• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE. Alat dan Bahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHAN DAN METODE. Alat dan Bahan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri atas tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus kolektivus medularis. Tubulus konvulasi distal bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

Urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal mempunyai aliran darah yang tinggi mengkonsentrasi bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik melalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh karena itu, ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu 1995). Perubahan-perubahan pada ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, tubuli, interstitium dan pembuluh darah (Ressang 1984).

Akibat terjadinya absorbsi dan sekresi aktif tubulus proksimal, kadar bahan toksik pada tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan bahan toksik (Lu 1995). Perubahan-perubahan di ginjal dapat terlihat secara mikroskopik adalah degenerasi epitel sederhana hingga nekrosa. Infiltrasi sedikit-sedikit sel-sel radang di dalam glomerulus atau interstitium dapat mempersulit diagnosis. Urea dalam darah (ureum) merupakan hasil metabolisme protein dengan deaminasi asam amino dan dikeluarkan melalui ginjal. Tahap pembentukannya adalah sebagai berikut: +CO2+ NH2 Ornitin Sitrulin - H2O +H2O Arginin urea

Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal. Sering kali pada beberapa jenis penyakit ginjal ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah dan silinder, yaitu potongan-potongan protein yang mengendap di tubulus dan didorong oleh urin ke vesika urinaria. Akibat penyakit ginjal yang lainnya ialah hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran urin, uremia (urea dalam darah), asidosis (penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan asam-asam pencernaan dan metabolisme) dan retensi Na (Ganong 2002).

Pemeriksaan ureum dengan menggunakan beberapa metode telah berkembang pesat. Sejak menggunakan enzim urease sampai dengan beberapa prosedur seperti urograf dan bunograf yang menggunakan metode kromatografi yang sangat peka terhadap suhu. Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap, termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi laju filtrasi glomerulus (LFG) yang akurat. Analisis enzim yang digunakan untuk mengukur kadar nitrogen dalam darah dengan menggunakan enzim urease atau jumlah kreatinin dalam darah dengan pereaksi asam pikrat maupun enzim kreatinin aminohidrolase (Kaplan 2002). Pengukuran urea sebagai salah satu indikator kelainan ginjal dengan metode enzimatis yaitu dibentuk oleh urease dari urea. Indikator Glutamat Dehidrogenase (GLDH)

untuk oksidasi NADH ke NAD+ digunakan

untuk membuat amonia. Karbondioksida dan amonia dihasilkan dari reaksi urea (Kaplan & Pesce 1989): Urease Urea + H2O 2NH3 + CO2 GLDH 2α-ketoglutarat+2NH4+2NADH 2L-glutamat + 2 NAD+ + H2O

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan ialah alat bedah, kaset tisu, gelas-gelas pada mesin Auto Technicon, alat pencetak parafin, mikrotom,

(2)

gelas pemanas, mortar, blender, penyaring, tabung reaksi, gelas ukur, autopipet, tip, pipet Mohr, pipet tetes, sonde, gelas pengaduk, dan gelas piala, vial, spektrofotometer, inkubator dan sentrifus klinis.

Hewan percobaan yang digunakan adalah 25 ekor tikus Sprague-Dawley yang sehat berumur 2 bulan. yang diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB.

Bahan-bahan yang digunakan ialah angkak dari beras, pereaksi ALT, pereaksi AST, pereaksi urea, BNF 10%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, parafin, xilol I, xilol II, larutan albumin:gliserin (1:1),

pewarna Mayer’s Hematoxylin, Litium

Karbonat, pewarna Eosin, permount dan akuades.

Gambar 2 Tikus Sprague-Dawley.

Metode Penelitian Rancangan Percobaan

Tikus dipelihara pada kandang berukuran 30cmx20cmx20cm. 25 ekor tikus sebagai hewan percobaan diadaptasikan selama 1 bulan. Selama adaptasi, tikus diberi makan, minum, dan ditimbang bobot badannya. Sebelum perlakuan (H-1), dianalisis kadar enzim ALT dan AST serta kadar urea darah.

Selanjutnya, tikus tersebut dikelompokkan menjadi lima kelompok, masing-masing terdiri atas 5 ekor tikus. Kelompok satu digunakan sebagai kontrol, hanya diberikan akuades tanpa pemberian angkak, kelompok dua diberikan angkak dengan dosis tunggal yaitu 2.5 gram/kg BB (10 kali dosis komersial), kelompok tiga diberikan angkak dengan dosis 5 gram/kg BB, kelompok empat diberikan angkak dengan dosis 10 gram/kg BB, dan kelompok lima diberikan angkak dengan dosis 15 gram/kg BB. Pemberian angkak dilakukan secara per oral atau cekok.

Semua hewan pada tiap kelompok diamati, dianalisis kadar enzim ALT, AST, kadar urea

darah serta dilihat tingkat kematiannya pada 24 jam pertama (H+1), dilanjutkan sampai 5 hari (H+5). Selama 5 hari, semua kelompok diamati gejala klinisnya seperti nafsu makan, bobot badan, keadaan mata, feses, bulu dan tingkah laku. Setelah (H+5), hewan dinekropsi untuk mendapatkan gambaran histopatologis atau melihat efek racun pada organ-organ vitalnya terutama hati dan ginjal .

Analisa histopatologis dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Pengukuran Kelainan Hati (Metode Bergmeyer 1986)

Analisis enzim dapat digunakan untuk menilai fungsi suatu organ. Kelainan yang terjadi di dalam hati menyebabkan penyimpangan konsentrasi enzim tertentu dalam darah. Transaminase merupakan kelompok enzim yang sering digunakan dalam penentuan fungsi hati yang biasa dikenal sebagai aminotransferase misalnya Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino transferase (AST). Menurut Girindra (1984) manusia yang menderita kanker hati, keadaan kedua enzim dalam darah meningkat. Kadar kedua enzim dalam serum yang meningkat, sehingga pengukuran aktivitas enzim tersebut dapat digunakan untuk menentukan fungsi hati

Serum darah diambil sebanyak 0.1 mL dan dicampur dengan 1 mL pereaksi AST, setelah 1 menit pada suhu 30 °C, dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 340 nm dan dilanjutkan kembali pembacaannya pada menit ke-1, 2 dan 3 dan 4. Pereaksi AST terdiri atas buffer Tris HCl, L-aspartat, α-oksoglutarat, Malat dehidrogenase, Laktat dehidrogenase, dan NADH.

Pengukuran kadar ALT cara pengukurannya sama. Pereaksinya terdiri atas buffer Tris HCl, L-Alanin, α-oksoglutarat, Laktat dehidrogenase, dan NADH. Penghitungan aktivitas AST dan ALT dilakukan dengan rumus:

1746 x ∆A Hg nm/menit

Pengukuran Kelainan Ginjal (Kaplan&Pesce 1989)

Analisis pengukuran urea darah adalah jumlah nitrogen yang dilepaskan sebagai konsentrasi urea dalam darah yang disebut Blood Urea Nitrogen (BUN). Pengukuran BUN menunjukkan jumlah urea yang terhidrolisis oleh enzim urease membentuk

(3)

amonia, yang dapat diukur dengan analisis spektrofotometri. Sampel berupa serum darah diambil sebanyak 10µL dan dicampur dengan 1000µL pereaksi urea, setelah 30 detik pada suhu 37 °C, dibaca absorbansinya pada 340 nm dan dilanjutkan kembali pembacaannya setelah 1,2,3 dan 4 menit. Standar diukur pada keadaan yang sama, hanya mengganti serum dengan standar.

Pereaksi urea adalah buffer fosfat, urease, natrium salisilat, natrium nitroprusida, EDTA, sodium hipoklorit, sodium hidroksida. Perhitungan konsentrasi urea diperoleh dengan cara:

[urea](mg/dL) =

ΔAstandar ΔAsampel

x [standar]

Pembuatan Preparat Histopatologis (Humason 1972; Kiernan 1990)

Organ yang akan dibuat dipotong tipis kemudian direndam di dalam larutan Buffer Neutral Formaline (BNF) 10% selama 6-48 jam. Setelah itu, jaringan diiris dengan ketebalan ±3 mm2 dan dimasukkan ke dalam kaset tisu untuk didehidrasi.

Dehidrasi. Sediaan dimasukkan ke dalam gelas-gelas Mesin Autotehnicon berturut-turut yang berisi alkohol 70% selama 6 jam, alkohol 80%, 90%, dan alkohol 95% selama 2 jam. Setelah itu, sediaan direndam dalam alkohol absolut I tiga kali masing-masing selama 1 jam. Kemudian, dimasukkan ke dalam alkohol absolut II selama 1 jam.

Clearing. Sediaan yang sudah mengalami dehidrasi direndam dalam larutan alkohol 70% kemudian dengan larutan xilol I dan xilol II masing-masing selama 45 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam parafin pada gelas pemanas dengan suhu 60 °C dua kali masing-masing 45 menit.

Embedding (Pencetakan). Setelah proses clearing, sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin cair setengah dari volume, setelah mulai membeku parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai dingin dan mengeras.

Sectioning (Pengirisan). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 mikron. Hasil irisan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air yang telah dihangatkan lebih dahulu dengan suhu sekitar 40-45 °C. Tujuannya untuk merentangkan jaringan yang keriput pada saat pengirisan. Setelah itu dilakukan pemilihan irisan preparat yang bagus.

Mounting. Sediaan tersebut diangkat dari permukaan air dengan cara menempelkannya ke atas kaca obyek yang telah diolesi albumin dan gliserin (1:1). Preparat dimasukkan ke dalam inkubator dengan temperatur 60 °C semalam.

Staining (Pewarnaan). Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses deparafinasi (penghilangan parafin) dan proses rehidrasi (penambahan air) agar zat warna dapat menyerap dengan sempurna. Deparafinasi dilakukan dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam xilol I dan xilol II masing-masing 2 menit. Setiap kali dilakukan pemindahan, daerah sekitar preparat diusap dengan kertas tisu tanpa menyentuh jaringan. Rehidrasi dilakukan dengan cara memasukkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat masing-masing 1 menit. Setelah proses rehidrasi, sediaan disimpan dalam air mengalir selama 1 menit lalu dimasukkan ke dalam pewarna Hematoxylin Mayers selama 8 menit dan Litium Karbonat selama 15-30 detik dan kemudian dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam pewarna Eosin selama 2-3 menit lalu dibilas kembali dengan air mengalir. Setelah pewarnaan selesai, dilakukan dehidrasi sediaan ke dalam alkohol bertingkat kembali sebanyak 10 celupan xilol I dan xilol II, dikeringkan, ditetesi permount dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan mikroskopis yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Penilaian dengan metode skoring berdasarkan tingkat keparahan pada setiap luasan wilayah pengamatan. Skoring histopatologis organ hati dan ginjal ditunjukkan pada Tabel 3 dan 4. Semakin besar persentase skoring, maka tingkat kerusakannya semakin besar.

Tabel 3 Metode skoring histopatologis hati Kelainan Skoring Nilai Kriteria Kongesti Degenerasi Lemak Nekrosa - + ++ +++ - + ++ +++ - + ++ +++ 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 Normal 0-25% >25%-50% >50% Normal 0-25% >25%-50% >50% Normal 0-25% >25%-50% >50%

(4)

Tabel 4 Metode skoring histopatologis ginjal Kelainan Skoring Nilai Kriteria Akumulasi Protein Nekrosa - + ++ +++ - + ++ +++ 0 1 2 3 0 1 2 3 Normal 0-25% >25%-50% >50% Normal 0-25% >25%-50% >50% Analisis Data

Rancangan yang digunakan pada penelitian adalah dua faktor dalam rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang akan diuji cobakan dibedakan menjadi lima macam perlakuan dengan lima kali ulangan setiap perlakuan. Model rancangan percobaannya ialah sebagai berikut: (Matjik A.A dan Sumertajaya M 2000)

Yij = µ + λij + εij

Keterangan : i = 1, 2, 3,4 5 i = 1, kontrol

2, pemberian angkak dengan dosis 2.5 g/BB

3, pemberian angkak dengan dosis 5 g/BB

4, pemberian angkak dengan dosis 10 g/BB

5, pemberian angkak dengan dosis 15 g/BB

Yij = pengaruh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = pengaruh rata-rata umum

λij = pengaruh perlakuan ke i, i = 1, 2, 3,...5 εij = pengaruh acak perlakuan i, i = 1, 2, 3,...5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Hewan Coba

Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya perubahan yang berarti pada pola grafik bobot badan tikus kelompok yang diberi perlakuan dengan kelompok kontrol. Demikian juga apabila dibandingkan dengan masa adaptasi (P>0.05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian angkak tidak mempengaruhi bobot badan hewan coba. Selain pengamatan bobot badan, gejala klinis yang diamati meliputi nafsu makan, tingkah laku, keadaan mata dan keadaan bulu. Gejala klinis hewan coba menunjukkan bahwa nafsu makan semua hewan coba baik

kelompok perlakuan maupun kontrol tidak menunjukkan perubahan (Tabel 5). Pengamatan terhadap keadaan mata, tingkah laku, dan keadaan bulu tidak menunjukkan adanya perubahan selama perlakuan dan adaptasi. Saat perlakuan, pada kelompok perlakuan fesesnya berwarna kemerah-merahan. Feses yang berwarna merah tersebut diamati dengan mikroskop yang menunjukkan bahwa warna merah yang tampak berasal dari sisa pencernaan angkak setelah diserap di usus, dan dosis yang diberikan cukup besar menyebabkan serat kasar angkak mewarnai feses.

Selama perlakuan, tidak ditemukan hewan coba yang mati. Kelompok kontrol, 2.5 g/kg BB, 5g/kg BB, 10 g/kg BB, dan 15 g/kg BB angkak tidak menunjukkan adanya hewan coba yang mati selama 24 jam pertama hingga 5 hari setelah percobaan.

0 50 100 150 200 250 300 350 -50 -40 -30 -20hari ke--10 0 10 20 bobot ba da n ( gr a m ) kontrol 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 3 Bobot badan tikus Sprague-Dawley selama adaptasi dan perlakuan dengan berbagai dosis.

Tabel 5 Gejala klinis hewan coba selama perlakuan Kelompo k nafsu maka n keadaa n mata keadaa n bulu feses Kontrol - - - hita m 2.5g/kgB B - - - mera h 5 g/kg BB - - - mera h 10g/kgB B - - - mera h 15g/kgB B - - - mera h keterangan (-) : tidak ada kelainan

(5)

Gambar 4 Feses tikus yang diamati dengan mikroskop.

Pengaruh Angkak Terhadap Aktivitas Enzim AST dan ALT

Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan aktivitas enzim ALT sebesar 30.87±10.68 U/L dan AST sebesar 63.00±20.99 U/L. Menurut Girindra (1984), kisaran normal aktivitas enzim AST tikus sebesar 45.7-80.8 U/L sedangkan aktivitas ALT sebesar 17.0-30.2 U/L. Jadi, aktivitas enzim ALT dan AST tikus sebelum perlakuan masih dalam keadaan normal. Kelompok kontrol tidak digunakan untuk menganalisis karena serumnya mengalami hemolisis.

Gambar 5 menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 dan H+5 terhadap H-1 (P>0.05). Aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Perbandingan aktivitas enzim AST ditunjukkan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada H+1 dan H+5 pada dosis 2.5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB berbeda secara signifikan dengan dosis 15 g/kg BB (P>0.05).

Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 (P>0.05). Aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Perbandingan aktivitas enzim ALT ditunjukkan pada Tabel 8, yang menunjukkan bahwa pada H+1 ada perbedaan yang signifikan pada semua dosis (P>0.05). Sedangkan pada H+5, kelompok 2.5 g/kg BB, 10 g/kg BB, dan 15 g/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan dosis 5 g/kg BB (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan sel-sel hati.

Peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT pada semua kelompok perlakuan angkak disebabkan karena pemberian angkak dengan dosis besar akan mengakibatkan hepatolisis sehingga enzim akan keluar, dan jumlah

dalam serum meningkat. Hal itu didukung dengan adanya sel hepatosit yang mengalami nekrosa pada analisa histopatologis. Hal itu sesuai dengan Girindra (1984) yang menyatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT di dalam darah disebabkan adanya perubahan fisiologis hati, sehingga konsentrasi enzim tersebut di dalam darah meningkat. Turun atau naiknya konsentrasi enzim dalam darah dapat diakibatkan oleh kerusakan enzim-enzim parenkim hati atau gangguan permeabilitas membran sel hati sehingga enzim bebas ke luar sel. Hal ini menyebabkan enzim yang masuk ke dalam pembuluh darah melebihi normal sehingga kadarnya dalam darah meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar enzim dalam darah, serta sintesisnya dalam hati menurun karena adanya kerusakan hepatoseluler sehingga aktivitasnya dalam darah menurun.

Tabel 6 Rata-rata aktivitas enzimatik pada tikus Sprague-Dawley sebelum perlakuan

Parameter AST (U/L) ALT(U/L)

N = 25 N = 25

Rataan 63.00±20.99 30.87±10.68

Tabel 7 Pengaruh pemberian angkak terhadap rataan aktivitas enzim AST

Kelompok N=25 H+1 (U/L) H+5 (U/L) 2.5g/kgB B 159.2352±27.16 a 150.6216±30.90a 5g/kg BB 172.5048±14.44 a b 151.0872±25.80a 10g/kgBB 175.9968±24.69 a b 164.8224±46.53a b 15g/kgBB 213.3612±31.99c 196.134±45.10b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 8 Pengaruh pemberian angkak terhadap rataan aktivitas enzim ALT

Kelompok N=25 H+1 (U/L) H+5 (U/L) 2.5 g/ kgBB 66.46±7.63a 63.5544±18.25b 5 g/ kg BB 89.28±29.72b 52..4964±14.49a 10 g/ kg BB 75.18±26.22ab 61.3428±11.70ab 15 g/ kg BB 104.6±25.03c 67.8612±19.41b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05)

(6)

0 50 100 150 200 250 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 ha ri ke -2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 5 Perbandingan aktivitas AST perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5. 0 20 40 60 80 100 120 -2 0 2 4 6 8 A k tiv ita s e n zim A L T ( U/ L ) 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 6 Perbandingan aktivitas ALT perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5.

Pengaruh Angkak Terhadap Kadar Urea Darah

Tabel 9 menunjukkan bahwa kadar urea darah tikus sebesar 19.639±2.143 mg/dL. Menurut Malole dan Pramono (1989) kadar urea darah tikus normal berkisar antara 15.0-21.0 mg/dL. Jadi, kadar urea darah tikus percobaan sebelum perlakuan masih dalam kisaran normal.

Perbandingan kadar urea darah pada (H-1), (H+1), dan (H+5) terdapat pada Gambar 7, yang menunjukkan bahwa kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 (P>0.05). Kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Tabel 9 menunjukkan bahwa perbandingan kadar urea dalam darah pada H+1 dosis 5 g/kg BB dan 15 g/kg BB berbeda secara signifikan dengan 2.5 g/kg BB dan 10 g/kg BB. Pada H+5 antara dosis 2.5 g/kg BB dan 5 g/kg BB

menunjukkan nilai yang berbeda secara signifikan dengan dosis 10 g/kg BB dan 15 g/kg BB (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan sel-sel ginjal.

Kadar urea darah yang meningkat kemungkinan disebabkan karena kerusakan pada sel-sel ginjal. Hal itu didukung pada analisa histopatologis bahwa di dalam lumen tubulus terdapat akumulasi protein dan nekrosa di sel tubulinya. Menurut Ganong (2002), kenaikan kadar urea darah tinggi menunjukkan bahwa jumlah protein di dalam tubuh tinggi serta tidak adanya faktor penghambat pembentukan urea dalam darah.

Tabel 9 Rata-rata kadar urea darah pada tikus Sprague-Dawley sebelum perlakuan

Rata-rata Kadar urea darah (mg/dL) 19.639±2.143 Tabel 10 Pengaruh pemberian angkak terhadap kadar urea darah

Kelompok N=25 H+1 (mg/dL) H+5 (mg/dL) 2.5 g/ kg BB 24.2530±3.70a 25.8554±3.93a 5 g/ kg BB 32.0964±8.17b 30.6024±12.57ab 10 g/ kg BB 38.1807±7.19c 41.2771±12.55cd 15 g/ kg BB 30.7952±6.54b 48.3133±13.35d 0 10 20 30 40 50 60 -2 0 2 Hari ke- 4 6 8 K a d a r U re a da ra h ( m g/ dL ) 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 7 Perbandingan kadar urea darah perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5.

Gambaran Histopatologis Hati dan Ginjal

Pengamatan terhadap organ hati dan ginjal tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis (dengan mata secara langsung) maupun secara mikroskopis (histopatologis). Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopis organ hati dan ginjal tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan kelainan

(7)

yang spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan.

Lesio secara mikroskopis yang ditemukan di hati yaitu perubahan pada sel hepatosit dan interstitium. Hasil pengamatan histopatologis jaringan hati ditunjukkan pada Gambar 8, 9, 10, dan 11. Pada kelompok kontrol, interstitiumnya banyak ditemukan adanya kongesti, sedangkan pada sel hepatosit banyak ditemukan degenerasi lemak dan nekrosa. Begitu pula pada kelompok perlakuan terjadi lesio yang serupa.

Gambar 8 juga menunjukkan adanya kongesti. Kongesti adalah pembendungan secara berlebihan oleh darah di pembuluh darah suatu jaringan tertentu. Pada umumnya, kongesti hati terjadi di vena sentralis dan sinusoid-sinusoid di sekelilingnya Hal ini menyebabkan sinusoid mengalami dilatasi. Perubahan tersebut merupakan respon umum pembuluh darah akibat penggunaan bahan anestesi kloroform ataupun eter sebelum nekropsi karena eter dan kloroform merupakan anestesik kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah (Ganiswara 1995). Oleh karena itu, kongesti tidak digunakan sebagai kategori kerusakan hati akibat perlakuan pada evaluasi histopatologis.

Gambar 9 menunjukkan adanya degenerasi lemak. Degenerasi merupakan gangguan metabolisme pada sel, sehingga kehilangan struktur dan fungsi normalnya. Degenerasi terjadi pada sel yang hidup dan bersifat reversibel. Sel yang mengalami degenerasi ditandai dengan adanya pengumpulan produk metabolisme seperti molekul lemak, protein dan glikogen dalam jumlah yang abnormal. Degenerasi menunjukkan adanya gangguan biokimiawi sel yang disebabkan karena metabolisme abnormal dan zat kimia yang toksik (Spector 1993). Degenerasi lemak secara mikroskopis terlihat droplet-droplet lemak pada lobulus hati terutama daerah perilobuler (Benirschke 1978; Lawrence 1992). Faktor-faktor penyebab degenerasi misalnya bahan toksik, kekurangan oksigen, atau pakan banyak mengandung lemak.

Gambar 10 menunjukkan adanya nekrosa. Nekrosa adalah kematian sel yang umum setelah sel terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta hancurnya sel (Sudiono et al. 2003). Jaringan hati yang mengalami nekrosa dapat sembuh dengan regenerasi sel-sel hati yang masih hidup jika penyebab nekrosa

dihilangkan (Ressang 1984). Secara mikroskopis, nekrosa bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram dan gelap (pignosis) serta adanya inti hepatosit yang mengalami karioreksis. Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel dan terjadi peningkatan warna basofilik yang solid dan mengecil. Dalam waktu satu sampai dua hari nukleus akan menghilang total (Sudiono 2003).

Gambar 11 menunjukkan pada kelompok kontrol masih terlihat hepatosit yang masih baik yaitu masih berbentuk lobus yang jelas dengan vena sentralis di tengah. Sitoplasma berwarna merah muda karena mengikat zat warna Eosin dan inti sel berwarna ungu kebiruan karena mengikat zat warna Hematoksilin.

Lesio yang terjadi pada organ hati kemudian dianalisis melalui skoring sehingga diberi nilai sesuai tingkat keparahan. Nilai skoring histopatologis hati ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan hasil pengamatan terhadap kongesti, nekrosa dan degenerasi lemak pada organ hati. Setelah didapatkan nilai skoring histopatologis hati, kemudian nilai tersebut diuji dengan analisis Kruskal-Wallis. Hasil uji histopatologis organ hati yang dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa lesio pada organ hati yaitu kongesti dan degenerasi lemak antara kontrol dan perlakuan tidak berbeda secara signifikan (P>0.05) Sedangkan nekrosa yang terjadi semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol. Kerusakan pada hati disebabkan karena hati berfungsi sebagai penyaring darah terutama dari saluran pencernaan melalui vena porta. Darah yang berasal dari vena porta tidak hanya mengandung bahan makanan tetapi kadang-kadang senyawa toksik (Frenkel 1985).

Gambar 8 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami kongesti pada kelompok kontrol pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

(8)

Gambar 9 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami degenerasi lemak pada kelompok dosis angkak 15 g/kg BB pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

Gambar 10 Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang mengalami nekrosa dengan dosis angkak 15g/kgBB pewarnaan HE1bar50 µm.

Gambar 11 Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang normal pada kontrol pewarnaan HE, 1 bar 50 µm.

Tabel 11 Nilai skoring histopatologis hati Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Kongesti Akumulasi Lemak Nekrosa Kontrol 0.333 0.400 0.333 2.5 0.267 1.267 0.533 5 0.433 1.267 0.533 10 0.233 1.233 1.000 15 0.333 1.033 0.900

Tabel 12 Hasil Uji Kruskal-Wallis histopatologis hati Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Kongesti Degenerasi Lemak Nekrosa Kontrol 5.25a 1.50a 2.50a 2.5 4.50a 6.50a 5.50bc 5 8.25a 7.25a 4.50ab 10 4.00a 7.25a 8.25c 15 5.00a 5.00a 6.75bc Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05) .

Pengamatan organ ginjal dilakukan terhadap lesio pada sel-sel tubulus. Perubahan yang terjadi pada kontrol yaitu pada kapiler antar tubulus terjadi kongesti, sel tubulusnya mengalami nekrosa (inti sel terlihat berwarna gelap dan suram). Selain itu, lumen tubulusnya mengalami akumulasi protein. Akumulasi protein dan nekrosa juga terjadi pada kelompok perlakuan. Perubahan yang terjadi pada ginjal dapat dilihat pada Gambar 12, 13 dan 14.

Gambar 12 menunjukkan adanya nekrosa. Sel-sel tubulus mengalami nekrosa intinya terlihat suram dan mengalami karioreksis. Nekrosa pada sel-sel epitel tubulus terjadi pada semua perlakuan. Nekrosa dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, agen kimia, agen biologis, agen fisik, suhu yang ekstrim dan kerentaan (Rumawas 1989; Soleh 1996). Gambar 13 juga terdapat adanya akumulasi protein di lumen tubulus. Keberadaan protein di dalam lumen tubulus dipengaruhi berbagai faktor diantaranya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga protein yang berukuran besar dapat lolos. Bila epitel tubulus mengalami degenerasi dan nekrosa maka protein yang lolos tidak mampu untuk diserap kembali secara maksimal yang akhirnya tertimbun di dalam lumen (Carlton & Mc Gavin 1995). Akumulasi protein yang berlebihan di lumen tubulus dapat menyebabkan proteinuria. Permeabilitas glomerulus meningkat sehingga protein ditemukan di dalam urin dalam jumlah besar (Ganong 2002). Gambar 14 menunjukkan sel tubulus yang normal. Sel-selnya masih teratur dan lumen kosong. Setelah dilakukan pengamatan terhadap lesio yang terjadi pada organ ginjal kemudian diberi skor dan diberi nilai sesuai tingkat 1 bar

1bar 1 bar

(9)

keparahan. Nilai skoring histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan hasil pengamatan terhadap kelainan pada ginjal yaitu nekrosa dan akumulasi protein. Setelah mendapatkan nilai lesio histopatologis organ ginjal kemudian nilai tersebut diuji dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa akumulasi protein dan nekrosa yang terjadi, berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan (P>0.05). Nekrosa yang terjadi signifikan dengan naiknya dosis. Semakin tinggi dosis yang diberikan mengakibatkan nekrosa yang terjadi juga semakin besar.

Epitel ginjal merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik. Bahan-bahan toksik yang biasanya masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut dapat menimbulkan perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi lemak dan nekrosa. Tingkat perubahan organ tergantung sifat zat toksik (Smith 1974; Thomas 1979). Menurut Lu (1995), tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan akibat zat toksik. Hal itu dapat disebabkan karena karena pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi berbagai zat. Bila terjadi absorbsi bahan toksik pada epitel tubuli akan mengganggu metabolisme dan absorbsi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan zat toksik. Jika degenerasi dan nekrosa belum begitu parah, regenerasi sel epitel mungkin terjadi setelah penyebabnya dihilangkan (Smith 1974).

Tabel 13 Nilai skoring histopatologis ginjal Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Akumulasi Protein Nekrosa Kontrol 5.50 2.40 2.5 6.55 5.60 5 7.00 8.80 10 9.15 7.75 15 11.20 11.50

Tabel 14 Hasil Uji Kruskal-Wallis histopatologis ginjal Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Akumulasi Protein Nekrosa Kontrol 1.5a 1.5a 2.5 3.5b 3.5b 5 7.5d 5.5c 10 5.5c 7.5d 15 9.5e 9.5e

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang

sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05).

Gambar 12 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami nekrosa pada sel tubulus dengan dosis 15 g/kg BB pewarnaan HE 1bar 50 µm.

Gambar 13 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami akumulasi protein dengan dosis 15 g/kg BB pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

Gambar 14 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang normal pewarnaan HE 1 bar 50 µm.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1 bar

1 bar

Gambar

Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan  aktivitas enzim ALT sebesar 30.87±10.68 U/L  dan AST sebesar 63.00±20.99 U/L
Gambar 5  Perbandingan aktivitas AST           perlakuan pemberian angkak pada          H-1, H+1, dan H+5
Gambar 9 menunjukkan adanya degenerasi  lemak. Degenerasi merupakan gangguan  metabolisme pada sel, sehingga kehilangan  struktur dan fungsi normalnya
Gambar 9 Gambaran mikroskopis hati tikus yang       mengalami degenerasi lemak pada kelompok      dosis angkak 15 g/kg BB pewarnaan HE 1 bar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sama halnya dengan degenerasi lemak, nekrosa lebih banyak terjadi pada daerah porta, membuktikan bahwa metabolit ekstrak Buah Merah dapat meningkatkan regenerasi sel hati pada

9 Perbandingan harian persentase lesio sel hati hari ke-n pasca pemberian obat pada kelompok perlakuan minyak (p), kontrol positif (k+) dan kontrol negatif

Jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak lebih tinggi terdapat pada kelompok perlakuan mencit jantan HS madu dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok Pemberian

Pengaruh perlakuan (formulasi keju putih rendah lemak dengan berbagai jenis susu modifikasi) terhadap penerimaan konsumen dan pengaruh formula keju putih rendah lemak dengan

Sehingga perendaman larutan kolkisin 0.02% dengan 0.2% DMSO dilakukan menggunakan cawan petri yang telah disiapkan sebanyak 7 buah perlakuan dengan kolkisin dan 7 buah kontrol

Pada Grafik 2, terlihat bahwa sel-sel hati yang mengalami degenerasi dan nekrosis pada kelompok perlakuan alkohol akut dan kronis lebih tinggi dari kontrol, dan secara

Kelompok P3 memperlihatkan cedera sel yang lebih banyak berupa degenerasi lemak yang difus (Gambar 2E). Mikroskopik hati tikus wistar. A) Kontrol negatif, tampak vena

Pada pengamatan organ hati secara makroskopis, terlihat bahwa organ tikus kelompok yang sudah di induksi DMBA berbeda warnanya jika dibandingkan dengan