paling tinggi yaitu 53,9%, akan tetapi posisi sarang empat tidak mendapat nilai yaitu 0%.
19,6 53,9 26,5 0,0 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 % P o si si s a ra n g o ra n g u ta n Posisi Sarang 1 Posisi Sarang 2 Posisi Sarang 3 Posisi Sarang 4 23,1 18,95 0 5 10 15 20 25 T in g g i ( m )
Rata - rata tinggi pohon sarang dan tinggi sarang orangutan pada pohon
Tinggi Pohon Sarang Tinggi Sarang Gambar 15. Persentase posisi sarang orangutan
Gambar 16. Perbandingan rata-rata tinggi pohon sarang dan tinggi sarang orangutan pada pohon.
5.1.2.3 Jenis Pohon Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terdapat 47 jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarang. Jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarang yang paling tinggi persentasenya adalah pohon Barangan dan Silanglungka dengan nilai sebesar 6,86%, sedangkan untuk selanjutnya adalah pohon Bidaro, Kasai, dan Kelampayan dengan masing – masing nilainya sebesar 4,9%.
Tabel 5. Jenis pohon yang dipakai orangutan untuk membangun sarang.
Nama lokal Spesies Famili Persentase pohon
sarang (%) Barangan Castanopsis argentea Fagaceae 6,86 Silanglungka Anthocepalus chinensis Rubiaceae 6,86
Bidaro Dimocarpus longan Sapindaceae 4,90
Kasai Pometia pinnata Sapindaceae 4,90
Kelampayan Anthocephalus cadamba Rubiaceae 4,90
Genditi 3,92
Kemang Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae 3,92
Medang Litsea odorifera Lauraceae 3,92
Mersawa Anisoptera marginata Dipterocarpaceae 3,92
Poru Sandoricum spp Meliaceae 3,92
Sigendel 3,92
5.1.2.4 Durasi Pembuatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Orangutan untuk kenyamanan tidurnya menggunakan sarang yang dibuat dengan menyusun dahan dan ranting serta menambahkan daun – daunan sebagai alasnya, sarang untuk tidur ini dibangun oleh orangutan sendiri tapi kadang – kadang orangutan membangun kembali sarang yang sudah ada atau menggunakan kembali sarang yang sudah ada, baik sarang orangutan tersebut maupun sarang individu orangutan lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa rata – rata durasi pembuatan sarang malam orangutan adalah 3 menit 51 detik, dengan durasi pembuatan sarang terpendek adalah 2 menit 15 detik dan durasi pembuatan sarang terpanjang adalah 5 menit 25 detik. Orangutan yang diamati tercatat paling awal membangun sarang pada pukul 16:48 WIB dan terakhir membangun sarang pada pukul 18:05 WIB.
Tabel 6. Durasi pembuatan sarang malam orangutan sumatera rehabilitan Individu orangutan Kelas umur Jenis Kelamin Durasi pembuatan sarang (menit)
Mona Remaja Betina 2:37
Roberta Remaja Betina 5:25 5:13
Jenggo Remaja Jantan 4:39 3:33 4:53
Caroline Anakan Betina 4:02 2:47 2:14 2:35
Cut Anakan Betina 4:08 2:30 4:26 4:47
5.1.3 Jelajah Harian Orangutan Sumatera Rehabilitan
Dari total 18 hari pengamatan yang dilakukan, dapat ditentukan bahwa rata – rata jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan adalah sejauh 463,8 m per hari. Sedangkan untuk jelajah harian terpendek adalah sejauh 206 m per hari dan jelajah harian terpanjang adalah sejauh 732 m per hari. Individu orangutan yang diamati kesemuanya adalah berjenis kelamin betina dan masih anakan yaitu berumur antara 4 – 5 tahun. Estimasi luas jelajah orangutan sumatera rehabilitan dengan metode polygon seluas 23,159 ha dengan luas jelajah terkecil 7,407 ha dan luas jelajah terbesar 51,377 ha. Panjang jelajah seekor orangutan dalam sehari sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakannya di dalam hutan.
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Caroline Cut Winto
P a n ja n g je la ja h h a ri a n ( m )
Gambar 18. Panjang jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan
5.2 PEMBAHASAN
5.2.1 Kondisi Habitat Orangutan Sumatera Rehabilitan
Secara umum kondisi habitat di lokasi penelitian masih cukup baik karena faktor – faktor utama yang dibutuhkan orangutan untuk bertahan hidup masih tersedia dalam jumlah yang cukup, faktor – faktor tersebut antara lain adalah ketersediaan pakan, ketersediaan air, dan cover sebagai tempat berlindung dan pergerakannya serta untuk tempat bersarang. Pada saat pengamatan dilakukan, orangutan jarang turun ke tanah untuk minum. Untuk mendapatkan air orangutan mengambil air dari lubang pohon yang berisi air yaitu dengan memasukkan tangannya ke lubang pohon, selain itu orangutan juga mendapatkan air dari buah yang dimakannya.
Orangutan sebenarnya tidak terlalu membutuhkan habitat yang terlalu spesifik karena orangutan dapat bertahan hidup baik di hutan alami maupun yang sudah terganggu, asal ketersediaan pakan bagi orangutan tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkelanjutan. Tetapi dalam ekologi alaminya orangutan membutuhkan keanekaragaman jenis pakan yang tinggi yang tidak tersedia di habitat hutan terganggu, keanekaragaman pakan dibutuhkan orangutan untuk menunjang kebutuhan pakannya sepanjang tahun karena pada beberapa jenis pohon berbuahnya pada musim tertentu saja. Selain itu, jika orangutan sakit maka orangutan akan makan bagian tumbuhan tertentu yang berfungsi untuk penyembuhan sakitnya dan tumbuhan tersebut hanya terdapat pada vegetasi dengan keanekaragaman tinggi sehingga habitat yang ideal bagi orangutan adalah di habitat hutan alami yang belum terganggu.
5.2.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi
Pada tiga tipe vegetasi hutan yang ada dilokasi penelitian yaitu hutan alam primer, bekas tebangan, dan bekas ladang ketiganya merupakan termasuk hutan dataran rendah yang berada pada ketinggian 40 – 260 meter dpl. Secara umum ketiga tipe vegetasi merupakan hutan perbukitan dengan topografi yang curam yang memiliki kelerengan rata-rata diatas 40%, kecuali pada tipe vegetasi hutan sekunder bekas ladang yang memiliki topografi yang datar sehingga oleh
masyarakat digunakan untuk perladangan dan berkebun dengan ditanami jenis tanaman seperti padi, ketela pohon, dan karet.
Pada tingkat pertumbuhan pohon tipe vegetasi hutan alam primer memiliki jumlah jenis tertinggi dengan 38 jenis, kemudian hutan sekunder bekas tebangan dengan jumlah jenis 34 jenis dan jumlah jenis terendah pada hutan sekunder bekas ladang dengan 17 jenis, hal ini disebabkan karena hutan alam primer vegetasinya masih belum terganggu oleh manusia sedangkan pada hutan sekunder bekas ladang memilki tingkat kerusakan paling tinggi karena untuk membuka ladang yang lebih dahulu dilakukan adalah pembersihan lahan dengan menebang semua pohon pada lahan yang akan dibuka kemudian dilakukan pembakaran untuk membersihkan sisa semak belukar dan sisa pembakaran sebagai pupuk pada tanaman. Setelah ladang ini tidak produktif lagi maka masyarakat akan membuka lagi lahan yang baru untuk berladang, setelah ladang ini ditinggal maka akan terjadi suksesi dan yang pertama tumbuh adalah semak belukar dan jenis – jenis pohon pionir dari genus macaranga, sehingga pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang ini memiliki strata tajuk yang seragam dengan ketinggian tajuk kurang dari 25 meter.
5.2.1.2 Cover
Cover merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat orangutan yang digunakan sebagai tempat berlindung dan sarana pergerakan orangutan. Struktur vegetasi hutan seperti kerapatan tutupan tajuk merupakan bentuk cover bagi orangutan terhadap sengatan sinar matahari. Strata tajuk pada vegetasi hutan alam primer dan hutan sekunder bekas tebangan secara kualitatif memiliki strata tajuk yang lengkap yaitu meliputi tajuk utama atau strata atas (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m), lapisan tajuk bawah (4-10 m) dan semak belukar. Dengan kondisi strata tajuk yang berlapis dan kerapatan hutan yang tinggi maka memudahkan orangutan dalam mencari makan dan juga pergerakannya karena untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain orangutan menggunakan dahan pohon yaitu dengan memanfaatkan berat tubuhnya.
Dalam pergerakannya orangutan juga banyak memanfaatkan tumbuhan liana yang menempel dan menggantung pada pohon, tumbuhan liana ini sangat banyak ditemukan pada lokasi penelitian terutama pada vegetasi hutan alam primer dan vegetasi hutan sekunder bekas tebangan tetapi sedikit ditemukan pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang disebabkan karena pohon – pohon pada hutan sekunder bekas ladang tidak mempunyai struktur tajuk yang lengkap dengan sejumlah kecil pohon yang mempunyai kanopi di atas 25 meter, hal ini juga menyebabkan pada siang hari di vegetasi hutan sekunder bekas ladang terasa lebih panas jika dibandingkan dengan hutan alam primer dan bekas tebangan karena lebih banyak cahaya yang masuk pada lantai hutan. Dengan banyaknya cahaya yang masuk pada lantai hutan juga menyebabkan pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang banyak ditumbuhi oleh semak belukar dan tumbuhan bawah dengan sedikit ditumbuhi oleh semai/ anakan pohon, hal ini berbeda dengan vegetasi hutan alam primer dan bekas tebangan yang mempunyai lantai hutan yang cukup bersih dan sedikit ditumbuhi semak belukar.
5.2.1.3 Ketersediaan Pakan Orangutan Sumatera Rehabilitan
Untuk ketersediaan pakan orangutan di lokasi reintroduksi masih cukup tersedia apalagi pada saat terjadi musim buah maka orangutan akan memilih buah yang disukainya dan apabila tidak terjadi musim buah maka orangutan akan makan apa saja makanan yang ditemuinya karena orangutan termasuk satwa yang oportunis juga. Jika sedang tidak terjadi musim buah maka masih cukup tersedia juga makanan bagi orangutan yaitu orangutan masih dapat makan buah ficus dan liana yang banyak terdapat di lokasi reintroduksi karena jenis tumbuhan ini berbuah hampir sepanjang tahun, selain itu orangutan juga makan stem atau umbut rotan pada saat tidak terjadi musim buah.
Orangutan untuk memenuhi kebutuhan energinya harus makan minimal 10% dari bobot tubuhnya dan orangutan 60% komposisi makanannya berupa buah, misalnya saja jika persentase komposisi makanannya yang tertinggi adalah daun maka kebutuhan gizi orangutan akan kurang terpenuhi, karena kandungan gizi daun lebih rendah dibandingkan dengan buah.
5.2.2 Kepadatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Orangutan untuk setiap hari untuk mengakhiri aktivitasnya melakukan tidur pada waktu menjelang malam hari dengan terlebih dahulu membangun sarang di atas pohon, yaitu dengan mematahkan dan melipat dahan serta ranting pohon, kemudian menambahkan daun beserta rantingnya di atas kerangka sarang. Untuk bersarang orangutan tidak terlalu melakukan pemilihan tempatnyaa, apabila malam hari telah menjelang maka orangutan akan segera menghentikan aktivitasnya kemudian akan mencari pohon yang cocok untuk membangun sarang. Biasanya orangutan akan membangun sarang yang dekat dengan pohon sarang atau bahkan di pohon sarangnya, hal ini dilakukan agar keesokan harinya orangutan dapat langsung makan tanpa harus jauh mencari pakannya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sarang orangutan di tiga tipe vegetasi ditemukan sebanyak 102 buah sarang orangutan dengan persentase hutan alam primer 2%, hutan sekunder bekas ladang 34,3% dan hutan sekunder bekas tebangan 63,7%. Untuk kepadatan sarang orangutan per tipe vegetasi didapatkan hasil yaitu dengan kepadatan tertinggi terdapat pada hutan sekunder bekas ladang dengan nilai kepadatan rata-rata sebesar 25 sarang per hektar, kemudian yang kedua pada vegetasi hutan sekunder bekas tebangan dengan nilai kepadatan rata-rata sebesar 18,1 sarang per hektar sedangkan kepadatan sarang terendah terdapat pada vegetasi hutan alam primer yaitu dengan kepadatan sarang rata-rata sebesar 1,3 sarang per hektar.
Hal ini disebabkan karena lokasi tipe vegetasi hutan sekunder bekas ladang dan bekas tebangan jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat reintroduksi orangutan, sebab yang lain vegetasi hutan sekunder bekas ladang memiliki kepadatan orangutan tertinggi ialah lokasi ini digunakan oleh petugas pusat reintroduksi untuk menyekolahkan orangutan atau mengenalkan orangutan dengan habitat alaminya kemudian diajarkan mengenai tumbuh – tumbuhan yang bisa dimakan orangutan lalu diajarkan juga cara membangun sarang orangutan, dalam menyekolahkan orangutan ini dilakukan secara bersama – sama oleh beberapa individu orangutan agar orangutan yang lebih terampil dapat mengajarkan pengetahuannya kepada individu orangutan yang lain. Vegetasi pada hutan sekunder bekas ladang dan bekas tebangan memiliki topografi yang relatif
datar bila dibandingkan dengan hutan alam primer karena orangutan lebih menyukai tempat terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai. Lokasi pengambilan contoh pada vegetasi hutan sekunder bekas ladang memiliki luasan yang kecil bila dibandingkan dengan hutan alam primer dan bekas tebangan hal ini disebabkan karena memang hanya di lokasi ini yang terdapat vegetasi hutan sekunder bekas ladang.
5.2.2.1 Kelas Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Sarang orangutan yang dijumpai pada saat pengamatan dilakukan mempunyai umur sarang yang bermacam – macam, mulai dari sarang baru yang berumur kurang dari satu minggu sampai sarang lama yang umurnya lebih dari enam bulan. Ketahanan suatu sarang orangutan sangat bervariasi yang biasanya dipengaruhi oleh iklim (cuaca, suhu udara, kelembaban, dan angin) dan struktur bahan penyusun sarang orangutan. Misalnya suatu sarang orangutan dibangun pada saat yang sama, tetapi menggunakan jenis pohon yang berbeda dan setelah itu diamati seminggu kemudian maka mungkin saja akan mendapatkan hasil yang berbeda yaitu didapatkan nilainya kelas sarang satu dan kelas sarang dua. Hal ini karena sarang yang pertama dibangun pada pohon yang mempunyai tipe daun tebal dan tidak mudah kering akan masuk pada kelas sarang satu, sedangkan sarang yang kedua dibangun pada pohon yang tipe daunnya tipis dan cepat kering maka sarang yang kedua ini akan masuk kelas sarang dua. Sehingga dari ilustrasi tersebut maka tidaklah mudah untuk menduga suatu umur sarang orangutan yang sebenarnya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian didapatkan bahwa yang mempunyai persentase tertinggi adalah kelas sarang dua, lalu kelas sarang tiga, kemudian kelas sarang satu, dan yang mempunyai persentase terendah ialah kelas sarang empat. Kelas sarang dua mempunyai persentase tertinggi disebabkan karena kriteria – kriteria pada kelas sarang dua mempunyai cakupan yang paling besar untuk menentukan kelas sarang orangutan dibandingkan dengan kelas sarang yang lain. Untuk mengetahui apakah suatu kumpulan daun – daunan itu sebuah sarang orangutan tidaklah mudah, karena bisa saja hal tersebut adalah sebuah pakis atau epifit yang menempel pada cabang
pohon, atau bisa juga sarang satwa lain selain orangutan (burung dan hewan pengerat) atau bahkan bisa juga hanya sebuah ranting pohon yang patah dan tersangkut pada cabang pohon. Maka untuk menghindari salah identifikasi tersebut digunakan binokuler untuk melihat lebih dekat kepada sarang yang diamati agar tidak salah dalam identifikasi.
Umumnya untuk membedakan sarang orangutan dari kemungkinan yang lain ialah sarang orangutan mempunyai struktur sarang yang tersusun dari patahan atau bengkokan ranting pohon yang berfungsi sebagai kerangka sarang orangutan, kemudian ditambah dengan lapisan daun – daunan pada atas kerangka, dan terakhir ditambah beberapa elemen seperti bantal pada salah satu sisinya. Menurut Wich et al, (2009) dalam membangun sarangnya, orangutan mengikuti beberapa tahapan yaitu pertama memilih pohon sarang yang digunakan untuk bersarang; kedua membuat pondasi sarang yaitu orangutan menarik beberapa ranting besar untuk dikumpulkan menjadi satu titik dibawahnya, lalu dibengkokkan ranting tersebut dan ditambah beberapa ranting, aksi ini dilakukan untuk membentuk pola seperti kupu – kupu; ketiga membuat lapisan matras, setelah pondasi selesei lalu orangutan membengkokkan beberapa ranting kecil yang banyak daunnya sebagai lapisan matras; keempat mengunci sarang yang merupakan bagian terakhir dalam membangun sarang yaitu orangutan menjalin ranting saat berdiri diatas sarang; kelima menambahkan elemen khusus yaitu untuk kenyamanan sarangnya orangutan menambah beberapa fitur seperti bantal, lapisan selimut, atap, atau tempat tidur tambahan yang kedua.
Dengan sedikitnya jumlah kelas sarang satu yaitu kelas sarang orangutan yang baru maka dapat diketahui bahwa jumlah orangutan yang sedang berada di sekitar lokasi penelitian pada saat dilakukan pengambilan data jumlahnya rendah. Hal ini disebabkan karena pada saat dilakukan pengambilan data musim berbuah pepohonan hutan tidak sedang terjadi sehingga orangutan lebih menyebar ke dalam hutan untuk mencari makanannya dan juga makan umbut/ stem rotan sebagai pengganti buah.
5.2.2.2 Posisi Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Orangutan dalam membangun sarangnya di pohon biasanya posisinya dekat dengan puncak pohon, dari hasil pengamatan didapatkan sekitar empat meter di bawah puncak pohon, hal ini dilakukan karena untuk menghindari satwa pemangsa yang ada di atas tanah seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan babi berjanggut (Sus barbatus) pada waktu orangutan sedang tidur di malam hari. Untuk posisi sarang orangutan berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan yang mempunyai persentase tertinggi ialah posisi dua yaitu posisi sarang yang berada di ujung dahan jika dilihat dari batang utama pohon hal ini dikarenakan pada ujung dahan pohon terdapat banyak cabang pohon dan bagian ujung dahan merupakan bagian pada pohon yang paling banyak dedaunannya, sehingga dengan banyaknya cabang dan dedaunan akan mempermudah orangutan dalam membangun sarang. Sedangkan untuk posisi sarang empat tidak ditemukan pada saat pengamatan, hal ini karena posisi empat merupakan posisi sarang orangutan dengan menggabungkan ujung dahan beberapa pohon sehingga bagi orangutan rehabilitan masih cukup susah untuk dilakukan. Selain itu karena sebagian besar kawasan reintroduksi merupakan areal bekas konsesi HPH, maka jarak antar pohonnya tidak terlalu rapat.
5.2.2.3 Jenis Pohon Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Orangutan untuk mengakhiri aktivitas hariannya dilakukan dengan tidur diatas pohon dengan sebelumnya membangun sarang terlebih dahulu. Orangutan mulai membangun sarang saat matahari mulai terbenam, biasanya orangutan juga membangun sarang tidak terlalu jauh dari pohon pakannya, hal ini dilakukan orangutan untuk mempermudah dalam aktivitasnya di keesokan harinya. Dari jumlah 47 jenis pohon sarang yang ditemukan, 19 jenis pohon merupakan pohon sumber pakan bagi orangutan tetapi sebagian besar hanya pohon buah potensial yaitu orangutan bersarang pada saat pohon tidak sedang berbuah. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui juga bahwa orangutan kadang – kadang bersarang pada pohon pakannya, karena pada saat pengamatan dilakukan terlihat bahwa orangutan yang bersarang pada pohon pakannya tetap melakukan makan saat berada di sarangnya yaitu dengan memetik atau mematahkan ranting yang
banyak terdapat buah pakan kemudian orangutan membawa buah yang dipetiknya kedalam sarang untuk dimakan sambil orangutan berbaring di sarangnya. Tetapi menurut Sugardjito (1983) orangutan akan menghindari pohon yang sedang musim berbuah untuk bersarang karena pohon yang berbuah akan mengundang satwa lain untuk datang yang mungkin akan mengganggu orangutan atau bahkan akan memangsa orangutan saat sedang tidur, satu alasan yang logis adalah menghindari pemangsaan.
Pemilihan pohon sarang orangutan juga dapat dilihat dari tipe arsitektur pohonnya, karena orangutan lebih suka membangun sarangnya pada ujung dahan pohon yang banyak terdapat ranting dan dedaunan sehingga mempermudah orangutan dalam membangun sarangnya. Contoh pada (gambar 20.) merupakan beberapa tipe arsitektur pohon oleh Halle et al, (1978) dalam Wich et al, (2009); tipe Roux dan Massart merupakan tipe arsitektur pohon yang paling banyak digunakan oleh orangutan di Tuanan, Kalimantan Tengah untuk membangun sarangnya.
Gambar 20. Tipe arsitektur pohon oleh Halle et al, (1978)
5.2.2.4 Durasi Pembuatan Sarang Orangutan Sumatera Rehabilitan
Orangutan sumatera rehabilitan dalam tidurnya di malam hari selalu menggunakan sarang tidur di atas pohon, baik yang membangun sarang sendiri, membangun kembali sarang yang telah ada maupun hanya menggunakan kembali sarang yang telah ada. Orangutan juga membangun sarang untuk digunakan sebagai sarang istirahat pada waktu siang hari, tetapi sarang siang ini biasanya kurang kokoh jika dibandingkan dengan sarang malam dan juga tidak terdapat bantal serta elemen pendukung sarang yang lainnya, akibatnya terdapat perbedaan
yang cukup tinggi dalam penggunaan waktunya untuk membangun sarang (Wich
et al, 2009).
Tabel 7. Durasi pembuatan sarang orangutan pada beberapa lokasi penelitian (Wich et al, 2009).
Lokasi Pulau - subspesies Durasi pembuatan sarang (menit) Sarang malam Sarang siang
Kinabatangan Kalimantan - P. p.morio 7 ?
Tuanan Kalimantan - P. p.wurmbii 7:28 2;55
Sebangau Kalimantan - P. p.wurmbii 8:58 2:79
Ketambe Sumatera - P. abelii 7:49 3:05
Suaq Belimbing Sumatera - P. abelii 8:09 2:19
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian didapatkan bahwa rata – rata durasi pembuatan sarang malam orangutan sumatera rehabilitan ialah 3 menit 51 detik dan durasi pembuatan sarang malam terpanjang hanya 5 menit 25 detik, hal ini karena orangutan dilokasi penelitian merupakan orangutan yang belum dewasa, yaitu dengan kelas umur anakan dan remaja sehingga ukuran tubuhnya lebih kecil bila dibandingkan orangutan dewasa. Dengan semakin kecil ukuran tubuh orangutan maka sarang yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar sehingga durasi pembuatan sarangnya lebih pendek bila dibandingkan dengan orangutan yang berada di lokasi penelitian yang lain. Sebab yang lain ialah orangutan di lokasi penelitian merupakan orangutan hasil rehabilitasi, sehingga ketrampilannya juga lebih rendah bila dibandingkan dengan orangutan liar.
5.2.3 Jelajah Harian Orangutan Sumatera Rehabilitan
Pergerakan harian orangutan dipengaruhi oleh ketersediaan pakannya didalam hutan terutama ketersediaan buah sebagai komposisi utama dari makanannya. Hubungan dengan kepadatan orangutan menunjukkan bahwa orangutan berkumpul pada area dimana produksi buahnya maksimum, hal ini sering ditunjukkan pada penelitian di Ketambe (Sugardjito et al, 1987) dimana terdapat sembilan ekor orangutan tertarik untuk makan buah ara atau ficus pada saat yang sama (Rijksen, 1978). Pada saat penelitian dilakukan, ditemukan juga
empat individu orangutan yang makan buah mangga hutan pada saat yang bersamaan.
Rata – rata jelajah harian orangutan dari masing – masing individu adalah 465 meter yaitu antara 417 – 509 meter. Dalam jelajah harian ini orangutan melakukannya untuk mencari makan, jika orangutan telah menemukan pohon pakan dengan jumlah yang cukup maka orangutan akan berhenti dan makan di pohon tersebut dengan waktu yang lama sampai orangutan merasa cukup kenyang, lalu akan berhenti untuk istirahat atau tidur siang dan akan dilanjutkan kembali setelah selesei beritirahat. Orangutan akan berpindah ke pohon yang lain jika buah atau materi pakan di pohon telah habis atau jika orangutan telah merasa bosan.
Tabel 8. Panjang jelajah harian betina dewasa pada beberapa lokasi (dengan standar deviasi pada tanda kurung) berdasarkan Wich et al.,2009.
Kinabatangan Sabangau Tuanan Tanjung Puting Gunung Palung Suaq Belimbing Ketambe
Pulau dan subspesies K-morio K-wurmbii K-wurmbii K-wurmbii K-wurmbii Sumatera Sumatera Betina aktif secara seksual 162 769 1025(471) 711 690 1077(368) 722(293)
Induk 809 766(355) 833(306) 675(282)
Dari hasil penelitian jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan yang telah diperoleh, jika dibandingkan dengan lokasi penelitian orangutan di sumatera maka jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan di lokasi penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan orangutan sumatera di Suaq Belimbing dan Ketambe. Hal ini karena orangutan rehabilitan masih dalam tahap sosialisasi dan belajar sehingga kemampuan menjelajah dan mencari makannya masih kurang dibanding orangutan liar. Selain itu juga pada waktu pengambilan data dilakukan, dilokasi penelitian sedang tidak terjadi musim buah sehingga bagi orangutan yang baru direintroduksi untuk mendapatkan makanannya cukup sulit. Orangutan yang diamati merupakan orangutan yang direintroduksi dengan kurang dari enam bulan, jadi untuk menghindari kelaparan dan matinya orangutan maka pihak pengelola kadang – kadang memberikan makanan tambahan berupa buah – buahan budidaya seperti nanas, jeruk, jagung, dan ubi jalar. Makanan tambahan ini diberikan pada saat orangutan yang diamati sedikit memperoleh makanannya
di hutan dan jika orangutan yang diamati mendapatkan cukup makanan maka tidak diberikan makanan tambahan kepada orangutan yang diamati. Makanan tambahan diberikan pada sore hari menjelang orangutan membangun sarang yaitu sekitar jam 16:30 WIB sehingga pergerakan hariannya tidak terganggu oleh pemberian makanan tambahan. Tetapi dengan jika terlalu sering memberikan makanan tambahan kepada orangutan maka orangutan bisa menjadi ketergantungan pada pemberian makanan tambahan yang dapat berpengaruh juga pada hasil jelajah harian orangutan sumatera rehabilitan karena orangutan sudah mengetahui dan terbiasa jika diberikan makanan tambahan pada sore hari. Makanan tambahan juga diberikan jika ketersediaan buah dalam hutan sedikit sehingga orangutan hanya makan makanan berupa daun – daunan pohon dan umbut rotan yang gizinya lebih rendah jika dibandingkan dengan buah – buahan hutan.