HUBUNGAN ANTARA PARENTAL BELIEF DAN
KEMAMPUAN BAHASA EKSPRESIF ANAK SINDROM
DOWN USIA 3 SAMPAI 8 TAHUN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh : Sekar Aini Zahroh NIM 11160184000033
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020
iv ABSTRAK
Sekar Aini Zahroh 11160184000033. Hubungan Antara Parental Belief dan Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom Down Usia 3 Sampai 8 Tahun
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara parental belief terhadap kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down usia 3 sampai 8 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasi dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 94 orang. Pengumpulan data menggunakan instrumen angket dengan bentuk ceklis yang disajikan menggunakan aplikasi Google Form. Untuk menguji hipotesis yang diajukan, peneliti menggunakan uji korelasi Product Moment dengan hasil untuk hipotesis pertama yaitu antara variabel parental belief dan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down menunjukkan nilai r hitung < r tabel (0,200 < 0,248) dengan taraf signifikansi < 0,05 (0,115 > 0,05) dan nilai koefisien determinasi sebesar 4%. Ini menunjukkan bahwa pada variabel parental belief dan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down tidak terjadi hubungan yang signifikan..
Kata kunci: parental belief, orang tua, kemampuan bahasa ekspresif, sindrom down
v ABSTRACT
Sekar Aini Zahroh 11160184000033. The Relationship of Parental Belief to
Expressive Language Skills of Children with Down Syndrome Aged 3 to 8 Years
The purpose of this study was to see whether there is a positive and significant relationship between parental belief on the expressive language skills of children with down syndrome aged 3 to 8 years. The research method used is a research method with a quantitative approach. The research sample was taken using purposive sampling technique with a total of 94 respondents. Data collection uses a questionnaire instrument in the form of a checklist which is presented using the Google Form application. To test the proposed hypothesis, the researcher used the Product Moment with the results for the first hypothesis, between the variable parental belief and the expressive language ability of the child with the syndrome, which shows the value of r count <r table (0.200 <0.248) with a significance level of <0.05 (0.115). > 0.05) and the coefficient of determination is 4%. This shows that the variables of parental belief and expressive language skills of Down syndrome children do not have a significant relationship.
Keywords: parental belief, authoritative parenting, expressive language ability, down syndrome
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Hubungan Antara Parental Belief dan Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom Down Usia 3 Sampai 8 Tahun” dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Anak Usia Dini di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kesulitan dan hambatan dalam pengerjaannya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Dr. Sururin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Siti Khadijah, MA selaku Ketua Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Miratul Hayati, M. Pd selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini
4. Yubaedi Siron, M. Pd sebagai Dosen Pembimbing yang meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk dalam proses menyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu yang sudah diberikan selama proses perkuliahan dan selama proses pengerjaan skripsi.
5. Desmaliza, M.Ed selaku Dosen Pembimbing Akademik. Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, arahan dan motivasi yang diberikan selama proses perkuliahan.
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini yang telah menyampaikan ilmunya kepada penulis selama proses perkuliahan. 7. Seluruh Kantor Cabang PIK POTADS Indonesia yang telah memberikan
Penulis ucapkan terimakasih untuk doa dan semangat yang telah diberikan selama proses penelitian berlangsung.
8. Terimakasih yang tidak terhingga untuk seluruh anggota keluarga terutama kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Taufik Hidayat dan Ibu Imas Maesaroh yang telah mendukung dan mendoakan penulis secara langsung maupun tidak langsung.
9. Terimakasih untuk teman-teman jurusan PIAUD UIN Jakarta Angkatan 2016 yang telah memberikan dukungan dan semangat ketika proses penyusunan skripsi ini.
10. Terimakasih kepada Keluarga Besar Paguyuban KSE UIN Jakarta, yang telah memberikan beasiswa untuk penulis selama perkuliahan dan memberikan keluarga baru yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi.
Jakarta, 8 September 2020 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Identifikasi Masalah ... 6 C. Batasan Masalah ... 7 D. Rumusan Masalah ... 7 E. Tujuan Penelitian ... 7 F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 9
A. Belief Systems ... 9
B. Perkembangan Bahasa Anak ... 15
1. Hakikat Perkembangan Bahasa Anak ... 15
2. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa Anak ... 17
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak ... 18
4. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak ... 20
C. Sindrom Down... 20
1. Definisi Sindrom Down ... 20
2. Karakteristik Sindrom Down ... 22
3. Perkembangan Bahasa Ekspresif pada Anak Sindrom Down ... 23
4. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom down ... 26
D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 28
E. Kerangka Berpikir ... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 13
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
1. Tempat Penelitian ... 13
2. Waktu ... 13
B. Metode dan Variabel Penelitian ... 42
1. Metode Penelitian ... 42
2. Variabel Penelitian ... 42
C. Populasi dan Sampel... 42
1. Populasi ... 42
2. Sampel ... 43
D. Teknik Pengumpulan Data ... 43
1. Variabel Parental Belief ... 44
2. Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom down ... 47
E. Teknik Analisis Data ... 51
F. Hipotesis Statistik ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59
A. Deskripsi Data ... 59
1. Analisis Data Responden ... 59
2. Statistik Deskriptif ... 58
B. Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 59
1. Uji Prasyarat ... 59
2. Uji Hipotesis ... 61
C. Pembahasan Penelitian ... 64
D. Keterbatasan Penelitian ... 66
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 75
A. Simpulan ... 75
B. Implikasi ... 75
C. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 76
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Timeline Penelitiann ………... 41
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Variabel Parental Belief ………...45
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Variabel Parental Belief ………... 46
Tabel 3.4 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Parental Belief ………... 47
Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif ……...48
Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif ……...49
Tabel 3.10 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif ….... 51
Tabel 3.11 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Product Moment ... 53
Tabel 4.1 Jumlah Distribusi Angket ... 57
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Deskripstif ... 58
Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas ... 59
Tabel 4.4 Hasil Uji Linearitas Variabel X1 dan Y ... 61
Tabel 4.5 Hasil Uji Linearitas Variabel X2 dan Y ... 62
Tabel 4.6 Hasil Uji Linearitas Variabel X1 dan X2 ... 62
Tabel 4.7 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Product Moment ... 64
Tabel 4.8 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Product Moment ... 64
Tabel 4.9 Hasil Uji Hipotesis Analisis Korelasi Variabel X1 dengan Y dan X2 dengan Y ... 66
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian dan Lembar Observasi Variabel Parental Belief
Lampiran 3 Kisi-kisi Instrumen, Lembar Observasi dan Rubrik Asessmen Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif
Lampiran 4 Hasil Uji Validitas Variabel Parental Belief
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif Lampiran 6 Tabel Nilai r Product Moment
Lampiran 7 Tabulasi Data Variabel Parental Belief
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki berbagai ciri-ciri, salah satunya adalah tumbuh dan berkembang. Setiap individu pada umumnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya, sehingga individu tersebut berkembang secara normal. Namun hal ini tidak berlaku untuk individu yang dilahirkan dengan beberapa kebutuhan khusus. Mereka membutuhkan pelayanan khusus agar tahap perkembangannya tetap berjalan walaupun terhitung lambat jika dibandingkan dengan individu lainnya. Hal ini karena anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan. Hambatan tersebut dapat
berupa perkembangan intelegensi, perkembangan sosial atau
perkembangan fisik. Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita dengan karakteristik sindrom down.
Sindrom down merupakan kondisi retardasi atau keterbelakangan mental yang disebabkan oleh kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 (trisomi 21). Jika manusia pada umumnya memiliki 2 kromosom pada kromosom ke 21 dengan total 46 kromosom, maka anak dengan sindrom down memiliki 3 kromosom. Sehingga anak dengan
sindrom down memiliki total 47 kromosom.1 Anak dengan sindrom down
memiliki ciri-ciri khusus seperti profil muka yang datar, bentuk mata yang cenderung ke atas, lidah yang cukup besar, terdapat lipatan pada dalam
ujung mata dan memiliki bentuk daun telinga yang abnormal2. Ciri-ciri ini
membuat anak dengan sindrom down memiliki bentuk wajah yang sangat khas.
1
James N. Parker, Down Syndrome: A Bibliography and Dictionary for Physicians, Patients, and Genome Researchers, ed. oleh Phillips M. Parker (San Diego: ICON Group International, Inc., 2007), hal. 7.
2
InfoDATIN Kementerian Kesehatan RI, “Antara Fakta dan Harapan: Sindrom Down” (Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2019), hal. 1 <www.kemkes.go.id>.
Kasus kelahiran anak dengan sindrom down di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, terdapat 0,12 persen kasus sindrom down pada anak usia 24 sampai 59 bulan. Pada Riskesdas tahun 2013 angka tersebut meningkat menjadi 0,13 persen dan terus meningkat hingga tahun 2018
mencapai angka 0,21 persen3. Kemungkinan kelahiran anak dengan
sindrom down adalah 1 dari 800 hingga 1000 kelahiran yang terjadi. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kelahiran anak dengan sindrom down. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, usia ibu yang semakin bertambah memiliki resiko yang tinggi untuk
melahirkan anak dengan sindrom down.4 Walaupun tidak seluruh
kelahiran dengan usia ibu yang bertambah melahirkan anak dengan sindrom down.
Anak dengan sindrom down memiliki beberapa gangguan fungsi bawaan yang disebabkan oleh kelainan genetik yang dialaminya. Selain itu, akibat kelainan genetik ini, anak dengan sindrom down memiliki tingkat intelegensi yang rendah, memiliki resiko kelainan jantung bawaan, gangguan pencernaan, gangguan pendengaran dan beberapa gangguan
fungsi bawaan lainnya.5 Menurut Phillips anak sindrom down memiliki
keterbatasan intelegensi yang ditandai dengan IQ 70 atau bahkan lebih rendah. Defisit kemampuan intelegensi ini cenderung mengganggu perkembangan fungsi yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti keterampilan komunikasi, keterampilan sosial, keterampilan
akademik dan kemandirian.6 Phillips juga menambahkan bahwa individu
yang mengalami keterbatasan intelegensi mengalami keterlambatan dalam
3
InfoDATIN Kementerian Kesehatan RI, hal. 1.
4
Centers for Disease Control and Prevention, “Facts about Down Syndrome,” www.cdc.gov, 2019 <https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/downsyndrome.html> [diakses 2 Januari 2020].
5 James N. Parker, hal. 3. 6
B Allyson Phillips, “A Comparison of Parenting Dimensions between Mothers of Children with Down Syndrome and Mothers of Typically Developing Children,” Ouachita Baptist University, 2014, hal. 31 <scholarlycommons.obu.edu>.
perkembangan, namun tidak semua individu yang mengalami
keterlambatan perkembangan memiliki keterbatasan intelegensi.7
Menurut Oliver, keterbatasan intelegensi anak sindrom down dipengaruhi oleh kemampuan memori pendengaran yang berkaitan dengan memori jangka pendek. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kemampuan
untuk mengulang kata-kata yang sudah didengar sebelumnya.8 Sejalan
dengan Oliver, menurut Rondal dalam Nur Indah, bahwa pada anak sindrom down yang berusia dibawah satu tahun, memiliki perkembangan bahasa yang cenderung lambat. Hanya beberapa kosakata yang dapat dilafalkan, karena anak sindrom down memiliki masalah dalam pelafalan. Anak sindrom down lebih merasa sulit ketika diperintahkan untuk meniru
sebuah kosakata daripada melafalkan secara spontan.9
Roberts dalam Oliver mengungkapkan bahwa keadaan anak dengan sindrom down yang mempengaruhi perkembangan bahasa adalah otitis media atau kondisi infeksi pada telinga bagian bawah, lebih tepatnya
pada rongga dibelakang gendang telinga.10 Akibat dari otitis media ini,
anak sindrom down kehilangan fungsi pendengaran sebesar 25-55 dB dari
suara yang diperdengarkan.11 Kondisi ini memberikan efek pada
kemampuan pendengaran anak sindrom down, sehingga kemampuan bahasa pada anak semakin berkurang mengingat tingkat intelegensi yang sudah rendah. Selain itu, anak sindrom down memiliki masalah fonologi pada organ wicara, seperti rongga mulut yang terlalu sempit sehingga menyulitkan lidah untuk menghasilkan suara, lidah menjulur atau
langit-langit mulut yang pendek.12 Akibat dari kondisi ini, anak dengan sindrom
down memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa, yaitu bahasa ekspresif.
7
Phillips, hal. 31.
8 Colleen D Oliver, “Down Syndrome And Language Development,” Southearn Illinois University
Carbondale, 2012, hal. 2 <opensiuc.lib.siu.edu>.
9
Rohmani Nur Indah, Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar, (Malang: UIN Maliki Press, 2017), XV, hal. 165.
10
Oliver, hal. 3.
11
Rohmani Nur Indah, XV, hal. 165.
12
Kemampuan berbahasa merupakan keterampilan dasar pada manusia, hal ini berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi. Melalui
komunikasi, kita dapat mengontrol kehidupan, karena dapat
menyampaikan apa yang kita inginkan dan apa yang kita pikirkan. Pada perkembangan bahasanya, anak sindrom down memiliki kesulitan dalam menyusun sebuah kalimat sebagai respon dari lawan bicaranya. Namun dalam percakapan, anak sindrom down sudah memahami pergantian giliran untuk merespon, kelemahannya adalah anak sindrom down tidak
bisa mengekspresikannya dengan tutur kata secara langsung.13
Menurut penelitian yang dilakukan oleh M. Lutfi Baihaqi terkait pola penyimpangan fonologi yang dialami oleh anak sindrom down, bahwa setiap individu memiliki pola penyimpangan fonologi yang berbeda, tergantung tingkat intelegensi dan lingkungan di sekitarnya. Penyimpangan fonologis ini dapat dipulihkan melalui tahap pelatihan, dimana tahap pelatihan tersebut dibutuhkan adanya dukungan dari
lingkungan sekitarnya.14 Karena pada dasarnya anak belajar dari
lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga.
Perkembangan bahasa anak tidak lepas dari peran orang tua sebagai lingkungan yang terdekat. Orang tua memiliki kesempatan untuk mengintervensi kemampuan bahasa anak sindrom down. Menurut Martin dalam Oliver, beberapa teknik yang dapat membantu perkembangan bahasa anak sindrom down dapat dilakukan dengan dibantu oleh lingkungan keluarga dan pendidikan orang tua mengenai cara menanggapi dengan tepat ketika anak sindrom down mulai menunjukkan
perkembangan bahasa ekspresifnya.15 Pada praktik ini, orang tua memiliki
tugas untuk fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh anak dan meresponnya, agar bahasa ekspresif anak sindrom down terlatih dan berkembang. Karena sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
13 Rohmani Nur Indah,
XV, hal. 166.
14
M. Luthfi Baihaqi, “Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Down Syndrome di SLB C Negeri 1 Yogyakarta,” Widyariset, 14.1 (2011), 153–62 (hal. 153).
15
Kochanska dalam Ester Cohen, bahwa perilaku orang tua mempengaruhi
perkembangan dan penyesuaian anak dengan lingkungannya.16 Sehingga,
sikap responsif yang dilakukan orang tua dapat memberikan dukungan dan pengaruh pada proses perkembangan anak, salah satunya adalah perkembangan bahasa.
Hal ini berkaitan dengan pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua di rumah. Orang tua memiliki hak untuk memilih pola asuh yang akan diterapkan untuk mendidik anaknya. Pola asuh adalah interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua memberikan motivasi agar anak dapat menjadi anak yang mandiri, tumbuh dan berkembang secara optimal dan
memiliki rasa percaya diri.17 Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
akan berpengaruh pada karakteristik dan berbagai aspek perkembangan anak. Pada dasarnya anak akan mengikuti, mencontoh dan meniru setiap perilaku yang dilakukan oleh orang tua. Seperti bertutur kata, bersikap, menanggapi dan memecahkan masalah, mengungkapkan perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak yang baik
bagi perkembangan anak, begitu juga sebaliknya.18
Penerapan pola asuh sejalan dengan keyakinan orang tua terhadap anaknya. Karena keyakinan dari orang tua pada anak akan berpengaruh pada pola asuh yang akan diterapkan dan perilaku orang tua dalam menghadapi permasalahan di rumah, seperti konflik saudara kandung dan pemberian aturan. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan dan
penyesuaian anak.19 Belief orang tua memiliki keterkaitan dengan perilaku
orang tua. Belief, sikap dan pola asuh, serta pendidikan yang dimiliki oleh orang tua akan mempengaruhi seluruh perkembangan anak. King et al, berpendapat bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
16
Esther Cohen, “Parental Belief Systems and Difficulties in Parenting: Using the Parental Awareness Scheme As A Therapeutic Guide,” Journal of Infant, Child, and Adolescent Psychotherapy, 3.2 (2004), 252–69 (hal. 254) <https://doi.org/10.1080/15289160309348464>.
17 AI. Tridhonanto, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2014), hal. 5.
18
AI. Tridhonanto, hal. 5.
19
dapat memperoleh kembali kendali atas keadaan mereka serta makna dalam hidup. Orang tua dapat memperoleh makna dalam hidup dengan
melihat kontribusi positif anak20. Kontribusi positif anak berupa
aspek-aspek perkembangannya dapat distimulasi dengan optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh King et al pada beberapa orang tua yang memiliki anak sindrom down, bahwa memiliki anak sindrom down membuat orang tua lebih sadar dengan keyakinan mereka serta memeriksa
kembali nilai-nilai kehidupan yang diterapkan keluarga.21. Ketika orang tua
sadar dengan nilai-nilai kehidupan yang akan diterapkan di rumah, hal ini berpengaruh pula pada pola pengasuhan. Seluruh aspek perkembangan termasuk perkembangan bahasa ekspresif pada anak sindrom down akan berkembang secara optimal apabila orang menyadari akan keyakinan mereka sebagai orang tua yang memiliki anak sindrom down.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mendalami terkait “Hubungan Antara Parental Belief dan Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom down Usia 3-8 Tahun”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis susun, maka identifikasi masalah pada penelitian ini adalah :
1. Anak dengan sindrom down memerlukan pembimbingan yang berkelanjutan
2. Perkembangan kognitif anak sindrom down cenderung lambat sehingga menghasilkan pola komunikasi yang kurang efektif
3. Kurangnya kesadaran orang tua terhadap tumbuh kembang anak sindrom down
4. Orang tua cenderung kurang siap ketika memiliki anak dengan sindrom down
20 Gillian King dkk., “Belief systems of families of children with autism spectrum disorders or
Down syndrome,” Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 24.1 (2009), 50–64 (hal. 2) <https://doi.org/10.1177/1088357608329173>.
21
5. Resiko kelahiran anak dengan sindrom down tinggi ketika usia ibu semakin bertambah
6. Angka kelahiran anak dengan sindrom down semakin meningkat 7. Stimulasi untuk perkembangan bahasa ekspresif pada anak dengan
sindrom down perlu ditingkatkan
8. Orang tua cenderung kurang yakin dengan kemampuan yang dimiliki anak sindrom down
9. Orang tua cenderung kurang memahami potensi yang dimiliki anak sindrom down
C. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan parental belief yang dimiliki orang tua dengan anak sindrom down. Variabel ini memiliki kemungkinan pengaruh yang besar pada kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down usia 3 s.d 8 tahun.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah terkait hubungan antara parental belief dan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
Adakah hubungan yang positif antara parental belief dan perkembangan bahasa ekspresif anak sindrom down?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara parental belief dan perkembangan bahasa ekspresif anak sindrom down usia 3 sampai 8 tahun
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek, yaitu :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak positif sebagai literasi tambahan terkait hubungan antara parental belief dan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : a. Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pengetahuan tambahan bagi orang tua yang memiliki anak sindrom down untuk memperbaiki belief yang dimiliki orang tua yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak.
b. Lembaga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan ide baru kepada lembaga yang mewadahi anak sindrom down untuk memberikan kegiatan seminar atau pelatihan terkait parental belief agar orang tua dapat memberikan stimulasi dan perhatian lebih untuk mendukung perkembangan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down.
c. Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi
9 BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Belief Systems
1. Pengertian Belief Systems
Belief atau kepercayan, merupakan suatu komponen sikap yang dipengaruhi oleh kognitif seseorang, karena berkaitan dengan pemahaman tentang suatu hal. Menurut Marsumoto dan Juang dalam jurnal Sally Carolina, bahwa belief adalah sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang dan setiap individu yang memiliki budaya dan lingkungan yang berbeda, akan memiliki belief yang berbeda pula. Belief, pengalaman dan kemampuan penalaran merupakan hal yang
saling berpengaruh satu sama lain22.
Belief pada diri seseorang disebabkan oleh adanya sosialisasi dengan lingkungan, stimulasi nilai atau value yang mempengaruhi pandangan seseorang. Ketika seseorang mendapat stimulasi terkait suatu pandangan dan diterima oleh pemahaman dan kemampuan kognisi nya, maka stimulasi tersebut kemudian akan dipercaya dan menjadi belief.
Setiap manusia memiliki belief system yang mereka gunakan dalam kehidupan. Melalui belief system ini, manusia secara individu
dapat memahami dunia disekitarnya.23 Manusia ketika lahir ke dunia,
sudah dihadapkan dengan belief yang ada di lingkungan sekitarnya. Belief yang ada didalam diri seseorang, tidak bisa dihilangkan, namun dapat dikonstruksi ulang. Oleh karena itu, pengalaman dan pendidikan yang dimiliki dapat mempengaruhi perubahan belief system yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat Marsumoto dan Juang dalam jurnal Carolina, bahwa belief system dapat
22
Sally Carolina dan Sri Hartati R Suradijono, “Parental Belief dan Self-Esteem Anak : Studi pada Budaya Betawi,” hal. 21.
23 J L Us dan J Nescolarde, “What are Belief Systems ?,” Foundations of Science, 2016, 147–52
dikonstruksi atau ditingkatkan melalui pengalaman. Pengalaman memerlukan belief yang sebelumnya agar belief yang selanjutnya dapat
diasimilasi.24 Untuk mengasimilasi belief yang sebelumnya dengan
pengalaman yang didapat, membutuhkan penalaran dan pemahaman kognitif. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu pengaruh dalam upaya mengkontruksi suatu belief dan nantinya akan berpengaruh pula pada sikap dan perilaku seseorang.
Hal ini berlaku untuk orang tua sebagai individu yang akan memiliki anak atau sudah memiliki anak. Belief mereka terhadap kehadiran dan kondisi anak akan mempengaruhi sikap mereka terhadap anak. Dimana sikap dan perilaku ini akan dilihat dan ditiru oleh anak.
2. Parental Belief Systems
Parental belief merupakan kepercayaan yang dimiliki orang tua terkait proses pengasuhan anak dari lahir hingga tutup usia. Parental beliefs berkaitan dengan pola asuh dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh orang tua. Karena hal ini sangat berpengaruh pada keyakinan orang tua dan kemampuan untuk mengkonstruksi pemikiran
tentang anak.25 Parental belief juga berkaitan dengan kesadaran yang
dimiliki orang tua terkait pengasuhan, yaitu bagaimana memotivasi
anak untuk mencapai perubahan dan perkembangan yang maksimal.26
Orang tua sebagai lingkungan pertama yang dialami oleh anak, sangat mempengaruhi perilaku dan cara berpikir anak. Karena anak merupakan peniru yang sangat baik, mereka dapat belajar dan menyerap informasi dari lingkungan terdekatnya. Sehingga hal yang
24 Carolina dan Suradijono, hal. 21.
25 Neneng Tati Sumiati, “Hubungan Antara Family Belief Systems dan Tipe Pola Asuh Dengan
Behaviour Problems Pada Anak Dengan Down Syndrome,” Tazkiya Journal of Psychology, 20.2 (2018), 243–59 (hal. 4) <https://doi.org/10.15408/tazkiya.v20i2.9173>.
26
dilakukan oleh orang tua dan orang di sekitarnya terekam dan mengkonstruksi pemikiran mereka.
Menurut Kochanska dalam Cohen, keyakinan yang dimiliki orang tua secara eksplisit dan implisit terbukti secara konsisten mempengaruhi perilaku orang tua terhadap anak-anak mereka. Dimana perilaku orang tua mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian
anak dengan lingkungannya.27 Newberger and Cook, dkk dalam Cohen
juga menambahkan bahwa keyakinan orang tua cenderung memberikan pengaruh pada penerapan pola asuh yang diturunkan dari generasi ke generasi.28
Penerapan pola asuh oleh orang tua banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya terdahulu. Mayoritas orang tua akan mengadopsi cara kerja dan perilaku yang dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya. Sehingga mereka akan menurunkan perilaku tersebut ke anak-anak mereka. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Grusec dan Daniliuk, bahwa orang tua yang memiliki belief system, akan memiliki tingkat kontrol yang wajar, sehingga menghasilkan anak yang memiliki perkembangan yang positif. Penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku orang tua mempengaruhi perkembangan anak.29
Keyakinan yang dimiliki orang tua juga berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terkait penerapan pola asuh yang tepat untuk anak dan kemampuan untuk merefleksikan pikiran dan
perasaan yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.30 Orang tua
yang memiliki keyakinan diri terhadap anak-anaknya dan keluarga, akan berusaha untuk memberikan pelayanan dan pendidikan yang
27
Cohen, hal. 254.
28 Cohen, hal. 254.
29 Joan E. Grusec, “Parents’ Attitudes and Beliefs : Their Impact on Children ’ s Development,”
Early Childhood Development, 2006, 1–5 (hal. 2).
terbaik untuk anak, dengan cara mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sebagai orang tua. Keyakinan orang tua tentang penerapan pola asuh berasal dari berbagai informasi yang orang tua dapat. Persepsi orang tua terhadap karakteristik dan kondisi anak cenderung akan mempengaruhi pola asuh yang akan diterapkan oleh orang tua di rumah.
Menurut Gillian King, dkk parental beliefs system
mencerminkan pandangan suatu keluarga tentang situasi dalam lingkungan keluarga serta prinsip-prinsip mendasar yang dipegang
oleh orang tua dalam mengatur kehidupan keluarga.31 Hal ini berkaitan
pula dengan nilai-nilai kehidupan dan peran orang tua yang paling tinggi dalam keluarga. Nilai-nilai kehidupan yang diterapkan oleh orang tua di rumah cenderung dipengaruhi oleh perspektif lingkungan sosial dan budaya. Namun orang tua dapat mengambil keputusan nilai-nilai kehidupan yang akan diterapkannya pada keluarga di rumah. Gillian King dkk juga berpendapat bahwa keyakinan keluarga merujuk
pada keyakinan tentang cara hidup dalam keluarga.32 Hal ini mungkin
sedikit bersinggungan dengan nilai-nilai individualisme dan
spiritualitas yang dimiliki oleh pribadi orang tua sendiri.
Sistem keyakinan yang dimiliki oleh orang tua dapat memberikan rasa makna dalam hidup, khususnya untuk anak-anak. Ketika anak lahir, orang tua akan otomatis menjadi pusat dunia bagi anak. Sehingga orang tua harus bisa memposisikan diri sebagai individu yang dapat memberikan makna hidup pada anak. Keyakinan yang dimiliki orang tua dapat memberikan rasa harapan dan optimisme dalam menghadapi masalah kehidupan, motivasi hidup serta tujuan
hidup.33 Orang tua sebagai pusat dunia bagi anak harus memiliki
kemampuan untuk terus bersikap optimis sehingga anak dapat bertahan
31 King dkk., hal. 254. 32 King dkk., hal. 2. 33 King dkk., hal. 2.
dengan segala permasalahan yang menimpanya. Termasuk anak yang dilahirkan dengan kekurangan atau anak berkebutuhan khusus. Orang tua juga harus menentukan prioritas dalam keluarga. Prioritas ini terkait dengan kemampuan mereka untuk mengatur kegiatan rutin keluarga yang bersifat jangka panjang, bermakna dan sesuai dengan
kebutuhan keluarga.34 Pada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan
khusus, prioritas dan keyakinan pada orang tua sangat diuji. Dengan sistem keyakinan yang dimiliki oleh orang tua, dapat memberikan energi untuk menambah pengetahuan terkait pelayanan dan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gillian King dkk tentang keyakinan orang tua dalam keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, terdapat beberapa aspek dari
keyakinan orang tua dalam mendidik anaknya, yaitu:35
a. Optimisme : Sebuah Sikap Harapan
Sikap optimis berkaitan dengan keyakinan bahwa orang tua harus memberikan kesempatan bagi anak untuk memperlihatkan kemampuan yang dimiliki oleh anak. Orang tua harus percaya dan optimis terhadap setiap potensi yang dimiliki oleh anak, dengan memberikan anak peluang untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
b. Penerimaan dan Penghargaan (Acceptance and Appreciation) Aspek ini merupakan sebuah sikap positif yang dimiliki orang tua ketika melihat bahwa anak yang dimilikinya merupakan anak berkebutuhan khusus. Salah satu hal yang mendasari aspek ini adalah tentang penghargaan dalam hidup. Orang tua harus melihat hal positif yang dimiliki oleh anak, yaitu tentang pengalaman yang sudah dilewati dan pelajaran hidup yang dapat diambil. Selain itu, orang tua harus percaya dengan kemampuan yang dimiliki oleh
34
King dkk., hal. 2.
35
anak. Walaupun dengan kondisi khusus, orang tua harus menanamkan rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki anak.
Hal positif lainnya adalah fokus pada kebutuhan anak. Dengan fokus pada kebutuhan layanan dan pendidikan untuk anak, orang tua akan lebih sadar dan lebih menerima bahwa anak yang dimilikinya merupakan hadiah dari Tuhan. Rasa menerima dalam diri orang tua juga menjadi keyakinan bahwa setiap keluarga memiliki masalah dalam hidup. Hal ini dapat menjadi kekuatan bagi orang tua untuk mencari dukungan dari orang lain.
c. Berjuang :Sebuah sikap yang Berorientasi pada Perubahan
Setelah melalui tahap penerimaan dan penghargaan, orang tua akan melalui tahap berjuang. Sikap berjuang yang dilakukan oleh orang tua berfokus pada hal memperbaiki lingkungan sekitarnya, agar menjadi lingkungan yang cukup baik untuk anaknya. Orang tua akan berjuang untuk melakukan yang terbaik bagi perkembangan anaknya. Melakukan hal yang terbaik dapat mencangkup berbagai aspek kehidupan. Seperti memberikan pelayanan dan pendidikan yang terbaik bagi perkembangan anak kebutuhan khususnya tanpa melupakan pemberian stimulasi yang terbaik bagi anak sebagai bekal dalam kehidupan selanjutnya. Stimulasi yang baik dapat berupa melatih kemandirian anak, memantau seluruh aspek perkembangan, dan pemberian layanan bagi kebutuhan anak.
Ketika orang tua telah melaksanakan tahap ini, maka keyakinan diri orang tua terhadap kemampuan anak yang memiliki kebutuhan khusus akan semakin meningkat.
B. Perkembangan Bahasa Anak
1. Hakikat Perkembangan Bahasa Anak
Bahasa merupakan suatu sistem simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain, meliputi daya cipta dan sistem aturan. Daya cipta tersebut dapat membuat manusia menciptakan berbagai macam
struktur kalimat dan bahasa dengan beberapa aturan yang membatasi.36
Kalimat dan bahasa tersebut nantinya digunakan sebagai alat berkomunikasi sesama manusia.
Badudu dalam Nurbiana menyatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung atau komunikasi antara anggota masyarakat yang terdiri
dari individu yang menyatakan pikiran, perasaan dan keinginannya.37
Adanya bahasa dapat mempermudah manusia untuk bertukar informasi dalam kehidupan. Hal ini didukung oleh pendapat Bromley dalam Nurbiana, bahwa bahasa sebagai sistem simbol yang teratur untuk mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri atas
simbol-simbol visual maupun verbal.38 Bahasa yang dimaksud bukan hanya
bahasa lisan berupa percakapan antar manusia, namun bahasa memiliki beberapa aspek, yaitu menulis, berbicara, menyimak dan membaca. Bromley juga mengemukakan bahwa kemampuan berbahasa berbeda halnya dengan kemampuan berbicara. Karena kemampuan berbahasa memiliki banyak karakteristik dan tata bahasa yang cenderung rumit. Sedangkan kemampuan berbicara adalah kemampuan untuk mengolah
kata-kata yang disalurkan melalui reseptif dan ekspresif.39
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mendengarkan dan membaca suatu informasi, sedangkan bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berbicara dan menuliskan informasi untuk
36
Nurbiana Dhieni, dkk, Metode Pengembangan Bahasa, 1 ed. (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2018), hal. 1.3.
37
Nurbiana Dhieni, dkk, hal. 1.3.
38
Nurbiana Dhieni, dkk, hal. 1.3.
39
dikomunikasikan ke orang lain.40 Kemampuan bahasa reseptif adalah ketika anak mampu menyimak dan membaca suatu informasi yang diberikan. Karena dalam menyimak dan membaca, makna bahasa diperoleh dari simbol visual dan verbal. Sedangkan kemampuan bahasa ekspresif adalah ketika anak mampu berbicara dan menulis. Karena dalam bahasa ekspresif terdapat proses pemindahan arti
melalui simbol visual dan verbal yang lalu diekspresikan oleh anak.41
Hulit&Howard dalam Rini Hildayani, mengemukakan bahwa bahasa adalah ekspresi kemampuan manusia yang bersifat bawaan
sejak lahir.42 Teori ini mendasari dari perbedaan “bahasa” dan
“pengekspresian bahasa”. Menurutnya, seseorang sejak lahir sudah memiliki bahasa yang tersimpan di otaknya baik itu diekspresikan atau tidak. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan berbicara, tetap memiliki bahasa di dalam dirinya. Yang membedakan hanya cara penyampaian bahasa tersebut. Bahasa dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk. Baik itu berbicara, menulis maupun gerakan tubuh.
Hulit&Howard menjelaskan bahwa antara “bahasa” dan
“pengekspresian bahasa” adalah dua hal yang berbeda namun memiliki
kaitan yang erat dengan komunikasi.43
Pada anak, perkembangan bahasa dan bicara tidak berjalan bersamaan. Karena anak akan lebih dulu mengembangkan kemampuan
berbahasanya, lalu diikuti dengan kemampuan berbicara.44 Anak
memperoleh kemampuan berbahasa sejak mereka dilahirkan dan keluar dari rahim ibu. Anak belajar berbahasa dari lingkungan pertamanya di keluarga. Lalu berkembang kemampuan berbicaranya seiring dengan usia dan stimulasi yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Perkembangan bahasa anak khususnya kemampuan
40
Nurbiana Dhieni dkk, hal. 1.14.
41
Nurbiana Dhieni dkk, hal. 1.14.
42 Rini Hildayani dkk, Psikologi Perkembangan Anak (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka,
2017), hal. 7.4.
43
Rini Hildayani dkk, hal. 7.4.
44
berbicara dengan memproduksi suara yang jelas dan benar, pada
umumnya terjadi pada usia anak menginjak 6-7 tahun.45 Kemampuan
berbicara ini diperoleh setelah sebelumnya melewati berbagai fase perkembangan.
Kemampuan berbicara yang baik, sejalan dengan kemampuan kognitifnya, dalam hal ini adalah fungsi memori. Fungsi memori yang bekerja dengan baik, maka akan mendukung kemampuan berbicara anak dengan menghafal suara-suara yang sudah pernah didengarnya dan mereka gunakan kembali ketika berkomunikasi dengan orang lain.
2. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa Anak
Usia dini merupakan masa keemasan dimana pondasi anak sedang berkembang secara maksimal. Dalam perkembangan bahasa, anak usia dini sedang dalam tahap bahasa ekspresif. hal ini membuktikan bahwa anak telah mampu mengungkapkan keinginan, penolakan atau
pendapatnya dengan bahasa verbal.46
Perkembangan bahasa pada anak memiliki berbagai aspek yang menyusunnya, Jamaris (2006) dalam Ahmad Susanto menyebutkan
ada tiga aspek perkembangan bahasa anak, yaitu:47
a. Kosakata
Interaksi dan komunikasi yang terjadi seiring dengan perkembangan anak, menjadikan anak memiliki perbendaharaan kata yang semakin bertambah. Seseorang terhambat bahasa, salah satunya adalah keterbatasan kosakata yang dimilikinya. Dengan melakukan interaksi yang aktif dengan anak, maka perkembangan bahasa anak akan semakin maksimal.
b. Sintaksis
45 Rini Hildayani dkk, hal. 7.4. 46
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2016), hal. 77.
47
Sintaksis adalah bagian dari bahasa yang mengatur tata bahasa. Pada anak usia dini, walaupun anak belum mampu mempelajari tata bahasa, namun anak sudah mampu berbahasa menggunakan susunan kalimat yang baik dengan melihat dan mendengar dari lingkungan sekitarnya.
c. Semantik
Semantik adalah penggunaan kata sesuai dengan tujuannya. Pada masa usia sekolah, anak usia dini sudah mampu menggunakan bahasa untuk mengekspresikan perasaannya, seperti menolak, menerima dan mengemukakan pendapatnya. Anak akan mengungkapkan kalimat menolak ketika anak merasakan perasaan tidak suka dan sebagainya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak
Setiap anak dilahirkan dengan segala keunikannya masing-masing. Perkembangan anak tidak bisa disamakan satu sama lain, karena perbedaan stimulasi yang diperoleh anak bergantung pada lingkungan sekitarnya. Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yaitu:48
a. Perkembangan Otak dan Kecerdasan
Vygotsky (1978) dalam Nurbiana mengatakan bahwa bahasa adalah alat bantu dari belajar. Jadi dapat diidentifikasi jika anak tersebut mengalami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa, maka hal tersebut akan berpengaruh pada kondisi kognitifnya. b. Jenis Kelamin
Antara laki-laki dan perempuan memiliki perkembangan otak yang relatif berbeda. Khususnya bagian otak yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu bagian hemisfer kiri.
c. Kondisi Fisik
48
Kondisi fisik berkaitan dengan organ wicara, yaitu bagian mulut. Seperti lidah, gigi, tenggorokan dan pita suara. Organ pendengaran juga berpengaruh pada pemerolehan bahasa. Karena anak dapat mendengar dan mengingat percakapan yang terjadi di sekitarnya melalui organ pendengaran, yang nantinya akan menambah perbendaharaan kata yang dimiliki anak.
d. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dirasakan oleh anak. Memiliki keluarga yang aktif berbicara dan berinteraksi, akan mempengaruhi kemampuan berbahasa yang dimiliki anak. Interaksi yang dilakukan oleh keluarga sedikit banyak dapat menambah kosakata yang dimiliki anak.
e. Kondisi Ekonomi
Hal ini berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki oleh anak yang berasal dari ekonomi menengah. Pengadaan fasilitas pendukung perkembangan bahasa anak cenderung kurang pada anak yang berasal dari ekonomi rendah. Orang tua yang berasal dari ekonomi rendah juga cenderung memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan anak. Sehingga lebih terpantau dengan baik.
f. Lingkungan Sosial-Budaya
Kondisi ini berkaitan dengan lingkungan yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Anak cenderung merasa sulit dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
g. Bilingualism
Hal ini hampir sama kondisinya dengan lingkungan sosial yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi. Orang tua yang menggunakan dua bahasa dalam percakapan sehari-hari, dapat memberikan kesulitan pada anak untuk memperoleh bahasa ibu.
4. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Kemampuan berbicara pada anak disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:49
a. Faktor Neurologi
Aspek kognitif dalam perkembangan berbicara anak sangat berpengaruh, karena kemampuan berbicara adalah kemampuan untuk mengolah dan merencanakan apa yang akan dikatakan. Selain itu, aspek kognitif berkaitan dengan fungsi memori mempengaruhi perkembangan bicara. Dimana anak akan
mendengar percakapan yang terjadi di sekitarnya dan
menyimpannya dalam memori pendengaran sehingga dapat menambah perbendaharaan kata yang dimilikinya.
b. Faktor Struktural dan Fisiologi
Kondisi fisik pada anak sedikit banyak mempengaruhi perkembangan berbicaranya. Khususnya pada organ wicara dan organ pendengaran yang sangat berperan aktif dalam pemrosesan bahasa ekspresif.
c. Faktor Lingkungan
Pengalaman yang diperoleh oleh anak dari lingkungan
sekitarnya sangat mempengaruhi perkembangan bahasa
ekspresifnya. Lingkungan sekitar yang memiliki interaksi aktif akan memberikan dampak yang baik, karena organ pendengaran dan kemampuan kognitifnya bekerja, sehingga menghasilkan output yang baik.
C. Sindrom Down
1. Definisi Sindrom Down
Sindrom down adalah suatu kelainan genetik yang dibawa sejak lahir, terjadi ketika masa janin yang disebabkan oleh kesalahan ketika
49
pembelahan sel. Sehingga janin yang biasanya menghasilkan 21 salinan kromosom, pada sindrom down menghasilkan 3 salinan kromosom pada kromosom ke 21 (trisomi 21). Jika pada umumnya manusia memiliki 46 jumlah kromosom, maka sindrom down memiliki
total 47 jumlah kromosom.50 Kromosom yang bertambah ini
menyebabkan jumlah protein yang berlebih, sehingga mempengaruhi
pertumbuhan normal dari tubuh dan juga mempengaruhi
perkembangan otak.51 Kondisi ini juga menyebabkan retardasi atau
keterbelakangan mental yang dialami oleh anak sindrom down. Kelainan genetik ini memiliki karakteristik khusus, berupa bentuk
wajah yang hampir sama dan lemahnya kekuatan otot (hipotonia).52
Kelainan genetik yang menyebabkan keterbelakangan mental ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. John Langdon Down pada tahun 1866. Karena ciri-ciri dan karakteristik fisik yang dimiliki oleh sindrom down hampir menyerupai bangsa mongolia, masyarakat zaman dahulu menyebutnya mongolisme. Namun sekitar tahun 1970 para ahli dari Amerika dan Eropa mengubahnya menjadi sindrom down karena ketidakcocokan pemberian nama mongolisme dengan kelainan ini, istilah sindrom down yang digunakan saat ini merujuk
kepada tokoh yang pertama kali memperkenalkan syndrome ini.53
Kasus kelahiran anak dengan down syndrome diperkirakan 1 dari 800 hingga 1000 kelahiran. Sedangkan di Indonesia, prevalensi
kelahiran sindrom down adalah 1 dari 600 kelahiran yang terjadi.54
Kelahiran anak dengan sindrom down dapat disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang paling sering diidentifikasi adalah usia ibu yang semakin bertambah ketika melahirkan. Pada ibu yang berusia 40 tahun, memiliki resiko melahirkan anak sindrom down sebesar
50
InfoDATIN Kementerian Kesehatan RI, hal. 2.
51
Irwanto dkk, A-Z Sindrom Down, ed. oleh Henry Wicaksono (Surabaya: Airlangga University Press, 2019), hal. 1.
52
James N. Parker, hal. 3.
53
InfoDATIN Kementerian Kesehatan RI, hal. 2.
54
1:106, sedangkan untuk ibu yang berusia 49 tahun memiliki resiko
kelahiran sebesar 1:11 kelahiran.55 Angka ini cukup membuktikan
bahwa semakin bertambah usia ibu, resiko melahirkan anak sindrom down semakin besar. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi organ reproduksi wanita seiring berjalannya usia.
2. Karakteristik Sindrom Down
Kromosom yang bertambah pada anak sindrom down
menyebabkan anak sindrom down memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang khas. Sehingga dapat langsung terlihat dan teridentifikasi.
Karakteristik fisik yang dapat diidentifikasi antara lain:56
a. Memiliki bentuk mata yang sipit dengan sudut bagian tengah terdapat lipatan
b. Bentuk mulut yang kecil dan lidah yang besar sehingga lidah tampak menonjol keluar
c. Garis telapak tangan yang melintang secara horizontal d. Penurunan tonus otot (hipotonia)
e. Bentuk kepala yang relatif kecil dibandingkan dengan anak pada umumnya
f. Memiliki tubuh yang pendek, mayoritas anak sindrom down tidak dapat mencapai tinggi rata-rata
Maatta, dkk dalam jurnal Neneng, menegaskan bahwa anak sindrom down memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitif sehingga berpengaruh pada kemampuan bahasa ekspresif, khususnya dalam memproduksi bahasa dan pada bagian memori pendengaran
jangka pendek (auditory short-term memory).57 Kemampuan
memproduksi suara pada anak sindrom down dapat dilihat dari karakteristik fisik yang dimiliki. Seperti bentuk mulut yang kecil dan 55 Irwanto dkk, hal. 3. 56 Irwanto dkk, hal. 11. 57 Sumiati, hal. 2.
lidah yang sedikit lebar menjadikan anak sindrom down cenderung sulit untuk memproduksi suara. Anak sindrom down juga diidentifikasi memiliki sedikit masalah dalam fungsi adaptif jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Anak sindrom down juga memiliki resiko mengalami depresi dan resiko Alzheimer yang tinggi.58
3. Perkembangan Bahasa Ekspresif pada Anak Sindrom Down Anak sindrom down memiliki keterlambatan dalam proses produksi kata-kata yang disalurkan dalam bentuk verbal. Mereka memiliki keterlambatan dalam perbendaharaan kata daripada anak pada umumnya. Anak sindrom down cenderung merasa kesulitan ketika berbicara menggunakan kalimat yang utuh, oleh sebab itu anak sindrom down lebih sering menggunakan frasa dua kata dalam berkomunikasi. Hal ini membuat anak sindrom down sulit dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Sekitar 80% populasi anak sindrom down memiliki IQ rata-rata diantara 36-51. Hal ini menunjukkan bahwa anak sindrom down memiliki defisit kognisi, kemampuan bahasa reseptif dan kemampuan
bahasa ekspresif.59 Adanya keterbatasan kemampuan kognitif sangat
berpengaruh pada kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa dalam proses pemerolehan bahasa, diperlukan adanya kemampuan kognitif dan proses pemerolehan bahasa diatur oleh bagian otak hemisfer sebelah kiri. Namun Abbeduto, et al dalam Oliver berpendapat bahwa defisit kognisi yang dialami oleh anak sindrom down tidak ditunjukkan secara merata di berbagai komponennya. Salah satunya adalah memori fonologi yang berkaitan dengan memori jangka pendek yang mengatur bagian perekaman suara-suara. Hal ini menjadi tantangan bagi anak
58
Sumiati, hal. 2.
59
sindrom down, karena dibuktikan dengan rendahnya kemampuan untuk mengulang kata dibandingkan dengan memori jangka pendek
yang mengatur bagian visual spasial.60 Berdasarkan pembahasan
terkait perkembangan bahasa sebelumnya, bahwa kemampuan berbahasa seseorang sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Karena kognitif mendukung aspek-aspek perkembangan lainnya.
Selain karena defisit kognisi, kelainan pada organ pendukung untuk memproduksi suara juga sangat berperan penting dalam perkembangan bahasa anak sindrom down. Anak sindrom down pada umumnya memiliki karakteristik berupa kelainan organ pendengaran,
yaitu otitis media.61 Otitis media adalah infeksi saluran telinga bagian
tengah, yang sangat mempengaruhi anak sindrom down untuk
memperoleh suara-suara di sekitarnya, karena infeksi ini
mengakibatkan saluran pendengaran menjadi sempit. Menurut Roberts, et al dalam Oliver menambahkan, otitis media jika dialami oleh anak pada umumnya mungkin tidak akan terlalu berpengaruh pada perkembangan bahasa. Namun pada anak sindrom down, hal ini menjadi salah satu faktor penyebab terlambatnya kemampuan berbahasa pada anak sindrom down, karena bersamaan dengan hal ini,
anak sindrom down juga memiliki defisit kognisi.62
Gangguan kognitif yang dialami oleh anak sindrom down jika dibarengi dengan kelainan organ pendengaran, akan memberikan dampak yang negatif. Hal ini dapat diatasi jika orang tua memahami kebutuhan dan kemampuan anak. Agar kemampuan berbahasa anak tetap berkembang dan anak sindrom down dapat berkomunikasi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan Natalia dan Julia dalam penelitiannya bahwa infeksi telinga yang dialami oleh
60 Oliver, hal. 3. 61 Oliver, hal. 3. 62 Oliver, hal. 3.
anak sindrom down membuat suara di sekitarnya kurang dapat
ditangkap oleh organ pendengarannya.63 Sehingga anak sindrom down
tidak secara maksimal dapat merekam suara yang didengarnya dan disimpan ke dalam memori jangka pendek bagian memori fonologis.
Penyebab lain yang dapat menghambat perkembangan bahasa anak sindrom down adalah kelainan struktur oral pada organ mulut. Roberts, et al menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan yang dapat diamati pada organ mulut anak sindrom down. Mereka cenderung memiliki rongga mulut yang kecil, langit-langit yang melengkung, pertumbuhan gigi yang tidak teratur dan bentuk lidah yang sedikit
lebih besar.64 Hal ini mempengaruhi anak sindrom down ketika
memproduksi suara, dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan bahasa ekspresif. Bentuk organ mulut yang demikian, menjadikan anak sindrom down mengalami penurunan dalam kemampuan berbicara.
Abbeduto, et al dalam Oliver menjelaskan bahwa dalam perkembangan berbahasa anak sindrom down yang sangat dibutuhkan adalah interaksi sosial yang melibatkan lawan bicara untuk menjalin
komunikasi dua arah.65 Komunikasi dua arah yang dilakukan akan
memberikan dampak yang positif bagi kemampuan berbahasa anak sindrom down. Karena anak akan berusaha untuk merespon pembicaraan yang sedang dilakukan. Walaupun ketika komunikasi berlangsung, produksi suara yang dihasilkan oleh anak sindrom down kurang dapat dipahami. Hal ini didukung oleh Heselwood, et al bahwa anak sindrom down umumnya menghapus suku kata umum ketika
berbicara.66 Karena berkaitan dengan memori fonologis dan
kemampuan kognitifnya yang rendah. Penghapusan suku kata ketika berbicara menjadikan lawan bicara anak sindrom down cenderung
63
Natalia Arias-trejo dan Julia B Barrón-martínez, “Language Skills in Down Syndrome,” Language Development and Disorders in Spanish-speaking Children, 2017, 329–41 (hal. 330) <https://doi.org/10.1007/978-3-319-53646-0>. 64 Oliver, hal. 4. 65 Oliver, hal. 4. 66
kurang memahami topik pembicaraan karena struktur kata yang tidak beraturan. Pandit dan Fitzgerald dalam Natalia dan Julia menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan anak sindrom down menghapus beberapa suku kata ketika berkomunikasi.
Salah satunya adalah masalah pernapasan.67 Dalam memproduksi
suara, saluran pernapasan sangat berperan untuk menghasilkan bentuk suara yang jelas dan jernih. Pada anak sindrom down, hal itu membuatnya sulit karena masalah pernapasan yang dimilikinya.
Arias-Trejo dan Barron Martinez menjelaskan bahwa dalam penelitiannya, anak sindrom down dengan usia mental rata-rata 3 tahun, tidak mengalami hambatan dalam memproses informasi. Namun memiliki keterbatasan pada memori jangka pendek yang mengatur memori fonologi. Selain itu, penelitian yang dilakukan juga membuktikan bahwa anak sindrom down dengan usia mental 30 bulan sampai 36 bulan memiliki kesulitan untuk mempelajari kosakata
baru.68 Kesulitan mempelajari kosakata yang baru, berkaitan pula
dengan defisit kognitif yang dimiliki oleh anak sindrom down.
Kemampuan bahasa yang dimiliki oleh anak sindrom down sangat bergantung pada stimulasi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Dengan interaksi yang dilakukan oleh orang tua, maka orang tua akan mampu menentukan stimulasi yang harus diberikan untuk anaknya dalam mengembangkan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down.
4. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom down
Perkembangan bahasa pada anak sindrom down memiliki aspek-aspek perkembangan yang sama dengan anak pada umumnya. Perbedaan yang terlihat adalah waktu untuk berkembang dan
67
Arias-trejo dan Barrón-martínez, hal. 329.
68
kemampuannya dalam berkembang. Aspek-aspek perkembangan
bahasa ekspresif pada anak sindrom down adalah.69
a. Fonologi
Anak sindrom down memiliki banyak defisit dalam aspek perkembangan bahasa. Salah satunya adalah fonologi. Fonologi berkaitan dengan bunyi dan suara yang dihasilkan oleh organ wicara sebagai bentuk bahasa komunikasi. Pada anak sindrom down, defisit fonologi sangat tampak jika dibandingkan dengan anak pada umumnya dengan usia mental yang sama.
Abbeduto, et al dalam Oliver menjelaskan bahwa anak sindrom down mulai menunjukkan defisit fonologinya ketika memasuki tahap peralihan antara tahap mengoceh ke tahap pengucapan kata pertama. Hal ini terjadi sekitar usia 21 bulan. Defisit fonologi yang terjadi adalah penghapusan huruf akhir konsonan pada sebuah kosakata. Hal ini menjadikan anak sindrom down cenderung sulit dipahami oleh orang lain ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
b. Semantik
Semantik adalah bagian dari tata bahasa yang berkaitan dengan pemahaman terhadap makna kata atau makna kata dalam suatu kalimat. Perkembangan perbendaharaan kata pada anak sindrom down menurut Miller, et al dalam Kurniawati dkk, sebanding dengan usia mentalnya. Beberapa kasus ada anak sindrom down yang tertinggal perkembangan bahasanya karena
gangguan bicara yang dimilikinya.70 Anak sindrom down memiliki
karakteristik organ wicara yang menghambat mereka untuk memproduksi suara. Sehingga perkembangan bahasa ekspresif mereka turut terhambat.
69
Oliver, hal. 9.
70
Leli Kurniawati dkk., “Program Intervensi Pengembangan Kecakapan,” Pedagogia: Jurnal Pendidikan, 13 (2015), hal. 291.
c. Sintaksis
Sintaksis berkaitan dengan kemampuan untuk menyusun kalimat agar kalimat tersebut berguna sesuai fungsinya. Owens dalam Oliver mengungkapkan bahwa pada anak sindrom down memiliki hambatan dalam bagian sintaksis berupa kesulitan untuk menanggapi seseorang ketika berkomunikasi. Pada anak sindrom down hambatan kemampuan sintaksis ekspresif lebih menonjol daripada kemampuan sintaksis reseptif. Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan sintaksis pada anak sindrom down salah satunya adalah defisit kognitif yang dimiliki. defisit kognisi tersebut mempengaruhi memori pendengaran yang berfungsi menyimpan suara-suara di sekitarnya, termasuk percakapan. perbendaharaan kosa kata yang dimiliki anak akan bertambah ketika anak secara aktif terlibat dalam komunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
d. Pragmatik
Pragmatik berkaitan dengan pemahaman terhadap makna dalam suatu konteks pembicaraan. Jika semantik hanya makna dalam satu kata, maka pragmatik adalah makna dalam konteks kalimat. Anak sindrom down cenderung memiliki kemampuan pragmatis yang baik dalam berkomunikasi. Dalam penelitian Roberts, et al dalam Oliver menunjukkan bahwa tidak semua anak sindrom down memiliki hambatan pragmatis. Kemampuan pragmatis anak sindrom down biasanya setara dengan anak pada umumnya. Ketika orang dewasa mengajukan pertanyaan pada anak sindrom down, maka mereka akan memahami makna dari pertanyaan yang diajukan.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Pelaksanaan penelitian tidak lepas dari adanya kajian terkait penelitian terdahulu. Kajian ini dapat menjadi acuan untuk melaksanakan penelitian
selanjutnya. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang sedang peneliti laksanakan adalah sebagai berikut:
1. Hubungan antara Family Beliefs System dan Tipe Pola Asuh dengan
Behaviour Problems pada Anak dengan Sindrom down71, penelitian ini
dilakukan oleh Neneng Tati Sumiati dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015. Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi dengan uji Wilcoxon dan menunjukkan hasil bahwa keyakinan dari orang tua dan tipe pola asuh yang diterapkan orang tua di rumah mempengaruhi perilaku anak sindrom down ketika remaja. Semakin tinggi parental belief yang dimiliki oleh orang tua, maka semakin rendah permasalahan perilaku yang dimiliki anak sindrom down.
2. Parents’ Attitudes and Beliefs: Their Impact on Children Development. Penelitian ini dilakukan oleh Joan E. Grusec dan Tanya Daniliuk dari Universitas Toronto, Kanada. Penelitian ini merupakan studi literatur, dimana menjelaskan terkait dampak dari perilaku dan belief yang dimiliki orang tua terhadap perkembangan anak. Hasil penelitian menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki belief system, akan memiliki tingkat kontrol yang wajar, sehingga menghasilkan anak yang memiliki perkembangan yang positif. Penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku orang tua mempengaruhi perkembangan anak.
3. Belief System of Families of Children With Autism Spectrum Disorder or Down Syndrome, penelitian ini dilakukan oleh Gillian King, dkk dari berbagai universitas di Kanada. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan 16 keluarga yang memiliki anak dengan ASD dan sindrom down. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak ASD memiliki tingkat stress yang lebih tinggi daripada orang tua yang memiliki anak sindrom down. Dan orang tua yang memiliki anak sindrom down masih lebih
71
rendah tingkat stressnya dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas lainnya. Hal ini tergantung pada pengalaman
dan pengetahuan yang dimiliki orang tua terkait disabilitas pada anak.72
E. Kerangka Berpikir
Anak sindrom down terlahir dengan defisit kemampuan kognitif dan beberapa gangguan lainnya, salah satunya adalah gangguan pendengaran. Kemampuan kognitif dan kemampuan pendengaran merupakan aspek penting dalam perkembangan bahasa anak. Karena anak memperoleh perbendaharaan kata melalui percakapan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk lingkungan keluarga.
Lingkungan keluarga yang responsif dapat membantu anak sindrom down untuk memperoleh perbendaharaan kosa kata yang dapat digunakan untuk berkomunikasi. Karena keterbatasan yang dimilikinya, anak sindrom down cenderung sulit untuk mempelajari dan mengulang kosakata yang baru didengarnya. Sifat responsif yang dilakukan oleh keluarga berupa respon positif terhadap bentuk komunikasi anak, dapat membantu mengembangkan kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down. Karena anak terlatih untuk mendengar dan menggunakan kosakata ketika berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sikap responsif keluarga terhadap anak sindrom down berkaitan dengan belief system yang dimiliki orang tua. Belief system merupakan pandangan keluarga tentang prinsip dasar yang dipegang oleh orang tua yang mempengaruhi perilaku orang tua terhadap anak.
Perilaku orang tua terhadap anak sindrom down berupa sikap responsif ketika berkomunikasi, merupakan bentuk stimulasi yang dapat diberikan untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak sindrom down, salah satunya adalah kemampuan bahasa ekspresif.
Hal ini membuat peneliti menduga bahwa terdapat hubungan antara parental belief terhadap kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down
72
dan peneliti ingin membuktikan dengan melakukan penelitian studi korelasi yang dirumuskan dengan alur berpikir seperti bagan dibawah ini:
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
.
Keterangan gambar:
X = Variabel Parental Belief
Y = Variabel Kemampuan Bahasa Ekspresif Anak Sindrom
Down
r = Hubungan antara Parental Belief dengan Kemampuan
Bahasa Ekspresif Anak Sindrom Down
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan dugaan sementara atas rumusan masalah yang telah disusun. Hipotesis bersifat sementara karena disusun berdasarkan kajian teori yang relevan, belum disusun berdasarkan fakta yang diperoleh melalui penelitian.
Berdasarkan kajian teori yang telah dibahas sebelumnya, maka penguji mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H0 = Tidak ada hubungan positif antara parental belief dan
kemampuan bahasa ekspresif anak sindrom down
Ha = Terdapat hubungan positif antara parental belief dan
41 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Yayasan Persatuan Orang Tua Anak Sindrom down Indonesia (POTADS Indonesia), yaitu sebuah yayasan yang mewadahi dan memfasilitasi anak-anak dengan sindrom down beserta orang tuanya. Peneliti melakukan pengambilan data di 7 kantor PIK POTADS Indonesia, yaitu PIK POTADS DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
2. Waktu
Penelitian dilaksanakan terhitung sejak persiapan peneliti melakukan penulisan skripsi. Penulisan skripsi diawali dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari jurnal ilmiah dan buku. Rencana penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.1 Timeline Penelitian
No Kegiatan 2019 2020
Des Jan - Mar Apr Mei Jun-Jul Agt-Sept 1. Persiapan Proposal 2. Pembuatan Instrumen 3. Seminar Proposal 4 Revisi Proposal