• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK KOTA PONTIANAK"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

259

ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KAPASITAS VITAL PARU TENAGA KERJA

BONGKAR MUAT (TKBM) NON KONTAINER DI IPC TPK

KOTA PONTIANAK

Rafita, Ani Hermilestari dan Mohammad Nasip Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak

E-mail: efierafita@gmail.com

Abstrak: Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional dengan jumlah sampel 48 orang pekerja. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan responden, pengukuran kadar debu terhirup dan pemeriksaan kapasitas vital paru. Hasil penelitian diperoleh variabel yang berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah kadar debu terhirup (p=0,041), dan penggunaan APD masker (p=0,046). Sedangakan variabel yang tidak berhubungan dengan kapasitas vital paru adalah usia (p=0,068), masa kerja (p=0,076), kebiasaan merokok (p=1,000) dan riwayat penyakit paru (p=0,368). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dan penggunaan APD dengan kapasitas vital paru dan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia, masa kerja, kebiasaan merokok dan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak.

Kata Kunci: Kadar Debu Terhirup, Kapasitas Vital Paru

Abstract: Analysis of Risk Factors Associated with Lung Vital Capacity of Workers Loading And Unloading (TKBM) Non Containers at IPC TPK Pontianak City. This type of research is observational with cross sectional study with a sample of 48 workers. Data were collected by interviews with respondents, respirable dust concentration measurement and inspection of vital lung capacity. The results were obtained variables associated with lung vital capacity is the concentration of respirable dust (p = 0.041), and use of personal protective equipment masks (p = 0.046). While the variables that are not associated with lung vital capacity age (p = 0.068), years of service (p = 0.076) was smoking (p = 1.000) and a history of pulmonary disease (p = 0.368). The conclusion from this study that there is a significant relationship between the level of respirable dust and the use of personal protective equipment with a vital capacity of the lungs and there is no significant relationship between age, years of smoking and a history of pulmonary disease with a vital capacity of the lungs on the workers of loading and unloading non containers at IPC TPK Pontianak.

Keywords: Respirable Dust Levels, Lung Vital Capacity

Tenaga kerja merupakan sumber daya manusia yang memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya tenaga manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan maupun kesehatan kerjanya. Di banyak kota terutama yang urbanisasinya tumbuh pesat di

negara-negara yang sedang berkembang, pencemaran merupakan faktor yang dapat menurunkan produktifitas para pekerja. Salah satunya yaitu pencemaran udara.

Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan

(2)

260 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang (Wardhana, 2001).

Salah satu aktivitas yang dapat menyebabkan pencemaran udara oleh debu yaitu kegiatan bongkar muat barang yang terjadi di pelabuhan IPC TPK (Indonesia Port Corporation Terminal Peti Kemas) Kota Pontianak. Debu banyak berasal dari proses pembongkaran barang dari palka (ruang-ruang dalam kapal), penyusunan barang ke jala-jala barang dan pengangkutan barang-barang dari kapal ke gudang penyimpanan maupun ke truk yang siap untuk di distribusikan. Barang-barang yang berpotensi menghasilkan debu penyebab pencemaran udara yaitu barang non kontainer seperti semen, beras, tepung, pakan ternak dan lain sebagainya.

Debu yang berukuran antara 5–10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3–5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan di tempatkan langsung di permukaan alveoli paru (Suma’mur, 2014).

Paparan debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang sangat beresiko terhadap terjadinya gangguan kapasitas paru. Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam tubuh atau paru-paru seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru ditentukan oleh kemampuan kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh semakin banyak (Mangkidi, 2006).

Gangguan kapasitas vital paru tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit. Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, sesak napas, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh magrofag. Otot polos disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila

konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas (Hasty, 2011).

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007 diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumokoniosis. Selain itu juga, ILO (International Labour Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumoconiosis (penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya dan kasus pneumoconiosis menempati urutan pertama Occupational Diseases (OD) di Negara Jepang dan Cina (Hasty, 2011).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasty (2011) menunjukkan bahwa paparan debu yang ada di lingkungan kerja yang memapar pekerja dengan konsentrasi yang tinggi dan jumlah jam kerja yang semakin panjang akan berdampak pada nilai Kapasitas Vital Paru (KVP) yang berada di bawah normal. Selain itu ada hubungan yang signifikan antara karakteristik pekerja yaitu variabel usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja dan penggunaan masker dengan variabel Kapasitas Vital Paru.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan IPC TPK Kota Pontianak hanya 37,5% pekerja yang menggunakan masker sewaktu melakukan bongkar muat dari palka kapal ke dermaga pelabuhan dengan alasan tidak nyaman bekerja jika menggunakan APD (masker), dan bagi yang menggunakan masker pada saat melakukan komunikasi di area kerja, masker yang digunakan ditarik kearah bawah sehingga tidak menutup hidung. Pada saat pekerja menarik napas maka debu yang terdapat di udara akan ikut masuk ke dalam paru-paru. Debu yang masuk secara terus-menerus dalam jumlah yang banyak dan mengendap ke dalam paru-paru maka akan menyebabkan melemahnya kapasitas paru pekerja. Selain itu, sebagian besar pekerja mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 87,5 %. Dan dari 8 orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) sebanyak 50% pekerja mengalami gejala batuk pada saat bekerja, dan 62,5% mengalami sesak napas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross

(3)

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 261

sectional study. Dalam penelitian ini mengambil data dari responden dengan metode survei menggunakan kuesioner, melakukan pengukuran kadar debu terhirup menggunakan alat personal dust sampler (PDS) dan melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru dengan menggunakan alat spirometer pada tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Populasi yang digunakan oleh peneliti adalah tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak. Besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 responden yang ditentukan dengan cara random sampling (metode sampel acak sederhana). Bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 2005).

Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut:

n=

Keterangan : n =jumlah sampel N=jumlah populasi d= derajat kemaknaan

Pengolahan data dilakukan secara program statistik uji Chi Square, yaitu asymtop signifikansi kurang atau sama dengan 5% atau 0,05 (p ≤ 0,05) maka H0 ditolak) Ha diterima artimya ada hubungan. Apabila asymtop signifikasi lebih dari 0,05 (p > 0,05) maka (Ho diterima) Ha ditolak artinya tidak ada hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL

Kadar debu terhirup

Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (58%) tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota Pontianak, bekerja di lokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat atau berada di atas NAB. Usia

Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak berumur ≥ 40 tahun.

Masa kerja

Hasil penelitian distribusi frekuensi masa kerja, menunjukkan proporsi terbanyak (67%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak telah bekerja selama ≥ 5 tahun.

Kebiasaan merokok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (83%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok.

Riwayat Penyakit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbanyak (73%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak ada memiliki riwayat penyakit paru. Penggunaan APD (Masker)

Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (63%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak tidak menggunakan APD (masker).

Kapasitas Vital Paru

Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbanyak (60%) tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kapasitas vital paru normal.

Hubungan Kadar Debu Terhirup dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru

Hasil analisis statistik mengenai hubungan antara kadar debu terhirup responden dengan gangguan kapasiats vital paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(4)

262 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

Tabel 1. Hubungan Kadar Debu Terhirup Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

No Kadar Debu Terhirup

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal

N % n % n % 1 Tidak Memenuhi Syarat 15 53,6 13 46,4 28 100 2 Memenuhi Syarat 4 20,0 16 80,0 20 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,041

Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisis hubungan kadar debu terhirup dengan kapasitas vital paru pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat cenderung memiliki kapasitas vital paru tidak normal dari pada pekerja yang bekerja di lokasi kadar debu terhirup yang memenuhi syarat yaitu sebesar 53,6%.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,041 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (diatas NAB) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan Usia dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru

Tabel 2. Hubungan Usia Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

No Usia

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal N % n % n % 1 ≥ 40 tahun 15 57,1 14 48,3 29 100 2 < 40 tahun 4 21,1 15 78,9 19 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,068 Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisa hubungan usia dengan kapasitas vital paru pekerja yang berusia < 40 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 78,9% dari pada pekerja yang berusia ≥ 40 tahun.

Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,068 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

Hubungan masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru

Tabel 3. Hubungan Masa Kerja Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

No Masa

Kerja

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal N % n % n % 1 ≥ 5 Tahun 16 50,0 16 50,0 32 100 2 < 5 Tahun 3 18,8 13 81,3 16 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,076

Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisa hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru pekerja yang masa kerja < 5 tahun cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 81,3% dari pada pekerja yang masa kerjanya ≥ 5 Tahun.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,076 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016.

Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru

(5)

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 263

Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

No Kebiasaan Merokok

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal N % n % n % 1 Merokok 16 40,0 24 60,0 40 100 2 Tidak Merokok 3 37,5 5 62,5 8 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 1,000 Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisa hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru pekerja yang memiliki kebiasaan merokok cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 60,0% dari pada yang tidak memiliki kebiasaan merokok.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 1,000 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016. Hubungan riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru

Tabel 5. Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016

No

Riwayat Penyakit Paru

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal N % n % n % 1 Pernah Sakit 7 53,8 6 46,2 13 100 2 Tidak Pernah Sakit 12 34,3 23 65,7 35 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0, 368 Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisa hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru pekerja yang tidak pernah sakit cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebasar 65,7% dari pada yang memiliki riwayat penyakit paru (pernah sakit).

Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,368 lebih besar dari p= 0,05 sehingga Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016.

Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru

Tabel 6. Hubungan Penggunaan APD Dengan Gangguan Kapasitas Vital Paru Tenaga Kerja Bongkar Muat Non Kontainer Di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016 N o Penggun aan APD

Kapasitas Vital Paru Jumlah Tidak Normal Normal N % n % n % 1 Tidak Pakai 16 51,6 15 48,4 31 100 2 Pakai 3 17,6 14 82,4 17 100 Jumlah 19 39,6 29 60,4 48 100 p value = 0,046

Sumber: Data Primer, 2016

Hasil analisa hubungan penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru pekerja yang menggunakan APD (masker) cenderung memiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebesar 82,4% dari pada yang tidak menggunakan APD (masker).

Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p= 0,05) diperoleh p value 0,046 lebih kecil dari p= 0,05 sehingga Ha diterima. Artinya ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak Tahun 2016.

Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat

(6)

264 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

Untuk melihat kecenderungan hubungan dan perbedaan masing-masing variabel pada penelitian ini dapat dilihat pada ringkasan hasil bivariat pada tabel dan hasil uji Chi Square sebagai berikut.

Tabel 7. Rekapitulasi Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Menggunakan Uji Chi Square

No. Variabel p-value

1. Kadar Debu Terhirup 0,041

2. Usia 0,068

3. Masa Kerja 0,076

4. Kebiasaan Merokok 1,000 5. Riwayat Penyakit 0,368 6. Penggunaan APD 0,046 Berdasarkan hasil tabel 14 diatas, diketahui variabel bebas yang memiliki hubungan dengan variabel terikat (gangguan kapasitas vital paru) adalah kadar debu terhirup, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) berupa masker. PEMBAHASAN

Hubungan Antara Kadar Debu Terhirup Dengan Kapasitas Vital Paru

Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,041 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang bekerja di tempat kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat atau di atas NAB memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,6%) dibandingkan dengan kadar debu terhirup memenuhi syarat atau di bawah NAB (20%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) tentang hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan diperolehnya hasil uji chi square (p=0,008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paparan partikel debu dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Amaliyah (2013) bahwa

ada hubungan yang signifikan antara kadar debu dengan kapasitas paru yaitu dengan (p=0,003).

Mekanisme penimbunan debu dalam paru terjadi ketika seseorang menarik nafas udara yang mengandung debu masuk dalam paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernapasan atas, sedangkan yang berukuran 3 - 5 mikron akan ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 - 3 mikron akan langsung menuju ke permukaan alveoli paru, dan partikel yang berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli karena partikel ini akan bergerak keluar masuk alveoli sesuai dengan gerakan brown (Suma’mur, 2014).

Gangguan kapasitas vital paru sering terjadi pada tenaga kerja yang bekerja dilingkungan yang berdebu. Misalnya pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak. Gangguan kapasitas vital paru dapat dicegah dengan hidup bersih dan sehat misalnya dengan cara selalu menggunakan alat pelindung diri berupa masker pada saat melakukan kegiatan bongkar muat khususnya di lingkungan kerja yang berdebu.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, jenis barang yang dilakukan bongkar muat yaitu semen. Semen merupakan suatu bahan bangunan yang banyak menghasilkan debu saat dilakukan pembongkaran. Debu semen merupakan debu yang dapat mengganggu sistem pernapasan salah satunya yaitu dapat menurunkan nilai kapasitas vital paru seseorang. Sedangkan lokasi tempat berlangsungnya aktivitas bongkar muat yaitu di dalam palka kapal banyak terdapat debu yang beterbangan akibat akivitas bongkar muat. Hasil pengukuran kadar debu terhirup terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil tertinggi yaitu 3,35 mg/m3 dan

hasil terendah yaitu 1,36 mg/m3.

Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan ini dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang secara terus menerus dapat menurunkan faal paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan paru (Mukono, 2008 dalam Tambunan 2013).

(7)

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 265

Normal atau tidaknya kapasitas paru seseorang dapat diketahui melalui pemeriksaan dengan menggunakan alat spirometer. Seseorang mengalami gangguan kapasitas paru apabila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 di bawah nilai 80% dan bila nilai hasil spirometri FEV dan FEV1 diatas 80% maka paru-paru tersebut masih normal atau tidak ada gangguan (Hasty, 2011). Hasil pengukuran kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak didapat hasil volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) tertinggi yaitu 145% dan hasil terendah yaitu 45%.

Hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar pekerja bekerja dilokasi yang kadar debu terhirup tidak memenuhi syarat (diatas NAB) sehingga sangat berpotensi terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Kadar debu terhirup merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat diubah. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan terjadinya gangguan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada pekerja secara berkala serta dianjurkan kepada pekerja agar selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa masker.

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja sehingga penggunaannya harus benar dan teratur. APD masker berfungsi untuk melindungi debu atau partikel-partikel yang masuk ke dalam pernapasan, masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu sesuai dengan ukuran debu dimasing-masing lokasi kerja. Untuk ukuran partikel debu yang dihasilkan dari aktivitas bongkar muat barang non kontainer (semen) didalam palka kapal yaitu berukuran >1 mikron. Adapun jenis masker yang dapat digunakan tenaga kerja saat melakukan aktifitas bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota pontianak yaitu masker yang memiliki pori-pori <1 mikron. Sehingga debu terhirup yang dihasilkan pada saat melakukan kegiatan bongkar muat akan tertahan dan tidak ikut masuk kedalam paru-paru.

Debu yang dihirup pekerja sebanyak 3,35 mg/m3 perhari akan sangat berdampak terhadap

paru-paru pekerja. Jika pekerja tersebut aktif bekerja selama satu bulan penuh tanpa istirahat, maka jumlah paparan debu yang masuk ke dalam paru-paru juga semakin banyak. Oleh

karena itu perlu dilakukan memberikan istirahat kerja untuk beberapa hari kepada tenaga kerja secara bergantian untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja.

Hubungan Antara Usia Dengan Kapasitas Vital Paru

Hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,068 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia pekerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006) dengan diperolehnya hasil uji chi square p value 0,015 OR=1,721 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia pekerja dengan kapasitas paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara Usia dengan kapasitas paru yaitu dengan p value 0,037 .

Penelitian ini menjelaskan bahwa usia seseorang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kapasitas vital paru. Usia seseorang dapat mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal paru pada usia anak-anak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut, nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007 dalam Hasty, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki usia lebih dari sama dengan 40 tahun. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara usia dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan sebagian besar pekerja menjaga pola makan sehingga asupan gizi terpenuhi dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

(8)

266 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

Salah satu dari akibat kekurangan asupan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibody sehingga pekerja mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, bersin dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan proses pengeluaran terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, dengan berolahraga secara teratur dapat meningkatkan kondisi tubuh dan mampu mambantu sistem paru-paru bekerja secara maksimal serta dapat menampung oksigen lebih banyak untuk meningkatkan nilai kapasitas paru seseorang.

Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Kapasitas Vital Paru

Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,076 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas paru pada pekerja di gudang pelabuhan belawan dengan p=0,007.

Semakin lama masa kerja, semakin sering seseorang mengalami pemaparan debu sehingga jumlah debu yang dihirup semakin besar Masa kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpapar oleh partikel debu. Semakin lama terpapar partikel debu maka semakin besar resiko terjadinya gangguan kapasitas fungsi paru. Pekerja di lingkungan kerja dengan kadar partikel debu yang tinggi dan waktu yang lama memiliki resiko tinggi terkena penyakit paru masa kerja mempunyai kecendrungan sebagai faktor resiko terjadinya penyakit paru obstruktif pada perja dilingkungan berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009 dalam Tambunan, 2013).

Masa kerja merupakan suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja disuatu tempat. Masa kerja yang dimaksud dalam penellitian ini adalah jangka waktu pekerja mulai menjadi tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak hingga pada waktu penelitian berlangsung. Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang terpajan dengan berbagai sumber

penyakit (debu terhirup) yang dapat mengakibatkan gangguan kapasitas vital paru.

Tenaga kerja yang memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal dapat dipengaruhi oleh kadar debu terhirup di lokasi kerja berada diatas Nilai Ambang Batas (NAB), kebiasaan merokok, serta memiliki riwayat penyakit paru sehingga dapat mempengaruhi nilai kapasitas vital paru seseorang.

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru dapat terjadi karena tenaga kerja menerapkan pola hidup sehat misalnya selalu mengkonsumsi makanan yang bergizi setiap harinya, rutin berolahraga serta sebagian besar mereka masih memiliki umur yang produktif untuk bekerja sehingga masa kerja tidak terlalu mempengaruhi nilai kapasitas paru pekerja.

Dalam penelitian ini, peneliti belum bisa membahas lebih dalam lagi mengenai hubungan masa kerja dengan kapasitas vital paru karena dalam kuesioner masa kerja (riwayat pekerjaan) tidak terdapat pertanyaan untuk menginformasikan kapan pekerja mulai bekerja di IPC TPK Kota Pontianak yaitu mulai dari tanggal, bulan maupun tahun. Oleh karena itu, diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar dalam kuesioner penelitian disertakan waktu mulainya pekerja bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat di IPC TPK Kota Pontianak agar didapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai masa kerja tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Vital Paru

Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value= 1,000 lebih besar dari p value 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari (2013) mengenai hubungan kebiasaan merokok dengan kapasitas paru dapat dilihat dari hasil analisis uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0,827 dimana p > 0,05. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok. Namun hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), yang menyatakan ada hubungan yang

(9)

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 267

bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru dengan p value 0,036.

Kebiasaan merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas serta jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan menimbulkan penurunan pada fungsi paru-paru. Merokok dapat menyebabkan kerusakan pada sistem respirasi dimulai dari saluran udara utama (bronkus), ke saluran udara perifer (bronkiolus) sampai ke alveoli (Milner, 2004 dalam Putri, 2015).

Dari hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan, pekerja yang mulai merokok lebih dari sama dengan 5 tahun sebagian besar memiliki kapasitas paru tidak normal yaitu 16 orang (51,6%). Pekerja yang merokok kurang 5 tahun keseluruhannya rmemiliki kapasitas vital paru normal yaitu sebanyak 9 orang (100%) Sedangkan pekerja yang tidak merokok memiliki kapasitas tidak normal yaitu sebanyak 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja.

Pekerja yang masih merokok kecenderungan memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 24 orang (60%). Tenaga kerja bongkar muat yang memiliki kebiasaan merokok dapat meghabiskan rokok sebanyak 2 hingga 32 batang perhari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pekerja yang merokok lebih dari sama dengan 15 batang perhari (perokok berat) sebagian besar memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal yaitu sebanyak 14 orang (66.7%) dari 21 orang pekerja. Untuk pekerja yang merokok kurang dari 15 batang perhari (perokok ringan) memiliki kapasitas paru normal yairu sebanyak 17 orang (89,5%). Sedangkan untuk pekerja yang tidak merokok memilik kapasitas paru normal yaitu 5 orang (62,5%) dari 8 orang pekerja.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja telah lama memiliki kebiasaan merokok yaitu lebih dari 5 tahun. Sedangkan untuk jumlah rokok yang dikonsumsi perhari berbeda-beda namun banyak diantara tenaga kerja digolongkan sebagai perokok berat yaitu mengkonsumsi rokok >15 batang perhari.

Tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok kurang dari 15 batang perhari dan memiliki kapasitas paru tidak normal dapat diakibatkan karena dipengaruhi oleh usia pekerja yang memiliki kebiasaan merokok

berusia lebih dari 40 tahun sehingga dapat berpengaruh terhadap nilai kapasitas vital paru pekerja dibawah normal. Oleh karena itu, tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya mengurangi atau berhenti merokok agar tidak mempengaruhi nilai kapasitas paru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak memiliki kebiasaan merokok. Namun dalam uji statistik yang dilakukan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru. Hal ini dapat dikarenakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi, misalnya kadar debu terhirup di lokasi kerja yang tidak memenuhi syarat, memiliki masa kerja lama dan riwayat penyakit paru serta kurangnya kesadaran pekerja untuk selalu menggunakan alat pelindung diri pernapasan berupa masker. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Dengan Kapasitas Vital Paru

Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,368 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tenaga kerja yang memiliki riwayat penyakit paru cenderung terjadi gangguan kapasitas vital paru yang tidak normal lebih tinggi (53,8%) dibandingkan dengan tenaga yang tidak memiliki riwayat penyakit paru (34,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2013), mengenai hubungan riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru dengan didapatnya hasil p value = 0,812 atau > 0,05 maka ha ditolak, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit paru dengan kapasitas vital paru.

Riwayat penyakit merupakan keadaan dimana seseorang pernah atau tidak pernah mengalami penyakit saluran pernapasan terhitung pada saat tenaga kerja mulai bekerja di tempat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di lapangan terhadap tenaga kerja bongkar muat barang non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, sebagian besar pekerja yang tidak pernah sakit penyakit paru memiliki kapasitas paru normal yaitu sebanyak 23 orang (65,7%).

(10)

268 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

Dari beberapa pekerja bongkar muat yang diwawancari, penyakit yang berkaitan dengan paru yang pernah diderita selama bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat non container di IPC TPK Kota pontianak diantanya yaitu asma, pneumonia serta batuk pada saat bekerja. Hal ini disebabkan karena banyaknya debu yang beterbangan disekitar area kerja yang dihasilkan dari proses bongkar muat barang.

Menurut Nugroho (2011), mengatakan bahwa faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru adalah adanya riwayat penyakit paru. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Beberapa penyakit infeksi paru akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang.

Hal ini berbeda dengan pernyataan Budiono (2007) mengatakan bahwa seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa penyakit pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan mempercepat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar debu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas vital paru. Tidak ada hubungan antara kedua variabel hal ini dapat disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhinya yaitu kadar debu terhirup yang tidak memenuhi syarat (berada diatas NAB) dilokasi kerja akibat aktivitas bongkar muat barang, pekerja yang memiliki masa kerja lama, serta pekerja memiliki kebiasaan merokok sehingga dapat memperburuk kondisi paru yang dapat menurunkan nilai kapasitas paru pekerja.

Pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit paru namun pada saat dilakukan pemeriksaan didapat hasil bahwa pekerja tersebut positif memiliki kapasitas paru tidak normal, hal ini dapat terjadi karena pekerja sudah lama tidak memeriksakan diri di unit pelayanan kesehatan dan hasil ini diketahui

setelah dilakukan pemeriksaan kapasitas vital paru pada saat dilakukan penelitian sehingga hasil pemeriksaan yang di dapat berbeda dengan hasil wawancara.

Hubungan Antara Penggunaan APD Dengan Kapasitas Vital Paru

Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p value= 0,046 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak.

Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD masker memiliki kecenderungan terjadinya gangguan kapasitas vital paru tidak normal (33,3%) dibandingkan dengan yang menggunakan APD masker (6,3%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilkaukan oleh Mengkidi (2006), Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa penggunaan APD (p value = 0,046; OR= 2,764; secara bersama-sama berpengaruh terhadap kejadian gangguan fungsi paru. Selain itu, hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Tambunan (2013) bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan masker dengan kejadian kapasitas vital paru dimana hasil p value yang didapat yaitu 0,023.

Gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, salah satu faktor penyebabnya adalah lingkungan kerja yang berdebu serta kurangnya kesadaran pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri berupa masker yang dapat mempengaruhi nilai kapasitas paru pakerja. Alat pelindung diri merupakan alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari potensi bahaya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Alat pelindung diri (masker) berfungsi sebagai alat bantu pekerja agar dapat meminimalisir masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan agar terhindar dari gangguan kapasitas paru.

Dari hasil observasi peneliti, sebanyak 65% pekerja tidak menggunakan APD masker saat bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya penggunaan APD masker. Berdasarkan hasil wawancara dan uji statistik yang dilakukan terhadap tenga kerja bongkar muat yang

(11)

Rafita, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 269

menggunakan masker, pekerja yang baru (kurang dari 5 tahun) menggunakan masker yaitu sebanyak 8 orang dan 5 orang (62,5%) diantaranya memiliki kapasitas vital paru normal. sedangkan pekerja yang menggunakan masker dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun) yaitu sebanyak 9 orang dan seluruhnya memiliki nilai kapasitas vital paru normal. Untuk jenis masker yang digunakan oleh pekerja berdasarkan observasi yang dilakukan, seluruh pekerja menggunakan masker yang terbahan kaos, yaitu masing-masing baju pekerja digunakan sebagai masker pada saat melakukan aktivitas bongkar muat barang didalam palka kapal.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan sebagian besar tenaga kerja jarang mengganti atau mencuci masker setelah digunakan. Dimana masker tersebut akan digunakan kembali saat bekerja. Secara tidak langsung, perilaku tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru.

Selain itu, pekerja juga mengaku bahwa dirinya tidak mendapatkan pembagian masker dari perusahaan. Oleh karena itu pekerja hanya menggunakan masker yang berbahan kaos atau sering juga menggunakan baju kaos yang dibalut ke wajah untuk menutupi mulut dan hidung pekerja saat melakukan aktivitas bongkar muat barang non kontainer di dalam palka kapal IPC TPK Kota Pontianak. Dan dari 48 orang tenaga kerja bongkar muat non kontainer, 33 orang pekerja mengaku bahwa penggunaan APD masker sangat mengganggu kenyamanan saat melakukan aktivitas bongkar muat, sehingga sebagian besar pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri berupa masker saat bekerja.

Mengingat ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru terhadap tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak, maka diharapkan kepada pekerja agar selalu menggunakan APD masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang tepat setiap melakukan pekerjaan. Selain itu, penyuluhan dan monitoring terhadap pekerja oleh penanggung jawab tenaga kerja bongkar muat mengenai pentingnya alat pelindung diri (masker) juga sangat diperlukan untuk menurunkan angka kejadian gangguan kapasitas vital paru pekerja.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Ada hubungan antara kadar debu terhirup dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,041.

Tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,068.

Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,076.

Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 1,000.

Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit dengan gangguan kapasitas paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,368.

Ada hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan kapasitas vital paru pada tenaga kerja bongkar muat non kontainer di IPC TPK Kota Pontianak dengan nilai p value 0,046.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan saran antara lain: Bagi perusahaan IPC TPK Kota Pontianak perlu dilaksanakan upaya pencegahan dengan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) terutama masker serta penyediaan fasilitas APD masker yang standar (memenuhi syarat kesehatan). Memberikan istirahat kerja beberapa hari secara bergantian setiap bulannya bagi tenaga kerja bongkar muat untuk mengurangi paparan debu di tempat kerja.

Bagi Pekerja sebaiknya pekerja selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) khususnya masker yang memenuhi syarat serta teknis pemakaian yang baik dan benar ketika bekerja, agar mengurangi resiko terjadinya gangguan kapasitas vital paru.

(12)

270 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.259 - 270

DAFTAR PUSTAKA

Amaliyah, 2013. Hubungan Antara Kadar Debu Dan Kapasitas Paru Pada Karyawan PT Eastern Pearl Flour Mills. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Hasty, Karbella Kuantanades, 2011. Hubungan

Lingkungan Tempat Kerja Dan Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals, Jakarta: Universtas Islam Negeri Hidayatullah

Mukono, J. 2008. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan, Surabaya: Airlangga University.

Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Pada Karyawan PT.

Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan [Tesis]. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Putri, Maulida Wijaya. 2015. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kapasitas Vital Paru. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Suma’mur, 2014. Hiegiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Sagung Seto: Jakarta.

Tambunan, Juni Bonardo Hamonangan, 2013. Hubungan Paparan Partikel debu dan Karakteristik Individu Dengan Kapasitas Paru Pada Pekerja Di Gudang Pelabuhan Belawan (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara.

Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

(13)

271

KUALITAS FISIK DAN BAKTERIOLOGI AIR BERSIH DI

PERMUKIMAN SIANTAN HILIR PONTIANAK UTARA

Rina Maulina, Susilawati dan Khayan

Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail: mauliana_rina@yahoo.com

Abstrak: Kualitas Fisik dan Bakteriologi Air Bersih di Permukiman Siantan Hilir Pontianak Utara. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan desain deskriptif yaitu untuk menggambarkan kualitas fisik dan bakteriologi air bersih di permukiman siantan hilir pontianak utara. Hasil penelitian yang didapat yaitu pada pemeriksaan warna terdapat 15 rumah yang tidak memenuhi syarat, pada pemeriksaan bau terdapat 1 rumah yang tidak memenuhi syarat, pada pemeriksaan rasa terdapat 6 rumah yang tidak memenuhi syarat, dan pada pemeriksaan MPN Coliform terdapat 8 rumah yang tidak memenuhi syarat (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990). Kesimpulan dari penelitian ini adalah dari 30 rumah yang diperiksa 15 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal warna, 1 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal bau, 6 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal rasa dan 8 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam pemeriksaan MPN Coliform.

Kata Kunci: Air Bersih, Diare

Abstract: The Quality of Physical and Bacteriological Clean Water in Settlements Siantan Hilir Pontianak North. This research is an observational with descriptive design to describe the quality of physical and bacteriological clean water in settlements siantan hilir pontianak north. The results of the Research obtained are in color inspection there were 15 homes that do not meet the eligible, the inspection of the smell there is 1 house that is not eligible, in inspection sense there are 6 homes that are not eligible, and in inspection MPN Coliform are 8 homes that is not eligible (Based on the Ministry of Health of the Republic of Indonesia Number: 416/Menkes/Per/IX/1990). The conclusion of this research is of 30 houses inspected 15 homes that do not meet the eligible in terms of color, 1 house that does not eligible in terms of smell, 6 houses that do not meet the eligible in terms of taste and 8 homes that do not eligible in the examination MPN Coliform.

Keywords: Clean Water, Diarrhea

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara. (UU kes. No 36, tahun 2009).

Air merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Tanpa air, tidak satupun manusia dapat bertahan hidup, hal ini dikarenakan hampir 70% dari tubuhnya terdiri dari cairan. Selain itu air juga berpengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup manusia. Suatu lingkungan tidak akan tercipta kebersihan dan kesehatan tanpa tersedianya air. Penduduk yang tinggal di daerah dataran rendah dan berawa seperti di Sumatera dan Kalimantan menghadapi kesulitan memperoleh air bersih untuk keperluan rumah tangga, terutama air minum. Hal ini karena sumber air di daerah tersebut adalah air gambut yang berdasarkan

(14)

272 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.271 - 274

parameter baku mutu air tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Dengan kata lain makin banyak air yang tersedia dengan kualitas yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya (Sutrisno, 2004).

Pemenuhan kebutuhan air bersih dapat diperoleh dari sumber-sumber seperti perlindungan mata air, perpipaan, penampungan air hujan, terminal air, sumur pompa tangan dalam, sumur pompa tangan dangkal, sumur gali dan sebagainya dan ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, penyediaan air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Masyarakat diharapkan agar senantiasa memperhatikan kondisi air yang akan dikonsumsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat tentang penyediaan air bersih di Indonesia saat ini secara kuantitas yaitu air bersih sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan secara terus menerus dan secara tidak langsung akan menyebabkan timbulnya penyakit akibat air bersih salah satunya adalah penyakit diare.

Data yang di dapat dari Dinas Kota Pontianak tentang kasus penyakit diare di Pontianak Utara adalah sebagai berikut, pada puskesmas telaga biru di tahun 2012 terdapat 156 jiwa, tahun 2013 201 jiwa dan tahun 2014 10 jiwa, pada puskesmas siantan hulu di tahun 2012 terdapat 390 jiwa, tahun 2013 1.256 jiwa dan tahun 2014 670 jiwa, pada puskesmas siantan tengah pada tahun 2012 terdapat 252 jiwa, tahun 2013 627 jiwa dan tahun 2014 230 jiwa, pada puskesmas siantan hilir di tahun 2012 terdapat 1.472 jiwa, tahun 2013 4.007 dan tahun 2014 2.947 jiwa, dan pada puskesmas khatulistiwa di tahun 2012 terdapat 280 jiwa, tahun 2013 298 jiwa dan tahun 2014 222 jiwa.

Jadi dari 3 tahun terakhir angka penyakit diare tertinggi di Pontianak Utara yaitu pada Puskesmas Siantan Hilir pada tahun 2013. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah metode penelitian bersifat observasional dengan desain deskriptif yaitu untuk menggambarkan kualitas fisik dan bakteriologi air bersih berhubungan dengan kejadian diare di permukiman siantan hilir pontianak utara.

HASIL

Tabel 1. Rekapitulasi Pemeriksaan Warna (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Frekuensi /Jumlah Rumah % 1. Memenuhi syarat 15 50% 2. Tidak memenuhi syarat 15 50% Jumlah 30 100%

Berdasarkan tabel 1 di atas dari 30 rumah yang diperiksa ada 15 rumah yang tidak memenuhi syarat.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium air yang tidak memenuhi syarat yaitu mendapatkan hasil yang bebeda-beda sedangkan air yang didapat dari sumber yang sama yaitu air PDAM. Hal yang membuat hasil air tersebut berbeda-beda karena disetiap rumah ada saluran perpipaannya tidak dibersihkan dan menjadi kotor, jug disebabkan oleh sebelum penyaringan permintaan distribusi air sudah dialirkan, kebocoran pipa diperjalanan PDAM sehingga kotorannya masuk kedalam saluran air PDAM dan disebabkankan oleh kadar besi yang tinggi dan tidak larut di air sehingga air yang diambil menjadi berwarna kuning.

Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta tumbuh-tumbuhan. Warna pada air disebabkan oleh adanya bahan kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut di dalam air. Warna yang disebabkan bahan-bahan kimia disebut apparent color yang berbahaya bagi tubuh manusia. Warna yang disebabkan oleh mikroorganisme disebut true color yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Air yang layak digunakan harus jernih dan tidak berwarna. PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 menyatakan bahwa batas maksimal warna air yang layak digunakan adalah 50 skala TCU. Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan organik dan anorganik, kekeruhan juga dapat mewakili warna. Sedang dari segi estetika kekeruhan air dihubungkan dengan kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan sedang warna air tergantung pada warna buangan yang memasuki badan air.

(15)

Rina, dkk, Kualitas Fisik dan Bakteriologi... 273

Tabel 2. Rekapitulasi Pemeriksaan Bau (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Frekuensi/ Jumlah Rumah % 1. Memenuhi syarat 29 97% 2. Tidak memenuhi syarat 1 3% Jumlah 30 100%

Berdasarkan tabel 2 di atas didapat satu rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu bau pada air kolam.

Hal ini ditandai dengan bau seperti bau tanah pada air tersebut. Letak kolam tersebut tidak jauh dari tempat pencucian pakaian dan pencucian piring. Hal ini yang mengakibatkan air kolam tersebut menjadi bau karena aliran bekas air cucian pakaian dan cucian piring dapat merembes masuk kedalam air kolam dan disebabkan karena kolam tidak dapat berhubungan langsung dengan udara bebas, dan terkadang sumber air tanah mengalir dari tempat-tempat pembuangan sampah dari lokasi lain.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

416/MENKES/PER/IX/1990 yang

diperbolehkan dalam hal bau yang memenuhi syarat adalah tidak berbau.

Tabel 3. Rekapitulasi Pemeriksaan Rasa Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam) No Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Frekuensi/ Jumlah Rumah % 1. Memenuhi syarat 24 80% 2. Tidak memenuhi syarat 6 20% Jumlah 30 100%

Berdasarkan tabel 3 diatas didapatkan hasil ada beberapa rasa yang tidak memenuhi syarat air bersih yaitu 5 rumah yang menggunakan air PDAM berasa payau sedikit keasinan dan 1 rumah yang menggunakan air kolam berasa kelat atau pekat.

Penyebab rasa payau keasinan pada air PDAM disebabkan oleh karena PDAM menggunakan air sungai sebagai air bakunya yang terkadang berasa payau dan asin karena sedikit terampur air laut dan rasa kelat atau pekat pada air kolam disebabkan oleh

masuknya air limbah rumah tangga kedalam air kolam dinetralisirkan dengan kombinasi saringan pasir dan karbon.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

416/MENKES/PER/IX/1990 yang

diperbolehkan dalam hal rasa yang memenuhi syarat adalah tidak berasa.

Ada berbagai macam cara sederhana yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan air bersih, dan cara yang paling umum digunakan adalah dengan membuat saringan air, dan bagi kita mungkin yng paling tepat adalah membuat penjernih air atau saringan air sederhana. Perlu diperhatikan, bahwa penyaringan air secara sederhana tidak dapat menghilangkan sepenuhnya garam yang terlarut di dalam air. Tabel 4. Rekapitulasi Pemeriksaan MPN

Coliform (Air Hujan, Air PDAM dan Air Kolam)

No Memenuhi syarat/ Tidak memenuhi syarat Frekuensi/ Jumlah Rumah % 1. Memenuhi syarat 22 73% 2. Tidak memenuhi syarat 8 27% Jumlah 30 100%

Berdasarkan tabel 4 diatas mengenai kualitas air besih dalam pemeriksaan MPN Coliform didapatkan hasil dari 30 rumah yang diperiksa terdapat 8 rumah yang tidak memenuhi syarat, yaitu 5 rumah yang menggunakan air hujan dan 3 rumah yang menggunakan air PDAM (MPN Coliform 50 mPN/100ml).

Hasil yang terdapat di air hujan tersebut sangat tinggi dan melebihi batas kadar maksimum yang telah ditentukan hal ini disebabkan karena warga yang menggunakan air hujan tersebut menampung air hujan melalui atap rumah yang berupa seng dan tempat penampung air hujan tersebut berupa tempayan yang tidak tertutup. Kontaminasi bakteri Coliform dapat terjadi dari kotoran binatang (kotoran burung dan atau kucing yang berada di atap) dan debu jalan yang berada di atas atap, dapat dipastikan bakteri yang dari kotoran tersebut masuk ke air hujan, maka air hujan tersebut akan terkontaminasi bakteri Coliform. Oleh sebab itu, air hujan yang bersentuhan dengan atap memiliki tingkat kontaminasi yang lebih tinggi. Saat menghadapi kondisi hujan, sangat besar kemungkinan tubuh, tangan,

(16)

274 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.271 - 274

ataupun kaki bersentuhan dengan air hujan yang telah mengalir dari atap maupun permukaan kotor lainnya. Terkait dengan kandungan air hujan tersebut, risiko kesehatan juga membayangi penduduk yang masih bertumpu pada tampungan air hujan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (khususnya yang dialirkan lewat pinggiran atap), dan pada air PDAM terdapat hasil kurang lebih seperti air hujan disebabkan oleh saluran perpipaan yang tidak dibersihkan dan menjadi kotor dan dapat disebabkan oleh kebocoran pipa.

SIMPULAN

Hasil survei dan penelitian yang dilakukan di Permukiman Siantan Hilir, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Dari 30 rumah yang diperiksa ada 15 rumah yang tidak memenuhi syarat dalam hal warna. 15 rumah yang tidak memenuhi syarat tersebut yaitu 14 rumah warga yang

menggunakan air PDAM dan 1 rumah warga yang menggunakan air kolam.

Dari 30 rumah yang diperiksa terdapat satu rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu bau pada air kolam.

Dari 30 rumah yang di periksa terdapat 6 rumah menggunakan air yang berasa payau sedikit asin dan berasa kelat atau pekat (5 rumah menggunakan air PDAM dan 1 rumah yang menggunakan air kolam)

Dari 30 rumah yang diperiksa yang tidak memenuhi syarat MPN Coliform ada 8 rumah yang tidak memenuhi syarat (5 rumah yang menggunakan air hujan dan 3 rumah yang menggunakan air PDAM).

Instansi terkait disarankan untuk menyusun rancangan kerja tentang pembinaan peran serta masyarakat dalam hal penyediaan air bersih oleh Dinas Kesehatan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya memiliki penyediaan air bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.416/MENKES/

PER/IX/1990, tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

Sutrisno, 2004. Pengertian air bersih. di unduh dari https://www.scribd.com/doc/804435 11/ Definisi-Air-Dan-Pengertian-Air-Bersih

Undang-undang Kesehatan No. 36, 2009. Tentang Kesehatan.

(17)

275

GAMBARAN PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MEDIS DI

RUMAH SAKIT TK.II KARTIKA HUSADA KABUPATEN

KUBU RAYA

Desi Juliannur, Sunarsieh dan Aryanto Purnomo Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak

E-mail: Desijuliannur94@gmail.com

Abstrak: Gambaran Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya. Jenis Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan observasi. Analisis data dengan cara membandingkan hasil yang diamati dengan persyaratan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/2004. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengelolaan limbah padat medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya dari tahap minimisasi belum memenuhi syarat kesehatan, tahap penimbulan limbah medis yang menghasilkan ± 18,5 kg/hari, tahap pemilahan dan pewadahan belum memenuhi syarat kesehatan, tahap pengumpulan dan pengangkutan belum memenuhi syarat kesehatan, dan tahap pemusnahan dan pembuangan akhir sudah memenuhi syarat kesehatan.

Kata Kunci: Kartika Husada, Limbah Padat Medis

Abstract: The Describe of Medical Solid Waste Management at The Hospital Tk.II Kartika Husada Kubu Raya. The type of the research is descriptive observation. Analysis of the data by comparing the results observed with the requirements Kepmenkes 1204/Menkes/SK/2004. The results of this research concluded that medical solid waste management at the Hospital Tk.II Kartika Husada Kubu Raya district of minimization stage do not meet the health requirements onset phase of medical waste that produces ± 18.5 kg / day, the stage of sorting and lug yet qualified health, the stage of collection and transport do not meet the health requirements, and decommissioning and disposal have been complied with health standards.

Keywords: Kartika Husada, Medical Solid Waste

Rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Rumah sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan menghasilkan timbulan limbah padat. Limbah padat yang dihasilkan berupa limbah padat medis dan non medis. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat (2014) diungkapkan seluruh rumah sakit di Kubu Raya berjumlah 3 buah rumah sakit, yaitu Rumah sakit Tk.II

Kartika Husada, Rumkit Lanud Supadio, dan RSIA Anugrah. Rumah sakit TK. II Kartika Husada merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 135 buah dan jumlah kunjungan pasien 24.436 orang pertahun, sedangkan rumah sakit Lanud Supadio merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 27 buah dan jumlah pasien 230 orang pertahun, sementara itu RSIA Anugrah merupakan rumah sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur 35 buah dan jumlah pasien 600 orang pertahun. rumah sakit yang menghasilkn limbah padat medis terbanyak dapat dilihat dari jumlah tempat tidur dan kunjungan pasien, semakin banyak tempat tidur dan kunjungan pasien maka semakin besar pula limbah padat medis yang dihasilkan.

(18)

276 Sanitarian, Volume 8 Nomor 3, Desember 2016, hlm.275 - 279

Pada proses pengelolaan limbah padat medis dijumpai ketidaksesuaian pada tahap minimisasi tidak dilakukan daur ulang, pada tahap penimbulan tidak dilakukan penimbangan limbah padat medis setiap hari, pada tahap pengangkutan yang terlihat tidak memiliki troli khusus yang tertutup dan tempat penampungan sementara tidak memiliki pintu, dan pada tahap pewadahan tidak dilakukan desinfektan apabila dipergunakan kembali. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitan Deskriptif dengan pendekatan observasi yaitu menggambarkan suatu keadaan dalam waktu yang bersamaan dan tanpa mengadakan pengaturan atau manipulasi terhadap variabel yang di teliti, variabel dilihat sebagai mana adanya. Alat ukur menggunakan kuesioner dan checklist yang digunakan untuk mewawancarai responden dan pengamatan langsung terhadap pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya. HASIL

Tabel 1. Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Tahap Penimbulan

No. Ruangan Sumber Limbah Padat Medis

Hasil Penimbangan

(kg/hari) 1 Instalasi Rawat Jalan 4 kg/hari 2 Instalasi Rawat Inap 6,1 kg/hari

3 UGD 3 kg/hari

5 Kamar Operasi/bedah 2,2 kg/hari 6 Ruang Laboraturium 1 kg/hari 7 Instalasi Kebidanan 1,2 kg/hari 8 Instalasi Farmasi 1 kg/hari

Total Hasil Penimbangan ± 18,5 kg/hari Berdasarkan tabel 1 Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Kabupaten Kubu Raya menghasilkan limbah padat / hari ± 18,5 kg/hari dari 27 ruangan, hasil yang didapatkan dengan menimbang dan mengambil data wawancara kepada penanggung jawab pengelola limbah rumah sakit.

Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis Di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Minimisasi

Pada tahap minimisasi belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 71% (< 80%) yaitu belum melakukan pengurangan limbah dan daur ulang limbah dan tidak ada penimbangan dan pencatatan jumlah limbah yang dihasilkan dari setiap ruangan.

Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pemilahan Dan Pewadahan

Pada tahap pemilahan dan pewadahan belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan mencapai 75% (< 80%) yaitu tidak melakukan disinfektan pada pewadahan apabila dipergunakan kembali. Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pengumpulan dan Pengangkutan

Pada tahap pengumpulan dan pengangkutan sementara belum memenuhi syarat karena persentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 50% (< 80%) yaitu tidak menggunakan troli khusus pengangkutan tetapi menggunakan gerobak angkut pasir yang terbuka, pada saat pengangkutan limbah padat medis dan non medis di angkut secara bersamaan, dan tempat pengumpulan sementara tidak memiliki pintu sehingga mudah di jangkau manusia dan mudah dimasuki oleh vektor penganggu.

Proses Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit TK.II Kartika Husada Pada Tahap Pemusnahan dan Pembuangan Akhir

Pada tahap pemusnahan atau pembuangan akhir sudah memenuhi persyaratan karena pesentase kegiatan yang dilaksanakan baru mencapai 100% (< 80%)

Gambar

Tabel 1.  Pengelolaan  Limbah  Padat  Medis   Di  Rumah  Sakit  TK.II  Kartika  Husada Tahap Penimbulan
Tabel 2. Rekapitulasi Data
Tabel 2.  Distribusi  Jumlah  dan  Rata-rata  Nyamuk Aedes aegypti yang hinggap  pada  ekstrak  daun  salam  40%
Tabel 7.  Hasil Uji Anova
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru perlu mengerti tentang pentingnya peta konsep dalam proses belajar dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali tentang apa saja yang mereka

Tanaman sela dari jenis kacang-kacangan (kedelai dan kacang hijau) di antara tanaman jarak pagar yang sudah direhabilitasi pada tahun kedua memberikan hasil biji

Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan pada sebagian besar wilayah daerah penyangga atau yang berbatasan langsung dengan TNGHS dengan peruntukan bagi tanaman

Keberadaan masjid di sisi barat dan bangunan penting lain di sekitar alun-alun tersebut menurut Lisa Dwi Wulandari terkait dengan konsep alun-alun sebagai upaya untuk memadukan

Saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Faktor-faktor yang Membentuk Intensi Berwirausaha serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku dan Kinerja Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor adalah

Pengertian Pedagogical Content Knowledge (PCK) menurut Shulman (1986) adalah gabungan dari ilmu pedagogik dan konten materi, yaitu tentang bagaimana seorang pendidik

Selain itu, pertimbangan hukumnya adalah Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatakan Presiden dapat mengangkat wakil

Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa perpindahan dari layanan personal ke self- service technology mempunyai efek yang negatif terhadap ikatan sosial dalam